Dinamika Peradilan Tata Usaha Negara

DINAMIKA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Endra Wijaya
Ali Abdullah
Diani Kesuma
Ella Silvia
Ricca Anggraeni
Tedi Sudrajat
Editor: Deni Bram

i

Judul:
Dinamika Peradilan Tata Usaha Negara
Penulis:
Endra Wijaya
Ali Abdullah
Diani Kesuma
Ella Silvia
Ricca Anggraeni
Tedi Sudrajat

Editor:
Deni Bram
Kolase pada kover:
een
Hak cipta pada penulis.
Hak penerbitan pada Pusat Kajian Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Pancasila (PKIH FHUP).
Diterbitkan atas kerja sama antara:

Alamat PKIH FHUP:
Fakultas Hukum Universitas Pancasila,
Jln. Srengseng Sawah, Jagakarsa. Jakarta Selatan, 12640.
Alamat Lentera Hukum Indonesia:
Jln. Bukit Duri Utara, No. 31, RT. 010, RW. 001,
Bukit Duri, Tebet. Jakarta Selatan, 12840.
Tlp.: 021-34723369.
E-mail: lenterahukumindonesia@yahoo.co.id
Cetakan ke-1: Desember 2011.

ISBN: 978 – 602 – 9464 – 01 – 6

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Sebagian atau seluruh isi
buku ini dilarang untuk diperbanyak dalam bentuk
atau dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit,
kecuali untuk keperluan pengutipan untuk
membuat karya tulis ilmiah dengan menyebutkan buku ini
sebagai sumbernya.
Isi (materi) buku tidak menjadi tanggung jawab pihak penerbit.

ii

KATA PENGANTAR

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara hingga saat ini, terutama dengan telah diberlakukannya perubahan terhadap Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009, telah banyak perkembangan menarik yang terjadi
dalam bidang Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia.
Kesemua perubahan yang terjadi tersebut mencerminkan secara jelas
adanya dinamika yang terjadi dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
(PERATUN) di Indonesia yang tentunya memiliki sumbangan yang berarti

bagi pengembangan ilmu hukum, terutama bidang Hukum Administrasi Negara (HAN) Indonesia.
Buku Dinamika Peradilan Tata Usaha Negara ini hadir sebagai upaya
untuk “merekam” sedikit bagian dari serangkaian dinamika yang terjadi dalam
lingkungan PERATUN. Tulisan-tulisan yang hadir dalam buku ini merupakan
kumpulan makalah yang temanya beragam, namun masih terkait dengan perkembangan yang terjadi dalam lingkungan PERATUN tersebut.
Buku ini seharusnya sudah sejak bulan Desember tahun 2011 dicetak,
namun karena ada kendala, proses pencetakannya mengalami penundaan.
Pihak Lentera Hukum Indonesialah yang kemudian banyak membantu untuk
mengatasi permasalahan tersebut. Oleh karena itu, maka sudah sepantasnya
kami menyampaikan terima kasih kepada Lentera Hukum Indonesia atas bantuannya sehingga buku ini bisa “dituntaskan” proses penerbitannya.
Akhir kata, buku ini tentunya diharapkan dapat memberikan informasi
atau pengetahuan kepada para pembaca sehubungan dengan dinamika yang
terjadi dalam PERATUN di Indonesia. Selamat membaca, dan semoga bermanfaat.

Jakarta, Desember 2011

Editor

iii


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ~ iii
DAFTAR ISI ~ iv
PERADILAN TATA USAHA NEGARA DI INDONESIA:
MASIH MAMPUKAH MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE?
Endra Wijaya dan Ali Abdullah ~ 1
PEMERIKSAAN PERSIAPAN DI
PENGADILAN TATA USAHA NEGARA SEBAGAI WUJUD DARI
PERLINDUNGAN HUKUM HAK-HAK WARGA MASYARAKAT
TERHADAP TINDAKAN PEMERINTAH
Diani Kesuma dan Ella Silvia ~ 6
KEDUDUKAN ORANG ATAU BADAN HUKUM PERDATA
SEBAGAI TERGUGAT INTERVENSI DALAM
SENGKETA TATA USAHA NEGARA:
SUATU UPAYA PENGAKOMODASIAN KEPENTINGAN
(KAJIAN PUTUSAN NOMOR 75/G.TUN/2003/PTUN.JKT)
Ricca Anggraeni ~ 16
SENGKETA KEPEGAWAIAN
Tedi Sudrajat ~ 34

