HUBUNGAN KUALITAS BAKTERIOLOGIS AIR HIPP

HUBUNGAN KUALITAS BAKTERIOLOGIS AIR HIPPAM DENGAN
KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
PAKIS KABUPATEN MALANG TAHUN 2015
The Relationship Between Bacteriological Quality of HIPPAM Water with
Diarrhea In Toddler At Public Health Service of Pakis Malang 2015
Ristiawan, Mela
Program Studi S1 Kesehatan Lingkungan STIKES Widyagama Husada
(melaristiawan@gmail.com, 08563246044)
Diare adalah keadaan dimana terjadi pola perubahan BAB lebih dari
biasanya (lebih dari 3 kali sehari) disertai perubahan konsistensi tinja lebih encer
atau lebih lunak dari biasanya. Tahun 2013 angka kejadian penyakit diare balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Pakis sebanyak 645 kasus sedangkan Tahun 2014
sebanyak 1055 kasus. Variabel bebas penelitian ini kualitas bakteriologis air
HIPPAM dan variabel luarnya perilaku pengasuh terdiri atas perilaku mencuci
botol susu (dot), mencuci tangan, penggunaan jamban dan memasak air.
Penelitian bertujuan untuk membuktikan hubungan kualitas bakteriologis air
HIPPAM dengan kejadian diare pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pakis
Kabupaten Malang.
Desain penelitian cross sectional dan dianalisa dengan uji chi square. 36
responden diambil dengan teknik random sampling. Pengukuran kualitas
bakteriologis air HIPPAM menggunakan uji MPN coli dan pengukuran variabel

luar (perilaku pengasuh) menggunakan kuesioner.
Analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan antara kejadian diare
pada balita dengan kualitas bakteriologis air HIPPAM (p-value = 0,361), perilaku
pengasuh (p-value 0,326), penggunaan jamban (p-value 0,830) dan variabel
mencuci tangan pakai sabun (p-value 0,175). Sedangkan ada hubungan antara
perilaku mencuci botol susu (dot) dengan kejadian diare pada balita p-value 0,006.
Perilaku memasak air tidak dapat dihubungkan dengan kejadian diare balita
karena keseluruhan responden telah memenuhi syarat. Kesimpulan penelitian ini,
tidak ada hubungan antara kualitas bakteriologis air HIPPAM dengan kejadian
diare balita. Meskipun tidak terdapat hubungan antara keduanya tetapi terdapat
38,89 % yang kualitasnya tidak memenuhi syarat. Maka disarankan agar pengasuh
memasak air sebelum dikonsumsi dan mencuci botol terlebih dahulu.
Referensi
Kata kunci

: 34 referensi (2002 – 2015)
: Diare, balita, kualitas bakteriologis, air HIPPAM

1


ABSTRACT
Diarrhea is a condition where there is a pattern defecation change more
than usual (more than 3 times a day) with a change in stool consistency more
liquid or softer than usual.There are 645 cases of toddler diarrhea in 2013 and
1055 cases toddler diarrhea in 2014. The independent variable is bacteriological
quality of HIPPAM water and the external variables studied in this experiment are
the behavior of caregivers consisting of washing milk bottles (pacifier), wasing
hand, use of latrines and cooking water. The study aimed to prove the relationship
between bacteriological quality of HIPPAM water with diarrhea in toddler at
Pakis Public Health Service.
This study used cross sectional design with chi square analysis. 36 samples
were taken by random sampling technique. The measurements bacteriological
quality of HIPPAM water using MPN coli test and measurement external
variables (behavior caregiver) using a questionnaire.
The results of the bivariate analysis showed no relationship between the
incidence of diarrhea in toddler with bacteriological quality of HIPPAM water (pvalue = 0.361), the behavior of caregivers (p-value 0.326), use of latrines (p-value
0.830), and hand washing with soap variable (p-value 0.175). There is a
relationship between the behavior of washing milk bottles (pacifier) with the
incidence of diarrhea in toddler p-value 0.006. While behavior of cooking water
can not be associated with the incidence of diarrhea toddler because all

respondents have qualified. The conclusion of this study, there was no
relationship between the bacteriological quality of HIPPAM water with diarrhea
case in toddlers. Although there was no relationship between the two but there are
38,89 % is not qualified. It is recommended that caregivers boil the water before
consuming it and wash the bottle first.
References: 34 references (2002 – 2015)
Keywords: Diarrhea, toddlers, bacteriological quality, HIPPAM water

