BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian - Chapter II (699.1Kb)

14

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian
Pengaturan mengenai perjanjian terdapat di dalam Buku III KUH Perdata
(selanjutnya disebut dengan KUH Perdata) yang merupakan bagian dari KUH
Perdata yang terdiri atas empat buku. Keempat buku tersebut memberikan
pengaturan yang berbeda-beda, Buku I mengenai perorangan (personenrecht),
Buku II memuat ketentuan hukum kebendaan (zakenrecht), Buku III mengenai
hukum perikatan (verbintenissenrecht), dan yang terakhir adalah Buku IV
mengatur pembuktian dan daluarsa (bewijs en verjaring). Dalam buku III KUH
Perdata memuat pengaturan tentang verbintenissenrecht yang di dalamnya juga
tercakup istilah overeenkomst. Kata “verbintenis” bila diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan kedalam dua istilah, yaitu perjanjian dan
persetujuan.7
Subekti berpendapat bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana
seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal. Dengan demikian suatu perjanjian juga
dinamakan persetujuan karena kedua pihak itu bersetuju untuk melakukan

sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu
adalah sama artinya. Perkataan kontrak adalah lebih sempit karena ditujukan
kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.8

7

Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009. hal.

8

R. Subekti (I), Hukum Perjanjian Cetakan Kedua Satu, Intermasa, Jakarta, 2005, hal.1

74.

14
Universitas Sumatera Utara

15

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja berpendapat bahwa, perjanjian adalah

salah satu sumber perikatan. Perjanjian melahirkan perikatan, yang menciptakan
kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Kewajiban yang
dibebankan pada debitor dalam perjanjian, memberikan hak pada pihak kreditor
dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir
dari perjanjian tersebut. Pelaksanaan prestasi dalam perjanjian yang telah
disepakati oleh para pihak dalam perjanjian adalah pelaksanaan dari perikatan
yang terbit dari perjanjian tersebut. Dalam hal debitor tidak melaksanakan
perjanjian yang telah disepakati tersebut, maka kreditor berhak untuk menuntut
pelaksanaan kembali perjanjian yang belum, tidak sepenuhnya atau tidak sama
sekali dilaksanakan atau yang telah dilaksanakan secara bertentangan atau tidak
sesuai dengan yang diperjanjikan, kerugian dan biaya yang telah dikeluarkan oleh
kreditor.9
M. Yahya berpendapat bahwa perjanjian atau verbintenis mengandung
pengertian suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau
lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan
sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.10
Dari pengertian singkat di atas kita jumpai di dalamnya beberapa unsur yang
memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain : hubungan hukum
(rechtsbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon)
atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain

tentang suatu prestasi.11

9

Kartini Muljadi&Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2003, hal. 91
10
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal.6
11
Ibid., hal. 6.

Universitas Sumatera Utara

16

Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perujanjian, bukan suatu hubungan
yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang kita jumpai dalam harta benda
kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya
timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang
diatur dalam hukum waris.

Berdasarkan KUH Perdata menurut ketentuan Pasal 1313 didefenisikan
sebagai:
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengingatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Jika kita perhatikan dengan seksama, rumusan yang diberikan dalam Pasal
1313 KUH Perdata tersebut ternyata menegaskan kembali bahwa perjanjian
mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Ini berarti dari
suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak)
kepada satu atau prestasi dan satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak
atas prestasi tersebut. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa
dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, di mana satu pihak adalah pihak
yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas
prestasi tersebut (kreditor). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu
atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut
dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum. 12
Hubungan hukum antara pihak yang satu dengan yang lain tidak bisa timbul
dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena adanya “tindakan
hukum”/rechtshandeling.. Tindakan/perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak

12


Kartini Muljadi&Gunawn Widjaja, Op. Cit, hal. 91-92.