HUBUNGAN ANTARA PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM
DENGAN WEWENANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Endra Wijaya dan Ali Abdullah ~ 46
TENTANG PARA PENULIS DAN EDITOR ~ 51

iv

- DINAMIKA PERADILAN TATA USAHA NEGARA –

PERADILAN TATA USAHA NEGARA DI INDONESIA:
MASIH MAMPUKAH MEWUJUDKAN
GOOD GOVERNANCE ?1
Endra Wijaya
Ali Abdullah

Good governance telah menjadi cita-cita yang hendak diwujudkan
dalam segala bidang pemerintahan yang dijalankan di Indonesia. Pada intinya, konsep good governance memiliki arti sebagai tata penyelenggaraan
(tata kelola) pemerintahan yang baik. Dan apabila dihubungkan dengan kepentingan rakyat banyak, maka tujuan dari good governance itu ialah:
pertama , untuk mewujudkan berbagai kepastian, kemudahan, dan “kebersihan” (transparansi serta akuntabilitas) dalam pelayanan publik; dan ke
dua , untuk memberikan perlindungan kepada rakyat dari tindakan sewenang-wenang pihak pemerintah.

Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka diciptakanlah berbagai perangkat, baik yang berupa norma-norma hukum ataupun yang berupa
lembaga-lembaga formal, yang dapat mendukung (membantu) perwujudan
good governance di Indonesia. Salah satu lembaga yang berkaitan erat
dengan kebutuhan untuk mewujudkan good governance itu adalah Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya akan disebut Peradilan TUN).2
Sejak awal persiapan pembentukan Peradilan TUN di Indonesia,
yaitu yang dimulai pada sekitar tahun 1949 hingga tahun 1986 saat diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
TUN, secara eksplisit Peradilan TUN itu sudah didesain untuk menjadi salah satu sarana guna mewujudkan pemerintahan yang efisien, efektif, bersih, berwibawa serta selalu melaksanakan tugasnya dengan berdasarkan kepada hukum. Mengenai hal itu jelas dapat dilihat pada bagian konsiderans
1

Pernah dimuat dalam Majalah Retorika , Lembaga Pers Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Pancasila, Jakarta (edisi 2011).
2
Irfan Fachruddin, Penga wasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan
Pemerintah, (Bandung: PT. Alumni, 2004), hlm. 220.

1

- DINAMIKA PERADILAN TATA USAHA NEGARA –

(Menimbang) dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Atau dengan kalimat lain, maka sebenarnya Peradilan TUN memang dibentuk dengan tujuan untuk menjadikannya sebagai sarana kontrol yuridis (kontrol dari

sudut hukum) bagi pelaksanaan wewenang pemerintah.3
Kini keberadaan Peradilan TUN sudah hampir memasuki usia yang
ke-24 tahun, dan berkaitan dengan hal itu, maka pertanyaan kritis yang bisa
diajukan adalah: apakah di usianya yang sudah sedemikian panjang Peradilan TUN telah dapat secara maksimal menjalankan fungsinya untuk mewujudkan good governance di Indonesia?
Ada beberapa hal yang bisa dijadikan sebagai “alat bantu” (indikator) dalam menjawab pertanyaan tersebut di atas, yaitu:
Pertama , dari sudut peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai Peradilan TUN ternyata masih mengandung beberapa kelemahan
yang potensial menghambat berjalannya fungsi Peradilan TUN dalam mewujudkan good governance. Kelemahan itu, antara lain, dapat ditemukan di
dalam sistem eksekusi putusan pada hukum acara Peradilan TUN (Pasal
116).
Pasal 116 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 mengatur sistem
eksekusi putusan yang menjadikan kepatuhan pihak pemerintah (sebagai
tergugat dalam sengketa TUN) akan tergantung dari diri pejabat pemerintah
yang bersangkutan. Apabila dia mau patuh terhadap isi putusan pengadilan
(yang berada di lingkungan Peradilan TUN), maka tegaklah hukum (putusan) itu. Tetapi, apabila dia tidak mau melaksanakannya, maka UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 belum mengatur sanksi yang jelas dan benarbenar tegas mengenai sikap ketidakpatuhan dari pejabat pemerintah itu.4
Pasal 116 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 kemudian diubah
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Pasal 116 Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 menambahkan sanksi baru bagi pejabat pemerintah
yang “keras kepala” tidak mau patuh mengeksekusi putusan, yaitu dengan
3


