Implementasi Konsep Pembelajaran active Organis

Implementasi Konsep Pembelajaran Organisasi pada Institusi Pendidikan Tinggi di Jakarta
M. Taufiq Amir & Insan Harapan Harahap

Implementasi Konsep Pembelajaran Organisasi
pada Institusi Pendidikan Tinggi di Jakarta
M. Taufiq Amir & Insan Harapan Harahap
Universitas Bakrie

Abstrak
Peran penggunaan konsep organisasi belajar (learning organization) dalam
pengembangan mutu berbagai aktivitas organisasi bisnis bisa dikatakan sudah lazim.
Pengelolaan pembelajaran di level individu, level kelompok, dan level organisasi
menjadi banyak berpengaruh pada kinerja organisasi. Budaya belajar organisasi dapat
memenangkan organisasi dalam persaingan. Karena itu organisasi memberikan
peluang untuk para karyawannya untuk terus melakukan dan pengalami pembelajaran
serta meningkatkan kompetensinya, yang pada saatnya akan meningkatkan kinerja
organisasi. Cara serupa dapat dikatakan masih jarang diterapkan dan diteliti oleh para
peneliti pada dunia pendidikan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa PTS yang
memiliki akreditasi A yang menjadi objek penelitian umumnya menyediakan peluang
bagi para dosen untuk secara individu belajar. Organisasi dianggap menciptakan
situasi yang memfasilitasi keingintahuan para dosen. Sifat bekerja sama ditonjolkan

untuk mengelola pembelajaran serta pemimpinnya menjadikan pembelajaran di
ketiga level (individu, kelompok dan organisasi) sebagai sesuatu yang bersifat
strategis.
Key word: individu, kelompok, organisasi, pembelajaran, kinerja

A. PENDAHULUAN
Banyak penelitian yang menemukan bahwa pendidikan, termasuk pendidikan
tinggi memiliki peranan penting dalam membentuk karakter pembangunan sosial
ekonomi suatu bangsa. Di Indonesia, peranan ini harus lebih ditingkatkan karena
yang terjadi saat ini belum optimal. Survei Ekonomi Nasional (Susenas) 2003 dari
Badan Pusat Statistik menunjukkan, nilai manfaat sosial untuk pendidikan tinggi
baru hanya 5,46 % dibandingkan 18,2 % bagi sekolah menengah. (Wicaksono,
2004). Agar peranan ini dapat dijalankan dengan optimal, dan Institusi Pendidikan
Tinggi (IPT) keberadaannya tetap langgeng, pengelola harus dapat menerapkan
manajemen yang baik. Konsep-konsep manajemen yang diterapkan di bentuk
organisasi lainnya, perlu diterapkan. Tuntutan ini semakin nyata, karena organisasi
IPT terus menghadapi tantangan yang tidak ringan. Beberapa tantangan yang bisa
disebutkan misalnya, persaingan mendapatkan mahasiswa, beban dari struktur
biaya operasionil, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, serta
globalisasi pendidikan.

Persaingan antar IPT mendapatkan mahasiswa semakin ketat dengan
beragamnya pilihan mahasiswa. Meskipun penawaran pendidikan tinggi masih
belum mencapai titik jenuh sehingga unit penawaran memberikan potensi

M. Taufiq Amir & Insan H. Harahap

halaman 1 dari 26

Implementasi Konsep Pembelajaran Organisasi pada Institusi Pendidikan Tinggi di Jakarta
M. Taufiq Amir & Insan Harapan Harahap

pengembalian positif (Wicaksono, 2004), intensitas persaingan sudah dapat
dikatakan tinggi. Tabel berikut, yang menyajikan jumlah Perguruan Tinggi Swasta
dan program studi yang ditawarkan dari berbagai jenjang pendidikan tinggi di
Jakarta, menggambarkan persaingan tersebut.
Tabel 1. Jumlah PTS dan Program Studinya di Jakarta Tahun 2005

BENTUK PTS

JUMLAH

PTS

PENYELENGGARA PS BERDASARKAN JENJANG PENDIDIKAN
S3

S2

S1

D4

D3

D2

D1

SP_1

SP_2


Profesi

JUMLAH
PS

UNIVERSITAS

48

12

88

552

3

110


1

1

0

0

3

771

INSTITUT

7

1

5


57

0

21

1

1

0

0

1

87

SEKOLAH
TINGGI


139

0

32

229

12

159

3

7

0

0


1

444

AKADEMI

115

0

0

0

0

160

2


6

0

0

0

166

9

0

0

0

0


41

8

8

0

0

0

57

318

13

125


838

16

491

15

23

0

0

5

1526

POLITEKNIK
JUMLAH

Sumber: Buku Direktori Perguruan Tinggi Swasta Kopertis Wilayah III Jakarta, 2005

Dari Tabel 1, dapat dilihat tingggi persaingan antar IPT di Jakarta, dengan
1.526 program studi. Persaingan paling menonjol dapat dilihat saat tahun ajaran
baru, yaitu ujian saringan dilaksanakan semakin dini dengan tujuan mendapatkan
calon mahasiswa potensial.
Jumlah mahasiswa yang memadai memang masih menjadi sumber utama
pendapatan IPT (terutama yang swasta). Semakin banyak jumlah mahasiswa,
semakin leluasa IPT menjalankan rencana-rencananya. Namun di sisi lain, struktur
biaya operasional untuk pengelolaan semakin lama semakin berat. Sementara itu,
pengeluaran untuk pos tertentu, seperti kompensasi staf akademik tidak dapat
dikurangi. IPT dituntut untuk dapat efisien dalam sisi biaya operasionil yang lain.
Perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi dan komunikasi juga
menuntut pengembangan dari organisasi IPT. Bukan saja untuk membuat operasi
menjadi lebih efektif dan efisien, tapi juga dalam memberikan impresi bagi calon
mahasiswa dan mahasiswa aktif. Faktor globalisasi pendidikan, dimana perguruan
tinggi negara-negara tetangga semakin agresif menawarkan jasanya kepada lulusan
dari SMU-SMU di Indonesia. Kondisi ini turut mempersulit IPT lokal.
Berbagai tantangan tersebut menuntut pengelola IPT untuk lebih efisien dan
efektif dalam manajemen. Pengelola IPT harus memiliki fleksibilitas yang tinggi
dalam merumuskan dan menjalankan strategi pengelolaannya, dalam rangka
merespon perubahan lingkungan.
Salah satu konsep manajemen yang tepat untuk diterapkan oleh IPT adalah
konsep Pembelajaran Organisasi (Learning Organization). Pembelajaran kini telah
M. Taufiq Amir & Insan H. Harahap

halaman 2 dari 26

Implementasi Konsep Pembelajaran Organisasi pada Institusi Pendidikan Tinggi di Jakarta
M. Taufiq Amir & Insan Harapan Harahap

