Proposal Penelitian Produksi Tanaman Say

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Terung Belanda awalnya dikenal dengan nama Chypomandra betaceae
Cav., akan tetapi kemudian direvisi oleh Sendtner menjadi Solanum betaceaum
Cav. yang termasuk dalam famili Solanaceae. Terung Belanda (Solanum
betaceaum Cav.) merupakan tanaman jenis terung-terungan dari famili
Solanaceae. Terung Belanda tumbuh di Indonesia hanya pada beberapa daerah
terutama di Berastagi kabupaten Karo Sumatera Utara. Terung Belanda
merupakan tanaman yang bernilai komersial, sehingga perlu dikembangkan baik
kualitas maupun kuantitasnya.
Solanum mauritianum atau Lancing adalah berupa pohon kecil atau semak
dari Amerika Selatan, termasuk Argentina Utara, Brazil Selatan, Paraguay dan
Uruguay. Tanaman ini memiliki waktu hidup hingga tiga puluh tahun dan dapat
tumbuh hingga mencapai 33 kaki. Tanaman ini memiliki daun oval yang besar
berwarna hijau ke abu-abuan. Bunganya berwarna ungu dengan berwarna kuning
di tengah. Tumbuhan ini dapat berbunga sepanjang tahun dan dapat tumbuh pada
berbagai jenis tanah. (Wikipedia, diakses februari 2016)
Terung Belanda pada awalnya berasal dari pegunungan Andes dan lebih
kurang 30 species dari genus ini yang tersebar di bagian selatan Amerika (Faucon,
1998), namun tanaman ini sangat populer di New Zealand dan pada saat ini mulai

berkembang di daerah tropis lainnya seperti Indonesia. Di Indonesia sendiri
penyebaran species Terung Belanda tidak begitu banyak, hanya terdapat pada
beberapa daerah saja yaitu Bali, Jawa Barat dan Tanah Karo Sumatera Utara
(Kumalaningsih, 2006). Rasa asam manis pada buah Terung Belanda yang banyak
diminati masyarakat Sumatera Utara dianggap mempunyai potensi yang cukup
baik untuk menambah nilai ekonomi daerah tersebut, maka banyak dikembangkan
pengolahannya dalam bentuk sirupdan selai (Departemen Pertanian, 2003).
Namun penyebaran yang tidak begitu banyak memungkinkan tanaman ini
mengalami kepunahan. Hal ini mungkin dikarenakan adanya faktor lingkungan
yang kurang mendukung untuk tanaman ini tumbuh dengan baik. Maka perlu
diupayakan suatu cara perbanyakan tanaman Terung Belanda. Adapun
Universitas Sriwijaya
1

perbanyakan yang telah dilakukan yaitu secara konvensional namun hasil yang
didapatkan juga kurang menguntungkan dan kurang efisien (Yuwono, 2006).
Masalah tersebut perlu dipecahkan dengan dilakukan suatu usaha
perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan. Dengan menggunakan teknik
kultur jaringan dapat dihasilkan tanaman yang identik dengan induknya
(Departemen Pertanian, 2003). Perbanyakan dengan teknik kultur jaringan selain

mampu memperoleh tanaman yang identik dengan induknya, juga dapat
dimanfaatkan untuk memperoleh tanaman dengan kualitas yang lebih baik.
Produksi terung belanda yang bermutu sangat ditentukan oleh mutu
benihnya. Benih yang baik akan menghasilkan produk yang baik pula. Salah satu
faktor yang menyebabkan rendahnya hasil terong belanda di Indonesia adalah
mutu bibit yang kurang baik. Bibit terung belanda dari generasi yang sudah lanjut
akan menghasilkan buah teung belanda yang jelek. Hal ini terutama sekali
disebabkan oleh infeksi virus yang makin lanjut generasinya makin menumpuk
virusnya di dalam bibit terong belanda (Setiadi, 2009).
Menurut Suryowinoto (1991), kultur jaringan dalam bahasa asing disebut
sebagai tissue culture. Kultur adalah budidaya dan jaringan adalah sekelompok sel
yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama. Maka, kultur jaringan berarti
membudidayakan suatu jaringan menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat
seperti induknya.
Tujuan kegiatan kultur jaringan adalah perbanyakan massal tanaman yang
biasanya sangat lambat dengan metoda konvensional dalam jumlah yang besar
dalam waktu singkat, selain itu diperoleh tanaman yang bebas virus, membantu
pemuliaan tanaman untuk mempercepat pencapaian tujuan penelitian pada
tanaman yang biasa diperbanyak secara vegetatif (Lentner, M, 1986).
Teknik kultur jaringan berarti mengisolasi bagian tertentu dari tanaman

(disebut eksplan), menumbuhkannya secara aseptik dalam media buatan, hingga
eksplan tersebut berkembang menjadi tanaman lengkap. Pembiakan tanaman
secara kultur jaringan dibagi menjadi beberapa tahap yaitu: menyiapkan induk
sumber eksplan (tahap- 1), inisiasi kultur atau culture establishment propagul
(tahap-2), multiplikasi propagul (tahap-3), pemanjangan tunas dan induksi akar
(tahap-4) aklimatisasi planlet (tahap – 5) (Yusnita, 2003).
Universitas Sriwijaya
2

