Ramai Sesaat Senyap Kemudian Partisipasi

Ramai Sesaat, Senyap Kemudian:
Partisipasi Petani Gunungkidul dalam Pengembangan Sumber
Energi Terbarukan1

Gunawan(1)
1.

Jurusan Sosiologi dan Antropologi-Fakultas Ilmu Sosial, Universitas
Negeri Semarang, Gd. C7 Lt.1 Sekaran-Gunungpati-Semarang.
Penulis Korespondensi: email goensaja@gmail.com

Abstrak
Pada

tahun

2006

pemerintah

Indonesia


menetapkan

kebijakan untuk mengembangkan sumber bahan bakar alternatif
guna

mengatasi

krisis

energi,

kerusakan

lingkungan,

dan

kemiskinan. Jarak pagar (jathropha curcas) adalah salah satu
Jenis tanaman yang dikembangkan.


Jarak pagar diperkenalkan

kepada petani sebagai sumber bahan bakar dan ditanam melalui
berbagai proyek di berbagai pulau di Indonesia. Namun tidak
sampai satu dekade, proyek-proyek tersebut mulai sunyi dari
perbincangan. Partisipasi petani untuk menanam jarak pagar
akhirnya surut.
Data dalam tulisan ini dikumpulkan melalui penelitian
kulitatif di dua desa, yaitu Sumberwungu, dan Purwodadi,
kabupaten

Gunungkidul,

Yogyakarta.

Tulisan

ini


mencoba

menguraikan bagaimana pasang surut minat petani dalam
penanaman jarak pagar. Tulisan

ini menguraikan tiga hal,

pertama menguraikan pasang surut perbincangan jarak pagar
sebagai sumber energi hijau di Indonesia; kedua menguraikan
1

Paper untuk dipresentasikan dalam seminar nasional “Kontribusi Akademisi dalam
Pencapaian Pembangunan Berkelanjutan (Contribution of Academics for Sustainable
Development Goals)” Jumat, 12 Februari 2016. Universitas Brawijaya, Malang

1

partisipasi petani dalam proyek jarak pagar dalam relasi sosial
sehari-hari petani; dan ketiga menguraikan proses transformasi
pengetahuan petani terhadap jarak pagar dari tanaman liar

menjadi komoditi pertanian baru, yaitu sumber bahan bakar.
keyword: jarak pagar, komoditi, transformasi, pemaknaan,
Abstract
At the year of 2006, the Indonesia government declared
policy to develop alternatives fuel resources in order to overcome
energy crisis, environmental degradation, and poverty. Jatropha
curcas is one of plant that being developed and introduced to
farmer as the fuel sources thus being planted in a lot of islands in
Indonesia through various projects. However, no more than a
decade,

the

projects

have

silent

in


discourse,

farmer’s

participation to plant the jatropha curcas finally subsided.
The data in this paper was collected through qualitative
research in two villages, Sumberwungu and Purwodadi, District of
Gunungkidul, Special Region of Yogyakarta. The paper tries to
discribe how does the rise and fall of farmer’s interest to plant
jathropa. This paper explains three things, first, discribing the
raise and fall of jatropha curcas discourse as a green energy
sources in Indonesia; second, discribing the farmer’s participation
on jatropha curcas project in their daily social relation; and the
third, discribing the cognitive transformation process within
farmers from jatropha curcas as a wild plant to a new agriculture
commodity as fuel.
keyword:

jatropha


curcas,

commodity,

transformation,

signification

2

A. Pendahuluan
Jarak pagar (Jatropha curcas Linn), konon tanaman ini disebarkan oleh
pelaut-pelaut Portugis dari Amerika Tengah dan Mexico melalui Cape Verde
kemudian menyebar ke Afrika dan Asia hingga akhirnya banyak tumbuh di
wilayah tropis dan sub tropis. Potensinya untuk sumber bahan biofuel2 sudah
diketahui sejak lama. Pada perang dunia kedua, jarak pagar sudah digunakan
sebagai pengganti bahan bakar mesin diesel di Madagaskar, Benin, dan Cape
Verde (Brittaine, 2010). Di Indonesia, pohon jarak kadang hanya disebut
dengan “jarak”. Penyebutan itu seringkali menimbulkan salah pengertian

karena ada dua jenis pohon jarak yang biasa dikenal, yaitu jarak kepyar atau
dikenal dengan sebutan kastor, kaliki (riniscus communis) dan jarak pagar
(jatropha curcas Linn). Jarak pagar juga dikenal sebagai obat. Getahnya yang
berwarna putih pada masa lalu lazim digunakan untuk antiseptik, obat luka,
dan obat kumur saat gusi berdarah, sedangkan bijinya menjadi obat pencahar
yang manjur (Kloppenburg, n/a). Selain itu biji jarak pagar juga dipakai untuk
penerangan rumah. Jarak pagar pernah menjadi tanaman yang sangat populer
di wilayah Asia, seperti Indonesia, Philipina, dan India, Myanmar serta di Afrika,
seperti Mozambigue, Kenya, Tanzania, dan Ethiophia. Tanaman ini mulai
ditanam secara masif karena bijinya dipromosikan dapat menjadi sumber
biofuel. Pengembangan tanaman Jarak pagar diharapkan dapat menyelesaikan
persoalan klasik di negara dunia ketiga yaitu krisis energi, kemiskinan, dan
pengangguran (Amir, 2008). Jarak pagar merupakan tanaman yang dapat
tumbuh di lahan yang kering dan tandus. Biji jarak pagar tidak termasuk
sebagai tanaman yang dapat dimakan, sehingga penggunaan untuk sumber
bahan bakar tidak akan bersaing dengan kebutuhan pangan dan tidak akan
mengancam ketahanan pangan.

2


Terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut sumber energi yang
berasal dari produk hasil pertanian yaitu biofuel dan agrofuel. Penyebutan agrofuel
umumnya digunakan untuk menyebut sumber energi yang berasal dari produk
pertanian yang dapat dimakan, seperti jagung dan tebu, sedangkan istilah biofuel
mengacu pada jenis bahan bakar cair yang berasal dari tanaman yang tidak dapat
dimakan (Franco 2010). Istilah lain yang juga sering digunakan adalah Bahan Bakar
Nabati (BBN).