menjadi pusat keunggulan bersaing organisasi, bukan sekadar tujuan, tapi menjadi
rute dari pe ge ba ga ki erja, produktivitas da bahka ”laba” Eva s,
,
h.203). Kidwell, Vander, dan Johson (2000), mengatakan bahwa penggunaan teknik
dan teknologi pengetahuan sebagai bagian dari pembelajaran organisasi, sama
vitalnya untuk organisasi IPT dan sektor korporat. Menurut tiga peneliti ini, bila
aspek pembelajaran ini ditangani dengan baik, pengelola IPT akan
mengembangkan kemampuan pengambilan keputusan yang lebih baik,
mengurangi siklus waktu pengembangan, meningkatkan layanan akademik dan
administratif, serta mengurangi biaya operasionil. Pendapat ini diperkuat dengan
penelitian Kumar (2005), atas pendidikan tinggi di Malaysia, bahwa ada hubungan
yang menjelaskan kinerja keuangan akademi-akademi yang bermutu dengan
penerapan konsep pembelajaran organisasi pada tingkat organisasi hingga individu.
Ironisnya tidak sedikit IPT yang menawarkan program studi yang berkaitan
dengan manajemen dan bisnis di Indonesia, yang mengajarkan tentang bagaimana
mengelola organisasi, namun tidak memahami bagaimana cara mengelola
institusinya. Bahkan, menurut diskusi penulis dengan beberapa pengelola IPT di
Jakarta, serta melalui pengamatan langsung, masih jarang yang menjalankan
konsep-konsep pembelajaran organisasi. Indikasi ini juga ditunjukkan misalnya,
dengan masih banyaknya inkompetensi pengajar IPT yang tidak dibenahi sehingga
mutu PT menjadi merosot (Adian, 2005). Tidak heran, beberapa institusi IPT yang
tadinya memiliki reputasi yang baik di Jakarta, akhir-akhir ini mengalami masalah
dalam hal penerimaan mahasiswa yang menurun, citra yang merosot dan
pengguna lulusan yang menurun, serta ditinggalkan staf-staf akademik terbaiknya.
Amatlah disayangkan, bila organisasi yang berperan dalam mengajar
mahasiswa, pengelolanya tidak memahami bagaimana cara belajar dan kurang
memahami bagaimana menggunakan pengetahuan, dan cara-cara mengelolanya
sebagai asset dan menggunakannya untuk menciptakan keunggulan bersaing.
Kurang memahami bagaimana peran para staff akademik, kelompok-kelompok
rumpun bidang studi dan unit-unit yang ada, serta pengelola program studi atau
rektorat dalam penciptaan, penyebaran, penyimpanan sekaligus penerapan
pengetahuan untuk organisasi. Padahal, dalam banyak rumusan pembelajaran
organisasi, seperti oleh Watkins dan Marsick (1997) diungkapkan bahwa dengan
konsep tersebut, organisasi belajar secara berkelanjutan dan mentransformasi
dirinya. Menurut mereka, melalui pembelajaran organisasi, pembelajaran harus
terjadi pada berbagai tingkat organisasi; individu, tim atau kelompok; dan sistem
organisasi.

B. RUMUSAN MASALAH PENELITIAN

M. Taufiq Amir & Insan H. Harahap

halaman 3 dari 26

Implementasi Konsep Pembelajaran Organisasi pada Institusi Pendidikan Tinggi di Jakarta
M. Taufiq Amir & Insan Harapan Harahap

Sesuai dengan gambaran yang disampaikan pada pendahuluan, masalah
penelitian dapat dirumuskan:
Seperti apa organisasi IPT menerapkan konsep Pembelajaran
Organisasi pada berbagai tingkatan; pada tingkat individu, tingkat
kelompok, dan tingkat sistem organisasi.
Untuk menyesuaikan dengan keterbatasan sumber daya dalam melakukan
penelitian, maka lingkup penelitian akan dibatasi pada hal-hal sebagai berikut:
a. IPT yang menjadi objek penelitian adalah IPT yang memiliki program studi
Manajemen, yang memperoleh akreditasi tingkat A dari Badan Akreditasi
Nasional Perguruan Tinggi. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan pada
program studi tersebut, konsep yang terkait dengan Pembelajaran Organisasi
diajarkan pada mahasiswa.
b. Tingkat individu dan kelompok yang dimaksud di sini adalah staf akademik
yakni para dosen yang memiliki status tetap di instansi terkait. Untuk menjamin
wawasannya atas implementasi konsep Pembelajaran Organisasi, dosen yang
akan menjadi responden adalah yang memiliki pengalaman relatif cukup, yang
dibuktikan dengan masa kerja lebih dari 3 tahun, dan dengan jenjang
kepangkatan minimal asisten ahli.

C. TINJAUAN PUSTAKA
Istilah pembelajaran organisasi muncul untuk menggambarkan peningkatan
kapasitas organisasi dalam menyelesaikan masalah, menangkap peluang dan
memenangkan persaingan. Dalam beberapa dekade terakhir, penelitian yang
mengaitkan peningkatan organisasi melalui kapasitas individu, pembelajaran
individu dan pembelajaran organisasi berkembang pesat (Argyris, 2004). Bapuji dan
Crossan (2005) yang menelusuri berbagai penelitian tentang pembelajaran
organisasi mulai tahun 1990 hingga 2002 menemukan perkembangan literatur
pembelajaran organisasi memang pesat. Mereka memperhatikan perkembangan
literatur pembelajaran organisasi dari semakin banyaknya penelitian empiris, serta
munculnya berbagai perspektif baru.
Berbagai premis menarik terus bermunculan mengenai pembelajaran
organisasi, terutama yang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terkait
dengan bagaimana individu belajar dan bagaimana organisasi dapat memanfaatkan
hasilnya (Gorli, 2003). Pada literatur-literatur awal tentang pembelajaran
organisasi, para peneliti terdahulu seperti Argyris dan Schon, merumuskan istilah
tersebut sebagai akuisisi individu atas informasi, pengetahuan, kecakapan analitikal
dan kecakapan komunikasi. Senge menambahkannya sebagai kemampuan individu

M. Taufiq Amir & Insan H. Harahap

halaman 4 dari 26

Implementasi Konsep Pembelajaran Organisasi pada Institusi Pendidikan Tinggi di Jakarta
M. Taufiq Amir & Insan Harapan Harahap

untuk berpikir atas organisasi sebagai sebuah sistem (Senge, 1990). Pada
pandangan Senge, pikiran individu dianggap sebagai wadah, sementara
pengetahuan dan kecakapan sebagai konten, dan pembelajaran adalah proses
pemindahan maupun penambahan substansi ke pikiran kita. Pandanganpandangan tersebut oleh Elkjaer (2004) dimetaforakan sebagai akuisisi.
Pentingnya pikiran individu dalam akuisisi ini diungkapkan oleh para ahli, karena
apapun tindakan individu, selalu memiliki basis kognitif, yang kemudian terefleksi
dalam norma, strategi dan asumsi-asumsi yang digunakan. Pawlowsky (dalam
Dierkes, et.al 2002) mengungkapkan ada dua kelompok paham utama bila kita
membahas pembelajaran organisasi lewat perspektif kognitif. Pertama,
pendekatan struktural, yang memfokuskan pembahasannya pada kemampuan
pemrosesan informasi, yang tergantung pada karatekristik sistem kognitif. Kedua
epistomologi korporat, dimana proses penafsiran dan konstruksi kognitif atas
realitas menjadi hal yang penting dalam pembelajaran.
Pemikiran yang lebih lanjut, yang mengkritik dan melengkapi metafora
akuisisi, disebut Elkjaer (2004) metafora partisipasi. Dalam metafora yang satu ini,
pembelajaran justru terjadi di luar pikiran individu atau pendidikan formal dan
menempatkannya pada kehidupan sehari-hari organisasi dan dunia kerja. Praktek
jauh lebih berperan di sini. Pembelajaran adalah bagian integral dari kehidupan
organisasi itu sendiri.
Nama-nama lain yang biasanya disamakan dengan metafora partisipasi ini
adalah situated learning, social learning, learning as cultural process dan practiced
based learning. Pada metafora kedua ini, aspek organisasi seperti prosedur dan
sistem, komunikasi lintas-fungsional, kepemimpinan dan tim kerja memberikan
pengaruh kuat (Pisano, et.al, 2001, dalam Bapuji dan Crossan). Jadi pembelajaran
yang berkelanjutan memang penting tapi tidak cukup untuk memberikan pengaruh
kuat pada kinerja organisasi. Pembelajaran harus juga melekat dalam sistem,
praktek dan struktur yang berkelanjutan yang dapat dibagi dan secara teratur
digunakan dengan sengaja untuk meningkatkan peluang kinerja organisasi.
Dengan pentingnya interaksi individu dan organisasi dalam pembelajaran
organisasi, perlu ada kondisi tertentu agar budaya belajar berkembang di
organisasi. Kognitif individu, mau tidak mau tecipta karena serangkaian pemaknaan
yang terjadi di sekitar berbagai artifak yang ada dalam organisasi; seperti simbol,
metafora, seremonial yang saling terkait (Pawlowsky, dalam Dierkes et.al, 2002).
Jadi sebenarnya, berbeda dengan perspektif kognitif, perspektif budaya
menunjukkan bahwa pembelajaran terjadi pada tingkat yang kolektif.
Bila
kelompok, tim atau unit-unit dalam organisasi tidak berjalan dalam sebuah sistem
yang saling dianut bersama, maka pembelajaran organisasi tidak akan terjadi
dengan baik.

