Hadis ṣalat arba’in di masjid al-nabawi al-madinah; studi kritik sanad dan matan hadis

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh:

Abdul Rizal

NIM: 111003400094

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

iv

Kata kunci : ṢalātArba‘īn, Masjid al-Nabawī al-Madīnah.

Salah satu fenomena yang menarik untuk dicermati ketika para jamaah haji dan umrah mendapat kesempatan mengunjungi al-Madīnah-kota nabi saw-, adalah semangat yang berapi-api mereka untuk mengejar Ṣalāt Arba‘īn di Masjid

al-Nabawī , yaitu istilah untuk pelaksanaan Ṣalāt khusus di Masjid al-Nabawī

dengan durasi 40 (empat puluh) kali tanpa putus. Jadi dengan melaksanankan 40 kali Ṣalāt fardu berjamaah sehari semalam dan dengan pahala yang dilipatgandakan untuk setiap Ṣalātnya 1000 (seribu), maka seseorang akan mendapatkan pahala sebesar 40.000 (empat puluh ribu). Selain itu, jaminan terbebas dari api neraka dan juga terhindar dari sifat kemunafikan. Sebuah kesempatan emas yang sayang jika lewat begitu saja.

Tapi apakah ini disyariatkan dengan berlandaskan dalil yang tenilai

maqbūl/diterima? Tampaknya diperlukan adanya sebuah penelusuran lebih lanjut. Faktor lain adalah adanya teks dari kitab-kitab fikih modern yang memberikan keterangan tentang pelaksanaan Ṣalāt ini sekaligus pencantuman sebuah dalil khusus dari hadis nabi saw. Hal ini dapat kita lihat di antaranya dalam kitab yang ditulis oleh Wahbah Zuhaili (al-Fiqh al-Islāmi wa ‘Adillatuh); dan Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim al-Kaf (al-Taqrīrat al-Sadīdah fi al-Masāil al -Mufīdah). Namun sayang, dalil hadis terkait yang dicantumkan dalam kitab-kitab tersebut tanpa disertai dengan keterangan tentang validitasnya.

Kendatipun banyak digunakan dikalangan jamaah haji atau umrah, serta materinya banyak menghiasi pengajian di masyarakat. Tidak menutup kemungkinan para jamaah haji atau umrah, kurang mengetahui kualitas hadis tersebut. Penulis tertarik untuk mengkajinya lebih dalam lagi, terutama untuk mengetahui kualitas hadis tersebut baik segi sanad maupun matan hadis.

Dalam melakukan pengkajian dan penelitian, landasan operasional menggunakan buku-buku yang terkait erat dengan judul yang penulis ambil, maka bisa dibilang metode yang penulis gunakan dalam membuat karya tulis ilmiah ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan mengumpulkan data dari sumber primer dan sekunder untuk kemudian disimpulkan.


(6)

(7)

vi

tugas akhir dalam bentuk skripsi dengan judul “HADIS ṢALĀT ARBA„ĪN DI MASJID AL-NABAWĪ AL-MADĪNAH; Studi Kritik Sanad dan Matan Hadis” dapat terselesaikan berkat bimbingan dari berbagai pihak. Selawat serta salam kami haturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad saw. semoga kita semua mendapat syafaatnya kelak di hari kiamat. Dengan terselesaikannya skripsi ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak pihak sebagai berikut: 1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

beserta seluruh sivitas Akademika.

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelayanan berbagai fasilitas kepada penulis.

3. Ibu Dr. Lilik Umi Kaltsum, MA. Ketua jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd. Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, yang selalu menyempatkan waktunya untuk memberikan berbagai keperluan yang berkaitan dengan skripsi penulis. 4. Bapak Drs. Maulana, M.ag. Yang selalu meluangkan waktunya untuk

memberikan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan tugas ini.

5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin khususnya jurusan Tafsir Hadis yang tanpa henti memberikan pengajaran serta pemahaman.


(8)

vii

mengganti air mata dengan senyum tersipu bahagia, maafkan kami. Kami hanya baru bisa mendoakan beliau dalam setiap doa, untuk pengampunan dan rahmat-Nya. Juga Ayah kami M. Sidiq, kami bangga dengan-Mu, kami bangga menjadi anak-Mu. Kau memang pahlawan dalam keluarga kami, mungkin kami tidak bisa menjadi seperti-Mu Ayah, maafkan kami dan segenap keluarga (Kakak dan Saudara) yang senantiasa mendo’akan dan memotivasi penulis untuk terus berkreasi dan berpacu dalam mencari ilmu. 7. Istri tercinta, Nur Solikhah (Hananaiki) dan pangeran kecilku Muhammad

Najeeh (Jayeng Palugon). Orang yang senantiasa selalu mendampingi penulis dalam suka maupun duka, yang selalu sabar dalam setiap keadaan, maafkan kami yang tidak focus dalam mengemban amanah, tapi doa kami selalu menyertai kalian semua. Semoga Allah swt membuka jalan hidup yang lebih baik untuk kita semua.

8. Bapak dan Ibu petugas Perpustakan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan pelayanan kepada penulis dalam mencari referensi.

9. Kawan-kawan penulis yang membantu terselesaikannya skripsi ini baik bantuan moril maupun fasilitasnya. Teman-teman kelas TH C, Paguyuban IMJA, HIMMAH, PAG, semoga Allah membalas semua kebaikan kalian. Serta teman-teman IPRMA.


(9)

viii

dengan harapan karya tulis ini dapat dijadikan amal bagi penulis, Amin ya robbal

„alamin.

Tangerang, 11 Mei 2015


(10)

x

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Metodologi Penelitian ... 10

E. Tinjauan Kepustakaan ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ṢALĀT

ARBA‘ĪN

... 15

A. Pengertian Ṣalāt ... 15

1. Pengertian Ṣalāt menurut istilah umum dan kedudukannya dalam Islam ... 15

2. Pengertian ṢalātArba„īn ... 25

B. Alasan Melaksanakan ṢalātArba„īn ... 26

BAB III TAKHRĪJ HADIS MENGENAI ṢALĀTARBA‘ĪN ... 30

A. Teks Hadis dan Terjemahannya ... 30

B. Kegiatan Takhrīj Hadis ... 31

1. Penelusuran Hadis Melalui Matan ... 32

C. Kegiatan Penelitian Hadis ... 33


(11)

x

1. Meneliti Kualitas Sanad Hadis ... 52

2. Meneliti Susunan Matan Yang Semakna ... 53

3. Meneliti Kandungan Matan... 54

a. Bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an ... 54

b. Bertetangan dengan hadis yang lebih kuat ... 55

c. Bertentangan dengan akal sehat, indra, dan sejarah ... 56

d. Susunan pernyataannya tidak menunjukan ciri-ciri sabda kenabian ... 56

BAB IV PENUTUP ... 58

A. Kesimpulan ... 58

B. Saran ... 59


(12)

1

A. Latar Belakang Masalah

نَأ

َلو سَر

ه للا

ى لَص

ه للا

هحيَلَع

َم لَسَو

َلاَق

تحكَرَ ت

حم كي ف

نحيَرحمَأ

حنَل

اوُل ضَت

اَم

حم تحك سَََ

اَم ِ

َباَت ك

ه للا

َة ن سَو

هِي بَن

1

Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Telah aku tinggalkan untuk kalian, dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya; Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya”. (HR. Al-Imam Malik)

Ada dua wasiat nabi saw untuk seluruh umat Islam, manakala umat berpegang teguh pada keduanya niscaya ia akan selamat di dunia dan akhirat. Dua wasiat itu adalah al-Qur’an dan al-Sunnah (hadis). Perbedaan antara keduanya, bahwa al-Qur’an dalam periwayatan-nya bersifat mutawatir atau tidak ada keraguan sama sekali atas kebenaran berita yang dibawa, sedangkan hadis masih harus diteliti lagi dengan sungguh-sungguh apakah hadis tersebut sahih-hasan atau daif.

Sebagian besar kaum muslim meyakini bahwa hadis adalah perangkat sunnah nabi dan bahwa hadis merupakan tuntunan yang tidak dapat diabaikan dalam memahami wahyu Allah. Sebagai salah satu sumber otoritas Islam kedua setelah al-Qur’an, sejumlah literatur hadis memiliki pengaruh yang sangat menentukan dan menjadi sumber hukum dalam agama. Para ulama telah berupaya

1

Malik ibn Anas, al-Muwaṭṭa, (al-Imārāt: m. Musṭafa al-‘Aẓami, 1425 H/ 2004 M), juz, 5, h. 1323.


(13)

keras mengumpulkan dan mengklasifikasi serta memilah hadis-hadis yang otentik dan yang palsu.2

Di antara tugas Rasulullah saw adalah menjelaskan hal-hal yang masih global dalam al-Qur’an yang tentu saja hal ini atas perintah dari Allah SWT. Allah berfirman:

اَنحلَزح نَأَو

َكحيَل إ

َرحكِذلا

َِيَ ب ت ل

سا نل ل

اَم

َلِز ن

حم هحيَل إ

حم ه لَعَلَو

َنو ر كَفَ تَ ي

ُ

٤٤

َ

3

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (Q.S. al-Nahl:44).”

Tentu saja penjelasan terhadap isi al-Qur’an itu bukanlah sekedar membaca al-Qur’an. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang memerlukan penjelasan praktis, dan itu sudah dilakukan oleh Rasulullah saw. Karenanya Rasulullah tidak dapat dilepaskan begitu saja dari tugas ini. Menolak penjelasan Rasulullah saw terhadap al-Qur’an juga tidak mungkin, karena al-Qur’an sendiri telah menegaskan demikian. Oleh karena itu, menolak penjelasan Rasulullah saw terhadap al-Qur’an sama saja artinya dengan menolak al-Qur’an.4

Hadis atau yang disebut juga dengan sunnah, sebagai sumber ajaran Islam yang berisi pernyataan, pengamalan, pengakuan, dan hal ihwal Nabi Muhammad saw yang beredar pada masa nabi hingga wafatnya, disepakati sebagai sumber

2

Kamarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, (Jakarta: Hikmah, 2009), cet. 1, h. 1.

3

Khādim al-Harāmain asy-Syarīfain. Al-Qur‟an dan Terjemahannya. al-Madīnah al

-Munawwarah: Mujamma’ Khādim al-Harāmain asy-Syarīfain al-Mālik Fahd li ṭibā’at al-Muṣḥaf

asy-Syarīf:1971.

4

M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Penerjemah: Prof. H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. (Jakarta: Pustaka Firdaus,2000),h. 27.


