Keanekaragaman Makrozoobentos di Danau Toba Desa Haranggaol Kecamatan Haranggaol Horisan Kabupaten Simalungun

TINJAUAN PUSTAKA

  Ekosistem Danau

  Danau adalah perairan yang dikelilingi daratan dengan sumber air berasal dari sungai, mata air dan limpasan air hujan dari daratan. Air danau termasuk air permukaan yang tidak mengalami infiltrasi ke bawah tanah (Effendi, 2003). Air danau biasanya bersifat jernih dan keberadaan tumbuhan air terbatas hanya pada daerah pinggir saja. Berdasarkan pada proses terjadinya danau dikenal danau tektonik (terjadi akibat gempa) dan danau vulkanik (akibat aktivitas gunung berapi). Danau tektonik umumnya sangat dalam sedangkan danau vulkanik umumnya memiliki sumber air panas atau gas panas (Barus, 2004).

  Perairan tergenang (lentik) khususnya danau, biasanya mengalami stratifikasi secara vertikal akibat perbedaan intensitas cahaya dan perbedaan suhu pada kolom air yang terjadi secara vertikal. Danau dicirikan dengan arus yang sangat lambat (0,001 - 0,01 m/detik) atau tidak ada arus sama sekali. Oleh karena itu, waktu tinggal (residence time) air dapat berlangsung lama. Arus air di danau dapat bergerak ke berbagai arah. Perairan danau biasanya memiliki stratifikasi kualitas air secara vertikal. Stratifikasi ini tergantung pada kedalaman dan musim (Effendi, 2003).

  Danau adalah wilayah yang digenangi badan air sepanjang tahun serta terbentuk secara alami. Pembentukan danau terjadi karena gerakan kulit bumi sehingga bentuk dan luasnya sangat bervariasi (Kordi dan Tancung, 2007). Sebagai suatu sistem, perairan danau dipengaruhi oleh kondisi-kondisi hidrologi daerah pinggiran danau, bentuk dasar danau dan sedimen dasar danau itu sendiri. Komponen fisika-kimiawi danau mendukung komunitas biota yang khas di danau tersebut dan sebaliknya keberadaan biota merupakan komponen yang memperkaya ekosistem danau. Lebih lanjut disebutkan bahwa biota yang terdapat di danau tidak hanya membentuk mata rantai satu dengan yang lain tetapi juga mempengarhi sifat fisik danau. Komponen-komponen fisika, kimiawi dan biologi suatu danau mengalami perubahan secara konstan (Suartini, 2005).

  Berdasarkan keadaan nutrisinya Payne (1986) diacu oleh Sinaga (2009), menggolongkan danau menjadi 3 jenis yaitu: a.

  Danau Oligotrofik yaitu danau yang mengandung sedikit nutrien (miskin nutrien), biasanya dalam dan produktivitas primernya rendah. Sedimen pada bagian dasar kebanyakan mengandung senyawa anorganik dan konsentrasi oksigen pada bagian hipolimnion tinggi. Walaupun jumlah organisme pada danau ini rendah tetapi keanekaragaman spesies tinggi.

  b.

  Danau Eutrofik, yaitu danau yang mengandung banyak nutrien (kaya nutrien), khususnya nitrat dan fosfor yang menyebabkan pertumbuhan algae dan tumbuhan akuatik lainnya meningkat. Dengan demikian produktivitas primer pada danau ini tinggi dan konsentrasi oksigen rendah. Walaupun jumlah dan biomassa organisme pada danau ini tinggi tetapi keanekaragaman spesies rendah.

  c.

  Danau Distrofik, yaitu danau yang memperoleh sejumlah bahan-bahan organik dari luar danau, khususnya senyawa-senyawa asam yang menyebabkan air berwarna coklat. Produktivitas primer pada danau ini rendah, yang umumnya berasal dari hasil fotosintesa plankton. Tipe danau distrofik ini juga sedikit mengandung nutrien dan pada bagian hipolimnion terjadi defisit oksigen. Suatu danau berlumpur mewakili bentuk danau distrofik.

