MAKALAH FILSAFAT ILMU TENTANG LOGIKA INF

MAKALAH FILSAFAT ILMU TENTANG LOGIKA INFERENSI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Filsafat merupakan akar dari seluruh ilmu yang ada, dari hasil pemikiranpemikiran filsafat itulah muncul teori-teori yang sangat bermanfaat bagi
perkembangan kelimuan dan teknologi di jagat raya ini.
Kita sudah begitu sering berfikir, rasa-rasanya berfikir begitu mudah. semenjak
kita sudah biasa melakukannya. Setiap hari kita sudah berdialog dengan diri kita
sendiri, berdialog dengan orang lain, bicara, menulis, membaca suatu uraian,
mengkaji suatu tulisan, mendengarkan penjelasan-penjelasan dan mencoba menarik
kesimpulan-kesimpulan dari hal-hal yang kita lihat dan kita dengar. Terus menerus
seringkali hampir tidak kita sadari.
Namun bila kita selidiki lebih lanjut, dan terutama bila harus dipraktekkan
sungguh-sungguh ternyata bahwa berfikir dengan teliti dan tepat merupakan kegiatan
yang cukup sukar juga. Manakala kita berfikir seksama dan sistematis berbagai
penalaran, segera akan dapat kita ketahui bahwa banyak penalaran tidak
menyambung. Kegiatan berfikir-fikir benar-benar dituntut kesanggupan pengamatan
yang kuat dan cermat; dituntut untuk melihat hubungan-hubungan, kejanggalankejanggalan, kesalahan-kesalahan yang terselubung; waspada terhadap pembenaran
diri (rasionalisasi) yang dicari-cari, terhadap segalanya yang tidak berkaitan (tidak
relevan), terhadap prasangka-prasangka, terhadap pembuatan oleh rasa perasaan
pribadi atau kelompok/ golongan.

B. Pembatasan Masalah
Agar lebih fokos dan lebih efesien dalam pembahasan ini maka kami membatasi
permasalahan ini menjadi bebrapa sub pokok pembahaan yang meliputi: Pengertian
Logika,Sejarah Ringkas Logika,Logika Formal dan Logika Material,Positivistic
Logic,Mathematical

Logic,Postmodern

Logic,Pragmatic

Logic,Transendental

Logic,Sejarah Perkembangan Logika,Batasan Logika dari Para Filsuf Ilmuan.Logika
inferensi

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan “Logika
Inferensi” dapat dirumuskan, sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian logika inferensi?
2. Bagaimana sejarah logika?

D. Tujuan Penulisan
Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini selain untuk memenuhi
salah satu tugas dari mata kuliah Ilmu sosial dasar, tapi juga bertujuan diantaranya
untuk :
1. Untuk mengetahui pengertian logika inferensi
2. Untuk mengetahui sejarah logika
E. Metodologi Penulisan
Dalam pembahasan filsafat ilmu ini saya menggunakan metode analisis
deskriftif dari sumber-sumber yang saya peroleh
F.

Sistematika Penulisan
Makalah ini di buat 3 bab yang masing-msing bab di lengkapi sub-sub bab

dengan sistemaitka sebagai berikut:
Bab I

:

Pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah, perusmusan

masalahan, pembatasan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan,
dan sistematika penulisan.

Bab II

:

Pembahasan yang menguraikan tentang Pengertian Logika,Sejarah
Ringkas Logika,Logika Formal dan Logika Material,Positivistic Logic,
Mathematical

Logic,

Postmodern

Logic,

Pragmatic

Logic,


Transendental Logic, Sejarah Perkembangan Logika, Batasan Logika
dari Para Filsuf Ilmuan.Logika inferensi
Bab III :

Penutup yang menguraikan tentang kesimpulan dan saran-saran

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Logika
Logic (logika) berasal dari kata logos (Bhs. Yunani) yang artinya kata (word)
atau apa yang diucapkan, kemudian berubah menjadi studi sistem preskriptif dari
argumen dan penalaran (reasoning), yaitu sistem yang menjadi acuan bagaimana
manusia harus berfikir. Logika dapat dikatakan sebagai bentuk penarikan
kesimpulan, apakah sesuatu atau argumen itu absah (valid) atau sebagai pendapat
yang keliru (fallacious).
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, logika berarti; [1] pengetahuan tentang
kaidah berfikir, [2] jalan fikiran yang masuk akal.[3] Inferensi berarti simpulan; yang
disimpulkan.[4] Oleh karena demikian, logika inferensial dapat didefinisikan sebagai
“berfikir dengan akal yang sehat untuk memperoleh kesimpulan”. Contohnya, ketika

seseorang menghadapi sebuah persoalan yang memerlukan jalan keluar (pemecahan),
lalu persoalan tersebut ia fikirkan dengan menggunakan akal yang sehat, kemudian
dari hasil berfikir itu ia mendapatkan sebuah simpulan pemecahan dari persoalan
tersebut.
M. Taib Thahir Abd. Muin mengemukakan bahwa ilmu manthiq (logika)
menurut bahasa ialah bertutur benar. Adapun definisinya bermacam-macam, namun
kesimpulannya sama, antara lain; [1] ilmu tentang undang-undang berfikir, [2] ilmu
untuk mencari dalil, [3] ilmu untuk menggerakkan fikiran kepada jalan yang lurus
dalam memperoleh suatu kebenaran, [4] ilmu yang membahas tentang undangundang yang umum untuk fikiran, [5] alat yang merupakan undang-undang berfikir
dan bila undang ini dipelihara dan diperhatikan, maka hati nurani manusia pasti dapat
terhindar dari fikiran-fikiran yang salah.
B. Sejarah Ringkas Logika
W. Poespoprodjo dalam bukunya yang berjudul Logika Scientifika: Pengantar
Dialektika dan Ilmu, membagi sejarah logika, sebagai berikut:
1.