(14)

ajaran Islam setelah al-Qur’an dan isinya menjadi hujjah (sumber otoritas) keagamaan. Oleh karena itu, umat Islam pada masa Nabi Muhammad saw dan pengikut jejaknya, menggunakan hadis sebagai hujjah keagamaan yang diikuti dengan mengamalkan isinya dengan penuh semangat, kepatuhan dan ketulusan.5 Dalam praktek, disamping menjadikan al-Qur’an sebagai hujjah keagamaan, mereka juga menjadikan hadis sebagai hujjah yang serupa secara seimbang, karena keduanya sama diyakini berasal dari wahyu Allah swt. Dalam konteks dimaksud, hadis mereka tempatkan pada posisi yang penting setelah al-Qur’an. Terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang sebagian besar bersifat umum dan garis besar, hadis selain datang untuk menjelaskan keumumannya, dan datang untuk menafsirkannya, ia juga datang untuk melengkapi hukum yang sejalan dengan semangat al-Qur’an. Dalam keadaan pengamalan agama demikian dapat dipahami bila umat Islam masa nabi saw memperlihatkan motivasi yang mendalam terhadap hadis baik melalui penuturan lisan, hafalan, maupun penulisan hadis-hadis yang naskah tertulisnya sampai ditangan kita sekarang. Jelasnya, hingga wafat nabi saw, keyakinan umat Islam terhadap hadis tidaklah berubah, bahkan dikuatkannya dengan bukti-bukti pelestarian khazanah hadis.

Namun, keadaan hadis Nabi Muhammad saw dalam kesepakatan tersebut, tidaklah demikian keadaannya pasca masa nabi saw. Hadis pasca masa nabi saw telah berada dalam suatu kondisi yang mulai tidak seimbang dengan posisi al-Qur’an, karena ia telah berada di tengah-tengah banyak faktor. Pertama, hadis

5

Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah, Kritik Musthafa al-Siba’I

terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadīṡ dalam Fajr al-Islam, (Jakarta:Kencana,2003),

h. 3-4.


(15)

misalnya dalam periwayatan selain berlangsung secara lafaẓ juga berlangsung secara makna. Kedua, dalam sejarah hadis telah muncul berbagai pemalsuan hadis. Ketiga, hadis merupakan sumber ajaran Islam di samping al-Qur’an yang dibukukan dengan memakan waktu jauh lebih lama dari pembukuan al-Qur’an.

Keempat, periwayatan hadis selain beragam metodenya, juga beragam tingkat validitas masing-masing metodenya.6 Dari faktor-faktor di atas, maka kondisi hadis pasca masa nabi saw, dan memiliki banyak peluang untuk diadakan penelitian dan pengkajian dalam banyak persoalan.

Dengan demikian, pada pasca masa nabi saw sampai dengan memasuki abad ke-21 sekarang (2015), keadaan hadis sudah sedemikian rupa, yang membuka tabir melihat keberadaannya sebagai otoritas keagamaan. Melihat posisi hadis yang sangat sentral dan signifikan dalam ajaran Islam, maka penelitian dan pengkajian menjadi bagian penting dalam rangka menjaga dan melestarikan hadis nabi saw.

Suatu proses penelitian dan pengkajian suatu hadis memerlukan tiga macam ilmu yang berkaitan dengan ilmu hadis itu sendiri, yaitu ‘Ilmu Mustalāh al-Hadī , „Ilmu Rijāl al-Hadī , dan ‘Ilmu Takhrīj al-Hadī . Adapun kualitas suatu hadis dapat diketahui dengan adanya penelitian melalui takhrīj hadis.

Mahmud al-Tahhan mengatakan bahwa secara epistimologi takhrīj berarti berkumpulnya dua hal yang saling berlawanan. Secara terminologi takhrīj mempunyai beberapa pengertian di antaranya ialah; Pertama, takhrīj yang

6

Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah, Kritik Musthafa al-Siba’I


(16)

disinonimkan dengan al-ikhrāj yang berarti mengungkapkan suatu hadis kepada orang lain dengan mengemukakan periwayatnya. Kedua, mengeluarkan atau menampakkan hadis-hadis dari kitab induknya beserta periwayatnya. Ketiga,

bermakna al-Dilālah yaitu mengeluarkan hadis-hadis dari kitab induk dan meriwayatkannya kembali.7

Kajian ilmu takhrīj hadis sangat penting bagi orang yang menggeluti ilmu-ilmu syar‟i. Mempelajari kaidah-kaidahnya dan metodenya, agar ia mengetahui bagaimana bisa sampai kepada hadis tersebut pada sumber-sumbernya yang orisinil. Manfaat takhrīj amat besar, terutama bagi mereka yang berkecimpung dalam hadis.8 Mahmud al-Tahhan sendiri lebih memilih bahwa takhrīj adalah memberikan petunjuk tentang atau letak hadis pada sumber-sumber aslinya dengan menyebutkan sanadnya kemudian menjelaskan hukum hadis tersebut bila diperlukan.9

Melihat fungsi dan peran ilmu takhrīj al-hadī yang sangat penting dalam sebuah penelitian, karena dengan ilmu ini kita dapat mengetahui apakah suatu hadis itu benar-benar bersumber dari nabi saw.? dan siapa saja yang meriwayatkan hadis itu sampai kepada nabi saw.?

Sebab itu, penulis akan mencoba meneliti dan mengkaji hadis yang menyatakan tentang alāt arba„īn di Masjid al-Nabawī al-Madīnah melalui ilmu takhrīj al-hadī sebagaimana definisi yang Mahmud al-Tahhan sebutkan.

7

Mahmud al-Tahhan, Dasar-Dasar Ilmu Takhrij, Penerjemah H.S. Agil Husin dan Masykur Hakim, (Semarang: Toha Putra, 1995), h. 7-9.

8

Mahmud al-Tahhan, Dasar-Dasar Ilmu Takhrij, h. 21. 9


(17)

Mengingat, salah satu fenomena yang menarik untuk dicermati ketika para jamaah haji dan umrah mendapat kesempatan mengunjungi al-Madīnah-kota nabi saw-, adalah semangat yang berapi-api mereka untuk mengejar arba„īn, yaitu istilah untuk pelaksanaan ṣalāt di Masjid al-Nabawī dengan durasi 40 (kali) tanpa putus. Jadi, dengan melaksanakan 40 kali ṣalāt fardu berjamaah sehari semalam dan dengan pahala yang dilipatgandakan untuk setiap ṣalātnya 1000, maka seseorang akan mendapatkan pahala sebesar 40.000. Selain itu, jaminan terbebas dari api neraka dan kemunafikan juga menanti. Sebuah kesempatan emas yang sayang jika lewat begitu saja.

Tapi apakah ini disyariatkan dengan berlandaskan dalil yang ternilai

maqbūl/diterima)? Tampaknya diperlukan adanya penelusuran lebih lanjut. Faktor lain adalah adanya teks dari kitab-kitab fikih modern (mu„ā ir) yang memberikan keterangan tentang pelaksanaan ṣalāt ini sekaligus pencantuman sebuah dalil khusus dari hadis nabi saw. Hal itu dapat kita lihat di antaranya dalam kitab yang ditulis oleh Wahbah Zuhaili (al-Fiqh al-lslāmi wa „Adillatuh)10; dan Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim al-Kaf (al-Taqrīrat al-Sadīdah fi al-Masāil al

-Mufīdah).11 Namun sayang, dalil hadis terkait yang dicantumkan dalam kitab-kitab tersebut tanpa disertai dengan keterangan tentang validitasnya.

Hadis yang menjadi sandaran para pengamal alāt arba„īn, sebagai berikut:

10

Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-lslāmi wa „ Adillatuh, (Suriah: Dar al-Fikr, 1989), h. 334. 11

Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim al-Kaf, al-Taqrīrat al-Sadīdah fi al-Masāil al-Mufīdah, (Surabaya: Dar al-‘Ulūm al-Islamiyah, 2004), cet, 3, h. 521.


(18)

اَنَ ث دَح

مَكَحْا

نحب

ىَسو م

َلاَق

و بَأ

دحبَع

نَحْ رلا

دحبَع

ه للا

ه تحع َََو

اَنَأ

حن م

مَكَحْا

نحب

ىَسو م

اَنَ ث دَح

دحبَع

نَحْ رلا

نحب

بَأ

لاَجِرلا

نَع

طحيَ ب ن

نحب

َرَم ع

حنَع

سَنَأ

نحب

ك لاَم

حنَع

ِ ب نلا

ى لَص

ه للا

هحيَلَع

َم لَسَو

ه نَأ

َلاَق

حنَم

ى لَص

ف

ي د جحسَم

َي عَبحرَأ

ة َََص

َل

ه تو فَ ي

ة َََص

حتَب ت ك

هَل

ةَءاَرَ ب

حن م

را نلا

ةاََََو

حن م

باَذَعحلا

َئ رَبَو

حن م

قاَفِ نلا

“Telah menceritakan pada kami Hakam bin Musa, berkata Abu Abdurrahman Abdullah: Aku mendengar dari Hakam bin Musa (dimana) telah menceritakan pada kami Abdurrahman bin Abi al-Rijal dari Nubaith bin Umar dari Anas bin Malik dan Nabi saw bahwasannya beliau bersabda: Barangsiapa melaksanakan alāt (sebanyak) 40 kali alāt di masjidku (dengan) tidak tertinggal satu pun, dicatat baginya terhindar dari api neraka, selamat dari siksa, dan terhindar dari kemunafikan” ( H R. Ahmad)12

Hadis ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dalam kitab Musnad-nya dan mutābi‟nya al-Imam Al-Thabarani dalam kitab Mu‟jam al-Awsāṭ dengan jalur dari Abu Abdurrahman bin Abi al-Rijal dari Nubaith bin Umar dari Anas bin Malik secara marfū‟ (sampai ke nabi saw). Setelah mencantumkan hadis tersebut. Al-Thabarani berkomentar: "Tidak ada yang meriwayatkan dari Anas kecuali Nubaith, dan Abdurrahman bin Abi al-Rijal pun sendiri meriwayatkan dari Nubaith". Al-Mundzir dalam al-Targīb wa al-Tarhīb, dan Al-Haitsami dalam Majma‟ al-Zawāid, setelah mencantumkan hadis ini, keduanya berkomentar menguatkan jalur perawinya, sebagaimana tercantum dalam Musnad Ahmad dan Mu‟jam al-Awsāṭ di atas. Juga menyebut bahwa al-Imam Tirmidzi meriwayatkan sebagiannya.

Masalah yang diperdebatkan dalam jalur sanadnya adalah adanya seorang perawi bernama Nubaith bin Umar yang ternilai majhūl (tidak diketahui

12Abū ‘Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, Musnad al

-Imam Ahmad ibn Hanbal, (Muasasah al-Risalah, 2001), juz, 20, h. 40.


(19)

keadaannya), di mana hanya Al-Mundziri dan Al-Haitsami yang menguatkannya dengan mendasarkan pada penilaian Ibnu Hibban dalam “Al- iqāt”. Namun, di kalangan kritikus hadis , Ibnu Hibban dikenal sebagai kritikus yang dimasukkan dalam kategori mutasāhil (mudah mengangkat derajat penilaian terhadap perawi yang majhūl). Pun dalam kitab-kitab biografi para perawi, tidak akan kita temukan data perawi ini. Matan (isi hadis) yang diriwayatkannya juga berbeda sendiri dengan apa yang diriwayatkan oleh para perawi lain dari Anas bin Malik ra. Maka dalam kajian kritik hadis, keadaan perawi demikian disebut dengan majhūl al-„ain (tidak diketahui data pribadinya sedikitpun). Sementara itu, kritikus hadis modern, Naṣirudin al-Albani dalam Silsilah Al-Ḍaīfah dan Ḍaīf

al-Targīb, mengomentari hadis di atas dengan munkar (informasi hadis hanya dari satu jalur).