Universitas Sumatera Utara

17

pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu
pihak yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun
menyediakan diri dibebani dengan “kewajiban” untuk menunaikan prestasi.13
Prestasi ini adalah objek atau “voorwerp” dari verbintenis. Tanpa prestasi,
hubungan hukum yang dilakukan berdasar tindakan hukum sama sekali tidak
mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian. Pihak yang berhak atas prestasi
mempunyai kedudukan sebagai “schuldeiser” atau “kreditor”. Pihak yang wajib
menunaikan prestasi berkedudukan sebagai “schuldenaar” atau “debitor”.14
Selain itu, terhadap defenisi perjanjian yang tercantum pada Pasal 1313 KUH
Perdata ini dianggap kurang begitu memuaskan karena memiliki kelemahankelemahan tersebut adalah sebagai berikut15:
1. Hanya menyangkut sepihak saja
Hal ini dapat disimak dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya” Kata “mengikat”

merupakan kata kerja yang bersifatnya hanya datang dari satu pihak saja,
tidak berasal dari kedua pihak. Sedang maksud perjanjian itu adalah para
pihak saling mengikatkan diri, sehingga tampaklah kekurangannya.
Seharusnya pengertian perjanjian itu ditambah dengan rumusan “saling
mengikatkan diri”.
2. Kata perbuatan mencakup juga kata consensus/kesepakatan
Pengertian kata “perbuatan” berarti termasuk juga tindakan mengurus
kepentingan orang lain (zaakwaarneming) dan perbuatan melawan hukum

13

M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 7.
Ibid., hal. 7.
15
Abdulkadir Muhammad (II), Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hal.
14

88

Universitas Sumatera Utara


18

(onrechtmatige daad). Hal ini menunjukkan makna kata “perbuatan” itu
sangatlah luas dan dapat menimbulkan akibat hukum. Seharusnya dalam
kalimat tersebut dipakai kata “persetujuan”.
3. Pengertian perjanjian terlalu luas
Perjanjian yang di khendaki dalam Buku Ketiga KUH Perdata adalah
perjanjian yang bersifat kebendaan, bukanlah perjanjian yang bersifat
personal. Sementara itu, pengertian perjanjian dalam Pasal tersebut
dianggap terlalu luas, karena mencakup juga perlangsungan perkawinan,
janji kawin, yang dimana hal ini diatur dalam lapangan hukum keluarga.
4. Tanpa menyebutkan tujuan
Dalam perumusan Pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan
perjanjian, sehingga para pihak yang mengikatkan diri tersebut dianggap
tidak jelas tujuannya saling mengikatkan diri.
Pengertian perjanjian di atas memiliki kelemahan-kelemahan, sehingga atas
dasar tersebut perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian
tersebut. Pengertian perjanjian yang dikemukakan para ahli di atas melengkapi
kekurangan defenisi Pasal 1313 KUHPerdata, sehingga secara lengkap pengertian

perjanjian adalah perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.16
B. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya;
2. Cakap untuk membuat suatu perikatan;

16

Abdulkadir Muhammad, (II) Op, Cit. hal. 79

Universitas Sumatera Utara

19

3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal”.
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena
mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,
sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena

mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan
itu.17
Yang mengenai subyeknya perjanjian ialah :
a. Orang yang memuat perjanjian harus cakap atau mampu melakukan
perbuatan hukum tersebut.
b. Ada sepakat (konsensus) yanng menjadi dasar perjanjian, yang harus
dicapai atas dasar kebebasan menetukan kehendaknya (tidak ada paksaan,
kekhilafan dan penipuan).18
Dengan diperlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti
bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak
mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya “cacat” bagi perwujudan
kehendak tersebut. Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak
yang setuju (overeenstemende wilsverklaring) antara pihak. Pernyataan pihak
yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima
tawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).19
Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau
lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk

17


R.Subekti (I), Op.Cit, hal. 17
R. Subekti (II), Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Penerbit Alumni, Bandung, 1976
19
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2001, hal. 73-74
18

Universitas Sumatera Utara

20

dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, dan siapa yang harus
melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakannya. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai
hal-hal tersebut, maka salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan
menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang
dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin
dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para pihak.20
Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua
subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata
mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki

oleh para pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak lain. Mereka menghendaki
sesuatu yang sama secara timbal balik.
Sehubungan dengan syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri dalam
KUH Perdata dicantumkan beberapa, hal yang merupakan faktor yang dapat
menimbulkan cacat pada kesepakatan tersebut.
Dilihat dari syarat-syarat sahnya perjanjian ini, maka Asser membedakan
bagian perjanjian, yaitu bagian inti (wezenlijk oordeel) dan bagian yang bukan inti
(non wezenlijk oordeel). Bagian inti disebutkan esensialia, bagian non-inti terdiri
dari naturalia dan aksidentialia.
Esensialia : Bagian ini merupakan sifat yang harus ada di dalam perjanjian. Sifat
yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta
(constructieve oordel). Seperti, persetujuan antara para pihak dan
objek, perjanjian.

