PELATIHAN EFIKASI DIRI UNTUK MENGURANGI STRES KERJA PERAWAT RUMAH SAKIT JIWA

PELATIHAN EFIKASI DIRI
UNTUK MENGURANGI STRES KERJA PERAWAT
RUMAH SAKIT JIWA
Siti Sholichah
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Email: sitisholichah75@gmail.com
Abstract
The purpose of this study was to examine the effect of self-efficacy training to decrease
work-stress on the nurses. Participants of this research were nurses of mental hospital in
Yogyakarta. The comparative study was condusted toward the experimental group N
(N=13). The study used the untreated control group design witg pre-test and post-test
model. The experimental group was the one who received self- efficacy training, while the
control group did not receive the intervention. Hypothesis test used non-parametric
statistical Mann-Whitney U indicated that a significant difference of work-stress between
these two groups (Z = -4,036, p = 0,00; p < 0,05).
Keywords : work stress, self efficacy, self efficacy training
Rumah sakit adalah salah satu sarana
penting untuk menunjang terlaksananya
kesehatan semua lapisan masyarakat.
Sebagai organisasi yang memfokuskan
bisnisnya pada sektor publik, maka rumah

sakit diharapkan mampu memberikan
pelayanan yang prima pada masyarakat.
Perawat, sebagai ujung tombak dari sebuah
rumah sakit memiliki peran yang sangat
penting, mengingat perawat adalah bagian
dari tenaga paramedik yang memberikan
perawatan kepada pasien secara langsung
dan intensif. Glazer dan Beehr (2002)
menyatakan bahwa secara universal
perawat berada pada garis depan untuk
memberikan perawatan tanpa henti pada
pasien, bahkan lebih banyak daripada yang
diberikan oleh dokter. Perawat memiliki
tanggung jawab untuk mengawasi,
melaporkan dan merawat kesehatan pasien
secara konstan. Seorang perawat dituntut
untuk memiliki nilai kerja yang lebih
berhubungan dengan nilai kemanusiaan.
Nilai kemanusiaan merupakan representasi
pengembangan kognitif sebagai sebuah

hasil kebutuhan biologis, kebutuhan
interaksi sosial, dan tuntutan
kemakmuran/kesejahteraan kelompok
(Schwarzt, 1999), yang tujuannya adalah
melayani sebagai prinsip yang memotivasi
Jurnal Psikologi Mandiri

agar orang lain mampu bertahan hidup.
American Nurses Associations (dalam
Yosep, 2007) mengemukakan bahwa
keperawatan jiwa merupakan area khusus
dalam praktek keperawatan yang
menggunakan ilmu tingkah laku manusia
(seperti psikologi, sosiologi, dan
komunikasi) sebagai dasar dan
menggunakan diri sendiri secara terapeutik
dalam meningkatkan, mempertahankan,
memulihkan kesehatan mental pasien dan
kesehatan mental masyarakat dimana
pasien berada. Penggunaan diri sendiri

secara terapeutik artinya perawat jiwa
membutuhkan alat atau media untuk
melakukan perawatan. Alat tersebut selain
berupa keterampilan teknik dan alat-alat
klinik, yang terpenting adalah
menggunakan dirinya sendiri (misalnya
gerak tubuh, mimik wajah, bahasa,
sentuhan, dan sebagainya). Caroline (dalam
Yosep, 2007) menyatakan bahwa pada
prinsipnya semua pasien gangguan jiwa
memiliki tiga hal berikut yaitu: tidak tahu,
tidak mau, dan tidak mampu. Tugas perawat
adalah menambah pengetahuan pasien
dengan harapan perilakunya berubah atau
menjadi termotivasi.
Pada kenyataannya pada profesi
human service, yaitu profesi yang bergerak
39

Siti Sholichah


pada bidang jasa pelayanan kemanusiaan
yang menuntut adanya keterlibatan emosi
yang tinggi banyak ditemukan stres kerja
(Miller dkk., 1989). Kompleksitas tugas
perawat yang dijelaskan diatas tersebut
menjadi beban tugas yang berat bagi
perawat, yang dapat menjadi pemicu
timbulnya stres. Mengutip pendapat Ree
dan Cooper (Suryanita, 2001), bahwa
perawat memiliki tingkat stres yang lebih
tinggi dibandingkan dengan anggota medis
lainnya. Hal tersebut dimungkinkan karena
cakupan kerja perawat yang sangat luas
disertai tuntutan kerja yang berat
menjadikan perawat tidak dapat
menghindari tekanan.
Penelitian yang dilakukan oleh
Pratopo (2001) terhadap perawat di rumah
sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta

menunjukkan bahwa stres yang dialami
perawat berada dalam kategori sedang,
bahkan 8% berada pada kategori tinggi.
Padahal pekerjaan sebagai perawat sangat
berkaitan dengan kepuasan dan
keselamatan pasien. Tingkat stres yang
tinggi tersebut akan mempengaruhi perawat
dalam bekerja dan dapat mendatangkan
kondisi yang tidak menguntungkan bagi
pasien, misalnya perawat menjadi tidak
berhati-hati
ketika menangani pasien
karena pikirannya terganggu oleh masalahmasalah yang menimbulkan stres.
Stres kerja didefinisikan sebagai
reaksi fisik dan yang emosional yang
membahayakan, muncul ketika tuntutan
pekerjaan tidak sesuai dengan kemampuan,
sumber daya atau kebutuhan dari karyawan
(Sauter dkk., 1995). Selanjutnya Robbins
(1996) menyebutkan bahwa stres kerja

dapat menghambat performance individu
dan biasanya berhubungan dengan beban
kerja yang berlebihan, perasaan susah dan
ketegangan emosional.
Banyak faktor yang mempengaruhi
tingkat stres dalam pekerjaan. Sejumlah
literatur penelitian mengenai stres terhadap
pekerjaan menunjukkan bahwa ada
hubungan yang jelas antara kondisi kerja
terhadap tingkat stres karyawan (Jex dkk.,
1992), diantaranya adalah target yang tidak
40

realistik, jumlah jam kerja yang tinggi,
gangguan dalam kantor, lingkungan
eksternal, kompetisi diantara pekerja,
perasaan ketidakamanan (Rojas & Kleiner,
2001), desain pekerjaan, gaya manajemen,
hubungan interpersonal, peran kerja,
pengembangan karir, dan kondisi

lingkungan (Sauter dkk., 1995). Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Higlaey dan
Cooper pada tahun 1980 pada 512 manager
keperawatan, menghasilkan kesimpulan
bahwa beban kerja yang berlebihan,
hubungan dengan staf senior, ketegangan
dan konflik peran, hubungan interpersonal,
menghadapi urusan kematian dan
menjelang ajal merupakan sumber utama
stres bagi manajer keperawatan (Abraham
& Stanley, 1997).
Pada banyak penelitian mengenai
stres, lingkungan kerja dapat menjadi
penyebab munculnya stres karyawan yang
mengakibatkan kondisi psikologi , fisik dan
perilaku berubah menjadi negatif. Hal
tersebut menunjukkan secara eksplisit
maupun implisit bahwa kondisi kerja dapat
menjadi penyebab munculnya stres
terhadap pekerjaan pada karyawan (Jex &

Bliese, 1999).
Stres dipandang sebagai suatu situasi
yang menuntut seseorang di luar batas
kemampuan untuk beradaptasi. Stres
diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau
gangguan tidak menyenangkan yang
berasal dari luar diri seseorang. Ada stres
yang bersifat positif, bermanfaat dan
konstruktif yang disebut sebagai eustres.
Ada pula stres yang berdampak negatif dan
merugikan yang disebut dengan distres
(Robbins, 1998). Perbedaan antara distress
dan eustres ditekankan pada pembangkitan
positif maupun negatif yang mengikuti
munculnya stres. Ada tiga pendekatan
dalam cara pandang stres (Jex, dkk., 1992),
yaitu:
1. Pendekatan stimulus
Menurut pendekatan ini, stres kerja
disebabkan oleh adanya kondisikondisi dalam pekerjaan yang

menyebabkan terjadinya stres. Kondisi
pekerjaan seperti bekerja di tempat
Jurnal Psikologi Mandiri

PELATIHAN EFIKASI DIRI UNTUK MENGURANGI STRES KERJA PERAWAT RUMAH SAKIT JIWA

yang sangat tinggi dan beresiko dapat
dipandang sebagai stimulus yang dapat
mengakibatkan munculnya stres kerja.
2. Pendekatan respon
Pendekatan ini memandang bahwa
stres kerja disebabkan oleh respon
individu terhadap kondisi-kondisi
dalam pekerjaannya. Suatu kondisi
pekerjaan yang tidak mengakibatkan
stres kerja pada seorang karyawan,
dapat saja mengakibatkan munculnya
stres kerja pada karyawan lain. Hal ini
disebabkan oleh karena adanya
perbedaan respon kedua karyawan

tersebut dalam menghadapi kondisi
pekerjaan yang ada.
3. Pendekatan stimulus-respon
Pendekatan ini memandang bahwa
stres kerja muncul akibat adanya
stimulus yang mengakibatkan
munculnya stres dan disertai oleh
respon individu yang memandang
stimulus tersebut sebagai sumber stres.
Penelitian ini memandang stres
sebagai suatu respon dan sebagai hasil
interaksi antara individu dengan
lingkungan. Stres dipandang sebagai suatu
respon yang dihasilkan dari stresor yang
berasal dari lingkungan yang akan
mempengaruhi individu, namun demikian
stres juga dipengaruhi oleh adanya individu
sebagai agen aktif yang dengan upayanya
mampu mempengaruhi stresor baik
menggunakan strategi perilaku, kognitif