M. Taufiq Amir & Insan H. Harahap

halaman 5 dari 26

Implementasi Konsep Pembelajaran Organisasi pada Institusi Pendidikan Tinggi di Jakarta
M. Taufiq Amir & Insan Harapan Harahap

Berbagai fase akan terjadi dalam proses pembelajaran organisasi, dan
sebelum budaya pembelajaran organisasi tercipta. Pawlowsky (dalam Dierkens
et.al,
2002),
berdasarkan
konsep
peneliti
sebelumnya,
mencoba
mengelompokkannya menjadi empat fase, yang tidak selalu berlangsung
berurutan:
a. Pengidentifikasian yang dianggap relevan untuk pembelajaran, sekaligus
penciptaan pengetahuan baru.
b. Pertukaran dan penggabungan pengetahuan baik dari individu ke tingkat yang
lebih kolektif atau pada tingkat kolektif itu sendiri.
c. Integrasi dari pengetahuan melalui sistem pengetahuan yang ada pada tingkat
kolektif, tingkat individu atau keduanya, atau pada aturan prosedural dari
organisasi dimana integrasi atau modifikasi dari pengadopsian sistem akan
berlangsung.
d. Transformasi atas pengetahuan baru menjadi tindakan dan penerapan
pengetahuan menjadi rutinitas organisasi sehingga menjadi perilaku organisasi.
Seperti apa saja norma atau nilai-nilai yang perlu dikembangkan dalam
pembelajaran organisasi? Lewat Bapuji dan Crossan (2005), Bogendrieder (2002)
mengatakan agar budaya organisasi belajar tercipta, perlu adanya keragaman
kognitif. Aspek-aspek budaya yang lain, seperti keterbukaan, kepemimpinan yang
transformasional, pengambilan keputusan yang partisipatif juga menentukan (Hult
et.al, 2000). Sementara aspek perilaku positif serta dukungan dari penyelia dan
organisasi serta perlunya manajer berlaku sebagai fasilitator dalam pembelajaran
dianggap penting oleh Ellinger dan Bostrom (2002). Tentu saja, di tengah budaya
yang mendukung ini, ada pula budaya yang memperkecil kemungkinan terjadinya
pembelajaran dalam organisasi. Misalnya, penetapan sasaran yang kaku serta
otonomi dalam supervisi, terutama pada saat-saat derajat eksplorasi pekerjaan
tuntutannya rendah (McGrath, 2001).
Dari berbagai perspektif konsep pembelajaran organisasi di atas, para peneliti
mencoba membangun model untuk melakukan analisis atas penerapannya pada
organisasi. Berbagai instrumen dirumuskan untuk mendiagnosa dinamika, kondisi
serta faktor-faktor yang mempengaruhi kesuksesan penerapannya. Rampread
(2002), merumuskan bahwa penerapan konsep pembelajaran organisasi dapat
didekati dengan manajemen pengetahuan yang ia sebut k owledge a age e t
quick sca . Model Rampread menjelaskan orientasi belajar dan pengetahuan
(knowledge and learning orientation) perusahaan dari empat dimensi yakni;
umum, gaya kepemimpinan, visi strategis, proses internal dan sumber daya
manusia. Model lain yang cukup komprehensif adalah model dan instrumen yang
dikembangkan oleh Marsick dan Watkins. Model ini memiliki tujuh dimensi dari
M. Taufiq Amir & Insan H. Harahap

halaman 6 dari 26

Implementasi Konsep Pembelajaran Organisasi pada Institusi Pendidikan Tinggi di Jakarta
M. Taufiq Amir & Insan Harapan Harahap

pembelajaran organisasi (Marsick dan Watkins, 1999 dan 2003). Dua diantaranya
berkaitan dengan pembelajaran individu, yakni pembelajaran berkelanjutan
(continuous learning), penuh selidik dan dialog (inquiry dan dialog). Sementara itu
5 dimensi yang lain, mengukur yang berkaitan dengan organisasi seperti sistem
untuk merangkum pembelajaran (systems for captured learning), memberdayakan
karyawan (empower people), mengaitkan dengan organisasi (connect the
organization) dan kepemimpinan strategis untuk belajar (provide strategic
leadership for learning).
Dari tujuh dimensi tersebut, Marsick dan Watkins mengembangkan butir
pertanyaan untuk menjadi alat ukur dalam menganalisa penerapan budaya
pembelajaran organisasi melalui 43 butir pertanyaan, yang popular disebut dengan
Dimension of Learning Organization Questionnaire (DLOQ). DLOQ dikelompokkan
dalam tiga kelompok, yakni tingkat individu, tingkat tim atau kelompok, dan tingkat
organisasi.
Selain melihat dari ketujuh dimensi tadi, penelitian Marsick dan Watkins juga
merumuskan dimensi atas kinerja organisasi, seperti kinerja keuangan. Memang
sudah cukup banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pembelajaran dalam
organisasi meningkatkan kinerja organisasi, karena ia menjadi landasan banyak
aspek dalam manajemen organisasi. Misalnya seperti yang dipelajari oleh Bapuji
dan Crossan (2005), pembelajaran mempengaruhi pilihan strategi dan perilaku
organisasi. Penelitian Hayward (2002) menemukan, organisasi belajar membuat
perusahaan meningkatkan orientasinya pada pelanggan serta memfasilitasi
terjadinya inovasi dalam perumusan dan penerapan strategi.
Sebagai bagian dari industri jasa, hubungan pembelajaran organisasi dengan
kinerja IPT juga sudah ditemukan oleh Kumar (2005). Berbagai situasi lingkungan
serta tekanan persaingan, membuat perguruan tinggi di Malaysia mengeksplor dan
mengadopsi alat-alat baru pengelolaan pengetahuan agar bisa meningkatkan
kinerja. Kumar menemukan, perubahan-perubahan budaya organisasi belajar
memberikan pengaruh pada perubahan kinerja keuangan dan pengetahuanya.
Pengetahuan dan wawasan baru, bila dikelola dengan baik dalam saat
penciptaannya, pemerolehannya dan saat mentransfernya diantara staf akademik
dan unit-unit yang ada di dalam IPT, memang akan memberikan peluang
meningkatkan kinerjanya. Apalagi, bila semua itu pada gilirannya dapat membuat
individu memodifikasi perilakunya berdasarkan pengetahuan dan wawasan baru
tersebut.
Friedman, Friedman, Pollack (2005) melihat, bila organisasi IPT ingin sukses di
masa datang, maka konsep pembelajaran organisasi harus diterapkan. Dalam
bahasa ereka, IPT tidak boleh lagi dia ggap sekadar orga isasi a g ” e gajar”
tapi organisasi yang ”belajar”. IPT yang staf akademiknya tidak saling berbagi
M. Taufiq Amir & Insan H. Harahap

