TUGAS TENTANG HUKUM ADAT

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Hukum adat adalah seperangkat norma dan aturan adat atau kebiasaan yang berlaku di
suatu wilayah. Istilah kebiasaan adalah terjemahan dari bahasa Belanda gewoonte, sedangkan
istilah adat berasal dari istilah Arab yaitu adah yang berarti juga kebiasaan. Jadi istilah kebiasaan
dan istilah adat mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan. Hukum adat lahir dan tumbuh dari
masyarakat, sehingga keberadaannya bersenyawa dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat.
Hukum adat tersusun dan terbangun atas nilai, kaidah, dan norma yang disepakati dan diyakini
kebenarannya oleh komunitas masyarakat adat. Hukum adat memiliki relevansi kuat dengan
karakter, nilai, dan dinamika yang berkembang dalam hukum adat. Dengan demikian, hukum
adat merupakan wujud yuris fenomenologis dari masyarakat hukum adat.
Salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hukum adat adalah perkawinan.
Masalah perkawinan adalah masalah yang sangat rumit. Karena perkawinan bukan hanya
menyangkut ikatan antara seorang pria dengan wanita yang akan dinikahinya. Tetapi lebih dari
itu perkawinan adalah lembaga yang sangat sakral karena menyangkut tentang kepercayaan
kepada Tuhan dan melibatkan keluarga.
Bali adalah pulau yang memiliki budaya atau adat istiadat yang kaitannya dengan
masyarakat yang sebagian besar beragama hindu. Pada ajaran Agama Hindu, Masyarakat Bali
mengenal suatu istilah yang disebut “Catur Asrama”. Catur Asrama merupakan empat tahapan

atau tingkatan di dalam menjalankan hidup di dunia , yaitu brahmacari, grhasta, sanyasin,
bhiksuka. Grahasta merupakan tahapan kedua dalam kehidupan Masyarakat Bali yang berarti
kehidupan di dalam berumah tangga.
Yang perlu diingat, berbicara perkawinan juga akan merembet dalam sistem pewarisan.
Khusus masyarakat Hindu Bali, yang sistem pewarisannya bersifat patrilineal (garis kebapakan)
perkawinan yang dilakukan harus benar-benar memperhatikan sistem adat yang berlaku. Banyak
kasus Bali seorang anak laki-laki kehilangan hak mewarisnya karena melakukan perkawinan

yang dinilai bertentangan dengan adat yang berlaku yakni akibat melakukan perkawinan
nyentana. Perkawinan nyentana yakni perkawinan dimana seorang laki-laki ikut dalam keluarga
istrinya, tinggal dirumah istri dan semua keturunannya menjadi milik pihak keluarga istri. Pro
kontra perkawinan nyentana hingga saat ini masih diperdebatkan. Kondisi ini sebenarnya
tidaklah berlebihan karena menyangkut sistem pewarisan termasuk didalamnya menyangkut soal
keturunan. Bagi masyarakat yang menerapkan sistem perkawinan nyentana, suatu keluarga
mengangkat sentana bila keluarga bersangkutan tidak memiliki anak laki-laki sebagai ahli waris
yang akan melanjutkan keturunannya. Sehingga, untuk melanjutkan keturunan keluarga
bersangkutan, pihak keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki tersebut merasa perlu untuk
menetapkan salah satu anaknya sebagai sentana rajeg yang akan mencari sentana untuk diajak
tinggal dirumahnya. Aturan dalam perkawinan nyentana dengan perkawinan yang lazim
dilakukan dalam masyarakat kebanyakan juga sedikit unik. Dalam perkawinan biasa, lazimnya