maupun emosional.
Stres tingkat
tinggi atau strain
merupakan sejumlah reaksi yang
disebabkan karena stresor di tempat kerja
yang sifatnya merugikan (Beehr dan Jex ;
Kahn dan Byosiere ; Spector dan Jex ; dalam
Jex dan Bliese, 2001). Strain kerja
merupakan reaksi penolakan secara fisik,
perilaku maupun psikis yang diakibatkan
adanya stresor kerja (Spector dkk, 2000).
Strain kerja terbagi dalam tiga kategori,
kategori pertama adalah strain perilaku
(behavioral), kedua, strain fisik, dan ketiga,
strain psikis (Luthans, 1998 ; Robbins,1998
; Spector, 2000).
Strain perilaku adalah suatu perilaku
Jurnal Psikologi Mandiri

yang dimunculkan seseorang dalam
merespon stresor yang muncul di tempat
kerja, misalnya berdiam diri di rumah
padahal seharusnya masuk kerja atau tidak
dalam keadaan sakit. Strain fisik merupakan
manifestasi dari kesehatan, seperti sakit
kepala atau gangguan pencernaan. Strain
psikologis merupakan reaksi afektif
seseorang ketika dihadapkan pada stresor.
Reaksi afektif ini berupa sikap dan emosi.
Reaksi afektif yang berupa sikap misalnya
berupa ketidakpuasan kerja dan rendahnya
komitmen terhadap organisasi,sedangkan
reaksi emosi misalnya kecemasan dan
frustasi (Spector, O'Connell, Chen, 2000)
Hasil wawancara yang dilakukan pada
bulan Juni 2011 di sebuah Rumah Sakit Jiwa
di Yogyakarta menunjukkan adanya
indikasi stres kerja pada perawat. Kondisi
stres ini menyebabkan perawat mengalami
kejenuhan, rasa bosan dalam bekerja, dan
penurunan motivasi kerja perawat sehingga
performa kerja yang ditunjukkan biasabiasa saja. Perawat sebagai ujung tombak
rumah sakit dalam memberikan pelayanan
langsung kepada pasien mempunyai
tanggung jawab dan tuntutan berat dalam
tugas, namun kurang diimbangi dengan
penghargaan instrinsik yang memadai
(meliputi: pujian, pengakuan). Perawat
dalam melaksanakan tugas berada di
lingkungan terbatas dan berhadapan
langsung dengan orang-orang sakit
sehingga mudah jenuh, jika piket malam
merasa khawatir akan kondisi pasien.
Disamping kondisi lingkungan, kurangnya
komunikasi interpersonal antara bawahan
dengan atasan, dan sesama rekan kerja misalnya komunikasi antara atasan dengan
bawahan cenderung seperlunya, hanya
dalam konteks memberikan instruksi.
Antara perawat senior dan junior jarang
berkomunikasi secara intim. Hal tersebut
dipandang sebagai rendahnya usaha
membina persaudaraan atau kekeluargaan
dan kepedulian, sehingga situasi dalam
lingkungan kerja dirasakan tidak
menyenangkan dan menekan.
Stres pada dasarnya adalah proses
persepsi (Riggio, 2003), artinya suatu
41

Siti Sholichah

kejadian bagi individu yang satu dapat
dianggap sebagai ancaman tetapi tidak bagi
individu yang lain, tergantung pada
persepsinya. Atau dengan kata lain sumber
stres kerja bagi individu yang satu dapat
menjadi ancaman, namun tidak bagi
individu yang lain. Dapat disimpulkan,
reaksi dan respon individu terhadap stres
kerja tidak dapat disamaratakan.
Penelitian ini memandang stres kerja
sebagai suatu keadaan yang bersifat
potensial maupun nyata yang penuh dengan
tekanan dan melibatkan tuntutan fisik,
psikologis serta perilaku yang diakibatkan
karena peristiwa atau kondisi lingkungan
pekerjaan yang sifatnya relatif karena
dipengaruhi oleh penyesuaian diri individu.
Ada individu yang tampaknya
beresiko terhadap stres tetapi ada pula yang
tidak, salah satunya tergantung dari faktor
psikologis. Salah satu faktor psikologis
yang digunakan untuk meningkatkan daya
tahan stress adalah melalui efikasi diri. Jex
dan Bliese (1999) dalam penelitiannya
menemukan bahwa tinggi rendahnya stres
pada individu dalam menghadapi stresor
kerja tergantung tinggi rendahnya efikasi
diri yang dimilikinya. Lebih lanjut,
penelitiannya juga menemukan bahwa
efikasi diri merupakan variabel penting
dalam mempelajari hubungan antara stresor
dan stres dikarenakan ada hubungan sangat
kuat antara stresor, stres dan tinggi
rendahnya efikasi diri. Penelitian Musfirah,
Rahmahana dan Kumolohadi (2003)
menemukan bahwa tingginya efikasi diri
individu mampu mengurangi tingkat
kecemasan dalam menggunakan komputer.
Penelitian yang dilakukan oleh Jex dan
Bliese (2001) menghasilkan penemuan
bahwa efikasi diri memiliki peran dalam
hubungan antara stresor dan stres. Individu
yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan
aktif menghadapi dan menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi. Efikasi diri
yang tinggi juga mengurangi penghindaran
terhadap penyelesaian masalah yang
dihadapi individu. Jex dan Bliese (1999)
menemukan bahwa individu yang memiliki
efikasi diri tinggi tidak bereaksi negatif
42

