PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO YANG DIAPLIKASI CENDAWAN MIKORISA ARBUSKULA

  

PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO YANG DIAPLIKASI

CENDAWAN MIKORISA ARBUSKULA

  Ruhumuddin, Hanafi dan Mirna Munir Fakultas Pertanian Universitas Islam Makassar

  

ABSTRAK

  Penelitian bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan tiga klon bibit kakao yang diaplikasi cendawan mikoriza arbuskula. Dilaksanakan di Kelurahan Timungang Lompoa Kecamatan Mallimongan Tua, Kota Metro Makassar Propinsi Sulawesi Selatan. Berlangsung mulai Juni hingga September 2014.

  Penelitian dilaksanakan dalam bentuk percobaan faktorial dua faktor yang disusun berdasarkan Rancangan Acak Kelompok. Faktor pertama adalah klon terdiri atas tiga klon, yaitu: Sulawesi 1, Sulawesi 2, dan Lokal. Faktor kedua adalah dosis

  • 1

  CMA terdiri atas enam taraf, yaitu: 0, 3,0, 6,0, 9,0 g tanaman , sehingga terdapat 12 kombinasi perlakuan yang diteliti.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa klon Sulawesi 2 memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap tinggi tanaman, diameter batang, dan indeks luas daun bibit kakao, sedangkan klon Lokal menghasilkan rata-rata jumlah daun tertinggi. Dosis

  • 1

  fungi CMA 9,0 g tanaman memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap tinggi tanaman, diameter batang, dan indeks luas daun bibit kakao. Interaksi antara klon

  • 1

  Sulawesi 2 dengan fungi CMA 9,0 g tanaman menghasilkan tinggi tanaman tertinggi yaitu 10,63 cm, diameter batang tanaman terbesar yaitu 0,38 cm, indeks luas daun tanaman ter-besar yaitu 9,49.

  • Kata Kunci: Pertumbuhan, klon kakao, mikoriza arbuskular.

  

Latar Belakang

  Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang me-megang peranan penting dalam perekonomian Indonesia, sebagai penghasil devisa negara, sumber pendapatan petani, penciptaan lapangan kerja, mendorong agri-bisnis dan agroindustri serta pengembangan wilayah.

  Luas perkebunan kakao di Indonesia pada tahun 2013 tercatat 1.709.050 ha dan sebagian besar (92.7 %) dikelola oleh rakyat. Sejak tahun 2012, Indonesia merupakan negara dengan luas pertanaman kakao ke 4 dunia dengan total areal 1.677.254 ha dan menempati urutan terbesar ke 2 penghasil kakao dunia dengan total produksi 877.296 ton, tapi produktivitas dan mutunya masih sangat rendah. Rata-rata

  • 1

  produktivitasnya hanya 532.17 kg.ha , sedangkan Pantai Gading produktivitasnya

  • 1 sudah mencapai 1,5 t.ha (Anonim, 2014).

  Produksi kakao terbesar berasal dari Pulau Sulawesi yang menyumbang 64 % total produksi nasional. Sulawesi Selatan merupakan salah satu sentra produksi utama kakao di Indonesia, tercatat areal pertanaman kakao Sulawesi Selatan pada tahun 2011 sekitar 262.542 ha dan pada tahun 2012 mengalami peningkatan menjadi 275.723 ha, dan produksi mengalami kenaikan dari 172.083 ton menjadi 196.695 ton (Anonim, 2013). Meskipun terjadi kenaikan produksi akibat ekstensifikasi, namun secara umum telah terjadi penurunan kemampuan produksi dan produktivitas tanaman kakao di tingkat petani. Penurunan kemampuan produksi dan produktivitas tanaman disebabkan karena sebagian besar tanaman semakin tua, pengelolaan tanaman oleh petani sangat rendah, seperti pemupukan, pemangkasan, sanitasi kebun dan panen yang sering terlambat. Kondisi yang demikian mengakibatkan penurunan populasi tanaman per hektar akibat kematian tanaman oleh kekeringan dan penyakit

  

vascular streak dieback (VSD), tingginya tingkat kerusakan bantalan buah pada

  batang utama dan cabang primer, terciptanya kondisi ekologis yang memungkinkan berkembangnya hama dan penyakit utama kakao seperti penggerek buah kakao (PBK), tikus, busuk buah dan VSD yang sangat tinggi dan cepat menyebar (Nasaruddin, 2009).