Kultur jaringan didukung oleh konsep totipotensi sel. Totipotensi adalah
kemampuan dari sebuah sel untuk tumbuh dan berkembang bila tersedia
lingkungan luar yang sesuai ( Mantell, Matthews dan McKee, 1985).
Dalam tubuh tanaman terdapat senyawa khusus pembentuk organ seperti gula,
pati, protein, asam-asam organic.
Dalam tubuh tanaman terdapat senyawa khusus pembentuk organ seperti
gula, pati, protein, asam-asam organik, asam-asam amino dan asam-asam nukleat.
Selain senyawa-senyawa tersebut tanaman juga mengandung senyawa-senyawa
pendorong dimulainya proses-proses biokimia. Senyawa ini berfungsi sebagai zat
pemicu (trigger substances), seperti auksin, giberelin, sitokinin dan fenolik. Zat
pemicu tersebut lebih dikenal dengan Zat Pengatur Tumbuh (Wattimena, 1988).

Masalah paling utama dalam kultur jaringan adalah cara memproduksi
kalus dan tunas secara massal dari eksplan yang dipakai, dimana media dasar yang
digunakan dalam kultur jaringan belum cukup untuk mensuplai semua kebutuhan
pertumbuhan jaringan. Maka untuk itu perlu ditambahkan Zat Pengatur Tumbuh
yang berfungsi merangsang dan mendorong pertumbuhan eksplan dan zat
pengatur tumbuh yang biasa digunakan dapat berasal dari golongan auksin
maupun sitokinin.
Zat pengatur tumbuh yang sering digunakan dari golongan auksin adalah
IBA, IAA, NAA, dan 2,4-D. sedangkan dari golongan sitokinin adalah Kinetin,
Zeatin dan BAP (Gunawan, 1995). Dalam kultur jaringan auksin dapat digunakan
untuk pembelahan sel dan diferensiasi akar (Bhojwani dan Radzan, 1983).
Kinetin merupakan salah satu bentuk sitokinin sintetik. Zat Pengatur Tumbuh ini
mengaktifkan enzim-enzim hidrolisa yang memecahkan makro molekul menjadi
molekul yang sederhana yang dapat di manfaatkan oleh bakal tunas untuk
pertunasan. Selang konsentrasi Kinetin biasa dipergunakan untuk pertunasan
adalah 0,1 – 5, 0 mg/ l . pemberian zat pengatur tumbuh tersebut lebih baik dalam
bentuk kombinasi daripada pemberian secara tunggal (Wattimena, 1990).
IBA (indole -3 – Butyric Acid) merupakan golongan auksin sintetik yang
mempunyai sifat stabil daripada IAA (indole-3- Acetic Acid), karena tidak mudah
mempunyai sifat stabil oleh enzim-enzim yang dikeluarkan oleh sel atau oleh

pemanasan pada proses steriliasasi. Disamping sifat-sifat yang baik, IBA juga
Universitas Sriwijaya
3

mempunyai sifat-sifat yang tidak baik, karena mempunyai kisaran kepekatannya
yang sempit. Batasan kepekatan yang meracuni dari zat ini sangat mendekati
kepekatan optimum untuk perakaran (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
IBA mempunyai sifat yang lebih baik dan efektif daripada hormon lain.
Dengan demikian IBA paling cocok untuk merangsang aktivitas perakaran karena
kandungan kimianya lebih stabil dan daya kerja lebih lama (Gunawan, 1987).
Dari uraian di atas, maka penilitian ini dilaksanakan untuk mengetahui
perkembangan meristem tanaman terong belanda dengan media Murashige dan
skoog (MS) dengan berbagai kombinasi antara Kinetin dengan IBA.
1.2. Tujuan
Untuk mengetahui adanya pengaruh Kinetin dan IBA berbagai taraf
terhadap multiplikasi planlet tanaman terung belanda secara in vitro.
1.3. Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah diduga
1.


Ada

pengaruh

konsentrasi

Kinetin

terhadap

multiplikasi

dalam

pembentukan tunas in vitro tanaman terong belanda.
2.

Ada pengaruh konsentrasi IBA terhadap multiplikasi dalam pembentukan
tunas in vitro tanaman terong belanda.


3.

Ada pengaruh interaksi konsentrasi Kinetin dan IBA terhadap multiplikasi
dalam pembentukan tunas in vitro tanaman terong belanda.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Botani Solanum betasium Cav.
Terung Belanda awalnya dikenal dengan nama Cyphomandra betacea
(Cav) namun kemudian direvisi oleh seorang ahli yang bernama Sendtner menjadi
Universitas Sriwijaya
4

Solanum betaceum (Cav) dan masuk kedalam famili dari Solanaceae. Tanaman ini
juga dikenal dengan nama Tamarillo.Tanaman ini berasaldari pegunungan di
Andes dan lebih kurang 30 species dari genus ini yang tersebar di bagian selatan
Amerika, namun saat ini telah berkembang hingga kenegara-negara tropis lainnya
seperti Indonesia. Setelah Terung Belanda menjadi sesuatu komoditi yang
diperhitungkan tanaman ini banyak diekspor ke luar negeri termasuk Selandia
Baru (Faucon, 1998). Tanaman ini menjadi sangat popular di negara Selandia

