Sejarah Perkembangan Syarah Hadis Hadis
REFORMULASI STUDI ILMU HADIS:
Sejarah Perkembangan Syarah Hadis1
Oleh: Hedhri Nadhiran
Abstrak
Syarah hadis adalah pemahaman yang diperoleh dari teks-teks hadis, baik
yang berhubungan dengan kehidupan agama ataupun yang berkaitan dengan
aspek-aspek lainnyanya. Dalam perkembangannya, aktivitas pensyarahan
telah melahirkan berbagai cabang ilmu hadis seperti yang kita kenal sekarang.
Bahkan secara akademis, kegiatan ini berkembang menjadi suatu disiplin ilmu
yang menjadi puncak seluruh aktivitas keilmuan di bidang kajian hadis, yaitu
ilmu syarh hadis (disebut juga ilmu fiqh al-hadis atau ilmu ma’anil hadis).
Rekonstruksi sejarah terhadap perkembangan hadis menunjukkan adanya tiga
sub sejarah dalam disiplin ilmu ini yang - secara signifikan - berbeda antara
satu dengan lainnya, yaitu sejarah sejarah penulisan dan pembukuan hadis,
sejarah ilmu hadis dan sejarah syarah hadis. Namun yang populer dan umum
diketahui hanya aspek pertama. Inilah menjadi salah satu sebab terjadinya
tumpang tindih dalam pengajaran kajian hadis dan sekaligus menimbulkan
kemandekan dalam kajian pengembangannya. Penelitian menunjukkan bahwa
periode sekarang merupakan masa kemunduran dalam pensyarahan yang
ditandai dengan sedikitnya aktivitas ini, sementara hasil pensyarahanpun lebih
berupa pengulangan pemikiran ulama masa lalu. Padahal yang sangat
dibutuhkan adalah pemahaman hadis yang sesuai dengan konteks kekinian
sebagai hasil dari interaksi antara pengembangan metodologi pemahaman
hadis (kaedah fiqh al-hadis) dan problematika kehidupan modern. Karena itu
tidak heran apabila banyak pemikir muslim yang menyoal relevansi hadis –
yang nota bene merupakan produk masa lalu – dalam kehidupan sekarang.
Keywords: reformulasi, syarah
Ada sebuah nilai penting yang mulai dilupakan terkait dengan pemindahan
Jurusan Tafsir Hadis (TH) dari Fakultas Syari’ah ke Fakults Ushuluddin. Nilai tersebut
berupa keinginan agar studi hadis dapat terlepas dari paradigma legal-formalistik yang
selama ini cenderung mendominasi kajian hukum Islam. (M. Nur Ikhwan: 2003, 233). Di
samping itu, jalur ini juga ditempuh untuk mempertegas bahwa wilayah kajian hadis
bukan hanya berkutat pada persoalan hukum semata, tetapi masih banyak aspek-aspek
lain yang dikandung oleh sumber ajaran agama ini. Adapun sasaran akhir yang ingin
dicapai dari perpindahan ini berupa upaya pengembangan kajian hadis; baik dari sisi
metode keilmuan ataupun pemahaman.
1Tulisan ini telah dimuat dalam Jurnal Ilmu Agama, Edisi Juni 2007/Tahun ke-6/No. 1, Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam IAIN Raden Fatah Palembang
2
Namun dalam perkembangannya, harapan di atas tampaknya belum terwujud
secara sempurna. Tidak heran jika kemudian timbul penilaian bahwa kajian hadis yang
dilaksanakan selama ini telah berubah menjadi bidang studi yang sangat rigid, kaku dan
sensitif. (Ibid.). Ini dikarenakan metodologi yang dipergunakan dalam studi hadis selama
ini bersifat monodisipliner. Akibatnya kajian hadis yang diterapkan pun hanya bersifat
pengulangan-pengulangan dari pada pengembangan. Kondisi ini semakin diperparah
dengan menguatnya sebuah kesan bahwa mempelajari ilmu hadis tergolong sulit atau
paling tidak sangat menjemukan sehingga tidak heran jika peminatnya pun sangat sedikit.
Mengingat kedudukan studi ini yang begitu strategis dalam kajian ilmu-ilmu keIslaman,
fakta di atas tentu sangat tidak menggembirakan.
Terkait dengan anggapan terakhir di atas, menurut Daniel Djuned (2002, 1-2),
salah satu penyebab terjadinya kenyataan di atas adalah sistem pembelajaran ilmu hadis
yang kurang sistematis. Ini dikarenakan jika perhatian diarahkan kepada kitab-kitab
referensi ilmu hadis, sangat terasa bahwa sistem yang diterapkan dalam pengajaran ilmu
ini adalah sistem penghafalan definisi dari satu istilah ke istilah lainnya tanpa
memperhatikan sisi aplikatif dari istilah-istilah tersebut ke dalam sebuah kerangka
keilmuan yang jelas. Memang, bagi yang mempunyai minat besar dalam mempelajari
ilmu ini, lambat laun ia akan mampu merakit sendiri pengertian-pengertian yang terpisah
tersebut. Namun bagi yang mempelajarinya hanya sebatas memenuhi kewajiban SKS
(Sistem Kredit Semester), hafalan-hafalan tersebut akan hilang begitu saja.
Bertolak dari fenomena di atas, dapat dikatakan bahwa perumusan ulang
(reformulasi) studi hadis sangat mendesak untuk dilakukan. Upaya ini perlu dilakukan
untuk mendapatkan metode pembelajaran yang sistematis dan mudah dicerna. Tulisan
berikut akan membahas sejarah perkembangan syarah sunnah, yang hampir tidak pernah
dibahas dalam kajian ilmu hadis terutama di perguruan tinggi (baca: IAIN). Padahal
pengetahuan dan penguasaan topik ini akan dapat membuka wawasan mengenai apa yang
harus dilakukan terhadap hadis – yang nota bene merupakan sumber ajaran Islam - pada
masa sekarang.
A. Wacana Pengembangan Kajian Hadis: Sketsa Sejarah
Sejarah adalah rekontruksi masa lalu, yaitu merekonstruksi apa saja yang sudah
dipikirkan, dikerjakan, dikatakan, dirasakan dan dialami oleh orang. Tujuan rekonstruksi
ini adalah untuk kepentingan masa kini, bahkan, untuk masa yang akan datang (Djoko
Soerjo: 2007, 13). Kondisi ini juga berlaku bagi ilmu pengetahuan, karena pada dasarnya
sejarah suatu ilmu merupakan bahagian dari sejarah perkembangan intelektual manusia,
dimana yang terakhir ini menjadi bahagian dari sejarah kemanusiaan pada umumnya.
Karena itu, sebagai bahagian dari disiplin ilmu ke-Islaman, disiplin ilmu hadis tentu saja
memiliki sejarah perkembangan keilmuan tersendiri yang tentu saja berbeda dengan
disiplin ilmu lainnya.
Namun secara akademik, tampaknya bahasan sejarah dalam ilmu hadis tidak
berkembang seperti yang diharapkan. Asumsi ini tampak ketika perhatian diarahkan
kepada buku-buku ilmu hadis yang beredar. Umumnya, hampir sumber bacaan tersebut
hanya menguraikan sejarah penulian dan pembukuan hadis. Ini dapat dilihat dari silabus
ilmu hadis yang diajarkan di perguruan tinggi (IAIN), dimana aspek sejarah yang
diajarkan hanya mengenai hal tersebut. Padahal ini hanya satu aspek dari sejarah
perkembangan ilmu hadis. Idealnya, ketika membahas ilmu hadis maka yang juga (baca:
3
seharusnya) diajarkan adalah sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadis, bukan
semata sejarah penulisan dan pembukuan hadis. Disinilah letak tumpang tindih yang
terjadi dalam pengajaran ilmu hadis.
Jika perhatian diarahkan kepada sejarah perkembangan ilmu ini secara integral
dan komprehensif, akan terlihat bahwa - paling tidak - terdapat tiga sub sejarah yang
dapat direkonstrusi. Ketiga sub sejarah tersebut adalah sejarah penulisan dan pembukuan
hadis, sejarah perkembangan ilmu hadis, dan sejarah perkembangan syarah hadis. Secara
historis, masing-masing dari ketiga materi sejarah ini memiliki periodisasi perkembangan
tersendiri - yang apabila diamati - mempunyai perbedaan yang cukup signifikan antara
satu sama lain. Seperti untuk materi sejarah ilmu hadis –misalnya, hasil penelitian Nūr alDīn ‘Itr (1997: 36-72) menunjukkan bahwa saat ini merupakan tahapan ketujuh dari
periodisasi perkembangan ilmu hadis. Tahap pertama adalah tahap kelahiran ilmu hadis,
berlangsung pada masa sahabat sampai akhir abad pertama Hijrah; Tahap kedua, Tahap
penyempurnaan, dari awal abad kedua sampai awal abad ketiga; Tahap Ketiga, Tahap
pembukuan ilmu hadis secara terpisah, dari awal abad ketiga sampai pertengahan abad
keempat hijrah; Tahap keempat, Penyusunan kitab-kitab induk ulumul hadis dan
penyebarannya, dari pertengahan abad keempat sampai awal abad ketujuh; Tahap kelima,
Kematangan dan kesempurnaan pembukuan ulumul hadis, dari abad ketujuh sampai abad
kesepuluh; Tahap keenam, Masa kebekuan dan kejumudan, awal abad kesepuluh sampai
awal abad keempat belas; dan Tahap ketujuh, Masa kebangkitan kedua, dari awal abad
keempat belas hingga sekarang.
Bandingkan dengan sejarah penulisan dan pembukuan hadis yang menjadi fokus
perhatian dan perdebatan para peminat hadis mengenai periodisasi perkembangannya;
tiga, lima atau tujuh periode. Adapun tujuh periode itu - dan ini merupakan pembagian
yang paling banyak dikutip - adalah: Periode I, ashr al-wahyi wa takwin (hadis di masa
Rasulullah); Periode II, ‘Ashr tatsabbut wa iqlal al-riwayah (hadis di masa al-khulafa’u
al-rasyidin); Periode III, ‘ashr intisyar al-riwayah (hadis pasca al-khulafa’u al-rasyidin
hingga akhir abad I H); Periode IV, ‘asr al-kitabat wa al-tadwin (abad II H); Periode V,
‘asr al-tajrid wa tashhih wa tanqih (abad III H); Periode VI, ‘ashr al-tahzib wa al-tariīb
wa al-istidrak wa al-jam‘u al-khas (400 H – 656 H); Periode VII, ‘ashr al-syarh wa aljam‘i al-‘am wa takhijj wa bahts `an zawa’id. (M. Hasbi Ash-Shiddieqy: 1973, xiii-xiv).
Berdasarkan perbandingan kedua periodisasi sub sejarah di atas terlihat perbedaan
yang sangat signifikan – tidak hanya pada batasan waktu dari masing-masing periode,
tetapi juga pada aktivitas keilmuan yang terjadi. Melalui penguasaan materi keduanya
kita dapat mengetahui apa yang seharusnya dilakukan untuk mengisi tahapan
perkembangan keilmuan yang sedang berlangsung hingga kini. Tentu saja keadaan ini
juga berlaku dalam sub sejarah yang ketiga, yaitu syarah hadis yang akan dijelaskan
secara khusus. Dengan mengetahui kewajiban intelektual ini maka akan dapat disusun
langkah strategis bagi pembelajaran studi hadis yang efektif dan juga pengembangan ilmu
ini - terutama metodologi pemahaman - sehingga dapat menjawab tuntutan problematika
kehidupan yang makin beragam. Bukankah syarat sebuah ilmu adalah memiliki sifat
dinamis sehingga harus terus berkembang?
4
B. Pengertian Syarah Hadis
Istilah syarah hadis yang telah menjadi bahagian dari kosa kata bahasa Indonesia
merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu syarh dan hadis. Dari sudut kebahasaan,
kata syarh berarti al-kasyf, al-wadh, al-bayān, al-tawsī‘, al-hifz, al-fath, dan al-fahm,
yang berarti menampakkan, menjelaskan, menerangkan, memperluas, memelihara,
membuka, dan memahami (Ibn Manzur, II: 1990, 497-498). Adapun kata hadis secara
etimologi berarti al-jadid dan al-khabar atau baru dan berita. Di samping syarh, istilah
terkait lain yang dipakai adalah tafsīr dan hasyiyah. Tafsir dipergunakan hanya terhadap
penjelasan ayat-ayat al-Qur‘an, sedangkan hasyiyah merupakan penjelasan lebih lanjut
atau komentar tambahan dari syarah, biasanya terdapat dalam ilmu fiqh.
Dari sudut terminologis, syarah berarti uraian terhadap materi-materi tertentu,
lengkap dengan unsur-unsur dan segala syarat yang berkaitan dengan objek pembahasan.
