ANALISIS AKUNTABILITAS PENGELOLAAN WAQAF PADA BAITUL MAL PROVINSI ACEH

  

ANALISIS AKUNTABILITAS PENGELOLAAN WAQAF PADA BAITUL MAL

PROVINSI ACEH

Rizka Maulida * 1,2 1 , Ridwan *2

  Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala e-mail: ika.djalil@gmail.com

  • *1 , ridwan.ibrahim@unsyiah.ac.id *2

  

Abstrak

Accountability of management of waqf is not in accordance with Act No. 41 of 2004 on Baitul Mal of Aceh province,

due to the lack of socialization of Law and Accountability management of waqf has not been complied with by Act

No. 41 of 2004 on Baitul Mal Province Aceh, because its implementation does not refer to the Law, Accountability

waqaf management yet to be implemented and carried out activities in accordance with legislation and qanuns waqf,

which is caused due to lack of training or development provided by the organization to improve the reliability of

waqf manager. Pewaqaf did not pay attention and consider the ability nazir, so as to manage the waqf property is not

optimal due to the lack of socialization of Law Number 41 Year 2004 on Waqf and Aceh Qanun No. 10 of 2007 on

BaitulMal.

  Keywords: Accountability and Management of Waqf.

1. Pendahuluan

  Akuntabilitas merupakan salah satu proses manajemen yang vital dalam pengelolaan waqaf. Akuntabilitas memainkan peranan yang signifikan sebagai parameter profesionalitas penanganan waqaf. Menurut Syafi’i Antonio (2011:8) dalam pengelolaan waqaf yang profesional terdapat tiga filosofi dasar, yaitu : 1). Pola manajemennya harus dalam bingkai proyek yang terintegrasi, 2). Mengedepankan asas kesejahteraan nazir, yang menyeimbangkan antara kewajiban yang harus dilakukan dan hak yang diterima, 3). Asas transparansi dan akuntabilitas.

  Akuntabilitas yang ada pada lembaga waqaf akan berimplikasi pada semakin kuatnya legitimasi sosial, dimana lembaga itu akan mendapat public trust. Legitimasi dari masyarakat akan menaikkan dukungan masyarakat dalam pengelolaan waqaf. Peraturan perundang-undangan sebenarnya telah menegaskan keharusan penegakan akuntabilitas lembaga waqaf. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 11 mewajibkan nazir untuk melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Waqaf Indonesia (BWI). Namun keharusan pelaporan demi menegakkan akuntabilitas ini masih belum sepenuhnya diterima pengelola waqaf (Antonio: 2011).

  Akuntabilitas merupakan proses dimana suatu lembaga menganggap dirinya bertanggung jawab mengenai apa yang dilakukan dan tidak dilakukannya.

  Secara operasional akuntabilitas diwujudkan dalam bentuk pelaporan (reporting), pelibatan (involving) dan cepat tanggap (responding). Akuntabilitas dapat menumbuhkan kepercayaan (trust) masyarakat kepada lembaga. Karena itu akuntabilitas menjadi sesuatu yang penting karena akan mempengaruhi legitimasi terhadap lembaga pengelola waqaf. Dengan demikian, akuntabilitas bukan semata-mata berhubungan dengan pelaporan keuangan dan program yang dibuat, melainkan berkaitan pula dengan persoalan legitimasi publik (Budiman, 2011: 5).

  Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Waqaf menyebutkan bahwa lembaga waqaf sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Waqaf merupakan perbuatan hukum yang telah lama hidup dan dilaksanakan dalam masyarakat yang pengaturannya belum lengkap serta masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, maka peneliti merasa tertartik untuk melakukan penelitian tentang kesesuaian dan ketentuan akuntabilitas pengelolaan menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 pada Baitul Mal Provinsi Aceh.

  

  Waqaf merupakan salah satu bentuk tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia serta nilai kemanusiaan, sehingga menyumbangkan waktu, uang, harta dan tenaganya untuk menolong orang lain dalam Islam, di mana dilaksanakan dengan memberikan harta pada jalan Allah SWT namun menahan pokoknya dan memberikan hasilnya. Hal inilah yang membedakan antara waqaf dengan infak, sedekah dan hibah. Agar pahala waqaf terus mengalir maka waqaf yang dikeluarkan harus memenuhi rukun dan ketentuan syariah. Agar waqaf tersebut dapat bermanfaat bagi kemaslahatan umat, maka selain masalah rukun dan ketentuan syariah juga diperlukan pengelola waqaf (nazir) yang amanah serta mampu menjalankan fungsinya dengan baik (Nurhayati dan Wasilah, 2013:349).

  Belum maksimalnya waqaf sebagai instrumen pemberdayaan umat, disebabkan oleh banyak aspek antara lain : aspek kelembagaan, aspek kesadaran hukum masyarakat dan aspek manajemen. Karena itu, agar waqaf dapat diberdayakan secara maksimal, aspek-aspek tersebut harus bersinergi satu sama lain. Sebaliknya tidak berperannya salah satu aspek akan dapat mengakibatkan pengelolaan waqaf menjadi gagal (Friedman, 2011:5-6).

  Dari sisi akuntansi dan pertanggung jawaban nazir, belum ada PSAK yang mengatur tentang hal tersebut. Namun dari praktik yang berlaku umum saat ini serta telaah konseptual dapat dikatakan cara pencatatannya mirip dengan akuntansi untuk zakat. Dimana harus dilakukan pencatatan yang terpisah baik penerimaan, pengeluaran maupun pengelolaan waqaf. Mengingat waqaf selama ini masih dilakukan secara tradisional atas dasar kepercayaan, maka kebutuhan akan pemahaman yang lebih komprehensif atas waqaf masih dibutuhkan termasuk tentang fungsi dan manajemen pengelolaan waqaf.

  Riset sebelumnya mengenai Akuntabilitas Lembaga Pengelola Waqaf yang merupakan Non

  Government Organization (NGO) keagamaan

  khususnya agama Islam adalah riset yang dilakukan Budiman (2011:4). Riset tersebut mengenai Akuntabilitas Lembaga Pengelola Waqaf. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan prinsip akuntabilitas telah meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga waqaf. Akuntabilitas merupakan proses dimana suatu lembaga menganggap dirinya bertanggung jawab secara terbuka mengenai apa yang dilakukan dan tidak dilakukannya.