seorang lelaki yang melamar seorang gadis untuk dijadikan istrinya. Namun dalam perkawinan
nyentana si gadislah yang melamar si lelaki untuk dijadikan suaminya untuk selanjutnya diajak
tinggal dirumah si gadis. Sementara itu keturunannya akan menjadi milik dan melanjutkan
keturunan keluarga istrinya tadi. Karena konsekwensi inilah yang mengakibatkan perkawinan
nyentana banyak ditentang oleh masyarakat Bali khususnya yang berada di wilayah Karangasem.
Namun dewasa ini masyarakat Bali telah dihadapkan pada pilihan bentuk perkawinan yang
dirasakan lebih adil untuk kedua belah pihak, baik mempelai perempuan maupun laki-laki yaitu
Perkawinan Pada Ngelahan. Perkawinan Pada Ngelahan adalah salah satu sistem perkawinan di
Bali yang berbeda dari biasanya karena baik suami maupun istri bertindak sebagai Purusa.
Perkawinan Pada Ngelahan tidak bertentangan dengan Adat Bali maupun Ajaran Agama Hindu.
Adapun dampak secara nyata dari sistem perkawinan ini yaitu: pasutri memiliki beban ganda
dalam melaksanakan kewajiban dalam Desa Pakraman seperti ayah-ayahan di pura, banjar, dll.
Jika pasutri hanya memiliki satu anak, maka beban anak akan berlipat ganda apalagi anak
tersebut akan menikah.
Namun demikian, tujuan perkawinan seperti yang termuat dalam UU Perkawinan No. 1 tahun
1974 adalah membentuk suatu rumah tangga yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan demikian, apapun dalilnya, perkawinan nyentana sah secara hukum selama dilakukan
berdasarkan unsur suka-sama suka dan dilakukan menurut agama yang berlaku bagi kedua pihak.

Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang yang telah dikemukakan maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut.

1. Apa syarat-syarat yang diharus dipenuhi dalam perkawinan nyentana?
2. Bagaimanakah status dan kedudukan perempuan dikeluarga yang menerapkan konsep
pernikahan nyentana?
3. Apakah konsep pernikahan nyentana tersebut menurut adat atau agama?
4. Bagaimana pergeseran konsep nyentana dengan adanya konsep pernikahan pade
ngelahan/negen?
5. Bagaimana status, kedudukan dan kewajiban perempuan dan laki-laki nyentana apabila
terjadi perceraian?
Tujuan

1. Untuk mengetahui syarat-syarat dalam perkawinan nyentana.
2. Untuk mengetahui status dan kedudukan perempuan di keluarga yang menerapkan konsep
pernikahan nyentana.
3. Untuk mengetahui konsep pernikahan nyentana tersebut menurut adat atau agama.
4. Untuk mengetahui bagaimana pergeseran konsep nyentana dengan adanya konsep
pernikahan pade ngelahan/negen
5. Untuk mengetahui status, kedudukan dan kewajiban perempuan dan laki-laki nyentana

apabila terjadi perceraian
1.4.Manfaat
Dapat menambah wawasan kita mengenai bentuk-bentuk perkawinan di Bali, khususnya bentuk
perkawinan nyentana sehingga pada akhirnya kita mampu menerangkan bahwa perkawinan
nyentana merupakan suatu bentuk perkawinan yang sah dalam adat maupun sah secara negara.
1.4 METODE

Adapun metode yang kami gunakan yaitu metode normatif, dimana kami mengambil bahan
makalah ini dari media online, media cetak dan beberapa literatur. Sehingga dapat kami gunakan
sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan makalah ini.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Syarat-syarat Melakukan Perkawinan Nyentana
2.1.1 Syarat umum perkawinan menurut UU :
a.

Persetujuan kedua mempelai
Undang-undang Perkawinan menegaskan beberapa syarat agar perkawinan dapat


dilangsungkan. Syarat pertama adalah perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai. Demikian bunyi Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Perkawinan. Menurut penjelasan
resminya, disamping syarat ini sesuai dengan hak asasi manusia, ketentuan ini diadakan untuk
mendukung agar tujuan pekawinan, yaitu untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia
dapat dicapai.
Dengan ditegaskannya syarat bahwa perkawinan harus di dasarkan kepada persetujuan kedua
calon mempelai, maka cara-cara pemaksaan dalam pelaksanaan perkawinan tidak dibenarkan
lagi, seperti cara perkawinan melegandang (raksasa wiwaha) yang di masa lalu sering terjadi.
b.