3

Studi terhadap proyek jarak pagar yang dilakukan dari perspektif ilmu
sosial menunjukkan bahwa proyek jarak pagar tidak hanya persoalan teknis
menanam dan mengolah hasil bijinya, namun memiliki demensi sosial politik
yang berkelindan dalam relasi sosial antara petani dengan pihak pihak yang
berkepentingan dengan pengembangan biofuel (Amir, 2008; Fatimah, 2009;
Hunsberger 2010). Namun studi studi yang telah dilakukan menunjukkan
proses introduksi jarak pagar kepada petani sebagai proses yang berlangsung
satu arah. Persoalan produksi biofuel dilihat sebatas pada bentuk respon petani
serta implikasi yang harus ditanggung petani akibat respon yang dilakukannya.
Peristiwa introduksi tanaman jarak pagar dilihat seolah-olah sebagai peristiwa

linear dan statis. Padahal proses introduksi pohon jarak pagar merupakan
peristiwa yang sangat dinamis. Partisipasi petani dalam pengembangan jarak
pagar bertalian erat dengan relasi sosial sehari-hari mereka, di dalam relasi itu
terjadi proses produksi dan reproduksi pemaknaan yang membentuk perilaku
tertentu dalam merespon apa yang terjadi. Dalam pengembangan jarak pagar,
lahan dan tenaga kerja yang dibutuhkan adalah milik petani, selain itu juga
terdapat aspek-aspek yang turut menentukan apa saja yang kemudian
dilakukan petani. Aspek pengetahuan tentang sistem pertanian (tenaga kerja,
musim, tanah, tanaman, hama), dan aspek sosial lainya seperti rasa aman dan
jaminan pemenuhan kebutuhan hidup merupakan faktor penting yang turut
menentukan sejauh mana partisipasi petani terhadap munculnya material baru
yaitu jarak pagar.
Melalui penelitian kulaitatif di kalangan petani di Gunugkidul, maka
tulisan ini mencoba untuk menunjukkan mengapa masyarakat berpartisipasi
dalam pengembangan jarak pagar dan bagaimana petani memaknai tanaman
jarak pagar saat ini. Data dalam tulisan ini diperoleh dari penelitian lapangan di
Desa Sumberwungu dan Desa Purwodadi, Kecamatan Tepus, Gunungkidul,
Provinsi daerah Istimewa Yogyakarta. Dua desa tersebut pernah dijadikan lokasi
proyek jarak pagar oleh perusahaan dan pemerintah. Data dikumpulkan
melalui


wawancara

dengan

para

petani

untuk

melihat

sejauh

mana

keikutsertaan serta interaksi sosial yang terjadi ketika proyek tersebut
berlangsung. Wawancara dilakukan untuk mengungkap hal yang berhubungan


4

dengan proyek jarak pagar serta relasi-relasi sosial yang terintegrasi dengan
sistem kognitif pertanian mereka.
Introduksi jarak pagar sebagai sumber biofuel sesungguhnya merupakan
proses mentransformasikan obyek fisik menjadi obyek simbolik sehingga
tanaman tersebut memiliki makna bagi petani dan kemudian petani tertarik
dan berpartisipasi untuk menanamnya. Pada saat itulah aspek kebudayaan
memiliki peran vital, ketika terjadi proses transformasi yang berupa substansi
material ke dalam makna-makna simbolik yang direlasikan dengan hal-hal lain
misalnya kemiskinan, pengangguran, dan ramah lingkungan. Kebudayaan
memiliki peran penting dalam proses konstruksi tersebut karena kebudayaan
merupakan seperangkat mekanisme kontrol untuk mengatur tingkah laku
(Geertz, 1973).
B. Jejak-Jejak Budidaya dan Pemanfatan Jarak di Indonesia
Terdapat dua jenis pohon jarak yang dikenal di Indonesia, yaitu jarak
kepyar (riniscus communis) yang juga dikenal dengan sebutan kastor, kaliki.
Jenis kedua adalah jarak pagar (jatropha curcas Linn) yang di beberapa daerah
juga dikenal dengan sebutan jarak budeg, jarak gundul, jarak pager, jarak
pandak, jarak wates, dan jarak cina, Buah jarak kepyar dapat dimanfaatkan
untuk bahan tambahan industri cat vernis, plastik, farmasi, dan kosmetika.
Minyak yang dihasilkan tidak cocok digunakan sebagai bahan bakar, tetapi
dapat digunakan untuk pelumas. Di Indonesia, jarak kepyar sudah lebih dahulu
dibudidayakan dari pada jarak pagar. Pada tahun 1880 sebanyak tiga persen
dari seluruh areal tanaman palawija khususnya di Jawa, ditanami dengan jarak
kepyar untuk memenuhi permintaan pasar di Eropa sebagai akibat sampingan
dari perkembangan industri (Boomgaard, 2004:169) Penelusuran Boomgaard
menemukan catatan bahwa pada 1834 bungkil atau ampas sisa perasan biji
jarak lazim digunakan untuk pupuk tanaman pertanian seperti tembakau,
bawang, dan sayuran terutama di daerah Banten, Cianjur, Priangan, Dieng,
Karesidenan Kedu, Madiun, dan Madura (Boomgaard, 1999)
Penggunaan bahan bakar untuk menjalankan mesin dari bahan-bahan
nabati atau tumbuhan diawali oleh Rudolf Christian Karl Diesel pada mesin

5

yang dirancangnya pada tahun 1893.