terhadap beban kerja yang berlebihan
dibandingkan dengan individu yang level
efikasi dirinya rendah.
Bandura (1997) mengemukakan
bahwa efikasi diri adalah keyakinan tentang
sejauh mana individu memperkirakan
kemampuannya dalam melaksanakan suatu
tugas atau tindakan yang diperlukan untuk
mencapai suatu hasil. Efikasi diri
merupakan hasil proses kognitif berupa
keputusan, keyakinan atau pengharapan
individu. Individu yang merasa mampu atau
memiliki efikasi diri tinggi akan melihat
stresor yang ada bukan sebagai ancaman
sebagaimana individu yang memiliki
tingkat efikasi diri rendah memandangnya.
Sementara Bandura (1997)
mengatakan efikasi diri seseorang
dibedakan atas dasar beberapa dimensi yang
memiliki implikasi terhadap prestasi.
Dimensi-dimensi tersebut adalah: 1)
Magnitude atau tingkat kesulitan tugas. Hal
ini berdampak pada pemilihan perilaku
yang akan dicoba atau dikehendaki
berdasarkan pengharapan efikasi pada
tingkat kesulitan tugas. Individu akan
mencoba perilaku yang dirasakan mampu
untuk dilakukan. Sebaliknya ia akan
menghindari situasi dan perilaku yang
dirasa melampaui batas kemampuannya. 2)
Generality atau luas bidang perilaku. Hal ini
berkaitan dengan seberapa luas bidang
perilaku yang diyakini untuk berhasil
dicapai oleh individu. Beberapa
pengharapan terbatas pada bidang perilaku
khusus sedangkan beberapa pengharapan
mungkin menyebar pada berbagai bidang
perilaku. 3) Strenght atau kemantapan
keyakinan. Hal ini berkaitan dengan
keteguhan hati terhadap keyakinan pada diri
individu bahwa ia akan berhasil dalam
menghadapi suatu permasalahan. Dimensi
ini seringkali harus menghadapi rasa
frustasi, luka dan berbagai rintangan lainnya
dalam mencapai suatu hasil tertentu.
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut
di atas maka efikasi diri dalam penelitian ini
akan diungkap berdasarkan ketiga dimensi
yang diuraikan oleh Bandura (1997) yaitu
magnitude atau kesulitan tugas, generality
Jurnal Psikologi Mandiri

PELATIHAN EFIKASI DIRI UNTUK MENGURANGI STRES KERJA PERAWAT RUMAH SAKIT JIWA

atau luas bidang perilaku, dan strenght atau
kemantapan keyakinan. Selanjutnya dari
dimensi-dimensi inilah nantinya akan
diaplikasikan dalam penyusunan modul
pelatihan efikasi diri yang meliputi empat
materi yaitu mengenal potensi diri,
membangun persepsi positif, manajemen
waktu dan daya juang.
Jex & Blise (1999) dalam
penelitiannya menggunakan sampel besar
(N=2.273) dari personal militer, hasilnya
menunjukkan bahwa efikasi diri
berhubungan dengan stressor dan stres kerja
yang tinggi. Individu yang memiliki efikasi
diri yang tinggi tidak menunjukkan
ketegangan psikologis dan fisik selama
bekerja dalam waktu yang lama dan beban
kerja yang berat atau berlebih dibandingkan
yang memiliki efikasi diri yang rendah.
Individu yang memiliki efikasi diri yang
tinggi menunjukkan perilaku yang positif
dalam bentuk : lebih puas dalam bekerja
untuk mengerjakan tugas (job satisfaction)
daripada yang memiliki efikasi diri yang
rendah.
Bandura (1997) mengatakan bahwa
orang yang memiliki efikasi diri tinggi
mempunyai keyakinan mampu berperilaku
tertentu untuk dapat mencapai hasil yang
diinginkan. Orang-orang yang mempunyai
efikasi diri tinggi juga lebih giat dan lebih
tekun dalam berusaha dan mengatasi
kesulitan, serta mengerahkan tenaga yang
lebih besar untuk mengatasi tantangan,
sedangkan orang yang mempunyai efikasi
diri rendah cenderung mengurangi
usahanya atau menyerah ketika dihadapkan
pada suatu permasalahan. Orang cenderung
menghindari situasi yang diyakini
melampaui batas kemampuan mereka,
tetapi akan melakukan tindakan yang
menurut penilaiannya mampu dilakukan.
Hal ini berkaitan dengan penentuan target,
individu yang memiliki efikasi diri tinggi
akan menetapkan target lebih tinggi dengan
usaha keras untuk mencapainya. Individu
tersebut kemudian akan berupaya
menetapkan target yang lebih tinggi lagi bila
target yang sesungguhnya telah mampu
dicapai. Kegagalan dalam mencapai suatu
Jurnal Psikologi Mandiri