Paulus Effendie Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap
Pemerintah, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 1986), hlm. xvii, dan Lintong O. Siahaan,
Prospek PTUN sebagai Pranata Penyelesaian Sengketa Administrasi di Indonesia: Studi
tentang Keberadaan PTUN Selama Satu Dasawarsa 1991-2001, (Jakarta: Perum Percetakan
Negara RI, 2005), hlm. 149.
4
Yos Johan Utama, “Membangun Peradilan Tata Usaha Negara yang Berwibawa,”
(Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 4
Februari 2010), hlm. 19.

2

- DINAMIKA PERADILAN TATA USAHA NEGARA –

pembayaran uang paksa (dwangsom) dan/atau sanksi administratif. Bahkan,
apabila pejabat pemerintah itu tetap tidak mau patuh, maka namanya akan
diumumkan pada media massa cetak.
Selanjutnya, Pasal 116 tersebut diubah lagi dengan Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009. Pada sistem eksekusi putusan yang diatur dalam

Pasal 116 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, selain memuat sanksi
pembayaran uang paksa, sanksi administratif serta pengumuman pada
media massa cetak, dimuat pula mekanisme pelaporan ketidakpatuhan pejabat pemerintah (yang menjadi tergugat dalam sengketa TUN) kepada
presiden dan kepada lembaga perwakilan rakyat dalam rangka fungsi pengawasan.
Sebagaimana telah disinggung, undang-undang mengenai Peradilan
TUN telah mengalami 2 (dua) kali perubahan, yaitu melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.
Tetapi sayangnya, walaupun sudah ada kedua perubahan itu, kelemahan
yang dikandung dalam sistem Peradilan TUN terkait dengan sistem eksekusi putusan ternyata masih tetap ada. Kelemahan itu, antara lain, dapat
dilihat lagi dari kenyataan bahwa hingga sekarang peraturan pendukung
sistem eksekusi putusan dalam hukum acara Peradilan TUN belum terbentuk, seperti halnya peraturan pelaksanaan mengenai sanksi pembayaran
uang paksa dan sanksi diumumkan di media massa cetak sebagaimana yang
dikehendaki oleh Pasal 116 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.
Dengan sistem yang cenderung lemah seperti dijelaskan di atas, maka hampir dapat dipastikan bahwa pihak pemerintah (badan atau pejabat
TUN) tidak akan menjadi semakin patuh terhadap pengawasan yang dilakukan oleh Peradilan TUN, dan upaya untuk mencapai good governance
pun akan sulit dilaksanakan.
Ke dua , dari sudut manusia yang menjadi faktor pelaksana (subjek
hukum) di dalam sistem Peradilan TUN ternyata juga masih memiliki tingkat kesadaran hukum (budaya hukum) yang rendah. Masalah tingkat kesadaran hukum yang masih rendah ini terjadi relatif meluas pada subjeksubjek yang terlibat di dalam berjalannya sistem Peradilan TUN, yaitu baik
terjadi pada diri penggugat serta pengacaranya, pihak pemerintah (sebagai
tergugat) maupun pada diri hakim.
Kasus penangkapan oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi,