Dunia Yunani Tua
Menurut sebagian kisah sejarah Zeno dari Citium (±340-265) disebutkan bahwa

tokoh Stoa adalah yang pertama kali menggunakan istilah logika. Namun demikian,


akar logika sudah terdapat dalam pikiran dialektis para filsuf mazhab Elea. Mereka
telah melihat masalah identitas dan perlawanan asas dalam realitas. Tetapi kaum
sofis-lah yang membuat fikiran manusia sebagai titik api pemikiran secara eksplisit.
Gorgias (±483-375) dari Lionti (Sicilia), mempersoalkan masalah pikiran dan
bahasa, masalah penggunaan bahasa dalam kegiatan pemikiran. Dapatkah ungkapan
mengatakan secara tepat apa yang ditangkap pikiran?
Sokrates (470-399) dengan metodenya, mengembangkan metode induktif.
Dalam metode ini dikumpulkan contoh dan peristiwa konkrit untuk kemudian dicari
ciri umumnya. Plato, yang nama aslinya Aristokles, (428-347) mengumumkan
metode Sokrates tersebut sehingga menjadi teori ide, yakni teori dinge an sich versi
Plato. Sedangkan oleh Aristoteles, dikembangkan menjadi teori tentang ilmu.
Menurut Plato, ide adalah bentuk “mulajadi” atau model yang bersifat umum dan
sempurna yang disebut prototypa, sedangkan benda individual duniawi hanya
merupakan bentuk tiruan yang tidak sempurna yang disebut ectypa. Gagasan Plato
ini banyak memberikan dasar terhadap perkembangan logika, lebih-lebih yang
bertalian dengan ideogenesis dan penggunaan bahasa dalam pemikiran. Namun
demikian, logikè epistèmè (logika ilmiyah) sesungguhnya baru dapat dikatan
terwujud berkat karya Aristoteles.
Sesudah Aristoteles, Theoprastus mengembangkan teori logika Aristoteles, dan

kaum Stoa mengembangkan teori logika dengan menggarap masalah bentuk
argument disjungtif dan hipotesis serta beberapa segi masalah bahasa. Chrysippus
yang Stoa mengembangkan logika proposisi dan mengajukan bentuk-bentuk berfikir
yang sistematis.
Galenus, Alexander Aphrodisiens,

dan

Sextus

Empiricus

mengadakan

sistematisasi logika dengan mengikuti cara geometri, yakni metode ilmu ukur.
Galenus sangat berpengaruh karena tuntutannya yang sangat ketat aksiomatisasi
logika. Karya utama Galenus berjudul Logika Ordini Geometrico Demonstrata. Tapi
impian Galenus hanya terlaksana jauh kemudian. Yakni di akhir abad XVII melalui
karya saceheri yang berjudul Logica Demonstrativa.
Kemudian muncullah zaman dekadensi logika. Salama ini logika mmengembang

karena menyertai perkembangan pengetahuan dan ilmu yang menyadari betapa
berseluk beluknya kegiatan berpikir yang langkahnya mesti dipertanggungjawabkan.
Kini ilmu menjadi dangkal sifatnya dan sangat sederhana, maka logika juga merosot.
Tetapi beberapa karya pantas mendapat perhatian kita, yakni Eisagogen dari

Porphyrios, kemudian komentar-komentar dari Boethius dan Fons Scientiae (Sumber
Ilmu) karya Johannes Damascenus.
2.

Logika Abad Pertengahan
Pada mulanya hingga tahun 1141, penggarapan logika hanya berkisar pada karya

Aristoteles yang berjudul Kategoriai dan Peri Hermenias. Karya tersebut ditambah
dengan karya Phorphyrios yang bernama Eisagogen dan traktat Boethius yang
mencakup masalah pembagian, masalah metode debat, silogisme kategoris hipotesis,
yang biasa disebut logika lama. Sesudah tahun 1141, keempat karya Aristoteles
lainnya dikenal lebih luas dan disebut sebagai logika baru. Logika lama dan logika
baru kemudian disebut logika antik untuk membedakan diri dari logika terministis
atau logika modern, disebut juga logika suposisi yang tumbuh berkat pengaruh para
filosof Arab. Di dalam logika ini di ditunjuk pentingnya pendalaman tentang suposisi