Baru. Buahnya berbentuk bulat panjang dan memiliki kombinasi rasa antara buah
tomat dan jambu biji sehingga masyarakat di Selandia Baru sangat menyukainya.
Di Indonesia Terung Belanda dikembangkan di daerah Bali, Jawa Barat, dan
Tanah Karo Sumatera Utara (Kumalaningsih, 2006).
Menurut Tjitrosoepomo (2000), kedudukan tanaman Terung Belanda
dalam sistematika adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae

Divisio

: Spermatophyta

Sub Divisio

: Angiospermae

Klass


: Dicotyledonae

Ordo

: Solanales

Family

: Solanaceae

Genus

: Solanum

Spesies

: Solanum betaceum Cav.
Pohon Terung Belanda ini memiliki tinggi mencapai 3,5 meter. Daunnya

berbentuk oval dengan panjang 6-12 inchi. Bunganya kecil-kecil berwarna merah

jambu dan tumbuh selama musim semi dan awal musim panas. Buah Terung
Belanda akan matang selama musim gugur dan dingin. Saat matang buah ini akan
berwarna merah jingga atau keunguan, tergantung varietasnya. Daging buahnya
tebal berwarna merah kekuningan, dibungkus oleh selaput tipis yang mudah
dikelupas. Daging buah ini melindungi biji-bijinya, yang jumlahnya banyak dan
tersusun melingkar dan rapi. Daya tahan pohon ini dapat mencapai 10 tahun.
Kendala pertumbuhan biasanya pada daun yang sering dimakan oleh laba-laba
atau serangga lainnya. Karena berdaun lebar maka tanaman ini memerlukan
Universitas Sriwijaya
5

pengairan yang teratur (http://www.sinarharapan.co.id, diakses pada tanggal 28
februari 2016).
Secara fungsional buah Terung Belanda mempunyai khasiat khusus yang
sangat unggul sebagai sumber antioksidan alami karena dapat meluruhkan zat-zat
yang bersifat radikal bebas. Buah ini mengandung berbagai jenis vitamin antara
lain vitamin E, vitamin A, vitamin C, vitamin B6 (Kumalaningsih, 2006). Terung
belanda juga mengandung beberapa komponen lainnya seperti air 80 % -90 %,
protein 1,4 % - 2 %, lemak 0,1 % - 0,6 %, serat 1,4 %-4,7 %,karbohidrat 110 KJ150 KJ (Faucon, 1998).
2.2. Perbanyakan Tanaman Secara In vitro/ Mikropropagasi

Penggunaan teknik in vitro untuk tujuan perbanyakan vegetatif merupakan
areal/bidang yang paling maju dalam teknik kultur jaringan. Perbedaan
perbanyakan vegetatif secara in vitro dengan metode konvensional yang lain
adalah:
1) dalam teknik in vitro, bahan tanaman yang dipergunakan lebih kecil, sehingga
tidak merusak pohon induk,
2) lingkungan tumbuh kultur in vitro harus aseptik dan terkendali
3) kecepatan perbanyakan tinggi
4) menghasilkan benih bebas penyakit dari induk yang telah terinfeksi patogen
internal, dan
5) membutuhkan tempat yang relatif kecil untuk menghasilkan jumlah benih
yang banyak (Tohir, 1983).
2.3. Pengertian Kultur Jaringan
Kultur jaringan bila diartikan ke dalam bahasa Jerman disebut Gewebe
kultur atau tissue culture (Inggris) atau weefsel kweek atau weefsel cultuur
(Belanda). Kultur jaringan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
membuat bagian tanaman (akar, tunas, jaringan tumbuh tanaman) tumbuh menjadi
tanaman utuh (sempurna) pada kondisi in vitro (di dalam gelas). Jadi kultur in
vitro dapat diartikan sebagai bagian jaringan yang diabaikkan di dalam tabung
Universitas Sriwijaya
6

inkubasi atau cawan petri dari kaca atau material tembus pandang lainnya.
(Marlina N,2004)
Kultur meristem (meristem culture) adalah kultur jaringan tanaman dengan
menggunakan eksplan yang berupa jaringan maristematik. Jaringan meristem
yang digunakan dapat berupa meristem pucuk terminal atau meristem tunas
aksilar. Dalam kultur meristem, perkembangan diarahkan untuk mendapatkan
tanaman sempurna dari jaringan meristem tersebut dan dapat sekaligus
diperbanyak (Kharta, 1984).
Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak
tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakan secara generatif.
Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan,
antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak
dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas,
mampu menghasilkam bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat,
kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat
dibandingkan dengan perbanyakan konvensional (Raharja,2005).
Kultur jaringan didasari oleh teori sel yang dikemukakan dua ahli biologi
dari Jerman, MJ. Scleiden dan Schwan. Secara tidak langsung teori tersebut
menyatakan bahwa sel tumbuhan bersifat otonom dan mempunyai totipotensi. Sel
bersifat otonom berarti dapat mengatur rumah tangganya sendiri, di sini yang
dimaksud adalah bahwa sel dapat bermetabolisme, tumbuh, dan berkembang
secara independen jika dipisahkan dari jaringan induknya. Totipotensi diartikan
sebagai kemampuan dari sel tumbuhan, baik sel somatik atau vegetatif maupun sel
gametik, untuk beregenerasi menjadi tanaman yang lengkap kembali (Gunawan,
2010)
Dalam kultur jaringan dikenal adanya beberapa istilah, seperti eksplan,
primordial, dan maristematis. Istilah eksplan digunakan untuk menyebut bagian
kecil dari tanaman (sel, jaringan, atau organ) yang digunakan untuk memulai
suatu kultur. Eksplan yang digunakan di dalam kultur jaringan haruslah yang
masih muda (primodia), sel-selnya masih bersifat maristematis, dan sudah
mengalami proses diferensiasi (Yuliarti, 2010)
Universitas Sriwijaya
7

