Etnografi mengenai Berbagai Aturan Hukum Pengelolaan Keramba Jaring Apung di Haranggaol Kecamatan Haranggaol Horisan Kabupaten Simalungun

(1)

ETNOGRAFI BERBAGAI ATURAN HUKUM DALAM PENGELOLAAN KERAMBA JARING APUNG DI HARANGGAOL, KECAMATAN

HARANGGAOL HORISON, KABUPATEN SIMALUNGUN

S K R I P S I

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Dalam Bidang Antropologi Sosial

Oleh :

HELPI YOHANA TOGATOROP 100905028

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERNYATAAN ORIGINALITAS

Etnografi mengenai Berbagai Aturan Hukum Pengelolaan

Keramba Jaring Apung di Haranggaol Kecamatan Haranggaol

Horisan Kabupaten Simalungun

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan disini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, Agustus 2014 Penulis


(3)

ABSTRAK

Helpi Yohana Togatorop, 2014 judul skripsi: ”Etnografi Berbagai Aturan Hukum Dalam Pengelolaan Keramba Jaring Apung Di Haranggaol, Kecamatan Haranggaol Horison, Kabupaten Simalungun. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, halaman, tabel, foto dan lampiran surat penelitian.

Hukum adalah aturan-aturan, norma-norma dan azas-azas. Aturan adalah seperangkat ketetapan yang diperlukan agara ada efisiensi dalam usaha mengejar tujuan. Ahli hukum beranggapan bahwa tidak ada perbedaan antara apa yang terumus dalam hukum dengan institusi-institusi dan perilaku orang dalam menyikapi aturan-aturan dan norma-norma tersebut (Ihromi 1998:1). Padahal untuk dapat menempatkan hukum dalam struktur sosial maka yang diperlukan terlebih dahulu adalah menyikapi masyarakat dan kebudayaannya sebagai suatu keseluruhan. Sehingga keberhasilan hukum ditentukan oleh beroperasinya hukum dalam kehidupan sehari-hari.

Beroperasinya hukum dalam kehidupan sehari-hari inilah yang dilihat dalam penelitian ini. Judul Etnografi Berbagai Aturan Hukum Dalam Pengelolaan Keramba Jaring Apung Di Haranggaol bertujuan melihat bagaimana koeksistensi hukum normatif dalam kehidupan masyarakat yang berbudaya di desa penelitian. Sehingga pengelolaan yang dilakukan dapat menjadi suatu keberlanjutan bagi mata pencaharian masyarakat.

Metode yang dilakukan menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan teknik wawancara mendalam, observasi dan observasi partisipasi. Dengan tujuan membongkar pengelolaan keramba jaring apung yang dilakukan oleh masyarakat di Haranggaol dalam meraih keuntungan financial. Dalam menemukan data, peneliti tinggal bersama penduduk sekitar dan ikut merasakan pengelolaan-pengelolaan yang dilakukan masyarakat.


(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji serta syukur patut penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena kasih dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ETNOGRAFI TENTANG BERBAGAI ATURAN HUKUM DALAM PENGELOLAAN KERAMBA JARING APUNG DI DESA HARANGGAOL KECAMATAN HARANGGAOL HORISAN KABUPATEN SIMALUNGUN. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana sosial dari Departemen Atropologi FISIP – USU.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yesus yang telah memberikan kesehatan dan berkah untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis juga menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan saran, dukungan, bimbingan dan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada orang tua yang sangat saya kasihi Saurmaria Br Sidabutar karena tak henti-hentinya memberikan dukungan, doa dan perhatian hingga sampai saat ini serta kepada Almarhum Ayahanda yang selalu saya rindukan kehadirannya, skripsi ini saya persembahkan untuk kalian. Dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada: Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Bapak Dr. Fikarwin Zuska M. Ant selaku Ketua Departemen Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Bapak Drs. Agustrisno, MSP selaku Sekretaris Departemen Antropologi Sosial Universitas Sumatera Utara.


(5)

Saya juga mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya untuk pembimbing saya Ibu Rytha Tambunan M.Si yang telah sabar membimbing saya mulai dari pembuatan proposal hingga terselesaikannya skripsi ini. Terimakasih untuk waktu, saran, dan pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis untuk menyempurnakan skripsi ini. Terimakasih untuk nasihat-nasihat ibu yang telah membuat saya menjadi pribadi yang kuat. Skripsi ini saya dedikasikan untuk beliau.

Pak Saragih, Bang Eppo Saragih, Tulang Toja Saragih, Tulang Sinaga, Tulang Gerhad, tulang Janes Sitanggang dan Bang Jan Purba yang telah begitu banyak membantu saya baik proses mencari data, narasumber dan sampai akhirnya skripsi ini boleh selesai. Masyarakat Desa Haranggaol yang telah menerima saya dengan baik dan ramah, sehingga saya merasakan kenyamanan ketika berada di desa tersebut.

Buat Abang saya Hendra Yaman Togatorop dan Hindon, Donal kakak saya Ida, Hetty, Helma, terimakasih buat doa dan dukungan serta semangatnya untuk menyelesaikan bangku perkuliahan. Buat sahabat-sahabat saya: Lina Manalu, Obrin Yuniarti Sianturi, Mega Natalia, Debora Ginting, Simson Simanullang dan Gintarius Ginting. Terspesial buat sahabat yang menjadi kekasih Hati saya Candra Sinabutar yang merelakan waktu, tenaga, dan pemikirannya untuk menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih buat segala nasihat, dukungan, semangat, canda tawa yang kalian berikan dan sudah kita lewati.

