ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOM

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 33/PUU-XIII/2015 TERKAIT
KONSTITUSIONALITAS POLITIK DINASTI DI INDONESIA
DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
Rilo Pambudi. S

Uraian Kasus
Pasca reformasi pada 1998, Indonesia menuju negara yang lebih demokratis.
Merupakan tonggak sejarah akan jaminan Hak Asasi Manusia yang kemudian
diakomodir melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
dan Empat kali amandemen UUD. Salah satu hak yang dijamin tersebut adalah terkait
hak politik seseorang untuk dipilih maupun memilih, yakni hak yang menjadi
legitimite bagi seseorang untuk menduduki kursi jabatan dalam pemerintahan.
Alih-alih berharap lepas dari kekangan sentralitas dan otoritarianisme masa
Orde Baru, ternyata muncul persoalan baru dalam upaya demokratisasi pemerintahan
yakni berupa politik dinasti. Meskipun dalam historisnya telah mengakar sejak lama
seiring hadirnya demokrasi modern. Bahkan Negara Amerika sekalipun yang dirasa
sebagai negara paling demokratis tidak luput dari praktik dinasti politik. Di negara
lain seperti Filipina hampir 80 provinsi terindikasi politik tersebut, di mana 74 persen
wakil rakyatnya terpilih karena adanya politik dinasti.
Di Indonesia sendiri, politik dinasti seakan menjadi fenomena yang familiar.
Pesta demokrasi yang diadakan 5 tahun sekali baik tingkat nasional dan lokal seakan

sulit dipisahkan dengan praktik tersebut. Sebut saja dinasti politik yang dibangun
oleh Ratu Atut Chosiah ketika menjabat Gubernur Banten Periode 2007-2012. Dalam
periode yang hampir bersamaan suaminya menjabat sebagai anggota DPR, anak
sebagai anggota DPD, menantu duduk di kursi DPRD Kota Serang, dan 6 anggota
keluarga lainnya, seakan membentuk lingkaran kekuasaan keluarga.
Padahal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
Dan Walikota Menjadi Undang-Undang telah membatasi politik dinasti sebagaimana
termuat dalam Pasal 7 huruf r, bahwa syarat untuk mencalonkan diri sebagai kepala
daerah tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Adapun yang dimaksud
dengan frasa di atas dijabarkan dalam penjelasan sebagai berikut Yang dimaksud
dengan “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” adalah tidak memiliki
hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat
luruske atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua,
paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu)
kali masa jabatan.
Namun, sebagai negara yang mengakui jaminan akan Hak Asasi Manusia bisa
dikatakan sebagai konsekunsi logis bahwa pemerintahan hari ini sangat erat dengan
politik kekerabatan meskipun telah ada larangannya. Ini pula yang mendasari Adnan

Purichta Ichsan anggota DPRD Sulawesi Selatan yang juga merupakan anak dari Bupati
Gowa Sulawesi Selatan, Ichsan Yasin Limpoyang untuk mengajukan uji materil UU No.
8 Tahun 2015, salah satunya berkaitan dengan Pasal 7 huruf r dan penjelasannya yang
dinilai mengekang hak setiap warga negara untuk duduk di kursi pemerintahan yang
merupakan jaminan atas persamaan di dalam pemerintahan dan hukum sebagaimana
diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD, pada 20 Februari 2015 lalu.

Adnan bersama dua kuasa hukumnya menilai aturan tersebut melanggar hak
konstitusionalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan
(3), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28J tentang kewajiban asasi. Dalam alasannya
disebutkan bahwa pembatasan sebagaimana diatur Pasal 7 huruf r UU No. 8 Tahun
2015 tidak memenuhi Pasal 28J sebab tidak ditujukan untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain yang berdasarkan pada nilainilai keadilan. Persyaratan “tidak memiliki kepentingan dengan petahana” juga
dipandang asumtif dan syarat muatan politik sehingga seolah-olah setiap
pemerintahan yang lahir dari hubungan darah ataupun perkawinan merusak tatanan
kehidupan berbangsa tanpa mempertimbangkan unsur akseptabilitas secara objektif.
Lebih jauh dikatakan dalam alasan permohonan poin 4 bahwa hubungan darah
merupakan kodrat ilahi yang hakiki dan asasi, yang menurut agama manapun secara
universal diakui sebagai hubungan yang sacral dan bukan sebagai hubungan yang
menghalangi untuk berkiprah dalam pemerintahan, demikian halnya dengan

