PRINSIP PRINSIP MANAJEMEN AIR UNTUK MASY

PRINSIP-PRINSIP MANAJEMEN AIR UNTUK MASYARAKAT
DAN LINGKUNGAN
Air, Lingkungan, dan Populasi
Air merupakan darah kehidupan di planet ini. Air adalah kebutuhan dasar biokimia
dari semua organisme yang hidup. Ekosistem planet ini saling terkait dan terpelihara
oleh air, mengendalikan pertumbuhan tanaman, menyediakan habitat permanen bagi
ribuan spesies (misalnya 8500 spesies ikan), dan menjadi rumah perkembang-biakan
ataupun rumah temporer bagi banyak mahluk lainnya, termasuk 4200 jenis ampibi
dan reptil. Air juga merupakan pelarut universal dan sebagai jalur utama untuk aliran
sedimen, nutrien, dan polutan. Melalui erosi, transportasi dan deposisi dari sungai,
glasir, dan bongkahan es, air membentuk wilayah sendiri, dan melalui evaporasi
terjadilah pertukaran energi antara daratan dan atmosfir, sehingga mengontrol iklim
bumi.
Terlepas dari sebagian kecil proses kimiawi, air tidak dapat diciptakan ataupun
dihancurkan, tetapi ia hanya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya disertai
perubahan dalam kualitas. Jumlah air di bumi ini ialah 1.4 triliun km3, namun hanya
41,000 km3 yang bersirkulasi melalui siklus hidrologi, dan sisanya tetap tersimpan di
lautan, bongkahan es, dan akuifer. Lagi pula, laju pembaharuan yang disediakan oleh
air hujan bervariasi di seluruh dunia. Di padang gurun Atama di selatan Peru hampir
tidak pernah turun hujan, sementara curah hujan 6,000 mm per tahun adalah hal yang
umum terjadi di berbagai wilayah di Selandia Baru. Di setiap tempat, curah hujan

juga bervariasi dari tahun ke tahun. Di awal tahun 1980 dunia menyaksikan
kekeringan dashyat dan kekurangan pangan di Sahel, tetapi Agustus 1988 banjir
melanda wilayah yang sama.
Ketersediaan air juga bervariasi setelah suatu periode yang panjang. Sekitar 10.00020.000 tahun lalu, selama fase pembekuan es yang luas, curah huja di atas gurun
Sahara dan Timur Tengah sangat tinggi dan perkolasi air ke lapisan cadas di dalam
tanah menghasilkan sumber air tanah yang subtansial (Goudie, 1977). Akan tetapi,
iklim saat ini yang lebih kering di wilayah ini menyebabkan pengisian ke sumber air
tanah itu banyak berkurang dan pengeksploitasian air tanah jauh lebih besar.
Terjadinya perubahan atas siklus cuaca yang alami merupakan hasil perbuatan
manusia secara global.
Hasil konsensus menyatakan bahwa di abad mendatang suhu bumi akan naik sampai
0.2 derajat per dekade (IPCC, 1996), dengan beberapa area bisa lebih tinggi dan ada
juga lebih dingin. Namun, belum dapat dipastikan pengaruhnya terhadap sumbersumber air. Evaporasi mungkin meningkat, tetapi perubahan pola curah hujan agak
sukar diprediksi. Meskipun demikian, dikhawatirkan banyak area menjadi lebih
kering, banjir dan kekeringan akan terjadi lebih sering serta lebih ekstrim.

Abad 20 ini telah menjadi saksi atas lonjakan jumlah manusia yang luar biasa, dari
2.8 milyar di tahun 1955 menjadi 5.3 milyar di tahun 1990 dan diperkirakan akan
mencapai 7.9 – 9.1 milyar sampai tahun 2025 (Engelman dan LeRoy, 1993).
Akibatnya, kebutuhan air manusia untuk domestik, industri, dan pertanian juga