Ijin orang tua
Syarat kedua adalah seperti disebutkan dalam Pasal 6 ayat (2). Disebutkan bahwa untuk

melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus
mendapat ijin kedua orang tua. Selanjutnya disebutkan dalam ayat (3) bahwa dalam hal salah
seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
menyatakan kehendaknya maka izin dimaksud cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup
atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. Dalam hal kedua orang tua telah
meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin

diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah
dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya. Jika ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebutkan di
atas, atau salah seorang diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka berdasarkan ayat

(4) pasal ini, Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan
perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin, setelah terlebih dahulu
mendengar orang-orang tersebut di atas.

2.1.2 Syarat menurut hukum adat Bali :
a. Pihak wanita harus bersetatus sentana rejeg artinya wanita yang akan menikah harus
ditetapkan sebagai penerus keturunan.
b. Perundingan untuk melakukan perkawinan nyeburin harus dimulai dari pihak orang tua
calon istri (yang akan dipurusakan) dengan keluarga calon suami. Tentu saja pendekatan itu
yang utama adalah terhadap sang calon suami yang bersangkutan. Bila telah terjadi
kesepakatan barulah perkawinan nyeburin dapat dilaksanakan.
c. Upacara perkawinan (pesakapan) yang paling pokok dan merupakan syarat sahnya
perkawinan, yaitu upacara mabyakawon / mabyakala, harus dilakukan di rumah pihak istri.
d. Pihak suami harus masuk keluarga pihak istri dan diterima sebagai anggota keluarga pihak
istri. Ini artinya pihak suami dari rumpun keluarga asalnya, yang secara konkrit ditunjukan si

suami dari semula sudah tinggal dirumah istrinya. Suami tidak lagi memuja (nyungsung
sanggah / merajan bapak asalnya, melainkan ia harus memuliakan sanggah / merajan pihak
istri).
e. Suami berkedudukan sebagai nyentane nyeburun yaitu mempunyai hak sebagai predana
(wanita) dan ini ditunjukan dengan adanya pihak istri mengantar sajen-sajen pemelepehan
(jauman) ke rumah keluarga si laki-laki, sebagai upacara melepaskan ikatan si suami dari
keluarga asalnya sebagai purusa.

2.2 Status Dan Kedudukan Perempuan Dalam Keluarga Nyentana
Perkawinan nyentana merupakan suatu perkawinan di mana sang suami ikut dengan istri
dan tinggal bersama dirumah keluarga perempuan (istri). Dalam proses perkawinan nyentana
yang melakukan proses berpamitan di pemerajan adalah mempelai laki-laki. Karena calon
mempelai laki-lakilah yang akan meninggalkan keluarga dan leluhurnya, untuk ikut kedalam
garis keturunan kelurga perempuan. Semenjak proses berpamitan kepada leluhur itu mempelai
laki-laki menjadi hak dan tangungjawab kelurga perempuan. Dalam hal ini, mempelai laki-laki
statusnya tidak lagi sebagai purusa (laki-laki), namun sebagai pradana (perempuan), sehingga
mempelai laki-laki mengikuti istrinya untuk tinggal pada kelurga perempuan.
Pada perkawinan nyentana status perempuan telah diubah menjadi laki-laki yang
dilakukan melalui prosesi upacara putrika sebelum diadakan perkawinan. Putrika artinya proses
perubahan status dan kedudukan perempuan menjadi laki-laki melalui prosesi upacara adat yang