hubungan karena perkawinan yang sah.
Di dalam petitumnya, Adnan menuntut hakim untuk mengabulkan bahwa Pasal
7 huruf r dan penjelasannya bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya. Terhadap
tuntutan itu pula Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk dikabulkan atas beberapa
pertimbangan hukum dan menilai tuntutan tersebut beralasan hukum serta pasal
yang diajukan tidak memberikan kepastian hukum dan
potensial merugikan
konstitusional. Atas dasar tersebut menarik untuk dianalisa apakah putusan MK No.
33/PUU-XIII/2015 telah sepenuhnya mencerminkan jaminan hak asasi yang seadiladilnya dan tidak bertentangan dengan jaminan Hak Asasi Manusia khususnya dalam
negara yang menerapkan prinsip demokrasi. Terlebih ketika pengajuan ini
berbarengan dengan kepentingan politik pemohon untuk mencalonkan diri pada bursa
pemilihan bupati Gowa menggantikan ayahandanya.
Pendapat Ahli
Politik dinasti atau yang disebut kekuasaan dinasti terjadi ketika sekelompok
orang ingin berkuasa secara kontinuitas, yang seringkali didukung oleh faktor
kekeluargaan. Mosca mengatakan bahwa setiap kelas cenderung untuk menjadi
turun-temurun apabila posisi politik terbuka untuk semua. Menurutnya politik dinasti
merupakan politik berbasis kekerabatan. Dalam praktiknya ada beberapa model
dinasti politik. Koordinator Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah

mengatakan setidaknya ada tiga. Pertama, model arisan yaitu kekuasaan hanya
terkonsentrasi pada satu keluarga dan terjadi secara regenerasi. Kiranya ini lebih
cocok dengan pemerintahan Monarkhi yang didasarkan pada keturunan. Sebagaimana
diungkapkan oleh Leon Duguit dalam bukunya Traitede Droit Contitusionel yang
dikutip kembali oleh Prof. Abu Daud Busraoh dalam bukunya Ilmu Negara halaman 59
bahwa Monarchie apabila pengangkatan kepala negara secara turun-temurun dan
berdasarkan keturunan.
Kedua, dinasti politik lintas kamar dengan cabang kekuasaan di mana anggota
keluarga memegang posisi strategis. Misalnya ayah menjabat gubernur dan anak

sebagai DPRD. Ketiga, model lintas daerah yakni pada beberapa daerah yang berbeda
dipimpin oleh satu keluarga.
Marcus Mietzner dalam Indonesia’s 2009 Elections: Populisme, Dynasties and
the Consolidation of the Party System menyebutkan kecenderungan dinasti politik
sangat menguat dalam politik kontemporer Indonesia. Beliau menganggap ini
menjadikan demokrasi tidak sehat dan pelemahan terhadap sistem check and
balances.
Namun dalam perspektif sosiologi hukum, bahwa setiap perubahan sosial ada
kalanya terjadi karena kuatnya rasa solidaritas. Politik dinasti dapat juga dipahami
sebagai akibat dari solidaritas sosial masyarakat. Emile Durkheim menyebutkan salah

satu bentuk solidaritas itu bersifat mekanis, ia berkembang pada masyarakat yang
sederhana dan homogen berdasarkan hubungan-hubungan pribadi serta tujuan yang
sama. Artinya dinasti politik tidak melulu berkisar pada dominasi kekuasaan oleh elit
politik yang mewariskan kekuasaan kepada keluarganya tetapi berkaitan pula dengan
konstruksi sosial masyarakat dalam sebuah relasi sosial yang mencerminkan rasa
keadilan tanpa membeda-bedakan.
Keluarnya Putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015 menjadi legalitas konstruksi
tersebut, hal ini terlihat pada salah satu pertimbangan hukumnya yang menyebutkan:
“Bahwa dengan rumusan yang maksudnya sebagaimana diterangkan
oleh pembentuk Undang-Undang tersebut, Pasal 7 huruf r dan Penjelasan
Pasal 7 huruf r UU 8/2015 juga mengandung muatan diskriminasi. Ketentuan
a quo nyata-nyata (dan diakui oleh pembentuk Undang-Undang) memuat
pembedaan perlakuan yang semata-mata didasarkan atas kelahiran dan status
kekerabatan seseorang. Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Setiap
orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa
pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu”. Dengan demikian Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7
huruf r UU 8/2015 bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Memang
benar bahwa tidak setiap pembedaan serta-merta berarti diskriminasi.
Namun, dalam kasus a quo, tampak nyata kalau pembedaan tersebut dibuat

