TUGAS HUKUM PIDANA Nama Abraham Astral N

TUGAS HUKUM PIDANA

Nama: Abraham Astral
NIM: 175010101111075

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Masalah korupsi tengah menjadi perbincangan hangat di masyarakat, terutama media massa
lokal dan nasional. Maraknya korupsi di Indonesia seakan sulit untuk diberantas dan telah
menjadi budaya. Pada dasarnya, korupsi adalah suatu pelanggaran hukum yang kini telah
menjadi suatu kebiasaan. Korupsi merupakan masalah besar yang di hadapi Indonesia sejak
dahulu hingga sekarang. Korupsi menyebabkan kemiskinan dan kehancuran moral pada
sebagian besar rakyat Indonesia. Hasil kerja KPK membuktikan bahwa sebagian besar pihak
melakukan korupsi, terutama pelakunya adalah para pejabat Negara , bahkan sampai saat ini
mungkin banyak pihak yang belum terungkap dengan tindakannya sebagai seorang koruptor.
Hal ini menjadi ancaman besar yang nyata dan sedang berlangsung bagi bangsa Indonesia,
bagaimana nasib bangsa Indonesia kedepannya jika para pemimpin bangsa pada akhirnya
bertindak sebagai seorang koruptor yang seharusnya mengabdi pada bangsa dan pembawa
amanah rakyat justru merampas hak-hak rakyat indonesia. Selain itu, korupsi di Indonesia
kini semakin meresahkan dan telah menjamur di berbagai segi kehidupan masyarakat. Dari

Instansi tingkat desa, kota, maupun swasta hingga pemerintahan, tetapi mengadakan usaha
dan upaya untuk memberantas korupsi memang bukan suatu yang sia-sia. Penyelesaian
korupsi masih tebang pilih dan pelaksanaan hukumnya masih belum maksimal. Masih banyak
koruptor yang berkeliaran di Indonesia, dan para koruptor tersebut sekarang cukup pandai
untuk mengelabuhi para penegak hukum dengan menyuap agar terhindar dari tanggungjawab
akibat tindakannya. Dalam makalah ini akan di bahas mengenai apa itu korupsi, siapa saja
pihak-pihak yang melakukan korupsi, apa sebab-akibat terjadinya korupsi yang di lakukan
oleh para pejabat Indonesia dan contoh kasus korupsi, Ini merupakan sedikit gambaran
bahwasannya tindak pidana korupsi di Indonesia telah membudidaya, belum mampu
diberantas sampai akar-akarnya dan hingga menjadikan Indonesia salah satu negara terkorup
sampai saat ini.
1.2. Rumusan Masalah
Sehubungan dengan latar belakang masalah di atas, permasalahan yang dibahas dalam
penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian korupsi ?
2. Apa penyebab timbulnya korupsi ?
3. Siapa badan pemberantasan korupsi ?
4. Bagaimana kinerja KPK dalam pemberantasan kasus korupsi ?
5. Contoh dan analisis kasus korupsi yaitu Kasus Korupsi Miranda Goeltom.
1.3. Tujuan Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan dalam penulisan makalah ini, antara
lain :
1. Untuk mengetahui pengertian korupsi
2. Untuk mengetahui penyebab timbulnya korupsi
3. Untuk mengetahui badan pemberantasan korupsi
4. Untuk mengetahui kinerja KPK dalam pemberantasan kasus korupsi
5. Untuk mengetahui salah satu contoh kasus Korupsi beserta analisisnya, Yakni Kasus
Korupsi Miranda Goeltom.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari perkataan bahasa latin “corruptio” yang berarti kerusakan atau
kebrobokan. Di samping itu perkataan korupsi dipakai pula untuk menunjuk keadaan atau
perbuatan yang buruk.Korupsi juga banyak yang disangkutkan pada ketidakjujuran seseorang
dalam bidang keuangan.[1]
Pengertian Korupsi Menurut Undang-Undang :
Korupsi menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara.”
Pasal 3 menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah: “Setiap orang yang
dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara”.
Menurut beberapa ahli diantaranya :
Pengertian korupsi telah banyak diungkapkan oleh beberapa ahli hukum, antara lain diuraikan
secara cukup lengkap oleh Andi Hamzah (1991) yang menyatakan:
Bahwa korupsi berasal dari bahasa latin corruption (diambil dari “Rechtsgeleerd
Handwoordenboek”, Fockema Andreae,1951) atau corruptus (diambil dari “Webster Student
Dictionary”, 1960). Selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu berasal pula dari kata latin
yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpereyang berarti pecah dan jebol. Dari bahasa
latin inilah turun ke banyak bahasa di Eropa seperti Inggris :corruption, corrupt, Perancis :
corruption, dan Belanda corruptie (korruptie) yang kemudian turun ke bahasa Indonesia :
“korupsi”.[2]
Soedjono D mengemukakan bahwa : “Korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan
keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintahan, penyelewengan
kekuasaan-kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik serta
penempatan politik, klik golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya.[3]