Kendatipun banyak digunakan dikalangan jamaah haji atau umrah, serta materinya banyak menghiasi pengajian di masyarakat. Tidak menutup kemungkinan para jamaah haji atau umrah, kurang mengetahui kualitas hadis tersebut.

Penulis mencoba untuk menelitinya dengan mencari sumber hadis tersebut melalui beberapa kamus hadis seperti kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfāẓ

al-Hadīs al-Al-Nabawī karya A.J. Wensinck, melalui kata kunci atau kata kerja dan kitab Kanz al-„Ummāl karya muhammad al-Sa’idi Ibn Basyūni dan kitab kamus hadis lain yang dibutuhkan apabila tidak ditemukan dalam dua kamus tersebut di atas.


(20)

Oleh karena alasan di atas, penulis ingin menuangkan ini kedalam sebuah karya ilmiah dengan judul “Hadis Ṣalāt Arba n di Masjid Al-Nabaw

Al-Mad nah; Studi kritik Sanad dan Matan Hadis.

B.

Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berkaitan dengan permasalahan alāt arba„īn di Masjid Al-Nabawī

Al-Madīnah, penulis hanya menemukan dua sumber hadis yang dikeluarkan oleh al-Imam Ahmad bin Hanbal dan al-al-Imam Al-Thabarani. Ada beberapa permasalahan di dalam pembahasan alāt arba„īn di antaranya; tentang tata cara alāt arba„īn,

alāt sunnah atau fardu kah yang termasuk dalam kategori alāt arba„īn, tempat dan waktu pelaksanaan alāt arba„īn, kualitas hadis alāt arba„īn, dan lainnya. Penulis akan membatasi dan memfokuskan pada pembahasan kualitas hadis alāt arba„īn tersebut, untuk dikaji, diteliti, dan dianalisis keotentikan kandungannya dari segi sanad dan matan.

Di samping riwayat hadis pokok di atas yang dijadikan sebagai bahan penelitian, penulis juga akan mencari hadis-hadis pendukung namun disertai dengan validitas hadis tersebut secara singkat. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam kajian ini adalah “bagaimana kualitas hadis tentang alāt arba„īn di Masjid Al-Nabawī Al-Madīnah?” ditinjau dari kritik sanad dan matan hadis.


(21)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penulisan skripsi ini selain untuk menyelesaikan kuliah pada program S1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ushuludin Jurusan Tafsir Hadis dan hal-hal yang bersifat administratif, juga tidak terlepas dari tujuan pengembangan keilmuan terutama masalah pemahaman hadis dan ilmu turunannya. Selain hal tersebut di atas, manfaat penulisan skripsi ini juga adalah :

1. Mengetahui validitas hadis tentang alātarba„īn di Masjid Al-Nabawī

Al-Madīnah, umum-nya kepada jamaah haji dan umrah, khusus-nya untuk penulis.

2. Sebagai upaya untuk mensemarakkan literatur keislaman, utamanya berkaitan dengan kajian hadis.

3. Menambah khazanah keilmuan pada lembaga-lembaga yang konsern dalam mengurus perjalanan haji dan umrah.

D. Metodologi Penelitian

Dalam melakukan pengkajian dan penelitian, landasan operasional penulisan, menggunakan buku-buku yang terkait erat dengan judul yang penulis ambil, maka bisa dibilang metode yang penulis gunakan dalam membuat karya tulis ilmiah ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan mengumpulkan data dari sumber primer dan sekunder kemudian menyimpulkan.


(22)

Adapun metode dalam kegiatan penelitian hadis ini,yaitu:

1. Melakukan takhrīj hadis dari matan hadis yang telah disebut pada judul, langkah pertama penelitian hadis ini merujuk melalui lafalhadis dari kitab

al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Hadīs al-Al-Nabawī karya A.J Wensinck dan kitab-kitab lainnya yang berkaitan dengan ini.

2. Mencari data yang telah diperoleh dari kitab kamus dengan merujuk pada kitab asli yang ditunjukkan oleh kitab kamus.

3. I‟tibar al-Sanad, menghadirkan hadis lain yang semakna dengan hadis tersebut.

4. Menguraikanskemajalur-jalursanadagarterlihatadatidaknyapendukung yang berstatus mutābi‟ dan syawāhid.

5. Melakukan penelitian sanad (kritik sanad) dari data yang diambil dari kitab-kitab Rijāl al-Hadī seperti Tahżib al-Kamāl, Tahżib al-Tahżīb, al-Jarh wa al-Ta‟dīl, dan lain-lain. Dan penelitian sanad ini yaitu menelesuri data setiap periwayat dengan menilai keadaannya, hubungan guru dan murid, tahun kelahiran dan tahun wafat, hingga penilaian para ulama tentang kredibilitas peperawi tersebut. Untuk kemudian menentukan kedudukan hadis dari semua jalur.

6. Melakukan penelitian matan dari hasil penelitian sanad di atas dengan melihat dari segi bahasa, histori, bertentangan atau tidaknya dengan al-qur’an, ada atau tidaknya hadis lain yang semakna (dengan hadis tersebut) yang lebih tinggi atau rendah kualitas hadisnya. Memberikan kesimpulan dari hasil penelitian di atas dan pesan penting dari hadis tersebut. Sedang


(23)

dalam pembahasan skripsi ini menggunakan metode deskriptif analisis, yakni melalui pengumpulan data dan pendapat para ulama dan pakaruntuk kemudian diteliti dan dianalisa sehingga menjadi sebuah kesimpulan yang ilmiah.

Selain itu juga teknik penulisan ini, penulis mengacu pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2011.

E. Tinjauan Kepustakaan

Untuk mendukung kepustakaan di atas, penulis pun melakukan tinjauan pustaka atas beberapa karya tulis yang membahas tema yang sama atau mempunyai kemiripan dengan yang dibahas oleh penulis. Penulis tidak menemukan satupun dari penelitian terdahulu yang mengangkat tema yang sama. Hanya saja ada beberapa skripsi yang mengangkat masalah ṣalāt, namun berbeda di dalam pembahasannya, yang kesemuanya hampir membahas tentang ṣalāt sunnah dan ada yang membahas ṣalāt fardu dengan berjamaah namun tetap juga beda fokus obyek penelitiannya. Skripsi-skripsi hasil tinjauan pustaka penulis sebagai berikut:

1. Ṣalāt Fajar dalam al-Kutub al-Sittah: Sebuah Kajian Tematik Hadis, ditulis oleh Bambang Triatmojo jurusan tafsir hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007. Skripsi di atas menjelaskan waktu dan dianjurkannya alāt fajar.


(24)

2. Fadilah Ṣalāt Sunnah Rawatib dalam perspektif hadis, ditulis oleh Fitriyah jurusan tafsir hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006. dalam skripsi tersebut menjelaskan tentang fadilah ṣalāt sunnah rawatib dan fungsinya. Skripsitersebut didapat dari perpustakaan Fakultas Ushuluddin UIN SyarifHidayatullah Jakarta.

3. Kritik Hadis Tentang Keistimewaan Ṣalāt Sunnah Tobat : Studi analisis Sanad Dan Matan, ditulis oleh Eni Nuraini jurusan tafsir hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2009.

4. Ṣalāt Sunnah Istikharah dalam perspektif hadis, ditulis oleh Bahrudin jurusan tafsir hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2011. dalam skripsi tersebut menjelaskan bagaimana pemahaman Ibnu Hajar al-Asqalani tentang alāt sunnah istikharah dalam kehidupan sehari-hari. Manfaat penelitian alāt sunnah istikharah memberikan pemahaman tentang maksud hadis-hadis yang membahas alāt sunnah Istikharah serta menggambarkan pemahaman tentang alāt sunnah Istikharah itu sendiri dari sudut pandang hadis dan ungkapan para ulama fikih.

5. Hikmah Ṣalāt Berjamaah dalam al-Qur’an menurut penafsiran Ibnu Katsir, ditulis oleh Ardian Maksal Lintang, jurusan tafsir hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2010. Di dalam pembahasannya lebih menitik beratkan pada hikmah-hikmah alāt berjamaah.


(25)

F. Sistematika Penulisan

Dalam skripsi ini penulis membahas beberapa bab yang diuraikan dengan sistematika penulisan sebagai berikut :

Bab Pertama, Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab Kedua, merupakan tinjauan umum mengenai alāt arba„īn yang berisi tentang pengertian ṣalāt di dalamnya meliputi pengertian alāt menurut istilah umum dan kedudukannya dalam islam dan pengertian alāt arba„īn serta alasan melaksanakan alātarba„īn.

Bab Ketiga, merupakan takhrīj hadis mengenai alāt arba„īn yang berisi tentang teks hadis dan terjemahannya, kegiatan takhrīj hadis, kegiatan penelitian hadis dan hal-hal yang berkaitan dengan penelitian baik sanad maupun matan hadis.

Bab Keempat, Merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan yang telah dibahas sebelumnya dan dilengkapi dengan saran-saran yang bersifat membangun serta pada akhirnya adalah daftar pustaka menjadi rujukan penulis juga lampiran.


(26)

15

A. Pengertian

Ṣalāt

1. Pengertian Ṣalāt Menurut Istilah umum dan Kedudukannya Dalam Islam

Secara bahasa alāt berasal dari bahasa arab dari kata kerja

ىلص

( allā)

yang dalam bahasa arab diartikan dengan

اعد

(da„ā).1 Pengertian ini mengandung

banyak arti, yaitu; memanggil, mengundang, minta tolong kepada, meminta, memohon, mendoakan, menamakan, meratapi, menyebabkan, mengisi, mendatangkan.2 Sementara kata

ىلص

( allā) sendiri biasanya memiliki arti doa

atau memohon, ada yang berpendapat arti aslinya dalam bahasa adalah pengagungan.3 Seperti dalam firman Allah swt:

حذ خ

حن م

حم َِٰوحمَأ

ةَقَدَص

حم رِهَط ت

م هيِكَز تَو

اَ ِ

ِلَصَو

حم هحيَلَع

ن إ

َكَتٰوَلَص

نَكَس

حم ِ

ه للٱَو

عي ََ

مي لَع

٣٠١

4

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan5 dan mensucikan6 mereka dan mendoalah untuk mereka.

1Louis Ma’luf,

al-Munjid fi al-Lugah al-„Adab wa al-„Ulūm, (Beirut: al-Mathba’ah al -Kathulikiyyah, 1960), h. 434. Lihat, Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia,(Yogyakarta: Pusaka Progresif, 1984), h. 874.

2

Munawwir, Kamus al-Munawwir, h. 438. 3

Mahir Manshur Abdurrajiq, Mu‟jizat Shalat Berjamaah,(Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2007), h. 24.