target justru akan membuat individu
berusaha lebih giat lagi untuk meraihnya
kembali serta mengatasi rintangan yang
membuatnya gagal dan kemungkinan akan
menetapkan target lain yang lebih tinggi
lagi. Individu yang mempunyai efikasi diri
rendah menetapkan target yang lebih rendah
pula serta keyakinan terhadap keberhasilan
akan pencapaian target yang juga rendah,
sehingga usaha yang dilakukan lemah.
Berkaitan dengan penelitian ini,
Rohmah (2006) dengan menggunakan
media pelatihan efikasi diri untuk
mengurangi tingkat stres pada mahasiswa
yang sedang mengerjakan tugas akhir,
menghasilkan bahwa pelatihan efikasi diri
mampu mengurangi tingkat stres pada
mahasiswa yang sedang melakukan tugas
skripsi. Noe (2005) menyatakan bahwa
pelatihan merupakan program yang
diselenggarakan oleh perusahaan untuk
memfasilitasi karyawan agar memperoleh
kompetensi yang berkaitan dengan
pekerjaannya. Kompetensi tersebut
mencakup pengetahuan, keterampilan dan
perilaku yang bisa meningkatkan kinerja
karyawan. Ada banyak metode yang bisa
digunakan dalam pelatihan, misalnya
diskusi, ceramah efektif, serta proses
pembelajaran langsung dan aktif dimana
para peserta dilibatkan secara aktif dalam
setiap sesi pelatihan. Ditambahkan oleh
Nitisemito (1992) bahwa pelatihan
merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
memperbaiki dan mengembangkan sikap,
perilaku, keterampilan dan pengetahuan
pesertanya. Pelatihan efikasi diri ini
nantinya akan disampaikan dengan metode
ceramah, diskusi, dan praktek yang
dilakukan langsung oleh para peserta.
Silberman (1998) mengemukakan bahwa
pembelajaran melalui pengalaman adalah
metode yang paling efektif untuk
meningkatkan pemahaman dalam proses
pelatihan. Pembelajaran melalui
pengalaman adalah proses belajar yang
terjadi ketika subjek melakukan suatu
aktivitas, kemudian subjek tersebut
memperhatikan, menganalisis aktivitas
yang dilakukannya itu, lalu mencari
43

Siti Sholichah

pemahaman dari analisis tersebut untuk
kemudian menerapkan pengetahuan dan
pemahaman tersebut dalam perilaku.
Penelitian ini akan mengarah pada
usaha untuk mengembangkan efikasi diri
melalui pelatihan guna menghadapi stres
kerja para perawat, sehingga hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah :
Pelatihan efikasi diri efektif untuk
mengurangi stres kerja pada perawat rumah
sakit jiwa.
METODE PENELITIAN
Subjek
Subjek dalam penelitian ini adalah
26 perawat pada salah satu rumah sakit jiwa
di Yogyakarta, dan memiliki kriteria sebagai
berikut: (1) pegawai tetap, (2) telah bekerja
di rumah sakit di tempat penelitian
dilaksanakan minimal selama 1 tahun, (3)
memiliki pendidikan minimal Sekolah
Perawat Kesehatan. Kedua puluh enam
subjek dibagi kedalam dua kelompok, yaitu
kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol secara random.
Kelompok
eksperimen terdiri atas 13 subjek dan
mendapatkan pelatihan efikasi diri,
sementara kelompok kontrol terdiri atas 13
subjek yang tidak mendapatkan perlakuan.
Subjek dalam penelitian ini memiliki
tingkat stres kerja sedang, sedangkan untuk
efikasi diri tergolong rendah dan sedang.
Intervensi
Perlakuan dalam penelitian ini
diberikan dalam bentuk pelatihan efikasi
diri. Pelatihan ini menggunakan metode
experiental learning (permainan, role play,
diskusi) yaitu sebuah metode pelatihan yang
membuat peserta belajar melalui
pengalamannya.
Proses pembelajaran melalui
structured experience digunakan oleh
Rohmah (2006) dalam menyusun modul
pelatihan efikasi diri, hasilnya diperoleh
empat materi pelatihan efikasi diri yang
meliputi: (1) kemampuan mengenali
potensi diri; (2) kemampuan membentuk
persepsi positif; (3) manajemen waktu; dan
44