  Upaya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas kakao, menjadikan perbanyakan tanaman yang bermutu tinggi tidak dapat diabaikan dalam budidaya tanaman kakao. Perbanyakan tanaman kakao dapat dilakukan secara generatif (biji) maupun vegetatif, namun demikian perbanyakan secara generatif merupakan cara yang paling banyak dilakukan oleh petani kakao, karena selain mudah untuk dikerjakan juga resiko kegagalan rendah (Soedarsono, 1999).

  Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah bibit kakao yang mempunyai kualitas kurang baik, salah satunya disebabkan karena masalah pemupukan khususnya pupuk fospor (P), yang sebagaimana diketahui bahwa unsur hara P berfungsi untuk mempercepat pertumbuhan akar semai, memacu dan memperkuat pertumbuhan tanaman dewasa, dan meningkatkan produksi biji-bijian (Susanto, 1994).

  Fospor merupakan salah satu unsur hara makro yang penting untuk tanaman karena diperlukan untuk membangun molekul-molekul seperti asam nukleat, berperan penting sebagai unsur utama dalam pemindahan energi dan pengaturan reaksi-reaksi ensimatis serta reaksi metabolisme lainnya (Novisan, 2002).

  Menurut Sutejo (1998), bahwa unsur P dalam tanah kesediaannya sangat sedikit dan mudah terikat oleh aluminium (Al) dan besi (Fe) sehingga unsur P sukar diserap oleh tanaman. Kekurangan unsur P dapat menghambat penyerapan unsur nitrogen (N) karena akar tanaman tidak mendapatkan energi yang cukup untuk proses penyerapan hara. Karena adanya berbagai faktor seperti jerapan, pengendapan, maka dari 80 – 90 % yang seharusnya dapat dimanfaatkan oleh tanaman hanya sedikit saja yang benar-benar tersedia untuk tanaman. Untuk alasan itu simbiosis cendawan mikoriza arbuskula (CMA) menjadi salah satu bahan yang sangat berpengaruh pada tanaman, artinya dalam kaitannya pasokan P mengikat hifa CMA dari akar ke dalam tanah yang menjadikan akar mampu menyerap unsur hara P kedalam akar tanaman.

  Banyak penelitian yang membuktikan bahwa CMA mampu meningkatkan serapan hara, baik hara makro maupun hara mikro, sehingga penggunaan CMA dapat pupuk buatan. Tanaman yang ber CMA dapat menyerap pupuk P lebih tinggi (10 – 27 %) dibandingkan dengan tanaman yang tidak berMA (0,4 – 13 %), penggunaan CMA pada tanaman pertanian dapat menghemat pengunaan pupuk nitrogen 50 %, pupuk fospat 27 % dan pupuk kalium 20 %. Meningkatnya efisien pemupukan dengan adanya CMA di akar tanaman, karena CMA dapat memperpanjang dan memperluas jangkauan akar terhadap penyerapan unsur hara, maka serapan hara tanaman pun meningkat sehingga hasilnya juga akan meningkat (Husin dan Marlis, 2000).

  Ketersediaan unsur hara P bagi tanaman menjadi masalah karena unsur P lebih banyak terikat oleh tanah sehingga sangat sulit diserap oleh tanaman. Keberadaan CMA diharapkan dapat membantu dan mengatasi masalah pemupukan P pada tanaman. Berdasarkan hal tersebut diatas maka dilaksanakan penelitian untuk mengetahui pengaruh CMA terhadap pertumbuhan bibit kakao.

  

Tujuan dan Kegunaan

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan tiga klon bibit kakao yang diaplikasi cendawan mikoriza arbuskula. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi mengenai aplikasi cendawan mikoriza arbuskula untuk mendapatkan pertumbuhan bibit tanaman kakao yang optimal dan sebagai bahan pembanding untuk penelitian selanjutnya.

  

Hipotesis

  1. Terdapat satu klon yang memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap pertumbuhan bibit kakao.

  2. Terdapat satu dosis cendawan mikoriza arbuskula yang memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap pertumbuhan bibit kakao.