pada bulan Maret 2010 lalu, terhadap seorang (oknum) hakim yang bertu3

- DINAMIKA PERADILAN TATA USAHA NEGARA –

gas di Pengadilan Tinggi TUN Jakarta yang sedang menerima suap dari
seorang pengacara,5 sedikit bisa membuktikan betapa masih rendahnya
tingkat kesadaran hukum, baik pada diri hakim maupun pengacara di lingkungan sistem Peradilan TUN. Penangkapan itu sekaligus menjadi semacam “bukti pembenar” bagi pendapat yang telah diajukan oleh beberapa
pakar mengenai korupsi yang juga menjangkiti lingkungan Peradilan TUN
di samping lingkungan peradilan lainnya.6
Sebagai dampak dari kedua kelemahan tersebut, yaitu kelemahan
dari sudut peraturan perundang-undangan (norma yuridis) dan dari sudut
kesadaran hukum pada diri subjek hukum (nonyuridis) dalam sistem Peradilan TUN, maka tidak mengherankan apabila kemudian terjadi penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap fungsi yang dijalankan oleh
Peradilan TUN.7
Begitulah fenomenanya. Masyarakat kini akhirnya memahami bahwa Peradilan TUN sudah tidak dapat lagi mereka andalkan sebagai kontrol
yuridis yang efektif terhadap pemerintah, sehingga pada akhirnya mereka
pun mulai enggan menggunakan jasa Peradilan TUN bagi masalah hukum
yang mereka hadapi.8 Apabila hal yang demikian terus berlangsung, maka
upaya untuk menjadikan Peradilan TUN sebagai salah satu sarana untuk
mewujudkan good governance jelas menjadi semakin sulit dicapai.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka upaya perbaikan sudah tentu

harus dilakukan. Namun perbaikan ini tidak cukup hanya diarahkan pada
sudut norma yuridis dan nonyuridis yang berada di “lingkaran dalam” sistem Peradilan TUN itu sendiri, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Untuk masa sekarang, perbaikan juga perlu diarahkan kepada upaya dibangunnya mekanisme checks and balances yang kokoh di antara lembaga
formal (seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, serta
Ombudsman). maupun. lembaga .informal .(lembaga .swadaya .masyarakat),

DWA/ECA/WHY/AIK, “PTTUN Ganti Hakim: Kasus Diawali Sengketa Tanah
DKI dengan PT. SG,” Kompas (1 April 2010).
6
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan ,
(Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 165, dan Adriaan W. Bedner, Peradilan Tata Usaha Negara di
Indonesia , (Jakarta: HuMA, Van Vollenhoven Institute, dan KITLV Jakarta, 2010), hlm. 310.
7
Yos Johan Utama, loc.cit., hlm. 16.
8
W. Riawan Tjandra, Peradilan Tata Usaha Negara: Mendorong Terwujudnya
Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa , (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
2009), hlm. 321.
5

4

- DINAMIKA PERADILAN TATA USAHA NEGARA –

agar lembaga-lembaga itu dapat mendorong Peradilan TUN untuk kembali
kepada “jalur utama” penegakan hukum dalam rangka menciptakan good
governance di Indonesia. * * *

Daftar Pustaka
Bedner, Adriaan W. Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Jakarta:
HuMA, Van Vollenhoven Institute, dan KITLV Jakarta, 2010.
DWA/ECA/WHY/AIK. “PTTUN Ganti Hakim: Kasus Diawali Sengketa
Tanah DKI dengan PT. SG”. Kompas (1 April 2010).
Fachruddin, Irfan. Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan
Pemerintah. Bandung: PT. Alumni, 2004.
Lev, Daniel S. Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan
Perubahan. Jakarta: LP3ES, 1990.
Lotulung, Paulus Effendie. Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum
terhadap Pemerintah. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 1986.
Siahaan, Lintong O. Prospek PTUN sebagai Pranata Penyelesaian
Sengketa Administrasi di Indonesia: Studi tentang Keberadaan
PTUN Selama Satu Dasawarsa 1991-2001. Jakarta: Perum
Percetakan Negara RI, 2005.
Tjandra, W. Riawan. Peradilan Tata Usaha Negara: Mendorong
Terwujudnya Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa.
Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2009.
Utama, Yos Johan. “Membangun Peradilan Tata Usaha Negara yang
Berwibawa”. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang, 4 Februari 2010.

5

- DINAMIKA PERADILAN TATA USAHA NEGARA –

HUBUNGAN ANTARA
PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM DENGAN
WEWENANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA1
Endra Wijaya
Ali Abdullah

Tidak lama lagi bangsa Indonesia akan segera melaksanakan pemilihan umum (pemilu) tahun 2009. Pemilu untuk sebagian orang telah dipercaya merupakan salah satu sarana penting untuk mewujudkan demokrasi
(Pancasila). Begitu penting arti dari sebuah penyelenggaraan pemilu. Bahkan menurut Jimly Asshiddiqie, salah satu ciri negara yang menganut paham demokrasi adalah adanya penyelenggaraan pemilu, dan disertai dengan tumbuh berkembangnya partai politik sebagai wadah bagi warga
masyarakat untuk mengartikulasikan keinginan-keinginannya agar dapat
diapresiasi oleh pembuat kebijakan atau wakil-wakil dari partai politik itu
yang duduk di lembaga-lembaga politik seperti Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR).
Karena begitu pentingnya pemilu, maka dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia beberapa mekanisme telah dirancang untuk mengawal penyelenggaraan pemilu itu. Sebagai salah satu contohnya, Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah telah memberikan wewenang kepada Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu, antara lain, untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
kampanye pemilu, dan pengawasan terhadap pelaksanaan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi serta
DPRD kabupaten/kota yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU). Bentuk pengawasan seperti yang dilakukan oleh Bawaslu itu dapat
1