Secara hukum pengertian "korupsi" adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian "korupsi" lebih ditekankan kepada perbuatan yang
merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk keuntungan pribadi atau golongan.

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:
perbuatan melawan hukum,
penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
2.2. Penyebab Timbulnya Korupsi
Pada hakikatnya, awal mula praktik korupsi di Indonesia sudah ada sejak zaman penjajahan
Belanda, sekitar tahun 1800-an yaitu pada masa VOC yang kemudian terus berlanjut hingga
masa setelah Indonesia merdeka. Pada masa Orde Baru, korupsi semakin merajalela
dikalangan penguasa di republik ini. Berbagai kasus korupsi menjerat para pemegang
kekuasaan publik, hal ini jugalah yang turut menjadi penyebab terjadinya Reformasi 1998. Ini
menandakan bahwa korupsi di Indonesia sudah berlangsung begitu lama dan seolah tidak ada
tindakan untuk memutus mata rantai korupsi.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka harus diketahui apa saja pokok permasalahan dan

faktor-faktor yang menyebabkan seorang pejabat publik atau aparat pemerintah melakukan
korupsi. Ada berbagai faktor yang menyebabkan seseorang melakukan korupsi, diantaranya
sebagai berikut[4] :
1. Rendahnya iman dan moral yang dimiliki seorang pemegang kekuasaan publik sehingga
mudah terpengaruh dan tergoda untuk melakukan praktik korupsi.
2. Kurang tegasnya peraturan perundang-undangan menekan atau memberantas korupsi,
kolusi, dan nepotisme serta sanksi yang kurang tegas bagi pelaku KKN sehingga tidak
menimbulkan efek jera dan tidak mencegah munculnya koruptor-koruptor baru.
3. Lemahnya pengawasan dan kontrol terhadap kinerja aparat negara sehingga memberikan
peluang korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
4. Gaji yang relatif rendah, faktor inilah yang sering menjadi alasan utama seseorang
melakukan korupsi, karena ia menganggap bahwa gaji yang ia dapat belum cukup untuk
mendapatkan kehidupan yang berkecukupan. Selain itu, tingkat pendapatan juga dianggap
tidak sebanding dengan tingkat kebutuhan hidup yang semakin meningkat dan semakin
kompleks.
5. Rendahnya pengetahuan dan partisipasi masyarakat dalam hal kontrol kinerja aparat
pemerintahan serta kebijakan-kebijakan yang diambil, sehingga rentan penyelewengan
kekuasaan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
6. Budaya korupsi yang sudah berkembang dimasyarakat, warisan budaya korupsi yang
sudah ada sejak zaman kolonial yang terus berlanjut hingga masa pasca Indonesia merdeka,

bahkan hingga era reformasi menjadikan korupsi semakin sulit untuk diberantas secara
menyeluruh.
7. Tidak adanya rasa nasionalisme dalam diri pejabat publik, keserakahan para pelaku korupsi
dan lain lain.
2.3. Badan Pemberantasan Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi[5], atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia
yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di
Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK diberi
amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan
berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen, yang dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun.
KPK dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembagalembaga yang ada sebelumnya. Penjelasan undang-undang menyebutkan peran KPK sebagai