Mesin rancanganya yang sekarang

disebut dengan mesin diesel awalnya digerakkan dengan bahan bakar dari
minyak kacang. Namun oleh perjalanan waktu bahan bakar fosil menjadi
sumber bahan bakarnya. Penggunaan biofuel sebagai alternatif sumber bahan
bakar yang menjadi fenomena global di paruh awal tahun 2000 sesungguhnya
bukanlah hal baru. Pada skala Global, penggunaan biofuel sudah dilakukan oleh
Brazil dan Amerika sejak abad ke-17 dengan memroduksi etanol yang
kemudian diikuti dengan produksi biodiesel. Produksi etanol di Brazil mulai
meningkat pada tahun 1970an melalui program Proálcool. Program ini
merupakan program untuk mengatasi peningkatan jumlah import minyak yang
mencapai puncaknya tahun 1979 (Worldwatch Institute, 2007). Pertumbuhan
kebutuhan biofuel baik di Brazil, Amerika, dan Uni Eropa semakin meningkat
pada tahun 2000an, salah satu pemicunya adalah ratifikasi negara-negara di
dunia terhadap Protokol Kyoto sebagai upaya dalam mengurangi dampak
perubahan iklim dan pemanasan Global (Wilkinson, 2009). Salah satu peristiwa
penting yang turut mendorong terjadinya ledakan wacana sumber biofuel di
tingkat global adalah uji coba yang dilakukan oleh perusahaan otomotif
Daimler Chrysler pada tahun 2005. Perusahaan itu melakukan uji coba
penggunaan minyak jarak pada mobil produksinya di India. Uji coba tersebut
merupakan salah satu bagian dari program pengembangan biofuel berbasis
jarak pagar di India
Di Indonesia hiruk pikuk pengembangan biofuel berbasis jarak pagar
berlangsung dengan cepat. Affif (2014) melihat bahwa gegap gempitanya
pengembangan jarak pagar di Indonesia pada periode 2005- 2006 sangat
ditentukan oleh adanya hasrat pengembangan teknologi para teknokrat yang
bersekutu dengan birokrat dan pemerintah serta wacana global tentang energi
hijau yang bertemu dengan ingatan masa lalu pada era kolonial tentang
tanaman jarak. Penelitian tentang produksi biofuel dari jarak pagar diawali oleh
ITB sejak tahun 1997 dengan dukungan dana dari Mitsubishi Research Institute
(Miri) dan New Energy and Industrial Technology Development Organization
(NEDO)

dari

Jepang.

Ketika

terjadi

krisis

energi,

pemerintah

mulai

mengupayakan pengembangan jarak pagar. Setelah dirintis oleh ITB, kemudian

6

diikuti oleh IPB, dan BPPT. Setelah itu berbagai instansi pemerintah dan BUMN
mulai ikut terlibat, seperti BPPT, Pertamina, PLN, PT Rajawali Nusantara
Indonesia (RNI)

serta pemerintah daerah seperti Pemprov Nusa Tenggara

Timur, Pemprov. Nusa Tenggara Barat, Pemkab. Purwakarta dan Pemkab.
Indramayu. Saat itulah hiruk pikuk pengembangan jarak pagar dimulai.
Wacana pengembangan jarak pagar di Indonesia mengalami situasi
pasang

surut

yang

cukup

drastis.

Berdasarkan

penelusuran

melalui

pemberitaan surat kabar nasional Kompas menunjukkan bahwa tahun 20042006 adalah periode paling ramai dalam wacana pengembangan jarak pagar di
Indonesia. hal ini ditandai dengan seringnya liputan tentang pengembangan
dan potensi jarak pagar sebagai sumber biofuel. Namun liputan yang merujuk
pada jarak pagar semakin berkurang setelah tahun 2006 dan hilang dari
pemberitaan mulai tahun 2012. (Affif, 2014)
Situasi yang turut mendorong hiruk pikuk industri biofuel di Indonesia
pada saat itu adalah kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di pasar dunia
yang mencapai $70 per barel pada tahun 2005. Akibat dari kenaikan harga
tersebut pemerintah Indonesia sempat menaikkan harga BBM di pasaran
hingga dua kali pada bulan Maret dan Oktober. Perbincangan untuk mencari
energi alternatif selain sumber energi minyak bumi kembali menyeruak karena
keinginan untuk untuk menekan jumlah penggunaan minyak bumi yang terus
meningkat.

Keberhasilan para teknokrat mengolah biji jarak pagar menjadi

bahan bakar semakin menjadikan tanaman Jarak pagar sebagai tanaman yang
diandalkan untuk mengatasi persoalan krisis BBM. Pemerintah kemudian
menerbitkan kebijakan-kebijakan yang mendukung upaya pengembangan
industri minyak jarak pagar. Sebagai tindak lanjut dari Instruksi presiden Nomor
1 tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati
(biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain kemuadian

pada Bulan Juli tahun 2006

dibentuk Tim Nasional Pengembangan Bahan bakar Nabati Untuk Percepatan
Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran. Tugas dari tim tersebut adalah
menyusun cetak biru dan Peta Jalan (Road Map) pengembangan bahan bakar
nabati

untuk

percepatan

pengurangan

kemiskinan

dan

pengangguran.

Kebijakan tersebut terkait dengan kebijakan-kebijakan sebelumnya yaitu

7

terbitnya deklarasi pada bulan Oktober 2005 tentang

gerakan nasional

penanggulangan kemiskinan dan krisis BBM melalui penanam jarak pagar
sebagai bentuk Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK). Pada
tahun 2007 pemerintah Indonesia melalui Mendagri mencanangkan program
Desa Mandiri Energi (DME) dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan
terhadap kebutuhan energi minyak bumi. Konsep Desa mandiri energi adalah
mendorong desa-desa miskin dan terisolasi agar dapat menemukan sumber
energi alternatif selain minyak bumi untuk mencukupi kebutuhan sumber
energinya secara mandiri3.

Desa-desa yang terpilih untuk program Desa

Mandiri Energi kemudian menjadi desa binaan kementrian terkait dan
perusahaan swasta.
Jarak pagar semakin popular di kalangan petani yang berada di daerah
kering dan tandus. Petani mengetahui Jarak pagar sebagai tanaman yang
dapat menjadi sumber bahan bakar, dapat tumbuh di lahan yang tandus dan
tidak perlu perawatan intensif. Wilayah-wilayah dengan kondisi tanah tidak
subur, curah hujan rendah, dan tidak dapat ditanami tanaman pangan menjadi
sasaran untuk areal budidaya tanaman Jarak pagar. Berdasarkan catatan
Puslitbangbun (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan), pada tahun
2006 terdapat 14,2 juta ha lahan yang sesuai dengan kriteria untuk
pengembangan jarak pagar. Lahan tersebut adalah lahan yang dikategorikan
sebagai lahan yang tidak produktif bagi tanaman petanian khususnya padi dan
palawija. Hasil pendataan Tim Departemen Pertanian mencatat bahwa terdapat
lahan seluas 49,5 juta ha yang sesuai untuk pengembangan tanaman jarak
pagar, tersebar di seluruh Indonesia. (Mulyani 2008).
Penelusuran melalui sumber media massa menunjukkan bahwa apa
yang diperbincangan dalam pengembangan jarak pagar juga mengalami
perubahan. Pada tahun 2004 – 2007 perbincangannya didominasi oleh
optimisme keberhasilan pengembangan jarak pagar pada waktu yang akan
datang sebagai solusi terhadap krisis energi dan kemiskinan. Pemberitaan
3

Desa Mandiri Energi dibedakan menjadi dua, yaitu desa yang dapat menyediakan kebutuhan
energi non minyak seperti microhidro, tenaga surya, dan biogas. Kedua adalah menyediakan
energi biofuel terutama yang bersumber dari minyak sawit (palm oil) dan Minyak Jarak (Jatropha
oil).

