Pengetahuan Tradisional untuk menentukan jenis

Pengetahuan Tradisional untuk menentukan Musim Tanam yang Berubah
Studi kasus : Forum Iklim Lintas Aktor di 8 Desa di Kabupaten Kupang dan Timor
Tengah Selatan Provinsi NTT1
Torry Kuswardono2
Jan Pieter Dj Windy3

Abstrak
Salah satu topik utama dalam perubahan iklim untuk kelompok petani adalah perubahan pola cuaca
terutama sekali terkait dengan menetapkan awal musim hujan. Bagi petani-petani lahan kering, kemampuan
menetapkan awal musim hujan adalah hal yang sangat vital. Kegagalan menduga awal musim hujan bisa
berakibat pada gagal tanam yang berujung pula pada gagal panen dan kerentanan pangan.
Petani-petani tradisional lahan kering yang musim tanamnya sangat tergantung pada musim penghujan.
Umumnya hanya menanam satu kali dalam satu tahun, terutama sekali untuk jenis tanaman pangan utama
seperti jagung dan padi ladang. Biasanya, petani tradisional memiliki kemampuan menduga awal musim
hujan dan perkiraan intensitas hujan, bukan hanya untuk menentukan kapan harus menanam, tetapi jenis
tanaman pangn apa yang sebaiknya di tanam sesuai dengan perkiraan intensitas hujan.
Dalam wacana perubahan iklim, di banyak tulisan, film dokumenter, maupun juga keterangan-keterangan
dari pihak petani di berbagai belahan dunia, disebutkan bahwa tanda-tanda alam tidak dapat lagi diandalkan
untuk menentukan waktu tanam ataupun jenis tanaman pangan. Hal ini berbeda dengan temuan program
Partners for Resilience, kerja sama Perkumpulan Pikul dan Care International Indonesia.
Melalui kegiatan forum iklim lintas aktor (FILA) yang merupakan forum diskusi iklim antara petani, Badan

Meteorologi Klimat dan Geofisika, Badan Penyuluh Pertanian Perkebunan Perikanan dan Kehutanan
(BP4K), serta Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di 8 desa di Kabupaten Kupang dan Timor
Tengah Selatan, ditemukan bahwa pengetahuan tradisional petani Timor dalam menentukan awal musim
hujan maupun intensitas hujan diyakini masih bermanfaat bahkan ketika sedang terjadi perubahan iklim.
Kegiatan FILA sendiri baru berlangsung selama 1 tahun, dan menemukan hal-hal menarik terkait dengan
pengetahuan tradisional dan iklim.
Makalah ini menjelaskan temuan-temuan dan hasil-hasil diskusi dalam FILA yang mengungkap
pengalaman positif pemanfaatan pengetahuan tradisional oleh petani dalam menentukan waktu tanam.
Pengalaman dalam FILA diharapkan dapat berguna untuk mengembangkan ketahanan petani tradisional
dalam situasi iklim yang sedang berubah. Dalam diskusi dan praktek FILA, disimpulkan bahwa tidak
selamanya pengetahuan tradisional tidak lagi bermanfaat. Sebaliknya, bagi petani tradisional pengetahuan
saintifik yang dimiliki BMKG dapat berkontribusi pada penguatan pengetahuan tradisional terkait dengan
pendugaan waktu tanam.
Kata kunci: Adaptasi Perubahan Iklim, pengetahuan tradisional, Timor, waktu tanam

1
2
3

Disampaikan pada Workshop Praktek Adaptasi Masyarakat, diselenggarakan oleh Dewan Nasional

Perubahan Iklim tanggal 23-24 Oktober 2013
Direktur Pengelolaan Pengetahuan dan Penjangkauan Publik Perkumpulan Pikul, Kupang
Advocacy Officer Program Partners for Resilience Perkumpulan Pikul, Kupang