Kerabat-kerabat Mahasiswa/i Antropologi angkatan 2010: Selly A, Rina Berutu, Dina Aulia, Zulham Rusdi, Eki Gunawan, Iyan Sinuraya, Denni Nasution, Desi Iriani, Pricilia dan teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu


(6)

persatu. Penulis mengucapkan terimakasih atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada saya.

Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan pada kesempatan ini, yang telah membantu penulisan skripsi dan proses studi. Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa membalas segala kebaikan yang telah diberikan oleh semua pihak kepada penulis. Menyadari akan keterbatasan penulis, maka hasil penelitian ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan, untuk itu koreksi dan masukan dari berbagai pihak sangat diharapkan oleh penulis guna penyempurnaannya. Semoga tulisan ini berguna bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

Medan, Agustus 2014

Helpi Yohana Togatorop


(7)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di Departemen Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, Medan. Untuk memenuhi persyaratn tersebut saya telah menyusun sebuah skripsi dengan judul “Etnografi Berbagai Aturan Hukum Dalam Pengelolaan Keramba Jaring Apung Di Haranggaol, Kecamatan Haranggaol Horisan, Kabupaten Simalungun”.

Ketertarikan penulis mengkaji masalah ini dilatarbelakangi karena melihat keadaan lingkungan yakni menjamurnya keramba jarring apung di sekitar pinggiran Danau Toba. Dengan hal tersebut penulis melihat bagaimana pengelolaan keramba jaring apung yang dilakukan masyarakat. Secara umum tulisan ini menggambarkan pengelolaan yang dilakukan masyarakat Haranggaol untuk meraih keuntungan finansial. Akan tetapi menimbulkan permasalahan lain yakni lingkungan, melalui tulisan ini diharapkan dapat menyadarkan pihak-pihak terkait (stakeholders) yang mengelilingi Danau Toba mengingat Danau Toba mengingat danau mengingat danau tersebut merupakan slaah satu warisan dunia yang terdapat di Indonesia.

Tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan dan saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga tulisan ini benar-benar bermanfaat bagi pembaca.

Penulis


(8)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ORIGINALITASI……….. i

ABSTRAK………... ii

UCAPAN TERIMAKASIH……… iii

KATA PENGANTAR………. vi

DAFTAR ISI……… vii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Masalah dan Latar belakang... 1

1.2Tinjauan Pustaka... 11

1.3Rumusan Masalah... 15

1.4Lokasi Penelitian………..… 16

1.5Tujuan dan Manfaat Penelitian... 17

1.6Metode Penelitian... 18

1.6.1 Teknik Pengumpulan Data……… 19

1.6.2 Pengalaman Penelitian……… 21

1.6.3 Analisis Data……… 30

BAB II. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Gambaran Umum Desa Haranggaol...………. 31

2.2 Sejarah Desa Haranggaol………. 33

2.3 Bahasa……… 34

2.4 Pola Permukiman Penduduk dan Pemanfataan Ruang……… 35

2.5 Sarana Jalan dan Angkutan……… 38

2.6 Sarana Kesehatan……….. 39

2.7 Sarana Pendidikan ……… 40

2.8 Keadaan Penduduk ……….. 41

2.8.1 Jumlah Penduduk ………. 41

2.8.2 Kompsisi Penduduk……….. 43

2.8.2.1 Berdasarkan Agama……… 43

2.8.2.2 Berdasarkan Mata Pencaharian……… 44

2.8.2.3 Berdasarkan Pendidikan……….. 44

2.9 Gambaran Umum Keramba Jaring Apung Haranggaol…… 45

2.9.1 Luas dan Jumlah Keramba Jaring Apung……… 46

2.9.2 Keadaan Lingkungan……… 48


(9)

BAB III. PENGELOLAAN KERAMBA JARING APUNG HARANGGAOL

3.1Sejarah dan Perkembangan Keramba Jaring Apung……… 54

3.2 Pengelolaan Keramba Jaring Apung... 60

3.2.1 Syarat Mendirikan Keramba ……… 64

3.2.2 Kepemilikan……… 67

3.2.3 Tugas dan Pembagian Kerja ……… 69

3.2.4 Modal Produksi dan Gaji Anggota……… 71

3.2.5 Pembangunan Keramba Jaring Apung………… 73

3.2.6 Jenis Ikan Dalam Keramba Jaring Apung…… 79

3.2.7 Jenis Pakan Yang Diberikan……… 80

BAB IV. BERBAGAI ATURAN HUKUM DALAM PENGELOLAAN KERAMBA JARING APUNG 4.1 Aturan Pemerintah……… 83

4.2 Aturan Masyarakat……… 90

4.2.1 Pandangan Masyarakat Terhadap Alam……… 91

4.2.2 Aturan Yang Berlaku Dalam Pengelolaan Keramba Jaring Apung……… 94

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan……….. 100

5.2 Saran ………... 104 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN:

SURAT PENELITIAN

SKEMA DESA HARANGGAOL SKEMA KERAMBA HARANGGAOL FOTO LAPANGAN


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Sarana kesehatan... 39

Tabel 2. Sarana Pendidikan di Kelurahan Haranggaol... 40

Tabel 3. Penyebaran Jumlah Penduduk………. 42

Tabel 4. Jumlah Penduduk ... 42

Tabel 5. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama……… 43

Tabel 6. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian……… 44


(11)

ABSTRAK

Helpi Yohana Togatorop, 2014 judul skripsi: ”Etnografi Berbagai Aturan Hukum Dalam Pengelolaan Keramba Jaring Apung Di Haranggaol, Kecamatan Haranggaol Horison, Kabupaten Simalungun. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, halaman, tabel, foto dan lampiran surat penelitian.