halaman 7 dari 26

Implementasi Konsep Pembelajaran Organisasi pada Institusi Pendidikan Tinggi di Jakarta
M. Taufiq Amir & Insan Harapan Harahap

pengetahuan, yang manajemennya tidak ada komitmen dalam mengembangkan
infrastruktur untuk arus pengetahuan, tidak terbuka, tidak akan mampu mengatasi
persoalan yang dihasilkan dinamika lingkungannya.
D. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan latarbelakang masalah, rumusan permasalahan dan berbagai
konsep dalam tinjauan kepustakaan di atas maka tujuan penelitian ini adalah:
Menjelaskan seperti apa penerapan konsep pembelajaran organisasi
pada IPT di Jakarta, pada tingkat individu, kelompok dan organisasi.
Beberapa pertanyaan penelitian seperti: apakah institusi mendukung
pengembangan pada karyawan sehingga diberi peluang untuk belajar lewat
pekerjaannya? Apakah situasi yang diciptakan memberikan peluang pada para
dosen untuk bersikap penuh selidik dan berkembang keingintahuannya? Apakah
kerjasama, sebagai salah satu upaya pembelajaran difasilitasi oleh didukung oleh
institusi? Apakah institusi menciptakan sistem yang didukung teknologi untuk
mendukung pembelajaran? Apakah dosen dilibatkan dalam perencangan
penerapan visi institusi? Apakah kepemimpinan yang ada mendukung
pembelajaran dan menjadikannya sesuatu yang bersifat strategis? Apakah kondisi
impelementasi ada kaitannya dengan sudah lama atau belumnya IPT memperoleh
akreditasi A? Semua pertanyaan-pertanyaan ini akan Akan dicoba dijawab dalam
penelitian.
Dari hasil penelitian, diharapkan Bakrie School of Management (BSM) dan
IPT, lainnya memiliki gambaran penerapan konsep pembelajaran organisasi pada
IPT di Jakarta, dan dapat dimanfaatkan sebagai salah satu rujukan dalam
pengelolaan institusi. Sebagai institusi yang relatif baru, BSM bisa mempelajari
praktek terbaik atau kesalahan dari lembaga sejenis yang ada. Hasil penelitian ini
juga dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi Instansi pemerintah seperti,
Direktorat Pendidikan Tinggi, Koordinator Perguruan Tinggi Swasta serta Badan
Akreditasi Nasional dalam meningkatkan mutu IPT.
E. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan menggunakan para staf akademik (dosen) pada
program studi manajemen IPT yang memiliki akreditasi A pada bulan Oktober 2008
sebagai responden. Berdasarkan website Badan Akreditasi Nasional
(http://www.ban-pt.or.id/) untuk sub Hasil Akreditasi Program Studi, ada 18
program studi manajemen untuk jenjang S1 di Jakarta yang sudah mendapatkan
akreditasi A oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. Dosen yang dijadikan
M. Taufiq Amir & Insan H. Harahap

halaman 8 dari 26

Implementasi Konsep Pembelajaran Organisasi pada Institusi Pendidikan Tinggi di Jakarta
M. Taufiq Amir & Insan Harapan Harahap

sampel dalam penelitian ini terdiri dari 102 orang dosen. Jumlah ini dianggap cukup
sesuai dengan saran Sekaran (2003, dalam Lee, Zailani, Koh, 2006), bahwa paling
tidak sampel yang dianalisa jumlahnya 10 kali dari variabel yang akan dianalisa,
dimana variabel dalam penelitian ini ada 6. Penghitungan sampel ini dilakukan
secara proporsionil dari total dosen yang tetap yang ada pada perguruan tinggi
bersangkutan, dibandingkan dengan keseluruhan dosen tetap yang menjadi
sampel. Perhitungan sampel di setiap perguruan tinggi yang menjadi objek
penelitian disajikan pada tabel berikut:

M. Taufiq Amir & Insan H. Harahap

halaman 9 dari 26

Implementasi Konsep Pembelajaran Organisasi pada Institusi Pendidikan Tinggi di Jakarta
M. Taufiq Amir & Insan Harapan Harahap

Tabel 2. Jumlah Sampel Penelitian

1

S1

Univ. Pancasila, Jakarta

Manajemen

2006

Akreditasi
A

2
3

S1
S1

Univ. Kristen Indonesia (UKI)
Univ. Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Manajemen
Manajemen

2006
2006

A
A

22
20

3.13
2.84

3
3

3
3

4
5

S1
S1

ST Ilmu Ekonomi Swadaya
Univ. Bunda Mulia

Manajemen
Manajemen

2006
2006

A
A

7
6

1.00
0.85

1
1

1
1

6
7

S1
S1

Univ. Indonesia (UI)
ST Ilmu Ekonomi Trisakti

Manajemen
Manajemen

2005
2005

A
A

47
19

6.69
2.70

7
3

5
2

8
9

S1
S1

ST Ilmu Ekonomi Supra
Univ. Nasional

Manajemen
Manajemen

2005
2005

A
A

10
18

1.42
2.56

2
3

2
3

10
11

S1
S1

Univ. Bina Nusantara (UBINUS)
Univ. Gunadarma

Manajemen
Manajemen

2004
2004

A
A

78
116

11.10
16.50

11
17

8
8

12
13

S1
S1

Univ. Trisakti
Univ. Prof. Dr. Moestopo (Beragama )

Manajemen
Manajemen

2004
2004

A
A

64
28

9.10
3.98

9
4

6
4

14
15

S1
S1

ST Ilmu Ekonomi Perbanas
Univ. Indonusa Esa Unggul

Manajemen
Manajemen

2004
2004

A
A

30
59

4.27
8.39

4
8

4
8

16
17

S1
S1

Univ. Pelita Harapan (UPH)
Univ. Tarumanagara (UNTAR),

Manajemen
Manajemen

2004
2003

A
A

19
91

2.70
12.94

3
13

3
10

18

S1

Univ. Borobudur
Jumlah

Manajemen

2003

A

23
703

3.27
100

3
102

3
80

100%

78.4%

No

Tk

Perguran Tinggi

Prodi

Thn. SK

Dosen
Tetap
46

6.54

7

6

Sumber: Situs BAN PT (http://203.130.201.241/id_qry-akred-ps.php), diakses Desember 2008 dan data diolah.