Pendahuluan
Salah satu topik utama dalam perubahan iklim untuk kelompok petani adalah perubahan
pola cuaca terutama sekali terkait dengan menetapkan awal musim hujan. Bagi
petani-petani lahan kering, kemampuan menetapkan awal musim hujan adalah hal yang
sangat vital. Kegagalan menduga awal musim hujan bisa berakibat pada gagal tanam
yang berujung pula pada gagal panen dan kerentanan pangan
Kepulauan Nusa Tenggara Timur sudah sejak lama dikenal sebagai propinsi yang
memiliki kerentanan tinggi. Dalam 10 tahun terakhir, hampir setiap tahun media meliput
kejadian gagal tanam, gagal panen, kekeringan, dan juga kerusakan panen akibat banjir,
puting beliung, maupun bencana lain terkait iklim. Menurut data BNPB, tercatat 8 kali
kejadian kekeringan di seluruh Timor Barat sepanjang periode 2003-2013. Menurut
temuan baseline program Partners for Resilience Pikul dan Care International Indonesia 4,
sepanjang sejak tahun 2006 – 2010 sejumlah desa di Kabupaten Kupang dan Kabupaten
Timor Tengah Selatan, terutama di pesisir selatan didera gagal tanam yang berujung pada
gagal panen.
Warga desa kebanyakan, menceritakan peristiwa gagal tanam disebabkan oleh musim

hujan yang tidak lagi dapat diduga kapan akan terjadi. Kebanyakan warga desa tertipu
oleh hujan awal yang ternyata bukan awal musim hujan. Hujan sempat terjadi beberapa
kali pada bulan Oktober – November di tahun 2006 hingga tahun 2009, namun ternyata
setelah itu kering beberapa minggu hingga musim hujan sesungguhnya.
Pada kondisi demikian, kebanyakan petani seringkali terburu-buru menanam tanaman
pangan utama (jagung) padahal musim hujan belum terjadi. Akibatnya, pada masa
perbenihan, tanaman muda mati karena akibat kekurangan air.
Petani lahan kering di Timor Barat, umumnya hanya menanam tanaman pangan satu kali
satu tahun. Kegagalan tanam, berakibat pada kekurangan cadangan pangan yang biasanya
hanya cukup untuk 1 tahun. Implikasi dari peristiwa ini cukup fatal yaitu rawan pangan,
migrasi, dan pada kelompok-kelompok balita berujung pada gizi kurang dan gizi buruk.
Di sisi yang lain, sejumlah petani justru terlambat melakukan penanaman akibat salah
menduga awal musim hujan. Pola hujan awal yang terkadang menipu, membuat petani
tidak segera menyiapkan lahan pertanian. Saat musim hujan datang, lahan belum
sungguh-sungguh siap, dan masa perbenihan pun terlewati.

4

Program Partners for Resilience adalah sebuah program global yang diprakarsai oleh konsorsium
LSM-LSM Belanda yaitu Cordaid, CARE Netherlands, Wetlands International, dan Netherlands

Red-Cross di 9 negara. Di Indonesia, program ini bermitra antara lain dengan CARE International
Indonesia dan Perkumpulan Pikul. Program ini dimulai pada tahun 2011 yang bertujuan memperkuat
resiliensi komunitas terhadap bencana, membangun kemampuan adaptasi perubahan iklim, serta
melakukan pengelolaan dan rehabilitasi ekosistem.

Berangkat dari peristiwa-peristiwa gagal tanam akibat kesalahan menduga musim hujan,
program Partners for Resilience mencoba mengajak petani-petani lahan kering di 8 desa
di Kabupaten Kupang dan Timor Tengah Selatan untuk belajar dan berlatih bersama
menyiapkan diri lewat informasi iklim agar petani tidak salah menentukan kapan waktu
tanam dimulai.
Proses Forum Iklim Lintas Aktor
Forum Iklim Lintas Aktor (FILA) merupakan sebuah forum belajar yang bertugas
mengembangkan pengetahuan bersama tentang situasi cuaca dan klimatik. Forum ini
merupakan media pertukaran informasi antar aktor-aktor yang memiliki pengetahuan
menerus atas iklim dan cuaca serta hal-hal yang terkait. Konstituen utama lintas aktor
adalah mereka yang memiliki pengetahuan atas situasi iklim dan cuaca, mereka yang
kesehariannya kerjanya terkait dengan cuaca maupun pengamat, serta mereka yang
memiliki keahlian mendiseminasi informasi terkait iklim yang dapat digunakan oleh
petani untuk memutuskan waktu tanam dan jenis tanaman pada satu musim tanam.
Mengingat salah satu ukuran dari FILA adalah akurasi informasi dan rekomendasi, maka