Menurut Hendaryono (1994), Dengan mengisolasi dari tanaman induknya
dan kemudian menumbuhkannya di dalam atau di atas media, sel-sel eksplan yang
tadinya dorman dihadapkan pada kondisi stress sehingga metabolismenya
berubah. Respon yang terlihat pertama kali adalah terbentuknya jaringan penutup
luka. Sel-sel itu akan terus membelah, yang mana jika pembelahannya tidak
terkendali maka akan membentuk massa sel yang tidak terorganisasi, yang disebut
kalus.
2.4. Teknik Kultur jaringan
Teknik kultur jaringan semula ditujukan untuk penelitian dasar di bidang
biologi, terutama pembuktian totipotensi sel. Sekarang kultur jaringan sudah
berkembang sedemikian pesat dan dipergunakan untuk berbagai keperluan lain,
terutama untuk agrobisnis dan farmasi.
Keberhasilan kultur jaringan dipengaruhi hal-hal sebagai berikut:
1) Bentuk regenerasi dalam kultur
2) Eksplan adalah bagian tanaman yang dipergunakan sebagai bahan awal untuk
perbanyakan tanaman. Faktor eksplan yang penting adalah genotip/varietas,
umur eksplan, letak pada cabang, dan seks (jantan/betina).
3) Media tumbuh, yang mana di dalam media tumbuh itu terkandung komposisi
garam an-organik dan zat pengatur tumbuh.
4) Zat pengatur tumbuh tanaman, yang mana faktor yang perlu diperhatikan
dalam penggunaan ZPT adalah konsentrasi, urutan penggunaan, dan periode
masa induksi dalam kultur tertentu.
5) Lingkungan tumbuh yang mempengaruhi regenerasi tanaman (Yuliarti,2010).
Media untuk kultur jaringan dapat dibuat dalam bentuk cairan maupun
padat. Media padat adalah media yang mengandung semua komponen kimia yang
dibutuhkan oleh tanaman dan dipadatkan dengan menambahkan zat pemadat
berupa agar-agar batangan, agar-agar bubuk (yang biasanya digunakan sebagai
bahan makanan), atau agar-agar dalam kemasan yang memang khusus digunakan
untuk keperluan laboratotium (Mulyadi, 2007).
Universitas Sriwijaya
8

Media MS (Murashige dan Skoog,1962) merupakan media yang banyak
digunakan saat ini. Media ini mengandung garam dan nitrat dengan konsentrasi
yang lebih tinggi dibanding media lain, sukses digunakan pada berbagai tanaman
dikotil.
Menurut Biondi dan Trevor dalam Thorpe (1981) prinsip dasar dari teknik
kultur jaringan adalah :
1) Mengisolasi bagian tanaman yang dikulturkan.
2) Mengkulturkan bagian tanaman tersebut pada media yang cocok serta
kondisi lingkungan optimum.
3) Menjaga kedua tahap tersebut dalam kondisi aseptik
Teknik kultur jaringan tanaman dapat digunakan sebagai salah satu untuk
mendapatkan planlet dan bibit kentang yang bebas virus, teknik perbanyakan
cepat, penyimpanan plasma nuftah dan pertukaran plasma nuftah secara
internasional (Miller dan Lipschutz dalam Ammirato, 1984).
Kultur jaringan sebagai suatu teknik perbanyakan tanaman memiliki
keunggulan tertentu dibandingkan perbanyakan tanaman dengan cara lainnya.
Menurut Wattimena (1990), keuntungan perbanyakan tanaman secara kultur
jaringan adalah:
1) Menghasilkan propagula (bibit) dalam jumlah banyak dalam waktu
singkat.
2) Menghasilkan bibit bebas penyakit.
3) Tidak tergantung pada musim dan tidak merusak pohon induk.
4) Tidak tergantung pada pohon induk jika sudah mempunyai sumber eksplan
in vitro.
5) Tanaman yang tidak dapat diperbanyak dengan cara konvensional dapat
diperbanyak dengan metode perbanyakan mikro.
6) Tidak ada istilah tanaman langka. Sekali teknik pembiakan mikro telah
dikuasai untuk tanaman langka tertentu, maka selanjutnya tanaman
tersebut dapat diproduksi dalam jumlah puluhan ribu.
7) Mempermudah proses tukar menukar bahan tanaman.
Universitas Sriwijaya
9