4

Khādim al-Harāmain al-Syarīfain. Al-Qur‟an dan Terjemahannya. al-Madīnah al

-Munawwarah: Mujamma’ Khādim al-Harāmain al-Syarīfain al-Mālik Fahd li ṭibā’at al-Muṣḥaf

al-Syarīf: 1971.

5

Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda.


(27)

Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (QS. At-Taubah: 103)

Yang dimaksud dari ayat di atas adalah berdoalah dan beristighfarlah untuk mereka.7 Dan Nabi saw bersabda:

حنَع ثاَي غ نحب صحفَح اَنَ ث دَح َةَبحيَش بَأ نحب رحكَب و بَأ اَنَ ث دَح

َلاَق َةَرح يَر بَأ حنَع َني ر س نحبا حنَع ماَش

ِلَص يحلَ ف ا م ئاَص َناَك حن إَف حب ج يحلَ ف حم ك دَحَأ َي ع د اَذ إ َم لَسَو هحيَلَع ه للا ى لَص ه للا لو سَر َلاَق

َناَك حن إَو

حمَعحطَيحلَ ف ا ر طحف م

.

“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyats dari Hisyam dari Ibnu Sirin dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika salah seorang dari kalian diundang, hendaknya ia penuhi undangan tersebut, jika ia sedang berpuasa, maka hendaklah ia mendo'akannya, dan jika ia sedang tidak berpuasa, hendaknya ia memakannya."8

Ṣalāt menurut istilah adalah ibadah kepada Allah swt yang wajib dilakukan oleh setiap muslim mukalaf, diawali dengan takbir dan ditutup dengan salam, dilengkapi dengan syarat, rukun, gerakan, dan bacaan tertentu.9Ṣalāt dapat juga berarti doa untuk mendapatkan kebaikan atau alawāt bagi Nabi Muhammad saw.10 Dengan begitu, alāt Allah swt kepada Nabinya adalah pujian Allah swt kepada Nabinya, dan alāt Malaikat kepada Nabi saw adalah doa.11

6

Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.

7

Al-Hafiẓ ‘Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Kaṡir al-Qurasyi ad-Dimasyqi, Tafsir

al-Qur‟an al-Azhim,(Beirut: Dar at-Turats al-‘Arabi), jilid 2, h. 386. 8

Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim,(Beirut: Dar al-Fikr), juz 2, h. 106.

9

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), cet. VII, h. 866.

10

Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Pt. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 207.

11Sa’id bin Ali bin Waqf al

-Qahthani, Lebih Berkah dengan Salat Berjamaah, (Surakarta: Qaula, 2008), h. 17.


(28)

Sedangkan menurut Sayyid Sabiq alāt adalah “Ibadah yang berisi perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan khusus yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.12Selain dari pengertian di atas, Hasbi Ash-Shiddieqy juga memberikan pengertian tentang alāt, menurut beliau alāt memiliki dua macam pengertian, yang keduanya dilatarbelakangi oleh sudut pandang yang berbeda, yaitu lahiriah dan ruhiah. Dari sudut lahiriah alāt adalah beberapa perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu. Sedangkan dari sudut ruhiah alāt adalah berharap kepada Allah swt dengan sepenuh jiwa dan segala khusyuk dihadapan Allah swt dan berikhlas bagi-Nya serta hadir dalam berdzikir, berdoa dan memuji.13

Dari pengertian di atas mengandung maksud yang sama, yaitu suatu ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan tertentu yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Yang dimaksud dengan perkataan disini adalah bacaan takbir, doa dan sejenisnya. Dan yang dimaksud dengan perbuatan disini terdiri dari berdiri, ruku’, sujud dan lainnya.

Pada hakekatnya pengertian-pengertian yang telah dikemukakan di atas antara satu dengan yang lainnya saling berkaitan dan merupakan suatu unsur yang tidak dapat dipisahkan. Ṣalāt yang sesungguhnya ialah alāt yang memiliki ruh dan jasad, dan bukan sekedar ucapan dan perbuatan secara lahiriah saja, akan tetapi harus dibarengi dengan hati dan pikiran. Hati, pikiran, ucapan dan

12

Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), jld.1, h. 78. 13


(29)

gerakan seperti yang dicontohkan Rasulullah saw. merupakan unsur penting dalam alāt.

Ṣalāt mempunyai kedudukan yang tertinggi diantara ibadah-ibadah lainnya, bahkan dalam Islam menempati kedudukan yang tak dapat ditandingi oleh ibadah manapun juga. Kedudukan alāt dalam Islam yaitu:

a) Ṣalāt merupakan tiang agama; tidak akan berdiri Islam kecuali dengannya.14 Rasulullah bersabda:

لا بَأ نحب م صاَع حنَع رَمحعَم حنَع ُ ياَعح ن صلا ذاَع م نحب ه للا دحبَع اَنَ ث دَح َرَم ع بَأ نحبا اَنَ ث دَح

بَأ حنَع دو ج ن

نلا َعَم تحن ك َلاَق لَبَج نحب ذاَع م حنَع ل ئاَو

هحن م ا بي رَق ا محوَ ي تححَبحصَأَف رَفَس ف َم لَسَو هحيَلَع ه للا ى لَص ِ ب

َلاَق را نلا حنَع ي د عاَب يَو َة نَحْا ِ ل خحد ي لَمَع ب يح رحخَأ ه للا َلو سَر اَي تحل قَ ف ر سَن نحَََو

حنَع َِتحلَأَس حدَقَل

ه ن إَو مي ظَع

ا ِحؤ تَو َة ََ صلا مي ق تَو ا ئحيَش ه ب حك رحش ت َلَو َه للا د بحعَ ت هحيَلَع ه للا َر سَي حنَم ىَلَع ر سَيَل

َةاَك زل

َد صلاَو ة ن ج محو صلا حرَحْا باَوح بَأ ىَلَع َكُل دَأ َلَأ َلاَق ث َتحيَ بحلا ُج َََو َناَضَمَر مو صَتَو

َةَئي طَحْا ئ فحط ت ةَق

حلا حنَع حم ه بو ن ج ََاَجَتَ ت { َََت ث َلاَق لحي للا فحوَج حن م ل ج رلا ة َََصَو َرا نلا ءاَمحلا ئ فحط ي اَمَك

ع جاَضَم

دو مَعَو هِل ك رحمَحْا سحأَر ب َك رحخ أ َلَأ َلاَق ث } َنو لَمحعَ ي َغَلَ ب ََح

ه للا َلو سَر اَي ىَلَ ب تحل ق ه ماَنَس ةَوحر ذَو

َََ ِ َك رحخ أ َلَأ َلاَق ث داَه حْا ه ماَنَس ةَوحر ذَو ة ََ صلا دو مَعَو م ََحس حْا رحمَحْا سحأَر َلاَق

تحل ق هِل ك َك لَذ ك

َق ه ناَس ل ب َذَخَأَف ه للا بَن اَي ىَلَ ب

ه ب م لَكَتَ ن اَ ِ َنو ذَخاَؤ مَل ا ن إَو ه للا بَن اَي تحل قَ ف اَذَ َكحيَلَع ف ك َلا

ل إ حم ر خاَنَم ىَلَع حوَأ حم ه و ج و ىَلَع را نلا ف َسا نلا ُب كَي حلََو ذاَع م اَي َكُم أ َكحتَل كَث َلاَقَ ف

د ئاَصَح

اَق حم ه تَن سحلَأ

حي حَص نَسَح ثي دَح اَذَ ىَسي ع و بَأ َل

“Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Umar telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Mu'adz ash Shan'ani dari Ma'mar dari 'Ashim bin Abi an Najud dari Abu Wail dari Mu'adz bin Jabal dia berkata; Saya pernah bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam suatu perjalanan, suatu pagi aku berada dekat dari beliau, dan kami sedang bepergian, maka saya berkata; 'Wahai Rasulullah, kabarkanlah kepadaku tentang suatu amal yang akan memasukkanku kedalam surga dan menjauhkanku dari neraka.' Beliau menjawab: "Kamu telah menanyakan kepadaku tentang perkara yang besar, padahal sungguh ia

14

Ahmad Zubaidi, dkk., Menjawab Persoalan Fiqih Ibadah, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2001), cet. I, h. 115.


(30)

merupakan perkara ringan bagi orang yang telah Allah jadikan ringan baginya, yaitu: Kamu menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apa pun, kamu mendirikan Ṣalāt, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, berhaji ke Baitullah." Kemudian beliau bersabda: "Maukah kamu aku tunjukkan pada pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai dan sedekah akan memadamkan kesalahan sebagaimana air memadamkan api, dan Ṣalāt seorang laki-laki pada pertengahan malam." Kemudian beliau membaca; "Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Rabbnya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (16) Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (As-Sajdah: 16-17). Kemudian beliau bersabda: "Maukah kamu aku tunjukkan pokok perkara agama, tiang dan puncaknya?" Aku menjawab: "Ya, wahai Rasulullah." Beliau bersabda: "Pokok dari perkara agama adalah Islam, tiangnya adalah Ṣalāt, sedangkan puncaknya adalah jihad.' Kemudian beliau bersabda: "Maukah kamu aku kabarkan dengan sesuatu yang menguatkan itu semua?" Aku menjawab; 'Ya, wahai Nabi Allah.' Lalu beliau memegang lisannya, dan bersabda: "'Tahanlah (lidah) mu ini." Aku bertanya; 'Wahai Nabi Allah, (Apakah) sungguh kita akan diadzab disebabkan oleh perkataan yang kita ucapkan? ' Beliau menjawab; "(Celakalah kamu) ibumu kehilanganmu wahai Mu'adz, Tidaklah manusia itu disunggkurkan ke dalam neraka di atas muka atau hidung mereka melainkan karena hasil ucapan lisan mereka?" Abu Isa berkata; 'Ini hadits hasan shahih”.15

b) Ṣalāt adalah ibadah yang pertama diwajibkan oleh Allah swt atas hamba-Nya, dan perintah alāt diterima langsung tanpa perantara oleh Rasulullah saw. pada peristiwa Isra Mikraj-nya Nabi Muhammad saw. pada pertengahan tahun ke-12 dari kerasulan beliau.16 Ibadah pada waktu itu belum ada yang diwajibkan. Kalaupun ada menurut sejarah, hanyalah alāt dua rakaat pagi dan dua rakaat petang, itupun hukumnya sukarela, siapa yang mau alāt silahkan, dan siapa yang tidak alāt tidak mengapa.

15

Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan al-Tirmizi,(Beirut: Dar al-Fikr, 1994), juz IV, h. 240.

16

T.A. Lathief Rousydiy, Kaifiyat Salat Rasulullah s.a.w.,(Medan: Rimbow, 1985), cet. II, h. 1.