untuk menerangkan kesesatan logis, dan tekanan terletak pada ciri-ciri term sebagai
symbol tata bahasa dari konsep-konsep seperti yang terdapat di dalam karya Petrus
Hispanus, William dari Ockham.
Thomas Aquinas dkk., mengusahakan sistimatisasi dan mengajukan komentarkomentar dalam usaha mengembangkan logika yang telah ada. Pada abad XIII-XV
berkembanglah logika seperti yang sudah disebutkan di atas, disebut logika modern.
Tokohnya adalah Petrus Hispanus, Roger Bacon, W. Okcham, dan Raimon Lullus
yang menemukan metode logika baru yang disebut Ars Magna, yakni semacam Aljabar pengertian dengan tujuan untuk membuktikan kebenaran-kebenaran tertinggi.
Abad pertengahan mencatat berbagai pemikiran yang sangat penting bagi
perkembangan logika. Karya Boethius yang orisinal dibidang silogisme hipotesis,
berpengaruh bagi perkembangan teori konsekwensi yang merupakan salah satu hasil
terpenting bagi perkembangan logika di abad pertengahan. Kemudian dapat dicatat
juga teori tentang cirri-ciri term, teori suposisi yang jika diperdalam ternyata lebih
kaya dari semiotika matematika di zaman ini. Selanjutnya diskusi tentang
universalia,

munculnya

logika

hubungan,


penyempurnaan

teori

silogisme,

penggarapan logika modal, dan lain-lain penyempurnaan terknis.
3.

Logika Dunia Modern
Logika Aristoteles, selain mengalami perkembangan yang murni, juga

dilanjutkan oleh sebagian pemikir, tetapi dengan tekanan-tekanan yang berbeda.

Thomas Hobbes, (1632-1704) dalam karyanya Leviatham (1651) dan John Locke
(1632-1704)

dalam


karyanya

yang

bernama

Essay

Concerning

Human

Understanding (1690). Meskipun mengikuti tradisi aristoteles, tetapi dokrin-dokrinya
sangat dikuasai paham nominalisme. Pemikiran dipandang sebagai suatu proses
manipulasi tanda-tanda verbal dan mirip operasi-operasi dalam matematika. Kedua
tokoh ini memberikan suatu interpretasi tentang kedudukan di dalam pengalaman.
Logika Aristoteles yang rancangan utamanya bersifat deduktif silogistik dan
menunjukkan tanda-tanda induktif berhadapan dengan dua bentuk metode pemikiran
lainnya, yakni logika fisika induktif murni sebagaimana terpapar dalam karya Francis
Bacon, Novum Organum (London, 1620) serta matematika deduktif murni
sebagaimana terurai di dalam karya Rene Descartes, Discors The La Methode
(1637).
Metode induktif untuk menemukan kebenaran, yang direncanakan Francis
Bacon, didasarkan pada pengamatan empiris, analisis data yang diamati,
penyimpulan yang terwujud dalam hipotesis (kesimpulan sementara), dan verifikasi
hipotesis melalui pengamatan dan eksperimen lebih lanjut.
4.

Logika di India
Di Asia hanya India yang sudah mengembangkan logika secara formal sejak

masa lalunya. Logika lahir dari Sri Gautama yang harus sering berdebat melawan
golongan Hindu fanatic yang menyerang aliran kesusilaan yang diajarkannya.
Dengan sistematis logika dipaparkannya dalam Nyaya-Sutra sehingga mencapai taraf
perkembangan ilmu. Nyaya-Sutra mendapat komentar dari Prasastapada, yang
kemudian disempurnakan oleh pengikut-pengikut Buddha lainnya.
Logika terus sebagai metode berdebat, dan mengundang banyak komentar dari
orang-orang seperti Uddyotakara, Vacaspati Misra, Mazdab Nyaya, Kumarila Bhatta,
Mazdab Mimamza Dharmakirti, seorang Buddhis Udayana, Bhagavata, dan lain-lain.
C. Logika Formal dan Logika Material
Setelah pengetahuan logika makin ramai dibicarakan orang maka logika
artificialis dibedakan orang menjadi dua macam, yaitu logika formal dan logika
material. Logika formal mempelajari asas-asas, aturan-aturan atau hukum-hukum
berfikir yang harus ditaati, agar orang dapat berfikir dengan benar dan mencapai
kebenaran. Logika material mempelajari langsung pekerjaan akal, serta menilai hasil-

hasil logika formal dan mengujinya dengan kenyataan-kenyataan praktis yang
sesungguhnya. Apakah hasil-hasil logika formal itu sungguh sesuai dengan isi
(materi) kenyataan yang sebenarnya.
Logika material mempelajari sumber-sumber dan asal-usul pengetahuan, alatalat pengetahuan, proses terjadinya pengetahuan, dan akhirnya merumuskan metode
ilmu pengetahuan. Logika material inilah yang menjadi sumber yakni yang
menimbulkan filsafat mengenal (kennisleer) dan filsafat ilmu pengetahuan
(wetenschapsleer). Logika formal dinamakan orang juga logika minor, sedang logika
material dinamakan sebagai logika mayor. Dan apa yang disebut dengan logika
formal sekarang ini ialah ilmu yang mengandung kumpulan kaidah-kaidah cara
berfikir untuk mencapai kebenaran.
D. Positivistic Logic
Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional,
dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina
pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti
rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang
ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak
memiliki arti sama sekali.
Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain Moritz
Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya
tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama
terhadap pendekatan neo-positivis ini.
Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap
sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau
metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan
inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini
mendukung teori-teori paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan
empirisme.
Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang
“makna yang dapat dibuktikan”, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat
disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi
secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang
tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan

masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam
bidang metafisika.
Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa landasan dasar yang
digunakan oleh Positivisme Logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang
konsisten. Misalnya, prinsip tentang teori tentang “makna yang dapat dibuktikan”
seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri tidak dapat dibuktikan secara empiris.
Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian teori. Masalah yang
dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif (misalnya: ada burung berwarna hitam)
atau dalam bentuk universal negatif (misalnya: tidak semua burung berwarna hitam)
mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah yang dinyatakan
sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif (misalnya: tidak ada burung yang
berwarna hitam) atau universal positif (misalnya: semua burung berwarna hitam)
akan sulit atau bahkan tidak mungkin dibuktikan.
Karl Popper, salah satu kritikus Positivisme Logis yang terkenal, menulis buku
berjudul Logik der Forschung (Logika Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934. Di buku
ini dia menyajikan alternatif dari teori syarat pembuktian makna, yaitu dengan
membuat

pernyataan

ilmiah

dalam

bentuk

yang

dapat

dipersangkalkan

(falsifiability). Pertama, topik yang dibahas Popper bukanlah tentang membedakan
antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak, namun untuk membedakan antara
pernyataan yang ilmiah dari pernyataan yang bersifat metafisik. Menurutnya,
pernyataan metafisik tidaklah harus tidak bermakna apa-apa, dan sebuah pernyataan
yang bersifat metafisik pada satu masa, karena pada saat tersebut belum ditemukan
metode penyangkalannya, belum tentu akan selamanya bersifat metafisik. Sebagai
contoh, psikoanalisis pada jaman itu tidak memiliki metode penyangkalannya,
sehingga tidak dapat digolongkan sebagai ilmiah, namun jika suatu saat nanti
berkembang menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan melalui penyangkalan, maka
akan dapat digolongkan sebagai ilmiah.
E. Mathematical Logic
Logika matematika adalah cabang ilmu pengetahuan logika dan matematika.
Logika matematika mempelajari tentang matematis ilmu logika dan aplikasinya ke
dalam ruang lingkup matematika. Logika matematika juga memiliki kaitan erat
dengan ilmu komputer dan logika filsafat. Lebih dari itu, logika matematika kadang
dianggap sebagai ilmu yang bisa memetakan logika manusia.

Logika matematika sebenarnya mengacu kepada dua ruang lingkup penelitian
yang berbeda. Yang pertama adalah aplikasi teknik-teknik logika formal ke dalam
matematika dan penalaran matematika. Sedangkan yang kedua, sebaliknya, adalah
aplikasi dari teknik-teknik matematika ke dalam representasi dan analisis logika
formal. Bisa dikatakan bahwa logika matematika menyatukan kekuatan ekspresi dari
logika formal dan kekuatan deduksi dari sistem pembuktian formal (formal proof
system). Penggunaan matematika dalam hubungannya dengan logika dan filsafat
dimulai pada zaman Yunani kuno.
Beberapa hasil teori logika yang telah berhasil dan terkenal di kalangan para
matematikawan barat di antaranya adalah Teori silogisme dari Aristoteles dan
aksioma Euclid untuk geometri planar. Sekitar tahun 1700, percobaan-percobaan
untuk melakukan operasi-operasi logika formal dengan memakai simbol-simbol dan
aljabar juga dilakukan oleh banyak matematikawan lain, termasuk Leibniz dan
Lambert. Akan tetapi, informasi mengenai hasil pekerjaan mereka sangat sedikit dan
jarang sekali ditemukan, yang karena itu tidak terlalu diketahui oleh publik.
F.

Postmodern Logic
Istilah postmodern, pertama kali dilontarkan oleh Arnold Toynbee pada tahun

1939. Kendati sampai saat ini belum ada kesepakatan dalam pendefinisiannya, tetapi
istilah tersebut berhasil menarik perhatian banyak orang di Barat. Pada tahun 1960,
untuk pertama kalinya istilah itu berhasil diekspor ke benua Eropa sehingga banyak
pemikir Eropa mulai tertarik pada pemikiran tersebut. J Francois Lyotard, salah satu
contoh pribadi yang telah terpikat dengan konsep tersebut. Ia berhasil menggarap
karyanya yang berjudul The Post-Modern Condition sebagai kritikan atas karya The
Grand Narrative yang dianggap sebagai dongeng khayalan hasil karya masa
Modernitas.
Ketidakjelasan definisi sebagai mana yang telah disinggung menjadi penyebab
munculnya kekacauan dalam memahami konsep tersebut. Tentu, kesalahan
berkonsep akan berdampak besar dalam menentukan kebenaran berfikir dan menjadi
ambigu. Sedang kekacauan akibat konsep berfikir yang tidak jelas akan
membingungkan pelaku dalam pengaplikasian konsep tersebut.
Banyak versi dalam mengartikan istilah postmodernisme ini. Foster menjelaskan,
sebagian orang seperti Lyotard beranggapan, postmodernisme adalah lawan dari
modernisme yang dianggap tidak berhasil mengangkat martabat manusia modern.