semata-mata didasari oleh maksud untuk mencegah kelompok orang tertentu
(in casu anggota keluarga kepala daerah petahana) untuk menggunakan hak
konstitusionalnya (in casu hak untuk dipilih atau mencalonkan diri, right to
be candidate) dan dilakukan dengan cara yang tidak memenuhi ketentuan
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.”
Pada dasarnya terkait penghapusan larangan politik dinasti berdasarkan
putusan MK ini menuai berbagai pandangan dari kalangan Pakar. Salah satunya
datang dari Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Mahfud MD. Beliau menyatakan putusan
oleh Mahkamah Konstitusi terhadap penghapusan pembatasan hak politik bagi
keluarga incumbent sangat tepat. Maenurutnya tidak boleh ada larangan bagi
keluarga pejabat untuk mencalonkan diri, sepanjang dia memiliki kapasitas yang
lebih baik dari yang digantikannya. Hal ini dilandasi bahwa setiap orang yang terpilih
telah melalui mekanisme pemilihan suara terbanyak oleh rakyat sehingga terpilihnya
keluarga petahana telah mendapat legitimasi dari mayoritas masyarakat.

Sependapat dengan pandangan di atas, Prof. Saldi Isra dalam keterangannya
sebagai saksi ahli dalam permohonan uji materil tersebut menyatakan bahwa ada dua
hal mendasar dari petahana. Pertama, petahana merupakan posisi yang paling rawan
untuk disalahgunakan. Kedua, dari Putusan MK terkait uji materil terhadap UU Pemda
dan UU Pemilihan Anggota Legislatif, dapat disimpulkan pembatasan kekuasaan

petahana ditujukan agar tidak disalahgunakan tetap harus menghormati hak yang
melekat pada dirinya. Artinya pembatasan itu ditujukan pada kekuasaan yang
dipegangnya bukan kepada pihak lain dan harus diatur secara proporsional. Karena
itu, pembatasan terhadap petahana agar tidak menyalahgunakan kekuasaan dan
menguntungkan keluarganya merupakan keharusan. Namun membatasi hak
keluarganya tidaklah kebijakan yang tepat, sebab keluarganya bukan merupakan
pemegang kekuasaan tersebut sehingga tidak mungkin menyalahgunakan kuasanya
bahkan pengaturan ini cenderung tidak proporsional.
Kiranya benar yang dikatakan oleh Prof. Darji Darmodiharjo dalam bukunya
Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia halaman 155, bahwa setiap orang
memiliki hak yang sama dalam hak memilih dan dipilih sebagaimana diamanatkan
oleh konstitusi. Pencabutan hak untuk mencalonkan diri adalah dengan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan bersifat tidak kolektif sebagai hukum
tambahan, sehingga apapun alasannya hukum adalah sarana sedangkan tujuannya
agar terciptanya keadilan bagi segenap masyarakat.
Meski begitu tidak sedikit pula yang menyayangkan penghapusan pasal
tersebut. Semisal Prof. Jimly Asshiddiqie yang menilai penghapusan itu menjadi
kemunduran dan bentuk legalitas dari praktik dinasti politik di Indonesia. Bahkan
mengarah pada semakin kuatnya budaya feodal dalam kehidupan masyarakat.
Todung Mulya Lubis dalam Antara Politik Uang dan Politik Dinasti

menyebutkan bahwa dinasti politik yang ditemukan di berbagai daerah menunjukkan
suara rakyat tidak lagi berharga. Niat untuk berkuasa selamanya hakikatnya anti
terhadap demokrasi karena menghambat hak orang lain untuk menjalankan
pemerintahan. Apalagi jika ditopang oleh perusahaan maka akan sulit untuk
dikalahkan. Jadi, persaingan politik semakin tersisihkan dan pemilihan hanya sebagai
permainan elektoral yang tak akan membawa perubahan. Akhirnya istri, anak, ipar,
menantu, dan sedulur akan bergiliran menguasai pemerintahan. Artinya menguasai
seluruh sumberdaya baik politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Dalam hal ini sulit
memahami mengapa Mahkamah Konstitusi menolak untuk menghentikan dinasti
politik.
Bisa saja dikatakan penghapusan pasal dinasti politik layaknya dua sisi mata
uang yang saling membelakangi. Pada bagian yang satu memang menjamin
persamaan hak dan keadilan bagi masyarakat untuk dipilih dan memilih. Namun pada
bagian yang lain mengakarnya budaya dinasti, semakin menutup sirkulasi pengisian
jabatan oleh masyarakat lain yang juga memiliki hak yang sama.
Analisis
Pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.
Artinya segala tindak tanduk penyelenggaraan negara dan kehidupan sosial harus
berlandaskan pada norma hukum yang berlaku. Sebagai negara yang mendasarkan