(EI: 1997, 951). Dalam hal ini pengertian kata syarah sangat terkait dengan
perkembangan tradisi keilmuan Islam. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa kata
syarah digunakan sebagai istilah bagi penjelasan atau uraian terhadap sesuatu (baca:
ilmu) yang dijadikan objek studi di setiap cabang pengetahuan. (E.J. Brill, VII: 1987,
320). Sementara itu, untuk menjelaskan kata hadis secara terminologi, penulis mengacu
kepada definisi yang diberikan oleh ulama hadis. Menurut Ajjaj al-Khatib (t.th.: 61),
hadis adalah segala sesuatu yang berasal dari nabi baik berupa perkataan, perbuatan,
penetapan ataupun sifat-sifatnya. Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa yang
dimaksud dengan syarah hadis adalah pemahaman yang diperoleh dari teks-teks hadis,
baik yang berhubungan dengan kehidupan agama ataupun yang berkaitan dengan aspekaspek lainnya.
Selain syarah hadis, istilah lain yang dipakai untuk menggambarkan upaya
pemahaman terhadap teks-teks hadis nabi adalah fiqh al-hadīth. Muhammad Tāhir alJawwābī (t.th.: 129), menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan fiqh al-hadīth adalah
memahami teks hadis dan
menguraikan
maknanya
Baginya, fiqh al-hadīth
merupakan sasaran akhir dari ‘ulum al-hadith; baik ilmu-ilmu yang membahas aspek
sanad, yang bertujuan untuk mengetahui bersambung tidaknya sanad, ilmu-ilmu yang
mempelajari tentang perawi hadis sehingga dapat dibedakan antara perawi thiqah dan
da‘īf, serta ilmu-ilmu yang membicarakan tentang matan, yang bertujuan untuk
mengetahui sumber hadis, kata-kata yang gharīb, persoalan nāsikh mansūkh, dan asbāb
al-wurūd. Penilaian senada juga diberikan al-Hākim (t.th.: 63) yang berpendapat bahwa
fiqh al-hadīth adalah buah dari ‘ulum al-hadith, dimana dengan ilmu ini ditegakkanlah
syari‘at.
Hanya saja, perkembangan tradisi keilmuan Islam menjadikan kedua istilah ini
dipakai untuk dua hal yang berbeda. Istilah fiqh al-hadīth mengacu kepada upaya analisis
teks dan hanya populer di kalangan pengkaji hadis, sementara syarh hadis ditujukan
kepada “hasil karya” dari analisis tersebut. Adakalanya istilah fiqh al-hadīth juga dipakai
dengan makna syarah walaupun dengan cakupan yang lebih sempit, yaitu uraian tentang
hadis-hadis hukum semata, seperti definisi yang diberikan oleh Mahmūd Syaltūt (1966:
514) bahwa yang dimaksud dengan fiqh al-hadīth adalah hukum-hukum praktis yang
berkenaan dengan urusan manusia, baik selaku individu ataupun kelompok yang diistinbat-kan langsung dari al-sunnah.
5
C. Sejarah Perkembangan Syarah Hadis
Berbicara tentang perkembangan syarah hadis tidak terlepas dari sejarah
perkembangan hadis dan ilmu hadis itu sendiri. Berdasarkan periodisasi keduanya
diketahui bahwa upaya pemahaman hadis pernah mengalami puncak perkembangan dan
kemudian secara berangsur mengalami kemunduran, seperti halnya kegiatan keilmuan
Islam lainnya.
Fenomena di atas terlihat dari adanya “masa pensyarahan” yang dapat dikatakan
sebagai puncak dari upaya ulama dalam memahami sunnah. Pensyarahan yang
dimaksudkan pada masa ini adalah penulisan kitab-kitab syarah. Berikutnya adalah masa
kemunduran, yang ditandai dengan sedikitnya aktivitas ulama dalam melakukan kegiatan
tersebut. Umumnya kelesuan intelektual yang terjadi disebabkan oleh sikap mayoritas
ulama pada masa itu yang hanya mencukupkan diri dengan penjelasan-penjelasan ulama
sebelum mereka, sebagaimana termaktub dalam karya-karyanya. Pada masa kemunduran
ini, pusat intelektual hadis juga berpindah dari Baghdad dan Mesir (Timur Tengah pada
umumnya) ke negeri India (Hasbi ash-Shiddieqy: 1988, 125-126 dan Nuruddin ‘Itr: 1997,
70).
Secara spesifik, Muhammad Tāhir al-Jawwābī (t.th.: 129) membagi sejarah
perkembangan syarah kepada tiga periode, yaitu periode pertumbuhan, periode
penyempurnaan, dan periode kemunduran. Periode pertumbuhan ditandai dengan masih
sederhananya metode syarah yang ada, yang umumnya hanya berupa penerjemahan
matan hadis (tarājim al-hadīth) dan dimulai pada masa Nabi hingga berakhirnya kegiatan
kodifikasi hadis. Periode penyempurnaan dimulai pada akhir abad keempat hingga
berkembangnya metode syarah yang sempurna (al-syarh al-kāmil). Periode kemunduran
ditandai oleh kegiatan syarah yang hanya berupa ta‘līq dan ta‘qīb terhadap kitab-kitab
syarah yang telah ada.
1. Periode Pertumbuhan
Pada periode ini, apa yang disebut dengan syarah hadis – umumnya – tidak secara
tegas berdiri sendiri di luar hadis nabi. Oleh karena beliau hidup di tengah-tengah
masyarakat (atau generasi sahabat) dan komunikasi yang dilakukannya tidak hanya
bersifat satu arah semata, yakni dari nabi kepada umatnya, tetapi dua arah secara timbal
balik. Ini menunjukkan bahwa apabila para sahabat mengalami kesulitan dalam
memahami hadis, mereka langsung bertanya maksudnya kepada nabi. Seperti hadis yang
menjelaskan tentang bagaimana cara menolong seseorang yang melakukan kezaliman.
Pada periode ini, pemahaman para sahabat lebih bersifat tekstual. Ini dapat
dipahami mengingat mereka senantiasa berusaha menata kehidupannya sebagaimana
yang dicontohkan nabi. Tidak ada aturan tersendiri yang diperlukan untuk mendukung
kebenaran tindakan mereka kecuali perkataan dan prilaku beliau. Walaupun demikian,
tidak berarti pemahaman secara tekstual merupakan satu-satunya analisis yang dipakai.
Dalam kasus-kasus tertentu, terutama ketika kondisi tidak memungkinkan para sahabat
bertanya langsung kepadanya makna sebuah hadis, adakalanya mereka menggunakan
6
pemahaman secara kontekstual.2 Dua model pemahaman ini, seperti dijelaskan Quraish
Shihab (1993: 8-9) dapat dilihat dalam kasus berikut:
Suatu ketika Nabi saw memerintahkan sejumlah sahabat-nya untuk pergi ke
perkampungan Banī Quray zah. Sebelum berangkat, beliau berpesan: ل ا يصلين
·
( احظدكم االعصظر اال افظي ابنظى اقريظظةjanganlah kamu shalat ashar kecuali di
Perkampungan Banī Qurayzah). Perjalanan ke kampung tersebut ternyata begitu
lama, sehingga ketika belum sampai ke tempat yang dituju, waktu ashar telah masuk.
Disini, mereka merenungkan kembali apa maksud pesan Nabi di atas. Ternyata
sebahagian mereka memahaminya sebagai perintah untuk bergegas dalam perjalanan
agar tiba disana pada waktu masih ashar. Jadi bukan seperti bunyi teksnya yang
melarang shalat ashar kecuali disana. Dengan demikian, mereka boleh shalat
walaupun belum tiba pada tempat yang dituju. Tetapi sebahagian yang lain
memahaminya secara tekstual, karena itu mereka baru melaksanakan shalat ashar
setelah berlalunya waktu karena baru tiba di perkampungan Banī Qurayzah setelah
lewat waktu ashar.
Dalam memahami hadis, model pemahaman yang telah ada pada masa nabi hidup
terus berkembang. Ketika beliau wafat, para sahabat – yang menggantikan peran Nabi
sebagai penyampai hadis dan pensyarahnya - seringkali menggunakan ijtihad dalam
menerima atau menolak suatu sunnah ataupun untuk memahami sunnah itu sendiri.
Menurut Musfir ‘Azm Allah (1984: 6), ada tiga kriteria yang dipergunakan sahabat
untuk memahami hadis, yaitu: pertama, kesesuaian antara hadis dengan al-Qur’an; kedua,
kesesuaian suatu hadis dengan hadis lain yang membahas tentang persoalan yang sama;
dan ketiga, kesesuaian hadis dengan rasio.
Dapat dipahami mengapa para sahabat mengembangkan kriteria tertentu untuk
memahami hadis. Hal ini terjadi karena tidak ada lagi tempat bertanya bagi mereka untuk
menyelesaikan perselisihan ataupun mencari jawaban suatu persoalan setelah beliau
wafat. Akibatnya, seringkali seorang sahabat menolak sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh lain. Tentu saja penolakan ini bukan disebabkan oleh kecurigaan terhadap kualitas
pribadi yang menyampaikan, tetapi lebih dikarenakan adanya keraguan terhadap isi hadis
tersebut. Seperti ketika ‘Ā’isyah menolak periwayatan Abu Hurayrah dan ‘Ūmar ibn alKha t tāb tentang azab yang ditimpakan kepada mayat karena ditangisi keluarganya.
··
Menurutnya, hadis ini bertentangan dengan ayat ( ال ايكلف االله انفسا اال اوسعهاAllah
tidak akan membebani seseorang kecuali menurut kemampuannya. QS.II: 286). Ia
2Pemahaman secara tekstual adalah pemahaman yang berpegang pada arti lahiriah nash tanpa
mencari ‘illat yang terdapat di dalamnya, dan orang atau kelompok yang menggunakan pemahaman ini
disebut Tekstualis. Istilah lain bagi mereka adalah Skriptualis (menurut Fazlur Rahman), al-Muhāfi zūn
·
(Farūq Abu Zayd), dan Ahl al-hasyw (“Ali Syam al-Nasysyar). Adapun yang dimaksud dengan pemahaman
secara kontekstual merupakan upaya menganalisis dan memahami setiap persoalan secara rasional dengan
tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang terdapat pada ayat al-Qur’an dan sunnah. Lihat Afif Muhammad,
“Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual Atas Hadis Nabi SAW”, dalam Jurnal Al-Hikmah, No.5,
Edisi Maret-Juni 1992, 25-26
7
menyatakan bahwa kedua sahabat ini tidak mengetahui asbāb wurūd dari hadis tersebut.
(Ibid: 62-63 dan Shalahuddin al-Adabi: 1983, 114).
Di masa ini pula, khususnya pada akhir masa kekuasaan Khalīfah ‘Uthmān ibn
‘Affān, kekuatan politik memasuki lapangan hadis yang ditandai dengan munculnya
hadis-hadis palsu di tengah masyarakat. Kondisi ini menjadi pemicu bagi para sahabat
untuk lebih berhati-hati dalam menerima periwayatan. Mereka mulai meneliti dan
mengkritisi pribadi orang yang menyampaikan hadis. Mengutip penjelasan Imām Muslim
dalam muqaddimah Sahih-nya, Muhammad Abu Zahw (t.th.: 99) menjelaskan bahwa
Ibn Sīrin pernah berpendapat tentang fenomena ini:
افينظر.لم ايكونوا ايسألون اعن االسناد افلما اوقعت االفتنة اقالوا اسموا ارجالكم
ا ا.الى ااهل االسنة افيؤخذ احديثهم او اينظر االى ااهل االبدع افل ايؤخذ احديثهم
Artinya: Sebelumnya para sahabat tidak pernah bertanya mengenai sanad, tetapi setelah
terjadi fitnah, (apabila sampai kepada mereka sebuah hadis) mereka akan
bertanya: “Sebutkanlah nama-nama rijal-nya”. Jika dipandang berasal dari ahl
al-sunnah, maka hadis mereka diterima, tetapi jika dinilai dari ahl al-bid‘ah
hadis-hadis tersebut akan ditolak.
Beberapa fenomena di atas menunjukkan bahwa hingga akhir periode sahabat
upaya analisis pemahaman hadis yang dilakukan telah mencakup dua aspek, yaitu aspek
sanad dan matan hadis. Pemahaman terhadap sanad dilakukan karena banyaknya orangorang yang mengaku telah menerima sunnah dari nabi, dan pemahaman terhadap matan
dilakukan karena menilai adanya keganjilan (ghirābah) di dalamnya. Pemahaman (atau
pensyarahan) ini sendiri masih berupa tradisi lisan karena belum populernya kegiatan
penulisan dan pencatatan, sementara bentuk pensyarahan kebanyakan berupa
penerjemahan matan hadis sehingga cenderung tekstual.