8

tekait dengan jarak pagar berisi tentang pencanangan pengembangan jarak
pagar baik oleh pemerintah maupun perusahaan swasta dengan luasan yang
cukup fantastis. Pabrik-pabrik yang mulai dibangun, keberhasilan yang dicapai
dari uji coba penggunaan minyak jarak sebagai bahan bakar. Namun pada
tahun 2008 - 2012 pemberitaan tentang jarak pagar berisi tentang hal yang
sebaliknya, yaitu tentang dampak buruk bagi kelestarian ekologi, kegagalan
dari program pengembangan jarak pagar, ketidakjelasan nasib petani terhadap
apa yang diperoleh dari tanaman jarak pagar, hingga kasus-kasus penggelapan
dana dan korupsi dana pengembangan jarak pagar.
Pemerintah Indonesia yang pada tahun 2005 gencar memromosikan
tanaman jarak pagar melalui berbagai program dan kebijakan sekarang tidak
terdengar gaungnya. Proyek jarak pagar yang dikembangkan di beberapa
tempat macet tidak jelas kelanjutannya. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
yang semula aktif mendampingi masyarakat untuk mengembangkan jarak
pagar juga tidak lagi melanjutkan aktivitasnya. Jarak pagar sudah hilang dari
perbincangan, namun demikian tidaklah hilang sama sekali. Pengembangan
jarak pagar masih berlangsung dalam skala terbatas yang dilakukan di pusatpusat penelitian saja. Di tingkat petani, meskipun perbincangan jarak pagar
tidak lagi ramai, tetapi beberapa diantara mereka masih ada yang membiarkan
tanaman itu tetap hidup.

C. Paradoks Jarak Pagar
Sesuai dengan sebutannya “jarak pagar”, maka tanaman ini banyak
ditemui sebagai pagar ladang atau kebun untuk menghalangi hewan masuk ke
kebun dan merusak tanaman. Awalnya tanaman ini tidak disadari dapat
digunakan sebagai sumber energi. Di beberapa tempat justru digunakan
sebagai bahan pembuatan sabun. Klaim dan fakta tentang jarak pagar telah
diuraikan oleh Jongschaap (2007). Tanaman ini diklaim memiliki beberapa sifat
positif yaitu memiliki produktivitas biji yang tinggi, sedikit input tenaga kerja,
tidak bersaing dengan produksi bahan pangan dan tahan terhadap penyakit
(Gaul, 2012). Jarak pagar dapat mengatasi persoalan terjadinya persaingan

9

antara pertanian untuk produksi pangan dan biofuel karena tidak seperti
sumber biofuel dari kelapa sawit, jagung, dan tebu. Jarak pagar tidak termasuk
dalam jenis tanaman yang dapat dimakan sehingga tidak bersaing dengan
kebutuhan pangan. Lahan yang digunakan untuk menanam jarak pagar adalah
lahan yang kurang subur sehingga tidak mengganggu lahan untuk tanaman
pangan.
Namun pengembangan jarak pagar sebagai sumber biofuel tidak luput
dari kontroversi. Euforia pengembangan jarak pagar yang terjadi di berbagai
belahan dunia telah memicu banyak kritik, karena dampak negatif yang
muncul (Ariza-Montobbio, 2010; Hunsberger, 2010; Amir, 2008; Boras et al,
2010). Pengembangan produksi biofuel telah menjadi salah satu faktor penting
yang memicu terjadinya kenaikan harga pangan akibat penggunaan bahan
pangan sebagai sumber biofuel (Food and Agriculture Organization, 2008).
Meskipun jarak pagar tidak termasuk dalam kategori sumber bahan pangan,
namun pada prakteknya

penanaman jarak pagar dalam skala besar dapat

menimbulkan persaingan dalam hal penggunaan lahan. Klaim bahwa budidaya
pohon jarak pagar dapat meningkatkan tingkat ekonomi dan pendapatan serta
menyerap tenaga kerja pada masyarakat yang tinggal di daerah kering
ternyata kini hanya isapan jempol. Produksi biofuel dari jarak pagar nyatanya
lebih menguntungkan petani kaya dan perusahaan dari pada petani kecil
karena mereka memiliki sumber modal yang lebih kuat. Akibatnya terjadi
pemusatan penguasaan lahan oleh petani kaya dan perusahaan sehingga
petani kecil termarginalisasi. Lahan-lahan dikuasai oleh industri-industri besar
dan menimbulkan pemiskinan dan bentuk-bentuk konflik perebutan lahan dan
tenaga kerja. (Franco et al 2010; Fernandes et al, 2010; Hunsbergers, 2010;
Ariza-Montobbio, 2010).

D. Partisipasi Petani di Gunungkidul
Petani di Gunungkidul sudah sejak lama mengenal jarak pagar. Mereka
biasa menjumpai pohon jarak pagar liar yang tumbuh di tempat yang sulit
untuk tanaman lainnya hidup. Ketika mendengar kabar bahwa biji jarak pagar

10

laku dijual, dan kebetulan di desa mereka ada yang mengajaknya menanam
maka para petani mulai ikut-ikutan menanamnya. Mereka merasa yakin bahwa
biji jarak akan tumbuh dengan baik, dan menghasilkan uang karena pohon
jarak liar saja bisa tumbuh dengan baik, apalagi kalau ditanan di tempat yang
baik dan dirawat.
Model pengembangan jarak pagar di Gunungkidul ada dua macam, yaitu
model

perkebunan

monokultur

dan

tumpangsari 4.