trigger mechanism, yang berarti mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan
korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien.
Adapun tugas KPK adalah koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi (TPK); supervisi terhadap instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan TPK; melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
terhadap TPK; melakukan tindakan-tindakan pencegahan TPK; dan melakukan monitor

terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam pelaksanaannya tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu: kepastian
hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proposionalitas. KPK
bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala
kepada presiden, DPR, dan BPK. KPK dipimpin oleh Pimpinan KPK yang terdiri atas lima
orang, seorang ketua merangkap anggota dan empat orang wakil ketua merangkap anggota.
Kelima pimpinan KPK tersebut merupakan pejabat negara, yang berasal dari unsur
pemerintahan dan unsur masyarakat. Pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun
dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Dalam pengambilan keputusan,
pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial
Pimpinan KPK membawahkan empat bidang, yang terdiri atas bidang Pencegahan,
Penindakan, Informasi dan Data, serta Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
Masing-masing bidang tersebut dipimpin oleh seorang deputi. KPK juga dibantu Sekretariat
Jenderal yang dipimpin seorang Sekretaris Jenderal yang diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden Republik Indonesia, namun bertanggung jawab kepada pimpinan KPK. Ketentuan
mengenai struktur organisasi KPK diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan
masyarakat luas tetap dapat berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-langkah yang
dilakukan KPK. Dalam pelaksanaan operasional, KPK mengangkat pegawai yang direkrut
sesuai dengan kompetensi yang diperlukan.
Fungsi dan Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi[6]

Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas :
Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi.
Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi.
Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :
Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi
yang terkait;
Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Mengenai tugas, wewenang, dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi selengkapnya,
dapat dilihat pada Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
2.4. Kinerja KPK dalam Pemberantasan Korupsi[7]

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan sepanjang 2013 telah terjadi peningkatan
jumlah perkara korupsi. Dari 49 perkara yang ditangani pada 2012, tahun 2013 meningkat
hampir dua kali lipat menjadi 70 perkara. Keseluruhan jumlah penanganan perkara tahun
2013 meliputi 76 kegiatan penyelidikan, 102 penyidikan, dan 66 kegiatan penuntutan, baik

kasus baru maupun sisa penanganan pada tahun sebelumnya. Eksekusi yang dilakukan KPK
terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) berjumlah 40. Dari sejumlah
perkara yang ditangani, KPK berhasil menyelamatkan uang negara sebesar 1,196 triliun
rupiah, dengan perincian 1,178 triliun rupiah dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
perkara dan 18,568 miliar rupiah dari lelang gratifikasi. Di bidang penindakan, KPK juga
melakukan sejumlah terobosan hukum yang bertujuan untuk makin memberikan efek jera dan
terapi kejut. Di antaranya penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)
di hampir semua kasus yang ditangani dan hukuman tambahan berupa kewajiban mengganti
kerugian negara dan pencabutan hak politik dan sebagainya," kpk juga berhasil menangani
kasus-kasus besar, diantaranya kasus BLBI, Korupsi yang melibatkan sejumlah kader Partai
Demokrat, Korupsi yang melibatkan Miranda Goeltom, Aulia Pohan, Akil mochtar, termasuk
kasus suap pengadaan kuota impor daging sapi dan kasus-kasus korupsi lainnya.

2.5. Contoh dan Analisis Kasus Korupsi Miranda Goeltom
Kasus korupsi Miranda Goeltom merupakan kasus yang menghebohkan Indonesia