proses ini dimulai dengan melakukan assessment keahlian dan informasi dari berbagai
berbagai pihak tentang trend cuaca dan klimatik dari berbagai bidang serta dampaknya.
Salah satu kelompok aktor yang paling penting adalah kelompok petani yang masuk pada
kriteria, pimpinan kelompok tani atau orang yang mampu dipercayai dan dapat
mempengaruhi orang lain baik laki-laki maupun perempuan. Yang kedua, adalah petani
yang memiliki pengetahuan membaca tanda-tanda alam dan mempraktekkan pengetahuan
tersebut dalam kegiatannya sebagai petani, baik laki-laki maupun perempuan.
Pimpinan petani merupakan aktor penting karena mereka adalah para penghubung
sekaligus agen yang dapat menjadi corong maupun simpul kelompok-kelompok tani.
Sedangkan para petani yang masih memegang pengetahuan tradisional merupakan
kelompok yang menurut masyarakat tani paling jarang mengalami gagal panen atau gagal
tanam karena mengikuti secara utuh tanda-tanda alam yang biasa digunakan untuk
menduga awal musim hujan, karakteristik musim hujan, dan pilihan jenis tanaman. Total
jumlah petani yang terlibat sekitar 40 orang dari 8 desa di Kabupaten Kupang dan Timor
Tengah Selatan.
Dari sisi keahlian dan kecakapan teknis serta dalam rangka membangun kerja sama
dengan pihak pemerintah, secara sengaja, FILA melibatkan ahli dari stasiun klimatologi
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Pihak lain yang juga dilibatkan adalah
Badan Penyuluh Pertanian Perkebunan Perikanan dan Kehutanan (BP4K) yang
merupakan ujung tombak pemberdayaan petani dari sisi teknis.

Secara geografis, pemilihan wilayah program PfR di Kabupaten Kupang dan Timor
Tengah Selatan berada pada zona musim (ZOM) 258 dan ZOM 259. Penyetaraan posisi
geografik ini sangat penting untuk membandingkan data-data observasi BMKG yang
mengacu pada zona musim dan pengamatan serta masyarakat di desa-desa.

Pertemuan FILA, dilakukan secara periodik dengan pemberitahuan untuk jangka waktu
yang cukup sehingga para ahli dapat menyiapkan bahan yang memadai. Hingga saat ini
sudah dilakukan 5 kali pertemuan, pada 2 kali musim tanam, yaitu tahun 2012-2013 dan
2013-2014. Pada setiap kali proses pertemuan FILA, para pihak yaitu; BMKG, BP4K,
dan petani melakukan sharing pengetahuan atas bacaan iklim 3 – 6 bulanan dan
strategi-strategi yang dapat menjadi pilihan petani dalam mengantisipasi musim tanam
berikutnya.
Dalam pertemuan FILA, BMKG mensosialisasikan proyeksi musim hujan, karakteristik
curah hujan, serta potensi cuaca ekstrem pada para petani. Sebaliknya petani, terutama
mereka yang masih menguasai pengetahuan tradisional membagikan bacaan mereka atas
tanda-tanda alam yang biasa digunakan, kapan biasanya muncul, dan dimana biasanya
tanda-tanda tersebut muncul. Selain itu BP4K memberikan masukan dan mendiskusikan
strategi-strategi praktis mengantisipasi musim serta mempertahankan produksi pada
cuaca ekstrem.
Pengetahuan Masyarakat Lokal dalam menduga iklim