meningkat sangat cepat. Jumlah air yang diperlukan setiap orang bervariasi, tetapi
cenderung meningkat seiring dengan gaya hidup. Di Amerika Serikat, setiap orang
rata-rata memakai 700 liter air per hari untuk kegiatan domestik (minum, masak, dan
cuci), sementara di Senegal, rata-rata 29 liter per hari. Secara umum, 100 liter per
orang per hari adalah ambang kebutuhan minimum (Falkenmark dan Widstrand,
1992). Apabila kebutuhan industri dan pertanian dimasukkan, maka negara yang
konsumsinya 1700 m3 per orang per tahun (sekitar 4600 liter per hari) dianggap
mengalami ketegangan karena air. (Bank Dunia, 1992). Oleh karena adanya jarak
antara tempat manusia hidup dan sumber daya air, pada tahun 2000 ada 12 negara di
Afrika dengan populasi sekitar 250 juta menderita kekurangan air. Sampai tahun
2025, 10 negara di Afrika akan menyusul pada kondisi seperti itu dengan jumlah
penduduk 1,1 milyar orang, atau dua pertiga populasi seluruh Afrika, sementara
empat negara (Kenya, Rwanda, Burundi, dan Malawi) akan mengalami krisis air yang
parah. (Falkenmark, 1989).

Air untuk Orang atau Lingkungan?
Krisis air di banyak negara, tampaknya perlu suatu kerja yang luar biasa untuk
mengelola air sehingga menjadi cukup untuk orang minum, keperluan pertanian,
lingkungan, dan industri. Situasi ini sering menimbulkan konflik kepentingan jika
terdapat pilihan, misalnya antara air untuk orang, atau untuk kehidupan mahkuk luar,

atau untuk lingkungan.
United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio
tahun 1992 menandai perubahan dalam pemikiran moderen. Prinsip pokoknya ialah
kehidupan manusia dan lingkungan merupakan ikatan yang sangat erat. Proses
ekologi menjaga planet ini cocok bagi kehidupan, menyediakan makanan, udara,
obat-obatan, dan banyak lagi yang diistilahkan “kualitas kehidupan”. Diversifikasi
besar-besaran secara biologis, kimiawi, dan fisikal dari bumi ini membentuk
bangunan blok-blok yang esensial bagi ekosistem. Jadi dikala manusia membutuhkan
air untuk langsung diminum, menyediakan air untuk lingkungan berarti sama dengan
memakai air secara tidak langsung untuk manusia. Konsep ini amat mendasar yang
memasukkan semua aspek manajemen sumber air, seperti undang-undang air yang
baru di Afrika Selatan yang prinsip kesembilannya menyatakan bahwa: “kuantitas,
kualitas, dan kelayakan air diperlukan untuk mempertahankan fungsi ekologis yang
manusia bergantung padanya dan harus dicadangkan sehingga kesinambungan jangka
panjang dapat terjamin”
Perhatian yang lebih, perlu diberikan pada peran ekosistem didalam mengatur siklus
hidrologi dan potensinya sebagai alternatif terhadap perkerjaan pekerjaan enjinering.

Sebagai contoh, padang rumput dan hutan yang dikelola dengan baik akan
mengurangi limpasan permukaan saat musim hujan, meningkatkan infiltrasi tanah

dan akuifer serta mengurangi erosi, seperti menjaga aliran air selama musim kemarau
dan pengurangan limpasan permukaan selama ada banjir. Konservasi lahan basah
secara khusus, dengan menjamin bahwa lahan itu akan mempunyai pasokan air yang
memadai untuk mempertahankan fungsinya dapat menjadi manfaat yang positif bagi
umat manusia. Banyak lahan basah memberikan hasil seperti ikan, tanah yang subur,
kayu dan obat-obatan dan juga habitat untuk makhluk liar. Sebagian lahan basah juga
berperan penting dalam fungsi-fungsi hidrologis termasuk pengurangan banjir,
perbaikan kualitas banjir (dengan membuang polutan-polutan) dan pengisian air
tanah. Jadi bagi jutaan manusia di seluruh dunia yang bergantung secara langsung
pada lahan basah atau mengambil manfaat dari fungsi lahan basah, penyediaan air
untuk lingkungan dan untuk manusia adalah satu dan sama.