pada konstitusi tidak dapat dipisahkan dari prinsip konstitusionalisme, yaitu
pemikiran yang menghendaki pembatasan kekuasaan dan jaminan terhadap
penegakan dan penghormatan Hak Asasi Manusia melalui sebuah konstitusi.
Berdasarkan prinsip konstitusionalisme semua pemegang kekuasaan harus dibatasi.
Carl Julius Friederich mengatakan konstitusionalisme adalah gagasan bahwa
pemerintahan merupakan suatu kumpulan aktivitas yang diselenggarakan atas nama
rakyat, tetapi tunduk pada beberapa pembatasan yang dimaksudkan untuk memberi
jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak
disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah. Maka dalam
hal ini tidak ada satu pihak atau lembaga yang boleh memiliki kekuasaan absolute.
Karena kekuasaan yang tanpa batas cenderung disalahgunakan seperti yang dikatakan
Lord Acton ”Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely” artinya
kekauasaan itu cenderung disalahgunakan dan kekuasaan yang tidak terbatas
cenderung terjadi penyalahgunaan tanpa batas pula.
Pada konteks dinasti politik telah nyata bahwa mengarah pada tercapainya
suatu kekuasaan tanpa batas meskipun melalui proses regenerasi. Kita perlu belajar
dari historikal perjuangan reformasi yang bertolak pada otoritarianisme Soeharto,
Beliau telah mendalihkan untuk melaksanakan UUD secara murni dan konsekuen. Di
mana saat itu konstitusi Indonesia belum mengatur pembatasan kekuasaan sehingga
Soeharto melenggang bebas selama 32 tahun tanpa ada yang mengusik. Maka dalam

hal ini yang menjadi persoalan bukan sekedar pemenuhan hak konstitusionalitas yang
hendak mencalonkan diri dalam bursa pemilihan umum baik tingkat nasional maupun
regional, tetapi bagaimana ke depan kekuasaan itu digunakan. Sejarah membuktikan
tidak terlaksananya sirkulasi tampuk kekuasaan mengakibatkan kekuasaan itu
cenderung disalahgunakan.
Apabila kekuasaan dihubungkan dengan hukum, maka paling tidak ada dua hal
yang menonjol menurut Prof. Soejono Soekanto dalam bukunya Pokok-Pokok Sosiologi
Hukum. Salah satunya adalah para legislator, penegak hukum, dan pelaksana hukum
adalah masyarakat yang mempunyai kedudukan yang mengandung unsur-unsur
kekuasaan. Akan tetapi, mereka tak dapat menggunakan dengan sewenang-wenang
karena ada pembatasan tentang peranan yang ditentukan oleh cita-cita keadilan
masyarakat dan oleh pembatasan praktis dari penggunaan kekuasaan itu sendiri.
Artinya para sosiolog juga meyakini bahwa suatu kekuasaan memang sejatinya
harus dibatasi agar tidak mengarah pada kemunduran berdemokrasi yang tidak
mencerminkan cita-cita keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bila dikatakan dinasti politik mencerminkan konstruksi sosial, malah
sebaliknya mengarah pada dekontruksi sosial. Politik Dinasti akan mengakibatkan
masalah sosiologis dalam realitas masyarakat. Kekuasaan hanyalah pintu masuk alat
kekuasaan ekonomi politik dikuasai oleh suatu keluarga pejabat tersebut. Hal ini
akan menjadi masalah yang fundamen karena tidak mampu membawa perubahan

sosial ekonomi bagi mayarakat luas. Kekuasaan dijadikan tameng untuk menguasai
hajat hidup masyarakat hanya untuk menguntungkan keluarganya. Padahal telah
jelas bahwa hukum merupakan sarana untuk mencapai kemakmuran rakyat seluasluasnya bukan hanya pada sekelompok orang atau cenderung pada kekuasaan