2

PENDAHULUAN
Air merupakan salah satu
komponen yang diperlukan dalam
kehidupan manusia, oleh karena itu
diperlukan upaya untuk menjaga
kualitas air agar aman dikonsumsi
(Soedarto, 2013). Air minum adalah
air yang melalui proses pengolahan
atau tanpa proses pengolahan yang
memenuhi syarat kesehatan dan

dapat langsung diminum (Menkes
dalam Sarudji, 2010).
Menurut
Permenkes Nomor 492/ Menkes/
Per/ IV/ 2010 air minum dapat
diselenggarakan oleh kelompok
masyarakat. Provinsi Jawa Timur
telah
membentuk
asosiasi
penyelenggara air minum berbasis
masyarakat
yaitu
HIPPAM
(Himpunan Penduduk Pemakai Air
Minum).
Air HIPPAM selain harus
terpenuhi kuantitasnya juga harus
terpenuhi kualitasnya (Dirjen PP dan
PL, 2011). Pengelolaan air minum

skala perdesaan yang dibentuk
melalui Badan Pengelola HIPPAM
di Kabupaten
Malang, sampai
dengan saat ini terus mengalami
peningkatan cakupan pelayanan.
HIPPAM yang terakhir dibuat pada
Tahun 2015 terletak di Desa Pajaran
Kecamatan Poncokusumo. HIPPAM
di
Desa
Pajaran
Kecamatan
Poncokusumo secara kuantitas telah
memenuhi kebutuhan air minum
masyarakat Desa Pajaran. Namun
secara kualitas belum memenuhi
persyaratan Kepmenkes mengenai air
minum. Dimana kandungan bakteri
coli dalam air minum tersebut

seharusnya 0 kol/100 ml. Air
HIPPAM di Desa Pajaran yang
diambil pada Bulan November 2015
setelah diperiksa di Laboratorium
Dinas Kesehatan Kabupaten Malang
memperoleh hasil 240 kol/100 ml air
(Labkes,
2015).
Hasil
ini

menunjukkan kualitas bakteriologis
air HIPPAM tidak memenuhi syarat
Permenkes Nomor 492/ Menkes/
Per/ IV/ 2010 karena melebihi 0
kol/100 ml.
Bakteri
coliform
dapat
dibedakan atas 2 grup yaitu : (1)

Fecal coliform misalnya Escherichia
coli, dan (2) Non-fecal coliform
misalnya Enterobacter aerogenes.
Bakteri
yang
paling
banyak
digunakan sebagai indikator sanitasi
adalah E. coli karena bakteri ini
adalah bakteri yang terdapat pada
usus manusia dan umumnya bukan
patogen penyebab penyakit. Tetapi
apabila di dalam air tersebut
terdeteksi adanya E. coli yang
bersifat fecal, apabila dikonsumsi
terus-menerus dalam jangka panjang
maka
akan
berdampak
pada

timbulnya penyakit seperti radang
usus, diare, infeksi pada saluran
kemih dan saluran empedu. Jadi,
adanya E. coli dalam air minum
menunjukkan bahwa air minum itu
pernah
terkontaminasi
kotoran
manusia
dan
mungkin
dapat
mengandung patogen usus, sehingga
tidak layak untuk dikonsumsi. Oleh
karena itu, standar air minum
mensyaratkan jumlah E. coli harus 0
koloni/100 ml (Prayitno, 2009).
H.L Blum (Mubarak dan
Chayatin, 2009) dalam teori The
Force Field and Well being

Paradigma of Health menyebutkan
bahwa manusia bisa menjadi sakit
selain dipengaruhi oleh lingkungan
juga dipengaruhi oleh faktor lain
yaitu perilaku. Masuknya bakteri coli
ke tubuh manusia selain dari
lingkungan melalui air minum juga
disebabkan oleh kontaminasi bakteri
tersebut melalui vektor lalat, tanah
dan tangan yang dapat dikendalikan
dengan perilaku sehat manusia.
3

Perilaku
pemeliharaan
kesehatan (health maintenance)
adalah perilaku atau usaha – usaha
seseorang untuk memelihara atau
menjaga kesehatan agar tidak sakit
dan usaha untuk penyembuhan jika

sakit. Oleh sebab itu, perilaku
pemeliharaan kesehatan ini terdiri
dari tiga aspek, antara lain : perilaku
pencegahan
penyakit,
perilaku
peningkatan kesehatan dan perilaku
gizi (makanan dan minuman)
(Kholid, 2014).
Kadaruddin
dkk
(2014)
menyebutkan bahwa perilaku ibu
dalam mencuci botol minum,
merebus air dan mencuci tangan
pakai sabun berhubungan dengan
kejadian diare pada balita. Segala
aktivitas anak dibantu oleh orang tua
khususnya ibu. Jumlah kejadian
penyakit diare meningkat apabila

perilaku ibu jelek. Sebaliknya
perilaku ibu baik maka baik pula
kesehatan balita.
Penyakit diare hingga saat ini
merupakan
masalah
kesehatan
masyarakat di Indonesia, hal ini
dapat dilihat dari meningkatnya
angka kesakitan dari tahun ke tahun.
Di dunia, sebanyak 6 juta anak
meninggal setiap tahun karena diare,
8 dari 10 kematian tersebut pada
umur < 2 tahun. Rata – rata anak usia
< 3 tahun di negara berkembang
mengalami episode diare 3 kali
dalam setahun. Hasil survey Subdit
diare angka kesakitan diare semua
umur tahun 2000 adalah 301/ 1000
penduduk, tahun 2003 adalah 374/
1000 penduduk, tahun 2006 adalah
423/ 1000 penduduk dan tahun 2010
411/ 1000 penduduk. Kematian diare
pada balita 75,3 per 100.000 balita
dan semua umur 23,2 per 100.000
penduduk semua umur. Proporsi
diare sebagai penyebab kematian
nomor 1 pada bayi postneonatal