20

Kartini Muljadi&Gunawan Widjaja, Op.Cit, hal. 95

Universitas Sumatera Utara

21

Naturalia

: Bagian ini merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian sehingga
secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti menjamin tidak
ada cacat dalam benda yang dijual (vrijwaring).

Aksidentialia : Bagian ini merupakan sifat yang melekat pada perjanjian dalam
hal secara tegas diperjanjikan oleh para pihak, seperti ketentuanketentuan mengenai domisili para pihak.21
Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hukum merupakan syarat subyektif
yang kedua terbentuknya perjanjian yang sah di antara para pihak. Kecakapan
bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan
bertindak dalam hukum. jika masalah kecakapan untuk bertindak berkaitan
dengan masalah kedewasaan dari orang perorangan yang melakukan suatu
tindakan atau perbuatan hukum, masalah kewenangan berkaitan dengan kapasitas
orang perorangan tersebut yang bertindak atau berbuat dalam hukum.22
Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya,
setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaliq dan sehat pikirannya, adalah cakap
menurut hukum. Dalam Pasal 1330 KUH Perdata disebut sebagai orang-orang
yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian :
1.) Orang-orang yang belum dewasa;
2.) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3.) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan
semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.23
Sebabnya orang yang belum dewasa dan orang yang tidak sehat pikirannya
21

Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 74-75
Ibid., hal. 127.
23
Subekti (I), Op Cit, hal. 17.
22

Universitas Sumatera Utara

22

dianggap tidak dapat melakukan perbuatan hukum secara sah, bahwa pada
umumnya dapat dikhawatirkan, kalau-kalau orang itu terjerumus dalam perangkap
yang disediakan oleh pihak lain dalam pergaulan hidup. Maka untuk kepentingan
orang-orang itu sendirilah adanya anggapan ketidak sanggupan untuk melakukan
perbuatan hukum yang sah. Juga mereka membikin suatu perjanjian dengan orang
lain, hanya mereka sendiri dan bukannya pihak lawan diberikan hak untuk minta
pembatalan dari perjanjian itu.24
Dengan demikian persetujuan semacam ini pelaksanaannya selalu tergantung
dari apa maunya pihak yang belum dewasa atau pihak yang berada dalam
pengawasan curatele yaitu mau melaksanakan pembatalan dari persetujuan yang
bersangkutan. Kontrak semacam ini sering dinamakan kontrak pincang (hinkend
contract).25
Menurut Pasal 433 KUH Perdata, orang-orang yang diletakkan di bawah
pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan
dungu, sakit otak atau mata gelap dan boros. Dalam hal ini bentuk undang-undang
memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu menyadari tanggung
jawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian.
Apabila seorang yang belum dewasa dan mereka yang diletakkan di bawah
pengampuan itu mengadakan perjanjian, maka yang mewakilinya masing-masing
adalah orang tua atau pengampunya.26
Kecakapan seorang perempuan yang bersuami dalam KUH Perdata, ada
hubungan dengan sistem yang dianut dalam Hukum Perdata Barat (Belanda) yang