  Tantangan yang berat bagi lembaga waqaf sebagai lembaga yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat adalah bagaimana menjaga kredibilitasnya di depan masyarakat. Dalam hal ini lembaga waqaf dituntut memiliki akuntabilitas yang baik. Menurut The Jakarta Consulting Group, masalah mendasar yang dihadapi lembaga nirlaba adalah merosotnya kepercayaan publik. Masih banyak skandal keuangan menyeruak pada sejumlah yayasan. Tudingan miring diarahkan kepada yayasan sosial, terutama berkaitan dengan “kedok” untuk mencari keuntungan (BPS, 2008:3).

  Permasalahan dalam praktik perwaqafan biasanya berkaitan dengan pemahaman masyarakat tentang hukum waqaf maupun pengelolaan dan manajemennya. Pada umumnya masyarakat belum memahami hukum waqaf dengan baik dan benar, baik dari segi rukun dan syarat waqaf maupun maksud disyariatkannya waqaf (Nurhayati dan Wasilah, 2013:349).

  Masih cukup banyak masyarakat yang memahami bahwa benda yang dapat diwaqafkan hanyalah benda tidak bergerak seperti tanah, bangunan dan benda-benda tidak bergerak lainnya. Dengan demikian peruntukannya pun menjadi sangat terbatas seperti untuk mesjid, mushalla, rumah yatim piatu, madrasah, sekolah dan sejenisnya. Sehingga perlu disosialisasikan kepada masyarakat perlunya dikembangkan waqaf benda bergerak, selain benda tidak bergerak.

  Pewaqaf pun kurang mempertimbangkan kemampuan nazir untuk mengelola harta waqaf sehingga tujuan waqaf untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan umat tidak optimal. Sementera di masa lalu cukup banyak waqaf berupa kebun yang produktif, yang hasilnya diperuntukkan bagi yang memerlukan. Untuk itu kompetensi pengelola waqaf harus diperhatikan agar sasaran waqaf dapat tercapai optimal.

  Permasalahan waqaf yang lainnya yaitu masih kurang mendapatkan perhatian dan saat ini banyak harta waqaf yang belum di inventarisir dengan baik, belum lagi banyak tanah-tanah waqaf yang belum memiliki sertifikasi, jika kondisi ini terus dibiarkan, maka sangat dikhawatirkan 10 sampai 20 tahun yang

  

  2. Kajian Pustaka

  Government Organization (NGO) keagamaan

  Riset sebelumnya mengenai Akuntabilitas Lembaga Pengelola Waqaf yang merupakan Non

  Dari sisi akuntansi dan pertanggung jawaban nazir, belum ada PSAK yang mengatur tentang hal tersebut. Namun dari praktik yang berlaku umum saat ini serta telaah konseptual dapat dikatakan cara pencatatannya mirip dengan akuntansi untuk zakat. Dimana harus dilakukan pencatatan yang terpisah baik penerimaan, pengeluaran maupun pengelolaan waqaf. Mengingat waqaf selama ini masih dilakukan secara tradisional atas dasar kepercayaan, maka kebutuhan akan pemahaman yang lebih komprehensif atas waqaf masih dibutuhkan termasuk tentang fungsi dan manajemen pengelolaan waqaf.

  Belum maksimalnya waqaf sebagai instrumen pemberdayaan umat, disebabkan oleh banyak aspek antara lain : aspek kelembagaan, aspek kesadaran hukum masyarakat dan aspek manajemen. Karena itu, agar waqaf dapat diberdayakan secara maksimal, aspek-aspek tersebut harus bersinergi satu sama lain. Sebaliknya tidak berperannya salah satu aspek akan dapat mengakibatkan pengelolaan waqaf menjadi gagal (Friedman, 2011:5-6).

  Waqaf merupakan salah satu bentuk tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia serta nilai kemanusiaan, sehingga menyumbangkan waktu, uang, harta dan tenaganya untuk menolong orang lain dalam Islam, di mana dilaksanakan dengan memberikan harta pada jalan Allah SWT namun menahan pokoknya dan memberikan hasilnya. Hal inilah yang membedakan antara waqaf dengan infak, sedekah dan hibah. Agar pahala waqaf terus mengalir maka waqaf yang dikeluarkan harus memenuhi rukun dan ketentuan syariah. Agar waqaf tersebut dapat bermanfaat bagi kemaslahatan umat, maka selain masalah rukun dan ketentuan syariah juga diperlukan pengelola waqaf (nazir) yang amanah serta mampu menjalankan fungsinya dengan baik (Nurhayati dan Wasilah, 2013:349).

  2.1 Perkembangan Waqaf di Indonesia

  Waqaf pada Baitul Mal Aceh. Penelitian ini dilakukan di Baitul Mal Provinsi Aceh, tempat penelitian ini dipilih karena begitu banyaknya ketidakjelasan dengan pengelolaan waqaf di Aceh.

  akan datang akan semakin banyak harta waqaf yang disalahgunakan dan beralih fungsi menjadi hak milik.

  Uraian permasalahan yang telah diuraikan, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berhubungan dengan Akuntabilitas Pengelolaan

  Oleh karena itu pengelolaan harta waqaf yang lebih profesional perlu segera dilakukan, sehingga harta waqaf yang banyak di Aceh ini bisa memberikan hubungan atau pengaruh bagi peningkatan kesejahteraan umat.

  Selain itu regulasi terkait waqaf harus diperkuat, kemudian sertifikasi inventarisasi dan harta waqaf harus dipercepat serta kualitas nazir dan lembaga waqaf harus terus ditingkatkan. Pemahaman kepada pemberi waqaf bahwa harta benda yang telah mereka serahkan untuk diwaqafkan sudah putus hubungan dengan mereka, sehingga tidak ada lagi pewaqaf yang kemudian meminta kembali harta waqafnya atau mengatur penggunaan waqafnya, hal ini banyak terjadi seperti untuk dibangun mesjid, namun pengelola membangun bangunan lain, pewaqaf menggugat bahkan meminta balik harta waqafnya.

  Permasalahan lainnya yang terjadi belum berjalannya sanksi hukum terhadap penyimpangan waqaf, sehingga tak jarang waqaf disalahgunakan dengan penyerobotan, diperjualbelikan, dialihkan, pengalihan hak dan lemahnya peran pemerintah dalam kemitraan dan kerjasama antara pengelola waqaf, dimana Kementerian Agama dan Baitul Mal perlu berkoordinasi karena kedua lembaga ini seharusnya ikut andil dalam mengelola harta waqaf.