karena terdapat cerita unik di dalamnya. Kasus ini terungkap dan menjadi ramai pada tahun
2008, yakni pada saat Agus Condro Prayitno mantan anggota DPR RI komisi IX periode
1999-2004 melaporkan adanya uang berupa travel cheque yang diberikan kepada anggota
DPR setelah 56 anggota Komisi IX memilih Miranda menjadi Deputi Senior Gubernur BI
pada Juni 2004. Dengan adanya laporan dari Agus Condro tersebut, KPK kemudian
melakukan penyelidikan dan penyidikan hingga terdapat 26 tersangka pada kasus suap
tersebut termasuk Agus Condro sendiri.
A. Kronologi Kasus Miranda Goeltom
Lantas bagaimana bisa Miranda Goeltom bisa bersalah? Seperti Apa kasusnya ? Berikut
adalah kronologis yang bisa menjelaskan tentang kasus korupsi suap Miranda Goeltom
terkait Pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada tahun 2004 yang melibatkan
Nunun Nurbaeti dan sejumlah anggota DPR komisi IX.
Pengungkapan kasus suap pada pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, lewat fit
and proper test oleh Komisi IX DPR RI, 8 Juni 2004, sejatinya bukan murni prestasi penyidik
KPK. Adanya permainan uang Rp 24 miliar terdiri atas 480 lembar cek pada pemilihan
Miranda Swaray Goeltom itu atas 'keluguan' anggota DPR Agus Condro Prayitno dari Fraksi
PDIP.
Entah karena gugup menghadapi penyidik KPK, dalam dua kali pemeriksaan, 4 dan 8 Juli
2008 untuk bersaksi atas kasus aliran dana BI Rp 100 miliar ke DPR dengan tersangka
Hamka Yandhu, saat itu Agus keceplosan turut menerima uang Rp 500 juta. Atas

keluguannya, Agus Condro sendiri dinyatakan bersalah dan diganjar penjara 15 bulan.
Ia menuturkan menerima uang setelah 56 anggota Komisi IX memilih Miranda menjadi
Deputi Senior Gubernur BI pada Juni 2004. Miranda menang telak dengan meraih 41 suara
atas dua pesaingnya, yakni Budi Rochadi (12 suara), dan Hartadi A Sarwono (1 suara). Dua
suara lainnya abstain. Kemenangan Miranda didukung PDIP dan Golkar.
Belakangan hari, uang yang diberikan kepada anggota DPR untuk suap memilih Miranda
diduga berasal dari Nunun Nurbaetie. Berikut kronologis kasus suap cek perjalanan kepada
DPR dalam pemilihan Miranda Goeltom[8] :