2.5. Multiplikasi Tanaman
Menurut Gunawan (1984), Jika kultur aseptik telah berhasil diperoleh,
langkah berikutnya adalah induksi multiplikasi. Pada beberapa spesies, eksplan
mungkin akan membentuk akar pada tahap awal pertumbuhan di media yang
sederhana. Spesies lain menghasilkan banyak tunas tanpa perlakuan khusus.
Dalam hal ini kebutuhan akan media yang lebih kompleks bergantung pada
tingkat multiplikasi yang diperlukan.
Tunas yang sudah ada mungkin tidak akan dapat tumbuh pada kondisi
normal karena dihalangi oleh daun atau dominasi apikal. Pembuangan ujung tunas
dapat dilakukan untuk mengatasi dominasi apikal, tetapi seringkali perlakuan
hormon yang dipilih. Produksi banyak tunas pada media yang kaya sitokinin akan
mengatasi dominasi apikal (Taiz and Zeiger, 1991).
Jika multiplikasi sudah didapat, kultur perlu diberi kondisi khusus untuk
pemanjangan tunas. Biasanya pemindahan kultur ke media tanpa hormon setelah
tahap multiplikasi cukup untuk merangsang pertumbuhan tunas. Pemberian GA
juga dapat menginduksi pertumbuhan memanjang (Richard and Robert, 1981).
2.8. Peranan Zat Pengatur Tumbuh
Zat Pengatur Tumbuh memegang peran penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan kultur, atau mengatur proses fisiologis di dalam tanaman. Pada
kadar yang lebih tinggi akan menghambat pertumbuhan bahkan mematikan
tanaman. Zat pengatur tumbuh yang sangat penting dalam kultur jaringan ada dua
golongan yaitu auksin dan sitokinin. Auksin digunakan untuk merangsang
pertumbuhan kalus, suspensi sel dan akar.
Zat pengatur tumbuh yang sudah biasa digunakan adalah dari golongan
auksin. Auksin berperan pada berbagai aspek pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Beberapa aspek tersebut diantaranya untuk pembesaran sel, penghambat
mata tunas samping, absisi atau pengguguran daun, merangsang aktivitas dari
cambium dan pertumbuhan akar (wattimena, 1988).
Pemilihan jenis auksin untuk perakaran didasarkan pada tiga sifat, yaitu
sifat translokasi, sifat persistensi (tidak mudah terurai) dan aktivitas. Auksin itu
berada di dalam keadaan aktif pada tempat pemberian sampai terbentuknya akar.
Universitas Sriwijaya
10

Melihat sifat-sifat tersebut sekian banyak auksin, pilihan untuk pembentukan akar
stek umumnya pada NAA dan IBA. NAA dan IBA mempunyai sifat translokasi
yang lambat dan persistensinya tinggi. Kedua auksin ini juga mempunyai aktivitas
yang rendah sehingga selang pendorong perakaran dan keracunan itu cukup lebar
(Wattimena, 1990).
Sitokinin adalah turunan adenin yang berperan dalam mendorong
pembelahan sel dan jaringan yang digunakan sebagai eksplan dan merangsang
perbanyakan tunas pucuk. Sitokinin sintetik yang biasa digunakan dalam kultur
jaringan adalah Kinetin, Benzil Amino Purin (BAP) dan Zeatin.Jika dalam media
kultur jaringan diberikan auksin dan sitokinin dengan perbandingan tertentu, maka
efeknya terhadap pertumbuhan dan perkembangan jaringan akan tertentu pula
dimana kinetin sendiri tanpa IAA tidak dapat menjalankan pembelahan sel
jaringan yang diambil batang tembakau (Wattimena, 1990).

BAB 3
BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat dan Waktu
Percobaan ini akan dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Jurusan
Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Persiapan dan
pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan NoVember 2016 sampai dengan
Januari 2017.
Universitas Sriwijaya
11