  Masih kurangnya sosialisasi untuk pengembangan waqaf secara produktif, pemberdayaan waqaf untuk pemberdayaan umat masih butuh waktu dan nazir yang mengelola harta waqaf belum profesional sehingga waqaf belum dapat dikelola secara optimal.

  Namun dari jumlah tersebut yang sudah memiliki sertifikat baru 12.649 lokasi. Status tanah waqaf tersebut terdaftar di Badan Pertanahan Nasional sebanyak 4.996 persil dan 1.463 persil telah memiliki akta ikrar waqaf atau akta yang belum terdata atau diwaqafkan saja dengan lisan. Banyak harta waqaf yang tidak tercatat dengan baik, tidak ada hitam di atas putih, sehingga rawan untuk disalahgunakan.

  Data Kementerian Agama tanah waqaf di 23 Kabupaten atau Kota di Aceh tahun 2016 berjumlah 21.862 lokasi dan luas 183.14 juta meter persegi.

  khususnya agama Islam adalah riset yang dilakukan

  

  Budiman (2011:4). Riset tersebut mengenai Akuntabilitas Lembaga Pengelola Waqaf. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan prinsip akuntabilitas telah meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga waqaf. Akuntabilitas merupakan proses dimana suatu lembaga menganggap dirinya bertanggung jawab secara terbuka mengenai apa yang dilakukan dan tidak dilakukannya.

  Tantangan yang berat bagi lembaga waqaf sebagai lembaga yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat adalah bagaimana menjaga kredibilitasnya di depan masyarakat. Dalam hal ini lembaga waqaf dituntut memiliki akuntabilitas yang baik. Menurut The Jakarta Consulting Group, masalah mendasar yang dihadapi lembaga nirlaba adalah merosotnya kepercayaan publik. Masih banyak skandal keuangan menyeruak pada sejumlah yayasan. Tudingan miring diarahkan kepada yayasan sosial, terutama berkaitan dengan “kedok” untuk mencari keuntungan (BPS, 2008:3).

  Permasalahan dalam praktik perwaqafan biasanya berkaitan dengan pemahaman masyarakat tentang hukum waqaf maupun pengelolaan dan manajemennya. Pada umumnya masyarakat belum memahami hukum waqaf dengan baik dan benar, baik dari segi rukun dan syarat waqaf maupun maksud disyariatkannya waqaf (Nurhayati dan Wasilah, 2013:349).

  Masih cukup banyak masyarakat yang memahami bahwa benda yang dapat diwaqafkan hanyalah benda tidak bergerak seperti tanah, bangunan dan benda- benda tidak bergerak lainnya. Dengan demikian peruntukannya pun menjadi sangat terbatas seperti untuk mesjid, mushalla, rumah yatim piatu, madrasah, sekolah dan sejenisnya. Sehingga perlu disosialisasikan kepada masyarakat perlunya dikembangkan waqaf benda bergerak, selain benda tidak bergerak.

  Pewaqaf pun kurang mempertimbangkan kemampuan nazir untuk mengelola harta waqaf sehingga tujuan waqaf untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan umat tidak optimal. Sementera di masa lalu cukup banyak waqaf berupa kebun yang produktif, yang hasilnya diperuntukkan bagi yang memerlukan. Untuk itu kompetensi pengelola waqaf harus diperhatikan agar sasaran waqaf dapat tercapai optimal.

  Permasalahan waqaf yang lainnya yaitu masih kurang mendapatkan perhatian dan saat ini banyak harta waqaf yang belum di inventarisir dengan baik, belum lagi banyak tanah-tanah waqaf yang belum memiliki sertifikasi, jika kondisi ini terus dibiarkan, maka sangat dikhawatirkan 10 sampai 20 tahun yang akan datang akan semakin banyak harta waqaf yang disalahgunakan dan beralih fungsi menjadi hak milik.

  Data Kementerian Agama tanah waqaf di 23 Kabupaten atau Kota di Aceh tahun 2016 berjumlah 21.862 lokasi dan luas 183.14 juta meter persegi.

  Namun dari jumlah tersebut yang sudah memiliki sertifikat baru 12.649 lokasi. Status tanah waqaf tersebut terdaftar di Badan Pertanahan Nasional sebanyak 4.996 persil dan 1.463 persil telah memiliki akta ikrar waqaf atau akta yang belum terdata atau diwaqafkan saja dengan lisan. Banyak harta waqaf yang tidak tercatat dengan baik, tidak ada hitam di atas putih, sehingga rawan untuk disalahgunakan.

  Masih kurangnya sosialisasi untuk pengembangan waqaf secara produktif, pemberdayaan waqaf untuk pemberdayaan umat masih butuh waktu dan nazir yang mengelola harta waqaf belum profesional sehingga waqaf belum dapat dikelola secara optimal.

  Permasalahan lainnya yang terjadi belum berjalannya sanksi hukum terhadap penyimpangan waqaf, sehingga tak jarang waqaf disalahgunakan dengan penyerobotan, diperjualbelikan, dialihkan, pengalihan hak dan lemahnya peran pemerintah dalam kemitraan dan kerjasama antara pengelola waqaf, dimana Kementerian Agama dan Baitul Mal perlu berkoordinasi karena kedua lembaga ini seharusnya ikut andil dalam mengelola harta waqaf.

  Selain itu regulasi terkait waqaf harus diperkuat, kemudian sertifikasi inventarisasi dan harta waqaf harus dipercepat serta kualitas nazir dan lembaga waqaf harus terus ditingkatkan. Pemahaman kepada pemberi waqaf bahwa harta benda yang telah mereka serahkan untuk diwaqafkan sudah putus hubungan dengan mereka, sehingga tidak ada lagi pewaqaf yang kemudian meminta kembali harta waqafnya atau mengatur penggunaan waqafnya, hal ini banyak terjadi seperti untuk dibangun mesjid, namun pengelola membangun bangunan lain, pewaqaf menggugat bahkan meminta balik harta waqafnya.

  Oleh karena itu pengelolaan harta waqaf yang lebih profesional perlu segera dilakukan, sehingga harta waqaf yang banyak di Aceh ini bisa memberikan

  

  hubungan atau pengaruh bagi peningkatan kesejahteraan umat.