Model

perkebunan

monokultur dilakukan oleh perusahaan swasta dengan menyewa atau membeli
lahan dari masyarakat untuk ditanami jarak pagar. Pengelolaan perkebunan
dilakukan oleh tenaga kerja yang dibayar oleh perusahaan. Proyek jarak pagar
dari pemerintah juga ada yang menerapkan model tersebut terutama di lahan
milik negara untuk membuat demplot sumber bibit. Model penanaman
tumpangsari dilakukan oleh masyarakat. Mereka menanam jarak pagar di tepi
lahan dan diantara tanaman jati dan akasia, sekaligus sebagai pagar dari
tanaman pangan.
Para petani di di Desa Sumberwungu, Kecamatan Tepus mulai menanam
jarak karena adanya ajakan dari perusahaan. PT Titan adalah salah satu nama
perusahaan yang masih diingat beberapa petani sebagai perusahaan yang
memperkenalkan jarak pagar kepada mereka. Perusahaan tersebut memiliki
kantor pusat di Jakarta. Perusahaan tersebut digerakkan oleh pengusaha lokal
yang memang memiliki hubungan kerabat, bisnis, dan politik dengan birokrat
di Jakarta. Nama perusahaan “Titan” berasal dari singkatan “Titus Bertani”.
Titus dikenal sebagai nama pemilik perusahaan tersebut.
Suwage, staf kesra di Desa Sumberwungu, mengisahkan bahwa pada
saat proyek jarak pagar berlangsung, dia berperan dalam mendistribusikan biji
jarak kepada petani yang berminat menanam jarak pagar. Saat itu dia
menjabat sebagai Kaur Kesra di pemerintahan desa. Dia ditunjuk oleh
perusahaan

menjadi

koordinator

tingkat

desa

yang

tugasnya

adalah

mendistribusikan bibit kepada petani. Dia juga menjadi pengumpul untuk
pembelian biji jarak pagar dari para petani. Pada saat itu perusahaan berjanji

4

Tumpangsari adalah sistem penanaman beberapa macam jenis tanaman dalam satu lahan
dengan pola tanam tertentu.

11

akan membeli bijinya dengan harga Rp. 3000/kg. Janji itu menarik minat petani
untuk menanam jarak pagar, apalagi jarak pagar tidak perlu perawatan khusus.
Wilayah Gunungkidul merupakan wilayah dengan kondisi geografis yang
kering dan tandus. Tanahnya didominasi lapisan karts dengan kontur berbukitbukit. Lahan pertanian yang subur sangat langka, sehingga banyak lahan-lahan
yang dibiarkan saja tidak dimanfaatkan untuk tanaman pangan, tetapi untuk
tanaman keras, jati (tectona grandis), sengon (Albizzia chinensis), mahoni
(Swietenia macrophylla) dan akasia (Acacia Spec.). Luasan lahan yang dimiliki
masyarakat juga sangat terbatas. Rata-rata petani mengerjakan lahan 10001500 m2. Hanya orang-orang tertentu saja yang mengerjakan lahan luas, yaitu
para perangkat desa yang mendapatkan lahan garapan berupa tanah
pelungguh/bengkok sebagai bentuk upah dari jabatan mereka. Melalaui
pendekatan personal Suwage mulai mendistribusikan bibit jarak kepada petani
yang memiliki lahan yang tidak dimanfaatkan untuk tanaman pangan dan
tanaman keras. Pendekatan dilakukan dengan cara informal yaitu pada saat
bertemu dan berbincang-bincang dengan masyarakat. “Alasmu kana kae mbok
ditanami jarak wae, wong isih selo tandurane, suk tak wenehi bibite, sapa
ngerti suk payu rak lumayan hasile”. “hutanmu itu ditanami jarak pagar saja,
kan tanamannya masih jarang, besok saya kasih bibitnya, siapa tahu besok
laku kan hasilnya lumayan…” demikian yang dia katakan untuk mengajak para
petani agar mau menanam jarak pagar. Petani yang berminat lalu diberi biji
jarak sebagai bibit sesuai dengan luas lahan yang akan ditanami jarak pagar.
Suwage kemudian mencatat luas lahan yang yang didaftarkan oleh petani
kemudian mengajukan permohonan bibit ke perusahaan. Selain berupa biji,
perusahaan juga memberikan benih jarak pagar yang disemai pada polybag
dan sudah tumbuh sekitar 30 cm.
Meskipun banyak petani yang mendaftar untuk menanam jarak pagar,
namun benih jarak pagar hanya terdistribusikan kepada orang-orang tertentu
saja. Tidak semua petani kemudian menanam tanaman tersebut karena lahan
yang dimiliki terbatas. Orang yang dapat menanam jarak pagar dalam jumlah
banyak adalah para perangkat desa karena mereka memiliki akses lahan lebih
banyak dibanding masyarakat umum.

12

Suwage sangat bersemangat menanam jarak. Sebagai staf desa, dia
ingin memberi contoh kepada warganya agar ikut menanam jarak, karena
dapat memberikan keuntungan yang besar. Suwage tidak hanya menanam di
lahan miliknya. Dia juga menanami lahan pelungguh staf desa lainnya serta
tanah kas desa yang tidak dimanfaatkan untuk tanaman pangan atas seijin
penggarapnya tanpa menyewa. Dia hanya bilang kalau besok memang ada
hasilnya maka akan diperhitungkan bagiannya. Pada saat itu dia mengeluarkan
dana dari kantongnya sendiri hingga lebih dari satu juta rupiah untuk
membayar ongkos tenaga kerja penanaman. Bibit jarak yang ditanamnya
bukan hanya yang berasal dari perusahaan, tetapi dia juga mencarinya dari biji
jarak pagar liar di hutan.
Keikutsertaan petani dalam penanaman jarak disebabkan karena adanya
staf perangkat desa yang terlibat di dalamnya. Para petani mengira bahwa
proyek tersebut merupakan program pemerintah yang harus didukung. Para
petani hanya mengikuti apa yang dilakukan oleh petani lainnya. Mereka
mendaftarkan luas lahan yang akan ditanami jarak pagar kepada staf
pemerintahan desa, kemudian bibit, pupuk beserta sejumlah insentif untuk
ongkos tenaga penanaman akan diterima oleh petani. Tidak ada yang
mengontrol apakah bibit itu ditanam dengan baik atau tidak. Seorang petani
menceritakan bahwa ada sebagian petani yang betul-betul menanam bibit
yang diterima sesuai dengan yang dianjurkan, namun ada juga yang asalasalan karena kondisi lapisan tanahnya berbatu.
Setelah jarak pagar tumbuh semakin besar dan mulai berbuah, ternyata
hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Meskipun pohonnya tumbuh dengan
baik namun buahnya hanya sedikit, sehingga mereka merasa enggan untuk
memanen dan menjualnya. Beberapa petani sempat mengumpulkan biji yang
diperoleh ke tempat Suwage sebagai koordinator. Tetapi karena jumlahnya
hanya sedikit, perusahaan tidak mau membelinya dengan alasan tidak
sebanding dengan biaya pengambilan. Akhirnya petani malas untuk merawat
dan memanen biji jarak pagar. Petani berpikir bahwa lebih baik tenaga dan
waktunya digunakan untuk mengerjakan hal lain daripada untuk memetik biji
jarak pagar. Pada sisi lain, jarak pagar berbuah pada saat intensitas kerja

13

pertanian sedang tinggi, yaitu bersamaan dengan panen jagung. Petani lebih
memprioritaskan mengerjakan yang lainnya daripada mengurus jarak pagar.
Memanen jarak pagar ternyata cukup memakan waktu kerena untuk memetik
buahnya dalam satu tandan harus dipilih mana buah yang sudah tua dan mana
yang belum. Tanaman jarak pagar yang masih ada kini kondisinya tidak terawat
dan diterlantarkan saja, tidak berbuah bahkan banyak yang kering dan mati.
Beberapa yang masih hidup tetap dibiarkan karena dirasa tidak menggangu
tanaman lain.