elitisme. Seperti yang dikatakan Jeremy Bentham bahwa hukum bertujuan menjamin
kebahagiaan bagi sebanyak banyaknya orang/masyarakat.
1) Politik Dinasti Lebih Dekat dengan Korupsi
Seorang filsuf Inggris, Bertrand Rusell mengatakan dinasti politik melahirkan
orang-orang yang kecanduan akan kekuasaan. Pada akhirnya menggunakan berbagai
cara untuk menduduki jabatan tertentu. Sehingga dalam hal ini tidak ada jaminan
ketika pendahulunya mampu memberikan kemajuan akan terulang pada penerus
kekuasaan bahkan dalam satu lingkungan keluarga sekalipun. Dapat saja malah
menghabiskan berbagai sumberdaya namun tidak memberi perbaikan ekonomi dan
pembangunan.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa dinasti politik cenderung
disalahgunakan namun lebih daripada itu juga menciptakan ketidakadilan dalam
kehidupan berdemokrasi dan efektivitas penyelenggaraan negara. Salah satunya
adalah mengembangkan perilaku korupsi. Pada dasarnya politik dinasti memerlukan
biaya besar dan menguras berbagai sumberdaya yang ada dalam kekuasaannya.
Kombinasi antara dorongan kebutuhan, niat jahat, dan mentalitas korup ditengarai
sebagai pemicu maraknya korupsi di daerah. Kondisi tersebut akan semakin mudah
bertranformasi menjadi perilaku koruptif jika kesempatan terbuka lebar. Meskipun
belum ada penelitian yang secara riil membuktikan relevansi keduanya namun
realitas dalam masyarakat setidaknya telah menunjukkan indikasi tersebut.
Imai setidaknya mewakili dengan penelitiannya tahun 2004 tehadap korelasi
bisnis keluarga dan politik di negara Thailand. Ia berhasil memaparkan beberapa
tampuk kekuasaan di Thailand erat kaitannya dengan bisnis keluarga. Fakta yang
diperoleh manfaat politik memiliki pengaruh besar dalam perkembangan bisnis
keluarga ketika salah satu keluarganya menjadi pejabat politik. Sehingga
memperkuat indikasi kelompok bisnis yang merajai di Thailand juga dipengaruhi
kebijakan politik yang ada dan secara tidak langsung bertujuan mempengaruhi
kebijakan ekonomi yang berpotensi pada keuntungan yang mengarah pada mereka.
Bahkan pada pertimbangan hukum dalam Putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015,
Hakim juga menyadari akan berbagai keuntungan yang akan diperoleh petahana
ketika membangun dinasti sebagaimana dimaksud dalam kalimat berikut:
“Bahwa, dengan seluruh pertimbangan di atas bukan berarti Mahkamah
menafikan kenyataan di mana kepala daerah petahana (incumbent) memiliki
berbagai keuntungan, sebagaimana dikemukakan oleh Presiden, sehingga
karenanya penting untuk dirumuskan pembatasan-pembatasan agar
keuntungan-keuntungan itu tidak disalahgunakan oleh kepala daerah petahana
untuk kepentingan dirinya (jika ia hendak mencalonkan diri kembali), anggota
keluarganya, kerabatnya, atau kelompok-kelompok tertentu yang dekat
dengannya.”
Faktanya di Indonesia sendiri pengungkapan berbagai kasus korupsi juga
sangat erat kaitannya dengan politik dinasti dan keuntungan yang diperoleh
petahana. Seperti kasus korupsi yang menimpa Tubagus Chaeri Wardana, adik dari
Ratu Atut. Indonesia Corruption Watch menyebutkan bahwa kasus tersebut tak lepas
dari berbagai proyek infrastruktur yang dikuasai Atut. Contoh lain Operasi Tangkap
Tangan KPK terhadap Sri Hartini dan 9 kerabatnya pada 30 Desember 2016 karena
suap jabatan dampak dari 15 tahun budaya politik dinasti yang mengakar di sana.
Telah jelas bahwa dewasa ini, para poltisi tengah membangun pemerintahan
yang oligarki yakni pemusatan kekuasaan pada segelintir orang, dengan proses seleksi
tidak sehat dan prinsip check and balances yang lemah bukan tak mungkin akan

mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan yang koruptif bahkan dengan cara kolektif
sekalipun. Selain itu, politik yang berbasis kekerabatan semakin memperkuat
eksistensi dari feodalisme, bahkan mencerminkan budaya monarkhi. Alih-alih
menciptakan upaya selektif pemimpin yang mengarah pada meritokrasi yakni
pemerintahan yang dibangun atas prestasi dan kemampuan seseorang, yang didapat
budaya nepotisme dan kolusi. Sebab kekuasaan yang terpusat pada satu kelompok
membuka peluang besar pada kesuburan praktik korupsi.
2) Putusan Tidak Mencerminkan Keadilan Substantif
Soedikno Mertokusumo mengatakan pada dasarnya peradilan selalu berkaitan
dengan pengadilan, dan pengadilan bukanlah semata-mata badan, tetapi juga terkait
dengan pengertian yang abstrak yaitu memberikan keadilan. Keadilan sendiri
merupakan antinomi nilai dari kepastian hukum dan kesebandingan hukum yang
berjalan seiringan. Jaminan atas hak asasi manusia merupakan salah satu bentuk
keadilan tersebut. Hal itu pula yang penulis pandang tidak tercermin dalam Putusan
No. 33 ini, yang mana merupakan wujud dari keadilan secara substansial.