  Uraian permasalahan yang telah diuraikan, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berhubungan dengan Akuntabilitas Pengelolaan Waqaf pada Baitul Mal Aceh. Penelitian ini dilakukan di Baitul Mal Provinsi Aceh, tempat penelitian ini dipilih karena begitu banyaknya ketidakjelasan dengan pengelolaan waqaf di Aceh.

  Akuntansi merupakan salah satu bidang ilmu yang sangat penting dalam perekonomian. Akuntabilitas sebagai salah satu prinsip good

  corporate governance berkaitan dengan

  pertanggungjawaban pimpinan atas keputusan dan hasil yang dicapai, sesuai dengan wewenang yang dilimpahkan dalam pelaksanaan tanggung jawab mengelola organisasi. Prinsip akuntabilitas digunakan untuk menciptakan sistem kontrol yang efektif berdasarkan distribusi kekuasaan pemegang saham, direksi dan komisaris.

  Pengelolaan waqaf mulai diperhatikan pemerintah dengan ditandai adanya peraturan perwaqafan yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwaqafan Tanah Milik. Adanya Peraturan Pemerintah (PP) ini memberikan informasi lebih lanjut mengenai tanah waqaf bedasarkan status dan kepemilikannya. Selanjutnya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam menyebutkan dalam instruksi ini memuat pedoman bagi masyarakat dan instansi pemerintah yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah- masalah di bidang perwaqafan.

  Perkembangan waqaf di Indonesia mulai mengalami dinamisasi ketika pada tahun 2001, beberapa praktisi ekonomi Islam mulai mengusung paradigma baru ke tengah masyarakat mengenai konsep pengelolaan waqaf tunai untuk peningkatan kesejahteraan umat (Hasan, 2011:69). Pada tahun 2002 Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyambut konsep tersebut dengan mengeluarkan fatwa yang memperbolehkan waqaf uang (waqf ak-qunud).

  Pengelolaan waqaf semakin berkembang dengan tertibnya Undang-Undang yang khusus mengatur waqaf, landasan hukum pengelolaan waqaf menjadi lebih tinggi karena sudah dalam bentuk Undang- Undang. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004

  Tentang Waqaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Waqaf. Undang- Undang ini memberikan pijakan hukum tentang waqaf lebih pasti, kepercayaan publik serta perlindungan terhadap aset waqaf.

  Terbitnya Undang-Undang Nomor 41 menjadi titik tolak pengelolaan waqaf di Indonesia. Harta waqaf dapat digunakan lebih produktif karena terdapat pemahaman dan pola manajemen pemberdayaan potensi waqaf yang lebih modern. Dengan diaturnya waqaf dalam bentuk Undang-Undang, maka waqaf dapat menjadi solusi alternatif peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat.

2.2 Akuntabilitas Pengelolaan Waqaf

  2.3 Penelitian Terdahulu

  Penelitian mengenai analisis akuntabilitas pengelolaan waqaf, sudah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya yang menunjukan beberapa hasil yang bervariasi. Achmad Arief Budiman (2011) dengan judul penelitiannya : “Akuntabilitas Lembaga Pengelola Waqaf Walisongo”, menghasilkan beberapa kesimpulan dalam penelitiannya, yaitu pengaruh akuntabilitas terhadap pengelolaan waqaf terjadi secara tidak langsung. Lembaga yang kredibel dan akuntabel akan memperoleh kepercayaan publik, sehingga organisasi tersebut mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai lembaga waqaf yang amanah dan profesional. Seiring dengan semakin bertambahnya kepercayaan publik, lembaga-lembaga waqaf tersebut mendapatkan amanat dari umat berupa waqaf maupun usaha-usaha lain yang dijalankan oleh lembaga tersebut.

  Asmak Ab Rahman (2009) menarik kesimpulan dari penelitiannya bahwa waqaf berperan dalam pembangunan ekonomi dengan cara menyediakan kemudahan-kemudahan di bidang kesehatan, pendidikan dan sarana ibadah. Pembangunan ekonomi yang dimaksud tidak hanya diukur dengan pembangunan yang bersifat fisik, tapi pembangunan ekonomi non-fisik seperti pembangunan karakter manusia juga diperlukan untuk ekonomi yang lebih baik dimasa yang akan datang.

  Khairil Faizal Khairid, dkk (2014) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pemberian waqaf sangat diperlukan saat ini karena sejajar dengan moderenisasi. Dividen yang diperoleh dari waqaf sangat bermanfaat bagi masyarakat karena banyaknya

   kontribusi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

  3.2 Populasi

  Nurul Huda, dkk (2014) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat tiga macam prioritas masalah dan solusi pengelolaan waqaf yang dibagi berdasarkan pemangku kepentingan (stakeholder) waqaf, yaitu regulator, pengelola waqaf (nazir) serta

  waqif (orang yang memberi waqaf). Pada aspek

  regulator terdapat masalah sosialisasi Undang-Undang yang masih kurang, hal ini memperlihatkan prioritas solusi yang berbeda antara pengelolaan waqaf diberbagai tempat.

  Hidayatullah Ihsan M (2004) sejak adanya hukum tentang waqaf, waqaf tidak hanya mengacu pada manajemen dan akuntansi waqaf, otoritas dan pembuat kebijakan harus mempertimbangkan untuk mengembangkan waqaf oleh Badan Hukum untuk manajemen dan akuntansi.

  Pada penelitian kualitatif dikenal beberapa metode pengumpulan data seperti wawancara, observasi dan dokumentasi. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan semua teknik pengumpulan data yang dimaksud seperti yang dikemukakan di atas. Adapun penjelasan masing-masing dari metode pengumpulan data tersebut adalah : 1) Angket atau kuesioner merupakan metode pengambilan data dengan menggunakan sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui (Arikunto, 2013:112). Metode angket dipergunakan untuk mendapatkan data dan menggali data tentang sesuatu yang berkaitan dengan akuntabilitas pengelolaan waqaf oleh nazir pada Baitul Mal Provinsi Aceh. 2) Wawancara yaitu sebuah teknik pengumpulan data dengan cara berkomunikasi, bertatap muka, yang disengaja, terencana dan sistematis antara pewawancara denga individu yang diwawancarai (Komalasari, 2011:39). Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in depth interview) yang dilakukan secara langsung dengan pedoman wawancara terstruktur sesuai dengan indikator yang tertulis. Wawancara ini digunakan untuk memperoleh data yang akurat dan valid tentang akuntabilitas pengelolaan waqaf yang digunakan nazir pada Baitul Mal Provinsi Aceh.