Suwage, sebagai koordinator yang bertugas menampung biji

jarak, belum pernah melakukan pembelian dari petani. Akhirnya aktivitas
Suwage sebagai koordinator berangsur-angsur menurun hingga berhenti.
Perusahaan tidak lagi menghubungi atau berkoordinasi. Sampai sekarang tidak
jelas kelanjutannya. Mesin pengepres biji jarak yang diberikan oleh Dinas
Perindustrian dan Koperasi akhirnya mangkrak di belakang balai desa sebelum
sempat digunakan.
Desa lain yang menjadi proyek penanaman jarak pagar adalah Desa
Purwodadi. Proyek jarak pagar dikerjakan oleh pemerintah kabupaten di bawah
koordinasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun). Di bawah koordinasi
pemerintah desa, para petani diorganisasi dalam kelompok petani penanam
jarak pagar berdasarkan letak lahan yang akan ditanami jarak pagar. Terdapat
34 kelompok dengan anggota kelompok berkisar antara 30-40 orang.
Sebelum bibit datang, petani harus sudah menyiapkan lubang tanam
sesuai dengan jumlah bibit yang diajukan. Bibit dikirim ke blok lokasi
penanaman dalam polybag. Bibit tersebut rata-rata sudah tumbuh antara 2530 cm. Karena lokasi penanaman di bukit-bukit yang tidak dapat dijangkau
kendaraan maka bibit hanya diturunkan di suatu tempat yang disepakati,
kemudian petani harus memikulnya ke lahan masing-masing. Membawa bibit
hingga ke lahan tidaklah mudah. Tanah dalam polybag menjadikan beban berat
dalam mengangkutnya karena untuk sampai di lahan harus melintasi bukit dan
jalan setapak. Surkawi bercerita kalau ada di antara mereka yang membuang
tanah dalam polybag ke sungai atau jurang supaya bebannya menjadi ringan.
Bahkan ada juga yang membuang bibitnya. “lha mung wit jarak wae kok
ndadak ditandur sak lemahe, marai ngebot-boti le mikul. Dijabut wae rak ya

14

urip…”. (“lha cuma pohon jarak saja kok ditanam beserta tanahnya,
menjadikan berat saat dipikul. Dicabut saja pasti ya tumbuh…”). Ternyata
benar, jarak pagar tetap bisa tumbuh meskipun ditanam dari bibit yang sudah
dicabut dari polybag-nya. Selain mendapatkan bibit, petani juga mendapatkan
uang insentif untuk pembuatan lubang tanam, pengangkutan, dan penanaman.
Selain itu petani masih mendapatkan pupuk untuk pemupukan awal. Giyar,
salah seorang petani, mengatakan bahwa besarnya uang insentif adalah Rp.
1000,- per bibit. Saat itu dia menerima uang Rp. 1.250.000. Uang tersebut dia
gunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, karena saat pembuatan lubang
tanam dan penanaman dia kerjakan bersama istrinya. Beberapa petani lain
berkisah bahwa dia menerima uang hanya sekedar untuk lewat saja karena
uang tersebut habis untuk upah tenaga kerja.
Pada

perkembangannya ternyata

jarak

pagar tidak

seperti

yang

diharapkan. Bibit dan benih yang ditanam awalnya tumbuh dengan baik,
namun buahnya sedikit. Beberapa petani ada yang sempat memanen tetapi
hanya mendapatkan 1-2 kg saja sehingga mereka malas membawanya ke
penampung di tingkat desa. Padahal menurut skema proyek, hasil panen biji
jarak pagar akan ditampung oleh pengurus kelompok tingkat desa lalu setelah
terkumpul akan diproses menjadi minyak jarak di pabrik yang sudah dibangun.
Pengurus kelompok di tingkat desa akan membeli biji tersebut. Namun ternyata
jarak pagar yang ditanam tidak kunjung berbuah. Mereka merasa heran,
mengapa jarak pagar yang liar tanpa perawatan dapat tumbuh dan berbuah
lebat, tetapi ketika ditanam dan diharapkan buahnya justru tidak berbuah.
Rasa heran itu mengiringi semakin pudarnya popularitas jarak pagar di mata
petani.
E. Jarak Pagar dan Pengetahuan Petani
Proyek penanaman jarak pagar baik dari pemerintah, perusahaan,
ataupun

LSM

secara

antropologis

dapat

ditempatkan

sebagai

proses

pembentukan nilai baru bagi petani terhadap tanaman jarak pagar. Sebelum
adanya introduksi tentang jarak pagar, petani menempatkan jarak pagar dalam
kategori tanaman liar,

tidak termasuk tanaman yang dibudidayakan untuk

15

diambil hasilnya sebagaimana jagung, ketela atau tanaman pertanian lainnya.
Karakter fisik tanaman jarak pagar berbeda dengan karakter tanaman
musiman yang sudah biasa dibudidayakan oleh petani. Jarak pagar merupakan
tanaman tahunan. Pada musim hujan, pohon akan tumbuh baik, daun hijau
disertai dengan munculnya bunga dan buah. Namun sebaliknya pada musim
kemarau, daunnya akan gugur, hanya tinggal pangkal pohonnya yang tumbuh.
Ketika