Selanjutnya pada masa pembukuan, atas perintah Khalīfah ‘Umar ibn ‘Abd
al-‘Azīz (63 H – 101 H), para ulama berlomba-lomba mencari, mengumpulkan, dan
menulis hadis dalam sebuah kitab. Perintah ini terjadi pada penghujung abad pertama
Hijrah. Khalīfah menginstruksikan kepada para pejabat dan ulama di setiap kota untuk
mengumpulkan hadis. Di antara ulama yang menyambut gagasan ini adalah Muhammad
ibn Muslim ibn Syihāb al-Zuhrī (w. 123 H). Setelah generasi al-Zuhrī berlalu, muncullah
generasi berikutnya yang berlomba-lomba membukukan hadis. Tercatat nama-nama
ulama yang melakukannya, antara lain: Ibn Jurayj (w. 150 H) di Mekkah, Ma‘mar ibn
Rasyīd (w. 153 H) di Yaman, al-Awza‘ī (w. 156 H) di Syām, Hammād ibn Salamah (157
H) di Bashrah, Mālik ibn Anas (179 H) di Madinah, dan Ahmad ibn Hanbal (241 H).
Kegiatan pembukuan ini terus berlanjut hingga akhir abad ke-4 H.
Dalam rentang waktu yang panjang tersebut, abad ke-3 H dinilai sebagai zaman
keemasan pembukuan hadis. Pada masa inilah muncul sejumlah besar ulama kenamaan di
bidang hadis dan di masa ini pula muncul kutub al-sittah yang memuat hampir semua
hadis. Usaha kodifikasi hadis yang dilakukan para ulama di atas menunjukkan keluasan
pengetahuan dan pemahaman mereka terhadapnya. Ini dapat dilihat dari teraturnya
pembahagian bab, pengelompokan hadis, dan pengulangan suatu hadis pada beberapa sub
bab menurut kesesuaian maknanya. Perhatian mereka yang sangat serius pada masalah ini
ditunjukkan oleh perkataan Sufyān ibn ‘Uyaynah yang menganjurkan para pemilik hadis
untuk mempelajari makna-makna yang terkandung di dalam hadis-hadis yang mereka
8
miliki. Sementara Ahmad ibn Hanbal sendiri lebih suka mempelajari hadis dari orang
yang sekaligus mempunyai pemahaman (fiqh) terhadap hadis-hadisnya, daripada
menerimanya dari orang yang hanya mampu menghafal hadis semata (Abu Syuhbah:
1991, 31-32).
Seiring dengan maraknya kegiatan kodifikasi hadis yang melahirkan banyak karya
dengan berbagai metode penyusunan, kegiatan syarah hadis yang sebelumnya masih
berupa tradisi lisan mulai mengambil bentuk secara tertulis. Walaupun fenomena ini
belum begitu populer, karena para ulama hadis lebih memfokuskan kepada kodifikasi
hadis, namun terdapat data yang menunjukkan adanya syarah tertulis terhadap alMuwatta’ – yang dinilai sebagai kitab hadis tertua yang masih terpelihara hingga
sekarang. Kitab hadis tersebut adalah Tafsīr ila al-Muwatta’ karya ‘Abd Allah ibn Nāfi‘
(w. 180 H) yang lebih dikenal dengan julukannya Abū Muhammad al-Saygh (alKandahlawi, I: t.th., 49). Langkah ini diikuti oleh ulama hadis lainnya, seperti Abū
Marwan ibn Abdul Mālik ibn Hubayb al-Mālikī (w. 239 H) dan Abū Sulaymān Ahmad
ibn Ibrāhīm al-Khattabī (w. 388 H) dengan karyanya A‘lām al-Sunan yang merupakan
syarah Sahih al-Bukhārī dan Ma‘ālim al-Sunan syarah Sunan Abū Dawud.
Di sisi lain, keinginan untuk memahami hadis secara benar telah mendorong para
ulama dalam menetapkan dan merumuskan kaedah-kaedah tertentu yang dapat dipakai
sebagai pisau analisis. Upaya ini dilakukan mengingat jauhnya masa hidup mereka
dengan kehidupan Rasulullah dan generasi pertama Islam, adanya teks-teks hadis yang
sulit dipahami karena ke-gharīb-annya, kelonggaran dalam periwayatan hadis secara
makna, dan banyaknya hadis yang (tampak) saling bertentangan antara satu sama lain.
Juga didorong oleh semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam yang berdampak pada
semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi umat, terutama persoalan-persoalan
fiqhiyyah yang harus dicari jawabannya dari sumber-sumber hukum Islam.
Pada akhirnya, usaha yang dilakukan para ulama membuahkan hasil. Mereka
berhasil menyusun kriteria-kriteria baku untuk menetapkan kesahihan hadis yang
mencakup kaedah kesahihan sanad dan matan, serta dapat merumuskan kaedah-kaedah
ilmu hadis yang berkaitan dengan pemahaman matan, seperti ‘Ilm Gharīb al-Hadīth, ‘Ilm
Mukhtalif al-Hadīth, ‘Ilm Naskh al-Hadīth, dan ‘Ilm Asbāb Wurūd al-Hadīth. Bahkan
upaya pemahaman ini juga melahirkan disiplin ilmu baru dalam keilmuan Islam, yaitu
Ilmu Fiqh. Kaedah-kaedah keilmuan inilah yang digunakan oleh ulama hadis dalam
melakukan syarah, ketika kegiatan ini mulai marak dilakukan pada abad-abad berikutnya.
2. Periode Penyempurnaan
Seperti dijelaskan oleh Muhammad Tāhir al-Jawwābī, periode penyempurnaan
syarah hadis dimulai pada akhir abad ke-4 H, yaitu pada waktu kodifikasi hadis dianggap
telah selesai. Pada periode ini, ulama hadis mulai mengarahkan perhatiannya pada
aktivitas mensyarah secara tertulis karena memandang upaya penjagaan dan
pemeliharaan hadis telah berakhir. Berbeda dengan pembatasan ini, Hasbi Ash-Shiddieqy
(1973, 133) menilai kegiatan syarah hadis secara tertulis baru terjadi pada abad ke-7 H
dan berakhir pada abad ke-11 H. Ia mendasarkan pandangan pada maraknya aktivitas
syarah selama rentang waktu tersebut sehingga melahirkan banyak kitab syarah yang
bernilai tinggi bagi kitab-kitab hadis yang telah ada sebelumnya.
Tampaknya, perbedaan dalam menetapkan awal fase kedua dari perkembangan
syarah hadis lebih disebabkan oleh perbedaan dalam memandang perkembangan hadis
9
secara keseluruhan. Dalam hal ini, Hasbi memahami abad ke-7 H sebagai awal periode
syarah tertulis karena melihat masih banyaknya ulama hadis yang melakukan upaya
kodifikasi hingga akhir abad ke-6 H, dibandingkan dengan kitab-kitab syarah. Sementara
al-Jawwābī menilai, walaupun banyak lahir kitab hadis pada abad-abad tersebut, namun
terdapat perbedaan mendasar antara kodifikasi hadis yang dilakukan sebelum abad ke-4
dan sesudahnya. Kodifikasi hadis sebelum abad ini senantiasa berpegang pada riwayat
sihāfiyah (catatan-catatan hadis) dan dengan melakukan rihlah (perjalanan mencari
hadis) untuk mendengar langsung dari perawi. Adapun kodifikasi pasca abad ke-4 lebih
bersifat menukil ataupun mengumpulkan isi dua kitab atau lebih dari kitab-kitab hadis
menurut tema-tema tertentu ataupun metode-metode tertentu pula. Cara ini ditempuh
karena penilaian status hadis yang dilakukan ulama sebelumnya dianggap telah memadai
sehingga upaya kritik sanad tidak lagi diperlukan.
Berdasarkan analisis di atas dapat dikatakan bahwa periode kedua perkembangan
syarah hadis dimulai pada akhir abad ke-4 H, yang ditandai dengan mulai maraknya
penulisan kitab syarah. Puncak perkembangan ini terjadi abad ke-7 / ke-8 H dan berakhir
pada penghujung abad ke-11 H, karena setelah abad ini putus dan lemahlah kemauan
untuk membaca dan meneliti kitab-kitab hadis. Hanya sedikit orang yang tetap
mempergunakan hidupnya untuk memelihara hadis dan menelaah kitab-kitabnya.
Kesungguhan ulama dalam mensyarah hadis ditunjukkan dengan banyaknya kitab
syarah yang muncul selama periode ini dengan objek yang bervariasi. Pensyarahan tidak
hanya ditujukan kepada kitab-kitab hadis yang mu‘tabar, tetapi juga pada koleksi hadishadis tertentu, seperti kumpulan hadis-hadis hukum, hadis-hadis targhīb dan tarhīb, serta
kitab hadis zawā’id. Mereka tidak disibukkan lagi dengan upaya sistematisasi ataupun
persoalan kesahihan sanad, tetapi langsung kepada pemahaman teks hadis. Disini,
aktivitas mereka benar-benar terfokus pada upaya menjelaskan sunnah dengan
pemahaman yang dibutuhkan umat pada masa itu. Beberapa kitab syarah yang lahir
selama periode penyempurnaan ini antara lain al-Tuqsā li Hadīth al-Muwatta’ dan alTamhīd limā fi al-Muwatta’ min Ma‘ānī wa al-Asānīd Abū ‘Umar Yūsuf ibn ‘Abd al-Barr
(w. 463 H. Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Rahmān ibn abū Bakr al-Suyutī (w. 911 H), karyanya
Kasyf al-Mughta’ fi Syarh al-Muwatta’ dan Tanwīr al-Hawālik. Fath al-Bārī karya
Ahmad ibn ‘Alī ibn Hajar al-‘Asqalānī (w. 852 H), dan Irsyād al-Sārī ila Sahih alBukhārī karya Ahmad ibn Muhammad al-Qastalānī (w. 922 H). Abū ‘Abd Allah
Muhammad ibn ‘Alī al-Māzirī (w. 556 H): al-Mu‘allim Bi Fawā’id Kitāb Muslim, Qadī
‘Iyad ibn Mūsā al-Mālikī (w. 554 H): Ikmāl al-Mu‘allim fi Syarh Sahih Muslim, Yahya
ibn Syarf al-Nawawī al-Syāfi‘ī (w. 676 H) dengan karyanya al-Minhāj fi Syarh Sahih
Muslim dan ‘Āridat al-Ahwadhī fi Syarh al-Turmudhī karya Muhammad ibn ‘Abd Allah
al-Syiblī al-Mālikī (w. 546 H).
Inilah beberapa kitab syarah yang termasyhur, yang dihasilkan selama periode
penyempurnaan. Masih banyak kitab lainnya yang berupaya memberikan komentar
terhadap kitab-kitab hadis yang lahir selama periode ini. Namun seperti telah dijelaskan,
kitab-kitab hadis tersebut kebanyakan hanya berupa penukilan terhadap kitab-kitab hadis
mu‘tabar – terutama Shahihayn.
3. Periode Kemunduran
10
Abad ke-11 H merupakan awal periode kemunduran bagi kegiatan syarah hadis
yang ditandai dengan sedikitnya upaya pemahaman hadis yang merujuk kepada kitabkitab hadis, seperti yang terjadi pada periode sebelumnya. Agaknya, keadaan ini
dipengaruhi oleh kondisi dunia Islam pada umumnya yang sedang mengalami kelesuan
intelektual, dan diperparah oleh serangan bangsa Mongol yang telah menghancurkan
Baghdad – ibukota kekhalifahan Islam.
Mencermati perhatian yang sangat kurang terhadap hadis, menurut al-Khūlī
(t.th.:167), lebih disebabkan oleh sikap ulama pada masa itu yang hanya ber-taqlīd
dengan pendapat ulama mazhab mereka dan meninggalkan ijtihad, di samping kesibukan
mereka dengan kitab-kitab yang sebenarnya merupakan penjelasan terhadap hadis (kitāb
furū‘ ‘an al-sunnah). Perhatian yang diberikan kepada hadis terbatas pada hadis-hadis
akhlāq, mawā’idh, adab, raqā’iq, atau sekedar mencari berkah melalui hadis-hadis nabi.
Dalam pandangan Hasbi (1988: 147), suasana umum di atas telah dimulai
semenjak abad ke-4 H. Kalau sebelumnya yang menjadi sumber fiqh dan sumber hukum
adalah hadis, maka semenjak abad ini mulailah umat Islam mengikuti perkataanperkataan fuqaha’. Masing-masing fuqaha’ menguatkan mazhab gurunya, walaupun
mazhab tersebut dalam suatu masalah kadang menyalahi hadis. Bahkan menurut Syekh
Abū al-Hasan ‘Alī al-Hasanī al-Nadwī (t.th.: 10-11) banyaknya kitab syarah hadis yang
dihasilkan selama periode penyempurnaan sebenarnya disebabkan oleh pertentangan
yang terjadi antar mazhab fiqh. Apabila pengikut suatu mazhab membuat kitab syarah,
biasanya akan diikuti oleh penganut mazhab lain dengan merujuk kepada kitab hadis
yang sama. Seperti yang terjadi antara ‘Umdat al-Qārī karya Badr al-Dīn al-‘Aynī (w.