Pernah dimuat dalam Majalah Retorika , Lembaga Pers Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Pancasila, Jakarta (edisi 2009).

46

- DINAMIKA PERADILAN TATA USAHA NEGARA –

disebut sebagai bentuk pengawasan “secara langsung” terhadap penyelenggaraan pemilu.
Selain itu, bentuk pengawasan “secara tidak langsung” juga telah
hadir dalam proses penyelenggaraan pemilu di Indonesia, dan dengannya
dapat menjadikan pemilu berjalan dengan lebih lancar. Salah satu unsur
yang dapat dianggap sebagai pengawas “secara tidak langsung” terhadap
pemilu itu adalah Peradilan Tata Usaha Negara (Peradilan TUN). Bentuk
pengawasan “secara tidak langsung” ini tidak secara eksplisit disebutkan
dalam norma-norma hukum yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemilu, seperti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara memang secara eksplisit hanya memuat sebuah pasal yang berkaitan dengan pemilu, yaitu Pasal 2 butir g yang menjelaskan bahwa Keputusan KPU, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilu
bukan merupakan keputusan yang dapat dijadikan sebagai objek sengketa
TUN.
Dengan keberadaan Pasal 2 butir g Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tersebut bukan berarti
Peradilan TUN menjadi tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan
penyelenggaraan pemilu. Beberapa kasus yang terjadi bahkan telah membuktikan bahwa keberadaan Peradilan TUN ternyata ikut menjadi unsur
yang berpengaruh positif terhadap penyelenggaraan pemilu.
Setidaknya terdapat beberapa kasus (sengketa) TUN yang telah diputus oleh pengadilan-pengadilan yang ada di lingkungan Peradilan TUN
yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu, yaitu:
1. Kasus pada Putusan PTUN Surabaya Nomor 34/G.TUN/2004/
PTUN.SBY. Pangkal permasalahan kasus ini adalah adanya Penetapan KPU Kabupaten Sidoarjo tentang Daftar Calon Anggota
DPRD Kabupaten Sidoarjo dalam Pemilihan Umum Tahun 2004,
Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Sidoarjo, Daerah Pemilihan VI
PKB atas nama Abdul Salam Mudjib. Gugatan diajukan karena
47

- DINAMIKA PERADILAN TATA USAHA NEGARA –

KPU telah mencantukan nama Abdul Salam Mudjib sebagai Calon
Anggota DPRD Kabupaten Sidoarjo, padahal ijazahnya tidak memenuhi syarat administratif pencalonan. Putusan PTUN Surabaya
itu akhirnya membatalkan Daftar Calon Anggota DPRD Kabupaten Sidoarjo dalam Pemilihan Umum Tahun 2004, Provinsi Jawa
Timur, Kabupaten Sidoarjo, Daerah Pemilihan VI PKB atas nama
Abdul Salam Mudjib.
2. Kasus pada Putusan PTUN Surabaya Nomor 37/G.TUN/2004/
PTUN.SBY. Yang menjadi objek sengketa dalam Putusan PTUN
Surabaya ini adalah Surat Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten
Pacitan Nomor 421.9 514/408.37.01/2004, tertanggal 18 Maret
2004, perihal klarifikasi yang menyatakan bahwa tergugat membatalkan dan menarik kembali Ijazah Paket C Nomor 13 PC
000050 dan Surat Tanda Lulus Nomor 13 PC 000050 atas nama
Anwar (sebagai penggugat). Dengan adanya Surat Kepala Dinas
Pendidikan Kabupaten Pacitan Nomor 421.9 514/408.37.01/2004,
maka penggugat terancam batal ikut serta dalam pencalonan sebagai Anggota DPRD Pacitan dari Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP). Putusan PTUN Surabaya Nomor 37/G.TUN/
2004/PTUN.SBY. akhirnya mengabulkan gugatan penggugat, dan
menyatakan batal Surat Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Pacitan Nomor 421.9 514/408.37.01/2004.
3. Pada bulan Agustus 2008, PTUN Jakarta menjatuhkan putusan
yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu 2009. Pertama, adalah gugatan dari 4 (empat) partai politik peserta pemilu 2009 terhadap KPU. Dalam putusannya, PTUN Jakarta mengabulkan gugatan
penggugat dan mewajibkan KPU untuk menetapkan partai-partai
politik yang menjadi penggugat sebagai peserta pemilu 2009.
Dengan putusan PTUN Jakarta ini, maka Partai Buruh, Partai
Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia, Partai Merdeka, dan Partai
Sarikat Indonesia, diperbolehkan mengikuti pemilu 2009. Sebelumnya partai-partai politik itu dinyatakan tidak memenuhi syarat,
dan inilah yang kemudian membuat mereka mengajukan gugatan
ke PTUN Jakarta. Setelah mengabulkan gugatan 4 (empat) partai
politik tadi, kemudian PTUN Jakarta juga mengabulkan gugatan
Partai Republiku untuk dapat menjadi peserta pemilu 2009. Pu48