Prinsip-Prinsip Manajemen Air untuk Manusia dan Lingkungan
Ada 10 prinsip manajemen air untuk manusia dan lingkungan. Prinsip-prinsip itu
dapat dijadikan acuan apabila air ingin dimanajemeni secara berkesinambungan untuk
manusia dan lingkungan.
Kesepuluh prinsip manajemen air untuk manusia dan lingkungan, yaitu:
1. Menilai manfaat air
2. Memakani air dengan lestari
3. Membangun institusi-institusi yang handal untuk memanajemeni air

4. Mengumpulkan dan mendesiminasi informasi
5. Memelihara sosial dan budaya
6. Menjamin akses air yang baik
7. Menggunakan teknologi yang tepat
8. Mengusahakan solusi atas penyebab masalah, bukan gejala yang nampak
(tetapi terimalah solusi praktis)
9. Ambil pendekatan ekosistem
10. Bekerja sebagai tim multidisipliner

1. Menilai Manfaat Air
Untuk memutuskan pemanfaatan air yang terbaik, maka diperlukan penilaian yang
independen akan manfaat dari berbagai opsi. Menilai dalam ukuran uang sering
diterapkan disini untuk mengetahui manfaat ekonomisnya dalam hidup sehari-hari.
Tujuannya ialah untuk mengalokasikan air yang dapat menghasilkan manfaat yang
optimal bagi masyarakat. Efisiensi dari segi ekonomi menjadi dasarnya. Di Nigeria
Utara, bendungan besar dibangun pada Sungai Hadejia untuk menyuplai irigasi
intensif, yang menimbulkan pengurangan lahan basah di bagian hilir (Hollis dkk,
1995). Barbier dkk (1991) mendemonstrasikan bahwa nilai ekonomis air bila
digunakan untuk irigasi intensif adalah sangat kurang dibandingkan bila digunakan
untuk mendukung perikanan dan pertanian.


Penilaian ekonomis bukanlah suatu solusi menyeluruh bagi pengambil keputusan
yang sedang menghadapi pilihan-pilihan yang sulit. Kesulitan lain adalah kurangnya
informasi pada proses hidrologis dan ekologis, seperti pendauran zat makanan atau
pengisian air tanah. Jika informasi tersebut dinilai kurang, maka diperlukan investasi
waktu, sumber daya dan upaya lebih lanjut berupa penelitian sains dan ekonomi.
Pada akhirnya, beberapa kelompok masyarakat berpendapat bahwa system
lingkungan tertentu seperti hutan tropis dapat mempunyai nilai tambahan “sangat
tinggi” melebihi apa yang ia dapat sediakan untuk kepuasan manusia, terutama saat
manajemen air menimbulkan degradasi ekosistem, misalnya menurunnya atau
musnahnya zat makanan atau spesies tertentu. Dari perspektif ini, konservasi
ekosistem atau spesies merupakan persoalan kewajiban moral dari pada untuk
efisiensi atau bahkan untuk penjatahan air. Jadi nilai ekonomis hanyalah menjadi
salah satu masukan bagi pengambilan keputusan manajemen air, menyertai
pertimbangan penting lainnya.

2. Memakai Air Secara Lestari
Apabila sumber air digunakan dengan tingkat pemakaian yang lebih tinggi dari pada
pengisian kembali, sumber air itu akan menyusut dan pemakaian menjadi tidak
berkesinambungan. Banyak tempat di bumi ini, sebagai contoh, air tanah

dieksploitasi habis-habisan jauh melebihi tingkat pengisiannya kembali. Di Quetta
Pakistan misalnya debit pengisapan 2.5 m3/detik sementara pengisian kembali 2
m3/detik, mengakibatkan permukaan air tanah menyusut 1 m per tahun (Acreman,
1993). Di Jakarta, Indonesia, wilayah sekitar Cengkareng, Grogol, Cempaka Putih,
dan Cakung, permukaan air tanah turun sekitar 17 m per tahun, dan beberapa wilayah
lain muka air tanah sudah berada 40-50 m di bawah permukaan air laut (Hendrayanto,
2004).
Ada banyak cara untuk menggunakan air secara lestari:
1. Irigasi tetes yang menyuplai air langsung ke akar tanaman melalui pipa
dengan lubang-lubang kecil (Gambar 2), merupakan metode yang sangat
efisien misalnya untuk tanaman tebu di Mauritius (Batchelor and
Soopramanien, 1993).