Pada dasarnya, pengetahuan masyarakat lokal selalu didasarkan pada ekosistem, iklim
serta peristiwa-peristiwa bencana maupun musibah yang terkait erat pada hubungan alam
dan manusia. Dengan pemahaman ini, kemudian terjadi interaksi antara manusia dengan
Uis Neno dan Uis Pah, yang melahirkan berbagai kearifan serta pengetahuan lokal dalam
menghadapi kondisi-kondisi sulit/ ancaman-ancaman yang ada. Kearifan / Pengetahuan
lokal yang ada berupa ritual, tindakan pencegahan, tindakan penanganan kejadian sulit/
ancaman yang terjadi serta kemampuan memprediksi, mitigasi serta penanggulangan
kondisi sulit/ ancaman yang terjadi di daerahnya.
Pengetahuan/kearifan lokal tersebut diperoleh dari berbagai pengalaman interaksi
manusia dengan lingkungannya. Hanya saja, pengetahuan tradisional bersifat lisan

diwariskan secara melalui tutur dari satu generasi ke generasi lainnya berdasarkan garis
keturunan. Bangunan dasar pengetahuan lokal tidak semata-mata mistis atau magis, tetapi
juga berangkat dari dengan fenomena alam disekitar mereka. Melalui hasil pengamatan
dari pengalaman yang panjang inilah yang kemudian diserap sebagai pembelajaran dan
pengetahuan dan digunakan sebagai acuan dalam memperkirakan fenomena sejenis yang
terjadi pada lingkungan sekitar.
Secara umum, pengetahuan masyarakat atas perubahan cuaca, iklim, dan fenomena alam
lainnya berangkat dari pengamatan terhadap perilaku mahluk hidup, dinamika cuaca, dan
pergerakan benda-benda langit. Pengamatan ini pun sifatnya saling mendukung dan

khusus untuk wilayah Timor Barat, sejumlah perilaku mahluk hidup, dinamika cuaca, dan
pergerakan benda langit bersifat saling melengkapi, dan sekuensial.
Masyarakat mengamati bintang sebagai penanda musim pertanian serta peramalan
kondisi alam dalam satu musim. Masyarakat mengenal astronomi dengan cara dan
bahasa tradisional misalnya Maklafu (Bintang Tujuh), Ha Nua (Bintang 4 dan 2), Tanda
Jagung dan Tanda Padi (Nautus), Cincin Bulan (Hallo), dan pergerakan planet dan
bintang lainnya. Selain astronomi tradisional, pengamatan terhadap perilaku binatang
juga dilakukan, misalnya perilaku burung “Kol Totiu”, “Bulbulz” dan perubahan
lingkungan sekitar, misalnya pergerakan awan, suhu, perubahan pada tumbuhan, dan lain
sebagainya.
Tim PfR mengidentifikasi sekitar 20 lebih penanda alam baik tumbuhan, hewan,
dinamika cuaca, dan pergerakan bintang. Namun dari sekian penanda yang ada,
masyarakat menyatakan hanya 6 tanda yang secara umum masih digunakan hingga
sekarang, dengan melihatnya secara berurutan, yaitu : 1) suara burung (kol totiu dan
bulbulz), 2) suara halilintar (bekus ambena), 3) kemunculan gugus bintang “Nautus”
(tanda jagung dan tanda padi), 4) Pergerakan Bintang 4 (Ha/ crux) dan Bintang 2 ( Nua/
Hadar dan Rigil Kent), 5) Maklafu (Bintang Tujuh) dan 6) bulan dengan cincin awan.
Suara burung Kol totiu dan Bulbulz sudah mulai terdengar sekitar Bulan September.
Pilihan nama Kol Totiu karena bunyi kicauan burung tersebut yang terdengar nyaring
seperti mengatakan “totiu”.