harus disaksikan oleh tri saksi (tiga saksi) yaitu Tuhan, Leluhur dan masyarakat dan disetujui
oleh kelurga serta dilegitimasi oleh perangkat desa adat. Jika keluarga putrika tidak menyetujui
terjadinya prosesi putrika, maka prosesi putrika tidak boleh dilaksanakan. Hal ini berkaitan
dengan peralihan kekayaan baik yang berupa benda materiil mapun yang berupa non materiil
seperti sanggah dan leluhur (Suastika, 2003).
Perempuan yang telah diputrika memiliki status dan kedudukan sebagai laki-laki sesuai
dengan legitimasi adat yang telah diberikan kepadanya. Sehingga semenjak prosesi putrika
tersebut ia memiliki hak dan tangung jawab untuk menjadi ahli waris dan meneruskan garis
keturunan kelurganya. Secara otomatis semenjak terjadinya putrika ia juga memiliki
tangungjawab sebagai kepala keluarga dan sebagai kepala rumah tangga. Sebagai kepala
keluarga putrika juga mempunyai kewajiban untuk memenuhi semua kebutuhan keluarganya,
termasuk kebutuhan orangtuanya. Ia juga menjadi penentu setiap keputusan yang akan diambil
oleh keluarga, berkaitan dengan permasalahan yang ada di keluarganya. Sedangkan laki-kaki
yang nyentana mempunyai tangungjawab dan kewajiban sebagaimana layaknya perempuan
dalam rumah tangga. Ia membantu istri untuk menjalankan roda perekonomian keluarga serta
mengurus anak-anak. Dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan keluarga ia mesti

meminta persetujuan dari istrinya terlebih dahulu. Kondisi ini tidak terlepas dari adanya
perubahan kewajiban dan tangungjawab yang sepenuhnya sudah ada pada pihak perempuan yang
berstatus putrika. Sebagai ahli waris perempuan putrika mempunyai kewenangan “mutlak”

berkaitan dengan harta kekayaan yang dimiliki oleh keluarga. Kewenangan ini dimiliki berkaitan
dengan statusnya sebagai akhli waris dan penerus keturunan keluarga. Sehingga ia diberikan
keleluasaan untuk melakukan tindakan yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi keluarga.
Keluasan kewenangan inilah yang tidak jarang menimbulkan berbagai persoalan, khususnya
dengan suami yang merasa tidak diberikan ruang dan kebebasan untuk ikut menentukan arah
kebijakan keluarga.

2.3 Konsep Penikahaan Nyentana Dipandang Dari Adat atau Agama
Nyentana merupakan hukum adat bukan kaidah Agama Hindu. Mungkin ada sedikit
kaitannya dengan tradisi beragama Hindu di Bali yang dikenal dengan istilah pradana dan
purusa. Seseorang yang nyentana hendakanya mendapat persetujuan dahulu dari segenap warga
dadia (soroh) dari lelaki dan perempuan, karena yang lelaki akan melepaskan hak dan
kewajibanya di sanggah lama (purusha) dan menjadi warga baru disanggah baru (pradana).
Lelaki yang nyentana biasanya menyembah dua kawitan yaitu kawitan yang lama dan yang baru.
Dalam sejarah, banyak sekali leluhur orang bali yang mengambil langkah nyentana, jadi
tidak ada yang salah dalam hal nyentana yang penting adalah bagaiamana membina kehidupan
yang harmonis, sesuai dengan ajaran weda. Perkawinan itu bisa saja berlangsung bahagia,
tergantung dari bagaimana si suami – istri bisa menciptakan surga dalam kehidupan rumah
tangganya.


2.4 Pergeseran Konsep Nyentana dengan adanya konsep pernikahan pade Ngelahan/Negen

Perubahan paradigma dalam bidang pewarisan dan penerusan keturunan yang dapat
dilakukan dengan cara putrika dan perkawinan nyentana memiliki warna, khususnya bagi kaum

perempuan. Mereka merasakan keleluasaan dan sekaligus tangungjawab yang teramat berat
untuk menjalankan roda pemerintahan dalam keluarga. Lingkungan yang semula memberikan
perlakuan sebagaimana lanyaknya perempuan pada umumnya yang hanya menurut pada lakilaki, seketika memberikan tangungjawab sebagai layaknya laki-laki untuk memikul
tangungjawab penuh, membuat perempuan putrika merasakan diri pada beban yang teramat berat
yang terlalu sulit untuk dipikulnya. Perbedaan antara orang tua dengan suami seringkali
menimbulkan persoalan yang menyulitkan perempuan putrika untuk mengambil keputusan. Hal
ini berimplikasi pada kondisi psikologis perempuan putrika. Jika mereka bisa menempatkan diri
sebagai mana layaknya kepala keluarga, maka keutuhan rumah tangganya akan tetap bisa terjaga
dengan baik dan mengalami pematangan psikologis. Sebaliknya, bila perempuan putrika tidak
mampu memikul tangungjawab dan persoalan yang dihadapi dalam keluarga ia akan mengalami
kemunduran psikologis dan kehancuran keluarga. Sementara keluasaan yang teramat besar
seringkali membuat perempuan putrika merasa menjadi orang yang mengatur, berkuasa,
menentukan, dan bertindak arogan tanpa memikirkan kedudukan dan posisi suami.
Seiring berkembangnya zaman masyarakat mulai tidak terlalu mempedulikan tentang
konsep pernikahaan nyentana. Telah banyak generasi mudamenerapkan sistem pernikahan negen