jarak

pagar

dikenalkan

sebagai

tanaman

yang

dibudidayakan,

karakternya tidak sejalan dengan sistem kognitif petani bahwa tanaman
budidaya yang baik adalah tanaman yang daunnya selalu hijau dan lebat.
Sejauh ini petani mengenal jarak pagar sebagai tanaman liar yang hanya
sebagai pagar ladang. Dengan demikian, proses introduksi jarak pagar
menghadapi kesenjangan sistem pemaknaan kultural sebagai salah satu jenis
tanaman pertanian. Petani memiliki memiliki kategorisasi-kategorisasi tertentu
terhadap tanaman yang ditanamnya. Kategorisasi tersebut merupakan bentuk
pemaknaan terhadap tanaman itu, dan berimplikasi pada perilaku sosial
mereka dalam menentukan cara memandang, bersikap, dan bertindak.
Jarak pagar diperkenalkan sebagai tanaman yang dapat tumbuh di
lereng-lereng gunung berkapur. Tujuannya agar tidak mengganggu dan berebut
dengan lahan yang digunakan untuk menanam tanaman pangan serta
mengoptimalkan penggunaan lahan agar memberikan kontribusi ekonomi
kepada petani. Pada praktek pertanian di Gunungkidul, lahan di lereng gunung
dan berbatu kapur selama ini tidak dapat dimanfaatkan untuk pertanian
intensif tetapi dijadikan hutan rakyat dengan ditanami jati (tectona grandis),
akasia (acacia auricoliformis), dan sengon (paraserianthes falcataria). Tanaman
kayu merupakan tanaman jangka panjang yang hampir tanpa perlu perawatan
yang intensif. Setelah ditanam, pohon tumbuh dengan sendirinya hingga
beberapa tahun lalu dijual. Nyaris tanpa perawatan. Kayu jati merupakan kayu
yang harganya paling mahal, akan tetapi pohon akasia lebih disukai karena
memiliki daun yang tetap bertahan hijau meskipun pada musim kemarau.
Daun akasia dimanfaatkan untuk pakan ternak pada musim kemarau meskipun
kandungan nutrisinya rendah. Ketika jarak pagar ditanam di lahan pada lahan
yang digunakan untuk menanam berbagai jenis kayu, maka tanaman jarak

16

pagar diperlakukan sebagaimana halnya memperlakukan tanaman kayu yaitu
ditanam dan dibiarkan saja tumbuh sendiri. Padahal secara teknis jarak pagar
membutuhkan perawatan intensif seperti pemangkasan dan pemupukan.
Penanaman jarak pagar menggunakan lahan yang berada tepi-tepi
ladang. Padahal lokasi tersebut biasanya ditanami dengan tanaman yang
daunnya dapat digunakan untuk pakan ternak terutama pada saat musim
kemarau,

seperti

lamtoro

(leucaena

leucochepala),

gamalina

(glirisedia

sepium), dan turi (sesbania grandiflora). Tanaman tersebut merupakan
tanaman yang dimanfaatkan daunnya untuk pakan ternak. Ketika proyek jarak
pagar berlangsung, lokasi pinggir-pinggir ladang dimanfaatkan untuk menanam
jarak maka dapat mengurangi areal untuk menanam pakan ternak.
Proses introduksi jarak pagar sebagai sumber biofuel mengalami
transformasi pemaknaan dalam sistem kognitif petani. Introduksi jarak pagar
gagal dipahami petani sebagai jalan peningkatan kesejahteraan melalui
pengembangan komoditi baru. Petani justru memaknainya secara berbeda,
jarak pagar tidak semata-mata dimanani secara ekonomis, ramah lingkungan,
sumber energi, tetapi telah bertransformasi menjadi sesuatu yang lain.
Partisipasi petani menanam jarak pagar bukan lagi didasari pada apa yang
diintroduksikan oleh perusahaan ataupun pemerintah, tetapi didasari oleh
konstruksi yang terbangun dalam relasi sosial mereka yaitu siapa yang
mengintroduksikan. Petani mau menanam jarak karena yang mengajak adalah
salah satu perangkat desa. Perangkat desa termasuk orang yang disegani di
lingkungannya sehingga apa yang dikatakannya cenderung untuk dipatuhi.
Relasi antara perangkat desa dengan warga umumnya membentuk hubungan
patronase yang secara politik menempatkan perangkat desa pada posisi yang
lebih dominan. Pada sisi lain, pengembangan jarak pagar juga menunjukkan
aspek kolektifitas dalam masyarakat. Kalau ada yang menanam jarak
kemudian seseorang tidak ikut menanam maka orang itu akan dianggap “ora
lumrah” (tidak umum) karena orang tersebut menjadi tidak sama dengan
temannya. Jika dapat melakukan seperti yang dilakukan orang lain maka, entah
gagal ataupun berhasil, dia juga harus merasakan seperti yang dirasakan
orang lain.

17

Ketika pada kenyataanya jarak pagar telah gagal menjadi tanaman
komoditi yang dibudidayakan petani, namun tidak menjadikan jarap pagar
dimusnahkan

atau

diganti

dengan

tanaman

lain.

Para

petani

masih

membiarkan jarak pagar tetap hidup meskipun dalam kondisi tidak terawat.
Jara pagar masih tampak tumbuh di pinggir-pinggir jalan utama sebagai pagar
pembatas ladang. Di beberapa tempat tampak subur dan berbuah banyak,
tetapi sudah tidak dipanen bijinya karena tidak ada pembelinya. Patani
memiliki beberapa alasan mengapa jarak pagar itu tidak dimusnahkan.
Pertama karena keberadaan jarak pagar tidak mengganggu tanaman pangan.
Kedua, para petani merasa tanaman tersebut telah ditanam dengan susah
payah, bahkan membutuhkan banyak biaya dan tenaga. Ketiga, jarak pagar
tetap dibiarkan tumbuh terutama yang berada di tepi jalan utama, hal itu
ditujukan untuk memberikan bukti kepada pemerintah bahwa para petani
sudah menjalankan proyek dengan baik. Kegagalan proyek jarak pagar
bukanlah

kesalahan

petani.