M. Taufiq Amir & Insan H. Harahap

halaman 10 dari 26

Sampel

Realisasi

Implementasi Konsep Pembelajaran Organisasi pada Institusi Pendidikan Tinggi di Jakarta
M. Taufiq Amir & Insan Harapan Harahap

Kuesioner disebarkan secara langsung melalui staf perantara yang umumnya
adalah ketua program studi. Sebagian kuesioner yang diisi dan ditunggu
pengisiannya, sebagian lagi ditinggal karena terbatasnya keberadaan dosen saat
dikunjungi untuk kemudian diambil lagi di minggu berikutnya. Hanya 80 orang yang
merespon dari keseluruhan jumlah sampel atau sejumlah 78%.
a. Instrumen yang digunakan
Butir pertanyaan yang ada dalam kuesioner sebagai instrumen
pengumpulan data akan mengadopsi 7 dimensi dan 3 level (individu, tim dan
organisasi) yang ada dalam Dimension Learning Organizatioan Questionnaire
(DLOQ) yang dirumuskan Marsick dan Watkins (1998 dan 2003). DLOQ sudah
dikembangkan sejak 1996, dan beberapa kali dikonstruk ulang validitasnya, baik
oleh kedua peneliti tersebut, maupun oleh peneliti dari Amerika, Malaysia,
China, Belanda hingga Columbia.
Pada tahun 1998, Watkins dan Marsick, bersama Yang (1998) melakukan
studi ulang untuk mengkonstruk validitas butir-butir pertanyaan dalam DLOQ.
Selain cukup komprehensif, butir-butir pertanyaan yang ada dalam DLOQ juga
mempertimbangkan secara luas perspektif-perspektif yang ada atas organisasi
belajar. Tabel berikut secara ringkas menunjukkan definisi konstruk untuk
DLOQ (Marsick dan Watkins, 2003).
Tabel 3. Definisi atas Konstruk dari
Dimension of Learning Organization Questionnaire
Dimensi
1. Menciptakan peluang
untuk belajar secara
berkelanjutan

Definisi
Belajar dirancang dalam tugas sehingga
karyawan dapat belajar pada pekerjaannya;
peluang diberikan untuk mendapatkan
pendidikan dan berkemban

2. Mempromosikan sikap
penuh selidik dan
berdialog

Karyawan mendapatkan kecakapan bernalar
untuk mengekspresikan pandangan dan
kapasitasnya untuk mendengar dan penuh
selidik atas pandangan orang lain; budaya
diubah untuk mendukung sikap
mempertanyakan, memberi umpan balik, dan
bereksperimentasi.

3. Mendorong kolaborasi
belajar secara tim

Kerja dirancang untuk menggunakan kelompok
untuk akses berbagai bentuk pemikiran;
kelompok belajar dan kerja bersama; kolaborasi
dinilai tinggi dalam budaya kerja dan diberi
penghargaan

M. Taufiq Amir & Insan H. Harahap

halaman 11 dari 26

Implementasi Konsep Pembelajaran Organisasi pada Institusi Pendidikan Tinggi di Jakarta
M. Taufiq Amir & Insan Harapan Harahap

Dimensi
4. Menciptakan sistem
untuk memperoleh dan
membagi pembelajaran

Definisi
Teknologi, baik rendah maupun tinggi digunakan
untuk berbagai pembelajaran dan
mengitegrasikan kerja; akses diberikan dan
sistem dikelola

5. Memberdayakan
karyawan menuju visi
bersama

Karyawan dilibatkan dalam prancangan, dan
penerapan visib bersama; tanggung jawab
dibagi untuk pengambilan keputusan sehingga
orang termotivasi untuk mempelajari apa yang
menjadi urusannya.

6. Mengaitkan organisasi
dengan lingkungannya

Karyawan dibantu untuk melihat dampak
pekerjaan mereka pada keseluruhan orgnaisasi;
karyawan mengamati lingkungan dan
menggunakan informasi untuk menyesuakan
dengan pekerjaannya; organisasi berhubungan
dengan komunitasnya.

7. Memberikan
Para pemimpin menjadi model, dan mendukung
kepemimpinan strategis pembelajaran; kepemimpinan menggunakan
untuk belajar
pembelajaran secara strategis untuk hasil bisnis

Dari ketujuh dimensi di atas, Watkins merancang 43 butir pertanyaan
yang juga akan digunakan dalam penelitian ini. Pertanyaan menggunakan skala
1 hingga 6, yang menggambarkan derajat kesesuaian penerapan di organisasi.
Jika praktek terkait tidak pernah sama sekali dilakukan responden diminta
menjawab 1, sementara bila praktek itu selalu dilakukan responden menjawab
6. Kesemua pertanyaan itu dikelompokkan menjadi tiga kelompok; tingkat
individu, tingkat tim atau kelompok, dan tingkat organisasi. Untuk memastikan
lagi bahwa kondisi dan konteks di Indonesia sesuai dengan instrumen yang
akan digunakan, analisis validitas dan reliabilitas tetap akan dilaksanakan dalam
penelitian ini.
b. Uji Reliabilitas dan Validasi
Dari daftar pertanyaan yang ada, penulis kembali melakukan prosedur
validasi dan realibilitas. 14 dosen yang di BSM bersedia mengisi kuesioner
pengujian ini. Kemudian, data ini dianalisa dengan terlebih dahulu
membuatnya jumlahnya menjadi 3 kali lipat. Dari data yang analisa yang
dilakukan ternyata ketiga level, yakni Individu, Tim, dan Organisasi memiliki
masing-masing Cronbach Alpha lebih dari 0.6, yakni 0.941, 0.76, dan 0.953.
Dengan demikian pertanyaan yang ada dapat dikatakan reliabel.

M. Taufiq Amir & Insan H. Harahap

halaman 12 dari 26

Implementasi Konsep Pembelajaran Organisasi pada Institusi Pendidikan Tinggi di Jakarta
M. Taufiq Amir & Insan Harapan Harahap

Sementara itu, uji validitas juga dilakukan menunjukkan bahwa kesemua
pertanyaan valid atau tidak. Prosedur korelasi bivariat dilakukan antara masingmasing skor di setiap item dengan total skor dari setiap konstruk. Ini dilakukan
untuk ketiga level dan ketujuh konstruk yang ada. Dari hasil perhitungan
dengan perangkat lunak SPSS, analisa korelasi Pearson menunjukkan bahwa
korelasi untuk nilai yang ada di setiap item pertanyaan di setiap konstruk,
ternyata berkorelasi secara signifikan pada nilai total dari setiap konstruk. Ini
ditunjukkan dengan nilai signifikasinya yang ada, dimana semuanya berada di
atas 0.6 untuk setiap item, pada tingkat signifikansi 1 persen. Dengan uji
reliabilitas dan validasi ini, semua pertanyaan yang disarankan oleh Watkins
dan Marsick (2003) kembali digunakan dalam penelitian ini.
c. Analisis Yang Digunakan
Dari data yang diperoleh melalui kuesioner, analisis utama akan dilakukan
secara deskriptif. Akan digunakan konsep-konsep yang menjadi rujukan
penelitian seperti pembelajaran organisasi tingkat di individu, tingkat tim, dan
tingkat organisasi.
F. HASIL PENELITIAN
a. Analisis Deskriptif
Profil Responden
Para dosen yang menjadi sampel sebagian besar berjenis kelamin
perempuan (56%) dibandingkan laki-laki (44%). Bila ditinjau dari segi usia, ada
11 orang atau 13.8 % yang sudah berusia lebih dari 50 tahun. Sedangkan yang
lebih muda, yakni 40 – 50 thn ada 48%, dan yang berusia muda dibawah 40
tahun ada 30 orang (37.5%). Dari sudut pendidikan, sebagian besar sampel
berpendidikan S-2 yakni sejumlah 67 orang (83.8%). Mereka yang sudah
menempuh jenjang S-3 ada 10 orang (12.5%), sedangkan S-1 masih ada 3 orang
atau 3.8%. Dosen-dosen ini umumnya sudah memiliki pengalaman kerja yang
cukup lama. Sebanyak 43 orang (53.8%) dari mereka sudah bekerja lebih dari
10 tahun. Untuk yang bekerja 3 – 10 tahun, sampel yang ada berjumlah 34
orang (42%) dan 3 orang (3.8 %) yang baru menyelesaikan jenjang S-1 nya.
b. Dimensi DLOQ
Secara keseluruhan, pertanyaan dari ketujuh Dimensi DLOQ dijawab
dengan jawaban cukup sering (skor 4), sering (skor 5). Secara sepintas, ini
menggambarkan bahwa organisasi PTS yang menjadi objek penelitian
dipersepsikan cukup baik oleh para staf dosen yang ada dalam menjalankan