(31,4 %) dan pada anak balita (25,2
%) (Kemenkes RI, 2011).
Kejadian diare pada balita di
Kabupaten Malang Tahun 2013
tercatat sebanyak 17.173 kasus
sedangkan
pada
tahun
2014
sebanyak 16.383 kasus. Kejadian
diare balita di Kabupaten Malang
terlihat
mengalami
penurunan.
Namun, di Wilayah Kerja Puskesmas
Pakis angka kejadian penyakit diare
justru meningkat. Pada Tahun 2013
angka kejadian penyakit diare balita
sebanyak 645 kasus sedangkan
Tahun 2014 sebanyak 1055 kasus.
Pada setiap akhir tahun angka
kejadian penyakit diare balita di
wilayah kerja Puskesmas Pakis
menunjukkan angka kejadian diare
balita yang cukup tinggi jika
dibandingkan dengan wilayah kerja
Puskesmas lain. Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pakis terdapat 2 Desa
yang hampir seluruh penduduknya
menggunakan air HIPPAM untuk
dikonsumsi setiap hari. Penggunaan
air HIPPAM ini dikhawatirkan dapat
menyebabkan kejadian diare pada
balita.
Berdasarkan latar belakang
diatas penulis tertarik untuk meneliti
Hubungan Kualitas Bakteriologis Air
Hippam
(Himpunan
Penduduk
Pemakai Air Minum) Dengan
Kejadian Diare Pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Pakis
Kabupaten Malang Tahun 2015.
Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui hubungan antara kualitas
bakteriologis air HIPPAM dengan
kejadian diare pada anak balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Pakis
Kabupaten Malang Tahun 2015.
Dengan
menganalisis
kualitas
bakteriologis air HIPPAM dan juga
menganalisis hubungan kualitas
bakteriologis air HIPPAM dengan
kejadian diare pada balita di Wilayah
4

Kerja Puskesmas Pakis Kabupaten
Malang Tahun 2015
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan desain
cross sectional. Penelitian ini
dilaksanakan di Wilayah Kerja
Puskesmas Pakis Kabupaten Malang
Desember 2015 – Februari 2016.
Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh
balita
konsumen
air
HIPPAM yang masih menggunakan
botol dot sebagai wadah minum dan
tinggal menetap di Wilayah Kerja
Puskesmas Pakis Kabupaten Malang
tahun 2015. Sampel penelitian ini
adalah pengasuh yang terpilih pada
penarikan
sampel
dengan
menggunakan
teknik
random
sampling dengan besar sampel 36.
Pengumpulan data dilakukan dengan
wawancara menggunakan kuesioner
dan uji petik air HIPPAM dengan
seperangkat alat uji petik air untuk
pemeriksaan kualitas bakteriologis.
Analisis data dilakukan dengan
analisis univariat dan bivariat dengan
uji chi square. Penyajian data dalam
bentuk tabel disertai narasi.
HASIL
Umur pengasuh balita yang
paling banyak adalah 20 – 30 tahun
dengan
persentase
41,67
%,
selanjutnya 31 - 40 tahun sebanyak
38,89 %, disusul 51 – 60 sebesar
11,11 % dan yang paling sedikit
umur 41 - 50 dengan persentase 8,33
%. Tingkat pendidikan pengasuh
balita yang paling dominan adalah
SMP/ sederajat dengan persentase
36,11 % disusul SMA/ sederajat
sebesar 33,33 %, SD/ sederajat
sebesar 19,44 %, tidak bersekolah
sebanyak 8,33 % dan PT sebanyak
2,78 %. 86,11 % pengasuh
merupakan ibu rumah tangga, 11,11
% pembantu rumah tangga dan 2,78

% merupakan wiraswasta. 75 %
pengasuh balita merupakan ibu
kandung sedangkan 11,11 %
merupakan pembantu rumah tangga
dan nenek balita, sedangkan 2,78 %
sisanya merupakan tetangga balita
tersebut. Umumnya pembantu rumah
tangga, nenek dan tetangga sudah
mengasuh balita tersebut minimal
dari Bulan Agustus 2015.
Sebesar 52,78 % balita berjenis
kelamin perempuan dan laki – laki
47,22 %. umur balita yang paling
banyak antara 7 - 24 bulan dengan
persentase 50 %. Umur 25 - 42 bulan
dengan persentase 44,44 % dan yang
paling sedikit adalah kelompok umur
> 42 bulan dengan persentase 5,56
%.
Balita yang tidak mengalami
sakit diare dengan persentase 22,22
% balita sedangkan balita yang tidak
sakit diare sebanyak 77,78 %.
Mayoritas kualitas bakteriologis air
HIPPAM memenuhi syarat dengan
persentase 61,11 % sedangkan
kualitas air HIPPAM yang tidak
memenuhi syarat bakteriologis 38,89
%. Perilaku mencuci botol oleh 36
pengasuh sebesar 94,44 % memenuhi
syarat dan 5,56 % tidak memenuhi
syarat. Persentase perilaku mencuci
tangan pengasuh sebesar 58,33 %
memenuhi syarat sedangkan 41,67 %
tidak memenuhi syarat. Disambung
perilaku penggunaan jamban 77,78
% memenuhi syarat dan 22,22 %
tidak memenuhi syarat. Sedangkan
untuk perilaku memasak air seluruh
pengasuh memenuhi syarat. Dari 36
pengasuh terdapat 52,78 % yang
perilakunya memenuhi syarat dan
47,22 % tidak memenuhi syarat.
Terdapat 22 rumah balita yang
kualitas
bakteriologis
airnya
memenuhi syarat, dari 22 rumah
tersebut 6 rumah dihuni oleh balita
yang sakit diare dan 16 rumah dihuni
5