(4) daya juang , materi ini diperoleh dengan
menggunakan beberapa pendapat ahli
dalam menyusunnya.
Berdasarkan penelitian dari Rohmah
(2006) tersebut peneliti mengembangkan
dan menyusun kembali materi pelatihan
efikasi diri sebagai bentuk intervensi untuk
mengurangi stres kerja lebih lanjut dengan
menyusun materi berdasarkan pada dimensi
efikasi diri Bandura (1997) yang terdiri dari
empat dimensi (magnitude atau tingkat
kesulitan tugas, generality atau luas bidang
perilaku dan strenght atau kemantapan
keyakinan) kemudian dikembangkan
melalui penjabaran masing-masing dimensi
tersebut sehingga menjadi empat materi,
antara lain: mengetahui informasi tentang
kemampuan diri, membentuk persepsi
positif sebagai upaya persuasi kognitif
dalam menghadapi tuntutan pekerjaan,
manajemen waktu sebagai upaya untuk
meningkatkan keyakinan dalam mencapai
target yang ditetapkan dan daya juang
sebagai upaya untuk meningkatkan
keyakinan dalam mengatasi permasalahan
yang akan dihadapi.
Perlakuan yang diberikan adalah
pelatihan efikasi diri terdiri dari empat
materi pelatihan (pengenalan potensi diri,
membentuk persepsi positif, manajemen
waktu dan daya juang). Pelatihan diberikan
dalam satu kali pertemuan dengan waktu 8
jam efektif.
Rangkaian kegiatan yang dilakukan
pada pelatihan efikasi diri adalah pengantar
(pembukaan, perkenalan pelatih),
pelaksanaan pelatihan dan penutup.
Pelaksanaan pelatihan terdiri dari sesi :
1. Pencairan.
Pada sesi ini diberikan permainan yang
tujuannya adalah untuk menghilangkan
suasana tegang dan agar subjek
penelitian lebih saling mengenal.
2. Mengenali Potensi Diri
Pada sesi ini subjek penelitian
diberikan materi mengenali potensi diri
dan lembar pengenalan potensi diri.
Bentuk kegiatannya berupa penulisan
dan berbagi dengan kelompok.
3. M e m b e n t u k P e r s e p s i P o s i t i f
Jurnal Psikologi Mandiri

PELATIHAN EFIKASI DIRI UNTUK MENGURANGI STRES KERJA PERAWAT RUMAH SAKIT JIWA

Pada sesi ini subjek penelitian diberi
materi membentuk persepsi positif
kemudian menuliskan peristiwa
konflik yang pernah dialami dan
peristiwa bahagia yang pernah dialami
selama ini, serta bagaimana mereka
menginterpretasikannya.
4. Manajemen Waktu
Pada sesi ini subjek penelitian diberi
materi manajemen waktu dan membuat
rencana kerja yang target
pencapaiannya dalam satu bulan, satu
minggu dan satu hari serta menentukan
skala prioritas pencapaian.
5. Daya Juang
Pada sesi ini subjek penelitian diberi
materi daya juang dan menuliskan
hambatan-hambatan yang dialami
selama menjalankan pekerjaan.
Selanjutnya subjek penelitian melihat
film dan menganalisa serta mengambil
pelajaran yang terkandung di dalam
film tersebut.
6. Penutup
Pada sesi ini subjek penelitian
melakukan evaluasi kegiatan secara
keseluruhan dan pengisian lembar
evaluasi pelatihan.
Alat Ukur
1. Stres Kerja
Stres kerja diukur menggunakan
Occupational Stres Inventory-Personal
Strain Questionnaire, yang dikembangkan
oleh Osipow dan Spokane (1987), terdiri
atas 40 aitem. Skala ini menggunakan empat
dimensi yang mengungkapkan respon
afektif berkenaan dengan permasalahan
dalam sikap dan pekerjaan, ketegangan
psikologis, gangguan dalam hubungan
interpersonal, dan ketegangan fisik (Osipow
& Spokane, 1987). Skala ini berbentuk self
rating. Subjek penelitian ini diminta untuk
menilai sendiri seberapa sering kondisikondisi dalam pekerjaan yang dicantumkan
dalam aitem dapat meyebabkan individu
mengalami stres kerja.
Sebelum alat ukur diberikan kepada
subjek penelitian, Occupational Stres
Inventory – Personal Strain Questionnaire
Jurnal Psikologi Mandiri