Dalam konteks putusan ini, MK mendalihkan bahwa Pasal 7 huruf r
bertentangan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yaitu “Dalam menjalankan
hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Hakim MK

menyebutkan meskipun UUD 1945 memberikan kemungkinan pembatasan hak
konstitusional warga negara atau hak asasi manusia pada umumnya, namun
tetap tunduk pada persyaratan yang ketat sebagaimana diatur dalam Pasal
tersebut. Sedangkan persayaratan itu telah diuraikan dalam putusan lain
Nomor 011-017/PUU-I/2003, yang menegaskan:
“... memang Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 memuat ketentuan dimungkinkannya pembatasan
terhadap hak dan kebebasan seseorang dengan undang-undang, tetapi
pembatasan terhadap hak-hak tersebut haruslah didasarkan atas alasanalasan yang kuat, masuk akal dan proporsional serta tidak berkelebihan.
Pembatasan tersebut hanya dapat dilakukan dengan maksud “semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis”..... Di samping itu persoalan
pembatasan hak pilih (baik aktif maupun pasif) dalam dalam pemilihan umum
lazimnya hanya didasarkan atas pertimbangan ketidakcakapan misalnya
faktor usia dan keadaan jiwa, serta ketidakmungkinan (impossibility)
misalnya karena telah dicabut hak pilihnya oleh putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap dan pada umumnya bersifat individual dan tidak
kolektif.”
Meski begitu, hakim MK kiranya tidak menitikberatkan pada original intents
pasal tersebut. Inkonstitusionalitas larangan politik dinasti yang disampaikan
terkesan tidak sejalan dengan hakikat tujuan dari Pasal 28J itu sendiri. Pembatasan
yang dimaksud dalam pasal 28J yang kemudian dijabarkan dalam Pasal 7 huruf r
adalah untuk semata-mata menjamin pengakuan hak asasi orang lain yang tidak
hanya berkaitan dengan petahana (incumbent) tetapi juga seluruh masyarakat
Indonesia yang berkeinginan mencalonkan diri sebagai pemimpin khususnya kepala

daerah di luar dari kekerabatan petahana. Sebagaimana diungkapkan Santi Dwi
Kartika dalam jurnalnya berjudul Putusan MK Melegalkan Politik Dinasti dalam UU
Pilkada:
“Pasal 7 huruf r dan Penjelasannya dalam UU Pilkada terkait dengan muatan
diskriminatif di dalamnya haruslah dipahami dengan benar terlebih dahulu.
Dalam artian, diskriminatif tidak selamanya berarti perbedaan perlakuan
terhadap warga negara bertendensi negatif, tetapi perbedaan perlakuan itu
dapat merupaka diskriminasi positif (affirmative action) yang memberikan
titik permulaan bagi kelompok marginal untuk ikut berkompetisi.”
Dalam konsepsi negara yang Pancasilais, hak asasi lahir karena terlaksananya
kewajiban asasi. Hal ini tercermin dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 39 Tahun 1999
tentang HAM yang menyatakan “Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat
kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan
tegaknya hak asasi manusia”. Oleh karenanya, secara sederhana hak setiap orang
adalah residu (sisa) dari hak orang lain sehingga ada kewajiban dan tanggung jawab
yang besar dalam upaya penghormatan hak asasi. Dengan demikian, pemenuhan rasa
keadilan dengan menjamin hak asasi tidak diletakkan pada kelas ataupun kelompok
tertentu, tetapi terbuka untuk seluruh masyarakat Indonesia secara konsekuen.
Sedangkan politik dinasti yang hanya memberikan jaminan hak politik untuk dikuasasi
oleh segelintir orang bertentangan dengan konsep tersebut.
Lebih jauh jika kita melihat pendapat pemerintah dalam perumusan Pasal 7
huruf r yang mengungkapkan bahwa rumusan itu bertujuan untuk menciptakan
kompetisi yang fair baik dari pihak kerabat petahana maupun orang lain yang tidak
terkait dalam hal pencalonan kepala daerah sebab petahana tidak dipungkiri
memiliki beberapa keuntungan yang lebih khususnya terhadap segala akses
sumberdaya termasuk anggaran. Sehingga dinilai dapat mencegah berkembangnya
politik dinasti.
Sejatinya pemerintah baik Presiden maupun DPR tidak sepenuhnya
menghilangkan hak konstitusional kerabat petahana. Hal ini dapat dilihat dari
Penjelasan Pasal 7 huruf r bahwa batasan itu hanya berupa batasan jeda 1 periode
yang mana semata-mata agar kerabat petahana tidak mendapat keuntungan baik
secara langsung maupun tidak langsung dari petahana yang masih menjabat tersebut.
Pandangan tersebut tentunya dilandasi agar proses pencalonan dan pemilihan kepala
daerah khususnya lebih demokratis dan tidak ada politik kecurangan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis melihat Putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015
tidak sepenuhnya mencerminkan jaminan akan hak asasi manusia secara adil dan
proporsi terhadap semua warga negara dengan penghapusan Pasal 7 Huruf r UU No. 8
Tahun 2015. Sehingga standing opsion penulis adalah bertolak belakang dengan
penghapusan tersebut yang bahkan menjadi legitimasi untuk mengakarnya budaya
politik dinasti yang dapat merusak tatanan prinsip demokrasi dan jauh dari esensi
demokrasi itu sendiri. Hal ini terlihat pada pesta pemilukada 2017 lalu, di mana
banyak calon kepala daerah yang mempunyai kekrabatan dengan pemimpin
sebelumnya ataupun pejabat publik lintas daerah lainnya. Daerah cenderung
mencerminkan kerajaan-kerajaan dinasti yang diisi secara turun-temurun sehingga
tidak sesuai dengan cita hukum Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan bentuk
pemerintahan yang republik. Yang menjadi kekhawatiran apabila berlanjut terbentuk
rantai kekuasaan berbasis kekerabatan yang tidak mencerminkan aspirasi dan amanat
rakyat tetapi lebih untuk kepentingan pribadi, golongan, dan keluarga yang
mendekatkan dengan praktik kolusi dan nepotisme.