24

R.Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Sumur Bandung, Jakarta, 1973,

hal. 18
25
26

Ibid, hal. 18.
Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit, hal.78

Universitas Sumatera Utara

23

menyerahkan kepemimpinan keluarga itu kepada sang suami. Oleh karena
ketentuan tentang ketidakcakapan seorang perempuan yang bersuami itu di Negeri
Belanda sendiri sudah dicabut karena dianggap tidak sesuai lagi dengan kemajuan
zaman, maka sebaiknya ketentuan tersebut di Indonesia juga dihapuskan.
Memang dalam praktek notaris sekarang sudah mulai mengizinkan seorang istri,
yang tunduk kepada Hukum Perdata Barat membuat suatu perjanjian di
hadapannya, tanpa bantuan suami. Surat edaran Mahkamah Agung No. 3/1963
tanggal 4 Agustus 1963 kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi
di seluruh Indonesia bahwa Mahkamah Agung menganggap pasal-pasal 108 dan
110 KUH Perdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan
hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari
suaminya, sudah tidak berlaku lagi.27
Syarat obyektif sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam:
a) Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUH Perdata mengenai keharusan
adanya suatu hal tertentu dalam perjanjian.
b) Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUH Perdata yang mengatur mengenai
kewajiban adanya suatu sebab yang halal dalam setiap perjanjian yang dibuat
oleh para pihak.28
Tentang Hal Tertentu dalam Perjanjian
KUH Perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan rumusan
dalam Pasal 1333 KUH Perdata , yang berbunyi sebagai berikut:
“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu
kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya.
27
28

Subekti (I), Op. Cit, hal.19
Kartini Muljadi&Gunawan Widjaja, Op. Cit, hal. 155

Universitas Sumatera Utara

24

Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja
jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
Secara sepintas, dengan rumusan “pokok perjanjian berupa barang yang telah
ditentukan jenisnya” tampaknya KUH Perdata hanya menekankan pada perikatan
untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu. Namun demikian jika diperhatikan
lebih lanjut, rumusan tersebut hendak menegaskan kepada kita semua bahwa
apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat
sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, KUH Perdata hendak menjelaskan,
bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi
dari suatu kebendaan yang tertentu.29
Jumlah benda itu tidak perlu ditentukan dahulu, asal saja kemudian dapat
ditentukan. Misalnya seorang pedagang mempunyai beras dalam gudangnya dan
berjanji menjual semua atau sebagian dari beras itu kepada orang lain dengan
harga sekian rupiah sekilogramnya. Perjanjian ini diperbolehkan, oleh karena
kemudian secara menimbang dapat ditentukan berapa kilogramnya beras yang
sebetulnya dijual.30
Pada perikatan untuk melakukan sesuatu, dalam pandangan KUH Perdata, hal
yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak dalam perikatan tersebut (debitor)
pastilah juga berhubungan dengan suatu kebendaan tertentu, baik itu berupa
kebendaan berwujud maupun kebendaan tidak berwujud.31
Tentang Sebab yang Halal
Sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 hingga Pasal 1337 KUH Perdata.
Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa:
29

Ibid., hal. 155
R. Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, hal. 22
31
Kartini Muljadi&Widjaja Gunawan, Op, Cit. hal. 156
30

Universitas Sumatera Utara

25

“Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang
palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan”.
KUH Perdata tidak memberikan pengertian atau defenisi dari “sebab” yang
dimaksud dalam Pasal 1320 Perdata. Hanya saja dalam Pasal 1335 KUH Perdata ,
dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah:
1.1 Bukan tanpa sebab;
1.2 Bukan sebab yang palsu;
1.3 Bukan sebab yang terlarang.32
Sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian. Dengan segera
harus dihilangkan suatu kemungkinan salah sangka, bahwa sebab itu adalah
sesuatu yang menyebabkan seorang membuat suatu perjanjian dorongan jiwa
untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak diperdulikan undang-undang.
Hukum pada asasnya tidak menghiraukan apa yang berada dalam gagasan seorang
atau apa yang di cita-citakan seorang. Yang diperhatikan oleh hukum atau
undang-undang hanyalah tindakan orang-orang dalam masyarakat.33
C. Jenis-Jenis Perjanjian
Menurut Pasal 1314 KUH Perdata suatu persetujuan dibuat dengan cumacuma atau atas beban. Suatu perjanjian/persetujuan dengan cuma-cuma adalah
suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan
kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri,
misalnya hibah, pemberian, anugrah dan wasiat. Suatu persetujuan atas beban
ialah suatu persetujuan yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan
sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
32
33

Ibid, hal. 161
Subekti (I), Op. Cit. hal. 20

Universitas Sumatera Utara

26

Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara yaitu sebagai berikut:
1.

Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak.
Perjanjian timbal balik ialah perjanjian-perjanjian yang menimbulkan
kewajiban-kewajiban pokok pada kedua belah pihak, misalnya: jual beli,
sewa menyewa dan sebagainya.

2.

Perjanjian bernama dan perjanjian tak bernama.
Perjanjian bernama (benoemd) ialah perjanjian yang mempunyai nama
tersendiri yang diberikan (ditentukan) boleh undang-undang berdasarkan tipe
(bentuk) yang paling banyak terjadi sehari-hari walaupun jumlahnya terbatas.
Perjanjian itu juga disebut perjanjian khusus.
Perjanjian tak bernama adalah perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalam
KUH Perdata tetapi hidup dalam kehidupan masyarakat.34

3.

Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligator
Perjanjian kebendaan ialah suatu perjanjian untuk mengadakan suatu hak
kebendaan, yaitu perjanjian dengan mana hak milik dari seorang atas sesuatu
beralih kepada pihak lain, misalnya hipotik.35
Perjanjian obligator ialah perjanjian dimana para pihak terikat untuk
melakukan kewajiban kepada pihak lain, dengan perkataan lain perjanjian ini
menimbulkan perikatan.

4.

Perjanjian yang konsensuil dan yang riil.
Perjanjian konsensuil ialah perjanjian yang terjadi dengan adanya kata
sepakat untuk mengadakan perikatan.

34

Wan Sadjarudidin Baros, Beberapa Sendi Hukum Perikatan, USU PRESS, Medan, 1992,

hal. 25
35

Ibid., hal. 26

Universitas Sumatera Utara

27

Perjanjian riil ialah perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat
untuk mengadakan perikatan.
Perjanjian rill ialah perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat
juga dilanjutkan dengan penyerahan barang, misalnya penitipan barang.
5.

Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya.
a. Perjanjian liberator ialah perjanjian dimana atas dasar kata sepakat para
pihak membebaskan diri dari perikatan (kewajiban) yang ada, misalnya
Pasal-Pasal 1438, 1440 dan 1442 KUH Perdata .
b. Perjanjian pembuktian yaitu dimana para pihak bebas menentukan alat-alat
pembuktian yang akan mereka pergunakan dalam suatu proses. Perjanjian
pembuktian (bewijs overeenkomst).
c. Perjanjian untung-untungan yaitu suatu perjanjian dimana satu pihak
melaksanakan kewajiban (memberikan prestasi) terlebih dahulu dengan
harapan akan menerima yang lebih besar dari apa yang telah diberikannya
pada suatu waktu yang tertentu atau telah ditentukan, misalnya perjanjian
asuransi.
d. Perjanjian publik yaitu perjanjian yang seluruhnya atau untuk sebagian
oleh hukum publik karena salah satu pihak adalah penguasa bertindak
sebagai penguasa, misalnya perjanjian ikatan dinas.36

D. Akibat Hukum Perjanjian
1.

Perjanjian Hanya Berlaku di Antara Para Pihak Yang Membuatnya
Pasal 1340 ayat (1) KUH Perdata