855 H), seorang ulama Hanafiyah, dengan Fath al-Bārī karya Ibn Hajar al-‘Asqalānī (w.
852 H) seorang ulama Syāfi‘iyah. Tak jarang, seorang syārih mencocok-cocokkan antara
hadis dengan pendapat mazhabnya, seperti yang dilakukan oleh Abū Ja‘far al-Tahāwī
dengan syarahnya Ma‘anī al-Athār. Walaupun demikian, ia mengakui kalau persaingan
(yang diistilahkannya dengan al-harakah al-‘ilmiyyah) di atas membawa faedah yang
besar bagi perkembangan ilmu dan intelektual di dunia Islam karena para ulama syārih
dalam berhujjah tetap merujuk kepada al-Qur’an dan hadis.
Memasuki abad ke-12 H, langkah yang ditempuh para ulama ini tidak lagi ditiru
oleh ulama-ulama yang datang kemudian. Umumnya, mereka mencukupkan diri dengan
argumentasi yang diberikan oleh para pendahulunya tanpa memeriksa lagi sumber
pendapatnya. Telaah terhadap kitab hadis terbatas pada kitab Sahihayn, sedangkan
pemahaman yang dilakukan bersifat penerimaan dari guru dan hanya untuk memperkuat
mazhab semata. (al-Khuli: t.th., 168).
Akibat langsung dari pengabaian hadis seperti yang terjadi di atas adalah semakin
dilupakannya metode pemahaman hadis (metode syarah hadis) yang pernah
dikembangkan oleh ulama hadis pada masa keemasan, yang telah melahirkan berbagai
cabang ilmu hadis dalam upaya pemahamannya. Bahkan jika pada abad-abad sebelumnya
syarah yang berkembang mengambil bentuk uraian yang panjang (al-syarh al-wāfī),
maka selama periode kemunduran ini syarah yang dihasilkan umumnya hanya bersifat
ta‘līq (komentar singkat). Ini disebabkan oleh sifat peringkasan itu sendiri yang tidak lagi
mementingkan aspek penelitian sanad, sementara pemahaman terhadap matan lebih
bersifat memperkuat pendapat ulama mazhab yang telah mensyarah hadis.
11
Di tengah-tengah kemunduran ini, keinginan untuk mengembalikan hadis kepada
kedudukannya semula – sebagai sumber hukum Islam – tetap terpelihara. Daerah Islam
yang paling menonjol dalam kegiatan ini adalah India, dengan munculnya ulama-ulama
yang senantiasa memelihara hadis dan mempelajarinya menurut metode yang ditempuh
ulama abad ke-3 H, yaitu kebebasan dalam memahami (hurriyat fi al-fahm) dan
memperhatikan kondisi sanad dari tiap hadis yang diteliti. Di antara mereka yang
termasyhur adalah Syah Wali Allah al-Dahlawī (1114 H – 1176 H) dengan syarahnya
Hujjat Allah al-Bālighah dan al-Musawwā Syarh Muwatta’ Mālik, Shiddīq Hasan Khān
(1248 H – 1307 H) pengarang Fath al-‘Allām Syarh Bulugh al-Marām, al-Sahāranfūrī
(w. 1346 H) dengan kitabnya yang berjudul Badhl al-Majhūd fī Hall Abi Dawud, dan alKāndahlawī (1315 H – 1389 H) dengan syarahnya Awjaz al-Masālik ilā Muwatta’ Mālik.
(al-Khuli: 169; al-Nadwi, 13-14; Daniel W. Brown: 2000, 38-50).
D. Agenda ke Depan: Relevansi Hadis dalam Kehidupan Modern
Awal abad ke-14 H merupakan babak baru dalam sejarah Islam. Pada abad ini,
umat Islam terbangkitkan oleh kekhawatiran dan kesadaran akan kelemahan yang muncul
akibat kontak yang terjadi antara dunia Islam (Timur) dan Kristen (Barat). Hegemoni
pihak kedua yang berkaitan dengan kelemahan politik umat Islam telah mendorong
sebahagian pemikir muslim untuk mengadakan pembaharuan terhadap nilai-nilai yang
selama ini diadopsi oleh mayoritas umat. Mereka tidak mengalami kesulitan dalam
mendiagnosis akibat yang timbul sebagai tanda-tanda kerusakan sosial dan moral di
sekelilingnya. Dalam pandangan mereka, umat Islam telah menyimpang dari sunnah nabi
dan diracuni oleh bid‘ah dan taqlīd. Ajaran dan praktek sufi dituduh sebagai penyakit
yang membahayakan umat. Obatnya adalah kembali kepada sumber utama, al-Qur’an dan
Hadis. Di bawah bendera pembangkitan kembali sunnah (ihyā’ al-sunnah), para ulama
yang berorientasi pembaharuan ini bergerak melampaui kumpulan hadis abad
pertengahan dan kitab syarahnya. Mereka mulai mempelajari kembali kitab-kitab hadis
mu‘tabar (Daniel W. Brown: 2000, 38).
Gugatan paling mendasar yang dilakukan para pembaharu ini terhadap hadis
adalah masalah otoritas dan otentisitas hadis, serta hubungannya dengan al-Qur’an.
Berangkat dari prinsip “rasionalitas”, mereka menolak keterikatan kaku pada kitab hadis
klasik dan mengedepankan pemahaman yang rasionalistik. Dalam pandangan mereka
teori ilmu hadis klasik belum cukup memadai untuk menilai dan memahami sebuah
hadis. Tentu saja gugatan ini mendapat tantangan dari ulama lainnya yang memposisikan
diri sebagai pembela hadis.
Berangkat dari kontroversi di seputar keinginan untuk menghidupkan sunnah
yang terjadi selama periode kebangkitan ini, Yūsuf al-Qaradawī (1992: 184-185) melihat
ada empat agenda penting yang harus dilakukan para muhy al-sunnah (para pembela
sunnah), yaitu: Pertama, menghimpun semua perawi hadis dalam suatu ensiklopedi besar
– lengkap dengan penilaiannya, baik yang thiqah, da‘īf, ataupun para pemalsu hadis.
Kedua, selanjutnya membuat ensiklopedi yang memuat semua hadis (lengkap sanad dan
matan) yang terdapat dalam semua catatan hadis, baik yang telah dicetak (kitab-kitab
hadis) ataupun yang masih berupa manuskrip, yang ditulis hingga sepertiga kedua dari
abad ke-5 H. Ketiga, yang menjadi tujuan utama dari pembuatan kedua ensiklopedi di
atas, yaitu membuat sebuah ensiklopedi berupa kumpulan hadis-hadis sahih dan hasan
12
yang merupakan hasil seleksi dari dua ensiklopedi pertama. Penyeleksian ini harus sesuai
dengan kriteria (ma‘āyir) ilmiah yang telah ditetapkan kaedah-kaedahnya oleh ulama
terdahulu. Agenda keempat, adalah membuat syarah hadis baru berdasarkan ensiklopedi
hadis di atas, yang mampu meluruskan pemahaman dan dapat menjawab semua keraguan
yang timbul di seputar hadis. Sebaiknya syarah tersebut ditulis oleh ulama-ulama yang
menguasi ilmu-ilmu keislaman dan mampu memadukannya dengan ilmu-ilmu
pengetahuan modern.
E. Kesimpulan
Sebagai simpulan akhir dari uraian di atas, sejarah syarah sunnah merupakan satu
sub kajian dalam studi hadis yang harus dipelajari dalam ilmu hadis. Fokus kajian adalah
pada aspek sejarah pertumbuhan dan perkembangan kegiatan pensyarahan. Hal ini harus
dilakukan agar para peminat hadis – dan umat Islam pada umumnya – mengetahui
kondisi yang sebenarnya terjadi dalam persoalan pemahaman hadis yang akhir-akhir ini
sering digugat banyak pihak berupa “krisis pemahaman”. Ini ditunjukkan dengan
aktivitas pensyarahan yang banyak mengulang hasil karya masa lalu. Padahal problem
yang dihadapi adalah persoalan kekinian.
Diharapkan, dengan penguasaan materi ini akan melahirkan kesadaran akan
kebutuhan suatu metode pemahaman hadis (kaedah fiqh al-hadis) yang baru, yang akan
mampu menyingkap berbagai hakikat hadis, menjelaskan pelik-peliknya yang
tersembunyi, meluruskan pemahaman, serta menjawab segala keraguan yang dihadapkan
kepadanya dengan menggunakan bahasa yang populer dan sejalan dengan logika masa
kini. Metode ini sebaiknya berupa pemaduan (konvergensi) antara ilmu-ilmu tradisional
dan sains modern. Dengan kata lain, tidak menafikan kekayaan masa lalu dan atau
menolak pemanfaatan kemajuan ilmu pengetahuan. Dua sikap yang berseberangan dan
apabila diikuti, hanya akan menimbulkan perpecahan di kalangan umat.
DAFTAR PUTAKA
Abū Syuhbah, Difā‘ ‘an al-Sunnah, Beirut: Dār al-Fikr, 1991
Abū ‘Abd Allah Muhammad ibn Ismā‘īl al-Bukhārī, Sahih al-Bukhārī, Riyadh: Dār alSalām, 1997
Abu Hasan ‘Alī al-Hasanī al-Nadwī, “Taqdīm al-Kitāb”, dalam Ahmad al-Sahāranfūrī,
Badhl al-Majhūd fi Hall Abū Dawud, jilid 1, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
t.th
13
Abu al-Fadl Jamāl al-Dīn Muhammad ibn Makram ibn Manzūr al-Afrīqī al-Misrī, Lisān
al-‘Arab, jilid II, Beirut: Dār al-Fikr, 1990
Afif Muhammad, “Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual Atas Hadis Nabi
SAW”, dalam Jurnal Al-Hikmah, No.5, Edisi Maret-Juni 1992
Ahmad Hasan, Membuka Pintu Ijtihad, terj. Agah Garnadi, Bandung: Pustaka, 1994
Ali Mustafa Yaqub, Imam Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1991
Al-Imām al-Hākim Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn ‘Abd Allah al-Naysābūrī, Kitāb
Ma‘rifat ‘Ulum al-Hadīth, Madinah Munawwarah: al-Maktabat al-‘Ilmiyyah,
t.th
Al-Qaradāwī, Kayfa Nata‘āmalu ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyah: Ma‘ālim wa Dawābit,
Virginia: al-Ma‘had al-‘Ālamī li al-Fikr al-Islāmī, 1992
Al-San‘ānī, Tawdih al-Afkār li Ma‘ānī Tanqih al-Anzār, jilid 1, Beirut: Dār al-Fikr, t.th
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti
dan Entin sriani Muslim, Bandung: Mizan, 2000
E.J. Brill, First Encyclopaedia of Islam 1913-1936, Vol. VII, Leiden: E.J. Brills, 1987
Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997
G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960), terj. Ilyas Hasan, (Bandung:
Mizan, 1999
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1988
M. Quraish Shihab, “Pengantar” dalam Muhammad al-Ghazalī, Studi Kritis Atas Hadis
Nabi saw: Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, terj. Muhammad alBaqir, Bandung: Mizan, 1993
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1988
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
Mahmūd Syaltūt, al-Islām: ‘Aqīdah wa Syari‘ah, t.tp.: Dār al-Qalam, 1966
Muhammad ‘Abd al-‘Azīz al-Khūlī, Miftah al-Sunnah aw Tārīkh Funūn al-Hadīth,
Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th
14
Muhammad ‘Ajjāj al-Kha tīb, Usūl al-Hadīth, Beirut: Dār al-Fikr, 1992
·
Muhammad Abu Zahw, al-Hadīth wa al-Muhaddithūn, Mesir: Syirkat al-Musāhamah, t.th
Muhammad ibn Zakariyya al-Kandahlawī, Awjaz al-Masālik ila Muwatta’ Mālik, jilid I,
Beirut: Dār al-Fikr, t.th
Muhammad Jamāl al-Dīn al-Qāsimī, Qawā‘id al-Tahdīth min Funūn Mustalah alHadīth, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th
·
Muhammad Rasyīd Ri dā, “Muqaddimah Kitāb” dalam A.J. Wensinck, Miftah Kunūz al·
Sunnah, Surabaya: PT. Bengkulu Indah, t.th
Muhammad Tāhir al-Jawwābī, Juhūd al-Muhaddithīn fi Naqd Matn al-Hadīth al-Nabawī
al-Syarīf, t.tp.: Mu’assasat al-Karīm ibn ‘Abd Allah, t.th
Musfir ‘Abd Allah al-Damīnī, Maqāyis Naqd Mutūn al-Sunnah, Riyadh: t.p., 1984
Nūr al-Dīn ‘Itr, Manhaj al-Naqd, Beirut: Dār al-Fikr al-Mu‘ā sir,1997
·
Said Aqil Husein al-Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud: Studi Kritis Hadis
Nabi Pendekatan Sosio Historis Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001), 28
Salā h al-Dīn al-Adabī, Manhaj Naqd al-Matn ‘inda ‘Ulama’i al-Hadīth al-Nabawī,
·
Beirut: Dār al-Afāq al-Jadīdah, 1983
Thomas Patrick Hughes, Dictionary of Islam, Chicago: KAZI Publications, 1994
Sejarah Perkembangan Syarah Hadis1
Oleh: Hedhri Nadhiran
Abstrak
Syarah hadis adalah pemahaman yang diperoleh dari teks-teks hadis, baik
yang berhubungan dengan kehidupan agama ataupun yang berkaitan dengan
aspek-aspek lainnyanya. Dalam perkembangannya, aktivitas pensyarahan
telah melahirkan berbagai cabang ilmu hadis seperti yang kita kenal sekarang.