atau yang sering disebut pade gelahan. Perkawinan Gelahang Bareng/Negen adalah salah satu
sistem perkawinan di Bali yang berbeda dari biasanya karena baik suami maupun istri bertindak
sebagai Purusa. Faktor yang menyebabkan adanya pernikahan pade gelahan ini adalah calon istri
merupakan anak semata wayang sehingga tidak ingin kawitan di sanggahnya terputus begitu saja
atau baik calon suami maupun istri merupakan anak semata wayang, Jika calon suami memiliki
saudara laki-laki, namun di dalam desa , kala, patra keluarga suami tidak lazim mengadakan
sistem Nyentana (hanya istri yang berperan senagai Purusa), sehingga dilaksanakan sistem
Perkawinan Gelahang Bareng/Negen. Perkawinan Negen Dadua merupakan pergeseran budaya
yang positif, yaitu dari Perkawinan Negen Dadua telah memunculkan anak-anak perempuan di
Bali untuk mendapatkan hak waris dari orang tuanya. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem
perkawinan ini merupakan persamaan derajat yang menjungjung tinggi HAM (Hak Azasi
Manusia), khususnya terhadap anak-anak yang lahir perempuan karena Masyarakat Bali
menganut sistem patrilinial. Sebagai syarat sahnya Perkawinan “Negen Dadua” dapat
disimpulkan apabila telah melakukan beberapa prosesi secara Agama Hindu dan Adat Bali,
yaitu : sudah dilangsungkan Upacara Pebyakaonan, dan tidak dilakukan Upacara Mepamit, serta

sudah disepakati oleh Mempelai, Orang Tua (Ayah, Ibu kedua belah pihak) berguna untuk
menyelamatkan keturunan bagi mereka yang tidak memiliki anak laki-laki, manakala mempelai
pria juga tidak berkenan untuk nyentana.
2.5 Status, Kedudukan dan Kewajiban Perempuan dan Laki-Laki Nyentana Apabila
Terjadi Perceraian
2.5.1

Status, Kedudukan dan Kewajiban Perempuan Putrika setelah Perceraian
Setelah terjadinya perceraian perempuan putrika masih tetap menyandang statusnya

sebagai perempuan putrika, yaitu perempuan yang diubah hak dan kewajibannya sebagai lakilaki pada keluarganya, walapuan secara biologis mereka tetap merupakan perempuan. Hal ini
terjadi bila : (1) anak yang terlahir dari perkawinannya belum ada yang menggantikan posisinya
atau kawin dan tinggal menetap pada keluarga, dan (2) setelah terjadinya perceraian keluarganya
tidak mengembalikan status putrikanya melalui persetujuan keluarga dan legitimasi prajuru adat.
Perempuan putrika akan kehilangan hak dan kewajibannya sebagai perempuan putrika, bila : (1)
kawin lagi dan tidak melalui proses nyentana atau yang sering disebut dengan kawin kelur, (2)
anak laki- lakinya telah menikah dan menggantikan posisinya sebagai pewaris dan penerus
keturunan atau anak perempuannya telah menikah dan melakukan prosesi putrika, dan (3)
status putrikanya dicabut oleh keluarga dan disetujui oleh prajuru adat karena pertimbangan
tertentu dan posisinya akan digantikan oleh keluarga yang berhak menjadi ahli waris keluarga.
Sepanjang ketiga hal tadi tidak terpenuhi, maka perempuan putrika memiliki kedudukan yang
tetap sebagai pewaris dan penerus keturunan keluarga, sehingga ia juga berkewajiban untuk tetap
menjadi kepala rumah tangga dan bertanggung jawab untuk mengurus kepentingan keluarga
dengan dibantu oleh kedua orang tuanya. Ia juga memiliki kewajiban untuk membesarkan dan
mendidik anak-anak yang terlahir dari perkawinannya. Hal ini disebabkan oleh semua anak yang
terlahir dari perkawinannya dengan suaminya sesuai dengan hukum adat yang berlaku akan
menjadi tanggungannya dan suaminya tidak memperoleh hak terhadap anak-anaknya. Demikian
juga dengan pembagian harta benda, suaminya tidak berhak atas harta benda apapun, bila
perkawinannya tersebut disahkan secara hukum adat saja. Bila mereka melalukan perkawinan
sesuai dengan hukum nasional (UU No. 1 tahun 1974) maka suami hanya berhak atas harta gono
gini yang dihasilkan selama berlangsunya perkawinan.