Menarik dari ceritera Kol Totiu adalah, kebanyakan masyarakat lokal petani, mengetahui
dan pernah mendengar suara burung ini, namun jarang ada yang pernah melihat wujud
dari burung ini, bahkan beberapa yang mengaku pernah melihat burung ini,
menggambarkan wujud burung ini dalam beberapa wujud burung atau belum berani
memastikan seperti apa wujud burung ini sebenarnya. Bila kedua burung ini mulai
berkicau, tandanya musim hujan akan segera datang, dan masyarakat harus segera
menyiapkan lahan.
Bunyi halilintar juga dimaknai sebagai tanda bahwa masyarakat sudah memasuki musim
penghujan, sehingga bila sudah terdengar bunyi halilintar, lahan masyarakat sudah harus
siap ditanami, dan bila terdengar bunyi halilintar namun lahan belum siap ditanami, maka
kemungkinan besar petani pemilik lahan tersebut akan mengalami gagal tanam/gagal

panen. Masyarakat menyakini, sekitar tanggal 15 Oktober atau waktu berdekatan, pasti
terdengar bunyi halilintar. Terdapat syair lokal yang dahulunya akan selalu diucapkan
memasuki bulan oktober, yaitu “kaneno bolnem nanapa kit” yang mengandung arti :
guntur (halilintar) berbunyi kita bersiap.
Pada pertengahan Bulan Oktober, akan terlihat 2 gugusan bintang pada langit bagian
tenggara, yang disebut masyarakat dengan “Nautus” (tanda jagung dan tanda padi).
Kedua tanda tersebut akan terlihat jelas pada wilayah yang gelap (minim cahaya), apabila
tanda jagung yang lebih terang maka pada musim tanam tahun tersebut akan lebih baik

dari padi, demikian pula sebaliknya. Kedua gugus bintang ini akan terlihat jelas sekitar
Pukul 19.00 WITA.
Kemunculan “Nautus” (tanda jagung dan tanda padi) kemudian diikuti dengan
pergerakan Ha Nua (Crux, Hadar dan Rigil Kent) pada Bulan Oktober, namun
pengamatan pergerakan bintang ini sudah dilakukan masyarakat lokal sejak memasuki
Bulan September.
Pada pertengahan dan akhir Bulan September, masyarakat mulai melakukan pembakaran
tumbuhan dan belukar pada lahan (menggunakan mekanisme lokal untuk mengatur
luasan lahan yang dibakar). Sisa pembakaran, diyakini masyarakat akan menyuburkan
lahan (sebagai pupuk).
Tumbuhnya tunas baru pada setiap pohon akan tumbuh lebih awal/banyak pada bagian
barat pohon, tandanya sudah mendekati musim hujan. (secara logika, sebelum hujan ada
angin dingin datang dari arah barat). Hujan datang dari arah barat dan utara saat hujan
awal, sesekali, untuk daerah pantai hujan akan datang dari arah selatan (sangat jarang
terjadi).
Menjelang bulan November, masyarakat lokal mulai mengamati langit bagian timur,
untuk mengamati gugus bintang yang dinamai “maklafu” (bintang tujuh) atau“fafi
mone” yang artinya babi jantan, yang sejak dahulu kala diamati untuk memproyeksi
musim penghujan. Apabila gugus bintang Maklafu muncul disebelah Timur paling
lambat pukul 00.00 WITA, pertanda bahwa petani sudah harus menyiapkan lahan.

Semakin lama, kemunculan gugus bintang Maklafu akan semakin awal, dan apabila pada
pukul 20.00 WITA gugus bintang Maklafu sudah muncul di langit bagian Timur,
pertanda bahwa akan segera terjadi pergantian musim dari musim kemrau ke musim
hujan, sehingga lahan-lahan sudah harus siap untuk ditanami. Musim penghujan ditandai
dengan kemunculan gugus bintang ini sekitar Pukul 04.00 WITA dan Pukul 18.00 WITA,
dimana waktu ini sering dipergunakan masyarakat untuk memberi makan pada babi
peliharaan, hal inilah yang kemudian membuat gugus bintang ini selalu dihubungkan
dengan ternak babi.
Tanda terakhir yang akan muncul adalah muncul bulan dengan diliputi cincin awan,
bertanda besoknya akan hujan atau paling lambat 3 hari sejak saat kemunculan bulan
dengan dikelilingi cincin awan akan terjadi hujan.