Bahkan secara akademis, kegiatan ini berkembang menjadi suatu disiplin ilmu
yang menjadi puncak seluruh aktivitas keilmuan di bidang kajian hadis, yaitu
ilmu syarh hadis (disebut juga ilmu fiqh al-hadis atau ilmu ma’anil hadis).
Rekonstruksi sejarah terhadap perkembangan hadis menunjukkan adanya tiga
sub sejarah dalam disiplin ilmu ini yang - secara signifikan - berbeda antara
satu dengan lainnya, yaitu sejarah sejarah penulisan dan pembukuan hadis,
sejarah ilmu hadis dan sejarah syarah hadis. Namun yang populer dan umum
diketahui hanya aspek pertama. Inilah menjadi salah satu sebab terjadinya
tumpang tindih dalam pengajaran kajian hadis dan sekaligus menimbulkan
kemandekan dalam kajian pengembangannya. Penelitian menunjukkan bahwa
periode sekarang merupakan masa kemunduran dalam pensyarahan yang
ditandai dengan sedikitnya aktivitas ini, sementara hasil pensyarahanpun lebih
berupa pengulangan pemikiran ulama masa lalu. Padahal yang sangat
dibutuhkan adalah pemahaman hadis yang sesuai dengan konteks kekinian
sebagai hasil dari interaksi antara pengembangan metodologi pemahaman
hadis (kaedah fiqh al-hadis) dan problematika kehidupan modern. Karena itu
tidak heran apabila banyak pemikir muslim yang menyoal relevansi hadis –
yang nota bene merupakan produk masa lalu – dalam kehidupan sekarang.
Keywords: reformulasi, syarah
Ada sebuah nilai penting yang mulai dilupakan terkait dengan pemindahan
Jurusan Tafsir Hadis (TH) dari Fakultas Syari’ah ke Fakults Ushuluddin. Nilai tersebut
berupa keinginan agar studi hadis dapat terlepas dari paradigma legal-formalistik yang
selama ini cenderung mendominasi kajian hukum Islam. (M. Nur Ikhwan: 2003, 233). Di
samping itu, jalur ini juga ditempuh untuk mempertegas bahwa wilayah kajian hadis
bukan hanya berkutat pada persoalan hukum semata, tetapi masih banyak aspek-aspek
lain yang dikandung oleh sumber ajaran agama ini. Adapun sasaran akhir yang ingin
dicapai dari perpindahan ini berupa upaya pengembangan kajian hadis; baik dari sisi
metode keilmuan ataupun pemahaman.
1Tulisan ini telah dimuat dalam Jurnal Ilmu Agama, Edisi Juni 2007/Tahun ke-6/No. 1, Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam IAIN Raden Fatah Palembang
2
Namun dalam perkembangannya, harapan di atas tampaknya belum terwujud
secara sempurna. Tidak heran jika kemudian timbul penilaian bahwa kajian hadis yang
dilaksanakan selama ini telah berubah menjadi bidang studi yang sangat rigid, kaku dan
sensitif. (Ibid.). Ini dikarenakan metodologi yang dipergunakan dalam studi hadis selama
ini bersifat monodisipliner. Akibatnya kajian hadis yang diterapkan pun hanya bersifat
pengulangan-pengulangan dari pada pengembangan. Kondisi ini semakin diperparah
dengan menguatnya sebuah kesan bahwa mempelajari ilmu hadis tergolong sulit atau
paling tidak sangat menjemukan sehingga tidak heran jika peminatnya pun sangat sedikit.
Mengingat kedudukan studi ini yang begitu strategis dalam kajian ilmu-ilmu keIslaman,
fakta di atas tentu sangat tidak menggembirakan.
Terkait dengan anggapan terakhir di atas, menurut Daniel Djuned (2002, 1-2),
salah satu penyebab terjadinya kenyataan di atas adalah sistem pembelajaran ilmu hadis
yang kurang sistematis. Ini dikarenakan jika perhatian diarahkan kepada kitab-kitab
referensi ilmu hadis, sangat terasa bahwa sistem yang diterapkan dalam pengajaran ilmu
ini adalah sistem penghafalan definisi dari satu istilah ke istilah lainnya tanpa
memperhatikan sisi aplikatif dari istilah-istilah tersebut ke dalam sebuah kerangka
keilmuan yang jelas. Memang, bagi yang mempunyai minat besar dalam mempelajari
ilmu ini, lambat laun ia akan mampu merakit sendiri pengertian-pengertian yang terpisah
tersebut. Namun bagi yang mempelajarinya hanya sebatas memenuhi kewajiban SKS
(Sistem Kredit Semester), hafalan-hafalan tersebut akan hilang begitu saja.
Bertolak dari fenomena di atas, dapat dikatakan bahwa perumusan ulang
(reformulasi) studi hadis sangat mendesak untuk dilakukan. Upaya ini perlu dilakukan
untuk mendapatkan metode pembelajaran yang sistematis dan mudah dicerna. Tulisan
berikut akan membahas sejarah perkembangan syarah sunnah, yang hampir tidak pernah
dibahas dalam kajian ilmu hadis terutama di perguruan tinggi (baca: IAIN). Padahal
pengetahuan dan penguasaan topik ini akan dapat membuka wawasan mengenai apa yang
harus dilakukan terhadap hadis – yang nota bene merupakan sumber ajaran Islam - pada
masa sekarang.
A. Wacana Pengembangan Kajian Hadis: Sketsa Sejarah
Sejarah adalah rekontruksi masa lalu, yaitu merekonstruksi apa saja yang sudah
dipikirkan, dikerjakan, dikatakan, dirasakan dan dialami oleh orang. Tujuan rekonstruksi
ini adalah untuk kepentingan masa kini, bahkan, untuk masa yang akan datang (Djoko
Soerjo: 2007, 13). Kondisi ini juga berlaku bagi ilmu pengetahuan, karena pada dasarnya
sejarah suatu ilmu merupakan bahagian dari sejarah perkembangan intelektual manusia,
dimana yang terakhir ini menjadi bahagian dari sejarah kemanusiaan pada umumnya.
Karena itu, sebagai bahagian dari disiplin ilmu ke-Islaman, disiplin ilmu hadis tentu saja
memiliki sejarah perkembangan keilmuan tersendiri yang tentu saja berbeda dengan
disiplin ilmu lainnya.
Namun secara akademik, tampaknya bahasan sejarah dalam ilmu hadis tidak
berkembang seperti yang diharapkan. Asumsi ini tampak ketika perhatian diarahkan
kepada buku-buku ilmu hadis yang beredar. Umumnya, hampir sumber bacaan tersebut
hanya menguraikan sejarah penulian dan pembukuan hadis. Ini dapat dilihat dari silabus
ilmu hadis yang diajarkan di perguruan tinggi (IAIN), dimana aspek sejarah yang
diajarkan hanya mengenai hal tersebut. Padahal ini hanya satu aspek dari sejarah
perkembangan ilmu hadis. Idealnya, ketika membahas ilmu hadis maka yang juga (baca:
3
seharusnya) diajarkan adalah sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadis, bukan
semata sejarah penulisan dan pembukuan hadis. Disinilah letak tumpang tindih yang
terjadi dalam pengajaran ilmu hadis.
Jika perhatian diarahkan kepada sejarah perkembangan ilmu ini secara integral
dan komprehensif, akan terlihat bahwa - paling tidak - terdapat tiga sub sejarah yang
dapat direkonstrusi. Ketiga sub sejarah tersebut adalah sejarah penulisan dan pembukuan
hadis, sejarah perkembangan ilmu hadis, dan sejarah perkembangan syarah hadis. Secara
historis, masing-masing dari ketiga materi sejarah ini memiliki periodisasi perkembangan
tersendiri - yang apabila diamati - mempunyai perbedaan yang cukup signifikan antara
satu sama lain. Seperti untuk materi sejarah ilmu hadis –misalnya, hasil penelitian Nūr alDīn ‘Itr (1997: 36-72) menunjukkan bahwa saat ini merupakan tahapan ketujuh dari
periodisasi perkembangan ilmu hadis. Tahap pertama adalah tahap kelahiran ilmu hadis,
berlangsung pada masa sahabat sampai akhir abad pertama Hijrah; Tahap kedua, Tahap
penyempurnaan, dari awal abad kedua sampai awal abad ketiga; Tahap Ketiga, Tahap
pembukuan ilmu hadis secara terpisah, dari awal abad ketiga sampai pertengahan abad
keempat hijrah; Tahap keempat, Penyusunan kitab-kitab induk ulumul hadis dan
penyebarannya, dari pertengahan abad keempat sampai awal abad ketujuh; Tahap kelima,
Kematangan dan kesempurnaan pembukuan ulumul hadis, dari abad ketujuh sampai abad
kesepuluh; Tahap keenam, Masa kebekuan dan kejumudan, awal abad kesepuluh sampai
awal abad keempat belas; dan Tahap ketujuh, Masa kebangkitan kedua, dari awal abad
keempat belas hingga sekarang.
Bandingkan dengan sejarah penulisan dan pembukuan hadis yang menjadi fokus
perhatian dan perdebatan para peminat hadis mengenai periodisasi perkembangannya;
tiga, lima atau tujuh periode. Adapun tujuh periode itu - dan ini merupakan pembagian
yang paling banyak dikutip - adalah: Periode I, ashr al-wahyi wa takwin (hadis di masa
Rasulullah); Periode II, ‘Ashr tatsabbut wa iqlal al-riwayah (hadis di masa al-khulafa’u
al-rasyidin); Periode III, ‘ashr intisyar al-riwayah (hadis pasca al-khulafa’u al-rasyidin
hingga akhir abad I H); Periode IV, ‘asr al-kitabat wa al-tadwin (abad II H); Periode V,
‘asr al-tajrid wa tashhih wa tanqih (abad III H); Periode VI, ‘ashr al-tahzib wa al-tariīb
wa al-istidrak wa al-jam‘u al-khas (400 H – 656 H); Periode VII, ‘ashr al-syarh wa aljam‘i al-‘am wa takhijj wa bahts `an zawa’id. (M. Hasbi Ash-Shiddieqy: 1973, xiii-xiv).
Berdasarkan perbandingan kedua periodisasi sub sejarah di atas terlihat perbedaan
yang sangat signifikan – tidak hanya pada batasan waktu dari masing-masing periode,
tetapi juga pada aktivitas keilmuan yang terjadi. Melalui penguasaan materi keduanya
kita dapat mengetahui apa yang seharusnya dilakukan untuk mengisi tahapan
perkembangan keilmuan yang sedang berlangsung hingga kini. Tentu saja keadaan ini
juga berlaku dalam sub sejarah yang ketiga, yaitu syarah hadis yang akan dijelaskan
secara khusus. Dengan mengetahui kewajiban intelektual ini maka akan dapat disusun
langkah strategis bagi pembelajaran studi hadis yang efektif dan juga pengembangan ilmu
ini - terutama metodologi pemahaman - sehingga dapat menjawab tuntutan problematika
kehidupan yang makin beragam. Bukankah syarat sebuah ilmu adalah memiliki sifat
dinamis sehingga harus terus berkembang?
4
B. Pengertian Syarah Hadis
Istilah syarah hadis yang telah menjadi bahagian dari kosa kata bahasa Indonesia
merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu syarh dan hadis. Dari sudut kebahasaan,
kata syarh berarti al-kasyf, al-wadh, al-bayān, al-tawsī‘, al-hifz, al-fath, dan al-fahm,
yang berarti menampakkan, menjelaskan, menerangkan, memperluas, memelihara,
membuka, dan memahami (Ibn Manzur, II: 1990, 497-498). Adapun kata hadis secara
etimologi berarti al-jadid dan al-khabar atau baru dan berita. Di samping syarh, istilah
terkait lain yang dipakai adalah tafsīr dan hasyiyah. Tafsir dipergunakan hanya terhadap
penjelasan ayat-ayat al-Qur‘an, sedangkan hasyiyah merupakan penjelasan lebih lanjut
atau komentar tambahan dari syarah, biasanya terdapat dalam ilmu fiqh.
Dari sudut terminologis, syarah berarti uraian terhadap materi-materi tertentu,
lengkap dengan unsur-unsur dan segala syarat yang berkaitan dengan objek pembahasan.