  3.3 Metode Pengumpulan Data

  Hal ini tentunya memiliki cara untuk dimensi baru pembangunan sosial. Kesejahteraan sosial waqaf dapat juga diberikan untuk kesejahteraan non-muslim, yaitu dengan membuka jalan atau melayani kebutuhan kemanusiaan pada umumnya.

  Penetapan populasi penulis berpedoman pada pendapat yang dikemukakan oleh Arikunto (20013: 112) yang mengemukakan bahwa “Apabila subjeknya kurang dari 100 orang lebih baik di ambil semuanya sehingga penelitian ini merupakan penelitian populasi, jika jumlah subjeknya besar (lebih dari 100), maka dapat diambil antara 10-15% atau 20-25% atau lebih”.

3. Metode Penelitian

3.1 Jenis Penelitian

  Strategi metode campuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah urutan analisis kuantitatif dan kualitatif, tujuan strategi ini adalah untuk mengidentifikasikan komponen konsep (subkonsep) melalui analisis data kuantitatif dan kemudian mengumpulkan data kualitatif untuk memperluas informasi yang tersedia (Abbas, 2010:222). Strategi metode campuran ini bermaksud untuk menyatukan data kuantitatif dan data kualitatif agar memperoleh analisis yang lebih lengkap.

  pendekatan kualitatif dan kuantitatif dalam hal metodologi (seperti dalam tahap pengumpulan data) dan kajian model campuran memadukan dua pendekatan dalam semua tahapan proses penelitian (Abbas, 2010:8). Mixed Method juga disebut sebagai sebuah metodologi yang memberikan asumsi dalam menunjukkan arah atau memberi petunjuk cara pengumpulan data dan menganalisis data serta perpaduan pendekatan kuantitatif dan kualitatif melalui beberapa fase proses penelitian.

  dalam meneliti masalah penelitian, karena penelitian ini memiliki kebebasan untuk menggunakan semua alat pengumpul data sesuai dengan jenis data yang dibutuhkan. Sedangkan kuantitatif atau kualitatif hanya terbatas pada jenis alat pengumpul data tertentu.

  method menghasilkan fakta yang lebih komprehensif

  Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian lapangan (field research) penulis menggunakan jenis penelitian campuran (mixed methodology). Mixed

  Mixed Method adalah metode yang memadukan

  

  3) Observasi yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan secara sistematis dan disengaja, melalui pengamatan dan pencatatan terhadap gejala-gejala yang diselidiki dan mengamati bukan hanya melihat objek, tetapi mengobservasi segala yang dilakukan individu dengan cara merekam kejadian, menghitung, mengukurnya dan mencatatnya (Komalasari,2011:53). Kegiatan observasi tidak hanya dilakukan pada keadaan yang tampak tapi juga terhadap kenyataan yang terdengar dan laporan dari hasil akuntabilitas pengelolaan waqaf oleh nazir pada Baitul Mal Provinsi Aceh. 4) Dokumentasi yang digunakan untuk mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti notulen rapat, lengger agenda dan sebagainya (Arikunto, 2013:112). Dokumentasi diperlukan dalam penelitian ini untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan akuntabilitas pengelolaan waqaf oleh nazir dalam pelaksanaannya pada Baitul Mal Provinsi Aceh.

  Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan dengan asumsi-asumsi (Moleong,2011:21). Proses analisis data dimulai dengan membaca, mempelajari dan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan dan dokumentasi. Analisis data tersebut dilakukan secara berkesinambungan.

  Menurut Moleong (2011:21) langkah analisis bisa dilaksanakan setelah semua data dikumpulkan. Analisis ini selalu dikerjakan dalam kaitannya dengan permasalahan yang asli serta hipotesis yang khusus. Dalam penelitian ini, peneliti tidak boleh mengubah hipotesis atau permasalahan yang diteliti sambil mengumpulkan data karena hal ini akan merusak hasil penelitian.

  Dalam melakukan analisis, peneliti memeriksa ulang seluruh data yang diperoleh, baik dari hasil wawancara dengan informan, hasil pengamatan (observasi), dokumentasi dan data-data atau literatur- literatur lain yang mendukung. Peneliti juga melakukan cross check dengan informan, yaitu menanyakan kembali mengenai pernyataan yang telah terangkum dalam pemahaman peneliti untuk memastikan kebenaran makna yang telah dibuat.

  Kemudian seluruh data tersebut disusun, diatur dan diurutkan sesuai dengan kategori tertentu, selanjutnya dilakukan analisa terhadap hubungan dari setiap bagian-bagian yang telah disusun untuk memudahkan saat mendeskripsikannya.

  4. HASIL DAN PEMBAHASAN

  Baitul Mal Provinsi Aceh adalah Lembaga Daerah Non Struktural yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat independen sesuai dengan ketentuan syariat, dan bertanggung jawab kepada Gubernur. Baitul Mal Kabupaten/Kota adalah Lembaga Daerah Non Struktural yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat independen sesuai dengan ketentuan syariat dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota.

  4.1 Hasil Wawancara dengan Kepala Baitul Mal Provinsi Aceh

  Pengelolaan waqaf dilakukan belum berlandaskan kepada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, sehingga akuntabilitas yang akan dijalankan terhambat dan pemikiran yang beranggapan, akuntabilitas dapat menyebabkan bergeseranya nilai-nilai agama islam dalam mengelola harta waqaf apabila diwujudkan dengan dasar akuntabilitas. Pengelolaan waqaf yang sudah berjalan selama ini sudah mengikuti ketentuan dan kesesuaian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004.

3.4 Teknik Analisis Data

  Baitul Mal Aceh tidak memiliki standar operasional kerja, tapi pengelolaan waqaf sudah mengikuti prosedur yang telah ditetapkan, hanya belum sepenuhnya dijalankan sesuai dengan prosedur. Pihak pengelola waqaf harus memiliki kriteria tertentu, terutama dalam hal pendidikan dan pengalaman kerja. Pengelola waqaf harus memiliki tingkat pendidikan Sarjana/Strara (S1). Pengelola waqaf hanya 1 orang di Baitul Mal Provinsi Aceh. Pengelola waqaf terdiri dari kabid perwalian yang meliputi kasubid waqaf (pengelola waqaf) dan kasubid perwalian (hak waris). Harta waqaf di Provinsi Aceh cukup banyak, tetapi belum semuanya terdata, karena kurangnya tenaga kerja pengelola waqaf.