Hukum adalah aturan-aturan, norma-norma dan azas-azas. Aturan adalah seperangkat ketetapan yang diperlukan agara ada efisiensi dalam usaha mengejar tujuan. Ahli hukum beranggapan bahwa tidak ada perbedaan antara apa yang terumus dalam hukum dengan institusi-institusi dan perilaku orang dalam menyikapi aturan-aturan dan norma-norma tersebut (Ihromi 1998:1). Padahal untuk dapat menempatkan hukum dalam struktur sosial maka yang diperlukan terlebih dahulu adalah menyikapi masyarakat dan kebudayaannya sebagai suatu keseluruhan. Sehingga keberhasilan hukum ditentukan oleh beroperasinya hukum dalam kehidupan sehari-hari.

Beroperasinya hukum dalam kehidupan sehari-hari inilah yang dilihat dalam penelitian ini. Judul Etnografi Berbagai Aturan Hukum Dalam Pengelolaan Keramba Jaring Apung Di Haranggaol bertujuan melihat bagaimana koeksistensi hukum normatif dalam kehidupan masyarakat yang berbudaya di desa penelitian. Sehingga pengelolaan yang dilakukan dapat menjadi suatu keberlanjutan bagi mata pencaharian masyarakat.

Metode yang dilakukan menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan teknik wawancara mendalam, observasi dan observasi partisipasi. Dengan tujuan membongkar pengelolaan keramba jaring apung yang dilakukan oleh masyarakat di Haranggaol dalam meraih keuntungan financial. Dalam menemukan data, peneliti tinggal bersama penduduk sekitar dan ikut merasakan pengelolaan-pengelolaan yang dilakukan masyarakat.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latarbelakang

Saat ini keramba jaring apung merupakan mata pencaharian utama pada masyarakat yang hidup di sekitar Danau Toba. Sebelumnya, keramba jaring apung hanya menjadi mata pencaharian tambahan karena sektor pertanian, perdagangan dan pariwisata masih merupakan pemberi kontribusi utama bagi pendapatan masyarakat Danau Toba. Merosotnya sektor pariwisata sekitar tahun 19981 dan

sektor pertanian tahun 2002 membuat semakin banyaknya keramba jaring apung di pinggiran Danau Toba.

Keramba jaring apung di kawasan Danau Toba terdapat di lima lokasi yakni: Desa Sebaganding, Desa Sirungkungan, Desa Silima, Desa Simanindo, dan Desa Haranggaol. Dari kelima desa tersebut, hingga saat ini Haranggaol merupakan sentra terbesar keramba jaring apung. Penetapan Haranggaol menjadi sentra keramba jaring apung ini karena di desa tersebut berdiri ribuan keramba jaring apung dengan hasil panen ribuan ton pertahunnya. Hal ini juga

      

1

Pada tahun 1998 terjadi krisis nasional multidemensi seperti keamanan, politik, sampai pada krisis moneter yang sangat melumpuhkan perekonomian membuat tidak ada wisatawan yang berkunjung ke Danau Toba sehingga banyak hotel yang beralih fungsi menjadi rumah dan tempat ibadah, kapal tidak lagi jalan karena tidak ada penumpang, harga bahan pokok terus melejit, belum lagi penggundulan hutan yang dilakukan para pembalakliar yang kemudian menyebabkan penyusutan air danau, dan bukit-bukit yang gundul, jalanan hancur keindahan Danau Toba pun hilang dari pandangan mata. Tahun 2002 menjadi tahun penurunan bagi pertanian sebab telah terjadi serangan hama, ditambah tidak mendukungnya kondisi lahan, serta kesulitan mendapatkan air untuk irigasi membuat masyarakat tidak lagi bertani. (Keramba Apung Danau Toba,

http://www.indosiar.com/ragam/keramba-apung-danau-toba_39189.html diakses sabtu, 13 July

2013 9:41:51 PM).


(13)

diungkapkan oleh bapak Gerrad Saragih selaku ketua Asosiasi petani ikan keramba jaring apung Haranggaol “setidaknya terdapat 361 kepala keluarga dengan 10.010 petak keramba yang berada di Kelurahan Haranggaol”.

Keramba jaring apung telah memproduksi ikan tawar sebanyak 78.374 ton pertahunnya di kawasan Sumatera Utara. Berikut data yang disampaikan oleh Kepala UPT Budidaya Perikanan Sumatera Utara “produksi ikan di Sumatera Utara tahun 2012 sebanyak 175.721 ton pertahunnya dengan rincian: ikan laut 34.906 ton, udang 4.248 ton dan ikan tawar 136.565 ton. Dari produksi 136.565 ton, produksi ikan air tawar pertahunnya sebanyak 78.347 ton pertahunnya disumbangkan oleh keramba jaring apung dari Desa Haranggaol”2.

Keramba jaring apung telah menjadi solusi bagi masalah ekonomi setelah terjadinya krisis moneter di Desa Haranggaol. Terbukti dari keuntungan keramba yang bisa mencapai lima juta hingga tujuh juta setiap lima bulan sekali per petak keramba jaring apung. Hasil tersebut disampaikan para petani dilapangan dengan perkiraan sebagai berikut: ukuran satu keramba 5 x 5 meter dengan modal delapan juta rupiah saat mendirikan bangunan keramba jaring apung. Untuk satu keramba jaring apung bisa menampung lima ribu ekor ikan nila dengan produksi mencapai satu setengah ton dan harga jual Rp 20.000 – Rp 24.000 per kilogram.