menyatakan bahwa perjanjian-

perjanjian yang dibuat hanya berlaku di antara para pihak yang

36

Ibid., hal.7

Universitas Sumatera Utara

28

membuatnya. Ini berarti bahwa setiap perjanjian, hanya membawa akibat
berlakunya ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata bagi para pihak yang
terlibat atau membuat perjanjian tersebut. Jadi apa yang menjadi
kewajiban atau prestasi yang harus dilaksanakan oleh debitor dalam
perjanjian hanya merupakan dan menjadi kewajibannya semata-mata.
Dalam hal terdapat seorang pihak ketiga yang kemudian melaksanakan
kewajibannya tersebut kepada kreditor, maka ini tidak berarti debitor
dilepaskan atau dibebaskan dari kewajibannya tersebut. Pihak ketiga
yang melakukan pemenuhan kewajiban debitor, demi hukum diberikan
hak untuk menuntut pelaksanaan kewajiban debitor (yang telah dipenuhi
oleh pihak ketiga tersebut kepada kreditor) dari debitor. Demikianlah
Pasal 1400 KUH Perdata merumuskan:
“Subrogasi atau penggantian hak-hak kreditor oleh seorang pihak ketiga
yang membayar kepada kreditor itu, terjadi, baik dengan perjanjian,
maupun demi undang-undang”.
Dengan demikian jelaslah bahwa prestasi yang dibebankan oleh KUH
Perdata bersifat personal dan tidak dapat dialihkan begitu saja. 37 Di
dalam istilah “secara sah” pembentuk undang-undang menunjukkan
bahwa pembuataan perjanjian harus memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan. Semua persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara
sah (Pasal 1320 KUHPerdata) adalah mengikat sebagai undang-undang
terhadap para pihak.38 Dengan ketentuan tersebut jelas bahwa apa yang
sudah di sepakati oleh siapapun juga, kecuali jika hal tersebut memang di
37
38

Kartini Muljadi&Gunawan Widjaja. Op, Cit. hal.166
Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit. hal. 82

Universitas Sumatera Utara

29

khendaki secara bersama oleh para pihak, ataupun ditentukan demikian
oleh undang-undang berdasarkan suatu perbuatan hukum atau peristiwa
hukum atau keadaan hukum tetentu.39
2.

Mengenai Kebatalan atau Nulitas Dalam Perjanjian
Pada dasarnya perjanjian bersifat konsensuil, namun demikian terdapat
perjanjian-perjanjian tertentu yang mewajibkan dilakukan sesuatu
tindakan yang lebih dari hanya sekedar kesepakatan lisan, sebelum pada
akhirnya perjanjian tersebut dianggap sah dan kiranya mengikat serta
melahirkan perikatan di antara para pihak yang membuatnya. 40 Dalam
perjanjian konsensuil, seperti telah dijelaskan, keabsahannya ditentukan
oleh terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat yang ditentukan oleh undangundang, dalam hal ini Pasal 1320 KUH Perdata . Jika suatu perjanjian
yang dibuat tersebut tidak memenuhi salah satu atau lebih persyaratan
yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka perjanjian
tersebut tidak sah, yang berarti perjanjian itu terancam batal. Hal ini
mengakibatkan nulitas atau kebatalan menjadi perlu untuk diketahui oleh
tiap pihak yang mengadakan perjanjian. Oleh karena masing-masing
perjanjian memiliki karakteristik dan cirinya sendiri-sendiri, maka nulitas
atau kebatalan dari suatu perjanjian juga memiliki karakteristik dan
cirinya sendiri-sendiri.41

E. Berakhirnya Suatu Perjanjian
Berakhirnya perjanjian juga memiliki sinonim lain, seperti berakhirnya
kontrak dan hapusnya perikatan (KUH Perdata Pasal 1381). Secara umum,
39

Kartini Muljadi&Gunawan Widjaja, Op. Cit. hal. 166
Ibid., hal. 171
41
Ibid., hal. 172
40

Universitas Sumatera Utara

30

berakhirnya perjanjian merupakan selesai atau hapusnya suatu perjanjian yang
dibuat di antara dua pihak, yaitu pihak kreditor dan debitor, tentang sesuatu hal.
Pihak kreditor dipahami sebagai pihak atau orang yang berhak atas suatu prestasi
sesuai dengan isi perjanjian. Pihak debitor adalah pihak yang berkewajiban untuk
memenuhi suatu prestasi sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Apabila perjanjian
berjalan lancar dan dipenuhi dengan seksama maka pemenuhan itu tanda
pengakhiran suatu perjanjian otomatis.
1.