(31)

Barulah setelah peristiwa itu, alāt diwajibkan atas umat Nabi Muhammad saw.17 Dalam hal ini sebuah hadis yang berasal dari Anas menjelaskan:

قا ز رلا دحبَع اَنَ ث دَح ُي رو باَسحي نلا ََحََ نحب د مَ ُ اَنَ ث دَح

َلاَق ك لاَم نحب سَنَأ حنَع ِي رحُزلا حنَع رَمحعَم اَنَرَ بحخَأ

ََح حتَص ق ن ث َي سحََ تاَوَل صلا ه ب َي رحس أ َةَلح يَل َم لَسَو هحيَلَع ه للا ى لَص ِ ب نلا ىَلَع حتَض ر ف

حتَل ع ج

ي َل ه ن إ د مَ ُ اَي َي دو ن ث ا سحََ

ي سحََ سحمَحْا ذَ ِ َكَل ن إَو يَدَل لحوَقحلا ل دَب

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya An Naisaburi berkata; telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq berkata; telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dari Az Zuhri dari Anas bin Malik ia berkata;

"Di malam isra‟ Nabi saw. diberi kewajiban untuk melaksanakan Ṣalāt sebanyak lima puluh kali. Kemudian bilangan tersebut dikurangi hingga menjadi lima kali, beliau lalu diseru, "Wahai Muhammad, sesungguhnya ketentuan yang ada di sisi-Ku tidak bisa dirubah, maka engkau akan mendapatkan pahala lima puluh (waktu

Ṣalāt) dengan lima (waktu Ṣalāt) ini.18

c) Ṣalāt merupakan amal yang pertama kali dihisab pada hari kiamat kelak, rusak dan tidaknya amal perbuatan itu tergantung pada rusak dan tidaknya

alāt yang dikerjakan.19 Sabda Rasulullah saw.:

َِث دَح َلاَق ما ََ اَنَ ث دَح دا َْ نحب لحهَس اَنَ ث دَح ُي مَضحهَحْا ٍي لَع نحب رحصَن نحب ُي لَع اَنَ ث دَح

حنَع ةَداَتَ ق

ْاَص ا سي لَج ِ حرِسَي م ه للا تحل قَ ف َةَني دَمحلا تحم دَق َلاَق َةَصي بَق نحب ثحيَر ح حنَع نَسَحْا

تحسَلَجَف َلاَق ا

هَتحع ََ ثي دَ ِ ِحثِدَحَف ا ْاَص ا سي لَج َِق زحرَ ي حنَأ َه للا تحلَأَس ِي إ تحل قَ ف َةَرح يَر بَأ ََ إ

ه للا لو سَر حن م

تحع ََ َلاَقَ ف ه ب َِعَفح نَ ي حنَأ َه للا لَعَل َم لَسَو هحيَلَع ه للا ى لَص

ن إ لو قَ ي َم لَسَو هحيَلَع ه للا ى لَص ه للا َلو سَر

َو َحَحََأَو َحَلح فَأ حدَقَ ف حتَح لَص حن إَف ه ت َََص ه لَمَع حن م ةَماَي قحلا َمحوَ ي دحبَعحلا ه ب بَساَ َ اَم َل وَأ

حتَدَسَف حن إ

تَضي رَف حن م َصَقَ تح نا حن إَف َر سَخَو َباَخ حدَقَ ف

عُوَطَت حن م ي دحبَع ل حلَ او ر ظحنا لَجَو زَع ُب رلا َلاَق ءحيَش ه

َك لَذ ىَلَع ه لَمَع ر ئاَس نو كَي ث ةَضي رَفحلا حن م َصَقَ تح نا اَم اَ ِ َل مَك يَ ف

“Telah menceritakan kepada kami Ali bin Nashr bin Ali Al Jahdlami berkata; telah menceritakan kepada kami Sahl bin Hammad berkata; telah

17

Imam Ghazali, Kesilapan Ketika Sembahyang, (Kuala Lumpur: Kalam Ilham, 1993), cet. II, h. 21.

18

Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan al-Tirmizi, juz I, h. 254.

19Said bin ‘Ali bin Wahf al

-Qahtani, Ensiklopedi Salat Menurut al-Qur‟an dan al-Sunnah jilid I,(Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, 2006), cet. 1, h. 171.


(32)

menceritakan kepada kami Hammam berkata; telah menceritakan kepadaku Qatadah dari Al Hasan dari Huraits bin Qabishah ia berkata; "Aku datang ke Madinah, lalu aku berdo`a, "Ya Allah, mudahkanlah aku untuk mendapat teman shalih." Huraits bin Qabishah berkata; "Lalu aku berteman dengan Abu Hurairah, aku kemudian berkata kepadanya, "Sesungguhnya aku telah meminta kepada Allah agar memberiku rizki seorang teman yang shalih, maka bacakanlah kepadaku hadits yang pernah engkau dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, semoga dengannya Allah memberiku manfaat." Maka Abu Hurairah pun berkata; "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Pada hari kiamat pertama kali yang akan Allah hisab atas amalan seorang hamba adalah Ṣalātnya, jika Ṣalātnya baik maka ia akan beruntung dan selamat, jika Ṣalātnya rusak maka ia akan rugi dan tidak beruntung. Jika pada amalan fardlunya ada yang kurang maka Rabb 'azza wajalla berfirman: "Periksalah, apakah hamba-Ku mempunyai ibadah sunnah yang bisa menyempurnakan ibadah wajibnya yang kurang?" lalu setiap amal akan diperlakukan seperti itu."20

Hadis ini menunjukan bahwa kalah menangya seorang hamba di hari kiamat nanti, masuk surga atau masuk neraka ditentukan pertama kali oleh

alāt. Demikian penting kedudukan alāt itu.

d) Ṣalāt juga merupakan wasiat Rasulullah saw. yang terakhir yang ditujukan kepada seluruh umatnya ketika beliau akan menghembuskan nafasnya yang terakhir, berpisah dengan dunia ini. Ṣalāt merupakan garis pembatas antara Islam dan Kafir, dalam arti orang yang meninggalkan alāt dengan mengingkari ke-farduan-nya akan menjadi kafir.21 Dalam hadis Nabi saw ditegaskan:

اَنَ ث دَح ُي عَمحس محلا َنا سَغ و بَأ اَنَ ث دَح

َع ََ ه نَأ حرَ بُزلا و بَأ يَرَ بحخَأ َلاَق جحيَر ج نحبا حنَع دَلحََ نحب كا ح ضلا

َ بَو ل ج رلا َحيَ ب لو قَ ي َم لَسَو هحيَلَع ه للا ى لَص ه للا َلو سَر تحع ََ لو قَ ي ه للا دحبَع َنحب َر باَج

كحرِشلا َحي

كحرَ ت رحف كحلاَو

ة ََ صلا

20

Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan al-Tirmizi, juz I, h. 421-422. 21


(33)

“Telah menceritakan kepada kami Abu Ghassan al-Misma'i telah menceritakan kepada kami adl-Dlahhak bin Makhlad dari Ibnu Juraij dia berkata, telah mengabarkan kepadaku Abu az-Zubair bahwa dia mendengar Jabir bin Abdullah berkata, "Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Yang memisahkan antara seorang laki-laki dengan kesyirikan dan kekufuan adalah meninggalkan Ṣalāt."22

e) Ṣalāt merupakan benteng terakhir dari agama, kalau alāt lenyap, lenyap pula agama seluruhnya.23 Sabda Rasulullah saw.:

دَح :َلاَق ،ُي زَوحرَمحلا َمي اَرح ب إ نحب قاَححس إ اَنَ ث دَح :َلاَق ، ََ ث محلا نحب ِي لَع نحب دَحَْأ اَنَرَ بحخَأ

نحب دي لَوحلا اَنَ ث

اَه محلا بَأ نحب ه للا دحيَ ب ع نحب َلي عاَحَ إ نحب زي زَعحلا دحبَع َِث دَح :َلاَق ، م لحس م

نحب ناَمحيَل س َِث دَح :َلاَق ، ر ج

بي بَح

حر ع م ََحس حْا ىَر ع نَضَقَ تحن تَل " :َم لَسَو هحيَلَع ه للا ى لَص ه للا لو سَر َلاَق :َلاَق َةَماَم أ بَأ حنَع

ةَو

لَت ت لا ب سا نلا َث بَشَت ، ةَوحر ع حتَض ق تح نا اَم ل كَف ، ةَوحر ع

"ةَصلا : ن ر خآَو ، محك حْا :ا ضحقَ ن ن ِ وَأَف ،اَهي

“Ahmad bin Ali bin al-Mutsanna memberitahukan kepada kami, ia berkata: Ishaq bin Ibrahim Muruziy menceritakan kepada kami, ia berkata: al-Walid bin Muslim menceritakan kepada kami, ia berkata: Abdul Aziz bin Ismail bin Ubaidillah bin Abi al-Muhajir mengatakan kepada saya, ia berkata: Sulaiman bin Habib mengatakan kepada kami dari Abi Umamah berkata: Rasulullah saw. bersabda: Sungguh akan runtuhlah tali Islam satu demi satu, maka setiap kali putus tali yang satu manusia akan bergantung (berpegang) dengan tali berikutnya. Maka yang pertama runtuh ialah hukum Islam dan yang terakhir ialah Ṣalāt”.

Hadis ini mengungkapkan, bahwa yang pertama kali akan hilang dan runtuh dari ajaran Islam ialah hukum dan peraturannya. Banyak orang yang mengaku muslim dan mukmin, akan tetapi tidak mematuhi dan memperdulikan hukum dan peraturan Islam. Muhammad Abduh pernah menjelaskan bahwa tidak ada yang tinggal dari al-Qur’an itu kecuali hurufnya, dan tidak ada yang tinggal dari Islam itu kecuali namanya.

22

Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj, Ṣahīh Muslim, juz 1,h. 347. 23

Dewan Hisbah Persatuan Islam, Risalah Salat, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), cet.1, h. 75.


(34)

Bahkan lebih dari itu lagi, banyak orang yang mengaku beragama Islam, tetapi mencaci dan merendahkan ajaran agamanya.24

Runtuhnya ajaran Islam yang terakhir ialah alāt. Maksudnya apabila perintah alāt sudah tidak dihiraukan lagi, apabila suara azan yang merupakan panggilan untuk menunaikan ibadah alāt sudah tidak lagi menggugah perasaan, tidak menarik perhatian lagi dari umat Islam sendiri. Maka itu artinya Islam sudah terkubur dari muka bumi.