3.2. Bahan dan Alat Penelitian
3.2.1. Bahan Eksplan
Bahan eksplan yang digunakan berasal dari terong belanda, yang diambil
dari Laboratorium Kultur Jaringan IPB
3.2.2. Bahan Media Pertumbuhan
Bahan yang digunakan adalah media Murashige dan Skoog (MS) yang
terdiri dari: NH4NO3, KNO3, CaCl2, 2H2O, MgSO4, 7H2O, KH2PO4, KI,
H3BO3, MnSO4, 4H2O, ZnSO4, 7H2O, NaM0O4, 2H2O, CoCl2, 6H2O, CuSO4,
5H2O, FeSO4, 7H2O, Na2EDTA, 2H2O, Thiamin-HCL, Meso-inositol, Asam
Nikotianat (Niasin), Pirodoksin-HCL, Sukrosa, Agar-agar, Glisin, Air, dan Arang
Aktif.
3.2.3. Bahan Sterilisasi
Bahan yang digunakan untuk mensterilisasi adalah NaOCl2, Alkohol 96%,
deterjen.
3.2.4. Bahan Zat Pengatur Tumbuh
Kinetin dan IBA (indole-3-butyrue acid) dengan konsentrasi berbeda-beda
3.2.5. Alat-alat yang Digunakan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah Autoklaf, Laminar Air
Flow Cabinet (LAFC), pH-meter, Kompor Gas, Botol Kultur, Beacker Gelas 100
cc, Beacker Gelas 500 cc, Beacker Gelas 1000 cc, Labu Takar 100 cc, Labu Takar
500 cc, Labu Takar 1000 cc, Pipet Tetes, Hand Sprayer, Botol pensterilan 500 cc,
Corong, Rak Pertumbuhan, Oven Sterilisasi, Timbangan Analitik, Gelas Ukur,
Erlenmeyer, Cawan Petri, Tabung reaksi, Hot Plate dengan pengaduk magnetic,
AC, Alumunium Foil, Kulkas, Batang Pengaduk, pisau scalpel, Pinset, Spatula,
Lampu Bunsen, Kertas saring, Kertas Label, Kalkulator, Alat Tulis, dan lain-lain.
3.3. Metode Penelitian
Universitas Sriwijaya
12

Rancangan penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
Faktorial, terdiri dari 2 faktor yaitu Kinetin dan IBA. Faktor Pertama adalah
Kinetin terdiri dari 4 taraf yaitu:
K0 : 0 PPm
K1 : 0,2 PPm
K2 : 0,4 PPm
K3 : 0,6 PPm
Faktor Kedua adalah IBA terdiri dari 4 taraf yaitu:
I0 : 0 PPm
I1 : 0,05 PPm
I2 : 0,10 PPm
I3 : 0,15 PPm
Jumlah kombinasi perlakuan 4 x 4 = 16 dengan susunan sebagai berikut:
K0I3 K0I1 K1I2 K3I2
K3I1 K3I3 K3I0 K1I0
K2I3 K1I1 K2I2 K0I2
K2I0 K1I3 K2I1 K0I0
Dengan demikian, jumlah kombinasi perlakuan adalah 4 x 4 = 16
kombinasi perlakuan. Perlakuan diulang sebanyak 3 kali, jumlah unit percoabaan
sebanyak 16 x 3 = 48 unit percobaan. Setiap unit percobaan terdiri 5 unit untuk 1
kombinasi perlakuan, jumlah seluruhnya 48 x 5 = 240 unit percobaan.
3.4. Analisis Data Penelitian
Analisis data pengamtan yang digunakan adalah analisa ragam berdasarkan model
linier, yaitu:
Model matematis yang digunakan dalam analisa data penelitian ini yaitu:
Yijk = µ + α1 + βj + (αβ)ij + εijk
Dimana :
Yijk

: Hasil pengamatan dari satuan percobaan pemberian Kinetin taraf
ke-I, IBA taraf ke-j dan ulangan taraf ke-k.

µ

: Nilai tengah populasi

α

: Pengaruh pemberian Kinetin taraf ke-i

βj

: Pengaruh pemberian IBA taraf ke-j
Universitas Sriwijaya
13

(αβ)ijk

: Pengaruh interaksi Kinetin taraf ke-i dan IBA taraf ke-j

εijk

: Pengaruh galat dari suatu percobaan yang diberikan Kinetin ke-i,
IBA taraf ke-j, dan ulangan taraf ke-k
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diamati

maka diakhir penelitian disusun Daftar Sidik Ragam (DSR). Terhadap perlakuan
yang berpengaruh nyata dilakukan Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5 % dan
1 % terhadap perlakuan yang beda nyata (Hanafiah,2003).
3.5. Pelaksanaan Penelitian
3.5.1. Sterilisasi Botol dan Besi
Botol kultur yang digunakan terlebih dahulu dibersihkan dengan
menggunakan deterjen, setelah bersih direndam dengan menggunakan Clorox
yang dicampur dengan air selama ± 3 jam. Setelah direndam dengan Clorox
kemudian dibilas dengan menggunakan air yang mengalir, lalu ditiriskan.
Kemudian botol-botol tersebut disterilkan dengan menggunakan oven pada suhu
1500 C selama ± 4 jam. Tetapi alat-alat yang berbahan besi sebelum dimasukkan
kedalam oven dibungkus atau digulung terlebih dahulu dengan menggunakan
kertas.

3.5.2. Sterilisasi LAFC (laminar Air Flow Cabinet)
Laminar Air Flow Cabinet (LAFC) disterilkan dengan terlebih dahulu
dengan alcohol 96% dengan cara menyatakn permukaan bagian dalam laminar
dengan kapas atau tisu yang disemprot dengan alcohol 96% yang penyapuan
sejajar dari arah dalam ke arah luar dan alkohol 96% tersebut juga disemprotkan
LAFC dan kemudian di UV selama ± 60 menit.
3.5.3. Alat-alat lain
Alat lain yang terbuat dari plastic hanya dicuci bersih dengan
menggunakan deterjen, kemudian direndam kedalam air yang telah tercampur
dengan Cloroux, lalu dibersihkan dengan menggunakan air yang mengalir dan
ditiriskan
Universitas Sriwijaya
14

3.5.4. Pembuatan larutan Stok Murashige dan Skoog (MS)
1.

Larutan stok I, Dibuat dengan menimbang 165 g NH4-NO3, 190 g KNO3,
44 g CaCl2.2H2O dan melarutkannya dalam 1000 cc Aquades.