Gambar 1. Contoh Sistem Irigasi Tetes
2. Pemakaian air dikenakan biaya dan buat investasi teknologi irigasi tetes serta
perbaikan pipa-pipa bocor.
3. Penjernihan air limbah secara alami untuk digunakan kembali sebagai air
irigasi.
4. Desalinisasi air sangat mahal dan hanya menyuplai sekitar 1/1000 dari
kebutuhan air. Namun, desalinisasi dengan tenaga surya bisa menjadi solusi

terutama di Negara tropis seperti di Asia Barat (Gleick, 1993).
5. Sistem roil yang mengalirkan air dari rumah tangga ke pusat pengolahan air
limbah memerlukan jumlah air yang sangat banyak. Di banyak negara seperti
Inggeris, pengolahan air limbah langsung di sumbernya yang hanya
menggunakan sedikit air.

3. Membangun Institusi Manajemen Air
Institusi pada berbagai level sangat esensial untul alokasi air secara adil. Pada level
global ada dua institusi yang berjalan, pertama World Water Council, yang bertujuan
mengasses sumber air global dan isu-isu kebijakan, dan yang kedua adalah Global
Water Partnership yang melakukan kordinasi program berskala besar untuk masalah
air dan sanitasi, pertanian dan irigasi.
Institusi yang efektif juga diperlukan pada level nasional, propinsi, dan local, untuk
meyakinkan bahwa semua stakeholders dapat terlibat dalam proses pengambilan
keputusan. Sebuah contoh yang bagus diberikan oleh Sungai Pongolo di bagian
Timur Daya Afrika Selatan (Breuwer et al, 1996), di mana sebuah bendungan
dibangun di akhir 1960 untuk mengairi tanah pertanian penduduk berkulit putih.
Dalam peristiwa itu, tidak ada penduduk datang menggunakan skema irigasi itu.
Bendungan yang merubah seluruh regim sungai banjir itu menimbulkan kegagalan
panen besar-besaran dibagian hilir. Di dalam tahun 1978 sebuah workshop


menghasilkan suatu rencana pembebasan kendali untuk merehabilitasi system
pertanian penduduk asli dan kehidupan liar.
Akan tetapi, pelepasan air pertama dari bendungan dilakukan pada saat yang tidak
tepat dan panenan menjadi hanyut atau membusuk (Poultney, 1992). Tahun 1987,
Departemen Urusan Air dan perwakilan suku-suku sepakat untuk mencoba partisipasi
masyarakat. Hasilnya, komite air terbentuk, yang merepresentasikan lima kelompok
pemakai: nelayan, pengumpul makanan, perempuan, pelayan kesehatan, dan yang
diberi mandate untuk memutuskan kapan air dilepaskan. Komite ini sangat berhasil
menjalankan keinginan masyarakat dan menjalankan manajemen basin sungai secara
menguntungkan pemakai dataran banjir. Ini adalah contoh unik partisipasi pemakain
dataran banjir secara langsung di dalam proses pengambilan keputusan dan
mempengaruhi pembanguna dan manajemen basin sungai.
Apapun levelnya, institusi membutuhkan anggota-anggota yang memiliki informasi
yang baik dan yang mempunyai apresiasi luas tentang isu-isu alokasi sumber air.
Pelatihan adalah hal esensil, namun pelatihan butuh variasi sesuai jenis institusi.
Penasehat teknis professional memerlukan kursus pelatihan formal, misalnya
manajemen tanah basah dan perencanaan sumber air, sedangkan masyarakat local
dilatih tentang keterlibatan di dalam aktivitas lokal seperti partisipasi penilaian desa
atau kunjungan ke demonstrasi proyek.