oleh balita yang tidak sakit diare.
Sedangkan dari 14 rumah yang
kualitas bakteriologis airnya tidak
memenuhi syarat, 2 rumah dihuni
oleh balita yang sakit diare dan 12
rumah yang lain dihuni oleh balita
yang tidak sakit diare. Setelah
dilakukan analisa dengan uji chi
square didapat nilai p-value 0,361
dimana > 0,05 menunjukkan bahwa
tidak terdapat hubungan antara
kualitas bakteriologis air HIPPAM
dengan kejadian diare pada balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Pakis
Kabupaten Malang Tahun 2015.
Dari 34 perilaku mencuci
botol responden yang memenuhi
syarat, 6 diantaranya sakit diare dan
28 sisanya tidak sakit diare.
Sedangkan seluruh responden yang
perilakunya tidak memenuhi syarat
mengalami sakit diare. Nilai p-value
0,006 atau < 0,05 sehingga
dinyatakan ada hubungan antara
perilaku mencuci botol pengasuh
dengan kejadian diare pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Pakis
Tahun 2015.
Uji chi square antara perilaku
penggunaan jamban dengan kejadian
diare balita menunjukkan bahwa dari
28
responden
yang
perilaku
penggunaan jambannya memenuhi
syarat terdapat 6 balita yang sakit
diare dan 22 lainnya tidak sakit diare.
Sedangkan dari 8 responden yang
perilaku penggunaan jambannya
tidak memenuhi syarat terdapat 2
balita yang sakit diare dan 6 sisanya
tidak sakit diare. Nilai p dari uji chi
square antara 2 variabel tersebut
menghasilkan nilai p-value 0,830
atau > 0,05 sehingga dinyatakan
tidak ada hubungan antara keduanya.
Terdapat 21 responden yang
perilakunya memenuhi syarat. Dari
21 responden yang perilakunya
memenuhi syarat, 3 diantaranya sakit

diare dan 18 lainnya tidak sakit diare.
Sedangkan
dari
15
perilaku
responden yang tidak memenuhi
syarat, 5 diantaranya terdapat balita
yang sakit diare dan 10 sisanya tidak
sakit diare. Nilai p-value dari uji
kedua variabel tersebut 0,175 atau >
0,05 sehingga dinyatakan tidak
terdapat hubungan antara kedua
variabel tersebut.
Terdapat 19 responden yang
telah berperilaku sehat dan 17
responden belum berperilaku sehat.
Dari
responden
yang
telah
berperilaku sehat, 3 diantaranya
terdapat balita yang sakit diare dan
16 sisanya tidak sakit diare.
Sedangkan dari 17 responden yang
belum
berperilaku
sehat,
5
diantaranya sakit diare dan 12
sisanya tidak sakit diare. Nilai pvalue > 0,05 sehingga dinyatakan
tidak terdapat hubungan antara
perilaku sehat pengasuh dengan
kejadian diare pada balita.
PEMBAHASAN
Umur pengasuh balita yang paling
sedikit berada pada kelompok 41 –
50 tahun dengan persentase 8,33 %.
Wijaya (2012) menyatakan bahwa
tidak ada hubungan antara umur
pengasuh dengan kejadian diare pada
balita. Faktor umur merupakan
bagian dari penentu perilaku
pengasuh, namun faktor umur
pengasuh bukan sebagai penentu
utama baik atau buruknya perilaku
ibu dalam bertindak mencegah
kejadian diare balita.
Paling
banyak
pengasuh
lulusan SMP/ sederajat dengan
persentase 36,11 %. Sedangkan
paling sedikit responden lulusan
perguruan tinggi (PT) dengan
persentase 2,78 %. Dari tabel
tersebut juga dapat diketahui bahwa
terdapat 8,33 % pengasuh tidak
6

sekolah. Menurut Mugiati dalam
Bintoro (2010), semakin tinggi
tingkat pendidikan maka kualitas
penduduk akan semakin baik. Wijaya
(2012) menyatakan bahwa tingkat
pendidikan mempengaruhi tingkat
pengetahuan ibu balita dalam
berperilaku dan berupaya secara aktif
guna mencegah terjadinya diare pada
balitanya.
Sebanyak 86,11 % pengasuh
balita merupakan ibu rumah tangga.
Mayoritas pengasuh merupakan ibu
rumah tangga maka kegiatan untuk
mengasuh balita menjadi tidak
terbatas. Menurut Wijaya (2012)
jenis pekerjaan ibu tidak ada
hubungannya dengan kejadian diare
pada balita.
Mayoritas balita diasuh oleh
ibu kandungnya secara langsung
(75%) sedangkan paling sedikit
diasuh oleh tetangganya (2,78%).
Hal ini dapat diartikan bahwa
kesempatan
balita
memperoleh
asuhan yang lebih baik lebih besar
karena mendapat asuhan oleh ibunya
secara langsung.
Proporsi
balita
berjenis
kelamin laki – laki lebih sedikit jika
dibanding
perempuan
dengan
persentase masing – masing balita
47,22 % laki – laki dan 52,78 %
perempuan.
Mayoritas
berada
pada
kelompok umur 7 – 24 bulan dengan
persentase 50 % disusul 25 – 42
bulan sebesar 44,44 % sedangkan
yang paling sedikit pada kelompok
umur > 42 bulan dengan persentase
5,56 %. Pada pasien muda, diare
banyak disebabkan oleh infeksi
bakteri. Reaksi usus untuk melawan
racun dan peradangan oleh bakteri
lebih cepat. Bakteri E. coli
menyebabkan peradangan pada
selaput usus kecil dan merangsang
pengeluaran cairan. Bakteri ini juga