2.5.2

Status, Kedudukan dan Kewajiban laki-laki setelah Perceraian dalam perkawinan

nyentana
Pihak laki-laki yang putus perkawinan karena perceraian dalam perkawinan nyeburin
tidak lagi mempunyai hak dan kewajiban pada keluarga istrinya, namun jika ia putus perkawinan
karena kematian istrinya maka ia tetap memiliki hak dan kewajiban terhadap keluarga istrinya.
Seorang sentana nyeburin yang bercerai dengan istrinya berhak atas pembagian harta benda
perkawinan yang berasal dari harta bersama (pegunakaya), sedangkan terhadap harta perkawinan
yang berasal dari harta warisan orang tua istrinya ia tidak berhak.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil uraian yang telah dibahas diatas dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut.
Perkawinan nyentana yakni perkawinan dimana seorang laki-laki ikut dalam keluarga
istrinya, tinggal dirumah istri dan semua keturunannya menjadi milik pihak keluarga istri yang
tujuannya adalah meneruskan keturunan untuk menghindari keputungan keluarga (putusnya
keturunan) keluarga. Dalam agama Hindu, tidak ada sloka atapun pasal yang melarang
perkawinan nyentana. Dalam kitab Manawa Dharmasastra disebutkan status anak wanita yang
ditegakkan sebagai penerus keturunan dengan sebutan Putrika (perempuan yang diubah statusnya
menjadi laki-laki).
1. Status dan kedudukan perempuan yang menerapkan konsep nyentana dikeluarganya
adalah perempuan yang statusnya menjadi laki-laki yang dilakukan melalui prosesi
upacara putrika sebelum diadakan perkawinan. Sehingga semenjak prosesi putrika
tersebut ia memiliki hak dan tangungjawab untuk menjadi ahli waris dan meneruskan
garis keturunan kelurganya. Secara otomatis semenjak terjadinya putrika ia juga
memiliki tangungjawab sebagai kepala keluarga dan sebagai kepala rumah tangga. Juga
mempunyai kewajiban untuk memenuhi semua kebutuhan keluarganya, termasuk
kebutuhan orangtuanya.
2. Perempuan yang putrika mempunyai tanggung jawab dikeluarga dan di desa adat.
Juga diwajibkan untuk meneruskan orangtuanya untuk mewarisi tanah waris milik
keluarganya. Ikut bermusyawarah dan ikut bergotong-royong dalam pelaksanaan
kegiatan yang dilaksanakan di keluarga.
3. Konsep pernikahaan nyentana di Bali merupakan hukum adat dan bukan merupakan
kaidah dari agama hindu.
4. Pergeseran konsep nyentana yang terjadi di Bali merupakan bentuk dari dampak negatif
yang diperlihatkan keluarga yang sudah melakukan nyentana pada zaman dulu sehingga