  Baitul Mal Aceh memiliki 4 (empat) sertifikat tanah waqaf, tapi hanya 1 (satu) yang produktif. Tanah waqaf yang produktif tersebut terletak di desa

  

  Lamglumpang dan telah dijadikan beberapa bangunan ruko dan telah memiliki laporan keuangan yang baik.

  Baitul Mal sebagai pengelola waqaf diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 di Aceh Tahun 2004 dan Qanun. Dalam Qanun menyatakan Baitul Mal tidak mengelola waqaf lagi tapi hanya sebagai pengawas, sedangkan yang mengelola waqaf saat ini adalah Badan Waqaf Indonesia (BWI) Aceh. Nazir dilatih di Baitul Mal Aceh agar dapat dengan baik dan benar dalam mengelola waqaf, tapi tidak ada SOP untuk nazir.

  Harta waqaf di Aceh harus didaftar di Baitul Mal Aceh karena sejak tahun 2015 Baitul Mal Aceh hanya bertindak sebagai pengawas sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004.

  Baitul Mal Aceh tidak memiliki SOP pengelolaan waqaf dalam menyelenggaraan urusan atau dalam penyelenggaraan kewenangan atau pelaksanaan kebijakan, karena Baitul Mal tidak lagi mengelola waqaf (hanya ada satu 1 waqaf produktif yang dikelola Baitul Aceh), waqaf dikelola oleh BWI sekarang sejak tahun 2005. Pengelolaan waqaf mengacu ke Undang- Undang, karena untuk melindungi keberadaan harta waqaf dan meningkatkan nilai manfaat waqaf, tetapi dalam Undang-Undang Nomor 41 menyebutkan waqaf dikelola oleh Baitul Mal Tahun 2004 di bentuk BWI dan mulai saat ini dipegang oleh BWI, Baitul Mal tidak lagi mengelola waqaf (Informan 1).

  Pengelolaan waqaf belum memiliki Standar Operasional Kerja (masih secara umum saja diatur dalam Undang-Undang) dan pengelolaan waqaf mengacu ke Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 dengan alasan agar waqaf tertata dengan baik dan tidak disalah gunakan. Tata cara pertanggungjawaban di Baitul Mal Aceh belum sepenuhnya sempurna, karena masih ada harta waqaf yang belum terdata dengan baik (Informan 2).

  Pengelolaan waqaf tidak memiliki Standar Operasional Kerja, pengelolaan waqaf mengacu ke Undang-Undang, karena Aceh mempunyai kekhususan sehingga dibuat qanun khusus waqaf, untuk sementara mengacu pada Undang-Undang, jika ada peraturan yang belum diatur di Qanun Aceh (Informan 3).

  Pengelolaan waqaf belum memiliki suatu Standar Operasional Kerja, laporan tahunan dan laporan pertanggungjawaban hanya ditulis dengan data dan informasi yang terkumpul saja, tanpa ada pengecekan kembali. Sistem pemantauan kinerja Baitul Mal Aceh hanya dilakukan apabila diperlukan saja berdasarkan keperluan. Sistem pengawasan dilakukan secara rutin berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor

  41 Tahun 2004. Pemberian penghargaan dan bonus tidak ada sama sekali (Informan 4).

  4.3 Pembahasan

  Di Aceh masih banyak tanah waqaf ini yang tidak terurus dengan baik, sehingga banyak yang terbengkalai. Penyebab terbengkalainya adalah pemanfaatan tanah waqaf ini tentunya perlu dikaji dengan lebih serius, apakah disebabkan oleh ketiadaan dana tambahan dalam pengelolaan tanah waqaf itu, atau karena disebabkan tidak terdata waqaf yang ada dengan pemanfaatan objek waqaf tersebut dalam bentuk yang berbeda dengan niat pewaqaf (waqif). Artinya, hal ini lebih disebabkan karena sempitnya pemikiran tentang pemakaian tanah waqaf. Akibatnya banyak tanah waqaf ini menjadi terlantar. Di wilayah Aceh banyak sekali tanah waqaf yang terlantar sehingga pemanfaatannya tidak maksimal.

4.2 Hasil Wawancara dengan Pegawai Baitul Mal Provinsi Aceh

  Ada dua peristiwa besar yang dijadikan sebagai momentum baru pengelolaan waqaf di Aceh. Pertama, kasus saling klaim kepemilikan Blang Padang oleh Pemda Aceh dan Kodam Iskandar Muda. Padahal menurut M. Adli Abdullah yang mengutip fakta sejarah yang ditulis oleh Van Langen, Blang Padang ini merupakan tanah waqaf milik Mesjid Raya Baiturrahman. Kasus Blang Padang ini merupakan fenomena ketidakjelasannya status dan beralihnya kepemilikan harta waqaf di Aceh. Kedua, pencanangan Gerakan Nasional Waqaf Uang oleh Presiden Indonesia pada 8 Januari 2010 di Jakarta sebagai upaya untuk mendorong perkembangan dan pengelolaan waqaf di Indonesia yang kemudian diharapkan menjadi salah satu solusi untuk mengurangi kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan umat.

  Kedua peristiwa di atas merupakan sebuah kesempatan emas yang harus dimanfaatkan untuk menghidupkan kembali waqaf dan melakukan pembenahan terhadap institusi waqaf di Aceh.

  

  Ada beberapa langkah strategis yang harus diambil sebagai terobosan dalam merevitalisasi lembaga waqaf di Aceh yang selama ini bisa dikatakan lumpuh tidak berdaya. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah melakukan survei terhadap seluruh aset waqaf di Aceh. Hal ini penting untuk mengetahui secara pasti aset-aset waqaf yang ada mengingat selama ini belum pernah dilakukan sebuah survei yang sistematis terhadap keberadaan harta waqaf di Aceh. Masyarakat hanya bisa bertanya-tanya berapa besar potensi waqaf Aceh. Apakah mayoritas waqaf di Aceh hanya berupa mesjid, meunasah dan tanah perkuburan yang tentunya tidak memiliki potensi ekonomi yang besar. Survei yang akan memberikan gambaran yang jelas kepada kita tentang bentuk-bentuk aset waqaf di Aceh, nilai aset tersebut, pendapatan dari harta waqaf, serta potensi dan kondisi finansial aset waqaf.