(EI: 1997, 951). Dalam hal ini pengertian kata syarah sangat terkait dengan
perkembangan tradisi keilmuan Islam. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa kata
syarah digunakan sebagai istilah bagi penjelasan atau uraian terhadap sesuatu (baca:
ilmu) yang dijadikan objek studi di setiap cabang pengetahuan. (E.J. Brill, VII: 1987,
320). Sementara itu, untuk menjelaskan kata hadis secara terminologi, penulis mengacu
kepada definisi yang diberikan oleh ulama hadis. Menurut Ajjaj al-Khatib (t.th.: 61),
hadis adalah segala sesuatu yang berasal dari nabi baik berupa perkataan, perbuatan,
penetapan ataupun sifat-sifatnya. Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa yang
dimaksud dengan syarah hadis adalah pemahaman yang diperoleh dari teks-teks hadis,
baik yang berhubungan dengan kehidupan agama ataupun yang berkaitan dengan aspekaspek lainnya.
Selain syarah hadis, istilah lain yang dipakai untuk menggambarkan upaya
pemahaman terhadap teks-teks hadis nabi adalah fiqh al-hadīth. Muhammad Tāhir alJawwābī (t.th.: 129), menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan fiqh al-hadīth adalah
memahami teks hadis dan
menguraikan
maknanya
Baginya, fiqh al-hadīth
merupakan sasaran akhir dari ‘ulum al-hadith; baik ilmu-ilmu yang membahas aspek
sanad, yang bertujuan untuk mengetahui bersambung tidaknya sanad, ilmu-ilmu yang
mempelajari tentang perawi hadis sehingga dapat dibedakan antara perawi thiqah dan
da‘īf, serta ilmu-ilmu yang membicarakan tentang matan, yang bertujuan untuk
mengetahui sumber hadis, kata-kata yang gharīb, persoalan nāsikh mansūkh, dan asbāb
al-wurūd. Penilaian senada juga diberikan al-Hākim (t.th.: 63) yang berpendapat bahwa
fiqh al-hadīth adalah buah dari ‘ulum al-hadith, dimana dengan ilmu ini ditegakkanlah
syari‘at.
Hanya saja, perkembangan tradisi keilmuan Islam menjadikan kedua istilah ini
dipakai untuk dua hal yang berbeda. Istilah fiqh al-hadīth mengacu kepada upaya analisis
teks dan hanya populer di kalangan pengkaji hadis, sementara syarh hadis ditujukan
kepada “hasil karya” dari analisis tersebut. Adakalanya istilah fiqh al-hadīth juga dipakai
dengan makna syarah walaupun dengan cakupan yang lebih sempit, yaitu uraian tentang
hadis-hadis hukum semata, seperti definisi yang diberikan oleh Mahmūd Syaltūt (1966:
514) bahwa yang dimaksud dengan fiqh al-hadīth adalah hukum-hukum praktis yang
berkenaan dengan urusan manusia, baik selaku individu ataupun kelompok yang diistinbat-kan langsung dari al-sunnah.
5
C. Sejarah Perkembangan Syarah Hadis
Berbicara tentang perkembangan syarah hadis tidak terlepas dari sejarah
perkembangan hadis dan ilmu hadis itu sendiri. Berdasarkan periodisasi keduanya
diketahui bahwa upaya pemahaman hadis pernah mengalami puncak perkembangan dan
kemudian secara berangsur mengalami kemunduran, seperti halnya kegiatan keilmuan
Islam lainnya.
Fenomena di atas terlihat dari adanya “masa pensyarahan” yang dapat dikatakan
sebagai puncak dari upaya ulama dalam memahami sunnah. Pensyarahan yang
dimaksudkan pada masa ini adalah penulisan kitab-kitab syarah. Berikutnya adalah masa
kemunduran, yang ditandai dengan sedikitnya aktivitas ulama dalam melakukan kegiatan
tersebut. Umumnya kelesuan intelektual yang terjadi disebabkan oleh sikap mayoritas
ulama pada masa itu yang hanya mencukupkan diri dengan penjelasan-penjelasan ulama
sebelum mereka, sebagaimana termaktub dalam karya-karyanya. Pada masa kemunduran
ini, pusat intelektual hadis juga berpindah dari Baghdad dan Mesir (Timur Tengah pada
umumnya) ke negeri India (Hasbi ash-Shiddieqy: 1988, 125-126 dan Nuruddin ‘Itr: 1997,
70).
Secara spesifik, Muhammad Tāhir al-Jawwābī (t.th.: 129) membagi sejarah
perkembangan syarah kepada tiga periode, yaitu periode pertumbuhan, periode
penyempurnaan, dan periode kemunduran. Periode pertumbuhan ditandai dengan masih
sederhananya metode syarah yang ada, yang umumnya hanya berupa penerjemahan
matan hadis (tarājim al-hadīth) dan dimulai pada masa Nabi hingga berakhirnya kegiatan
kodifikasi hadis. Periode penyempurnaan dimulai pada akhir abad keempat hingga
berkembangnya metode syarah yang sempurna (al-syarh al-kāmil). Periode kemunduran
ditandai oleh kegiatan syarah yang hanya berupa ta‘līq dan ta‘qīb terhadap kitab-kitab
syarah yang telah ada.
1. Periode Pertumbuhan
Pada periode ini, apa yang disebut dengan syarah hadis – umumnya – tidak secara
tegas berdiri sendiri di luar hadis nabi. Oleh karena beliau hidup di tengah-tengah
masyarakat (atau generasi sahabat) dan komunikasi yang dilakukannya tidak hanya
bersifat satu arah semata, yakni dari nabi kepada umatnya, tetapi dua arah secara timbal
balik. Ini menunjukkan bahwa apabila para sahabat mengalami kesulitan dalam
memahami hadis, mereka langsung bertanya maksudnya kepada nabi. Seperti hadis yang
menjelaskan tentang bagaimana cara menolong seseorang yang melakukan kezaliman.
Pada periode ini, pemahaman para sahabat lebih bersifat tekstual. Ini dapat
dipahami mengingat mereka senantiasa berusaha menata kehidupannya sebagaimana
yang dicontohkan nabi. Tidak ada aturan tersendiri yang diperlukan untuk mendukung
kebenaran tindakan mereka kecuali perkataan dan prilaku beliau. Walaupun demikian,
tidak berarti pemahaman secara tekstual merupakan satu-satunya analisis yang dipakai.
Dalam kasus-kasus tertentu, terutama ketika kondisi tidak memungkinkan para sahabat
bertanya langsung kepadanya makna sebuah hadis, adakalanya mereka menggunakan
6
pemahaman secara kontekstual.2 Dua model pemahaman ini, seperti dijelaskan Quraish
Shihab (1993: 8-9) dapat dilihat dalam kasus berikut:
Suatu ketika Nabi saw memerintahkan sejumlah sahabat-nya untuk pergi ke
perkampungan Banī Quray zah. Sebelum berangkat, beliau berpesan: ل ا يصلين
·
( احظدكم االعصظر اال افظي ابنظى اقريظظةjanganlah kamu shalat ashar kecuali di
Perkampungan Banī Qurayzah). Perjalanan ke kampung tersebut ternyata begitu
lama, sehingga ketika belum sampai ke tempat yang dituju, waktu ashar telah masuk.
Disini, mereka merenungkan kembali apa maksud pesan Nabi di atas. Ternyata
sebahagian mereka memahaminya sebagai perintah untuk bergegas dalam perjalanan
agar tiba disana pada waktu masih ashar. Jadi bukan seperti bunyi teksnya yang
melarang shalat ashar kecuali disana. Dengan demikian, mereka boleh shalat
walaupun belum tiba pada tempat yang dituju. Tetapi sebahagian yang lain
memahaminya secara tekstual, karena itu mereka baru melaksanakan shalat ashar
setelah berlalunya waktu karena baru tiba di perkampungan Banī Qurayzah setelah
lewat waktu ashar.
Dalam memahami hadis, model pemahaman yang telah ada pada masa nabi hidup
terus berkembang. Ketika beliau wafat, para sahabat – yang menggantikan peran Nabi
sebagai penyampai hadis dan pensyarahnya - seringkali menggunakan ijtihad dalam
menerima atau menolak suatu sunnah ataupun untuk memahami sunnah itu sendiri.
Menurut Musfir ‘Azm Allah (1984: 6), ada tiga kriteria yang dipergunakan sahabat
untuk memahami hadis, yaitu: pertama, kesesuaian antara hadis dengan al-Qur’an; kedua,
kesesuaian suatu hadis dengan hadis lain yang membahas tentang persoalan yang sama;
dan ketiga, kesesuaian hadis dengan rasio.
Dapat dipahami mengapa para sahabat mengembangkan kriteria tertentu untuk
memahami hadis. Hal ini terjadi karena tidak ada lagi tempat bertanya bagi mereka untuk
menyelesaikan perselisihan ataupun mencari jawaban suatu persoalan setelah beliau
wafat. Akibatnya, seringkali seorang sahabat menolak sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh lain. Tentu saja penolakan ini bukan disebabkan oleh kecurigaan terhadap kualitas
pribadi yang menyampaikan, tetapi lebih dikarenakan adanya keraguan terhadap isi hadis
tersebut. Seperti ketika ‘Ā’isyah menolak periwayatan Abu Hurayrah dan ‘Ūmar ibn alKha t tāb tentang azab yang ditimpakan kepada mayat karena ditangisi keluarganya.
··
Menurutnya, hadis ini bertentangan dengan ayat ( ال ايكلف االله انفسا اال اوسعهاAllah
tidak akan membebani seseorang kecuali menurut kemampuannya. QS.II: 286). Ia
2Pemahaman secara tekstual adalah pemahaman yang berpegang pada arti lahiriah nash tanpa
mencari ‘illat yang terdapat di dalamnya, dan orang atau kelompok yang menggunakan pemahaman ini
disebut Tekstualis. Istilah lain bagi mereka adalah Skriptualis (menurut Fazlur Rahman), al-Muhāfi zūn
·
(Farūq Abu Zayd), dan Ahl al-hasyw (“Ali Syam al-Nasysyar). Adapun yang dimaksud dengan pemahaman
secara kontekstual merupakan upaya menganalisis dan memahami setiap persoalan secara rasional dengan
tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang terdapat pada ayat al-Qur’an dan sunnah. Lihat Afif Muhammad,
“Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual Atas Hadis Nabi SAW”, dalam Jurnal Al-Hikmah, No.5,
Edisi Maret-Juni 1992, 25-26
7
menyatakan bahwa kedua sahabat ini tidak mengetahui asbāb wurūd dari hadis tersebut.
(Ibid: 62-63 dan Shalahuddin al-Adabi: 1983, 114).
Di masa ini pula, khususnya pada akhir masa kekuasaan Khalīfah ‘Uthmān ibn
‘Affān, kekuatan politik memasuki lapangan hadis yang ditandai dengan munculnya
hadis-hadis palsu di tengah masyarakat. Kondisi ini menjadi pemicu bagi para sahabat
untuk lebih berhati-hati dalam menerima periwayatan. Mereka mulai meneliti dan
mengkritisi pribadi orang yang menyampaikan hadis. Mengutip penjelasan Imām Muslim
dalam muqaddimah Sahih-nya, Muhammad Abu Zahw (t.th.: 99) menjelaskan bahwa
Ibn Sīrin pernah berpendapat tentang fenomena ini:
افينظر.لم ايكونوا ايسألون اعن االسناد افلما اوقعت االفتنة اقالوا اسموا ارجالكم
ا ا.الى ااهل االسنة افيؤخذ احديثهم او اينظر االى ااهل االبدع افل ايؤخذ احديثهم
Artinya: Sebelumnya para sahabat tidak pernah bertanya mengenai sanad, tetapi setelah
terjadi fitnah, (apabila sampai kepada mereka sebuah hadis) mereka akan
bertanya: “Sebutkanlah nama-nama rijal-nya”. Jika dipandang berasal dari ahl
al-sunnah, maka hadis mereka diterima, tetapi jika dinilai dari ahl al-bid‘ah
hadis-hadis tersebut akan ditolak.
Beberapa fenomena di atas menunjukkan bahwa hingga akhir periode sahabat
upaya analisis pemahaman hadis yang dilakukan telah mencakup dua aspek, yaitu aspek
sanad dan matan hadis. Pemahaman terhadap sanad dilakukan karena banyaknya orangorang yang mengaku telah menerima sunnah dari nabi, dan pemahaman terhadap matan
dilakukan karena menilai adanya keganjilan (ghirābah) di dalamnya. Pemahaman (atau
pensyarahan) ini sendiri masih berupa tradisi lisan karena belum populernya kegiatan
penulisan dan pencatatan, sementara bentuk pensyarahan kebanyakan berupa
penerjemahan matan hadis sehingga cenderung tekstual.