mengeluarkan racun (bahan kimia)
yang merangsang lapisan usus kecil
untuk mengeluarkan cairan tanpa
menyebabkan peradangan. Radang
usus ataupun racun bakteri yang
mengganggu kemampuan absorbsi
usus dapat meningkatkan kecepatan
makanan
melewati
usus
dan
mengurangi waktu yang tersedia
untuk menyerap air (Shanty, 2011).
Proporsi kualitas bakteriologis
air HIPPAM yang memenuhi syarat
sebesar 61,11 % dan yang tidak
memenuhi syarat sebesar 38,89 %.
Setelah diuji dengan chi square, nilai
p – value 0,361 dimana p - value >
0,05 menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan
antara
kualitas
bakteriologis air HIPPAM dengan
kejadian diare pada balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Pakis Kabupaten
Malang. Meskipun terdapat 38,89 %
kualitas bakteriologis air HIPPAM
tidak memenuhi baku mutu dan
berisiko menyebabkan penyakit diare
pada balita, namun 92,44 % perilaku
pengasuh dalam mencuci botol susu
(dot) sudah baik. Perilaku seluruh
pengasuh dalam memasak air juga
sudah sangat baik terbukti sudah 100
% pengasuh telah memasak airnya
sampai mendidih terlebih dahulu
sebelum dikonsumsi. Oleh karena
itu, kejadian diare balita akibat
adanya bakteri E.coli pada air
HIPPAM dapat dicegah.
Mencuci botol susu (dot)
terbukti memiliki hubungan dengan
kejadian diare pada balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Pakis Kabupaten
Malang dengan p-value 0,006.
Sedangkan
hasil
penelitian
Sinthamurniwaty (2006) terhadap
288 responden di Wilayah Kerja
Puskesmas
Bergas
Kabupaten
Semarang menyimpulkan bahwa
memasak air sampai mendidih
terlebih dahulu sebelum dikonsumsi
7

merupakan faktor protektif terhadap
kejadian diare pada balita. CDC
(2009) juga menyatakan metode
yang dapat digunakan untuk
mengurangi sebagian/ keseluruhan
bakteri E. coli dalam air yang akan
dikonsumsi
adalah
dengan
merebusnya. Sehingga kejadian diare
pada balita karena bakteri E.coli
dalam air HIPPAM dapat dicegah
dengan melakukan kedua perilaku
diatas.
Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Aini (2015)
dengan judul Hubungan Kualitas Air
Minum Dengan Kejadian Diare Pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Banyuasin
Kecamatan
Loano
Kabupaten Purworejo. Penelitian
tersebut dilakukan terhadap 80
responden yang menunjukkan hasil
bahwa tidak ada hubungan antara
kualitas bakteriologis air minum
dengan kejadian diare pada balita (p
– value 0,764).
Hasil
wawancara
dengan
responden mengenai perilaku sehat
pengasuh yang disyaratkan harus
memenuhi keempat perilaku diatas
menunjukkan hasil bahwa sebagian
besar responden (52,78%) telah
berperilaku sehat. Namun hasil uji
chi square menunjukkan hasil pvalue 0,326 atau > 0,05 sehingga
dapat dinyatakan bahwa tidak
terdapat hubungan antara kedua
variabel tersebut. Selain karena nilai
p-valuenya, dari keempat perilaku
turunannya hanya terdapat satu
perilaku yang menunjukkan ada
hubungan dengan kejadian diare
pada balita yaitu perilaku mencuci
botol susu (dot) dengan nilai p-value
0,006.
1. Perilaku Mencuci Botol Susu (dot)
Dot yang juga dikenal sebagai
dummy, soother, atau pacifier adalah
pengganti putting susu ibu yang