Demikianlah pentingnya kedudukan alāt itu menurut ajaran Islam, sebab itu Allah swt memperingatkan umat Islam berulang-ulang dalam berpuluh-puluh ayat untuk menegakkan alāt, baik di rumah maupun dalam perjalanan, baik waktu aman atau dalam peperangan, baik waktu sehat maupun sakit. Intinya selama hayat masih dikandung badan, alāt wajib ditegakkan menurut kemampuan.

f) Ṣalāt merupakan ibadah yang menjadi jaminan untuk masuk surga.25 Dalam hal ini, Rasulullah saw. bersabda:

نَأ زي حرَ ُ نحبا حنَع َنا بَح نحب ََحََ نحب د مَ ُ حنَع دي عَس نحب ََحََ حنَع ك لاَم حنَع َِث دَحو

َِب حن م َ جَر

ا َلاَقَ ف ب جاَو َرح ت وحلا ن إ لو قَ ي د مَ ُ اَبَأ ََك ي ما شلا ب َ جَر َع ََ ي جَدحخ محلا ىَعحد ي َةَناَن ك

ُي جَدحخ محل

َأَف د جحسَمحلا ََ إ ح ئاَر َو َو هَل تحضَرَ تحعاَف ت ما صلا نحب َةَداَب ع ََ إ تحح رَ ف

د مَ ُ و بَأ َلاَق ي ذ لا ب ه تحرَ بحخ

تاَوَلَص سحََ لو قَ ي َم لَسَو هحيَلَع ه للا ى لَص ه للا َلو سَر تحع ََ د مَ ُ و بَأ َبَذَك ةَداَب ع َلاَقَ ف

ه للا ن هَ بَتَك

م حعِيَض ي حََ ن ِ َءاَج حنَمَف داَب عحلا ىَلَع لَجَو زَع

حنَأ دحهَع ه للا َدحن ع هَل َناَك ن هِقَ ِ ا فاَفحخ تحسا ا ئحيَش ن هح ن

َخحدَأ َءاَش حن إَو هَب ذَع َءاَش حن إ دحهَع ه للا َدحن ع هَل َسحيَلَ ف ن ِ تحأَي حََ حنَمَو َة نَحْا هَل خحد ي

.َة نَحْا هَل

“Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Yahya bin Sa'id dari Muhammad bin Yahya bin Habban dari Ibnu Muhairiz, bahwa ada seorang laki-laki Bani Kinanah yang bernama Al-Mukhdaji, mendengar seorang laki-laki-laki-laki yang

24

Imam Ghazali, Kesilapan ketika Sembahyang, h. 27. 25


(35)

diberi julukan Abu Muhammad berkata di wilayah Syam, "Witir itu wajib." Al-Mukhdaji berkata; "Aku kemudian menemui Ubadah bin Shamit, aku mencegatnya saat ia berangkat ke masjid. Aku lalu kabarkan kepadanya dengan apa yang dikatakan oleh Abu Muhammad. Ubadah pun berkata, "Abu Muhammad telah berdusta. Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Lima Ṣalāt Allah Azza Wa Jalla telah mewajibkannya kepada-Nya. Barangsiapa melaksanakan dan tidak meninggalkan satupun darinya karena meremehkan kewajiban, niscaya baginya janji Allah untuk memasukkannya ke surga. Barangsiapa tidak melakukannya, niscaya dia tidak mendapatkan janji Allah (untuk memasukkannya ke surga) . Jika berkehendak Allah akan menyiksanya, dan jika berkehendak maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga.”26

g) Ṣalāt adalah syiar agama Islam yang utama dan merupakan tali penghubung antara hamba dengan Tuhannya. Ṣalāt adalah ibadah yang menunjukan keimanan dan ke-Islaman seseorang dan merupakan ibadah yang meninggalkan kesan dalam jiwa manusia, karena itulah agama meninggikan derajat dan membesarkan martabat. Ṣalāt itu merupakan ibadah yang terbesar yang dapat mendekatkan manusia kepada Allah swt.27 Sebab itu Rasulallah saw bersabda:

للا دحبَع اَنَ ث دَح َلاَق دا وَس نحب و رحمَعَو فو رحعَم نحب نو راَ اَنَ ث دَحو

حنَع ث راَحْا نحب و رحمَع حنَع بحَو نحب ه

ح يَر بَأ حنَع ثِدَ َ َناَوحكَذ ح لاَص اَبَأ َع ََ ه نَأ رحكَب بَأ ََحوَم ٍيَ َ حنَع َة ي زَغ نحب َةَراَم ع

ه للا َلو سَر نَأ َةَر

اَم بَرح قَأ َلاَق َم لَسَو هحيَلَع ه للا ى لَص

.َءاَعُدلا او ر ثحكَأَف د جاَس َو َو هِبَر حن م دحبَعحلا نو كَي

“Dan telah menceritakan kepada kami Harun bin Ma'ruf dan Amru bin Sawwad keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahb dari Amru bin al-Harits dari Umarah bin Ghaziyyah dari Sumai, maula Abu Bakar bahwasanya dia mendengar Abu Shalih Dzakwan bercerita dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda, "Keadaan seorang hamba yang paling dekat dari Rabbnya adalah ketika dia sujud, maka perbanyaklah doa.”28

26

Abu Abdullah bin Malik bin Anas, Al-Muwaṭṭa‟, (Beirut: Dar al-Jil), h. 114. 27

Imam Ghazali, Kesilapan ketika Sembahyang, h. 30. 28


(36)

Sujud merupakan posisi yang paling dekat antara seorang hamba dengan Rabb-nya dan posisi yang paling dicintai Allah swt. Siapa saja yang memperbanyak sujud, ia akan semakin dekat dengan Allah swt. Karena, sujud merupakan muara ibadah dan kerendahan. Hanya milik Allah-lah puncak kemuliaan dan milik-Nya kemuliaan yang tidak terukur. Semakin seseorang menyelami sifat-sifatNya, semakin dekat ia dengan Allah swt. 2. Pengertian Ṣalāt Arba‘ n

Arba„īn atau Arba„ūn dalam bahasa arab berarti empat puluh. Yang dimaksud dengan Ṣalāt Arba„īn adalah melakukan alāt empat puluh waktu di Masjid al-Nabawī secara berturut-turut dan tidak ketinggalan takbirah al-ihrām

bersama imam29. Para jamaah haji meyakini bahwa amalan ini akan membuat mereka terbebas dari neraka dan kemunafikan. Karenanya jamaah haji Indonesia dan banyak negara lain diprogramkan untuk menginap di Madīnah al-Munawwarah selama 8 hari (minimal) agar bisa menjalankan alātarba„īn.

Dasar keyakinan ini adalah sebuah hadis dari Anas bin Malik bahwa Nabi saw. bersabda:

حلا َن م ةاََََو ، را نلا َن م ةَءاَرَ ب هَل حتَب ت ك ، ةََص ه تو فَ ي َل ، ةََص َي عَبحرَأ ي د جحسَم ف ى لَص حنَم

، باَذَع

قاَفِ نلا َن م َئ رَبَو

.

“Barang siapa Ṣalāt di masjidku empat puluh Ṣalāt tanpa ketinggalan sekalipun, dicatatkan baginya kebebasan dari neraka, keselamatan dari siksaan

dan ia bebas dari kemunafikan.” (HR. Ahmad)

29

Sumuran Harahap, Kamus Istilah Haji & Umrah, (Jakarta: Mitra Abadi Press), Jld 1, h, 689.


(37)

B.

Alasan Melaksanakan

Ṣalāt

Arba‘ n

Ada sejumlah hadis yang menjelaskan keistimewaan Masjid al-Nabawī. Dalam sebuah hadis disebutkan larangan untuk melakukan perjalanan jauh selain ketiga masjid, yaitu Masjid al-Harām (Makkah), Masjid al-Nabawī(al-Madīnah), dan Masjid al-Aq ā (Palestina). Sabda Rasulullah saw.:

حنَع

بَأ

َةَرح يَر

َي ضَر

ه للا

هحنَع

حنَع

ِ ب نلا

ى لَص

ه للا

هحيَلَع

َم لَسَو

َلاَق

َل

ُدَش ت

لاَحِرلا

ل إ

ََ إ

ةَث َََث

َد جاَسَم

د جحسَمحلا

ماَرَحْا

د جحسَمَو

لو س رلا

ى لَص

ه للا

هحيَلَع

َم لَسَو

د جحسَمَو

ىَصحقَحْا

Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah ditekankan untuk berziarah kecuali untuk mengunjungi tiga masjid, Masjidil Haram, Masjid Rasul shallallahu 'alaihi wasallam dan Masjidil Aqsha".(HR. al-Bukhari)30

Orang yang alāt di Rawḍah Masjid al-Nabawī itu sama dengan alāt di salah satu taman surga. Rasulullah saw. bersabda:

اَم

َحيَ ب

ي َرحن م

تحيَ بَو

ةَضحوَر

حن م

ضاَي ر

ة نَحْا

"Tempat antara mimbarku dan rumahku adalah satu taman dari taman-taman surga." (HR. Muslim)31

حلا َن م ةاََََو ، را نلا َن م ةَءاَرَ ب هَل حتَب ت ك ، ةََص ه تو فَ ي َل ، ةََص َي عَبحرَأ ي د جحسَم ف ى لَص حنَم

، باَذَع

قاَفِ نلا َن م َئ رَبَو

.

“Barang siapa Ṣalāt di masjidku empat puluh Ṣalāt tanpa ketinggalan sekalipun, dicatatkan baginya kebebasan dari neraka, keselamatan dari siksaan

dan ia bebas dari kemunafikan.” (HR. Ahmad).32

30

Muhammad ibn Ismaīl Abū‘Abdillah al-Bukhāri, al-Jāmi’ al-Sahīh, (Dar Tūq al-Najāh, 1422 H), juz, 2, h. 60.

31


(38)

Pahala orang yang alāt di Masjid al-Nabawī sama dengan orang yang alāt seribu kali di Masjid lainnya. Beliau bersabda:

َماَرَْا َد جحسَما ل إ ، اَو س اَمي ف ةَََص فحلَأ حن م رح يَخ اَذَ ي د جحسَم ف ةَََص

“Satu kali shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu shalat di masjid lain, kecuali Masjidil Haram”. (HR. al-Bukhari).33

Alasan-alasan inilah yang menunjukkan bahwa berziarah ke Masjid

al-Nabawī memiliki arti sangat penting. Jika alāt sekali di Masjid al-Nabawī itu sama dengan alāt seribu kali di masjid lain maka alāt arba„īn ( alāt 40 kali secara berjamaah di Masjid Nabawī) itu bisa disamakan dengan Ṣalāt 40.000 kali di masjid lain atau selama 24 tahun. Mengingat pahala yang sangat besar inilah Rasulullah saw. menganjurkan umatnya untuk melakukan alāt arba„īn di Masjidnya. Orang yang ingin mengerjakannya hanya membutuhkan waktu 8 hari saja.34

Dengan demikian, melaksanakan jamaah alāt arba„īn di Masjid

al-Nabawī bagi orang yang telah selesai menunaikan rangkaian amalan ibadah haji, atau sebelum melaksanakan ibadah haji adalah termasuk ibadah yang sangat mulia, pahalanya sebagaimana disebutkan, dijauhkan dari api neraka dan sifat kemunafikan, akan tetapi ini bukanlah sebagai syarat maupun rukun haji, melainkan menjadi rentetan kegiatan dari jamaah haji semisal dari Indonesia atapun dari Negara lain.

32Abū ‘Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal,

Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, (Beirut: Muasasah al-Risālah, 2001), juz, 20, h. 40.

33

Muhammad ibn Ismaīl Abū ‘Abdillah al-Bukhāri, al-Jāmi‟ al-Ṣahīh, juz, 2, h. 60.