- DINAMIKA PERADILAN TATA USAHA NEGARA –

tusan PTUN Jakarta Nomor 110/G/2008/PTUN-JKT. menyatakan
batal Surat Keputusan Nomor 244/15/VII/08 tanggal 28 Juni 2008
yang dikeluarkan oleh KPU mengenai hasil verifikasi faktual yang
menolak Partai Republiku sebagai partai peserta pemilu 2009.
KPU juga diminta menerbitkan surat keputusan baru yang menyertakan Partai Republiku sebagai partai peserta pemilu 2009.
Dari beberapa contoh kasus di atas, terlihat bahwa Peradilan TUN
juga memiliki keterkaitan dengan kelancaran penyelenggaraan pemilu di
Indonesia. Bahkan suatu bentuk pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu terlihat jelas pada kasus yang ada dalam Putusan PTUN Surabaya
Nomor 34/G.TUN/2004/PTUN.SBY. Putusan itu telah berhasil menjadi
semacam “kontrol penyaring” bagi para peserta Calon Anggota DPRD
sebelum benar-benar dipilih dalam pemilu. Dengan “kontrol penyaring” semacam ini, maka diharapkan para peserta yang menjadi calon wakil rakyat
adalah yang benar-benar telah memenuhi syarat administratif pencalonan
dirinya. Dengan demikian harapan akan memperoleh para wakil rakyat
yang berkualitas dapat tercapai. * * *

Daftar Pustaka
Arinanto, Satya. “Memperdebatkan Makna Legalisasi Ijazah dalam Putusan
PTUN”. Jurnal Dictum (Edisi 4, 2005).
Asshiddiqie, Jimly. Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik,
dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Azed, Abdul Bari dan Makmur Amir. Pemilu dan Partai Politik di
Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Bagijo, Himawan Estu. “Mencermati Surat Klarifikasi sebagai Objek
Sengketa Tata Usaha Negara”. Jurnal Dictum (Edisi 4, 2005).
Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2003.
“Dimenangkan
PTUN,
Partai
Buruh
Dapat
Nomor
44”.
.
“KPU Banding terhadap Putusan PTUN Partai Republiku”.
.
49

“KPU

- DINAMIKA PERADILAN TATA USAHA NEGARA –

Loloskan Empat Peserta Pemilu 2009 Tambahan”.
.
“Partai
Republiku
Menang
Lagi
di
Peradilan
TUN”.
.