Selanjutnya pada masa pembukuan, atas perintah Khalīfah ‘Umar ibn ‘Abd
al-‘Azīz (63 H – 101 H), para ulama berlomba-lomba mencari, mengumpulkan, dan
menulis hadis dalam sebuah kitab. Perintah ini terjadi pada penghujung abad pertama
Hijrah. Khalīfah menginstruksikan kepada para pejabat dan ulama di setiap kota untuk
mengumpulkan hadis. Di antara ulama yang menyambut gagasan ini adalah Muhammad
ibn Muslim ibn Syihāb al-Zuhrī (w. 123 H). Setelah generasi al-Zuhrī berlalu, muncullah
generasi berikutnya yang berlomba-lomba membukukan hadis. Tercatat nama-nama
ulama yang melakukannya, antara lain: Ibn Jurayj (w. 150 H) di Mekkah, Ma‘mar ibn
Rasyīd (w. 153 H) di Yaman, al-Awza‘ī (w. 156 H) di Syām, Hammād ibn Salamah (157
H) di Bashrah, Mālik ibn Anas (179 H) di Madinah, dan Ahmad ibn Hanbal (241 H).
Kegiatan pembukuan ini terus berlanjut hingga akhir abad ke-4 H.
Dalam rentang waktu yang panjang tersebut, abad ke-3 H dinilai sebagai zaman
keemasan pembukuan hadis. Pada masa inilah muncul sejumlah besar ulama kenamaan di
bidang hadis dan di masa ini pula muncul kutub al-sittah yang memuat hampir semua
hadis. Usaha kodifikasi hadis yang dilakukan para ulama di atas menunjukkan keluasan
pengetahuan dan pemahaman mereka terhadapnya. Ini dapat dilihat dari teraturnya
pembahagian bab, pengelompokan hadis, dan pengulangan suatu hadis pada beberapa sub
bab menurut kesesuaian maknanya. Perhatian mereka yang sangat serius pada masalah ini
ditunjukkan oleh perkataan Sufyān ibn ‘Uyaynah yang menganjurkan para pemilik hadis
untuk mempelajari makna-makna yang terkandung di dalam hadis-hadis yang mereka
8
miliki. Sementara Ahmad ibn Hanbal sendiri lebih suka mempelajari hadis dari orang
yang sekaligus mempunyai pemahaman (fiqh) terhadap hadis-hadisnya, daripada
menerimanya dari orang yang hanya mampu menghafal hadis semata (Abu Syuhbah:
1991, 31-32).
Seiring dengan maraknya kegiatan kodifikasi hadis yang melahirkan banyak karya
dengan berbagai metode penyusunan, kegiatan syarah hadis yang sebelumnya masih
berupa tradisi lisan mulai mengambil bentuk secara tertulis. Walaupun fenomena ini
belum begitu populer, karena para ulama hadis lebih memfokuskan kepada kodifikasi
hadis, namun terdapat data yang menunjukkan adanya syarah tertulis terhadap alMuwatta’ – yang dinilai sebagai kitab hadis tertua yang masih terpelihara hingga
sekarang. Kitab hadis tersebut adalah Tafsīr ila al-Muwatta’ karya ‘Abd Allah ibn Nāfi‘
(w. 180 H) yang lebih dikenal dengan julukannya Abū Muhammad al-Saygh (alKandahlawi, I: t.th., 49). Langkah ini diikuti oleh ulama hadis lainnya, seperti Abū
Marwan ibn Abdul Mālik ibn Hubayb al-Mālikī (w. 239 H) dan Abū Sulaymān Ahmad
ibn Ibrāhīm al-Khattabī (w. 388 H) dengan karyanya A‘lām al-Sunan yang merupakan
syarah Sahih al-Bukhārī dan Ma‘ālim al-Sunan syarah Sunan Abū Dawud.
Di sisi lain, keinginan untuk memahami hadis secara benar telah mendorong para
ulama dalam menetapkan dan merumuskan kaedah-kaedah tertentu yang dapat dipakai
sebagai pisau analisis. Upaya ini dilakukan mengingat jauhnya masa hidup mereka
dengan kehidupan Rasulullah dan generasi pertama Islam, adanya teks-teks hadis yang
sulit dipahami karena ke-gharīb-annya, kelonggaran dalam periwayatan hadis secara
makna, dan banyaknya hadis yang (tampak) saling bertentangan antara satu sama lain.
Juga didorong oleh semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam yang berdampak pada
semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi umat, terutama persoalan-persoalan
fiqhiyyah yang harus dicari jawabannya dari sumber-sumber hukum Islam.
Pada akhirnya, usaha yang dilakukan para ulama membuahkan hasil. Mereka
berhasil menyusun kriteria-kriteria baku untuk menetapkan kesahihan hadis yang
mencakup kaedah kesahihan sanad dan matan, serta dapat merumuskan kaedah-kaedah
ilmu hadis yang berkaitan dengan pemahaman matan, seperti ‘Ilm Gharīb al-Hadīth, ‘Ilm
Mukhtalif al-Hadīth, ‘Ilm Naskh al-Hadīth, dan ‘Ilm Asbāb Wurūd al-Hadīth. Bahkan
upaya pemahaman ini juga melahirkan disiplin ilmu baru dalam keilmuan Islam, yaitu
Ilmu Fiqh. Kaedah-kaedah keilmuan inilah yang digunakan oleh ulama hadis dalam
melakukan syarah, ketika kegiatan ini mulai marak dilakukan pada abad-abad berikutnya.
2. Periode Penyempurnaan
Seperti dijelaskan oleh Muhammad Tāhir al-Jawwābī, periode penyempurnaan
syarah hadis dimulai pada akhir abad ke-4 H, yaitu pada waktu kodifikasi hadis dianggap
telah selesai. Pada periode ini, ulama hadis mulai mengarahkan perhatiannya pada
aktivitas mensyarah secara tertulis karena memandang upaya penjagaan dan
pemeliharaan hadis telah berakhir. Berbeda dengan pembatasan ini, Hasbi Ash-Shiddieqy
(1973, 133) menilai kegiatan syarah hadis secara tertulis baru terjadi pada abad ke-7 H
dan berakhir pada abad ke-11 H. Ia mendasarkan pandangan pada maraknya aktivitas
syarah selama rentang waktu tersebut sehingga melahirkan banyak kitab syarah yang
bernilai tinggi bagi kitab-kitab hadis yang telah ada sebelumnya.
Tampaknya, perbedaan dalam menetapkan awal fase kedua dari perkembangan
syarah hadis lebih disebabkan oleh perbedaan dalam memandang perkembangan hadis
9
secara keseluruhan. Dalam hal ini, Hasbi memahami abad ke-7 H sebagai awal periode
syarah tertulis karena melihat masih banyaknya ulama hadis yang melakukan upaya
kodifikasi hingga akhir abad ke-6 H, dibandingkan dengan kitab-kitab syarah. Sementara
al-Jawwābī menilai, walaupun banyak lahir kitab hadis pada abad-abad tersebut, namun
terdapat perbedaan mendasar antara kodifikasi hadis yang dilakukan sebelum abad ke-4
dan sesudahnya. Kodifikasi hadis sebelum abad ini senantiasa berpegang pada riwayat
sihāfiyah (catatan-catatan hadis) dan dengan melakukan rihlah (perjalanan mencari
hadis) untuk mendengar langsung dari perawi. Adapun kodifikasi pasca abad ke-4 lebih
bersifat menukil ataupun mengumpulkan isi dua kitab atau lebih dari kitab-kitab hadis
menurut tema-tema tertentu ataupun metode-metode tertentu pula. Cara ini ditempuh
karena penilaian status hadis yang dilakukan ulama sebelumnya dianggap telah memadai
sehingga upaya kritik sanad tidak lagi diperlukan.
Berdasarkan analisis di atas dapat dikatakan bahwa periode kedua perkembangan
syarah hadis dimulai pada akhir abad ke-4 H, yang ditandai dengan mulai maraknya
penulisan kitab syarah. Puncak perkembangan ini terjadi abad ke-7 / ke-8 H dan berakhir
pada penghujung abad ke-11 H, karena setelah abad ini putus dan lemahlah kemauan
untuk membaca dan meneliti kitab-kitab hadis. Hanya sedikit orang yang tetap
mempergunakan hidupnya untuk memelihara hadis dan menelaah kitab-kitabnya.
Kesungguhan ulama dalam mensyarah hadis ditunjukkan dengan banyaknya kitab
syarah yang muncul selama periode ini dengan objek yang bervariasi. Pensyarahan tidak
hanya ditujukan kepada kitab-kitab hadis yang mu‘tabar, tetapi juga pada koleksi hadishadis tertentu, seperti kumpulan hadis-hadis hukum, hadis-hadis targhīb dan tarhīb, serta
kitab hadis zawā’id. Mereka tidak disibukkan lagi dengan upaya sistematisasi ataupun
persoalan kesahihan sanad, tetapi langsung kepada pemahaman teks hadis. Disini,
aktivitas mereka benar-benar terfokus pada upaya menjelaskan sunnah dengan
pemahaman yang dibutuhkan umat pada masa itu. Beberapa kitab syarah yang lahir
selama periode penyempurnaan ini antara lain al-Tuqsā li Hadīth al-Muwatta’ dan alTamhīd limā fi al-Muwatta’ min Ma‘ānī wa al-Asānīd Abū ‘Umar Yūsuf ibn ‘Abd al-Barr
(w. 463 H. Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Rahmān ibn abū Bakr al-Suyutī (w. 911 H), karyanya
Kasyf al-Mughta’ fi Syarh al-Muwatta’ dan Tanwīr al-Hawālik. Fath al-Bārī karya
Ahmad ibn ‘Alī ibn Hajar al-‘Asqalānī (w. 852 H), dan Irsyād al-Sārī ila Sahih alBukhārī karya Ahmad ibn Muhammad al-Qastalānī (w. 922 H). Abū ‘Abd Allah
Muhammad ibn ‘Alī al-Māzirī (w. 556 H): al-Mu‘allim Bi Fawā’id Kitāb Muslim, Qadī
‘Iyad ibn Mūsā al-Mālikī (w. 554 H): Ikmāl al-Mu‘allim fi Syarh Sahih Muslim, Yahya
ibn Syarf al-Nawawī al-Syāfi‘ī (w. 676 H) dengan karyanya al-Minhāj fi Syarh Sahih
Muslim dan ‘Āridat al-Ahwadhī fi Syarh al-Turmudhī karya Muhammad ibn ‘Abd Allah
al-Syiblī al-Mālikī (w. 546 H).
Inilah beberapa kitab syarah yang termasyhur, yang dihasilkan selama periode
penyempurnaan. Masih banyak kitab lainnya yang berupaya memberikan komentar
terhadap kitab-kitab hadis yang lahir selama periode ini. Namun seperti telah dijelaskan,
kitab-kitab hadis tersebut kebanyakan hanya berupa penukilan terhadap kitab-kitab hadis
mu‘tabar – terutama Shahihayn.
3. Periode Kemunduran
10
Abad ke-11 H merupakan awal periode kemunduran bagi kegiatan syarah hadis
yang ditandai dengan sedikitnya upaya pemahaman hadis yang merujuk kepada kitabkitab hadis, seperti yang terjadi pada periode sebelumnya. Agaknya, keadaan ini
dipengaruhi oleh kondisi dunia Islam pada umumnya yang sedang mengalami kelesuan
intelektual, dan diperparah oleh serangan bangsa Mongol yang telah menghancurkan
Baghdad – ibukota kekhalifahan Islam.
Mencermati perhatian yang sangat kurang terhadap hadis, menurut al-Khūlī
(t.th.:167), lebih disebabkan oleh sikap ulama pada masa itu yang hanya ber-taqlīd
dengan pendapat ulama mazhab mereka dan meninggalkan ijtihad, di samping kesibukan
mereka dengan kitab-kitab yang sebenarnya merupakan penjelasan terhadap hadis (kitāb
furū‘ ‘an al-sunnah). Perhatian yang diberikan kepada hadis terbatas pada hadis-hadis
akhlāq, mawā’idh, adab, raqā’iq, atau sekedar mencari berkah melalui hadis-hadis nabi.
Dalam pandangan Hasbi (1988: 147), suasana umum di atas telah dimulai
semenjak abad ke-4 H. Kalau sebelumnya yang menjadi sumber fiqh dan sumber hukum
adalah hadis, maka semenjak abad ini mulailah umat Islam mengikuti perkataanperkataan fuqaha’. Masing-masing fuqaha’ menguatkan mazhab gurunya, walaupun
mazhab tersebut dalam suatu masalah kadang menyalahi hadis. Bahkan menurut Syekh
Abū al-Hasan ‘Alī al-Hasanī al-Nadwī (t.th.: 10-11) banyaknya kitab syarah hadis yang
dihasilkan selama periode penyempurnaan sebenarnya disebabkan oleh pertentangan
yang terjadi antar mazhab fiqh. Apabila pengikut suatu mazhab membuat kitab syarah,
biasanya akan diikuti oleh penganut mazhab lain dengan merujuk kepada kitab hadis
yang sama. Seperti yang terjadi antara ‘Umdat al-Qārī karya Badr al-Dīn al-‘Aynī (w.