M. Taufiq Amir & Insan H. Harahap

halaman 13 dari 26

Implementasi Konsep Pembelajaran Organisasi pada Institusi Pendidikan Tinggi di Jakarta
M. Taufiq Amir & Insan Harapan Harahap

prinsip-prinsip organisasi belajar. Berikut ini penjelasan lebih detil dari setiap
dimensi dari setiap level (Individu, kelompok dan organisasi).
1) Level Individu
Menciptakan peluang untuk belajar secara berkelanjutan
Ada 34.29% yang
menjawab secara ratarata menjawab skor 4
dan 38.39% untuk
setiap
pertanyaanpertanyaan yang ada
pada dimensi 1, yaitu
Menciptakan peluang
untuk belajar secara
berkelanjutan.
Grafik 1. Rata-rata jawaban
responden untuk dimensi 1.

Sedangkan untuk
dimensi
2,
yakni
mempromosikan sikap
penuh
selidik
dan
berdialog juga memiliki
pola yang mirip. Ratarata responden yang
memilih skor 4 untuk
pertanyaan-pertanyaan
pada dimensi ini adalah
44%. Sedangkan yang
memilih
jawaban
dengan skor 5 terdiri
dari 43%.

Sebaran persentase
dari jawaban responden
untuk dimensi pertama
tersebut dapat dilihat pada
grafik 1.

Grafik 2. Rata-rata jawaban responden untuk dimensi 2

2) Level Kelompok
Hasil-hasil yang diperoleh pada level individu, juga terjadi pada level
kelompok. Untuk pertanyaan-pertanyaan pada dimensi 3, yakni Mendorong
kolaborasi belajar secara tim, sebagian besar jawaban responden ada pada

M. Taufiq Amir & Insan H. Harahap

halaman 14 dari 26

Implementasi Konsep Pembelajaran Organisasi pada Institusi Pendidikan Tinggi di Jakarta
M. Taufiq Amir & Insan Harapan Harahap

skor 4 dan 5. Ada sejumlah 46.25% dari responden yang menjawab skor 4
dan 47.5% yang menjawab skor 5.

Jlh Responden

3) Level Organisasi
Untuk pertanyaanpertanyaan pada level
organisasi, seperti juga
pada
dua
dimensi
sebelumnya, pola yang
sama kembali terlihat.
Para
responden,
mayoritas
menjawab
skor 4 dan 5 dari setiap Grafik 3.Rata-rata jawaban responden untuk dimensi 3
item-item pertanyaan
di
setiap
dimensi.
Menciptakan sistem untuk memperoleh dan
Tentang
dimensi
4,
membagi pembelajaran
Menciptakan
sistem
50
40
untuk memperoleh dan
30
20
membagi pembelajaran,
10
responden
menjawab
0
1
2
3
4
5
6
dengan pola serupa. Ada
Series1 0.94 1.38 18.7 46.9 42.8 15.2
46.93% yang rata-rata
menjawab
skor
4
sedangkan
yang
Grafik 4. Rata-rata jawaban responden untuk dimensi 4
menjawab skor 5 ratarata 42.8%. Begitupula
untuk dimensi 5, yakni
Memberdayakan
karyawan menuju visi
bersama, dimana ratarata yang menjwab skor
4
adalah
46.6%
responden
sedangkan
rata-rata yang menjawab
skor 5 adalah 43.9%.
Grafik 5.Rata-rata jawaban responden untuk dimensi 5

M. Taufiq Amir & Insan H. Harahap

halaman 15 dari 26

Implementasi Konsep Pembelajaran Organisasi pada Institusi Pendidikan Tinggi di Jakarta
M. Taufiq Amir & Insan Harapan Harahap

Grafik 6.Rata-rata jawaban responden untuk dimensi 6

Grafik 7.Rata-rata jawaban responden untuk dimensi 7

Pada dimensi berikutnya yaitu dimensi 6, pembahasan berhubungan
dengan bagaimana Sistem yang ada di organisasi mengaitkan karyawan
dengan lingkungannya. Sebagian besar responden juga menjawab dengan
jawaban skor 4. Ada 42.8% rata-rata karyawan yang memberi jawaban
seperti itu, dan 51.02% menjawab pada skor 5. Pada tahap berikutnya, di
dimensi ke 7, tentang kepemimpinan strategis agar organisasi belajar,
jawaban responden kembali serupa dengan dimensi-dimensi sebelumnya.
Mereka yang memilih skor 4 ada pada angka 43.08% dan yang memilih
angka 5 adalah 49.8%.
Dari rangkuman jawaban-jawaban responden di atas untuk ke 7
DLOQ, maka dapat disimpulkan bahwa hampir di semua dimensi jawabanjawaban para responden menunjukkan tingkat yang sering ataupun sangat
sering. Bagian berikut akan membahas lebih detil hasil temuan-temuan di
atas dengan menggunakan landasan teori yang digunakan terutama konsep
DLOQ dari Marsick & Watskin (2003).

M. Taufiq Amir & Insan H. Harahap

halaman 16 dari 26

Implementasi Konsep Pembelajaran Organisasi pada Institusi Pendidikan Tinggi di Jakarta
M. Taufiq Amir & Insan Harapan Harahap

G. PEMBAHASAN
a. Level Individu
Dimensi Menciptakan peluang belajar Secara berkelanjutan
Skor yang tinggi pada jawaban-jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan
dimensi pertama yaitu Menciptakan peluang untuk belajar secara
berkelanjutan, menunjukkan bahwa para dosen di perguruan tinggi terkait
cenderung untuk menyukai risiko serta gemar bereksperimen. Para dosen ini
juga diperkirakan memiliki kecenderungan berfokus pada faktor yang penting
dalam pekerjaannya. Dalam hal membicarakan satu gagasan, pada dosendosen ini diperkirakan tidak mudah untuk saling menyalahkan atau bahkan
memberikan hukuman. Organisasinya dapat dikatakan memiliki pemimpin yang
mampu melihat kesalahan sebagai peluang untuk belajar, dan dapat membahas
kesalahan dalam rapat-rapat atau pertemuan. Pemimpin yang seperti ini
biasanya juga cukup baik dalam mengevaluasi dan melakukan peninjuauan
ulang atas rencana yang dikerjakan.
Jawaban yang rata-rata tinggi pada dimensi ini, juga menggambarkan
bahwa para dosen melihat rekan-rekannya memiliki cara yang sistematis dalam
mengidentifikasi kecakapan yang dibutuhkan dalam menjalankan aktivitasnya,
serta tahu basis kecakapan yang ada. Marsick & Watskin (2003) menyarankan
agar organisasi dapat menjaga aspek penilaian atas kecakapan yang dibutuhkan
untuk berbagai kapasitas di masa datang. Ini dapat diselaraskan dengan
pelatihan dan program pengembangan SDM yang berfokus pada kebutuhan
sekarang dan masa datang.
Bila dimensi 1 ini diberikan jawaban rata-rata yang tinggi dari pada dosen,
itu berarti para dosen menganggap berbagi pengetahuan adalah sebuah
kewajaran dan sering merasakan kesuksesan adalah milik bersama. Saling
belajar dari satu dosen ke dosen yang lain dalam berbagai pekerjaan menjadi
sebuah hal yang biasa. Umumnya manajemen perguruan tinggi memiliki
strategi dalam memberikan penghargaan dan ganjaran agar suasana itu lebih
kuat. Disamping itu, pemimpin di organisasi semacam ini biasanya meminta
para karyawan saling menjadi mentor satu sama lain, dan memberi ganjaran
yang baik untuk pencapaian tim.
Sebagai lembaga pendidikan, agaknya wajar pula bila para dosen yang
menjadi responden beranggapan bahwa individu perlu memperoleh akses
untuk sumber belajar yang mereka butuhkan. Para dosen secara terbuka bisa
memahami dan mungkin terlibat dalam anggaran pengembangan
pembelajaran, serta memperoleh akses yang mudah kepada sumber