  Zonasi (perwilayahan) perairan tergenang (danau) dibagi menjadi dua, yaitu zonasi bentos dan zonasi kolom air. Zonasi bentos juga disebut zonasi dasar terdiri atas supra-litoral, litoral, sub-litoral dan profundal. Zonasi kolom air atau

  

open water zone terdiri atas zonasi limnetik, tropogenik, kompensasi dan

tropolitik (Effendi, 2003).

  Pemanfaatan danau sebagai sumber daya alam akan mempengaruhi keberadaan danau itu sendiri, tidak hanya dilihat dari kegiatan masyarakat yang berada di sekitar perairan danau saja tetapi juga kegiatan masyarakat yang berada di lingkungan atau kawasan daerah tangkapan hujannya (catchment area). Danau mempunyai tingkat ekonomi yang sangat tinggi. Salah satu fungsi danau adalah perikanan baik budidaya maupun perikanan tangkap. Danau juga sangat penting dalam mencegah kekeringan, penyediaan air bersih baik untuk konsumsi (air minum), irigasi maupun industri (Sinaga, 2009).

  Ekosistem Danau Toba

  Ekosistem Kawasan Danau Toba (EKDT) meliputi seluruh wilayah daerah tangkapan air (DTA) Danau Toba dan daerah aliran sungai (DAS) Asahan.

  Ekosistem Kawasan Danau Toba sejak terbentuknya melalui letusan gunung berapi yang sangat dahsyat pada 75.000 tahun yang lalu, telah banyak mengalami perubahan sampai dengan kondisi ekosistem sekarang ini. Daerah tangkapan air Danau Toba (Pulau Samosir maupun daratan Sumatera yang mengelilingi danau), telah banyak mengalami perubahan (Nasution, dkk., 2010).

  Danau Toba adalah salah satu danau air tawar terbesar di dunia, yang memiliki luas areal perairan mencapai puluhan kilometer persegi dengan kedalaman sampai 900 meter, pada bagian yang terdalam. Danau Toba terletak pada daerah dataran tinggi Toba di Sumatera Utara dengan ketinggian permukaan airnya mencapai 698 meter dari permukaan laut. Danau Toba dahulu tercatat sebagai danau air tawar kebanggaan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Sumatera Utara karena keindahan panorama alamnya, kenyamanan dan kesegaran udaranya, keasrian dan keterpaduan lingkungan alam, keramah-tamahan penduduk yang bermukim di sekitarnya, serta nilai-nilai budaya dan adat tradisional yang tinggi, yang kesemuanya itu menarik perhatian dan respon masyarakat internasional (Siagian, 2009).

  Ekosistem Kawasan Danau Toba terletak di dataran tinggi Bukit Barisan di Provinsi Sumatera Utara, secara geografis terletak antara koordinat

  o o o o

  2

  10

  20

  50 ʹ LU – 3 ʹ LU dan 98 ʹ BT – 99 ʹ BT. Ekosistem Kawasan Danau Toba secara administratif terletak di tujuh kabupaten yaitu Kabupaten Simalungun,

  Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Dairi dan Kabupaten Karo. Seluruh ekosistem kawasan Danau Toba meliputi 41 kecamatan yaitu 11 kecamatan di Kabupaten Simalungun, 11 kecamatan di Kabupaten Toba Samosir, 8 kecamatan di Kabupaten Samosir, 5 kecamatan di Kabupaten Humbang Hasundutan, 3 kecamatan di Kabupaten Tapanuli Utara, 3 kecamatan di Kabupaten Dairi dan 1 kecamatan di Kabupaten Karo. Ekosistem kawasan Danau Toba terluas adalah di