      

2

(Sumber: berita Simalungun, Http://www.situs resmi pemerintah-simalungun.html (diakses pada 4 November 2013)


(14)

Keramba jaring apung memang telah menjadi solusi bagi perekonomian masyarakat Haranggaol. Akan tetapi, beberapa referensi menyebutkan “keramba jaring apung memberikan dampak yang buruk bagi lingkungan terutama pada kualitas air Danau Toba”. Seperti yang telah disebutkan oleh Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumatera Utara bahwa telah terjadi degradasi kualitas air danau. Penyebabnya adalah pakan ikan yang tidak termakan sekitar 30-40 persennya atau sekitar 49.3 ton perharinya terbuang dan menjadi pencemaran air.3 Fases dan

urine yang semua terbuang ke air menyebabkan munculnya gulma dan eceng gondok yang merusak pemandangan, iritasi kulit seperti gatal-gatal bagi pengguna air danau untuk mandi. Bahkan keadaan terburuk yang telah terjadi yakni petaka virus herves koi 2004 yang mengakibatkan ribuan ikan mati mendadak sehingga masyarakat terpaksa mencium aroma busuk selama satu minggu penuh serta kerugian material yang harus ditanggung oleh petani ikan.

Dalam penelitian Bapedalda Kabupaten Simalungun, ditemukan indikasi bahwa keramba jaring apung akan menimbulkan gangguan kesehatan manusia. Gangguan tersebut berupa terancam keracunan dan kemungkinan terburuknya adalah terganggunya fungsi otak. Pernyataan ini disebabkan oleh meningkatnya kadar Nitrogen (NH–N3)4 yang terkandung pada pakan (pelet) ternak ikan

peliharaan dalam keramba atau sisa makanan dari restoran yang di buang ke Danau Toba. Plankton–plankton yang sudah tercemar dikonsumsi oleh ikan dan

      

3

Buletin Danau Toba, Vol IV edisi ke II, Media Simalungun, 2011.

4

Nitrogen yang terkandung dalam protein ikan yang terkandung dalam pellet ikan dan sisa makanan dari restoran, ketika nitrogen terpecah menjadi amoniak dan diikuti perubahan menjadi kalium akan sangat membahayakakn jiwa manusia jika dikonsumsi, sementra terdapat 69% kadar nitrogen dari sisa pakan ikan.


(15)

dengan sendirinya ikan tersebut akan mengandung bakteri berbahaya. Selanjutnya, manusia mengkonsumsi ikan–ikan yang sudah mengandung bakteri yang dapat membahayakan kesehatan manusia seperti menurunnya stamina ketahanan tubuh secara drastis, lemah otak serta lambat laun rapuh tulang.

Untuk menanggulangi pencemaran tersebut, pemerintah dalam hal ini Menteri Lingkungan Hidup sebenarnya telah menetapkan aturan mengenai pengelolaan sumber daya alam perikanan yakni;

1. UUD 1945, dalam pasal 33 “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Artinya tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. 2. UU No. 5 Tahun 1960 tentang ketentuan dasar pokok-pokok Agraria

(UUPA), mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan segenap sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat dan pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada pemerintah daerah.

3. UU No. 9 Tahun 1985 tentang perikanan yang menetapkan ketentuan-ketentuan mengenai alat penangkapan ikan, syarat-syarat teknis perikanan bagi kapal perikanan dan keselamatan pelayaran, jumlah


(16)

yang boleh ditangkap serta daerah penangkapan. Setiap usaha perikanan juga diwajibkan memiliki surat izin usaha perikanan.

4. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa setiap usaha atau kegiatan yang tidak menyusun Analisis mengenai Dampak Lingkungan, wajib menyusun Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dikenal dengan UKL dan UPL

5. PP No. 15 Tahun 1990 tentang Perizinan Usaha Perikanan, penangkapan ikan dicantumkan koordinat daerah tangkap, ukuran kapal, serta jenis alat tangkap yang digunakan.

6. Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dimana kawasan Danau Toba dan sekitarnya ditetapkan sebagai kawasan Strategis Nasional, sehingga usaha yang dilakukan di sekitar wilayah Danau Toba agar selalu berwawasan lingkungan,

Aturan-aturan yang dikeluarkan pemerintah sepertinya tidak memberikan hasil secara maksimal bagi penanggulangan pencemaran yang terjadi di sekitar Danau Toba. Dalam penelitian, masyarakat menyatakan bahwa danau adalah hak penuh masyarakat. Hal ini terbukti dari siapapun dapat mendirikan keramba, berapapun yang diinginkan selama memiliki modal. Berbeda dengan yang terjadi di Danau Tempe, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan,

masyarakat mengelola keramba jaring apung dengan menggunakan metode yang saling berhubungan antara aturan pemerintah dengan aturan


(17)

masyarakat sehingga danau kemudian menjadi lestari. Masyarakat di Danau Tempe memiliki hak untuk mengusahakan danau yang dikenal dengan hak ongko. Hak ongko adalah hak untuk memonopoli penangkapan ikan pada bagian-bagian tertentu dari danau, sungai, dan rawa dengan ketentuan yakni tidak menangkap ikan/mengeksploitasi pada kawasan yang telah disepakati.

Berdasarkan subjeknya hak ongko terbagi atas dua yakni hak ongko

arajang5 serta hak ongko milik pribadi. Pemanfaatan ongko adalah 100

meter dari tepi danau, pemberlakuan ini juga sama dengan aturan pemerintah mengenai lokasi perikanan yang wajib berada 100 meter dari tepi danau.Hak ongko arajang diberlakukan ketika air di danau surut dan pagar

bambu (belle’) yang sebelumnya dipasang setinggi 1,25 meter6 tampak di

permukaan danau. Sehingga, pada saat itu eksploitasi perikanan di Danau Tempe merupakan hak milik bersama, dan sebaliknya ketika belle’ tidak tampak disebabkan air danau pasang maka ekspoitasi danau adalah milik pribadi.