Satu factor yang dapat membatasi efektifitas keterlibatan masyarakat di dalam proses
manajemen ialah ketidak-percayaan atau konsep keliru terhadap perhatian dan
aspirasi mereka yang tidak dipahami dengan baik (Smith, 1995). Istilah yang sangat
samar “publik umum” sering dipakai oleh pihak otoritas untuk mendefinisikan setiap
orang lain, yang berimplikasi ke sikap “ kami dan mereka”. Jika “publik umum”
diganti dengan “masyarakat setempat”, “mereka” menjadi pemilik tanah, pemakai
dan individu yang bersama dengan asosiasi sungai, danau atau tanah perairan. Lebih
penting, para professional ingin melihat mereka sendiri sebagai bagian masyrakat dan
pemahaman mutual menjadi lebih mudah tercapai.

4. Kumpul dan Diseminasi Informasi
Manajemen sumber daya yang efektif hanya dapat dicapai jika keputusan didasarkan
informasi yang baik. Bahkan di Negara seperti Inggeris, yang memiliki lebih dari 100
stasion pengukur aliran sungai, kuantitas sumber air yang tersedia masih tidak
menentu dan dana yang besar telah diinvestasikan untuk membangun metode
asesmen untuk sungai-sungai yang tidak diukur (Gustard dkk, 1992). Di banyak
Negara, sungai-sungai besar bahkan tidak dimonitor secara efektif, sehingga sumber
air yang sesungguhnya tidak diketahui dan perencanaan serta manajemen yang efektif
seperti menembak di dalam kegelapan. Demikian pula tingkat pemakaian air seperti
irigasi tidak diketahui dengan tepat. Di sebagian negara, strategi manajemen berdasar

pada data yang akurat. Di saat kesulitan ekonomi, kegiatan pengumpulan data dan

riset sering menjadi prioritas pertama untuk dihentikan. Padahal, pengumpulan data
hidrologi perlu diperluas menjadi lebih banyak sungai, perairan dan air tanah, baik
dari segi kuantitas maupun kualitas. Model yang lebih baik diperlukan untuk
membuat prediksi, terutama sejak iklim sangat mungkin berubah secara substansil 50
tahun kemudian. Peramalan banjir dan kekeringan memerlukan inisiatif baru dan
pembangunan sistem komunikasi, seperti World Hydrological Climate Observation
System, dikenal sebagai WHYCOS, yang akan mengumpulkan informasi hidrologis
secara waktu riil melalui satelit seluruh dunia. (WMO, 1995).
Di sebagian negara, data hidrologi dikumpulkan, dianalisis, dan dipresentasikan di
dalam buku tahunan hidrologis. Namun demikian, sering tidak didistribusi dengan
baik dan didalam prakteknya hanya departemen pemerintahan tertentu saja dan
konsultan yang memperolehnya. Informasi sumber daya air dan populasi perlu
dipresentasikan rangkumannya dan dengan cara yang mudah dipahami serta
didesiminasi secara luas ke pejabat pemerintahan, peneliti, dan masyarakat setempat
sehingga mereka dapat berpartisipasi di dalam proses pengambilan keputusan.

5. Memelihara Sosial dan Budaya
Air merupakan bagian fundamental kehidupan dan dipakai juga di dalam acara-acara
religius di dalam masyarakat, misalnya untuk acara pembaptisan umat Kristen,
pembersihan jiwa umat Hindu di sungai Gangga, dll. Manajemen dan alokasi air
menjadi isu yang sensitif. Tidak seperti sumber daya lain misalnya batubara atau
kayu, air dianggap sebagai “Pemberian Tuhan” sehingga strategi manajemen yang
meminta pembayaran air sering tidak dapat diterima.
Anak-anak dan perempuan di banyak negara berkembang bahkan berjalan sangat jauh
untuk mengumpulkan air. Dengan menyediakan sumur-sumur yang layak tentunya
akan memperbaiki keadaannya. Akan tetapi, beberapa proyek penyediaan air di
Afrika yang memasang kran-kran di perumahan menjadi gagal dan bermasalah
karena budaya keluar rumah mengambil air dan mencuci merupakan event yang
penting bagi wanita khususnya di mana dimanfaatkan untuk bertemu dan berbagi
cerita satu sama lain.