Dengan

demikian

maka

pemerintah

akan

mempercayai mereka sehingga akan ada proyek lain yang akan masuk ke desa
itu. Keempat, para petani masih memiliki harapan bahwa suatu saat jarak
pagar akan kembali bangkit dan akan ada pasarnya, jika itu terjadi maka para
petani langsung mendapatkan keuntungan karena sudah memiliki pohon jarak
pagar tanpa perlu menanamnya dari awal. Saat ini jarak pagar di mata petani
Gunungkidul menjadi tanaman yang mati suri. Saat ini sedang berhibernasi,
dan akan bangkit lagi pada musim atau konsisi yang memungkinkan untuk
kembali bangun.
F. Kesimpulan
Dalam sistem kognitif petani, lahan memiliki kategorisasi-kategorisasi
tertentu,

baik

berdasarkan

lokasi,

jenis

tanah,

jenis

tanaman,

dan

kepemilikannya. Kategorisasi tersebut berimplikasi pada perilaku sosial mereka
dalam menentukan cara pandang, bersikap, dan memaknai sesuatu. Ketika
jarak

pagar

ditanam

di

lereng-lereng

gunung

kapur

maka

petani

memperlakukan tanaman tersebut sebagaimana pengalaman kultural mereka
terhadap kategori tempat itu. Selama ini lokasi di lereng bukit dengan lapisan

18

tanah berkapur bukan lahan untuk diolah secara intensif, tetapi digunakan
untuk menanam kayu dengan intensitas kebutuhan tenaga kerja yang rendah.
Oleh karena itu, jarak pagar diperlakukan sebagaimana tanaman lain yang
tumbuh di tempat itu, seperti jati, akasia, dan sengon yang ditanam, dibiarkan,
kemudian tumbuh sendiri dan tinggal memetik hasilnya.
Proses introduksi jarak pagar sebagai sumber biofuel mengalami
ketidaksesuaian makna dengan sistem kognitif petani terkait jenis tanaman
produktif dan dibudidayakan. Ketidaksesuaian tersebut merupakan bentuk
transformasi nilai dan pemaknaan yang terjadi sebagai proses interaksi sosial
dalam berkomunitas. Klaim besar bahwa jarak pagar adalah tanaman yang
bernilai ekonomis, ramah lingkungan telah bertransformasi menjadi sesuatu
yang lain ketika berada di hadapan petani. Partisipasi petani menanam jarak
pagar bukan didasari pada apa yang diintroduksikan oleh perusahaan ataupun
pemerintah, tetapi didasari oleh konstruksi yang terbangun dalam relasi sosial
mereka. Petani mau menanam jarak karena yang mengajak adalah salah satu
perangkat desa. Pada umumnya perangkat desa adalah termasuk orang yang
disegani di lingkungannya sehingga apa yang dikatakannya cenderung untuk
dipatuhi. Pada sisi lain, euforia jarak pagar juga dapat dilihat sebagai bagian
dari kolektifitas masyarakat. Kalau ada yang menanam jarak kemudian
seseorang tidak ikut menanam maka orang itu akan dianggap “ora lumrah”
(tidak umum) karena tidak sama dengan temannya. Jika dapat melakukan
seperti yang dilakukan orang lain maka, entah gagal ataupun berhasil, dia juga
akan merasakan seperti yang yang dirasakan orang lain. Jarak pagar sebagai
substansi material telah bertransformasi menjadi substansi simbolik dan
memiliki makna tertentu ketika berada dalam relasi sosial. Oleh karena itu, bisa
jadi kegagalan proyek jarak pagar terjadi karena adanya proses transformasi
yang senjang ketika makna dikonstruksi ulang dalam konteks sosial yang
berbeda.

Daftar Pustaka.

19

Afiff, Suraya. 2014. Engineering the Jatropha Hype in Indonesia. Sustainability
6, 1686-1704; doi:10.3390/su6041686
Amir, S. et al. 2008. Cultivating Energy, Reducing Poverty: Biofuel
development in an Indonesian Village. Perspectives on Global
Development and Technology, 7:2 113-132.
Ariza-Montobbio, P. et al. 2010. The Political Ecology of Jatropha Plantations for
Biodiesel in Tamil Nadu, India. Journal of Peasant Studies, 37: 4, pp
875 — 897.
Boomgaard, P. 1999.“Maize and Tobacco in Upland Indonesia, 1600-1940”
dalam Tania Li (ed) Transforming the Indonesian Uplands:
Marginality, Power and Production. Harwood Academic Publishers,
Canada.
Boomgaard, Peter. 2004. Anak Jajahan Belanda: Sejarah Sosial dan Ekonomi
Jawa 1795-1880. Terjemahan Monique Susman. Djambatan, Jakarta,
Brittaine, R., Lutaladio, M.
The

Potential

for

2010. Jatropha: a Smallholder Bioenergy crop.
Pro-poor

Development.

Integrated

Crop

Management, vol. 8. IFAD, Rome.
Borras Jr., Saturnino M., McMichael, Philip and Scoones, Ian. 2010. The Politics
of Biofuels, Land and Agrarian Change: editors' introduction', Journal
of Peasant Studies, 37: 4, 575 — 592
FAO. 2008. The Sate of Food and Agriculture. Rome.
Franco, Jennifer , Levidow, Les , Fig, David , Goldfarb, Lucia , Hönicke, Mireille
and Luisa Mendonça, Maria (2010). Assumptions in the European

20

Union biofuels policy: frictions with experiences in Germany, Brazil
and Mozambique. Journal of Peasant Studies. 37: 4, 661 — 698
Fernandes, Bernardo Mançano, Welch, Clifford Andrew and Gonçalves, Elienaí
Constantino. 2010. Agrofuel policies in Brazil: paradigmatic and
territorial disputes, Journal of Peasant Studies, 37: 4, 793 — 819
Fatimah, Yuti Ariani. 2009. Opening the Indonesian Bio-Fuel Box: How Scientists
Modulate the Social. International Journal of Actor-Network Theory
and Technological Innovation, Volume 1 (2) pp 1-12
Hunsberger, Carol.

2010. The politics of Jatropha-based biofuels in Kenya:

convergence and divergence among NGOs, donors, government
officials and farmers. The Journal of Peasant Studies 37: 4, 939–962.
Gaul, Mirco. 2012. Evaluating the Performances of Rural Energy Service
Pathways and their Impacts on Rural Livelihoods An analysis model
tested on Jatropha-based energy services in Sumbawa, Indonesia.
PhD dissertation, Technische Universitat Berlin.
Geertz, Clifford. 1973 The Interpretation of Culture: Selected Essays. Basic
Books Inc. USA.
Jongschaap, R. E. E., Corr´e, W. 2007. Claims and Facts on Jatropha curcas
L., Global Jatropha curcas Evaluation. Breeding and Propagation
Programme, Plant Research International Wageningen UR.
Kloppenburg,

J.M.C.

(N/A)

(accessed 11 Juni 2013)
Mulyani Anny. 2008. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 30, No.
4

21

Wilkinson, John and Herrera, Selena, (2010) 'Biofuels in Brazil: debates and
impacts', Journal of Peasant Studies, 37: 4, 749 — 768

22