34‘Ablah Muhammad al

-kahlawi, Buku Induk Haji dan Umrah Untuk Wanita,


(39)

Ṣalāt Arba„īn adalah sebenarnya alāt yang biasa dilakukan oleh umat Islam pada umumnya, yaitu alāt fardu yang biasa dilakukan dalam sehari-semalam sebanyak 5 (lima) waktu. Hanya saja di sini, para jamaah haji dituntut untuk melaksanakannya secara berjamaah di Masjid al-Nabawī sebanyak 40 waktu tanpa terputus satu kalipun. Maka ketika salah satunya ditinggalkan, gugurlah pahala alāt arba„īnnya. Maka, para jamaah haji yang niatnya sudah bulat dan ikhlas untuk beribadah kepada Allah swt, mereka akan merasa menyesal sekali (jika tidak dikatakan berdosa) bila ketinggalan dalam alāt arba„īn ini. Karena pahala yang akan mereka dapat sungguh sangat besar sekali.

Sesungguhnya alāt berjamaah merupakan suatu perbuatan yang dipenuhi dengan pahala. Sejak kita keluar dari rumah menuju masjid sampai selesai alāt dan kembali kerumah, maka para malaikatpun sibuk untuk mencatat pahalanya. Melaksanakan alāt berjamaah merupakan perbuatan seorang hamba yang hanya mengharap akan mendapatkan keutamaan dari Allah swt, dan suatu perbuatan yang menghapus dosa serta mengangkat beberapa derajat kita di sisi Allah swt.35

Mendudukkan ibadah alāt diniatkan untuk mencari pahala tidaklah tepat, salah satu dari tujuan alāt adalah untuk mengingat Allah swt dan mencari keridlaan-Nya sebagaimana dalam firman Allah swt:

َنَأ ل إ َهَل إ ل ه للا اَنَأ ِ ن إ

ل صلا م قَأَو يحد بحعاَف ا

و

ُ ي رحك ذ ل َة

٢٤

َ

35

Abdullah bin Jarullah, Keutamaan Salat Berjamaah, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995), cet. 1, h. 30.


(40)

“ Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”.(Q.S. Thaaha;14)36

ُ َي مَلاَعحلا ِبَر ه ل ل ِاََََو َياَيحََُو ي ك س نَو ََِص ن إ حل ق

٢٦١

َ

“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”.(Q.S. al-An’am;162)37

36

Khādim al-Harāmain al-Syarīfain. Al-Qur‟an dan Terjemahannya. (al-Madīnah al

-Munawwarah: Mujamma’ Khādim al-Harāmain al-Syarīfain al-Mālik Fahd li ṭibā’at al-Muṣḥaf

al-Syarīf:1971).

37


(41)

30

A.

Teks Hadis dan Terjemahannya

Hadis mengenai alātarba„īn ialah hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik yang berbunyi;

Redaksi dalam kitab musnad Ahmad ibn Hanbal :

اَنَ ث دَح

مَكَحْا

نحب

ىَسو م

َلاَق

و بَأ

دحبَع

نَحْ رلا

دحبَع

ه للا

ه تحع َََو

اَنَأ

حن م

مَكَحْا

نحب

ىَسو م

اَنَ ث دَح

دحبَع

نَحْ رلا

نحب

بَأ

لاَجِرلا

نَع

طحيَ ب ن

نحب

َرَم ع

حنَع

سَنَأ

نحب

ك لاَم

حنَع

ِ ب نلا

ى لَص

ه للا

هحيَلَع

َم لَسَو

ه نَأ

َلاَق

حنَم

ى لَص

ف

ي د جحسَم

َي عَبحرَأ

ة َََص

َل

ه تو فَ ي

ة َََص

حتَب ت ك

هَل

ةَءاَرَ ب

حن م

را نلا

ةاََََو

حن م

باَذَعحلا

َئ رَبَو

حن م

قاَفِ نلا

“Telah menceritakan pada kami Hakam bin Musa, berkata Abu Abdurrahman Abdullah: Aku mendengar dari Hakam bin Musa (dimana) telah menceritakan pada kami Abdurrahman bin Abi al-Rijal dari Nubaith bin Umar dari Anas bin Malik dan Nabi saw bahwasannya beliau bersabda: “Barangsiapa melaksanakan alāt (sebanyak) 40 kali alāt di masjidku (dengan) tidak tertinggal satu pun, dicatat baginya terhindar dari api neraka, selamat dari siksa, dan terhindar dari kemunafikan” ( H.R. Ahmad)1

Redaksi hadis dalam kitab al-Mu‟jam al-Awsaṭ al-Tabarani:

نحب مَكَحْا اَنَ ث :َلاَق ُ ِي دَمحلا ٍي لَع نحب د مَ ُ اَنَ ث دَح

طحيَ ب ن حنَع ، لاَجِرلا بَأ نحب نَحْ رلا دحبَع اَنَ ث :َلاَق ىَسو م

َص ه للا لو سَر َلاَق :َلاَق ك لاَم نحب سَنَأ حنَع ،َرَم ع نحب

:َم لَسَو هحيَلَع ها ى ل

َي عَبحرَأ ي د جحسَم ف ى لَص حنَم

للا َبَتَك ، ة َََص ه تو فَ ي َل ة َََص

باَذَعحلا َن م ةاََََو ، را نلا َن م ةَءاَرَ ب هَل ه

1

Abū ‘Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, Musnad al-Imām Ahmad ibn Hanbal,


(42)

“Telah menceritakan pada kami Muhammad bin „Ali al-Madini, berkata

Muhammad bin „Ali: telah menceritakan pada kami Hakam bin Musa, berkata

Hakam bin Musa: telah menceritakan pada kami Abdurrahman bin Abi al-Rijal dari Nubaith bin Umar dari Anas bin Malik dan Nabi saw bahwasanya beliau bersabda:

“Barangsiapa melaksanakan alāt (sebanyak) 40 kali di masjidku (dengan) tidak tertinggal satu pun, dicatat baginya terhindar dari api neraka, selamat dari siksa”

(H.R. al-Tabrani)2

B.

Kegiatan

Takhr

j

Hadis

Sebelum melakukan kegiatan takhrīj, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu apa arti kata takhrīj. Takhrīj berasal dari kata kharaja (ج خ) yang berarti mengeluarkan.3 Dalam kamus al-Munawwir lafaz ج خ : ج خا : ج تخا : ج تسا bermakna لخ ا ض (lawannya memasukan).4 Pada kitab usūl al-Takhrīj wa Dirāsat al

-Asānid kata takhrīj diartikan dengan : pertama, Istinbaṭberarti mengeluarkan. Kedua, Tadrīb bermakna meneliti atau melatih. Ketiga, Tawjīh artinya memperhadapkan.5

Adapun menurut istilah Takhrīj adalah:

َو

لا

ِد

َل َل

ة

َع َل

َم ى

حو ض

ع

َحْا

د حي

ث

ف

َم

َص

دا

ر

َحلا

حص ل

ي ة

لا

ت

َا

حخ َر

َج حت

ه ب

َس ن

د

ث

َ ب َي

نا

َم حر

َ ت َب حت

ه

ع حن

َد

َحْا

َجا

ة

menunjukan posisi hadis dalam sumber-sumber asli yang di keluarkan dengan sanadnya. Kemudian menjelaskan kedudukan hadis ketika dibutuhkan”.

Di dalam men-takhrīj hadis, seorang peneliti harus juga mengetahui metode-metode dalam men-takhrījhadis. Metode-metode tersebut adalah:

1. Men-takhrījhadis melalui periwayat pertama. 2. Men-takhrījhadis melalui awal matan

2

Sulaiman ibn Ahmad al- Tabrani, al-Mu‟jam al-Awsaṭ, (Mesir: Dar al-Qāhirah), juz V, h. 325.

3

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), h. 155. 4

A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya Agung : Pustaka Progresif, 1997), h. 330.

5

Mahmud al-Tahhan, Usūl at-Takhrīj wa al-Dirāsah al-Asānid, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, 1991), h. 8.


(43)

3. Men-takhrījhadis melalui kata-kata yang ada dalam matan 4. Men-takhrījhadis melalui tema.

5. Men-takhrījhadis melalui status hadis.

1. Penelusuran Hadis Melalui Matan

Penulis berusaha menelusuri hadis melalui kata-kata yang ada dalam matan hadis dengan menggunakan kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfāẓ al-Hadī , namun penulis tidak menemukan informasinya, begitu juga penulis mencari pada kitab

Tuhfah al-Asrāf bi Ma‟rifah al-Atrāf, Mausū„ah al-Atrāf, Miftah al-Kunūz, al-Jāmi‟ al-Ṣagīr min Hadī al-Basyīr al-Nażīr, hal yang sama juga penulis tidak mendapatkan informasinya. Lalu penulis mencarinya dengan menggunakan kitab Kanz al-„Ummāl

yang ditulis oleh Ali al-Mutqi bin Hisyam al-Din al-Hindi ditemukan keterangan di kitab Musnad Ahmad ibn Hanbal.

Redaksi dalam kitab Kanz al-„Ummāl pada bab Faḍāil al-madīnah wa Mā Hawlaha.

َم "

حن

َص ل

ف ى

َم

حس

ج

د

حي

َأ حر َب

ع

َحي

َص

ََ

ة

َل

َ ي ف

حو ت ه

َص

ََ

ة

ك ت

َب

حت

َل ه

َ ب َر

َءا ة

م

َن

نلا

را

َو

َََ

ةا

م

َن

حلا َع

َذ

با

َو َب

ر

َئ

م

َن

ِ نلا

َف

قا

" .

)

مح

-

سنأ نع

6

(

6‘Ala al

-Din al-Muttaqin Ibn Hisyam al-Din al-Hindi, Kanz al-„Ummāl Fi Sunan al-Aqwāl wa al-Af‟āl,( Beirut: Mu’assasah al-Risalah,1989),juz 12,h. 259.


(44)

Berikut redaksi dalam kitab musnad Ahmad ibn Hanbal :

اَنَ ث دَح

مَكَحْا

نحب

ىَسو م

َلاَق

و بَأ

دحبَع

نَحْ رلا

دحبَع

ه للا

ه تحع َََو

اَنَأ

حن م

مَكَحْا

نحب

ىَسو م

اَنَ ث دَح

دحبَع

نَحْ رلا

نحب

بَأ

لاَجِرلا

نَع

طحيَ ب ن

نحب

َرَم ع

حنَع

سَنَأ

نحب

ك لاَم

حنَع

ِ ب نلا

ى لَص

ه للا

هحيَلَع

َم لَسَو

ه نَأ

َلاَق

حنَم

ى لَص

ف

ي د جحسَم

َي عَبحرَأ

ة َََص

َل

ه تو فَ ي

ة َََص

حتَب ت ك

هَل

ةَءاَرَ ب

حن م

را نلا

ةاََََو

حن م

باَذَعحلا

َئ رَبَو

حن م

قاَفِ نلا

C.