  2 Kabupaten Simalungun yaitu 4.386,60 km dan yang paling kecil (sempit) adalah

  2 di wilayah Kabupaten Karo yaitu hanya 125,51 km (Nasution, dkk., 2010). Menurut Barus (2007), perairan Danau Toba masih tergolong oligotrofik (miskin zat hara). Kondisi oligotrofik Danau Toba menyebabkan daya dukung danau untuk perkembangan dan pertumbuhan organisme air seperti plankton dan bentos sangat terbatas. Beberapa penelitian yang sudah dilakukan di beberapa kawasan Danau Toba menunjukkan bahwa populasi plankton dan bentos di Danau Toba adalah rendah. Komunitas plankton (fitoplankton dan zooplankton) merupakan basis dari terbentuknya suatu rantai makanan, oleh sebab itu plankton memegang peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem danau. Dengan demikian maka dapat dimaklumi bahwa keanekargaman ikan di Danau Toba juga tidak terlalu tinggi. Hal ini disebabkan bahwa sumber nutrisi utama ikan secara alamiah umumnya adalah berbagai jenis plankton dan bentos tersebut.

  Makrozoobentos

  Benthos adalah organisme yang hidup di permukaan dasar perairan atau didalam dasar perairan. Berdasarkan jenisnya, benthos digolongkan menjadi fitobenthos dan zoobenthos. Namun pada umumnya benthos sering disebut dengan zoobenthos (Soegianto, 2004).

  Menurut Lalli dan Parsons (1993) diacu oleh Tarigan (2009), hewan bentos dapat dikelompokkan berdasarkan ukuran tubuh yang bisa melewati lubang saring yang dipakai untuk memisahkan hewan dari sedimennya. Berdasarkan kategori tersebut bentos dibagi atas: a.

  Makrozoobentos, kelompok hewan yang lebih besar dari 1,0 mm. Kelompok ini adalah hewan bentos yang terbesar, jenis hewan yang termasuk kelompok ini adalah molusca, annelida, crustaceae, beberapa insekta air dan larva dari diptera, odonata dan lain sebagainya. b.

  Mesobentos, kelompok bentos yang berukuran antara 0,1 – 1,0 mm.

  Kelompok ini adalah hewan kecil yang dapat ditemukan di pasir atau lumpur. Hewan yang termasuk kelompok ini adalah molusca kecil, cacing kecil dan crustaceae kecil.

  c.

  Mikrobentos, yakni bentos yang berukuran lebih kecil dari 0,1 mm. Kelompok ini merupakan hewan yang terkecil seperti protozoa khususnya ciliata.

  Makrozoobentos adalah organisme yang hidup di dasar perairan, hidup sesil, merayap, atau menggali lubang. Kelimpahan dan keanekaragamannya sangat dipengaruhi oleh toleransi dan sensitivitasnya terhadap perubahan lingkungan. Kisaran toleransi dari makrozoobentos terhadap lingkungan berbeda-beda (Yeanny, 2007).

  Menurut Pong-Masak dan Perzan (2006), organisme makrozoobentos di dalam ekosistem akuatik adalah: a) melakukan proses mineralisasi dan daur ulang bahan organik, b) sebagai bagian dalam rantai makanan detritus dalam sumber daya perikanan, dan c) sebagai bioindikator perubahan lingkungan.

  Makrozoobentos memiliki sifat kepekaan terhadap beberapa bahan pencemar, mobilitas yang rendah, mudah ditangkap serta memiliki kelangsungan hidup yang panjang. Oleh karena itu peran makrozoobentos dalam keseimbangan suatu ekosistem perairan termasuk lahan budidaya dapat menjadi indikator kondisi ekologi terkini pada suatu kawasan tertentu.

  Perubahan peruntukan kawasan tanpa pengendalian yang tepat dapat menyebabkan perubahan kualitas lingkungan perairan. Makrozoobentos merupakan salah satu organisme akuatik menetap di dasar perairan yang memiliki pergerakan relatif lambat serta daur hidup relatif lama sehingga memiliki kemampuan merespon kondisi kualitas air secara terus menerus (Zulkifli dan Setiawan, 2011).