Solusi
Menurut Alim Bathoro, dalam perpektif sosiologi, suatu hubungan karena
kedekatan ini sering disamakan dengan patron-klien, yang biasanya akan diperkuat
menjadi sebuah jaringan politik. Untuk itu perlu terlebih dahulu memahami
penyebab dari politik dinasti dalam perspektif tersebut. Setidaknya hal itu tergambar
dalam analisis Ikrar Nusa Bakti yang dimuat dalam Kolom Komentar Indonesia 1 Juni
2010 dengan judul Polemik Istri Pejabat Maju Pilkada. Dalam tulisan tersebut
dikatakan bahwa munculnya fenomena istri bupati mencalonkan diri sebagai pejabat
daerah didorong tiga faktor.
Pertama, bupati sebelumnya menunjukkan kesuksesan dalam menjabat dan
melaksanakan tanggung jawab, sehingga muncul asumsi bila istri mantan bupati
tersebut naik tetap dalam tuntunan bupati sebelumnya selaku suaminya. Ia akan
mendukung dari balik layar. Kedua, para istri maju untuk membuktikan siapa yang
mendapat legitimasi rakyat daerah atas dasar popularitas dan sikap jagoan untuk
meraih kemenangan. Ketiga, didasarkan pada proses pembentukan dinasti baru.
Mula-mula sang ayah, lalu istrinya, dilanjutkan oleh anak pada periode berikutnya.
Ini akan menjadi kuat apabila dilandasi pendidikan keluarga pejabat yang dinilai
mampu membawa perbaikan ke depannya terhadap daerah.
Maka melihat fenomena tersebut ada proses yang hilang dari demokrasi kita,
yakni demokrasi semata-mata dipandang sebagai suatu proses atau prosedur belaka.
Sehingga masyarakat dipandang hanya sebagai pendulang suara pada saat pemilihan
kepala daerah. Ini dapat dipahami karena minimnya pendidikan politik masyarakat,
wajar bila demokrasi hari ini tidak mencerminkan secara substansi. Untuk itu,
alternatif solusi pertama yang perlu didorong adalah peran serta partai politik. Partai
politik harus mampu menjalankan perannya sebagai infrastruktur politik yakni
melakukan pendidikan politik atau sosialisasi politik bukan hanya pada saat
menjelang kampanye dan pemilihan. Partai politik harus menunjukkan integritas
dalam mewujudkan agrerasi kepentingan masayarakat sehingga terwujud kaderisasi
yang demokratis dan mengejawantahkan kepemimpinan yang memiliki kapabilitas
dan kapasitas mumpuni. Partai politik juga dituntut untuk bertindak adil dalam
mencalonkan pejabat publik, bukan semata-mata dilandasi popularitas ataupun
dominasi finansial tetapi lebih daripada itu kepada kualitas demi tercapainya tujuan
pembangunan masyarakat.
Solusi kedua adalah penguatan semangat penyelenggara negara dan penegak
hukum. Mereka adalah pilar penjaga demokratisnya suatu sistem demokrasi. Hal ini
didasari bahwa dinamika perubahan sosial masyarakat juga berkembang secara terusmenerus dan dinamis. Karena sejatinya adapun larangan dinasti politik yang dimuat
dalam aturan normatif tetapi penyelenggara hanya sibuk dengan usaha
melanggengkan kekuasaan, masih sibuk dengan pertarungan kepentingan dalam tahta
kekuasaan menjadikan aturan itu sendiri bernilai nominal, yaitu ada tetapi tidak
terlaksana. Maka perlu komitmen pemimpin bangsa dan penyelenggara negara untuk
memprioritaskan cita-cita Pancasila, cita-cita negara, dan pembangunan yang
dilandasi untuk mencapai kesejahteraan seluruh masyarakat secara adil bukan pada
satu atau dua orang atau bahkan sekelompok elit yang tidak mencerminkan rasa
keadilan itu sendiri. Artinya setiap pembatasan perseorangan tidak semestinya
dipandang bentuk diskriminatif tetapi memang ditujukan untuk hajat hidup orang
banyak sebagai pengakuan hak asasi secara universal. Selain itu, semangat
penyelenggara dan penegak hukum juga dibutuhkan dalam hal meminimalisir setiap
penyimpangan yang dilakukan oleh semua pemimpin di daerah, hal ini juga
berimplikasi pada minimalisir tindakan koruptif pelaku politik.
Ketiga, jabatan publik tidak hanya dipandang secara sempit sebagai alat
kekuasaan, jauh lebih penting adalah melaksanakan aspirasi dan kepentingan seluruh