7 Juni 2004

Nunun Nurbaetie melakukan pertemuan dengan Hamka Yandhu di kantornya di Jalan Riau,
Menteng, sebelum fit and proper test calon DGS BI. Dalam pertemuan tersebut, Nunun dan
Hamka membicarakan rencana pemberian TC (travel cheque), sebagai tanda terima kasih.
Nunun Nurbaetie, selaku pemilik perusahaan kemudian menghubungi Arie Malangjudo dan
meminta Direktur di PT Wahana Esa Sembada itu menyiapkan tanda terima kasih kepada
anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004. Hamka Yandhu kemudian meyakinkan Arie
bahwa segalanya sudah diatur. Hamka menjelaskan pemberian tanda terima kasih itu nanti
akan ada kodenya. Masing-masing partai mendapat bungkusan sesuai warna partainya, yaitu
kuning (Golkar), merah (PDIP), hijau (PPP) dan putih (fraksi TNI/POLRI).
8 Juni 2004
Arie membagikan cek yang telah disiapkan dalam kantong kertas berwarna merah, kuning,
hijau dan putih. Pembagian tersebut dimulai kepada Fraksi PDI Perjuangan yang diwakili
oleh Dudhie Makmun Murod di Restoran Bebek Bali. Lalu Arie menuju ke Hotel Atlet
Century, Senayan, usai menemui Dudhie, disana ia menyerahkan cek dalam kantong hijau
senilai Rp1,25 miliar untuk Fraksi PPP melalui Endin Soefihara. Setelah itu Arie langsung
kembali ke kantornya di Jalan Riau, Menteng, Jakarta Pusat, untuk meneruskan pembagian
cek pelawat. Selepas maghrib, Hamka datang mengambil bungkusan berwarna kuning senilai
Rp7,8 miliar di kantornya lalu dilanjutkan dengan kedatangan Udju Djuhaeri bersama 3
orang temannya dari Fraksi TNI/Polri, yaitu Sulistiyadi, Suyitno dan Darsup Yusuf pada
pukul 18.30 WIB. Arie pun menyerahkan cek senilai Rp2 miliar kepada Fraksi TNI/Polri.
Setelah itu, Arie langsung menelepon terdakwa Nunun untuk melaporkan rampungnya
penyaluran cek tersebut.
Pada saat pembagian cek tersebut, di Gedung DPR sedang berlangsung fit and proper
pemilihan DGS BI. Pada malam harinya akhirnya Komisi XI DPR memutuskan Miranda
terpilih sebagai DGS BI mengalahkan Hartadi A. Sarwono dan Budi Rochadi. Uji kelayakan
dan kepatutan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia dimenangkan Miranda Swaray
Goeltom dengan meraih 41 suara, sedangkan pesaingnya Budi Rochadi (12 suara), dan
Hartadi A Sarwono (1 suara). Dua suara lagi abstain.
4 dan 8 Juli 2008
Mantan anggota Fraksi PDI Perjuangan Agus Condro Prayitno mengungkapkan skandal
korupsi dalam pemilihan Miranda.
9 September 2008
(PPATK) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan melaporkan temuan 480 lembar
travelers cheque BII (cek pelawat) senilai Rp 24 miliar yang ditujukan kepada 41 anggota
DPR. Para anggota DPR mencairkan dana dengan cara bermacam-macam, antara lain
menyuruh sopir atau ajudan.
25 September 2008
KPK pertama kali memanggil Nunun, tapi Nunun mangkir dengan alasan sakit.
9 Juni 2009
KPK menetapkan Hamka Yandu, Dudhie Makmun Murod, Udju Djuhaeri, dan Endin AJ
Soefihara sebagai tersangka.
24 Maret 2010
KPK meminta Ditjen Imigrasi mencekal Nunun, namun ternyata ia telah pergi ke Singapura
sehari sebelumnya.
1 April 2010
Nunun dikatakan sakit 'pelupa berat' oleh dokter ketika dipanggil sebagai saksi untuk Dudhie
Makmun Murod.
17 Mei 2010

Pengadian Tipikor memvonis mantan anggota DPR dari Partai Golkar Hamka Yandhu 2
tahun 6 bulan penjara terkait kasus suap pemilihan Deputi Senior Gubernur BI. Hamka
dikenakan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan. Hari yang sama, Dudhie divonis 2 tahun,
Endhin Soefihara (15 bulan), Udju Juhaeri (2 tahun).
8 Desember 2010
Nunun mangkir untuk ketujuh kalinya dari panggilan KPK
4 Februari 2011
KPK menahan 24 tersangka kasus cek pelawat. Sehingga jumlah tersangka sebanyak 26
orang
7 Februari 2011
Mantan Menteri Perindustrian yang juga politikus Partai Golkar Fahmi Idris mendatangi
KPK. Dia mengabarkan Nunun berada di Bangkok, Thailand.
23 Mei 2011
Ketua KPK Busyro Muqoddas dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR
menyatakan Nunun sudah ditetapkan sebagai tersangka.
26 Mei 2011
Kementerian Hukum dan HAM mencabut paspor Nunun.
14 Juni 2011
Nunun resmi jadi buronan interpol dengan nama Nunun Daradjatun.
26 Oktober 2011
Ketua KPK mengungkapkan Nunun dilindungi kekuatan-kekuatan besar. Belakangan Juru
Bicara KPK Johan Budi SP mengatakan, kekuatan itu berasal dari pengusaha luar negeri.
23 November 2011
Foto Nunun tengah berbelanja di luar negeri (diduga di Singapura) beredar di media
7 Desember 2011
Nunun Nurbaetie ditangkap di Bangkok, Thailand.
10 Desember 2011
Nunun Nurbaetie tiba di Jakarta, dan dijebloskan ke Rutan Perempuan Pondok Bambu
Jakarta Timur, Minggu
B.
Analisis Kasus berdasarkan Aspek Hukum Tindak Pidana Khusus
Sesuai kronologi, kasus korupsi diatas adalah tindak pidana suap yang dilakukan kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara, yang mana Miranda Goeltom yang merupakan
calon Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia melakukan tindak pidana suap kepada
sejumlah anggota dari beberapa fraksi di komisi IX DPR RI periode 1999-2004 berupa
pemberian “Travel Cheque BII”. Dimana tujuan Miranda Goeltom memberikan Travel
Cheque tersebut adalah untuk memenangkan Miranda Goeltom dalam Fit and Proper Test
pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004 di Komisi IX DPR RI.