Seluruh kebersihan dan kelestarian danau dijaga oleh pemegang hak ongko pribadi. Apabila terjadi pelanggaran maka akan dikenakan denda sebesar seribu rupiah dan hukum kurungan 3 bulan. Hak ongko pribadi ditentukan melalui sebuah proses pelelangan sumber daya alam oleh

      

5

Hak ongko arajang adalah hak ongko yang bersifat milik bersama (commen property) pada masyarakat Sulawesi Selatan.


(18)

mekanisme pasar yang diakui oleh pemerintah setempat. Hasil dari

pelelangan ini kemudian meningkatkan pendapatan daerah7.

Pengelolaan danau pada basis kearifan lokal tidak hanya terdapat di Sulawesi, di bagian Sumatera Utara juga terdapat pengelolaan yang hampir mirip dengan ongko-ongko yakni lubuk larangan8. Lubuk larangan terdapat

Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Sumtera Utara.

Sistem pengelolaan sungai dengan lubuk larangan hampir sama dengan sasi9 di Maluku. Dalam konteks lubuk larangan di Mandailing Natal, larangan paling utama adalah mengambil ikan di bagian aliran sungai yang sudah ditetapkan sebagai lokasi lubuk larangan selama jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun. Dalam perkembangan kemudian, secara teknis pengelolaan lubuk larangan hampir sama dengan memelihara ikan di empang (tobat, Bhs Mandailing), karena itu lubuk larangan sering juga disebut

      

7

Saad, Sudirman. Puralisme Hukum dan Masalah Lingkungan, kasus Penangkapan Ikan di Danau Tempe, Sulawesi Selatan dalam buku Hukum dan kemajemukan budaya, Masinambow K. M Jakarta 2000, Yayasan Obor Indonesia.

8

Tradisi pengelolaan lubuk larangan adalah sebagian aliran sungai yang melintasi wilayah suatu desa yang sudah berlangsung di daerah Kabupaten Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan selama puluhan tahun, bahkan di beberapa tempat sudah berlangsung jauh sebelumnya meskipun polanya relatif berbeda dengan yang berlaku sekarang. Pola pengelolaan lubuk larangan sekarang diadaptasi oleh penduduk setempat dari tradisi pengelolaan lubuk larangan di wilayah tetangga mereka yaitu Kabupaten Pasaman (Sumatera Barat). Sebagian besar komunitas desa pengelola lubuk larangan di Mandailing Natal adalah orang Mandailing (Kotanopan dan Batang Natal) dan sisanya adalah orang Ulu (Kec. Muara Sipongi). (Lubis, Zulkifli, 1999 Rekayasa Modal Sosial Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam: Studi Kasus Pengelolaan Lubuk Larangan di Kecamatan Kotanopan Tapanuli Selatan. Laporan penelitian, tidak diterbitkan)

9

Ratna Indrawasih (2000:66) mengatakan bahwa secara umum sasi merupakan ketentuan hukum tentang larangan memasuki, mengambil atau melakukan sesuatu dalam suatu kawasan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu pula. Padanan kata sasi dalam Bahasa Mandailing adalah rarangan


(19)

penduduk sebagai tobat rarangan (kolam di dalam sungai) yang dimiliki bersama oleh suatu komunitas. Status penguasaan terhadap bagian aliran sungai yang ditetapkan menjadi lubuk larangan berubah dari sumberdaya akses bebas (open access) ke sumberdaya milik komunal (communally owned resources).

Lubuk larangan dikelola oleh suatu panitia yang dibentuk melalui musyawarah desa yang bertugas selama setahun sampai lubuk larangan dibuka. Tugas lain panitia adalah mengkoordinasikan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan pengelolaan, lubuk larangan, mulai dari saat penutupan lubuk, mengawasi pencurian ikan dan pelanggaran aturan, melakukan usaha pembiakan ikan, mengkoordinasikan pembuatan aturan main, menegakkan aturan main, menyiapkan festival pembukaan lubuk larangan, membukukan hasil dan menyalurkannya untuk tujuan yang telah ditetapkan, dan lain sebagainya.

Lubuk larangan dikelola dengan mengacu pada seperangkat nilai-nilai bersama, norma dan sanksi, serta aturan-aturan tertentu yang ditetapkan bersama melalui musyawarah desa. Acuan normatif berupa nilai, norma dan sanksi-sanksi biasanya dirujuk dari khasanah budaya (Mandailing dan Ulu) dan agama (Islam), sedangkan aturan main yang menyangkut teknis dikreasikan sendiri oleh setiap komunitas sesuai dengan kebutuhannya atau melalui imitasi dan penyesuaian dari aturan yang berlaku di komunitas lain. Meskipun keputusan untuk membuat aturan main dilakukan di tingkat komunitas (desa


(20)

pengelola), tetapi semua aturan berlaku kepada siapapun yang berinteraksi dengan lubuk larangan.

Aturan main yang ada, baik lisan maupun tertulis, biasanya terkait dengan tindak pencurian, tata tertib pelaksanaan festival pembukaan lubuk larangan, dan aturan pembagian serta pemanfaatan hasil pengelolaan. Proses penegakan aturan main dalam keseluruhan tahap pengelolaan lubuk larangan akan melibatkan berbagai komponen dalam masyarakat, baik panitia, aparatus desa, tokoh masyarakat dan toko agama, aparat pemerintah kecamatan (jika diperlukan), dan berada di bawah kontrol semua warga komunitas. Sanksi terhadap pelanggaran aturan main bisa berupa kewajiban membayar denda, sanksi sosial, dan sanksi hukum (negara).

Sanksi denda inilah yang dijadikan masyarakat Mandailing sebagai dana untuk mengatasi persoalan bersama yang mereka hadapi (persoalan publik) seperti, kesulitan keuangan untuk membangun atau membiayai lembaga pendidikan, kebutuhan membangun rumah ibadah, santunan untuk anak yatim dan fakir miskin, membangun jalan desa, sarana olah raga, organisasi kepemudaan, dsb. Yang terpenting adalah lubuk larangan di daerah ini menjadikan suatu kekuatan desa dalam mencapai kesejahteraan bersama tanpa mengabaikan kelestarian lingkungan.