Kegiatan Penelitian Hadis

1. Penelitian Sanad Hadis a. I’tibar Sanad

I‟tibar sanad penelusuran atas jalur-jalur periwayatan sebuah hadis untuk mengetahui ada atau tidaknya persamaan riwayat dengan jalur lain. Dalam I‟tibar ini pula, akan diketahui apakah hadis yang diteliti memiliki syawāhid (hadis yang periwayat di tingkat sahabat Nabi lebih dari seorang) atau mutābi‟ (hadis yang diriwayatkan lebih dari satu orang dan terletak bukan pada tingkat sahabat) dari jalur lain. I‟tibar sanad akan jelas terlihat pada skema sanad yang tertera pada berikut ini. Namun di sini akan diuraikan terlebih dahulu keadaan sanad hadis tersebut secara rinci.

Melalui penelitian yang dilakukan dengan menelusuri kitab-kitab induk hadis, nampak bahwa hadis tentang “Ṣalāt Arba„īn di Masjid al-Nabawī al-Madīnah”

hanya memiliki satu jalur riwayat yang berakhir pada sahabat Anas ibn Malik. Berarti hadis ini tidak memiliki syawāhid karena hanya diriwayatkan oleh satu orang sahabat.


(45)

Namun hadis ini memilikimutābi‟ pada thabaqāt kelima setelah al-Hakam ibn Musa. Hal ini ditunjukkan sebagaimana yang tertera pada skema.

Skema Hadis

ق

َلا

َص ه للا لو سَر

:َم لَسَو هحيَلَع ها ى ل

حنَم

ى لَص

ف

ي د جحسَم

َي عَبحرَأ

ة َََص

َل

ه تو فَ ي

ة َََص

حتَب ت ك

هَل

ةَءاَرَ ب

حن م

را نلا

ةاََََو

حن م

باَذَعحلا

َئ رَبَو

حن م

قاَفِ نلا

كلام نب سنأ

رمع نب طيبن

لاجرلا بأ نب نْرلا دبع

ىسوم نب مكْا

لبنح نب دْأ

ينيدملا يلع نب دمحم


(1)

‘Ali al-Madani, al-Hakam ibn Musa, ‘Abdurrahman ibn Aby al-Rijal, Nubaith ibn Umar, Anas ibn Malik dan sampai kepada Nabi s.a.w. terdapat dua orang yang tidak diketahui keadaannya yaitu; Muhammad ibn ‘Ali al-Madani dan Nubaith ibn Umar. Dari sini pula penulis mengambil kesimpulan yang sama terhadap sanad hadis ini yaitu sanad hadis ini daif.

Kedua, dari segi matan penulis memberi kesimpulan pada hadis tersebut bahwa matan hadis ini tidak memenuhi syarat-syarat kesahihan yang ada pada matan, maka dari itu matan hadis ini juga berkulitas daif. Al-Hasil hadis yang menerangkan tentang salātarba„īn di Masjid al-Nabawīal-Madīnah tidak bisa dijadikan hujjah.

B.

SARAN

Di dalam menjalankan suatu amalan ibadah bagi umat Islam seyogyanya berdasarkan dalil-dalil yang sudah ter-Nash, baik di dalam al-Qur’an maupun al -Sunnah/al-Hadis. Hadis sebagai sumber hukum ke-dua setelah al-Qur’an, tentu mempunyai peran yang sangat signifikan. Oleh karena hadis di dalam proses perjalanannya mengalami berbagai macam kondisi, yang terkadang juga tidak sedikit yang mempunyai kepentingan pribadi ataupun kelompok dengan menisbatkan kepada hadis Nabi, guna memperoleh kepentingannya itu. Maka oleh karena itu, perlu diadakan pengkajian atau penelitian hadis agar dapat diketahui apakah hadis-hadis tersebut bernilai sahih dan berasal dari Rasulallah s.a.w. atau sebaliknya.


(2)

Penelitian ini jauh dari kata sempurna, karena penulis menyadari betul akan kelemahan yang ada pada diri penulis. Maka penulis berdoa agar kiranya tulisan ini bisa menjadi manfaat untuk diri sendiri juga kepada khalayak yang cinta akan ilmu pengetahuan. Penulis juga berharap, kepada para pembaca untuk sudi kiranya memberikan saran dan masukan serta ilmunya, guna pencapaian hasil yang lebih baik lagi.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah bin Jarullah. Keutamaan Salat Berjamaah, Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995. Abdurrajiq, Mahir Manshur. Mu‟jizat Salat Berjamaah, Yogyakarta: Mitra Pustaka,

2007.

Abū Isa Muhammad bin Isa bin Saurah. Sunan al-Tirmizi, Beirut: Dar al-Fikr, 1994. Abū Abdullah bin Malik bin Anas. Al-Muwaṭṭa‟,Beirut: Dar al-Jil.

Abū Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal. Musnad al-Imām Ahmad ibn Hanbal, Beirut: Muasasah al-Risalah, 2001.

al-Adabi, Ṣalahuddin bin Ahmad. Manhaj al-Naqd al-Matan, Beirut: Dar Afaq al-Jadidah, 1993.

Adnan Amal, Taufik. Islam dan Tantangan Modernitas Studi Atas Pemikiran Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1995.

al-‘Asqalāni, Ibnu Hajar. Tahżīb al-Tahżīb, al-Hindi: Dāirah al-Ma‘ārif al-Niẓamiyah, 1326 H.

---. Nuẓatu al-Nażar Syarh Nukhbah al-Fikr, Semarang: Maktabah al-Munawar. al-Albani, Abu Abdurrahman Muhammad Naṣiruddin. Silsilah al-Ahadī al-Ḍa„ifah,

Riyadh: Dar al-Ma’arif, 1412 /1992a.

---. Ḍa„if al-Targīb wa al-Tarhīb, Riyadh: Dar al-Ma’arif, 1412 /1992b.

Amin, Kamarudin. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, Jakarta: Hikmah, 2009.

Al-‘Aẓami, M.Musṭafa. Hadī Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Penerjemah: Prof. H. Ali Mustafa Yaqub, M.A. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.

Al-Bahṡul Amin fī Hadīṡ al-Arba‘īn, diterbitkan dalam Majalah al-Jāmi‘ah al-Islamiyyah edisi 41.


(4)

al-Bukhāri, Muhammad ibn Ismaīl Abū ‘Abdillah. al-Jāmi‟ al-Ṣahīh, Dar Tūq al -Najāh, 1422 H.

Dewan Hisbah Persatuan Islam. Risalah Salat, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000.

Ensiklopedi Islam. Jakarta: Pt. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.

Harahap, Sumuran. Kamus Istilah Haji & Umrah, Jakarta: Mitra Abadi Press. Al-Hafiẓ‘Imāduddin Abul Fidā’ Ismā‘il bin Kaṡir al-Qurasyi ad-Dimasyqi. Tafsir

al-Qur‟an al-Aẓim, Beirut: Dar at-Turaṡ al-‘Arabi.

al-Haiṡami, Abu al-Hasan Nur al-Din ‘Ali Ibn Abi Bakar Ibn Sulaiman. Majma‟ al

-Zawāid wa Manba‟ al-Fawāid, Kairo: Maktabah al-Qudsiy, 1414 H/ 1994 M.

al-Hindi, ‘Ala al-Din al-Muttaqin Ibn Hisyam al-Din. Kanz al-„Ummāl Fi Sunan al

-Aqwāl wa al-Af‟āl,Beirut: Mu’assasah al-Risalah,1989.

Ibnu Hibban. “al- iqāt”, Dairah al-Ma’arif al-‘Utsmaniyah, 1393/1973. Ibnu Katsir. al-Bidayah wa al-Nihayah. Dār ihyā al-Turaṡ, 1408/1988. Ibn Manzur.Lisān al-„Arab,Beirut: Dar Beirut, 1968.

Imam Ghazali. Kesilapan ketika Sembahyang, Kuala Lumpur: Kalam Ilham, 1993. Ismail, Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992. al-Kahlawi, ‘Ablah Muhammad. Buku Induk Haji dan Umrah Untuk Wanita,

Penerjemah: Muhammad Zaenal Arifin, Jakarta: Zaman, 2009.

al-Kaf, Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim. al-Taqrīrat al-Sadīdah fi al

-Masāil al-Mufīdah, Surabaya: Dar al-‘Ulum al-Islamiyah, 2004. al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj. U ūl al-Hadī , Beirut: Dar al-Fikr, 1989.

Khādim al-Harāmain asy-Syarīfain. Al-Qur‟an dan Terjemahannya. al-Madīnah al -Munawwarah:Mujamma’ Khādim al-Harāmain asy-Syarīfain al-Mālik Fahd li ṭibā’at al-Muṣḥaf asy-Syarīf:1971.

Ma’luf, Louis. al-Munjid fi al-Lughah al-„Adab wa al-„Ulum, Beirut: al-Mathba’ah al-Kathulikiyyah, 1960.


(5)

Al-Mizzy. Tahẓīb al-Kamāl, Beirut: Muassasah al-Risālah, 1400/1980.

Muslim bin al-Hajjaj, Imam Abul Husain. Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr. Nurkholis, Mujiyo. Meraih Pahala 27 Derajat, Bandung: Al-Bayan, 1995.

al-Qahtani, Said bin ‘Ali bin Wahf. Ensiklopedi Shalat Menurut al-Qur‟an dan as -Sunnah jilid I,Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, 2006.

---. Lebih Berkah dengan Shalat Berjamaah, Surakarta: Qaula, 2008.

Rousydiy, T.A. Lathief. Kaifiyat Salat Rasulullah s.a.w., Medan: Rimbow, 1985. Sābiq, Sayid. Fiqhus Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1977.

al-Sālih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis (terjemahan), Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.

Al-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis,Jakarta:Bulan Bintang, 1976.

---. Pedoman Salat, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1986.

Soebahar, Erfan. Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah, Kritik Musthafa al-Siba’I terhadap Pemikiran Ahmad Amin Mengenai Hadīṡ dalam Fajr al-Islam, Jakarta: Kencana,2003.

Al-Tabarani, al-Mu‟jam al-Awsaṭ, Mesir: Dar al-Haramain.

al-Tahhan, Mahmud. Usūl at-Takhrīj wa al-Dirāsah al-Asānid, Riyad: Maktabah al-Ma’arif, 1991.

---. Dasar-Dasar Ilmu Takhrīj, Penerjemah H.S. Agil Husin dan Masykur Hakim,Semarang:Toha Putra,1995.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996.

al-Tirmidzi, Muhammad Ibn ‘Isa Ibn Saurah Ibn Musa Ibn al-Dahhak. Sunan al-Tirmidzi,Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby, 1395 H/ 1975 M.


(6)

Warson Munawir, Ahmad. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984.

Wensink, A.J. al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadī al-Nabawi „an al-Kutub

al-Sittah wa „an Sunan al-Darimi wa Muwatta Malik wa Musnad Ahmad bin Hanbal,Leiden: Maktabah Bril,1936.

Yaqub, Ali Mustafa. Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.

Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1989. al-Żahaby.Siyaru „Alāmi al-Nubalā. Beirut: Muassasah al-Risālah, 1405/1985. Zubaidi, Ahmad dkk. Menjawab Persoalan Fiqih Ibadah, Jakarta: Al-Mawardi

Prima, 2001.