Sedang sebagian lagi seperti Jameson beranggapan, postmodernisme adalah
pengembangan dari modernitas seperti yang diungkap Bryan S. Turner dalam
Theories of Modernity and Post-Modernity-nya. Dapat dilihat, betapa jauh perbedaan
pendapat antara dua kelompok tadi tentang memahami Post-modernis. Satu
mengatakan, konsep modernisme sangat berseberangan dengan postmodernisme
bahkan terjadi paradok, sedang yang lain menganggap bahwa postmodernisme
adalah bentuk sempurna dari modernisme, yang mana tidak mungkin kita dapat
masuk jenjang postmodernisme tanpa melalui tahapan modernitas. Dari pendapat
terakhir inilah akhirnya postmodernisme dibagi menjadi beberapa bagian, antara lain:
Post-Modernis Ressistace, Post-Modernism Reaction, Opposition Post-Modernisme
dan Affirmative Post-Modernism. Akibat dari perdebatan antara dua pendapat di atas,
muncullah pendapat ketiga yang ingin menengahi antara dua pendapat yang
kontradiktif tadi.
Zygmunt Bauman dalam karyanya yang berjudul Post-Modern Ethics
berpendapat, kata “post” dalam istilah tadi bukan berartikan “setelah” (masa
berikutnya) sehingga muncullah kesimpulan-kesimpulan seperti di atas tadi. Menurut
Bauman, postmodernisme adalah usaha keras sebagai reaksi dari kesia-siaan zaman
modernis yang sirna begitu saja bagai ditiup angin. Adapun penyebab dari kesiasiaan zaman modernis adalah akibat dari tekanan yang bersumber dari prasangka
(insting, wahm) belaka. Asas pemikiran postmdernisme sebagaimana berbagai isme
dan aliran pemikiran lain di Barat, selalu bertumpu dan berakhir pada empat pola
pemikiran; epistemologi materialisme, humanisme, liberalisme dan sekularisme.
Tidak terkecuali dengan postmodernisme.
G. Pragmatic Logic
Istilah pragmatisme berasal dari kata Yunani “pragma” yang berarti perbuatan
atau tindakan. “isme” di sini sama artinya dengan isme-isme yang lainnya yaitu
aliran, ajaran atau paham. Dengan demikian pragmatisme adalah ajaran yang
menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Kreteria kebenarannya adalah
“faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh pragmatisme benar
apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori adalah benar if it works
(apabila teori dapat diaplikasikan).
Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya
suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau

tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia. Ide ini merupakan budaya
dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai
sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal
abad ini. Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce (1839-1942),
yang kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey
(1859-1952).
H. Transendental Logic
Emanuel Kant menemukan Logika Transendental yaitu logika yang menyelediki
bentuk-bentuk pemikiran yang mengatasi batas pengalaman.
1) Bahasa Logika
Bahasa merupakan pernyataan pikiran atau perasaan sebagai alat komunikasi
manusia. Dan khusus alat komunikasi ilmiah disebut dengan bahasa ilmiah, yaitu
kalimat berita yang merupakan suatu pernyataan-pernyataan atau pendapat-pendapat.
Bahasa sangat penting juga dalam pembentukan penalaran ilmiah karena penalaran
ilmiah mempelajari bagaimana caranya mengadakan uraian yang tepat dan sesuai
dengan pembuktian-pembuktian secara benar dan jelas. Bahasa secara umum
dibedakan antara bahasa alami dan bahasa buatan. Bahasa alami ialah bahasa seharihari yang biasa digunakan untuk menyatakan sesuatu, yang tumbuh atas dasar
pengaruh alam sekelilingnya, dibedakan antara bahasa isyarat dan bahasa biasa.
Bahasa buatan ialah bahasa yang disusun sedemikian rupa berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan akal pikiran untuk maksud tertentu, yang dibedakan
antara bahasa istilahi dan bahasa artifisial. Bahasa buatan inilah yang dimaksudkan
bahasa ilmiah, dirumuskan bahasa buatan yang diciptakan oleh para ahli dalam
bidangnya dengan menggunakan istilah-istilah atau lambang-lambang untuk
mewakili pengertian-pengertian tertentu.
Sebagai pernyataan pikiran atau perasaan dan juga sebagai alat komunikasi
manusia karena bahasa mempunyai 3 fungsi pokok, yakni fungsi ekspresif atau
emotif, fungsi afektif atau praktis, dan fungsi simbolik dan logik. Khusus untuk
logika dan juga untuk bahasa ilmiah yang harus diperhatikan adalah fungsi simbolik
karena komunikasi ilmiah bertujuan untuk menyampaikan informasi yang berupa
pengetahuan. Agar komunikasi ilmiah ini berjalan dengan baik maka bahasa yang
dipergunakan harus logik terbebas dari unsur-unsur emotif.

Bahasa yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan atau kalimat deklaratif jika
ditinjau berdasarkan isinya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu pernyataan
analitik dan pernyataan sintetik.
Pernyataan (statement) dalam logika ditinjau dari segi bentuk hubungan makna
yang dikandungnya, pernyataan itu disamakan juga dengan proposisi. Proposisi atau
pernyataan berdasarkan bentuk isinya dibedakan antara 3 macam, yakni proposisi
tunggal, proposisi kategorik, dan proposisi majemuk.
Tiga macam proposisi atau pernyataan di atas yang sebagai dasar penalaran adalah
proposisi kategorik untuk penalaran kategorik, dan proposisi majemuk untuk
penalaran majemuk. Adapun proposisi tunggal atau proposisi simpel pengolahannya
dapat masuk dalam penalaran kategorik dan dapat juga masuk dalam penalaran
majemuk.
I.