biasanya terbuat dari karet atau
plastik. Non nutritive sucking seperti
halnya botol, sudah lama dikenal
dalam sejarah umat manusia,
penggunaannya merupakan usaha
orang tua untuk memberikan sesuatu
yang dapat menenangkan dan
memberikan rasa nyaman untuk
anaknya. Botol secara universal
seakan menjadi simbol perlengkapan
perawatan anak, penggunaannya
sangat luas di seluruh dunia (IDAI
dalam Setyowati, 2014).
Menurut
Andini
dalam
Setyowati (2014), menjaga kesehatan
anak dapat dilakukan melalui
langkah
sederhana
dengan
membersihkan botol susunya secara
rutin dan menyimpan botol susu
ditempat yang tepat. Hal ini memang
sebuah langkah sederhana, namun
mampu memberi dampak besar bagi
kesehatan anak. Karena itu, jika
hendak memberi susu melalui botol
harus diperhatikan kebersihannya.
Hasil dari uji chi square
menunjukkan bahwa ada hubungan
antara perilaku mencuci botol susu
dengan kejadian diare pada balita,
pernyataan ini dibuktikan dengan
nilai p-value hasil uji adalah 0,006.
Proporsi responden yang telah
memenuhi persyaratan mencuci botol
susu (dot) dalam penelitian ini
sebesar 92,44 %. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian Setyowati
(2014) yang menunjukkan hasil ada
hubungan antara perilaku ibu dalam
menyajikan botol susu dengan
kejadian diare pada balita.
2. Perilaku Penggunaan Jamban
Kemenkes (2011) menyatakan
bahwa pengalaman di beberapa
negara membuktikan bahwa upaya
penggunaan jamban mempunyai
dampak yang besar dalam penurunan
risiko terhadap penyakit diare.
Keluarga yang tidak mempunyai
8

jamban harus membuat jamban dan
keluarga tersebut harus buang air
besar di jamban.
Selebihnya Kemenkes (2011)
menjelaskan bahwa banyak orang
beranggapan bahwa tinja bayi itu
tidak berbahaya. Hal ini tidak benar
karena tinja bayi dapat pula
menularkan penyakit pada anak –
anak dan orang tuanya. Tinja
mengandung sekitar 2 milyar fecal
coliform (Sarudji, 2010). Oleh
karena itu, tinja bayi maupun tinja
anak harus dibuang secara benar
dengan membuangnya dijamban.
Terdapat 22,22 % responden
tidak memenuhi syarat perilaku
penggunaan jamban. Hasil penelitian
ini, menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan antara penggunaan jamban
dengan kejadian diare pada balita.
Hasil penelitian ini selaras dengan
hasil penelitian Sucipto (2002). Hasil
penelitian
Sucipto
menyatakan
bahwa tidak ada hubungan antara
ketersediaan ataupun pemanfaatan
jamban keluarga dengan kejadian
diare pada anak balita.
Studi yang dilakukan oleh
Wagner dan Lanoix, pola penyebaran
bakteri secara horizontal pada tanah
sampai sejauh 11 meter (Sarudji,
2010).
Menurut
Irianto
dkk
Sinthamurniwaty (2006), tempat
pembuangan tinja yang tidak saniter
akan memperpendek rantai penularan
penyakit diare. Meskipun begitu,
Joko (2010) menyatakan konstruksi
sistem penyediaan air minum dan
pemeliharaan lingkungan yang baik
memperkecil
kemungkinan
pencemaran yang terjadi. Sehingga
meskipun terdapat tinja yang tidak
dibuang secara saniter, bakteri E.coli
pada tinja tersebut tidak akan
mencemari air HIPPAM dan
menyebabkan penyakit diare pada
balita karena konstruksi sistem

penyediaan
air
minum
dan
pemeliharaan lingkungannya baik.
3. Perilaku Cuci Tangan Pakai Sabun
Mencuci
tangan
menjadi
kebiasaan penting yang dapat
mencegah penularan penyakit diare
(Taosu
dan
Azizah,
2013).
Kemenkes RI (2011) menyatakan
bahwa mencuci tangan dengan
sabun, terutama sesudah buang air
besar, sesudah membuang tinja anak,
sebelum menyiapkan makanan,
sebelum menyuapi anak dan sebelum
makan mempunyai dampak dalam
kejadian diare.
Responden
yang
tidak
memenuhi syarat perilaku cuci
tangan sebesar 41,67 %. Hasil uji chi
square menunjukkan hasil p-value
0,175. Dapat disimpulkan bahwa
tidak ada hubungan antara perilaku
mencuci tangan dengan kejadian
diare pada balita. Hasil penelitian ini,
sejalan dengan hasil penelitian
Adriliadesiani terhadap 83 responden
dengan nilai p value 0,143.
Meskipun 41,67 % perilaku
responden dalam mencuci tangan
tidak memenuhi syarat, tidak
terdapat hubungan antara keduanya
karena seluruh responden telah
memasak air sampai mendidih
sebelum dikonsumsi. Memasak air
merupakan faktor protektif kejadian
diare pada balita (Sinthamurniwaty,
2006). Selain itu sebesar 92,44 %
responden telah melakukan cuci
botol susu (dot) dengan baik dan
benar, hal ini dapat mengurangi dan
mencegah risiko kejadian penyakit
diare karena terbukti mencuci botol
susu (dot) berhubungan dengan
kejadian diare dengan p-value 0,006.
4. Perilaku Memasak Air
Memasak
air
merupakan
proses mematikan mikroorganisme
(virus, bakteri, spora bakteri, jamur
protozoa) penyebab penyakit dengan
9