2.

Larutan Stock II, Dibuat dengan menimbang 37 g MgSO47H2O, 2, 23 g
MnSO4.4H2O, 0,86 g ZnSO4.7H2O, 0,0025 g CuSO4.5H2O dan
melarutkannya dalam 1000 cc aquades.

3.

Larutan Stock III. Dibuat dengan menimbang 0,62 g H3BO3, 17 g
KH2PO4, 0,083 g KI, 0,025 g Na2MOO4.2H2O dan 0,0025 g
CoCl2.6H2O dan melarutkannya dalam 1000 cc aquades.

4.

Larutan Stock IV. Dibuat dengan 2,78 g FeSO4.7H2O dan 3,73 g
Na2EDTA serta melarutkannya dalam 1000 cc aquades.

5.

Larutan Stock Vitamin. Dibuat dengan menimbang 10 mg Thiamin-HCL.
50 mg Nicotianic acid, 50 mg Piridoxin HCL dan 200 mg Glisin. Bahan
tersebut dilarutkan dalam aquades dan dipenuhkan hingga tanda tera 100
ml.

6.

Larutan Stock Hormon. Dibuat dengan menimbang 5 mg Hormon IBA dan
dilarutkan

dengan

bantuan

pemanasan.

Selanjutnya

volumenya

dipenuhkan menjadi 100 ml. hormon Kinetin dibuat dengan menimbang 5
mg, dilarutkan dengan bantuan pemanasan dan volumenya dipenuhkan
menjadi 100 ml.
3.5.5. Pembuatan dan Media Tumbuh
1.

Media tumbuh yang dipersiapkan disesuaikan dengan jumlah kombinasi
perlakuan yaitu 16 kombinasi dan dari kombinasi tersebut didapat 240 unit
percobaan dan masing-masing dibuat sebanyak 25 ml. ditimbang 30 g
gula, 6 g agar dan dilarutkan 30 ml di dalam beacker gelas 100 cc.

2.

Ditambahkan larutan stock I, II, III, dan IV masing-masing sebanyak 1 ml.

3.

Stock Vitamin ditambahkan sebanyak 0,1 ml dan inositol diberikan
sebanyak 10 mg

4.

Stock Hormon Kinetin dan IBA sebagai perlakuan diberikan sesuai dengan
konsentrasi yang dicobakan. Untuk Kinetin 0,0 ppm(kontrol), untuk
Universitas Sriwijaya
15

pengambilan 0,2 ppm dalam volume 500 ml di ambil 2 ml, 0,4 ppm dalam
volume 500 ml di ambil 4 ml, dan 0,6 ppm dalam 500 ml di ambil 6 ml.
Untuk IBA 0,0 ppm (kontrol), untuk 0,05 ppm dalam volume 500 ml di
ambil 0,5 ml, untuk 0,10 ppm dalam volume 500 ml di ambil 1 ml dan
0,15 ppm dalam volume 500 ml di ambil 1,5 ml.
5.

Ditambahkan air kelapa sebanyak 15 ml dan selanjutnya aquades
ditambahkan hingga volume mencapai 100 cc

6.

pH diatur antara 5,5 hingga 5,7 dengan menggunakan pH meter. Apabila
pH diatas tersebut, diturunkan dengan menambahkan larutan HCl 0,1 N
dan apabila dibawah pH tersebut dinaikkan dengan menambahkan larutan
NaOH 0,1 N beberapa tetes.

7.

Ditambahkan agar-agar 0,8 g dan sebelumnya dituangkan media kedalam
beacker gelass sebagai wadah pemanas media dengan tujuan untuk
melarutkan agar-agar.

8.

Larutan dimasukkan ke dalam botol pensterilan volume 500 cc dan ditutup
dengan tutup botol kultur atau alumunium foil.

9.

Media yang dimasukkan ke dalam botol kultur pertumbuhan diisi ± 20 ml
media. Botol-botol yang telah berisi media ditutup rapat dengan
menggunakan tutup botol kultur atau alumunium foil.

10.

Larutan disterilkan dalam autoclave pada tekanan 15 psi, suhu 121o C
selama ± 30 menit.

11.

Setelah selesai disterilisa di autoklaf kemudian media disimpan dirak
kultur di dalam ruang tanam dan selelah ± 3 hari berikutnya media sudah
siap digunakan.

3.6. Parameter yang diamati
1.

Umur terbentuknya tunas (hari)
Dihitung

umur

terbentuknya

tunas

pertama

kali

muncul,

berdasarkan umurnya terbentuknya tunas setiap hari sejak diinokulasi
sampai tumbuh tunas dari stek tunas tanaman kentang.
2.

Umur terbentuknya akar (hari)
Universitas Sriwijaya
16

Dihitung

umur

terbentuknya

akar

pertama

kali

muncul,

berdasarkan umur terbentuknya akar setiap hari sejak diinokulasi sampai
tumbuh akar sekunder dari stek tunas tanaman kentang.
3.