  3. Terdapat interaksi antara klon dengan dosis cendawan mikoriza arbuskula yang mem-berikan pengaruh yang lebih baik terhadap pertumbuhan bibit kakao.

  

Tempat dan Waktu

  Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Timungang Lompoa Kecamatan Mallimongan Tua, Kota Metro Makassar Propinsi Sulawesi Selatan. Berlangsung mulai Juni hingga September 2014.

  

Bahan dan Alat

  Bahan yang digunakan adalah benih kakao klon Sulawesi 1, Sulawesi 2 dan Lokal, pasir steril, polybag ukuran 20 cm x 15 cm, mikoriza arbuskular jenis Tehnofert dan kertas label.

  Alat yang digunakan adalah meteran, timbangan digital, kamera dan alat tulis menulis.

  Penelitian dilaksanakan dalam bentuk percobaan faktorial dua faktor yang disusun berdasarkan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Faktor pertama adalah klon (K), terdiri atas tiga klon yaitu: k

  1 = Sulawesi 1, k 2 = Sulawesi 2 dan k 3 = Lokal.

  

Faktor kedua adalah dosis cendawan CMA (M), terdiri atas enam taraf, yaitu: m = 0,0 g

-1 -1 -1 -1 tanaman (kontrol), m 1 = 3,0 g tanaman , m 2 = 6,0 g tanaman dan m 3 = 9,0 g tanaman .

Sehingga terdapat 12 kombinasi perlakuan yang diulang 3 kali, yang terdiri atas masing-

masing 2 unit sehingga seluruhnya terdapat 72 tanaman yang diamati.

  Untuk mengetahui perbedaan pengaruh dari masing-masing perlakuan yang diamati dilakukan analisis uji F pada tingkat ketelitian 5 %. Hasil analisis uji F masing-masing perlakuan maupun interaksinya yang menunjukkan pengaruh nyata atau sangat nyata, dilanjutkan dengan uji beda nyata jujur (BNJ) dengan tingkat ketelitian 5 % (Sastrosupadi, 1995).

  

Pelaksanaan

Persiapan Media dan Benih

  Sebelum penanaman benih dilakukan, terlebih dahulu disiapkan media tanam berupa pasir steril ke dalam polibag. Selanjutnya benih yang digunakan adalah benih yang berasal dari klon sesuai perlakuan dengan memilih benih yang diambil dari bagian tengah buah kakao.

  Penanaman

  Penanaman benih kakao dilakukan ke dalam polybag yang berisi pasir sebagai media tumbuh sesuai dengan perlakuan. Aplikasi CMA dilakukan sesuai perlakuan satu minggu setelah benih kakao ditanam, selanjutnya dilakukan pemeliharaan tanaman berupa penyiraman, penyiangan dan pencegahan hama dan penyakit.

  Parameter pengamatan meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, dan luas daun.

  

Hasil

Tinggi Tanaman

  Hasil pengamatan tinggi tanaman dan sidik ragam umur 3 bulan setelah diaplikasi CMA menunjukkan bahwa perlakuan klon berpengaruh tidak nyata, dosis CMA berpengaruh tidak nyata, interaksi antara klon dengan dosis CMA berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman kakao. Gambar 1. Histogram ti tinggi tanaman (cm) kakao umur 3 bulan pada kl da klon dan dosis CMA.

  Histogram pada da gambar 1 menunjukkan bahwa kombinasi pe perlakuan klon

  • -1

  Sulawesi 2 dengan CM MA 9,0 g tanaman (k

  2 m 3 ) cenderung meng-ha -hasilkan tinggi

  tanaman tertinggi yaitu tu 10,63 cm. K ombinasi perlakuan klon Sulaw awesi 2 dengan

  • 1

  CMA 0,0 g tanaman (k (k m ) cenderung menghasilkan tinggi tanaman t n terendah yaitu

  2 6,83 cm.

  Jumlah Daun

  Hasil pengamata atan jumlah daun dan sidik ragam umur 3 bul 3 bulan setelah diaplikasi CMA menunjukka nunjukkan bahwa perlakuan klon berpengaruh nyata ata, dosis CMA berpengaruh tidak nyata, ata, interaksi antara klon dengan dosis CMA berpe rpengaruh tidak nyata terhadap jumlah da h daun tanaman kakao. Tabel 1. Rata-rata juml umlah daun (helai) tanaman kakao umur 3 bulan pa n pada klon dan dosis CMA.