cara pemanasan (Depkes RI dalam
Cita,
2014).
CDC
(2009)
menghimbau untuk mengurangi
sebagian/ keseluruhan bakteri E. coli
dalam air yang akan dikonsumsi
adalah dengan merebusnya. Perlu
diketahui
merebus
air
untuk
dikonsumsi harus sampai mendidih
dan paling tidak ditunggu selang
minimal 1 menit baru dimatikan
kompornya. Dirjen PP dan PL (2011)
juga menyatakan pendapat yang
sama, bahwa untuk mencegah kuman
infeksius masuk ke tubuh manusia
adalah dengan minum air yang sudah
matang dengan memasak air itu
sampai mendidih terlebih dahulu.
Seluruh responden dalam penelitian
ini (100 %), telah melakukan
pengolahan air dengan memasaknya
sampai mendidih terlebih dahulu
sebelum dikonsumsi. Hasil penelitian
Sinthamurniwaty
(2006),
menunjukkan
bahwa
perilaku
memasak air minum sebelum
diminum merupakan faktor protektif
terhadap terjadinya diare.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan dari penelitian ini, dari
36 sampel air HIPPAM di
sambungan rumah responden yang
diteliti, sebesar 61,11 % memenuhi
syarat sedangkan 38,89 % tidak
memenuhi syarat. Hasil analisis
bivariat menunjukkan tidak ada
hubungan
antara
kualitas
bakteriologis air HIPPAM dengan

kejadian diare pada balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Pakis Kabupaten
Malang Tahun 2015 dengan nilai pvalue 0,361. Namun dari 38,89 %
kualitas
air
HIPPAM
tidak
memenuhi syarat maka disarankan
agar masyarakat melakukan perilaku
sehat dalam kehidupan sehari – hari
dengan mencuci botol susu dengan
baik dan benar serta tetap
membiasakan diri untuk selalu
menggunakan jamban dengan benar,
mencuci tangan pakai sabun dan
selalu memasak air sampai medidih
sebelum diminum.
Bagi petugas kesehatan sebaiknya
melakukan
pendekatan
kepada
pengurus
air
HIPPAM
dan
stakeholder di wilayah tersebut agar
melaksanakan upaya pengolahan
pada air HIPPAM sehingga dapat
memenuhi syarat kesehatan yang
diatur
dalam
Permenkes
492/MENKES/PER/IV/2010 tentang
Persyaratan Kualitas Air Minum dan
Mengkampanyekan perilaku sehat
terutama kampanye cara mencuci
botol susu (dot) yang baik dan benar
dan mengkampanyekan perilaku
sehat terutama kampanye cara
mencuci botol susu (dot) yang baik
dan benar. Bagi Pengelola air
HIPPAM pengolahan dengan proses
chlorinasi pada air HIPPAM serta
Melakukan pengawasan kualitas
fisik, kimia maupun bakteriologis
pada air HIPPAM secara berkala.

10

DAFTAR PUSTAKA
Adriliadesiani, D. 2012. Faktor –
faktor Yang Berhubungan
Dengan Kejadian Diare Pada
Balita di Desa Penyarang
Kabupaten Ketapang. Skripsi
Kep. Jakarta : STIK Sint
Carolus.
Aini, N. 2015. Hubungan Kualitas
Air Minum Dengan Kejadian
Diare Pada Balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Banyuasin
Kecamatn Loano Kabupaten
Purworejo. Skripsi SKM.
Semarang
:
Universitas
Diponegoro.
Arikunto,
S.
2010.
Prosedur
Penelitian (Suatu Pendekatan
Praktik). Jakarta : Rineka
Cipta.
Bintoro, B, R, T. 2010. Hubungan
Antara Sanitasi Lingkungan
Dengan Kejadian Diare Pada
Balita di Kecamatan Jatipuro
Kabupaten
Karanganyar.
Skripsi SKM. Surakarta :
Universitas Muhammadiyah.
Cita, R, S. 2014. Hubungan Sarana
Sanitasi Air Bersih dan
Perilaku
Ibu
Terhadap
Kejadian Diare Pada Balita
Umur 10 – 59 Bulan di
Wilayah
Puskesmas
Keranggan Kecamatan Setu
Kota Tangerang Selatan
Tahun 2013. Skripsi SKM.
Jakarta
:
UIN
Syarif
Hidayatullah.
CDC (The Centers For Disease
Control and Prevention).
2009. A Guide to Drinking
Water
Treatment
and
Sanitation. America. Dilihat
pada 1 Desember 2015
(http://www.cdc.gov/healthy
water/drinking/travel/

backcountry_water_treatment
.html)
Depkes RI. 2011. Buku Saku Petugas
Kesehatan.
Jakarta
:
Percetakan Negara.
Dewi, V, N, L. 2010. Asuhan
Neonatus Bayi dan Anak
Balita. Jakarta : Salemba
Medika.
Dirjen PP dan PL Kemenkes RI.
2011.
Buku
Pedoman
Pengendalian Penyakit Diare.
Jakarta : Percetakan Negara.
Joko, T. 2010. Unit Air Baku dalam
Sistem
Penyediaan
Air
Minum. Yogyakarta : Graha
Ilmu.
Kadaruddin, Arsyad, DS dan
Rismayanti. 2014. Faktor
Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Diare Pada Bayi Di
Wilayah, Kerja Puskesmas
Pallangga Kabupaten Gowa.
Makassar
:
Universitas
Hasanuddin.
Kemenkes RI. 2011. Situasi Diare di
Indonesia.
Jakarta
:
Percetakan Negara.
Kholid, A. 2014. Promosi Kesehatan
Dengan Pendekatan Teori
Perilaku,
Media
dan
Aplikasinya.
Jakarta
:
Rajawali Pers.
Kusumo, P, D. 2012. Gangguan
Immunodefisiensi
Primer
(PID). Percetakan Fakultas
Kedokteran.
Jakarta
:
Universitas
Kristen
Indonesia.
Labkes. 2015. Hasil Pemeriksaan Air
HIPPAM.
Malang
:
Percetakan
Laboratorium
Kesehatan Dinas Kesehatan
Kabupaten Malang.
Mubarak, W, I dan Chayatin, N.
2009.
Ilmu
Kesehatan
Masyarakat : Teori dan
11