Jumlah Tunas
Dihitung jumlah tunas yang tumbuh dari setiap explant.
Pengamatan dimulai dari 1 mst sampai akhir penelitian dengan interval
waktu 1 minggu sekali.

4.

Jumlah Buku
Dihitung jumlah tunas yang tumbuh dari setiap satu botol kultur.
Pengamatan dimulai dari 1 mst sampai akhor penelitian dengan interval
waktu 1 minggu sekali.

5.

Jumlah Akar
Dihitung jumlah akar yang tumbuh dari setiap satu botol kultur.
Pengamatan dimulai dari 1 mst sampai akhir penelitian dengan interval
waktu 1 minggu sekali.

6.

Jumlah Daun (helai)
Jumlah daun yang dihitung (helai) mulai dari daun yang telah
tumbuh dengan sempurna. Pengamatan dilakukan mulai dari 2 mst sampai
akhir penelitian dengan interval waktu 1 minggu sekali.

7.

Panjang Akar (cm)
Pengamatan pada panjang akar (cm) dilakukan pada akhir
penelitian. Tanaman (planlet) diambil secara hati-hati lalu panjang akar
diukur mulai dari pangkal sampai keujung akar dengan menggunakan rol
pengukuran dilakukan pada akhir penelitian.

8.

Tinggi Planlet (cm)
Pengukuran tinggi tanaman atau planlet (cm) dilakukan dari
pangkal batang tempat keluarnya akar sampai ujung daun tertinggi dengan
menggunakan rol, pengukuran dilakukan pada akhir penelitian.

Universitas Sriwijaya
17

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2005. Fisiologi Tanaman. Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Jambi.
Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Hortikultura. Lembang.
Bhojwani, S.S. and M. K. Radzan, 1983. Plant Tissue Culture Theority and
Practise. Elsivier New York.
Budipramana, S.L., 1991. Kultur Jaringan Tumbuhan, Laboratorium Biologi.
Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Keguruan
dan Ilmu Pendidikan. Surabaya.
Cutter, E. G. 1978. Stucture and development of the potato plant. PP. 70-147. In P.
M. Harris (Ed.). The Potato Crop. Chapman and Hall. London.

Universitas Sriwijaya
18

Fitter. 1992. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Universitas Gajah Mada.
Yogyakarta.
Gunawan, W.L., 1984. Tissue Culture Technique, Training Course on Seed
Technology of Forest Tress. Bogor.
Gunawan LW. 1987. Teknik Kultur Jaringan. Bogor: Pusat Antar Universitas
Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Hal. 252.
Hariyanto, 1989. Menanam Tunas Kentang secara Kultur Jaringan. Erlangga,
Jakarta.
Kartha, 1984. Meristem Culture and Cryopreservation: Methods and Applications.
New York Academic Perss.
Kumalaningsih, S. 2006. Tamarillo (Terung Belanda). Cetakan 1. Surabaya.
Trubus Agrisarana. hlm: 1-2
Kusumo, S. 1990. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Yasaguna. Jakarta.
Lakitan dan Benjamin.1993. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Kampus Padang.
Padang
Marlina. N., 2004. Teknik modifikasi media Murashige dan Skoog (MS) untuk
konservasi in vitro. Buletin Teknik Pertanian 9(1):4-6.
Mantell, S. H. J. A. Matthews and R. A. Mckee. 1985. Principles of plant
Biotechnology, An Introduction to Genetic Engineering in Plants. Blackwell
Scientific Publications. Oxford. 269 P.
Merashige and Skoog, 1997. Plant Propagation Trrough Tissue Cultures. Annual
Review of Plant Physiology 25.
Universitas Sriwijaya
19

Richard, E.L. and Robert A. Conover, 1989. Effect of Sex Type, Season, and other
Factors on in Vitro Establishment and Cultures of Solanum Tuberosum L.
Explants. Universityof Florida. Institue of Food and Agricultural.
Setiadi, 1993. Kentang Varietas dan Pembudidayaan. Swadaya, Jakarta.
Skoog, F. and F.O.Miller., 1975. Chemical Regulation of Growth and Organ
Formation in Plant Tissue Culture in Vitro.
Taji, A., P. Kumar, and P. Lakshmanan. 2002. In Vitro Plant Breeding. New York:
Haworth Press, Inc.
Thorpe, T.A., 1981. Plant Tissue Culture, Academic Press. New York.
Yuliarti, N.,2010. Kultur Jaringan Tanaman Sekala Rumah Tangga, Penerbit
ANDI. Yogyakarta.
Yustina, 2003. Cytokinin/auxin balance in crown gall tumors is regulated by
specific loci in the T-DNA. J. Proc. Natl. Acad. Sci. 80: 407-411
Wattimena, G.A., 1987. Multipikasi Tanaman Hortikultura secara Kultur Jaringan,
Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. PAU Bioteknologi IPB. Bogor.
Wattimena, G.A, dkk. 1992. Bioteknologi Tanaman Laboratorium Kultur
Jaringan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Universitas Sriwijaya
20