Sejarah Perkembangan Logika
Logika pertama-tama disusun oleh Aristoteles (384-322 SM), sebagai sebuah

ilmu tentang hukum-hukum berpikir guna memelihara jalan pikiran dari setiap
kekeliruan. Logika sebagai ilmu baru pada waktu itu, disebut dengan nama
“analitika” dan “dialektika”. Kumpulan karya tulis Aristoteles mengenai logika
diberi nama Organon, terdiri atas enam bagian.
Theoprastus (371-287 sM), memberi sumbangan terbesar dalam logika ialah
penafsirannya tentang pengertian yang mungkin dan juga tentang sebuah sifat asasi
dari setiap kesimpulan. Kemudian, Porphyrius (233-306 M), seorang ahli pikir di
Iskandariah menambahkan satu bagian baru dalam pelajaran logika. Bagian baru ini
disebut Eisagoge, yakni sebagai pengantar Categorie. Dalam bagian baru ini dibahas
lingkungan-lingkungan zat dan lingkungan-lingkungan sifat di dalam alam, yang
biasa disebut dengan klasifikasi. Dengan demikian, logika menjadi tujuh bagian.
Tokoh logika pada zaman Islam adalah Al-Farabi (873-950 M) yang terkenal mahir
dalam bahasa Grik Tua, menyalin seluruh karya tulis Aristoteles dalam berbagai
bidang ilmu dan karya tulis ahli-ahli pikir Grik lainnya. Al-Farabi menyalin dan
memberi komentar atas tujuh bagian logika dan menambahkan satu bagian baru
sehingga menjadi delapan bagian.
Karya Aristoteles tentang logika dalam buku Organon dikenal di dunia Barat
selengkapnya ialah sesudah berlangsung penyalinan-penyalinan yang sangat luas dari

sekian banyak ahli pikir Islam ke dalam bahasa Latin. Penyalinan-penyalinan yang
luas itu membukakan masa dunia Barat kembali akan alam pikiran Grik Tua.
Petrus Hispanus (meninggal 1277 M) menyusun pelajaran logika berbentuk sajak,
seperti All-Akhdari dalam dunia Islam, dan bukunya itu menjadi buku dasar bagi
pelajaran logika sampai abad ke-17. Petrus Hispanus inilah yang mula-mula
mempergunakan berbagai nama untuk sistem penyimpulan yang sah dalam perkaitan
bentuk silogisme kategorik dalam sebuah sajak. Dan kumpulan sajak Petrus
Hispanus mengenai logika ini bernama Summulae.
Francis Bacon (1561-1626 M) melancarkan serangan sengketa terhadap logika
dan menganjurkan penggunaan sistem induksi secara lebih luas. Serangan Bacon
terhadap logika ini memperoleh sambutan hangat dari berbagai kalangan di Barat,
kemudian perhatian lebih ditujukan kepada penggunaan sistem induksi.
Pembaruan logika di Barat berikutnya disusul oleh lain-lain penulis di antaranya
adalah Gottfried Wilhem von Leibniz. Ia menganjurkan penggantian pernyataanpernyataan dengan simbol-simbol agar lebih umum sifatnya dan lebih mudah
melakukan analisis. Demikian juga Leonard Euler, seorang ahli matematika dan
logika Swiss melakukan pembahasan tentang term-term dengan menggunakan
lingkaran-lingkaran untuk melukiskan hubungan antarterm yang terkenal dengan
sebutan circle-Euler.
John Stuart Mill pada tahun 1843 mempertemukan sistem induksi dengan sistem
deduksi. Setiap pangkal-pikir besar di dalam deduksi memerlukan induksi dan
sebaliknya induksi memerlukan deduksi bagi penyusunan pikiran mengenai hasilhasil eksperimen dan penyelidikan. Jadi, kedua-duanya bukan merupakan bagianbagian yang saling terpisah, tetapi sebetulnya saling membantu. Mill sendiri
merumuskan metode-metode bagi sistem induksi, terkenal dengan sebutan Four
Methods.
Logika Formal sesudah masa Mill lahirlah sekian banyak buku-buku baru dan
ulasan-ulasan baru tentang logika. Dan sejak pertengahan abad ke-19 mulai lahir satu
cabang baru yang disebut dengan Logika-Simbolik. Pelopor logika simbolik pada
dasarnya sudah dimulai oleh Leibniz.
Logika simbolik pertama dikembangkan oleh George Boole dan Augustus de
Morgan. Boole secara sistematik dengan memakai simbol-simbol yang cukup luas
dan metode analisis menurut matematika, dan Augustus De Morgan (1806-1871)