I.

Berdasarkan Undang-undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi :

·
Berdasarkan tindakan Miranda Goeltoem tersebut, berarti telah terjadi tindak pidana
korupsi suap. Dimana perbuatan terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam :
1.
Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi :
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 ( lima puluh juta rupiah ) dan paling
banyak Rp. 250.000.000,00 ( dua ratus lima puluh juta rupiah ) setiap orang yang memberi

sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan
sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya”.
2.
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi :
“Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat
kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi
hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah)”.
· Berdasarkan unsur-unsur :
Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi :
1.
Perbuatan : memberikan sesuatu,
Penjelasan : dalam kasus ini, Miranda Goeltom terbukti secara sah dan meyakinkan,
melakukan perbuatan memberikan sesuatu kepada sejumlah anggota fraksi di komisi IX DPR
RI.
2.
Obyeknya : sesuatu,
Penjelasan : dalam kasus ini, sesuatu yang diberikan oleh Miranda Goeltom adalah berupa
480 lembar travelers cheque BII (cek pelawat) senilai Rp 24 miliar.
3.
Kepada penyelenggara negara, dan pegawai negeri
Penjelasan : dalam kasus ini, yang dimaksud penyelenggara negara adalah sejumlah anggota
fraksi PDI-P, GOLKAR dan PPP komisi IX DPR RI periode 1999-2004 dan fraksi
TNI/POLRI selaku pegawai negeri.
4.
Karena berhubungan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak
dilakukan dalam jabatannya.
Penjelasan : dalam kasus ini, sejumlah anggota fraksi PDI-P, GOLKAR dan PPP komisi IX
DPR RI periode 1999-2004 dan TNI/POLRI selaku pegawai negeri menerima suap berupa
Travelers Cheque agar memilih dan memenangkan Miranda Goeltom sebagai Deputi
Gubernur Senior Bank Indonesia, padahal tindakan tersebut bertentangan dengan
kewajibannya sebagai penyelenggara negara dan pegawai negeri.
§ Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi :
1.
Perbuatan : memberi hadiah, memberi janji,
Penjelasan : dalam kasus ini, Miranda Goeltom terbukti secara sah dan meyakinkan,
melakukan perbuatan memberikan sesuatu kepada sejumlah anggota fraksi TNI/POLRI.
2.
Objeknya : Hadiah atau janji,
Penjelasan : dalam kasus ini, hadiah yang diberikan oleh Miranda Goeltom adalah amplop
putih yang masing-masing amplop berisi 10 (sepuluh) lembar TC BII dengan nilai
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta Rupiah) per lembarnya sehingga jumlah keseluruhannya
senilai Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar Rupiah).
3.
Kepada pegawai negeri,
Penjelasan : dalam kasus ini, yang dimaksud pegawai negeri adalah sejumlah anggota Fraksi
TNI/POLRI.
4.
Dengan mengingat kekuasaan/kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji
dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut.
Penjelasan : dalam kasus ini, sejumlah anggota fraksi TNI/POLRI memiliki kedudukan dalam
komisi IX DPR RI dalam melakukan fit and proper test dan memilih Deputi Gubernur Senior
Bank Indonesia.

II. Berdasarkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat :
·
Dalam sidang pada Kamis (27/9/2012), Miranda Swaray Goeltom divonis dengan
pidana penjara selama tiga tahun dan denda Rp 100 juta. Sebab, dinyatakan terbukti bersalah
melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.
·
Ketua Majelis Hakim membacakan putusan dalam sidang di pengadilan tipikor, Jakarta
dengan "Memutuskan, menyatakan terdakwa Miranda Swaray Gultom bersalah melakukan
tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwan pertama, Pasal 5 ayat
1 huruf b UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP," Dalam pertimbangannya, Majelis
Hakim mengatakan bahwa Miranda terbukti memberikan sesuatu, berupa cek pelawat.
Sehingga, dirinya terpilih sebagai DGS BI periode 2004-2009 dari hasil pemungutan suara di
Komisi IX DPR RI pada tanggal 8 Juni 2004.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
·
Dari kasus Korupsi yang menyangkut Miranda Goeltom dan beberapa anggota DPR RI
tersebut, menunjukkan korupsi dinegeri ini dapat dilakukan oleh siapa saja dan dengan
berbagai cara. Kasus ini menambah daftar panjang para koruptor dari kalangan pejabat
negara. Dimana seharusnya mereka sebagai pihak yang berperan memajukan bangsa,
pembawa aspirasi rakyat, dan memperjuangkan hak-hak rakyat justru melakukan tindakan
korupsi yang merugikan kepentingan rakyat dan negara Indonesia. Semoga dari kasus ini bisa
menjadi pelajaran bagi seluruh lapisan rakyat Indonesia, dan antisipasi penegak hukum untuk
selalu mewaspadai berbagai cara untuk melancarkan tindak korupsi yang dapat dilakukan
oleh siapa saja.
·
Korupsi adalah musuh nomor satu dan terbesar yang harus dihadapi bangsa ini,
Korupsi memiliki dampak negatif besar bagi bangsa dan rakyat Indonesia yang
mengakibatkan kemiskinan, kesengsaraan dan kehancuran bangsa apabila tidak dicegah dan
diberantas. Penanggulangan kasus-kasus korupsi baik dengan peraturan perundang-undangan
dan peran KPK tidaklah mudah, untuk itu diperlukan kerjasama dari berbagai pihak seluruh
lapisan masyarakat yang tentunya dilandasi dengan kesadaran hukum setiap warga negara
untuk mencegah dan memberantas korupsi, baik posisinya sebagai warga sipil maupun
pejabat negara, yang tentunya semua itu berpulang pada individu masing-masing yang
berketuhanan Yang Maha Esa. Dengan melibatkan seluruh peran lapisan masyarakat, maka
peluang berkembangnya korupsi dapat dipersempit, tentunya dengan tindakan penegakan
hukum yang efektif untuk memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi.

DAFTAR PUSTAKA

Literatur :
·
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta,1980.
·
Hamzah, Andi,Korupsi Dalam Pengelolaan Proyek, Akademik Pressindo, Jakarta,
1991.
·
Soedjono,Fungsi Perundang-undangan Pidana dalam Penanggulangan Korupsi di
Indonesia, Sinar baru, Bandung, 1984.
·
Zachrie, Ridwan, dan Wijayanto, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan
Prospek Pemberantasan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010.
·
Rahardjo Satjipto, Ilmu Hukum cetakan ke-enam, Bandung, PT Citra Aditya Bakti,
2006
Undang-Undang :
·
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
·
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
·
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Putusan :
·
Kasasi : Nomor 545K/Pid.Sus/2013
·
Banding : Nomor 56/PID/TPK/2012/PT. DK
·
Pertama : Nomor 39/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST
Internet :
·
www.mahkamahagung.go.id
·
http//www.kpk.go.id
·
www.detiknews.com
·
www.google.com
·
http://www.antaranews.com/berita/216548/aulia-pohan-dapat-remisi
·
http://nasional.kompas.com/read/2009/06/17/12480932/aulia.pohan.divonis.4.tahun.6.bulan.p
enjara
·
http://muvid.wordpress.com/2008/01/21/hdfaskfh/
·
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum
·
http://www.tribunnews.com/nasional/2011/12/12/bermula-dari-keluguan-agus-tjondro