Diskusi
Salah satu hal yang menarik dalam proses FILA adalah meskipun petani kebanyakan
mengaku sulit menduga awal musim hujan dan sifat hujan pada saat baseline survey
tahun 2011, namun pernyataan yang berbeda diungkapkan oleh para petani yang masih
menggunakan pengetahuan tradisional dalam menduga iklim. Para petani yang masih
menggunakan secara utuh pengetahuan tradisional mengungkapkan bahwa meskipun
musim hujan bergeser, namun tanda-tanda alam masih dapat digunakan dalam menduga
iklim.
Hal yang menarik lagi adalah pada musim hujan 2012-2013, dalam diskusi di desa
Batnun TTS, bulan November 2012, masyarakat menyatakan bahwa awal musim hujan
akan jatuh pada minggu-minggu terakhir di bulan Desember 2012. Sementara BMKG
memproyeksikan bahwa awal musim hujan pada awal Desember 2012. Faktanya, hujan
berturut-turut selama lebih dari 1 minggu di bagian di bagian selatan kabupaten TTS
berawal pada tanggal 24 Desember 2012.
Di wilayah Kabupaten Kupang, masyarakat desa Nunsaen secara berani menggunakan
pengetahuan tradisional dalam menduga awal musim hujan. Selain itu, petunjuk bintang
bahwa tahun tersebut adalah tahun jagung juga diikuti oleh warga dengan menanam
jagung dan kacang5. Pada peroide musim tanam ini penduduk desa Nunsaen mengalami
kelimpahan panen jagung dan kacang pada musim panen awal tahun 2013 seperti yang
diakui oleh ibu Pendeta dan anggota kelompok petani Nekmese dari Desa Nunsaen,
Kabupaten Kupang pada pertemuan FILA bulan Agustus 2013.
Meskipun demikian, dalam diskusi, masyarakat melihat bahwa informasi dari BMKG
bermanfaat sebagai pembanding. Tetapi, masyarakat juga melihat bahwa amatan yang
mereka lakukan dan rasakan sendiri tidak dapat diabaikan dalam menentukan awal
musim hujan maupun jenis tanaman yang dapat dipanen pada musim tanam. Selain itu,
masyarakat menyadari bahwa penting untuk terus menerus melakukan pencatatan,
pengamatan, dan review atas fakta-fakta yang terjadi pada satu musim tanam untuk
memastikan relevansi pengetahuan masyarakat dalam menduga awal musim hujan.
Pada periode 2013-2014 ini, anggota FILA di desa-desa diminta untuk mulai menandai
kalender, mencatat waktu pengamatan, dan juga saat mereka melihat gejala-gejala yang
menjadi tanda datangnya musim hujan. Pencatatan ini dilakukan untuk membandingkan
data-data faktual pengamatan dari berbagai pihak termasuk BMKG yang tercatat pada
periode 2013-2014.
Kesimpulan
Banyak pihak termasuk BMKG sendiri menyatakan bahwa kondisi klimatik menjadi
sulit diprediksi, namun masyarakat lokal di komunitas dampigan PfR masih meyakini
bahwa metode proyeksi klimatik dengan menggunakan pengetahuan lokal masih bisa
digunakan serta memiliki keakuratan yang dapat diandalkan. Hal ini dilandaskan pada
5

Tahun jagung bermakna hujan yang sedikit, tanaman jagung dan kacang tanah berpeluang untuk lebih
bertahan pada musim tanam di tahun yang bersangkutan.