  Akuntabilitas pengelolaan waqaf mencakup kegiatan untuk mencapai tujuan waqaf yang bersih dan transaparan, dilakukan nazir untuk meningkatkan upaya terbaik melalui tindakan-tindakan yang telah ditetapkan. Hal ini meliputi apa yang harus dan wajib dilakukan nazir, cara melakukan pengelolaan waqaf dan bagaimana mengefektifkan waqaf yang ada.

  Salah satu contoh sukses pengelolaan waqaf melalui pembentukan lembaga khusus yang menangani waqaf adalah di Singapura. Di negara tersebut wewenang terhadap harta waqaf berada pada Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS). Untuk mengelola waqaf, MUIS membuat anak perusahaan yang diberi nama WAREES (Waqaf Real Estate

  Singapore). WAREES merupakan perusahaan yang

  berupaya memaksimalkan aset waqaf. WAREES tidak hanya melakukan pembangunan aset waqaf dalam bentuk fisik dan menjadi konsultan manajemen dan bisnis untuk pengembangan aset waqaf di Singapura.

  Keberadaan WAREES ini meningkatkan aset waqaf di Negara berkembang secara drastis. Dari segi kuantitas aset waqaf misalnya, hanya 6 waqaf yang terdaftar di MUIS pada tahun 1968, pada tahun 2000 tercatat 100 aset waqaf di seluruh Singapura. Kemudian nilai total aset waqaf Singapura ini pada akhir tahun 2006 tercatat sebesar S$ 250 juta atau lebih kurang sekitar Rp 1,66 triliun. Hal ini merupakan suatu keberhasilan yang sangat baik mengingat WAREES baru beroperasi pada tahun 2001. Kesuksesan WAREES ini bisa diwujudkan di Aceh melalui BWI.

  Tahapan lain yang juga sangat penting dalam pengelolaan dan harta waqaf adalah pembiayaan. Publik bertanya dari manakah sumber keuangan untuk pengelolaan aset waqaf secara produktif. Sudah menjadi rahasia umum bahwa selama ini di Aceh jarang sekali dilihat bank atau pun lembaga keuangan lainnya membiayai pengembangan harta waqaf. Hal ini bisa jadi karena persepsi negatif yang muncul terhadap keberadaan harta waqaf maupun karena tidak adanya satu contoh sukses pembiayaan waqaf di Aceh.

  Harta waqaf yang ada di Aceh pada umumnya berada dalam kondisi yang tidak terurus dan tidak digunakan sebaik-baiknya, serta tidak memberikan hasil yang maksimal untuk masyarakat, sudah saatnya bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi pengelolaan waqaf di Aceh. Pengelolaan waqaf di Aceh seharusnya dilakukan dengan cara yang terstruktur dan melalui proses perencanaan yang terdokumentasi serta implementasi yang tepat dengan sistem akuntabilitas jelas dan sesuai dengan visi dan misi Baitul Mal Provinsi Aceh. Pengelolaan harta waqaf di Aceh seharusnya dapat memanfaatkan peluang pembiayaan yang ditawarkan oleh berbagai lembaga baik dari dalam maupun luar negeri.

  Dana untuk pembiayaan harta waqaf harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mendata kembali dan mengurus harta yang belum memiliki sertifikat. Lembaga waqaf di Aceh harus bisa mengikuti pedoman dan mengikuti jejak keberhasilan waqaf seperti di Singapura. Penataan kembali harta waqaf di Aceh hanya berjalan di tempat saja tanpa ada tindakan pembaharuan dan perbaikan yang lebih baik lagi. Lembaga waqaf memegang peranan yang sangat penting dalam menunjang pemberdayaan ekonomi dan mengurangi tingkat kemiskinan serta menunjang tingkat pendidikan yang mengacu pada terwujudnya kesejahteraan umat.

  Dalam bidang sosial ekonomi Islam mendorong pengelolaan waqaf dalam rangka peningkatan kesejahteraan kehidupan umat. Waqaf merupakan bentuk penahanan harta atas milik orang yang berwaqaf dan memberikan manfaatnya untuk tujuan kebaikan pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Perwaqafan adalah salah satu lembaga keagamaan yang telah ada sejak lama dalam kebudayaan dan tradisi masyarakat Islam. Perwaqafan merupakan penunjang utama dalam pembangunan kesejahteraan masyarakat, khususnya Umat Islam.

  

  Hampir setiap rumah ibadah, sarana pendidikan Islam dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya dibangun di atas tanah waqaf.

  Ketentuan dan kesesuaian waqaf adalah menyangkut Peraturan Pemerintah dan Perundang- Undangan waqaf yang bertujuan untuk memberikan alternatif kehidupan sosial lebih baik kepada penerima waqaf. Kejelasan peraturan pemerintah dan perundang-undangan waqaf yang diamati masyarakat saat ini yaitu pelaksanaannya tidak mengacu kepada asas manfaat harta waqaf sesungguhnya. Manfaat harta waqaf hanya dilakukan secara umum saja, sebatas manfaat yang terkandung dengan harta tersebut. Konsekuensi yang mengakibatkan harta waqaf menjadi tidak memiliki nilai guna, karena hanya dipahami saja manfaat yang ada dalam harta waqaf tersebut, tanpa ada realisasi yang jelas. Realitas yang ada di masyarakat adalah permasalahan pokok dalam pengelolaan dan pemamfaatan harta waqaf yang masih banyaknya tanah yang tidak dipergunakan dengan sebaik-baiknya dan dengan pembuatan akta waqaf yang tidak terdokumentasi dengan baik.

  Pengelolaan waqaf yang terjadi di Aceh hanya dilakukan atas dasar rasa saling percaya satu sama lain, dimana hal ini pada akhirnya menjadikan tanah yang diwaqafkan tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan tertulis, sehingga apabila terjadi permasalahan mengenai kepemilikan tanah waqaf, penyelesaiannya akan mengalami kesulitan, khususnya tentang hak kepemilikan. Hal lain yang menjadi permasalahan harta waqaf adalah dimintanya kembali tanah waqaf oleh para ahli waris waqif.