telah diujicobakan kepada 35 orang
mahasiswa keperawatan yang sedang
melakukan kerja praktek di rumah sakit jiwa
tersebut. Uji coba skala menghasilkan
reliabilitas yang baik dengan nilai koefisien
reliabiltas alfa sebesar 0,915. Peneliti
mengkorelasikan aitem-aitem pada masingmasing kelompok aitem. Nilai korelasi
aitem yang diterima sebagai dasar
pemilihan aitem adalah 0,25. Sehingga
setelah diujicobakan, diketahui 28 aitem
dapat memenuhi persyaratan, sedangkan 12
butir aitem gugur.
2. Efikasi diri
Efikasi diri diukur dengan
menggunakan skala efikasi diri yang
dimodifikasi oleh penulis dari skala efikasi
diri oleh Kurniawan (2002). Skala ini
disusun berdasarkan dimensi-dimensi
efikasi kerja yang dikemukakan oleh
Bandura (1997), yaitu: magnitude (tingkat
kesulitan tugas), generality (luas bidang
perilaku) dan strength (kemantapan
keyakinan).
Sebelum alat ukur diberikan kepada
subjek penelitian, skala efikasi diri telah
diujicobakan kepada 35 orang mahasiswa
keperawatan yang sedang melakukan kerja
praktek di rumah sakit jiwa tersebut. Uji
coba skala menghasilkan reliabilitas yang
baik dengan nilai koefisien reliabilitas alfa
sebesar 0,919. Peneliti mengkorelasikan
aitem-aitem pada masing-masing kelompok
aitem. Nilai korelasi aitem yang diterima
sebagai dasar pemilihan aitem adalah 0,25.
Sehingga setelah diujicobakan, diketahui 23
aitem dapat memenuhi persyaratan,
sedangkan 1 butir aitem gugur.
3. Jajak pengetahuan
Alat ukur jajak pengetahuan bertujuan
untuk mengetahui pengetahuan subjek
penelitian mengenai materi pelatihan yang
telah diberikan.
Pengukuran
Pengukuran tingkat stres kerja
dikenakan pada kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol. Dua minggu sebelum
perlakuan diberikan, tingkat stres kelompok
eksperimen maupun kelompok kontrol
45

Siti Sholichah

diukur (pra tes) dengan Occupational Stress
Inventory-Personal Strain Questionnaire.
Kemudian, empat minggu setelah perlakuan
diberikan pada kelompok eksperimen,
tingkat stres kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol diukur kembali (paska
tes). Pengukuran pra tes dan paska tes ini
bertujuan untuk melihat perbedaan stres
kerja perawat sebelum dan sesudah
perlakuan.
Berkenaan dengan pelaksanaan
perlakuan yang diberikan, peneliti juga
melakukan evaluasi untuk mengungkap
reaksi subjek mengenai perlakuan yang ia
terima, evaluasi tersebut meliputi: materi,
pelatih, penyelenggaraan training dan sikap
umum terhadap training. Analisis kualitatif
juga dilakukan melalui proses observasi dan
self monitoring dengan melibatkan
kelompok eksperimen di akhir perlakuan
sebagai bentuk cek manipulasi. Cek
manipulasi bertujuan untuk mengetahui
sejauh mana perlakuan telah dilaksanakan
oleh seluruh partisipan dalam kelompok
eksperimen.
Desain Eksperimen
Penelitian ini menggunakan
eksperimen kuasi dengan desain the
untreated control group design with pretest
and postest (Cook & Campbell, 1979).
Desain eksperimen kuasi ini digunakan
karena eksperimen murni tidak
memungkinkan untuk dilakukan dengan
kondisi yang ada.
Prosedur
1. Dua minggu sebelum pelatihan efikasi
diri, semua subjek diminta untuk
mengisi skala stres kerja dan efikasi diri.
Selanjutnya data dianalisis sehingga
diperoleh gambaran tingkat stres kerja
perawat dan efikasi diri perawat.
Pengelompokkan partisipan dilakukan
secara acak. Kelompok eksperimen
diberikan pelatihan efikasi diri
sedangkan kelompok kontrol tidak
diberikan pelatihan.
2. Kelompok eksperimen diberikan
pelatihan efikasi diri selama 8 jam
46