Peningkatan pendapatan dan kelestarian lingkungan oleh usaha keramba jaring apung dengan memperhatikan aspek lingkungan tidak hanya dirasakan oleh masyarakat sekitar Danau Tempe, dan Mandailing Natal namun juga


(21)

dirasakan oleh masyarakat di Srilanka tepatnya di 3 wilayah yang tertata yakni: Polonnaruwa, Udawalawe, Nuwara Eliya. Keramba jaring apung dilokasi ini, memperhatikan aspek kelestarian lingkungan dan pemberian pakan berupa pellet yang berada dibawah instruksi ahli teknologi makanan. Sehingga, dampak-dampak yang ditimbulkan oleh keramba jaring apung ini dapat diminimalisir oleh petani ikan. Keramba jaring apung memberikan di lokasi ini memberikan manfaat seperti:

1. Budidaya keramba dapat menaikkan produksi ikan.

2. Efisiensi penggunaan sumberdaya karena penebaran, pemberian makan, dan pemanenan yang telah terorganisir dan dioptimalkan.

3. Budidaya keramba memerlukan modal yang relatif terjangkau karena memanfaatkan keberadaan air tawar.

4. Memberikan kesempatan kerja pada anggota masyarakat.

5. Para konsumen beruntung pula karena terjaminnya penyediaan ikan yang konstan bahkan bertambah serta;

6. Budidaya keramba dapat memberikan pendapatan yang lebih teratur kepada masyarakat.

Manfaat dari keberadaan keramba ini juga dirasakan oleh masyarakat di desa penelitian yakni Haranggaol, namun karena tidak adanya kejelasan pengelolaan oleh masyarakat membuat permasalahan semakin kompleks. Di satu sisi memang pencemaran yang disebabkan oleh keramba jaring apung memang sangat mengkwatirkan seperti degradasi kualitas air, iritasi kulit, gulma, enceng gondok semua menurunkan citra Danau Toba sebagai ikon Sumatera Utara. Di


(22)

sisi lain bahwa keramba merupakan mata pencaharian utama yang menopang kehidupan masyarakat sejak berkurangnya pariwista sehingga diperlukan penelitian, untuk membongkar pengetahuan masyarakat mengenai aturan-aturan dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya sehingga dapat dikombinasikan seperti yang terjadi di Danau Tempe antara pengelolaan menurut perspektif negara dan pengelolaan menurut masyarakat setempat. Mengapa? Karena mengingat bahwa Danau Toba adalah ikon Sumatera Utara yang selayaknya harus dijaga dan dilestarikan namun bukan hanya danau yang harus dilestarikan, dijaga dan diselamatkan, seluruh komponen yang terdapat di sekitar Danau Toba harus dilindungi (masyarakat dan penghidupannya). Mengingat ada 361 kepala keluarga yang menggantungkan kehidupannya pada keramba ikan di Desa Haranggaol, Kecamatan Haranggaol Horisan, Kabupaten Simalungun, akan menjadi sebuah ironi jika para stakeholders (pemangku kepentingan) hanya memikirkan kelestarian lingkungan tetapi mengabaikan hak-hak masyarakat setempat. Sehingga, penelitian ini akan bertujuan menggambarkan bagaimana aturan-aturan pengeolalaan keramba ikan jaring apung menurut perspektif masyarakat.

1.2 Tinjauan Pustaka

Berbicara mengenai aturan tidak terlepas dari hukum. Menurut para ahli hukum, hukum adalah aturan-aturan, norma-norma, dan asas-asas. Aturan adalah seperangkat ketetapan yang diperlukan agar ada efisiensi dalam usaha mengejar tujuan. Ahli hukum beranggapan bahwa tidak ada perbedaan antara apa yang terumus dalam hukum dengan institusi-institusi dan perilaku orang dalam


(23)

menyikapi aturan-aturan dan norma-norma tersebut (Ihromi 1998:1). Padahal keberhasilan hukum ditentukan oleh beroperasinya10 hukum dalam kehidupan

sehari-hari.

Sally Falk Moore (1993: 149-150) menyebutkan bahwa hukum dan konteks sosialnya haruslah diteliti secara bersamaan dengan menggunakan metode semi otonom11. Misalnya dalam kasus penelitian ini, aturan pengelolaan keramba jaring apung secara normatif belum tentu dijalankan oleh masyarakat Haranggaol. Hal ini bisa saja karena masyarakat telah menghasilkan aturan-aturan dan adat kebiasaan serta simbol-simbol yang berasal dari kegiatan sehari-hari dalam pengelolaan keramba jaring apungnya. Namun, di lain sisi aturan dan kebiasaan yang mereka lakukan rentan terhadap pihak luar yang mengelilinginya.

Pihak lain yang dapat merentankan posisi pengelolaan oleh masyarakat adalah hukum normatif pemerintah. Yang secara normatif kebijakan pemerintah untuk pengelolaan sumber daya alam telah diterbitkan melalui undang-undang. Bisa saja undang-undang yang dibuat oleh pemerintah tidak cukup efektif untuk memitigasi persoalan sehingga masyarakat kembali menggunakan aturan-aturan yang mereka hasilkan sendiri atau sebaliknya mengikuti aturan normatif.

Bidang semi otonom Sally Falk Moore menjadi penting untuk mempelajari hukum, Hoebel juga menyebutkan bahwa untuk dapat menempatkan hukum

      

10

Berlangsungnya/berjalannya hukum dalam kehidupan sehari-hari, pemberlakuan hukum dalam dunia empiris.