pemikiran bahwa pengamatan terhadap tanda-tanda tersebut dilakukan pada skala
lingkungan yang lebih kecil. Namun kini memang menjadi sulit dilakukan karena jumlah
petani yang memiliki kapasitas tersebut sangat terbatas karena pengetahuan yang ada
tidak teregenerasi secara baik.
Beberapa tanda alam berkaitan erat dengan kondisi ekosistem yang utuh. Keberadaan
spesies burung yang berbunyi menjelang musim hujan mensyaratkan habitat yang tetap
terjaga. Demikian pula dengan beberapa jenis pepohonan alami yang memiliki perubahan
perilaku terhadap perubahan cuaca. Pengetahuan lokal tidak dapat dipisahkan dari sistem
pengelolaan alam yang dikembangkan oleh nenek moyang. Perubahan bentang alam yang
memunahkan spesies-spesies penanda akan menghilangkan kapasitas lokal dalam
mengantisipasi musim.
Faktor yang lain adalah perubahan sosial di masyarakat. Pergerakan menuju pengetahuan
modern adalah tantangan tersendiri dalam mengembangkan pengetahuan lokal.
Keengganan generasi muda memahami kompleksitas pengetahuan lokal mengancam
perkembangan pengetahuan lokal tentang iklim. Kerja sama yang baik antara sains
modern dan pengetahuan lokal perlu dikembangkan untuk saling melengkapi.
Akhir kata, proses FILA adalah proses riset aksi pada tahapan awal. Pengamatan dan
praktek sistematik untuk menentukan awal musim hujan dan musim tanam tidak dapat
dilakukan secara snapshot. Perlu sebuah proses menerus yang panjang dan multi-disiplin
untuk mengembangkan pengetahuan klimatik tradisional yang dikombinasikan dengan
pengetahuan modern. Syarat penting dalam pengembangan pengetahuan ini adalah
pengetahuan tersebut harus terletak dan diletakkan kembali pada masyarakat lokal
sebagai pemilik, pencipta, sekaligus pengguna.
Daftar Pustaka
Anandaraja, N, T Rathakrishnan, M Ramasubramanian, P Saravanan, and N S Suganthi.
2008. “Indigenous Weather and Forecast Practices of Coimbatore District Farmers
of Tamil Nadu” 7 (October): 630–633.
Anonim. “Prakiraan Musim Hujan 2012-2013”. Badan Meteorologi dan Geofisika. 2012
Anonim. “Prakiraan Musim Hujan 2013-2014”. Badan Meteorologi dan Geofisika. 2013
Anonim. 2012, “Laporan Baseline Program Partners for Resilience Kabupaten Kupang
dan Timor Tengah Selatan”. Perkumpulan Pikul, CARE International Indonesia, .
Tidak dipublikasikan
Chang, Ladislaus B, Pius Z Yanda, and James Ngana. 2010. “Indigenous Knowledge in
Seasonal Rainfall Prediction in Tanzania : A Case of the South-Western Highland of
Tanzania” 3 (April): 66–72.
Geru, Apolonaris. 2013. “Iklim di Kabupaten Kupang,” Badan Meteorologi Klimatologi
dan Geofisika, Stasiun Klimatologi Lasiana Kupang. Presentasi pada Pertemuan
Forum Iklim Lintas Aktor, Agustus 2013.

Griggs, Dave, Lee Joachim, and Tahl Kestin. 2013. “National Workshop on Indigenous
Knowledge for Climate Change Adaptation” (November 2012).
Maposa, Richard Shadreck, and M Ed. “Indigenous Weather Forecasting : A
Phenomenological Study Engaging the Shona of Zimbabwe By” 4 (9): 102–113.
Meg Parsons. 2012. “Climate Change Adaptation for Indigenous Community.” National
Climate Change Research Facility.
Pelling, Mark. 2011. Adaptation to Climate Change From Resilience to Transformation.
London and New York: Routledge Taylor and Francis Group.
Peterson, Nicole, and Kenneth Broad. 2010. “Climate and Weather Discourse in
Anthropology: From Determinism to Uncertain Futures.” In Climate and Culture,
70–86.
Windy, Jan Pieter.”Laporan Pertemuan Forum Iklim Lintas Aktor I,”. Perkumpulan
Pikul, CARE International Indonesia. Tidak dipublikasikan.
Windy, Jan Pieter.”Laporan Pertemuan Forum Iklim Lintas Aktor II,”. Perkumpulan
Pikul, CARE International Indonesia, 2013. Tidak dipublikasikan.
Windy, Jan Pieter.”Laporan Pertemuan Forum Iklim Lintas Aktor III,”. Perkumpulan
Pikul, CARE International Indonesia, 2013. Tidak dipublikasikan.
Windy, Jan Pieter.”Laporan Pertemuan Forum Iklim Lintas Aktor IV,”. Perkumpulan
Pikul, CARE International Indonesia, 2012. Tidak dipublikasikan.

Lampiran I

Lampiran 2.
Informasi Iklim BMKG Kupang