  A.

  • 1

  Klon Dosis CMA (g tanaman ) Rata- NP BNJ 0 (m 0 (m ) 3,0 (m

  

1 ) 6,0 (m

2 ) 9,0 (m 3 ) rata α 0,05 α 0,05 α 0,05 b

  Sulawesi 1 (k

  1 ) 6,83 6, 7,50 8,33 8,50 10,39 2,02 a

  Sulawesi 2 (k

  2 ) 7, 7,33 8,33 8,83 9,67 11,39 a

  Lokal (k ) 8,83 8, 9,50 10,17 10,33 12,94

  Hasil uji beda n nyata jujur α 0.05 pada Tabel 1, menunjukkan ukkan bahwa klon Lokal (k

  3 ) menghasilkan kan rata-rata jumlah daun tertinggi yaitu 12,94 he 12,94 helai, berbeda

  tidak nyata dengan klon on Sulawesi 2 (k

  2 ). Klon Sulawesi 1 (k 1 ) menghas asilkan rata-rata

  jumlah daun terendah ya yaitu 10, 39 helai,

  Diameter Batang

  Hasil pengamata atan diameter batang dan sidik ragam umur 3 3 bulan setelah diaplikasi CMA menunj nunjukkan bahwa perlakuan klon berpengaruh tidak dak nyata, dosis CMA berpengaruh tida tidak nyata dan interaksi antara klon dengan gan dosis CMA berpengaruh tidak nyata t ta terhadap diameter batang tanaman kakao.

  Gambar 2. Histogram di diameter batang (cm) tanaman kakao umur 3 bul bulan pada klon dan dosis C s CMA.

  Histogram pada da gambar 2 menunjukkan bahwa kombinasi pe perlakuan klon

  • -1

  Sulawesi 2 dengan CMA MA 9,0 g tanaman (k

  2 m 3 ) cenderung menghasi asilkan diameter

  batang tanaman terbesa esar yaitu 0,38 cm. K ombinasi perlakuan klon klon Sulawesi 1

  • 1

  dengan CMA 0,0 g ta tanaman (k m ) cenderung menghasilkan dia diameter batang

  1 terkecil yaitu 0,12 cm. .

  Luas Daun

  Hasil pengamatan tan luas daun dan sidik ragam umur 3 bulan sete etelah diaplikasi CMA menunjukkan bahwa bahwa perlakuan klon berpengaruh tidak nyata, ta, dosis CMA berpengaruh tidak nyata ata dan interaksi antara klon dengan dosis CMA A berpengaruh tidak nyata terhadap luas uas daun tanaman kakao. Gambar 3. Histogram luas daun tanaman kakao umur 3 bulan pada klon dan dosis cendawan CMA.

  Histogram pada gambar 3 menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan klon

  • 1

  Sulawesi 2 dengan CMA 9,0 g tanaman (k

  2 m 3 ) cenderung menghasilkan luas daun

  tanaman terbesar yaitu 9,49. K ombinasi perlakuan klon Sulawesi 1 dengan CMA 0,0

  • 1

  g tanaman (k 1 m ) cenderung menghasilkan luas daun tanaman terkecil yaitu 7,57.

  

Pembahasan

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa klon Sulawesi 2 dengan CMA 9,0 g

  • 1

  tanaman cenderung menghasilkan tinggi tanaman tertinggi yaitu 10,63 cm, diameter batang tanaman terbesar yaitu 0,38 cm, luas daun tanaman terbesar yaitu 9,49. Sedangkan klon Lokal menghasilkan rata-rata jumlah daun tertinggi yaitu 12,94 helai.

  Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sasli (2004), bahwa inokulasi CMA dapat meningkatkan pertumbuhan bibit kakao menjadi lebih baik yang terlihat dari tingginya nilai rata-rata untuk hampir semua peubah yang diamati dibanding bibit kakao yang tidak diberi CMA. Aplikasi CMA pada bibit kakao dapat meningkatkan bobot kering tajuk dan akar masing-masing sebesar 144.7 % dan 190 % terhadap kontrol. Efisiensi penggunaan air juga tertinggi untuk bibit kakao yang mendapat perlakuan inokulasi CMA, yang dapat mencapai 149.2 % dari nilai kontrol untuk taraf kekeringan 70 % air tersedia. Ini menunjukkan bahwa bibit yang diinokulasi CMA tidak mengalami cekaman kekeringan oleh karena adanya hifa eksternal CMA yang masih dapat menyerap air dari pori-pori tanah.