6. Jaminan Akses Air yang Adil
Statistik sumber air sering disajikan berdasarkan hitungan per kapita. Ini
menggambarkan nilai rata-rata terhadap seluruh populasi, memberikan kesan
ekualisasi dalam ketersediaan sumber air, yaitu akses yang sama dan kemampuan
seimbang untuk membayar. Akses yang kontras terjadi di banyak negara
berkembang. Di kota Quetta, Pakistan, beberapa penduduk kaya memiliki lubang bor
sendiri yang mereka gunakan untuk mengisi kolam renang dan mencuci mobil,
sedangkan 50 meter dari situ penduduk miskin mengambil air dari kolam berlumpur.
Lebih lanjut lagi, beberapa studi memperlihatkan bahwa penduduk miskin perkotaan

membayar lebih banyak dan membelanjakan penghasilannya secara proporsional
untuk air. Di Port-au-Prince, Haiti, keluarga miskin menggunakan 20 % dari
penghasilannya untuk air; di Onitsha, Nigeria, si miskin membayar 18 % sementara
orang yang berkecukupan hanya memakai 2 % dari penghasilannnya. Di Jakarta,
Indonesia, 32 % membeli air dari pedang kaki lima / asongan dengan harga USD 1,5
sampai USD 5.2 per m3, kadang-kadang membayar 25-50 kali lebih tinggi dari 14 %
rumah tangga yang menerima air dari sistem perkotaan (Bank Dunia, 1993).
Ditambahkan, beban ketidakcukupan air yang bekualitas lebih banyak dipikul oleh
wanita dan anak-anak. Karena mereka adalah pengumpul air utama, waktu
pengumpulan yang lebih lama berarti wanita kurang waktu untuk mengurus produksi
pertanian dan mengasuh anak. Air sangat vital untuk wanita terutama untuk aktivitas
pengolahan makanan dan kerajinan tangan, yang merupakan sumber penghasilan
utama (Serageldin, 1995). Wanita juga merupakan penyedia layanan kesehatan,
sehingga penyakit di dalam keluarga akibat air yang kurang bersih berdampak lebih
besar kepada wanita daripada pria.

7. Gunakan Teknologi yang Tepat
Teknologi dipandang sebagai alat untuk mengantar perintah terhadap tidak
menentunya iklim dunia. Sebagai contoh, bendungan digunakan untuk menampung
air selama musim hujan dan dipakai saat dibutuhkan selama musim kemarau untuk
industri, pertanian atau pembangkit listrik. Hal ini sangat penting untuk sungai-sungai
yang alirannya bervariasi berdasarkan musim.
Pada Gambar 3 diperlihatkan contoh penerapan teknologi tradisionil dengan menggali
terowongan di dalam lereng alluvial ke arah perkampungan atau tanah pertanian,
dengan pipa vertical setiap beberaparatus meter yang berfungsi sebagai penyerapan
air.

Gambar 2. Terowongan Tradisional yang Mengantar air ke Perkampungan atau
Tanah Pertanian
Teknologi yang diterapkan harus dipertimbangkan kesinambungannya dan
kemampuan penduduk setempat memeliharanya.

8. Atasi Penyebab, bukan Gejala-Gejalanya
Dengan banyaknya persoalan ekonomi, kesehatan, dan social, maka akan lebih
mudah menanggulangi gejala-gejalanya daripada penyebabnya. Sebagai contoh,
penyemprotan nyamuk akibat air tergenang adalah mengobati gejalanya. Seharusnya
adalah mengatasi penyebab terjadinya genangan air sehingga nyamuk tidak dapat
berkembang biak.

9. Lakukan Pendekatan Ekosistem
Adalah suatu kebutuhan membangun pendekatan luas untuk manajemen air dengan
penekanan lebih besar pada perancangan regional terpadu dan konservasi habitat
yang kritis. Lingkungan tersusun dari sekumpulan unsur fisik, kimia, dan biologi
termasuk air, oksigen, tanaman, hewan, tanah, dan mineral. Setiap unsur itu
memegang peranan penting seperti menyediakan struktur batuan atau berinteraksi
antar komponen, memelihara proses-proses krusial misalnya aliran energi atau siklus
nutrient. Diatas dari semua lingkungan alam ini adalah efek keberadaan umat
manusia. Tidak ada tempat di bumi ini yang tidak dipengaruhi oleh manusia yang
berdampak besar terhadap lingkungan sejak pertanian ada ribuan tahun yang lalu.