  Fenomena yang ada sampai saat ini masih sering dijumpai pada masyarakat Aceh adalah banyak status dan kedudukan tanah waqaf telah beralih fungsi, baik itu secara kegunaan dan manfaat maupun dari segi hak dan kepemilikan. Tanah waqaf yang awalnya diperuntukkan untuk tanah perkarangan mesjid, dirubah fungsi dan manfaatnya. Akibat peristiwa itu pihak keluarga waqif menarik kembali sebidang tanah waqaf yang telah diberikan untuk kepentingan dan kemaslahatan umum dan masih banyak kasus serupa yang timbul dalam masyarakat.

  Hal ini merupakan gambaran awal dari kekeliruan yang terjadi di masyarakat tentang pemahaman harta waqaf dan terlalu sempitnya ruang lingkup cara pengelolaan harta yang bisa diwaqafkan. Harta waqaf merupakan bagian diantara amal jariyah yang terus mengalir pahalanya kepada waqif, apabila harta waqaf dikelola dengan baik dapat meningkatkan perkembangan ekonomi masyarakat.

  Akuntabilitas pengelolaan dan pengembangan waqaf dapat dilakukan secara produktif antara lain dengan cara pengumpulan, investasi, penanaman modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi, pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan ataupun sarana kesehatan dan usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan syariah.

  Akuntabilitas waqaf akan memberikan warna baru dalam pengelolaan waqaf dan menekankan

  pentingnya bukti tertulis dalam melaksanakan transaksi yang melibatkan pengelola waqaf. Akuntabilitas merupakan keharusan audit sejalan dengan ditegakkannya keadilan dan amanah, karena pelaksanaan audit akan menyelamatkan nazir dari godaan penyelewengan.

  Dasar dari akuntabilitas yaitu transparansi dalam praktik pengelolaan waqaf, dalam pelaksanaanya nazir harus amanah, jujur, transparan dan profesional. Dan untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan suatu manajemen yang baik didalamnya yaitu akuntabilitas. Karena dalam mengelola waqaf diperlukan tata kelola dan regulasi untuk membangun kepercayaan pada seluruh lapisan masyarakat.

  Untuk menjaga harta waqaf dari campur tangan pihak ketiga yang merugikan kepentingan waqaf, akuntabilitas sangat diperlukan, guna meningkatkan kemampuan profesional nazir melalui pembinaan nazir, melakukan pengelolaan dan pengembangan harta waqaf sesuai wewenang, memberikan persetujuan atas perubahan peruntukkan dan status harta waqaf, serta memberikan sarana dan pertimbangan dalam pengelolaan harta waqaf.

  Akuntabilitas pengelolaan waqaf harus dijalankan dengan kesadaran dan ketentuan hukum yang berlaku dengan pengawasan dan tanpa paksaan. Akuntabilitas pengelolaan waqaf dilakukan dengan pegawasan dan evaluasi sesering mungkin untuk mengurangi tingkat penyimpangan dan kecurangan-kecurangan yang mungkin terjadi. Dengan diterapkan akuntabilitas pengelolaan waqaf, maka tujuan dari Baitul Mal memiliki fungsi dan tujuan yang akurat dalam menjalankan setiap tanggung jawab nazir dalam mengelola waqaf.

  

  3. Pengelolaan waqaf di Baitul Mal Provinsi Aceh belum memenuhi prinsip-prinsip dari akuntabilitas. Banyak harta waqaf yang tidak tercatat dan dikelola dengan baik menyebabkan sangat kurang tingkat akuntabel Baitul Mal mengenai harta waqaf yang dikelolanya.

  4. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi seluruh kalangan masyarakat mengenai akuntabilias pengelolaan waqaf

  3. Diharapkan kepada Pemerintah untuk memberikan perhatian kepada pembinaan dan pelatihan nazir guna meningkatkan keahlian nazir dalam mengelola waqaf.

  2. Diharapkan Baitul Mal Aceh menerapkan prinsip- prinsip akuntabilitas yang telah ada untuk dapat mengurangi tingkat resiko penyimpangan dan penyalahgunaan harta waqaf.

  1. Diharapkan kepada Baitul Mal Aceh untuk mengkaji kembali Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 dan menerapkannya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

Dokumen yang terkait

PENERAPAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN SYARIAH PADA KOPERASI JASA KEUANGAN SYARIAH (STUDI PADA BAITUL QIRADH DI KOTA BANDA ACEH)

0 0 11

PERGANTIAN CEO, PENGHINDARAN PAJAK, KOMPENSASI EKSEKUTIF DAN MANAJEMEN LABA STUDI KAUSALITAS PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR INDONESIA

0 1 14

PENGARUH KEPEMILIKAN INSTITUSIONAL, KEPEMILIKAN MANAJERIAL, VARIABILITAS PENDAPATAN, CORPORATE TAX RATE, DAN NON DEBT TAX SHIELD TERHADAP STRUKTUR MODAL PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BEI TAHUN 2011-2015

1 4 13

PENGARUH INFORMASI KEUANGAN DAN NON KEUANGAN TERHADAP INITIAL RETURN PADA PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN PENAWARAN UMUM SAHAM PERDANA DI BURSA EFEK INDONESIA PERIODE 2014-2016

0 0 14

PENGARUH INDEPENDENSI, SKEPTISISME PROFESIONAL AUDITOR, PENERAPAN STANDAR AUDIT, DAN ETIKA AUDIT TERHADAP KUALITAS HASIL AUDIT (STUDI PADA AUDITOR BPK RI PERWAKILAN PROVINSI ACEH)

0 1 11

PENGARUH ISLAMIC CORPORATE GOVERNANCE DAN INTERNAL CONTROL TERHADAP INDIKASI TERJADINYA FRAUD PADA BANK UMUM SYARIAH DI INDONESIA

1 1 21

ANALISIS EFEKTIVITAS PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH DI KABUPATEN ACEH BESAR

0 1 8

ANALISIS EFEKTIVITAS PENERIMAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH DI KABUPATEN ACEH BESAR

0 0 8

PENGARUH PENDAPATAN SENDIRI DAN DANA PERIMBANGAN TERHADAP BELANJA MODAL DENGAN DANA OTONOMI KHUSUS SEBAGAI PEMODERASI PADA KABKOTA DI PROVINSI ACEH

0 0 9

PENGARUH PENDAPATAN SENDIRI DAN DANA PERIMBANGAN TERHADAP BELANJA MODAL DENGAN DANA OTONOMI KHUSUS SEBAGAI PEMODERASI PADA KABKOTA DI PROVINSI ACEH

0 0 9