  Perubahan sifat dasar dari substrat dan penambahan pencemaran akan memberikan dampak pengaruh yang nyata terhadap nilai kepadatan dan keanekaragamannya. Banyaknya bahan pencemar dapat memberikan dua pengaruh terhadap organisme perairan, yaitu dapat membunuh spesies tertentu dan sebaliknya dapat mendukung perkembangan spesies lain. Jika air tercemar ada kemungkinan terjadi pergeseran dari jumlah yang banyak dengan populasi yang sedang menjadi jumlah spesies yang sedikit tetapi populasinya tinggi. Oleh karena itu, penurunan dalam keanekaragaman spesies dapat juga dianggap sebagai suatu pencemaran (Tarigan, 2009).

  Menurut Fachrul (2007), daya toleransi bentos terhadap pencemar bahan organik dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu sebagai berikut: a.

  Jenis Intoleran Jenis intoleran memiliki kisaran toleransi yang sempit terhadap pencemaran dan tidak tahan terhadap tekanan lingkungan, sehingga hanya hidup dan berkembang di perairan yang belum atau sedikit tercemar.

  b.

  Jenis Toleran Jenis toleran mempunyai daya toleran yang lebar, sehingga dapat berkembang mencapai kepadatan tertinggi dalam perairan yang tercemar berat.

  Oleh karena itu, untuk mengetahui kehadiran atau ketidakhadiran organisme pada lingkungan perairan digunakan indikator yang menunjukkan tingkat atau derajat kualitas suatu habitat. c.

  Jenis Fakultatif Jenis fakultatif dapat bertahan hidup terhadap lingkungan yang agak lebar, antara perairan yang belum tercemar sampai dengan tercemar sedang dan masih dapat hidup pada perairan yang tercemar berat. Jenis ini dibedakan pula menjadi fakultatif intoleran dan fakultatif toleran. Fakultatif intoleran adalah jenis yang hanya atau lebih banyak hidup di perairan tercemar ringan, sedangkan fakultatif toleran adalah jenis yang hanya atau banyak dijumpai di perairan tercemar sedang.

  Kualitas Air Danau

A. Suhu

  Kisaran suhu di lingkungan perairan lebih sempit dibandingkan dengan lingkungan daratan, karena itulah maka kisaran toleransi organisme akuatik terhadap suhu juga relatif sempit dibandingkan dengan organisme daratan. Berubahnya suhu suatu badan air besar pengaruhnya terhadap komunitas akuatik. Naiknya suhu perairan dari yang biasa, karena pembuangan pabrik misalnya dapat menyebabkan organisme akuatik terganggu sehingga dapat mengakibatkan struktur komunitasnya berbeda (Suin, 2002).

  Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam perairan misalnya gas O , CO , N , CH dan sebagainya.

  2

  2

  2

  4 Selain itu suhu juga menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan

  respirasi organisme air dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi

  o

  oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10 C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2 − 3 kali lipat.

  Namun, peningkatan suhu ini desertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi. Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba. Kisaran suhu optimum bagi

  o pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah 20 – 30 C (Effendi, 2003).

  Menurut Suin (2002), berdasarkan suhunya suatu badan air dapat dibagi atas epilimnion dan hipolimnion. Bagian epilimnion merupakan lapisan air bagian atas yang mendapat panas dari sinar matahari sehingga air bagian atas lebih panas dan ringan dari hipolimnion yaitu lapisan bawah yang tidak terkena cahaya matahari. Batas antara epilimnion dan hipolimnion disebut termoklin. Karena berbedanya suhu perairan berdasarkan kedalamannya maka pengukuran suhu badan air selalu diukur berdasarkan kedalaman yang berbeda.

B. Derajat Keasaman (pH)

  Derajat keasaman lebih dikenal dengan istilah pH. pH (singkatan dari

  

puissance negatif de H ), yaitu logaritma dari kepekatan ion-ion H (hidrogen) yang

  terlepas dalam suatu cairan. Derajat keasaman atau pH air menunjukkan aktivitas ion hidrogen dalam larutan tersebut dan dinyatakan sebagai konsentrasi ion hidrogen (dalam mol per liter) pada suhu tertentu (Kordi dan Tancung, 2007).