kaum muda sekarang banyak menggunakan sistem pernikahaan pade gelahan karena
dianggap lebih adil.
5. Setelah terjadinya perceraian perempuan putrika masih tetap menyandang statusnya
sebagai perempuan putrika, yaitu perempuan yang diubah hak dan kewajibannya
sebagai laki-laki pada keluarganya, kecuali tidak bertentangan dengan syarat dan
ketentuan yang telah ditetapkan pada hukum adat. Sedangkan pihak laki-laki yang putus
perkawinan karena perceraian dalam perkawinan nyeburin tidak lagi mempunyai hak dan
kewajiban pada keluarga istrinya, serta ia tidak berhak atas harta bawaan istrinya
(sebelum menikah).
3.2 Saran
Apapun dalilnya, perkawinan nyentana merupakan perkawinan yang sah secara hukum selama
dilakukan berdasarkan unsur suka-sama suka dan dilakukan menurut agama yang berlaku bagi
kedua pihak. Maka dari itu penulis menyarankan kepada individu yang masih ragu akan
pelaksanaan jenis perkawinan ini untuk menghilangkan rasa keraguan tersebut karena secara
Undang-Undang pun tidak dilarang. Sekarang tergantung pada kedua belah pihak yang terlibat
apakah siap dalam mengarungi rumah tangga dengan konsep perkawinan nyentana tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Panetje, G. (1989). Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali : Denpasar ; Guna Agung.

Windia, P. Perkawinan pada Gelahang,Udayana University Press.

Sadia, W. (2001). Pedoman Penyusunan Proposal Penelitian. Singaraja: Lembaga Penelitian
IKIP Negeri Singaraja

Suastika, N. (2003). Sikap Piolitik dan Keseteraan Gender Di Kalangan Kaum Wanita Pedesaan
di Provinsi Bali Menuju Terwujudnya Masyarakat Madani. Singaraja : IKIP Negeri Singaraja.

Sukadi. (2000). Tanah Laba Pura dan Pergeseran Nilai Sosial-Ekonomi Masyarakat Pedesaan.
Jepang: The Toyota Foundation-Grant Number 017-Y-1996.

Suyatna, I.G. (1982). Ciri-ciri Kedinamsan Kelompok Sosial Tradisional dan Peranannya dalam
Pembangunan : Bogor Disertasi Fak Pertanian IPB

Wiana, K. (1993). Palinggih di Pamerajan. Denpasar: Upada Sastra.
Wayan P. Windia, Pelaksanaan Perkawinan Pada Gelahang di Bali, Disajikan dalam seminar
hukum adat yang diselenggarakan mahasiswa Program Ekstensi FH Unud, pada tanggal 3 Juli
2010, bertempat di Aula FH Unud, Kampus Bali, Denpasar.
[2] ibid.

[3] I Ketut Wiana, Perkawinan Pada Gelahang Ditinjau Dari Ajaran Agama Hindu, Disajikan
dalam seminar hukum adat yang diselenggarakan mahasiswa Program Ekstensi FH Unud,
pada

tanggal 3 Juli 2010, bertempat di Aula FH Unud, Kampus Bali, Denpasar.

[4] I Made Suandhi, Komentar Terhadap Kawin Pada Gelahang, Disajikan dalam seminar
hukum adat yang diselenggarakan mahasiswa Program Ekstensi FH Unud, pada tanggal 3 Juli
2010, bertempat di Aula FH Unud, Kampus Bali, Denpasar.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Dokumen yang terkait

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

HUBUNGAN IMPLEMENTASI PERAWAT TENTANG PATIENT SAFETY DENGAN RESIKO CEDERA PADA INFANT DAN TODDLER

38 264 22

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TERHADAP SIKAP TENTANG KORUPSI PADA MAHASISWA

11 131 124

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TENTANG DESAIN KEMASAN PRODUK DENGAN INTENSI MEMBELI

9 123 22

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA MEREK AIR MINUM MINERAL "AQUA-versus-INDOQUALITY" (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 04.PK/N/HaKI/2004)

2 65 91

FUNGSI DAN KEWENANGAN BADAN PENGAWAS PASAR MODAL (BAPEPAM) DALAM RANGKA PENEGAKAN HUKUM DI BURSA EFEK JAKARTA (BEJ)

5 65 215