Aplikasi. Jakarta : Salemba
Medika.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi
Penelitian Kesehatan. Jakarta
: Rineka Cipta.
PAMSIMAS
(Penyediaan
Air
Minum dan Sanitasi Berbasis
Masyarakat). 2012. Melongok
Suksesnya Asosiasi HIPPAM
Prov Jawa Timur. Indonesia.
Dilihat pada 3 November
2015 (http://new.pamsimas.
org/index.php?option=com_k
2&view=item&id=232:melon
gok-suksesnya-asosiasihippam-prov-jawatimur&Itemid=149)
Perda Kabupaten Malang. 2003.
Persyaratan Kualitas Air
Minum (Perda No.15 Tahun
2003). Malang : Percetakan
Pemerintah
Daerah
Kabupaten Malang
Permenkes RI. 2010. Persyaratan
Kualitas
Air
Minum
(Permenkes
RI
No.
492/MENKES/PER/IV/2010)
. Jakarta : Percetakan Negara.
Prayitno, A. 2009. Uji Bakteriologi
Air Baku dan Air Siap
Konsumsi
dari
PDAM
Surakarta
Ditinjau
dari
Jumlah Bakteri Coliform.
Skripsi
Program
Studi
Biologi.
Surakarta
:
Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Sarudji, D.
2010. Kesehatan
Lingkungan.
Bandung
:
Karya Putra Darwati.
Setyowati, L. 2014. Hubungan
Antara Perilaku Ibu Dalam
Menyajikan
Botol
Susu
Dengan Tingkat Kejadian
Diare Pada Balita di Desa
Wandanpuro
Kecamatan
Bululawang.
Skripsi

Keperawatan.
Malang
:
Universitas Brawijaya.
Setyowati, M. 2014. Tingkat
Pengetahuan
Tentang
Higienitas Botol Susu Pada
Ibu Yang Memiliki Bayi Dan
Balita Usia 6 Bulan – 2
Tahun di Desa Soka, Miri,
Kabupaten Sragen Tahun
2014. Karya Tulis Ilmiah
Amd.Keb.
Surakarta
:
STIKES Kusuma Husada.
Shanty, M. 2011. Penyakit Saluran
Pencernaan
:
Pedoman
Menjaga
&
Merawat
Kesehatan
Pencernaan.
Jogjakarta : Kata Hati.
Sinthamurniwaty. 2006. Faktor –
faktor Risiko Kejadian Diare
Akut Pada Balita. Tesis
M.Epid.
Semarang
:
Universitas Diponegoro.
Sucipto, E. 2002. Hubungan Antara
Ketersediaan
Dan
Pemanfaatan Sarana Air
Bersih Dan Jamban Keluarga
Dengan Kejadian Diare Pada
Anak Balita di Puskesmas
Sonokidul
Kecamatan
Kunduran Kabupaten Blora
Tahun 2002. Tesis M.K.M.
Semarang
:
Universitas
Diponegoro.
Soedarto. 2013. Lingkungan dan
Kesehatan. Jakarta : Sagung
Seto.
Suyono dan Budiman. 2010. Ilmu
Kesehatan
Masyarakat.
Jakarta : EGC.
Taosu, S, A dan Azizah, R. 2013.
Hubungan Sanitasi Dasar
Rumah Dan Perilaku Ibu
Rumah
Tangga
Dengan
Kejadian Diare Pada Balita
Di Desa Bena Nusa Tenggara
Timur. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Vol. 7, No.1 Juli
12

2013: 1-6. Surabaya :
Universitas Airlangga.
Umiati. 2010. Hubungan Antara
Sanitasi Lingkungan Dengan
Kejadian Diare Pada Balita
Di Wilayah Kerja Puskesmas
Nogosari Kabupaten Boyolali
Tahun 2009. Skripsi SKM.
Surakarta
:
Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Undang – Undang RI. 2009.
Kesehatan (UU RI No 36).
Jakarta : Percetakan Negara.
Wijaya, Y. 2012. Faktor Risiko
Kejadian Diare Balita di
Sekitar TPS Banaran Kampus
UNNES. UNNES Journal of
Public Health Vol.1 Januari
2012. Semarang : Universitas
Negeri Semarang.
WHO. 2013. Pocket Book Of
Hospital
Care
For
Children
(Guidelines For The Management Of
Common
Childhood
Illnesses).
Percetakan
World
Health
Organization.

13