merupakan seorang ahli matematika Inggris memberikan sumbangan besar kepada
logika simbolik dengan pemikirannya tentang relasi dan negasi.
Tokoh logika simbolik yang lain ialah John Venn (1834-1923), ia berusaha
menyempurnakan analisis logik dari Boole dengan merancang diagram lingkaranlingkaran yang kini terkenal sebagai diagram Venn (Venn’s diagram) untuk
menggambarkan hubungan-hubungan dan memeriksa sahnya penyimpulan dari
silogisme. Untuk melukiskan hubungan merangkum atau menyisihkan di antara
subjek dan predikat yang masing-masing dianggap sebagai himpunan.
Perkembangan logika simbolik mencapai puncaknya pada awal abad ke-20
dengan terbitnya 3 jilid karya tulis dua filsuf besar dari Inggris Alfred North
Whitehead dan Bertrand Arthur William Russell berjudul Principia Mathematica
(1910-1913) dengan jumlah 1992 halaman. Karya tulis Russell-Whitehead Principia
Mathematica memberikan dorongan yang besar bagi pertumbuhan logika simbolik.
Dalam dunia islam logika berkembang yaitu pada zaman kejayaan islam. Islam
ketika itu telah berkembang sampai ke Spanyol di barat dan ke timur mencapi
perbatasan Cina. Zaman itu adalah zaman perkembangan ilmu pengetahuan dan
dilakukan penterjemahan buku-buku Yunani kuno, Persia dan Sansekerta ke bahasa
Arab di zaman Khalifah Al-Ma’un dari daulat Abbasyiah di Babdad dan Khalifah
Di Indonesia pada mulanya logika tidak pernah menjadi mata pelajaran pada
perguruan-perguruan umum. Pelajaran logika cuma dijumpai pada pesantrenpesantren Islam dan perguruan-perguruan Islam dengan mempergunakan buku-buku
berbahasa Arab. Pada masa sekarang ini logika di Indonesia sudah mulai
berkembang sesuai perkembangan logika pada umumnya yang mendasarkan pada
perkembangan teori himpunan.
J. Batasan Logika dari Para Filsuf Ilmuan
Dalam kontek ini bidan penalaran logika sudah banyak mendapat perhatian dari
khalayak Indonesia. Hal ini mebuktiakn dari adanya berbagai buku logika yang
terbigt dalam bahasa Indonesia, meskipun masih terbatas pada Logika tradisional.
Berikut ini beberapa pengertian logika.
-

Hasbullah Bakry.
Logika adalah ilmu pengetahuan yang mengatur penitian hukum-hukum
akal manusia sehingga menyebab pikirannya dapat mencapai kebenaran.

-

N. Djirkara
Logika adalah ilmu pengetahuan yng memandang hukum-hukum susunan
atau bentuk pikiran manusia yang menyebabkan pikiran dapat mencapai
kebenaran.

-

Fudyartanda
Logika adlah ilmu yang mempelajari tentang kebenaran berpikir

-

Nurul Huda
Logika adlah olmu yang mempelajari dan merumuskan kaidah-kaidah dan
hukum-hukum sebagai pegangan untuk berpikir tepat dan praktis bagi
mencapi kesimpulan yang valid dan pemecahan persoalan yang bijak sana.

-

Ir. Poedjawijatna
Logika adalah Filsafat budi (manusia) yang mempelajari teknik berpikir
untuk mengetahui bagaimana manusia berpikir denagn semestinya.

-

A.B. Hutabarat
Logika adalah ilmu berpikir yang tepat, dan sekadar dapat menunjukkakan
adanya kekeliruan dalam rantai proses pemikiran sehingga kekeliruan itu
dapat dielakkan maka hakikat dari Logika dapt pula disebut tknik berfikir.

-

K. .Logika inferensi
Logika inferensi yang berpengaruh lama sampai perempat akhir abad XX
adalah logika matematika, yang menguasai positivisme. Positivistik
menampilkan kebenaran korespondensi antara fakta. Fenomenologi Russel
menampilkan korespondensi antara yang dipercaya dengan fakta. Belief
pada Russel memang memuat moral, tapi masih bersifat spesifik, belum ada
skema moral yang jelas, tidak general sehingga inferensi penelitian berupa
kesimpulan kasus atau kesimpulan ideografik. menyimpulkan kasus dalam
logika inferensi jauh sudah tersurat dan tersirat dalam al-quran yang
menjelaskan Humen observesion,

101. Katakanlah: "Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. tidaklah
bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi
orang-orang yang tidak beriman". dalam ayat diatas kita diperintahkan oleh allah
untnuk memperhatikan apa yang terdapat di alam jagat raya ini dan menyimpulkanya
dengan akal fikiran yang kita punya, yang disebut dengan logika, logika inilah yang

dapat mendefinisikan dan mengiktisarkan apa yang terdapat, terjadi, penyebab dan
lain sebagainya di alam ini.
Post-positivistik dan rasionalistik menampilkan kebenaran koheren antara
rasional, koheren antara fakta dengan skema rasio, Fenomena Bogdan dan Guba
menampilkan kebenaran koherensi antara fakta dengan skema moral. Realisme
metafisik Popper menampilkan kebenaran struktural paradigmatik rasional universal
dan Noeng Muhadjir mengenalkan realisme metafisik dengan menampilkan
kebenaranan struktural paradigmatik moral transensden.
Di lain pihak, menjelaskan bahwa penarikan kesimpulan baru dianggap sahih
kalau penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu, yakni
berdasarkan logika. Secara garis besarnya, logika terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu
logika induksi dan logika deduksi.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan di atas, penulis memberikan kesimpulan bahwa dalam
menghasilkan kesimpulan dari hasil pemikiran diperlukan metode, strategi dan
pendekatan-pendakatan yang terkonstruk agar inferensinya lebih baik.
Berfikir dengan teliti dan tepat merupakan kegiatan yang cukup sukar juga.
Manakala kita berfikir seksama dan sistematis berbagai penalaran, segera akan dapat
kita ketahui bahwa banyak penalaran tidak menyambung tidak menyekrup. Kegiatan
berfikir-fikir benar-benar dituntut kesanggupan pengamatan yang kuat dan cermat;
dituntut untuk melihat hubungan-hubungan, kejanggalan-kejanggalan, kesalahankesalahan yang terselubung; waspada terhadap pembenaran diri (rasionalisasi) yang
dicari-cari, terhadap segalanya yang tidak berkaitan (tidak relevan), terhadap
prasangka-prasangka, terhadap pembuatan oleh rasa perasaan pribadi atau
kelompok / golongan.
Jadi jelasnya berfilsafat tidak hanya sekedar berfikir mendalam namun ada
aturan-aturan atau prosedur yang harus dijadikan sebagai syarat agar dapat dikatakan
berfilsafat.