M. Taufiq Amir & Insan H. Harahap

halaman 17 dari 26

Implementasi Konsep Pembelajaran Organisasi pada Institusi Pendidikan Tinggi di Jakarta
M. Taufiq Amir & Insan Harapan Harahap

pembelajaran. Ini mulai dari hal yang sederhana seperti melalui email, hingga
perpustakaan atau pusat pembelajaran. Organisasi seperti ini biasanya memiliki
prosedur yang cukup jelas dalam menjalankan aktivitas belajar terutama untuk
para dosennya.
Para individu dalam organisasi yang memiliki skor tinggi dalam dimensi 1,
biasanya melakukan pembelajaran yang terintegrasi dengan pekerjaan mereka
serta pencapaian pekerjaan. Pemanfatan waktu untuk belajar dilakukan secara
mandiri (self directed) dan tidak perlu ada pihak yang mengatur. Berbagai
pengelolaan pengukuran kinerja biasanya juga sudah ada, sehingga orang bisa
mengukur prestasinya. Individu dimensi ini tinggi, berarti pada umumnya
melihat berbagai masalah-masalah yang dihadapi sebagai upaya untuk belajar
lebih jauh. Masalah yang ditemui justru dianggap sebagai tantangan. Secara
aktif mereka mencari dan menyediakan informasi untuk mengantisipasi hasil
dan mendorong penggunaan informasi untuk pemecahan masalah.
Situasi yang dijelaskan oleh jawaban responden juga pada dasarnya
menggambarkan bahwa untuk pencapaian dalam pembelajaran, individu
diberikan ganjaran. Institusi seperti ini memandang penting pembelajaran yang
dilakukan organisasi, dan memberikan penghargaan untuk itu. Sebagai institusi
pendidikan, sewajarnya lembaga-lembaga yang disurvei mengaitkan tingkat
pendidikan dengan sistem renumerasinya, begitupula pencapaian-pencapaian
pembelajaran serta pengembangan yang lain. Para pejabat struktural di
departemen, seyogyanya memiliki otoritas untuk dapat merayakan
pencapaian-pencapaian pembelajaran dari para dosen yang ada dilingkup
unitnya.
Dimensi mempromosikan sikap penuh selidik dan berdialog
Berdasarkan literatur yang ada (Argyris, 2004), dan merujuk kembali pada
hasil-hasil penelitian Marsick & Watskin, 2001, 2003) organisasi yang skornya
tinggi pada dimensi ini memiliki suasana yang terbuka dalam gagasan. Para
individunya terbiasa mendiskusikan banyak hal, termasuk masalah norma dan
harapan-harapan mereka. Ketika organisasi menerapkan harapan-harapan
dalam bentuk standar dan target, para individu saling membicarakan,
memberikan umpan balik dengan tulus, memperbaiki dan berupaya
mencapainya. Seandainyapun dituntut perubahan perilaku, inipun biasanya
dapat dilaksanakan tanpa penolakan yang berarti.
Organisasi yang mendorong dialog menganggap perbedaan perspektif
dalam melihat masalah bukanlah tabu, dan lebih sering dianjurkan. Di sisi lain,
budaya menyimak ditumbuhkan dan biasanya tinggi. Ketika ada sesuatu yang
dianggap inovatif, semua pihak berupaya melakukan yang terbaik agar inovasi

M. Taufiq Amir & Insan H. Harahap

halaman 18 dari 26

Implementasi Konsep Pembelajaran Organisasi pada Institusi Pendidikan Tinggi di Jakarta
M. Taufiq Amir & Insan Harapan Harahap

itu bisa berlangsung sukses. Sesuai dengan konteks area yang diteliti, yakni
pendidikan tinggi, tentu saja yang dimaksud dengan inovasi di sini tidak sekadar
proses bisnis, tapi juga terkait dengan kegiatan akademik seperti proses belajar
mengajar. Dosen-dosen sering melakukan dialog-dialog serta diskusi yang
berarti, mendengarkan dengan aktif saat pertemuan-pertemuan dengan tim.
Demi mencapai solusi atau keputusan yang baik dalam menghadapi
berbagai masalah, budaya ” e perta aka ” dia ggap sebagai hal a g biasa.
Bagi individu di organisasi seperti ini, ketimbang memperhatikan soal hierarki
atau status, yang lebih diutamakan adalah gagasan yang bermutu. Justru
menjadi orang yang sekadar mengikuti saja apa yang dikatakan atasan sikapnya
dipertanyakan. Para pemimpinpun biasanya mengambil keputusan dengan
secara inklusif, menyertakan pertimbangan dan pendapat dari bawahan atau
kolega. Dengan suasana yang terbuka seperti di atas, maka para karyawan di
organisasi seperti inipun terbiasa membangun rasa percaya dan menghilangkan
budaya rasa takut untuk mengemukakan pendapat. Dengan demikian proses
saling berbagi pun berjalan dengan lancar, dan dalam setiap diskusi, yang selalu
mengemuka adalah landasan rasional ketimbang intrik atau kecurigaan.
b. Level Kelompok atau Tim
Untul level tim, model yang dibuat oleh Marsick dan Watskin (2003)
memiliki 1 dimensi utama, yaitu mendorong kolaborasi dan pembelajaran tim.
Seperti juga pada dimensi individu sebelumnya, pada item-item variabel yang
ada pada dimensi ini, sebagian besar subjek penelitian memberikan skor yang
rata-rata tinggi kepada organisasinya. Angka yang tinggi ini merata pada ke 6
item variabel yang ada. Memang, pada hakekatnya organisasi pendidikan tinggi
selayaknya kuat dalam hal kolaborasi atau kerjasama tim. Ini karena sebuah
industri pendidikan umumnya karyawannya terdiri para dosen yang berbedabeda bidang keahliannya dan masing-masing memiliki spesialisasi tersendiri,
namun memiliki prinsip kolegialitas. Tentunya dengan demikian seharusnya
mudah untuk menciptakan kerjasama dalam pembelajaran tim. Selain itu,
dengan para karyawan bagian non akademik, kerja sama itu juga harus
terwujud. Bagian administrasi akademik dan bagian teknologi misalnya
mungkin berperan menciptakan proses belajar mengajar yang optimal. Bagian
SDM harus menciptakan konsep renumerasi yang memberikan ganjaran yang
menarik bagi para dosen maupun non dosen.
Bila organisasi tinggi skornya dalam dimensi mendorong kolaborasi dan
pembelajaran tim, maka umumnya tim-tim atau departemen yang ada berpikir
tentang otoritas mereka memberikan gagasan dan berkreasi dengan gagasan
tersebut. Tim memiliki keyakinan penuh dalam mencapai tujuan mereka, yang