  Tanaman yang dinokulasi CMA terbukti mampu bertahan pada kondisi stres air yang hebat karena jaringan hifa eksternalnya akan memperluas permukaan serapan air dan mampu menyusup ke pori kapiler sehingga serapan air untuk kebutuhan tanaman inang meningkat (Anonim, 2012). Penelitian yang dilaksanakan Anonim (2009), juga menunjukkan bahwa pada perlakuan tanaman uji, mikoriza telah mampu menginfeksi perakaran bibit tanaman kakao. Perakaran tanaman yang telah terinfeksi CMA mempunyai bentuk fisik yang lebih baikdan membentuk luas serapan akar yang lebih besar. Hal ini meningkatkan kemampuan tanaman dalam menyerap air dan unsur hara baik makro maupun mikro, CMA memberi manfaat pada pertumbuhan dan hasil tanaman dengan cara meningkatkan kemampuan tanaman untuk mendapatkan hara yang ada dalam tanah, yaitu dengan meningkatnya penyerapan unsur hara terutama P.

  Sutopo (1998), menjelaskan bahwa perkecambahan benih dimulai dengan munculnya pertumbuhan aktif yang menghasilkan pecahnya kulit biji dan munculnya semai. Perkecambahan dan munculnya semai memerlukan energi yang tinggi lewat respirasi cadangan makanan biji, energi dalam ikatan kimia pada karbohidrat, lemak dan protein dilepaskan oleh pencernaan dan fosforilasi oksidatif, yang menghasilkan nukleotida berenergi tinggi. Perkecambahan benih dipengaruhi oleh beberapa faktor benih, dormansi, dan penghambat perkecambahan. Sedangkan faktor luar terdiri dari; air, temperatur, oksigen, dan cahaya. Dalam jaringan penyimpanan benih memiliki karbohidrat dan mineral sebagai bahan baku dan energi bagi embrio saat perkecambahan. Benih yang berukuran besar dan berat mengandung cadangan makanan yang lebih banyak dibanding benih yang lebih kecil sehingga mempengaruhi kecepatan pertumbuhan dan produksi.

  Wilkins (1988), menyatakan bahwa saat perkecambahan benih terjadi proses katabolisme dan anabolisme yang dikendalikan oleh suatu enzim sehingga sangat responsif pada temperatur. Perkecambahan benih membutuhkan tingkatan oksigen yang tinggi. Kebanyakan species memberikan respon yang baik terhadap komposisi udara normal yakni 20 % O

  2 dan 0,03 % CO 2 . Sedangkan kebutuhan benih terhadap

  cahaya berbeda-beda, benih kakao akan berkecambah baik dalam cahaya maupun tanpa cahaya.

  Medium perkecambahan yang baik harus mempunyai sifat fisik yang baik, gembur, memiliki kemampuan menyerap air, dan bebas dari organisme penyebab penyakit. Benih kakao bersifat epigeal, oleh karena itu dalam meletakkan benih secukupnya sehingga sebagian kecil muncul dipermukaan tanah atau sepertiga bagian benih, hal ini dimaksudkan agar embrio tidak banyak kehilangan energi untuk mengangkat keping biji ke atas permukaan tanah (Muljana, 1998).

  Benih kakao mulai berkecambah setelah berumur 4 - 5 hari dipersemaian dan bila benih mulai berkecambah lebih dari 12 hari tidak digunakan sebagai bahan tanam karena termasuk kecambah tidak normal. Bibit adalah benih yang sudah berkecambah, disamping itu dalam arti praktis benih juga dipakai untuk alat reproduksi. Jadi bibit dapat berasal dari perbanyakan secara generatif (biji) maupun vegetatif. Pertumbuhan bibit kakao yang baik, selain ditentukan oleh mutu benih juga ditentukan oleh pemeliharaan yang intensif selama persemaian dan pembibitan. Bibit kakao di pesemaian membutuhkan naungan 75 - 80 %, dan dikurangi sedikit demi sedikit sampai bibit sudah dipindahkan ke lapangan,agar tanaman muda dapat beradaptasi dengan keadaan lingkungan di lapangan (Kamil,1999).