  Menurut Barus (2004), kemampuan air untuk mengikat atau melepaskan sejumlah ion hidrogen akan menunjukkan apakah larutan tersebut bersifat asam atau basa. Organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 − 8,5.

  Menurut Effendi (2003), pH berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas. Pada pH < 5, alkalinitas dapat mencapai nol. Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida bebas.

  Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisma dan respirasi. Disamping itu pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama ion aluminium yang bersifat toksik, semakin tinggi yang tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme air. Sedangkan pH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air akan terganggu. Kenaikan pH diatas netral akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat sangat toksik bagi organisme (Barus, 2004).

C. Kecerahan

  Kecerahan adalah sebagian cahaya yang diteruskan ke dalam air dan dinyatakan dengan persen (%), dari beberapa panjang gelombang didaerah spektrum yang terlihat cahaya yang melalui lapisan sekitar satu meter, jatuh agak tegak lurus pada permukaan air. Kemampuan cahaya matahari untuk menembus sampai ke dasar perairan dipengaruhi oleh kekeruhan (turbidity) air. Kekeruhan dipengaruhi oleh benda-benda halus yang disuspensikan, seperti lumpur dan sebagainya, adanya jasad-jasad renik (plankton) dan warna air (Kordi dan Tancung, 2007).

  Intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolom air semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman perairan. Dengan kata lain cahaya mengalami penghilangan (extinction) atau pengurangan (atenuasi) yang semakin besar dengan bertambahnya kedalaman. Cahaya merupakan sumber energi utama dalam ekosistem perairan. Di perairan, cahaya memiliki dua fungsi utama (Jeffries dan Mills, 1996 diacu oleh Effendi, 2003), yaitu: 1.

  Memanasi air sehingga terjadi perubahan suhu dan berat jenis (densitas) dan selanjutnya menyebabkan terjadinya pencampuran massa dan kimia air.

  Perubahan suhu juga mempengaruhi tingkat kesesuaian perairan sebagai habitat bagi organisme akuatik, karena setiap organisme akuatik memiliki kisaran suhu minimum dan maksimum bagi kehidupannya.

2. Merupakan sumber energi bagi proses fotosintesis algae dan tumbuhan air.

  Kedalaman penetrasi cahaya akan berbeda pada setiap ekosistem air yang berbeda. Pada batas akhir penetrasi cahaya disebut sebagai titik kompensasi cahaya, yaitu titik pada lapisan air dimana cahaya matahari mencapai nilai minimum yang menyebabkan proses asimilasi dan respirasi berada dalam keseimbangan. Dapat juga diartikan bahwa titik kompensasi cahaya ini, konsentrasi karbondioksida dan oksigen akan berada dalam keadaan relatif konstan. Bagi organisme air, intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya (Barus, 2004).

D. Oksigen Terlarut (DO = Dissolved Oxygen)

  Oksigen merupakan faktor paling penting bagi organisme air. Semua tumbuhan dan hewan yang hidup dalam air membutuhkan oksigen yang terlarut untuk bernafas. Oksigen yang terlarut dalam air berasal dari udara dan hasil fotosintesis tumbuh-tumbuhan yang ada di dalam air. Oksigen dari udara terlarut masuk dalam air karena adanya difusi langsung dan agitasi permukaan air oleh aksi angin dan arus turbulen (Suin, 2002). Kisaran toleransi makrozoobentos terhadap oksigen terlarut berbeda-beda. Kehidupan di air dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimum sebanyak 4 mg/l, selebihnya tergantung kepada ketahanan organisme, derajat keaktifan, kehadiran pencemar, temparatur air dan sebagainya (Sastrawijaya, 1991).

  Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik. Selain itu oksigen juga menentukan biologis yang dilakukan oleh organisme aerobik atau anaerobik. Dalam kondisi aerobik, peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik menjadi nutrien. Dalam kondisi anaerobik oksigen yang dihasilkan mereduksi senyawa-senyawa kimia menjadi lebih sederhana dalam bentuk nutrien dan gas. Karena proses oksidasi dan reduksi inilah maka peranan oksigen terlarut sangat penting untuk membantu mengurangi beban pencemaran pada perairan secara alami maupun secara perlakuan aerobik yang ditujukan untuk memurnikan air buangan industri dan rumah tangga (Salmin, 2005).

E. Biochemical Oxygen Demand (BOD)

  BOD merupakan gambaran kadar bahan organik, yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air. Dengan kata lain, BOD menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi mikroba aerob yang terdapat dalam botol

  o

  BOD yang diinkubasi pada suhu 20 C selama lima hari, dalam keadaan tanpa cahaya (Effendi, 2003).

  Nilai konsentrasi BOD menunjukkan suatu kualitas perairan, apabila konsumsi oksigen selama periode 5 hari berkisar sampai 5 mg/l oksigen maka perairan tersebut tergolong baik. Apabila konsumsi O

  2 berkisar antara

  10 – 20 mg/l oksigen akan menunjukkan tingkat pencemaran oleh materi organik yang tinggi, dan untuk air limbah industri yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan adalah nilai BOD maksimum 100 mg/l. Selanjutnya dijelaskan bahwa semakin rendah nilai BOD dalam suatu perairan, maka semakin tinggi pula keanekaragaman biota (makrozoobentos) dalam perairan (Tarigan, 2009). Menurut Pennak (1978) bahwa viviparus dapat hidup pada perairan yang memiliki kadar BOD

  5 yang rendah dan kandungan oksigen terlarut yang tinggi.

F. Substrat Dasar

  Semua organisme air yang hidupnya terdapat pada substrat dasar perairan, baik yang bersifat sesil (melekat) maupun vagil (bergerak bebas) termasuk dalam kategori bentos (Barus, 2004). Susunan substrat dasar penting bagi organisme yang hidup di zona dasar perairan seperti bentos, baik pada air diam maupun pada air mgngalir. Substrat dasar merupakan faktor utama yang sangat mempengaruhi kehidupan, perkembangan dan keanekaragaman zoobentos (Tarigan, 2009).

  Keanekaragaman Makrozoobentos

  Hubungan perubahan lingkungan terhadap kestabilan suatu komunitas makrozoobentos dapat dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif dapat dilakukan dengan melihat keanekaragaman jenis organisme yang hidup di lingkungan tersebut dan hubungan dengan kelimpahan tiap jenisnya sedangkan kualitatif adalah dengan melihat jenis jenis organisme yang mampu beradaptasi dengan lingkungan tertentu (Siregar, 2011).

  Menurut Sinaga (2009), secara umum nilai parameter abiotik baik fisika, kimia dan parameter biotik yang terdapat di seluruh stasiun perairan Danau Toba, Balige masih cukup baik untuk kelangsungan hidup biota air yang terdapat di dalamnya termasuk keanekaragaman makrozoobentos. Komposisi dan jumlah makrozoobentos yang didapat seluruhnya ada 5 kelas yaitu Crustaceae,

  2 Gastropoda, Hirudinae, Insecta, dan Oligochaeta dengan kelimpahan 368 ind/m .

  Komposisi jumlah makrozoobentos tertinggi adalah Gastropoda kemudian diikuti dengan jenis Insecta, Oligochaeta, Hirudinae dan Crustaceae. Jenis-jenis yang ditemukan di perairan Danau Toba Balige berjumlah 21 jenis dan menurut Lukman, dkk., (2008) organisme bentik di Danau Limboto yang berkisar antara

  2

  284 – 3.41 ind/m , menunjukkan kisaran kelimpahan sedang. Kisaran kelimpahan organisme benthik yang terukur dari beberapa perairan berada diantara 25 − 94.38

  2 ind/m .