50

- DINAMIKA PERADILAN TATA USAHA NEGARA –

TENTANG PARA PENULIS DAN EDITOR

Ali Abdullah, S.H., M.H., M.M. ialah dosen Fakultas Hukum Universitas
Pancasila. Saat ini sedang menempuh Program Doktor Ilmu Hukum, dengan konsentrasi bidang hukum pidana. Selain menjadi dosen, berprofesi
juga sebagai advokat, dan telah banyak menangani perkara tata usaha negara.
Deni Bram, S.H., M.H. saat ini tercatat sebagai tenaga pengajar tetap di
Fakultas Hukum Universitas Pancasila semenjak tahun 2009. Selain itu,
Kandidat Doktor Hukum Lingkungan Internasional Universitas Indonesia
ini juga aktif dalam kegiatan penelitian di Pusat Kajian Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Pancasila. Beberapa publikasinya telah diterbitkan baik di dalam jurnal ilmiah, media massa cetak, maupun buku, di
antaranya ialah buku Hukum Lingkungan Internasional: Penerapan Prinsip
Tanggung Jawab Negara , dan Pengantar Hukum Lingkungan . Sehari-hari
dapat dihubungi melalui deni_up@yahoo.co.id
Diani Kesuma, S.H., M.H. ialah dosen Fakultas Hukum Universitas
Pancasila. Gelar Sarjana Hukumnya diperoleh dari Fakultas Hukum Universitas Pancasila, sedangkan gelar Magister Hukumnya diperoleh dari Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Selain menjadi
dosen, berprofesi juga sebagai advokat.
Ella Silvia, S.H., M.H. ialah dosen di Fakultas Hukum Universitas Pancasila (FHUP). Lulusan Program Sarjana FHUP, dan Program Magister Ilmu
Hukum Universitas Pancasila. Saat ini sedang menjabat sebagai anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Tangerang untuk periode
tahun 2009-2014. Di DPRD, juga sedang mengemban amanah sebagai
Ketua Badan Legislasi DPRD Kota Tangerang untuk periode tahun 20092012.
Endra Wijaya, S.H., M.H. ialah dosen pada Fakultas Hukum Universitas
Pancasila (FHUP), Jakarta. Lulusan S-1 FHUP Program Kekhususan
Transnasional, dan S-2 Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
51

- DINAMIKA PERADILAN TATA USAHA NEGARA –

Indonesia Konsentrasi Hukum dan Kehidupan Kenegaraan. Sejak tahun
2008 aktif menjadi peneliti pada Pusat Kajian Ilmu Hukum FHUP (PKIH
FHUP). Kini menjabat sebagai Sekretaris Bagian Hukum Tata Negara/Hukum Administrasi Negara FHUP, serta Wakil Ketua Dewan Pengurus
PKIH FHUP. Selain mengajar, bekerja pula pada sebuah kantor konsultan
hukum di Jakarta.
Ricca Anggraeni, S.H., M.H. ialah dosen di Fakultas Hukum Universitas
Pancasila (FHUP). Lulusan Program Sarjana FHUP pada tahun 2006, dan
Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila pada tahun 2008,
yang keduanya berhasil diselesaikan dengan predikat cumlaude. Selain mengajar di FHUP untuk Program Sarjana dan Program Magister, juga
mengajar di Fakultas Hukum Universitas Nasional, Jakarta, penyunting
pada Jurnal Hukum FHUP, Themis (mulai dari tahun 2006 sampai dengan
sekarang), dan bergabung pula pada Pusat Kajian Ilmu Hukum FHUP sebagai peneliti (mulai dari tahun 2008 sampai dengan sekarang). Aktif
menulis karya tulis ilmiah, dan publikasi ilmiahnya, antara lain, meliputi
artikel: “Kaum Miskin dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia” dimuat dalam
Jurnal Perkotaan (Vol. 2, No. 2, Desember 2008), dan “Penggunaan Hasil
Penyadapan sebagai Alat Bukti Petunjuk dalam Perkara Tindak Pidana
Korupsi: Kajian Perkara Nomor 07/PID.B/TPK/2008/PN.JKT.PST” dimuat
dalam Jurnal Yudisial, Komisi Yudisial Republik Indonesia (Vol. III, No.
2, Agustus 2010).
Tedi Sudrajat, S.H., M.H. ialah dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (FH UNSOED), Purwokerto. Lulus S-1 di FH UNSOED,
dan S-2 pada Program Magister Ilmu Hukum UNSOED dengan konsentrasi
Hukum Kenegaraan. Saat ini sedang menjabat sebagai Sekretaris Bagian
Hukum dan Masyarakat, Sekretaris Jurnal Dinamika Hukum, dan Sekretaris Pusat Studi Hukum dan Masyarakat (PUSDIKUM FH UNSOED).
Bidang kajian yang menjadi fokus perhatiannya adalah hukum kepegawaian.

***
52