M. Taufiq Amir & Insan H. Harahap

halaman 19 dari 26

Implementasi Konsep Pembelajaran Organisasi pada Institusi Pendidikan Tinggi di Jakarta
M. Taufiq Amir & Insan Harapan Harahap

dalam tingkatan tertentu, itu berarti tim berani untuk mengadaptasi tujuan
mereka. Ini juga berhubungan dengan kesamaan padangan bahwa status dan
hierarki tidak perlu membatasi menyebarnya gagasan dan informasi. Semua
anggota tim dilibatkan secara sama dalam berbagai diskusi dan keputusan.
Bahkan bila perlu tim membuat prosedur yang memungkinkan dicegahnya
dominasi senioritas atau pengaruh tertentu. Misalnya dengan cara merotasi
peran tertentu sehingga setiap orang memiliki peluang menunjukkan
kecakapan kepemimpinannya. Tim yang terlibat biasanya memiliki keyakinan
yang cukup tinggi, bahwa bila gagasan mereka memiliki penalaran yang kuat,
maka organisasi, terutama pemimpin puncak, secara keseluruhan akan
mendukung.
Dalam hal hubungan antar kelompok, organisasi yang tinggi skornya dalam
dimensi ini juga memberikan perhatiannya yang besar. Ketika konflik muncul,
setiap pihak berorientasi pada penyelesaian pekerjaan atau tujuan. Perhatian
itu juga dapat ditunjukkan dengan kerapnya diadakan pelatihan dan
pengembangan yang terkait dengan pengembangan tim serta dinamika tim.
Sama seperti di level individual, di level tim ini, organisasi juga selalu
melakukan reevaluasi atas strategi dan sasaran yang ditetapkan. Masingmasing anggota, dan juga tim ayang lain dianjurkan untuk mempertanyakan
asumsi-asumsi yang digunakan dalam keputusan-keputusan terdahulu. Pihak
luarpun dirasakan perlu diundang untuk mempertanyakan, mengaudit hal-hal
yang sudah dikerjakan. Begitupula dalam hal pemberian ganjaran. Bila
pencapaian individu dihargai, maka pencapaian tim juga perlu dihargai.
Organisasi yang menyadari hal ini akan memberikan pengakuran dan dukungan
terhadapi penacapaian tim. Strukutur ganjaran selalu dievaluasi dan secara
jelas memberi penghargaan pada tim, tanpa mengabaikan kontribusi individu
pada pencapaian tim tersebut.
c. Level Organisasi
Dari temuan yang diperoleh, hampir semua dari 4 dimensi yang ada pada
DLOQ level organisasi memiliki skor yang tinggi (4 dan 5). Ada banyak bahasan
yang dapat disajikan menyangkut 24 item pertanyaan yang ada dari keempat
dimensi tadi. Atas dimensi penciptaan sistem yang dapat memperoleh dan
membagi pembelajaran, umumnya organisasi terkait memiliki peluang dan
sumberdaya yang luas untuk saling berbagi informasi. Manajemen sistem
informasinya baik, memiliki wadah-wadah komunikasi seperti intranet, situs
web yang terkelola baik, bulettin, dan rapat-rapat yang dikelola secara efektif.
Dari sisi SDM yang ada, organisasi yang karyawannya memberikan skor
tinggi pada dimensi ini, diasumsikan memiliki basis data yang baik atas

M. Taufiq Amir & Insan H. Harahap

halaman 20 dari 26

Implementasi Konsep Pembelajaran Organisasi pada Institusi Pendidikan Tinggi di Jakarta
M. Taufiq Amir & Insan Harapan Harahap

karyawan. Organisasi dengan mudah mengakses catatan kinerja, kompetensi,
kecakapan yagn ada dari para karyawan. Walaupun barangkali perangkat
teknologi informasi sederhana, organsisasi memiliki perekaman, pemutakhiran,
peninjauan ulang atas kemampuan para karyawan. Hasil yang diperoleh dari
jawaban responden ini agak berbeda dari dari pengamatan langsung penulis
atas situs web yang dikelola oleh ke 18 PTS yang menjadi objek penelitian.
Memang didapatkan upaya mengelola situs ini sudah cukup baik, terutama dari
segi pemutakhiran informasi (lihat lampiran 1). Namun demikian, tidak semua
PTS yang mengelola dengan baik profil-profil dosennya begitupula dengan
pencapaian-pencapaiannya.
Selain soal basis data kapabilitas, organisasi juga seharusnya memiliki
sistem yang memadai untuk pengukuran kinerja bagian-bagian yang ada. Alat
ukur untuk kinerja yang diharapkan haruslah mencerminkan upaya organisasi
untuk mencapai visi dan menjalankan misinya. Karena dari waktu ke waktu
organisasi memperoleh pembelajaran, maka organisasi sengaja menjadikannya
bahan pelajaran bagi seluruh karyawan.
Konsep-konsep learning organization yang ada, selain Marsick dan Watkins
seperti yang ditemukan Hubert (2002), upaya pengembangan pembelajaran
yang baik menuntut organisasi merekam dengan baik pula upayanya itu. Ada
metode yg sistematis yang mengevaluasi dan melihat dampak dari pelatihan
misalnya. Upaya pengembangan yang lain, di lakukan secara sistematis, tidak
dengan persepsi tertentu saja. Dengan demikian ditingkat organisasi,
penggunaan sumberdaya yang dikeluarkan untuk aspek pembelajaran juga
harus tercatat rapi dan digunakan saat mengamati kinerja dan ukuran. Dari
konteks pendidikan tinggi, hal ini sangat relevan, karena diharapkan keputusankeputusan yang diambil memiliki latarbelakang konseptual yang dihasilkan dari
penelitian empiris. Misalnya, ketika pengelola memutuskan untuk menambah
satu matakuliah atau mengubah metode ajar, haruslah didasarkan cara-cara
yang ilmiah.
Dimensi berikutnya pada level organisasi adalah Organisasi
memberdayakan karyawannya untuk menuju visi bersama. Ada dua aspek yang
mendapatkan penekanan di sini. Pertama adalah soal pemberdayaan, dan yang
kedua adalah soal visi. Dari aspek pemberdayaan, organisasi menghargai upaya
atau inisiatif, pilihan-pilihan aktivitas, pengendalian sumberdaya yang dilakukan
oleh para karyawan sepanjang itu berkaitan dengan pencapaian visi. Organisasi,
mempersilahkan dan medukung karyawan, meskipun kadang-kadang itu
berhadapan dengan risiko tertentu. Organisasi yang tinggi skornya pada dimensi
ini adalah organisasi yang cukup fleksibel dan mendorong karyawan untuk

M. Taufiq Amir & Insan H. Harahap

halaman 21 dari 26

Implementasi Konsep Pembelajaran Organisasi pada Institusi Pendidikan Tinggi di Jakarta
M. Taufiq Amir & Insan Harapan Harahap

merancang, memaknai pekerjaannya sepanjang itu dapat memuaskan secara
internal di satu sisi, dan mendekatkan organisasi pada visi yang ingin dicapai. Ini
juga memberikan makna bahwa organisasi mendorong karyawan untuk bila
perlu keluar dari kebiasaan mereka dalam bekerja dan menghasilkan kinerja.
Dari sisi visi, karena karyawan disertakan dan disamakan persepsinya dalam
memaknai visi, atau barangkali dengan memberikan keterlibatan yang cukup
dalam pembuatannya, maka karyawan diharapkan, apapun aktivitas yang
dilakukan karyawan diharapkan sebagain implementasi dari visi yang telah
dirumuskan.
Berkaitan dengan dimensi hubungan organisasi dengan l