Hukum Dasar Berakhirnya Perjanjian
Sampai saat ini, pedoman atau dasar hukum yang dipakai sebagai
landasan berakhirnya perjanjian (perikatan) masih merujuk pada isi Pasal
1381 KUH Perdata, yang dalam beberapa hal telah ketinggalan zaman.
Menurut Pasal 1381 KUH Perdata, perikatan-perikatan dapat hapus:
1. Karena pembayaran;
2. Karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan;
3. Karena pembaruan utang;
4. Karena perjumpaan utang atau kompensasi;
5. Karena percampuran utang;
6. Karena pembebasan utangnya;
7. Karena musnahnya barang yang terutang;
8. Karena kebatalan atau pembatalan;
9. Karena berlakunya suatu syarat batal, yang diatur dalam bab pertama buku
ini;
10. Karena lewatnya waktu, hal mana akan diatur dalam satu bab tersendiri.
ad.1. Pembayaran
Pembayaran ialah setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela,
misalnya pembayaran uang oleh pembeli, pemenuhan perjanjian kerja
oleh buruh. Perikatan selalu dibayar oleh debitor, juga oleh setiap orang
yang berkepentingan, misalnya orang yang turut berutang atau seorang
penanggung (borg) dan orang yang tidak berkepentingan misalnya

Universitas Sumatera Utara

31

pihak ketiga yang melakukan pembayaran. Dalam melakukan
pembayaran, pihak ketiga dapat bertindak atas nama si berutang atau
nama sendiri. Jika pembayaran dilakukan atas nama si terutang, berarti
pembayaran dilakukan oleh si pembayar sendri, jika pembayaran
dilakukan

atas

nama

sendiri

berarti

pihak

ketigalah

yang

membayarnya.42
ad.2. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpan atau penitipan.
Dalam suatu perjanjian mungkin terjadi kreditor menolak pembayaran
dengan alasan tertentu. Contoh:
A harus membayar sejumlah uang sebagai harga pembelian barang
kepada B. Akan tetapi karena harga barang tersebut naik, B tidak mau
menerimanya apabila A tidak menambah jumlah uang sesuai dengan
harga barang yang telah naik untuk membebaskan dirinya dari
kewajiban tersebut, A dapat menawarkan pembayaran diikuti dengan
penitipan.
Prosedur pelaksanaan pembayaran diikuti oleh penitipan atau
penyimpanan adalah sebagai berikut:
Uang atau barang yang akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi
oleh seorang notaris atau seorang juru sita pengadilan kepada kreditor.
Apabila kreditor mau menerima uang atau barang yang ditawarkan itu
maka selesailah pekara pembayaran itu. Apabila kreditor menolak
penawaran, maka notaris atau juru sita membuat proses verbal dan
kreditor di minta untuk menandatanginya. Proses verbal ini merupakan

42

Komariah, Hukum Perdata, Universitas Muhammaddiyah Malang, Malang, 2005, hal. 200

Universitas Sumatera Utara

32

surat bukti bahwa kreditor menolak pembayaran. Langkah selanjutnya,
debitor mengajukan permohonan kepada pengadilan supaya pengadilan
mengesahkan penawaran pembayaran yang telah di lakukan itu. Setelah
penawaran pembayaran itu di sahkan, maka uang atau barang yang akan
dibayarkan itu di simpan atau di titipkan kepada panitera Pengadilan
Negeri dan dengan demikian hapuslah piutang itu. Uang atau barang
tersebut berada dalam simpanan Kepaniteraan Pengadilan Negeri atas
risiko kreditor.
ad 3. Pembaharuan utang
Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 macam jalan untuk
melaksanakan pembaharuan utang atau novasi, yaitu:
a. Apabila seorang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna
orang yang mengutangkan kepadanya, yang menggantinya utang
yang lama, yang dihapuskan karenanya.
b. Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang
terutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya.
c. Apabila sebagai akibat suatu persetujuan baru, seorang berpiutang
baru ditunjuk dengan menggatikan orang berpiutang lama, terhadap
siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya.
ad. 4. Perjumpaan utang atau kompensasi
Perjumpaan utang atau konpensasi ialah suatu cara hapusnya perikatan
dengan jalan memperhitungkan utang piutang secara timbal balik antara
kreditor dengan debitor. Jadi pihak-pihak yang mengadakan perikatan
itu masing-masing merupakan debitor satu sama lain.