  Menurut Nasaruddin (2009), bibit yang dapat dipindahkan ke pertanaman adalah bibit yang sehat dan pertumbuhan yang normal dan diharapkan dapat beradaptasi dengan cepat pada lingkungan pertumbuhan yang baru. Bibit yang dapat dipindahkan ke pertanaman adalah : umur bibit 3 – 6 bulan, diameter batang minimal 1,0 cm, jumlah daun 12 helai dan tinggi tanaman 25 cm – 60 cm.

  

Kesimpulan

  Berdasarkan pada hasil penelitian yang telah dilaksanakan, maka dapat disimpulkan bahwa:

  1. Klon Sulawesi 2 memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap tinggi tanaman, diameter batang, dan indeks luas daun bibit kakao. Sedangkan klon Lokal menghasilkan rata-rata jumlah daun tertinggi.

  • 1

  2. Dosis fungi CMA 9,0 g tanaman memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap

  • 1

  3. Interaksi antara klon Sulawesi 2 dengan fungi CMA 9,0 g tanaman cenderung menghasilkan tinggi tanaman tertinggi yaitu 10,63 cm, diameter batang tanaman terbesar yaitu 0,38 cm, luas daun tanaman terbesar yaitu 9,49.

  

Saran

  Untuk mendapatkan pertumbuhan bibit kakao yang baik disarankan untuk

  • 1 menggunakan klon Sulawesi 2 yang diaplikasi fungi CMA 9,0 g tanaman .

  Anonim, 2009. Pengembangan Metode Formulasi Jamur MA: Pengembangan- metode-formulasi-jamur-MA &catid=6:iptek&Item id=24.

  • -, 2012. http://wulan-berbagi-ilmu.blogspot.com/2012/02/mikoriza.html. Di

  akses pada tanggal 6 Juli 2014.

  • , 2013. Statistik Perkebunan Indonesia 2010-2011. Direktorat Jenderal Perkebunan Indonesia, Departemen Pertanian, Jakarta.
  • , 2014. Luas Areal Panen, Produksi dan Produktivitas Tanaman Kakao Indonesia, Direktorat Jenderal Perkebunan. Departemen Pertanian, Jakarta.

  Husin, E. F. dan Marlis, R. 2002.Aplikasi Cendawan Mikoriza Arbuskular sebagai pupuk biologi pada pembibitan kelapa sawit. Prosiding Seminar Nasional BKS PTN Wilayah Indonesia Barat, FP USU Medan. Kamil J., 1999. Teknologi Benih I, Angkasa Bandung. Mulyana W., 1998. Bercocok Tanam Coklat. Aneka Ilmu, Semarang. Nasaruddin, 2009. Kakao, Budidaya dan Beberapa Aspek Fisiologisnya. Yayasan

  FOResT Indonesia dan Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Makassar. Novisan, 2002. Petunjuk Pemupukan yang Efektip. PT Agromedia Pustaka. Jakarta. Sasli, I. 2004. Peranan Mikoriza Vesikula Arbuskula (MVA) dalam Peningkatan

  Resistensi Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan.Makalah pribadi Pengantar ke Falsafah Sains (PPS702),Institut Pertanian Bogor. Sastrosupadi A., 1995. Rancangan percobaan praktis untuk bidang pertanian.

  Kanisius, Yogyakarta. Soedarsono, 1999. Pengangkutan Benih Coklat Dalam Bentuk Biji Tanpa Kulit.

  Warta Balai Penelitian Perkebunan, Jember. Susanto, 1994. Tanaman Kakao dan Pengolahan Hasil. Kanisius. Yogyakarta. Sutedjo M., 1998. Pupuk dan Cara Pemupukan, Rineka Cipta, Jakarta. Sutopo L., 1998. Teknologi Benih. Rajawali Press, Jakarta. Wilkins M. M., 1988. Physiologi of Plant Growth. Terjemahan Mulyani Sutedjo dan A. G. Kartasapoetra. Bina Aksara, Jakarta.