  Perubahan musim mempengaruhi kondisi fisik kimiawi perairan danau. Peningkatan kedalaman air diikuti dengan penurunan kelimpahan makrozoobenthos. Kelimpahan makrozoobenthos lebih tinggi di perairan yang dangkal. Hal ini diduga karena menurunnya kadar oksigen di dasar perairan apabila perairan semakin dalam. Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas bagi kehidupan makrozoobenthos. Oleh karena itu kelimpahan makrozoobenthos berkorelasi positif dengan kadar oksigen terlarut. Kelimpahan makrozoobenthos di danau Hanjalantung lebih tinggi pada saat musim air dangkal dibandingkan saat musim air dalam. Kelimpahan makrozoobenthos berkorelasi positif dengan padatan tersuspensi total dan oksigen terlarut dan berkorelasi negatif dengan kedalaman air, kecerahan air, dan CO terlarut (Sulistiyarto, 2011).

2 Keanekaragaman makrozoobentos di danau Beratan lebih rendah

  dibandingkan dengan danau Tamblingan. Di danau Beratan ditemukan dua spesies moluska dan satu spesies crustacea sedangkan di danau Tamblingan ditemukan enam spesies moluska, satu spesies crustacea dan satu spesies insekta (Suartini, 2005).

  Pada perairan danau Lau Kawar Desa Kuta Gugung nilai indeks keanekaragaman makrozoobentos berkisar antara 0,49 – 1,53. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies relatif merata.

  Dengan kata lain bahwa apabila suatu komunitas hanya terdiri dari sedikit spesies dengan jumlah individu yang tidak merata, maka komunitas tersebut mempunyai keanekaragaman rendah (Tarigan, 2009).

Dokumen yang terkait

Penggunaan Berbagai Dosis Kompos Pada Tanaman Sukun (Artocarpuscommunis)Di Daerah Tangkapan Air Danau Toba Kecamatan Haranggaol Horison Kabupaten Simalungun

0 42 58

Analisis Faktor yang Mempengaruhi Jumlah Produksi Ikan Nila di Kecamatan Haranggaol Horisan Kabupaten Simalungun

4 88 71

Etnografi mengenai Berbagai Aturan Hukum Pengelolaan Keramba Jaring Apung di Haranggaol Kecamatan Haranggaol Horisan Kabupaten Simalungun

2 84 125

Keanekaragaman Makrozoobentos di Danau Toba Desa Haranggaol Kecamatan Haranggaol Horisan Kabupaten Simalungun

5 76 79

Dampak Kegiatan Budidaya Keramba Jaring Apung Terhadap Kualitas Air Danau Toba Di Kecamatan Haranggaol Horison Kabupaten Simalungun Sumatera Utara

15 147 102

Struktur Dan Produktivitas Rerumputan Di Kawasan Danau Toba Desa Haranggaol Kecamatan Haranggaol Horison Kabupaten Simalungun Sumatera Utara

0 42 67

Pengaruh Pembudidayaan Ikan terhadap Pengembangan Wilayah di Kabupaten Simalungun studi Kasus pada Desa Nagor; Haranggaol, Kecamatan Haranggaol Horisan

1 32 84

Penggunaan Berbagai Dosis Kompos Pada Tanaman Sukun (Artocarpuscommunis)Di Daerah Tangkapan Air Danau Toba Kecamatan Haranggaol Horison Kabupaten Simalungun

0 0 10

Penggunaan Berbagai Dosis Kompos Pada Tanaman Sukun (Artocarpuscommunis)Di Daerah Tangkapan Air Danau Toba Kecamatan Haranggaol Horison Kabupaten Simalungun

0 0 12

Etnografi mengenai Berbagai Aturan Hukum Pengelolaan Keramba Jaring Apung di Haranggaol Kecamatan Haranggaol Horisan Kabupaten Simalungun

0 0 10