11

 Semi otonom merupakan suatu fakta bahwa bidang yang kecil dapat menghasilkan aturan-aturan dan adat-kebiasaan serta symbol-simbol yang berasal dri dalam, tetapi dilain pihak bidang tersebut rentan terhadap aturan-aturan dan keputusan-keputusan dan kekuatan-kekuatan lain yang berasal dari dunia luar yang mengelilinginya. 


(24)

dalam struktur sosial, maka lihatlah dahulu masyarakat dan kebudayaannya sebagai suatu keseluruhan. Namun, seringkali terjadi di Indonesia adalah ketidaksinergian aturan hukum normatif dengan apa yang diinginkan oleh penduduk lokal sehingga menyebabkan kegagalan program. Hal ini di ungkapkan oleh Robins 2004 dalam ekologi politik bahwa “seringkali persoalan lingkungan terjadi disebabkan oleh ketidaksinergian kebijakan pemerintah dengan peranan masyarakat dalam kepemilikan sumber daya alam yang ada”. Kegagalan ini adalah kurangnya peran aktif masyarakat dalam proses pembuatan hukum. Misalnya dalam UUD 1945 telah ditetapkan bagaimana seharusnya sumber daya alam dikelola, tiga hal yang menjadi fokus utama dalam undang-undang yakni:

1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan,

2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi mayarakat dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, serta

3. Negara memiliki hak menguasai atas segenap sumber daya alam demi mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, namun penerapan undang-undang ini belum tampak nyata dirasakan oleh masyarakat.

Pada masyarakat sekitar pesisir khususnya masyarakat nelayan yang hingga kini masih tergolong miskin dengan pendidikan yang sangat rendah, didominasi oleh tamatan SD sekitar 45%, dan 15% dari mereka paling tinggi lulusan SMP, selebihnya tidak bersekolah12. Artinya pengelolaan yang

ditetapkan oleh pemerintah masih bersifat sentralistik dan tidak memberikan

      

12

Berita resmi Statistik No.45/07/th, XII, 1 juli 2010. (http://www.bapemas.jatimprov.go.id// ) Diakses pada 3 maret 2014 pukul 2:51 PM.  


(25)

peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam menentukan format kebijaksanaan mengelola sumber daya alamnya.

Format kebijakan mengelola sumber daya alam menurut masyarakat sebenarnya perlu diimplementasikan. Pengimplementasian tersebut sebagai wujud dari pengakuan masyarakat lokal dalam UU No 22/1999 tentang otonomi daerah bahwa masyarakat lokal memiliki kekuasaan dan berhak memilih program-program yang sesuai untuk kelangsungan hidup masyarakat. Hal ini dikarenakan mereka lebih mengerti keadaan lingkungannya, jika demikian maka keberhasilan konservasi dan pengelolaan sumber daya alam secara normatif pun akan berlangsung dengan lancar.

Ketika terjadi interaksi hukum negara dengan hukum masyarakat dalam satu lapangan kajian yang sama disebutlah sebagai pluralism hukum (Benda-Beckmann dalam Masinambow 1990:2). Aturan masyarakat inilah yang dikaji dalam antropologi hukum. Menurut Benda Beckmann (1979, 1986) antropologi hukum mempelajari proses-proses sosial dimana pengaturan mengenai hak dan keawajiban warga diciptakan, diubah, dimanipulasi, diinterpretasikan dan diimplementasikan oleh masyarakat tersebut sehingga antropologi hukum merupakan sebagai perilaku sosial. Menurut Bohannan, antropologi hukum hendak memahami cara-cara masyarakat mempertahankan nilai-nilai yang di anutnya dan bagaimana terjadi perubahan nilai dalam masyarakat itu.


(26)

Naomi Quinn (1981:413-437) menyebutkan antropologi hukum menganalisis bagaimana aturan hukum beroperasi didalam kehidupan sosial atau bagaimana hukum lokal berinteraksi dengan hukum negara. Contoh keberhasilan interaksi hukum negara dan hukum lokal mengakibatkan kelestarian lingkungan dan kesinambungan kehidupan masyarakat adalah kasus penangkapan ikan di Danau Tempe, Sulawesi Selatan (Sudirman Saad dalam Hukum dan kemajemukan budaya). Pengakuan atas hak ongko oleh pemerintah menghasilkan suatu tatanan hukum baru yang terbukti menciptakan kedamaian dalam masyarakat. Kasus ini merupakan indikasi bahwa partisipasi rakyat dalam penentuan format kebijaksanaan relatif tinggi, meningkatkan pendapatan asli daerah dan peningkatan produksi ikan serta memperlihatkan bagaimana koeksistensi13 hukum negara dan hukum lokal saling menguntungkan semua

pihak.

Setiap daerah memiliki aturan-aturan tersendiri menurut budayanya karena mempunyai pengetahuan, harapan-harapan dan kepentingan-kepentingan yang berbeda terhadap sumber daya alamnya begitu juga dengan Danau Toba. Bagaimana masyarakat menanggapi persoalan yang ada di Danau Toba? Aturan seperti apa yang diberlakukan untuk keberlangsungan keramba? Adakah koeksistensi hukum seperti hak ongko yang terdapat di Sulawesi atau lubuk larangan Mandailing Natal? Dengan menggunakan analisis antropologi hukum diharapkan penelitian ini dapat mengungkapkan hal-hal terkait dengan aturan

      

13

Berdampingan dalam satu kajian yang sama. Dalam hal ini artinya hukum Negara dengan hukum Masyarakat, koeksistensi menimbulkan dua hasil yakni keharmonisan dan konflik.


(27)

hukum dalam pengelolaan keramba sebagai mata pencaharian hidup di Haranggaol.