efektif (diberikan selama satu hari).
Pelatihan terbagi atas enam sesi yaitu
satu sesi pembukaan, empat materi
pelatihan efikasi diri dan sesi review.
Materi mengenali potensi diri bertujuan
untuk menyadari bahwa mengenal
potensi diri sangat penting, ada tahaptahap yang harus dilakukan untuk
mendapatkan pemahaman mengenai
potensi yang dimiliki. Materi
membentuk persepsi potisitif bertujuan
untuk menyadari pentingnya
membentuk dan memiliki persepsi
positif. Materi manajemen waktu
bertujuan untuk menyadari pentingnya
pengelolaan waktu. Materi daya juang
bertujuan untuk menyadari pentingnya
memiliki daya juang dalam menghadapi
apapun. Serangkaian materi ini
disajikan dalam bentuk diskusi,
ceramah, video tayangan dan praktek.
Pada akhir sesi pelatihan dilakukan
review materi pelatihan untuk
membantu peserta memahami strategistrategi dalam membangun efikasi diri.
Pelatihan ini diberikan oleh seorang
pelatih berpengalaman. Pelatih
didampingi asisten pelatih yang
bertugas untuk membantu kelancaran
selama proses pelatihan.
3. Empat minggu setelah pelaksanaan
pelatihan, dilakukan kembali
pengumpulan data untuk keperluan
evaluasi. Evaluasi terhadap terhadap
pelaksanaan pelatihan ini dilakukan
untuk mengetahui apakah pelaksanaan
pelatihan benar-benar telah sesuai
dengan tujuannya yaitu meningkatkan
efikasi diri sehingga pada akhirnya
dapat menurunkan stres kerja.
Pengukuran skala stres kerja dan efikasi
diri diberikan kembali pada kelompok
eksperimen dan kontrol dengan
pemberian informasi terlebih dahulu
pada subjek penelitian bahwasanya
pengukuran ini digunakan untuk
mengukur hal-hal dan peristiwa yang
dialami subjek selama satu bulan ini.
Pada kelompok eksperimen selain
mengukur kembali skala stres kerja dan
Jurnal Psikologi Mandiri

PELATIHAN EFIKASI DIRI UNTUK MENGURANGI STRES KERJA PERAWAT RUMAH SAKIT JIWA

efikasi diri juga dilakukan self
monitoring dan wawancara terhadap
kondisi subjek paska pelatihan efikasi
diri. Menurut Kirkpatrick (1996), ada
empat level evaluasi pelatihan, yaitu (1)
reaksi, untuk mengetahui apakah
peserta menyukai program pelatihan.
Evaluasi reaksi ini dilakukan setelah
pelatihan diberikan, (2) pengetahuan,
untuk mengetahui apa yang telah
dipelajari peserta. Evaluasi pengetahuan
dalam penelitian ini dilakukan sebelum
pelatihan dan sesudah pelatihan.
Evaluasi dilakukan dengan
menggunakan jajak pengetahuan, (3)
perilaku, untuk mengetahui apakah
perilaku peserta berubah setelah
mengikuti pelatihan. Evaluasi perilaku
dilakukan dengan menggunakan skala
efikasi diri, (4) hasil, untuk mengetahui
apakah perubahan perilaku peserta
berpengaruh secara positif terhadap
organisasi. Dalam penelitian ini, hanya
melihat dampak pelatihan efikasi diri
pada level pertama, kedua dan ketiga
yaitu efek pelatihan pada peningkatan
kompetensi efikasi diri peserta yang
pada akhirnya dapat membantunya
menurunkan tingkat stres kerja.
4. Tahap terakhir yaitu melakukan analisis
data atas keseluruhan data yang
diperoleh. Pelatihan efikasi diri dapat
dikatakan efektif apabila mampu
mengurangi stres kerja perawat rumah
sakit jiwa.
Analisis Data
Analisis data menggunakan statistik
non-parametrik Mann-Whitney U dengan
teknik gained scores (Diekhoff, 1992)
dengan tujuan untuk mengetahui apakah ada
perbedaan stres kerja yang signifikan antara
kelompok eksperimen dan kontrol setelah
diberi perlakuan.
HASIL
Data penelitian dianalisis terlebih
dahulu dianalisis menggunakan uji asumsi
normalitas dan homogenitas. Hasil uji
Jurnal Psikologi Mandiri

normalitas skor stres kerja diketahui data
pra tes termasuk normal (K-SZ=0,997; p =
0,273; p>0,05), paska tes termasuk normal
(K-SZ= 1,189; p=0,118; p>0,05). Hasil uji
normalitas skor efikasi diri diketahui data
pra tes termasuk normal (K-SZ=1,138;
p=0,150; p>0,05), paska tes termasuk
normal (K-SZ=0,721 ; p=0,676; p>0,05).
Uji asumsi selanjutnya adalah uji
homogenitas, hasil uji homogenitas skor
stres kerja diketahui data pra tes termasuk
homogen (Levene statistic=0,050; p=0,825;
p>0,05); paska tes termasuk tidak homogen
(Levene statistic=6,761; p=0,016; p0,05);
paska tes termasuk tidak homogen (Levene
statistic=16,568; p=0,000; p