Pendekatan Manajemen Ekosistem bertujuan untuk mengintegrasikan semua
komponen fisik, kimia, dan biologis dan proses-proses interaksi sosial, ekonomi, dan
faktor institusional. Ini memerlukan integrasi manajemen dari gunung, lahan kering,
hutan, pertanian, perumahan, industri, transport, air buangan, akuifer, sungai, danau,
lahan basah dan semua yang mempunyai efek bagi lingkungan.

10. Bekerja Sebagai Tim Multidisipliner
Banyak daerah aliran sungai yang didalamnya terdapat berbagai macam bentuk lahan,
peruntukan lahan, habitat, industri, komunitas, aturan hukum dan adat istiadat.
Dengan demikian, implementasi pendekatan ekosistem terpadu seperti yang
diusulkan di atas, memerlukan gabungan interdisipliner termasuk hidrologis, insinyur
keairan, ahli biologi, fisika, tanah, perencana, ahli kesehatan, sosiolog, ahli hukum,
dan kehutanan.
Tim ini merumuskan berbagai topic permasalahan seperti dinamika populasi,
pemodelan kualitas air, irigasi, masalah kesehatan, pasang-surut air, perikanan,
legislasi, pelatihan, dan pemberdayaan masyarakat desa.
Manajemen ekosistem tidak setuju adanya individu atau agen/lembaga yang
melingkupi semua lintas sektoral. Kolaborasi antar lembaga harus dibangun sebagai
tim multidisipliner di dalam merencanakan dan mengimplementasi proyek yang
meliputi analisa permasalahan, disain proyek, pengumpulan data, pemodelan,
kebijakan pembangunan, evaluasi dan monitoring.

Kesimpulan
Bumi adalah milik bersama manusia, tumbuh-tumbuhan, dan hewan dengan sangat
banyak spesies yang belum teridentifikasi, atau manfaatnya yang belum dimengerti.
Walaupun dengan pengetahuan yang masih terbatas, setiap komponen fisik, kimia,
biologis yang membentuk bumi, jelas mempunyai peranan penting masing-masing.
Lebih dari itu, air adalah komponen esensil bagi manusia, tanaman, dan hewan.
Manajemen air tradisional menfokuskan pada penyediaan air bagi masyarakat untuk
minum, memasak makanan, dan mendukung industri. Penyediaan air untuk
“lingkungan” sering dipandang sebagai hal yang mewah dan hanya negara kaya yang
sanggup membiayainya. Sejalan dengan peningkatan populasi, terjadi peningkatan
permintaan yang dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan air untuk umat manusia
menjadi prioritas yang paling tinggi. Akan tetapi, manusia tidak dapat hidup dengan
air saja, tetapi juga memerlukan jasa dari sistem lingkungan hidup yang tentunya
membutuhkan air untuk kelestariannya.
Manajemen air yang modern focus pada ekosistem global dan tidak merusak alam
untuk menyuplai air bagi kebutuhan manusia. Agar hidup yang saling
menguntungkan antara manusia dan lingkungan tetap berlangsung maka sepuluh

prinsip manajemen air harus diikuti. Air harus: dihargai; dilestarikan; diatur oleh
institusi yang kompeten; dipandang dari perspektif social dan budaya; dapat diakses
oleh semua pihak; dibangun dengan teknologi yang tepat; dirawat dengan mengatasi
penyebabnya, bukan gejalanya; dimanajemeni dengan pendekatan ekosistem; dan
ditangani oleh tim multidisipliner yang mengumpulkan dan diseminasi informasi
untuk menghasilan keputusan yang memuaskan.

Referensi
Acreman, M.C., 1993. Hydrology and the environment. The Lower Indus and
Balochistan. Report to IUCN Pakistan. Gland, Switzerland: IUCN.
Chaturvedi, M.C., 1987. Water Resources System, Planning and Management.
McGraw-Hill, New Delhi.
Pallu, Muh. Saleh., 1998. Kumpulan Jurnal Teknik Keairan. Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin, Makassar