B. Saran
Jadi jelasnya berfilsafat tidak hanya sekedar berfikir mendalam namun ada
aturan-aturan atau prosedur yang harus dijadikan sebagai syarat agar dapat dikatakan
berfilsafat. dan dalam penyusunan makalah ini saya sadari jauh dari kesempurnaan
oleh karena itu seyogyanya bagi para pembaca untuk mendalami tentang logika
inferensi ini,

DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan, et al. 2005 M. Kamus Besar Bahasa Indonesia Ed. III; Cet. IV; Jakarta:
Balai Pustaka,
Bakhtiar, Amsal. 2004. "Filsafat Ilmu". Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Bakry, Hasbullah. Sistematik Filsafat. Cet. IX; Jakarta: Penerbit Wijaya, 1992 M.
Ismaun, 2009” filsafat ilmu” Jakarta : Raja Grafindo Persada
Mundiri, H. 2008. Logika. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Muin, M. Taib Thahir Abd. 1993 M “Ilmu Manthiq (Logika”). Cet. IV; Jakarta:
Penerbit Wijaya
Poespoprodjo, W. 1999. Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu. Cet. I;
Bandung: Pustaka Grafika,
Suriasumantri. Jujun, 2008 “ Filsafat Ilmu sebuah pengantar popular” Jakarta : Sinar
Harapan
WP, Santika. Logika Digital. Bandung: Departemen Teknik Informatika Institut
Teknologi Bandung, 2007 M.

Kata Pengantar
Segala puji bagi allah tuhan semesta alam yang telah memberi seluruh
makhluknya dari yang terkecil mulai yang terbesar, terutama nikmat sehat wal afiat
ditambah lagi dengan nikmat islam. Syukur alhamdulilah kami ucapkan sebanyakbanyaknya kepada Allah karena berkat inayah dan pertolongannya kami aya dapat
menyelesaikan tugas filsafat ilmu yang berjudul logika inferensi ini,
Salawat beserta salam semoga tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW,
dialah Nabi yang membawa umatnya dari jaman jahiliyah kejaman keemasan islam
dengan penuh ilmu pengetahuan yang arif dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Secara garis besar makalah filsafat ilmu yang saya susun ini yang berkenaan
dengan judul yang saya usung yaitu Logika Inferensi membahas tentang Pengertian
Logika,Sejarah Ringkas Logika,Logika Formal dan Logika Material,Positivistic
Logic,Mathematical

Logic,Postmodern

Logic,Pragmatic

Logic,Transendental

Logic,Sejarah Perkembangan Logika,Batasan Logika dari Para Filsuf Ilmuan.Logika
inferensi
Besar harapan saya agar makalah ini bermanfaat bagi para pembaca, untuk
menambah khazanah ilmu pengetahuan khususnya dalam pembahasan metafisika.
segala tegur sapa, berupa kritik dan saranya saya sangat mengharapkan dari pembaca
untuk kemajuan saya dalam membuat makalah dimasa yang akan datang

Medan,28 November 2011
Hormat saya

Penyusun

DAFTAR ISI
Penghantar…………………………………………………..…..…….. i
Daftar Isi………………………………………………………...……. ii
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah........................................................ 1
B. Pembatasan Maslah .............................................................. 3
C. Rumusan Masalah................................................................. 4
D. Maksud dan Tujuan.............................................................. 4
E. Sistematika Penulisan........................................................... 5
F. Metodologi Penulisan .......................................................... 5
Bab II
Pembahasan
A. Pengertian Logika.......................................................... 4
B. Sejarah Ringkas Logika............................................. 5
C. Logika Formal dan Logika Material............................ 10
D. Positivistic Logic...................................................... 11
E. Mathematical Logic................................................... 13
F. Postmodern Logic..................................................... 14
G. Pragmatic Logic....................................................... 16
H. Transendental Logic.................................................. 17
I. Sejarah Perkembangan Logika.................................... 19
J. Batasan Logika dari Para Filsuf Ilmuan....................... 22
K. .Logika inferensi………………………………………. 24
Bab III
Penutup
A.kesimpulan .......................................................................... 26
B. Saran................................................................................. 27

MAKALAH LOGIKA SCIENTIFIKA
Filsafat Ilmu Tentang Logika Inferensi
D
I
S
U
S
U
N
OLEH
Nama

: Rizki utari

Nim

: 20072994

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
AL HIKMAH
M E DAN
2011