Universitas Sumatera Utara

33

ad.5. Percampuran utang
Percampuran utang adalah salah satu hapusnya perikatan karena
kedudukan sebagai kreditor dan debitor berkumpul pada satu orang.
Percampuran ini terjadi secara otomatis atau demi hukum.
ad.6. Pembebasan utang
Pembebasan utang adalah pernyataan dengan tegas si berpiutang atau si
kreditor bahwa ia tidak menghendaki lagi prestasi dari si debitor dan
melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian.
Apabila terjadi pembebasan uang, maka hapuslah hubungan utang
piutang antara kreditor dan debitor. Pembebasan utang tidak boleh
dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.
ad.7. Musnahnya barang yang terutang
Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, jika barang tertentu yang menjadi
obyek perjanjian musnah tak dapat lagi diperdagangkan atau hilang,
maka perikatan hapus asal musnahnya atau hilangnya barang itu di luar
kesalahan si berutang (debitor) dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
Jadi menurut ketentuan tersebut, apabila barang yang menjadi musnah
di luar kesalahan debitor, maka debitor tidak diwajibkan memberikan
prestasi kepada kreditor. Pasal ini lahir dari ketentuan Pasal 1237 KUH
Perdata, yang merupakan satu-satunya Pasal yang mengatur tentang
risiko dalam ketentuan umum tentang perikatan yang menentukan
bahwa risiko atas suatu benda dalam perikatan untuk memberikan
sesuatu dipikul oleh kreditor sejak perikatan tersebut dilahirkan.
ad.8. Batal/Pembatalan

Universitas Sumatera Utara

34

Meskipun dalam KUH Perdata disebutkan batal atau pembatalan, tetapi
yang dimaksudkan adalah dapat dibatalkan. Sebab apabila perjanjian itu
batal demi hukum maka tidak ada suatu perikatan hukum yang
dilahirkan karenanya, sehingga tentu saja tidak dapat dihapus.
ad.9. Berlakunya syarat batal
Yang dimaksud dengan berlakunya syarat batal ialah syarat yang
apabila dipenuhi akan menghentikan atau mengakhiri perjanjiannya,
dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula seolaholah tidak pernah ada suatu perjanjian. Berlakunya syarat batal ini
berkaitan dengan adanya perjanjian bersyarat dengan syarat batal, yaitu
perikatan yang berdasarkan pada peristiwa yang masih akan datang dan
yang masih belum tentu terjadi secara membatalkan perikatan.
ad.10. Lewatnya waktu atau verjaring
Lewat waktu atau daluwarsa ialah suatu upaya umtuk memperoleh
sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya
suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh
undang-undang.
2.

Berakhirnya karena Undang-Undang dan Perjanjian
Rumusan berakhirnya perjanjian dalam KUH Perdata tidak menjelaskan
apakah karena perjanjian atau undang-undang. Namun, secara tersirat KUH
Perdata telah mengatakan atau memuat hal itu secara inklusif. Dari Praktik,
dapat diamati perjanjian (perikatan) yang berakhir karena undang-undang
adalah:
a. Konsinyasi;

Universitas Sumatera Utara

35

b. Musnahnya barang terutang; dan
c. Daluarsa.
Adapun perjanjian (perikatan) yang berakhir karena perjanjian adalah:
1. Pembayaran;
2. Novasi (pembaruan utang)
3. Kompensasi;
4. Percampuran utang (konfusio);
5. Pembebasan utang;
6. Kebatalan atau pembatalan; dan
7. Berlaku syarat batal.
Dalam praktik, ditemukan juga fakta cara berakhirnya perjanjian (perikatan)
yang disebabkan oleh :
a) Jangka waktunya berakhirnya,
b) Dilaksanakan objek perjanjian,
c) Kesepakatan kedua belah pihak,
d) Pemutusan perjanjian secra sepihak oleh salah sati pihak, dan
e) Adanya keputusan pengadilan.
Demikian garis besar bagaimana dan kapan berakhirnya suatu perjanjian
dengan segala konsekuensi hukumnya. Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
hukum perjanjian termasuk materi hukum rumit yang mengatur tentang
kegiatan kehidupan sehari-hari, walaupun skalanya mungkin berbeda antara
satu orang dengan yang lain.43

43

BN. Marbun, Membuat Perjanjian Yang Aman & Sesuai Hukum, Puspa Swara, Jakarta,
2009, hal. 23-25

Universitas Sumatera Utara