855 H), seorang ulama Hanafiyah, dengan Fath al-Bārī karya Ibn Hajar al-‘Asqalānī (w.
852 H) seorang ulama Syāfi‘iyah. Tak jarang, seorang syārih mencocok-cocokkan antara
hadis dengan pendapat mazhabnya, seperti yang dilakukan oleh Abū Ja‘far al-Tahāwī
dengan syarahnya Ma‘anī al-Athār. Walaupun demikian, ia mengakui kalau persaingan
(yang diistilahkannya dengan al-harakah al-‘ilmiyyah) di atas membawa faedah yang
besar bagi perkembangan ilmu dan intelektual di dunia Islam karena para ulama syārih
dalam berhujjah tetap merujuk kepada al-Qur’an dan hadis.
Memasuki abad ke-12 H, langkah yang ditempuh para ulama ini tidak lagi ditiru
oleh ulama-ulama yang datang kemudian. Umumnya, mereka mencukupkan diri dengan
argumentasi yang diberikan oleh para pendahulunya tanpa memeriksa lagi sumber
pendapatnya. Telaah terhadap kitab hadis terbatas pada kitab Sahihayn, sedangkan
pemahaman yang dilakukan bersifat penerimaan dari guru dan hanya untuk memperkuat
mazhab semata. (al-Khuli: t.th., 168).
Akibat langsung dari pengabaian hadis seperti yang terjadi di atas adalah semakin
dilupakannya metode pemahaman hadis (metode syarah hadis) yang pernah
dikembangkan oleh ulama hadis pada masa keemasan, yang telah melahirkan berbagai
cabang ilmu hadis dalam upaya pemahamannya. Bahkan jika pada abad-abad sebelumnya
syarah yang berkembang mengambil bentuk uraian yang panjang (al-syarh al-wāfī),
maka selama periode kemunduran ini syarah yang dihasilkan umumnya hanya bersifat
ta‘līq (komentar singkat). Ini disebabkan oleh sifat peringkasan itu sendiri yang tidak lagi
mementingkan aspek penelitian sanad, sementara pemahaman terhadap matan lebih
bersifat memperkuat pendapat ulama mazhab yang telah mensyarah hadis.
11
Di tengah-tengah kemunduran ini, keinginan untuk mengembalikan hadis kepada
kedudukannya semula – sebagai sumber hukum Islam – tetap terpelihara. Daerah Islam
yang paling menonjol dalam kegiatan ini adalah India, dengan munculnya ulama-ulama
yang senantiasa memelihara hadis dan mempelajarinya menurut metode yang ditempuh
ulama abad ke-3 H, yaitu kebebasan dalam memahami (hurriyat fi al-fahm) dan
memperhatikan kondisi sanad dari tiap hadis yang diteliti. Di antara mereka yang
termasyhur adalah Syah Wali Allah al-Dahlawī (1114 H – 1176 H) dengan syarahnya
Hujjat Allah al-Bālighah dan al-Musawwā Syarh Muwatta’ Mālik, Shiddīq Hasan Khān
(1248 H – 1307 H) pengarang Fath al-‘Allām Syarh Bulugh al-Marām, al-Sahāranfūrī
(w. 1346 H) dengan kitabnya yang berjudul Badhl al-Majhūd fī Hall Abi Dawud, dan alKāndahlawī (1315 H – 1389 H) dengan syarahnya Awjaz al-Masālik ilā Muwatta’ Mālik.
(al-Khuli: 169; al-Nadwi, 13-14; Daniel W. Brown: 2000, 38-50).
D. Agenda ke Depan: Relevansi Hadis dalam Kehidupan Modern
Awal abad ke-14 H merupakan babak baru dalam sejarah Islam. Pada abad ini,
umat Islam terbangkitkan oleh kekhawatiran dan kesadaran akan kelemahan yang muncul
akibat kontak yang terjadi antara dunia Islam (Timur) dan Kristen (Barat). Hegemoni
pihak kedua yang berkaitan dengan kelemahan politik umat Islam telah mendorong
sebahagian pemikir muslim untuk mengadakan pembaharuan terhadap nilai-nilai yang
selama ini diadopsi oleh mayoritas umat. Mereka tidak mengalami kesulitan dalam
mendiagnosis akibat yang timbul sebagai tanda-tanda kerusakan sosial dan moral di
sekelilingnya. Dalam pandangan mereka, umat Islam telah menyimpang dari sunnah nabi
dan diracuni oleh bid‘ah dan taqlīd. Ajaran dan praktek sufi dituduh sebagai penyakit
yang membahayakan umat. Obatnya adalah kembali kepada sumber utama, al-Qur’an dan
Hadis. Di bawah bendera pembangkitan kembali sunnah (ihyā’ al-sunnah), para ulama
yang berorientasi pembaharuan ini bergerak melampaui kumpulan hadis abad
pertengahan dan kitab syarahnya. Mereka mulai mempelajari kembali kitab-kitab hadis
mu‘tabar (Daniel W. Brown: 2000, 38).
Gugatan paling mendasar yang dilakukan para pembaharu ini terhadap hadis
adalah masalah otoritas dan otentisitas hadis, serta hubungannya dengan al-Qur’an.
Berangkat dari prinsip “rasionalitas”, mereka menolak keterikatan kaku pada kitab hadis
klasik dan mengedepankan pemahaman yang rasionalistik. Dalam pandangan mereka
teori ilmu hadis klasik belum cukup memadai untuk menilai dan memahami sebuah
hadis. Tentu saja gugatan ini mendapat tantangan dari ulama lainnya yang memposisikan
diri sebagai pembela hadis.
Berangkat dari kontroversi di seputar keinginan untuk menghidupkan sunnah
yang terjadi selama periode kebangkitan ini, Yūsuf al-Qaradawī (1992: 184-185) melihat
ada empat agenda penting yang harus dilakukan para muhy al-sunnah (para pembela
sunnah), yaitu: Pertama, menghimpun semua perawi hadis dalam suatu ensiklopedi besar
– lengkap dengan penilaiannya, baik yang thiqah, da‘īf, ataupun para pemalsu hadis.
Kedua, selanjutnya membuat ensiklopedi yang memuat semua hadis (lengkap sanad dan
matan) yang terdapat dalam semua catatan hadis, baik yang telah dicetak (kitab-kitab
hadis) ataupun yang masih berupa manuskrip, yang ditulis hingga sepertiga kedua dari
abad ke-5 H. Ketiga, yang menjadi tujuan utama dari pembuatan kedua ensiklopedi di
atas, yaitu membuat sebuah ensiklopedi berupa kumpulan hadis-hadis sahih dan hasan
12
yang merupakan hasil seleksi dari dua ensiklopedi pertama. Penyeleksian ini harus sesuai
dengan kriteria (ma‘āyir) ilmiah yang telah ditetapkan kaedah-kaedahnya oleh ulama
terdahulu. Agenda keempat, adalah membuat syarah hadis baru berdasarkan ensiklopedi
hadis di atas, yang mampu meluruskan pemahaman dan dapat menjawab semua keraguan
yang timbul di seputar hadis. Sebaiknya syarah tersebut ditulis oleh ulama-ulama yang
menguasi ilmu-ilmu keislaman dan mampu memadukannya dengan ilmu-ilmu
pengetahuan modern.
E. Kesimpulan
Sebagai simpulan akhir dari uraian di atas, sejarah syarah sunnah merupakan satu
sub kajian dalam studi hadis yang harus dipelajari dalam ilmu hadis. Fokus kajian adalah
pada aspek sejarah pertumbuhan dan perkembangan kegiatan pensyarahan. Hal ini harus
dilakukan agar para peminat hadis – dan umat Islam pada umumnya – mengetahui
kondisi yang sebenarnya terjadi dalam persoalan pemahaman hadis yang akhir-akhir ini
sering digugat banyak pihak berupa “krisis pemahaman”. Ini ditunjukkan dengan
aktivitas pensyarahan yang banyak mengulang hasil karya masa lalu. Padahal problem
yang dihadapi adalah persoalan kekinian.
Diharapkan, dengan penguasaan materi ini akan melahirkan kesadaran akan
kebutuhan suatu metode pemahaman hadis (kaedah fiqh al-hadis) yang baru, yang akan
mampu menyingkap berbagai hakikat hadis, menjelaskan pelik-peliknya yang
tersembunyi, meluruskan pemahaman, serta menjawab segala keraguan yang dihadapkan
kepadanya dengan menggunakan bahasa yang populer dan sejalan dengan logika masa
kini. Metode ini sebaiknya berupa pemaduan (konvergensi) antara ilmu-ilmu tradisional
dan sains modern. Dengan kata lain, tidak menafikan kekayaan masa lalu dan atau
menolak pemanfaatan kemajuan ilmu pengetahuan. Dua sikap yang berseberangan dan
apabila diikuti, hanya akan menimbulkan perpecahan di kalangan umat.
DAFTAR PUTAKA
Abū Syuhbah, Difā‘ ‘an al-Sunnah, Beirut: Dār al-Fikr, 1991
Abū ‘Abd Allah Muhammad ibn Ismā‘īl al-Bukhārī, Sahih al-Bukhārī, Riyadh: Dār alSalām, 1997
Abu Hasan ‘Alī al-Hasanī al-Nadwī, “Taqdīm al-Kitāb”, dalam Ahmad al-Sahāranfūrī,
Badhl al-Majhūd fi Hall Abū Dawud, jilid 1, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
t.th
13
Abu al-Fadl Jamāl al-Dīn Muhammad ibn Makram ibn Manzūr al-Afrīqī al-Misrī, Lisān
al-‘Arab, jilid II, Beirut: Dār al-Fikr, 1990
Afif Muhammad, “Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual Atas Hadis Nabi
SAW”, dalam Jurnal Al-Hikmah, No.5, Edisi Maret-Juni 1992
Ahmad Hasan, Membuka Pintu Ijtihad, terj. Agah Garnadi, Bandung: Pustaka, 1994
Ali Mustafa Yaqub, Imam Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1991
Al-Imām al-Hākim Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn ‘Abd Allah al-Naysābūrī, Kitāb
Ma‘rifat ‘Ulum al-Hadīth, Madinah Munawwarah: al-Maktabat al-‘Ilmiyyah,
t.th
Al-Qaradāwī, Kayfa Nata‘āmalu ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyah: Ma‘ālim wa Dawābit,
Virginia: al-Ma‘had al-‘Ālamī li al-Fikr al-Islāmī, 1992
Al-San‘ānī, Tawdih al-Afkār li Ma‘ānī Tanqih al-Anzār, jilid 1, Beirut: Dār al-Fikr, t.th
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti
dan Entin sriani Muslim, Bandung: Mizan, 2000
E.J. Brill, First Encyclopaedia of Islam 1913-1936, Vol. VII, Leiden: E.J. Brills, 1987
Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997
G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960), terj. Ilyas Hasan, (Bandung:
Mizan, 1999
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1988
M. Quraish Shihab, “Pengantar” dalam Muhammad al-Ghazalī, Studi Kritis Atas Hadis
Nabi saw: Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, terj. Muhammad alBaqir, Bandung: Mizan, 1993
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1988
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
Mahmūd Syaltūt, al-Islām: ‘Aqīdah wa Syari‘ah, t.tp.: Dār al-Qalam, 1966
Muhammad ‘Abd al-‘Azīz al-Khūlī, Miftah al-Sunnah aw Tārīkh Funūn al-Hadīth,
Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th
14
Muhammad ‘Ajjāj al-Kha tīb, Usūl al-Hadīth, Beirut: Dār al-Fikr, 1992
·
Muhammad Abu Zahw, al-Hadīth wa al-Muhaddithūn, Mesir: Syirkat al-Musāhamah, t.th
Muhammad ibn Zakariyya al-Kandahlawī, Awjaz al-Masālik ila Muwatta’ Mālik, jilid I,
Beirut: Dār al-Fikr, t.th
Muhammad Jamāl al-Dīn al-Qāsimī, Qawā‘id al-Tahdīth min Funūn Mustalah alHadīth, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th
·
Muhammad Rasyīd Ri dā, “Muqaddimah Kitāb” dalam A.J. Wensinck, Miftah Kunūz al·
Sunnah, Surabaya: PT. Bengkulu Indah, t.th
Muhammad Tāhir al-Jawwābī, Juhūd al-Muhaddithīn fi Naqd Matn al-Hadīth al-Nabawī
al-Syarīf, t.tp.: Mu’assasat al-Karīm ibn ‘Abd Allah, t.th
Musfir ‘Abd Allah al-Damīnī, Maqāyis Naqd Mutūn al-Sunnah, Riyadh: t.p., 1984
Nūr al-Dīn ‘Itr, Manhaj al-Naqd, Beirut: Dār al-Fikr al-Mu‘ā sir,1997
·
Said Aqil Husein al-Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud: Studi Kritis Hadis
Nabi Pendekatan Sosio Historis Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001), 28
Salā h al-Dīn al-Adabī, Manhaj Naqd al-Matn ‘inda ‘Ulama’i al-Hadīth al-Nabawī,
·
Beirut: Dār al-Afāq al-Jadīdah, 1983
Thomas Patrick Hughes, Dictionary of Islam, Chicago: KAZI Publications, 1994