rakyat. Untuk itu perlu mekanisme yang selektif agar ambisi kekuasaan oleh pelaku
politik dinasti dapat dicegah sehingga mengurangi potensi penyalahgunaan kekuasaan
oleh satu keluarga atau kelompok tertentu.
Keempat, negara harus turut hadir sebagaimana amanat Pasal 69 ayat (2) UU
HAM yang menyebutkan Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban
dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal
balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan,
dan memajukannya. Artinya pembatasan secara regulasi oleh negara yang dalam hal
ini diwakili oleh pemerintah memang dianggap memiliki urgensi. Bukan serta-merta
membentuk negara yang otoriter tetapi demi mengembalikan hakikat negara
kesatuan yang berbentuk republik, dimana pengisian jabatan publik harus terbuka
untuk umum dan dilakukan secara proporsional dan adil serta menyeluruh. Bukan
mencerminkan negara monarkhi ataupun oligarki sebagaimana dampak dari politik
dinasti itu sendiri. Sehingga tepat kiranya aturan terkait larangan politik dinasti
sebagaimana termuat dalam Pasal 7 huruf r dilaksanakan kembali.
Kelima, melihat pada proses pengajuan yang syarat akan kepentingan bagi
pemohon di mana beliau berkeinginan menggantikan posisi ayahnya sebagai Bupati
Gowa melalui pemilihan berikutnya juga harus dijadikan pertimbangan tersendiri.
Untuk itu perlu adanya upaya perubahan pola pandang masyarakat yang secara
sosiologi berdasarkan pada paham paternalistik dan klientelistik, sehingga cenderung
subjektif dalam menentukan calon pemimpin, yang pada akhirnya memperpanjang
daftar politik dinasti di Indonesia. Maka perlu adanya penguatan sudut pandang yang
lebih objektif pada kemampuan, integritas, dan kompetensi setiap calon pemimpin
bukan pada finansial dan kedekatan emosional belaka. Pemimpin terpilih bukan
untuk keuntungan satu kelompok masyarakat atau bahkan satu keluarga khususnya
bagi petahana sehingga tercipta ketidakadilan tetapi harus satu untuk semua dan
semua untuk satu. Dalam mewujudkannya tentu memerlukan integrasi dan semangat
bersama dari setiap stakeholder baik Parpol, Polisi, Hakim, KPK, KPU, Pemerintah,
dan masyarakat serta penyelenggara negara terkait.
Uraian di atas sebagai bentuk ketiksetujuan penulis terhadap adanya
penghapusan larangan dinasti politik. Upaya-upaya yang disampaikan pada prinsipnya
untuk mencegah dampak negatif dari praktik dinasti politik itu sendiri. Sehingga
dapat disimpulkan pembenahan memang sejatinya perlu dilakukan selain melakukan
pembatasan melalui regulasi. Pembenahan itu meliputi kultur yang ada pada
masyarakat khususnya dalam proses pemilihan pemimpin dan sistem yang transparan
dan terstruktur sehingga menghilangkan sisi hitam dan hambatan dalam mewujudkan
pemerintahan yang baik dan demokratis.