1.3 Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah adalah berbagai aturan hukum dalam pengeolalaan keramba jaring apung di Desa Haranggaol, Kecamatan Haranggaol Horison, Kabupaten Simalungun. Bagaimana aturan hukum negara secara normatif dapat berkoeksistensi menghasilkan suatu kesinambungan bagi pengelolaan keramba jaring apung. Permasalahan dijabarkan kedalam beberapa pertanyaan penelitian yakni:

1. Bagaimana aturan-aturan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam perikanan?

2. Bagaimana aturan-aturan hukum dalam pengelolaan keramba jaring apung menurut masyarakat?

3. Aturan yang bagaimana semestinya dilakukan untuk keramba jaring apung?

1.4 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Haranggaol Kelurahan Haranggaol Kecamatan Haranggaol Horisan, Kabupaten Simalungun. Pemilihan Lokasi ini berdasarkan hasil pengamatan yang menunjukkan bahwa desa ini merupakan sentra terbesar pembudidayaan ikan dalam keramba jaring apung, terdapat 361 kepala keluarga yang memiliki keramba dengan jumlah sekitar 10.010 petak.


(28)

Lokasi ini dapat ditempuh sekitar 4-5 jam dari kota Medan dengan angkutan umum maupun kendaraan pribadi melalui Medan-Berastagi-Saribudolok-Haranggaol maupun melalui jalur Medan-Pematang Siantar dan kemudian Haranggaol dengan biaya Rp 50.000. Sarana jalan raya ketempat ini memang tidak begitu mulus, terdapat sejumlah titik jalanan yang berlubang. Berikut ini peta lokasi penelitian, Haranggaol ditandai dengan garis berwarna merah pada peta tersebut.

Sumber: Dokumen Kabupaten Simalungun

1.5 Tujuan dan Manfaat

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian yang akan dilakukan ialah untuk menggambarkan atau mengungkapkan berbagai aturan-aturan keramba ikan jaring apung dalam pengelolaannya di Desa Haranggaol dan bagaimana koeksistensi hukum normatif dengan hukum masyarakat sehingga menghasilkan suatu keselarasan atau kesinambungan dalam pengaturan keramba jaring apung.


(29)

Sedangkan manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan referensi bagi masyarakat dikalangan akademisi, mahasiswa, aktivis dan lain sebagainya, khususnya bagi mereka yang berlatarbelakang disiplin ilmu antropologi yang ingin mengkaji lebih dalam tentang Danau Toba terutama masalah keberadaan keramba dan pengelolaannya. Bagi peneliti sendiri, penelitian ini diharapkan menjadi sebuah sarana pengembangan diri untuk lebih paham akan ruang lingkup kajian antropologi.

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara-cara dan prosedur yang dilakukan untuk mengumpulkan data secara bertanggungjawab sesuai dengan masalah yang diteliti dan displin ilmu pengetahuan yang bersangkutan sehingga dalam ilmu Antropologi penelitian ini akan diarahkan menjadi penelitian kualitatif bersifat deskriptif, yaitu data akan menjelaskan atau menggambarkan makna serta proses-proses suatu fenomena atau gejala sosial suatu masyarakat yang diteliti (Koentjaraningrat, 1981 : 30) dengan tujuan akhir dari penelitian ini adalah etnografi.

Untuk mendeskripsikan secara rinci maka peneliti melakukan penelitian lapangan (field research) selama dua bulan. Selama dua bulan tersebut peneliti mencoba memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli mengenai pengelolaan keramba jaring apung. Jika kemudian ada data yang belum lengkap maka peneliti akan datang kembali guna melengkapi data tesebut. Penduduk asli tersebutlah yang menjadi kategori informan bagi peneliti, adapun


(30)

yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah penduduk sekitar Haranggaol dengan mata pencaharian keramba jaring apung. Petani keramba ini dibagi lagi menjadi dua kategori yakni;

1. Petani dengan jumlah keramba 20-100 lobang. Informan ini dianggap penting karena melalui mereka dapat diketahui bagaimana memperoleh izin mendirikan keramba sampai pada permodalan. 2. Anggota, yang dimaksud dengan anggota adalah mereka yang

mengelola ikan, bekerja profesional untuk pemilik keramba.

Jumlah dari informan sendiri tidak dibatasi selama orang/informan tersebut dapat memberikan informasi yang dibutuhkan.

1.6.1 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan berupa pengumpulan data primer yakni observasi partisipasi, wawancara, dan pengembangan raport terhadap informan. Peneliti juga melakukan pengumpulan data sekunder yakni pengumpulan data dari beberapa buku, jurnal, majalah, koran dan hasil penelitian para ahli lain yang berhubungan dengan masalah pengelolaan keramba, pembudidayaan ikan tawar dalam keramba jaring apung guna menambah pengertian dan wawasan peneliti demi kesempurnaan akhir penelitian ini. Maka dengan demikian peneliti melakukan 2 teknik pengumpulan data; primer dan skunder. Adapun data primer yang peneliti lakukan adalah sebagai berikut:


(31)

a. Observasi dan Observasi Partisipasi

Dalam metode observasi atau pengamatan, peneliti berada di tengah-tengah masyarakat (petani keramba) untuk melihat atau mengamati serta menuliskan hasil pengamatan yang diperoleh dalam sebuah catatan lapangan (fieldnote). Peneliti juga melakukan observasi partisipasi yakni ikut serta dalam proses-proses yang dilakukan masyarakat pada keramba seperti pemberian pakan ikan dan proses pemanenan ataupun pemeliharaan ikan dalam keramba.

b. Wawancara

Wawancara merupakan metode yang efektif untuk mengumpulkan data atau keterangan tentang kejadian yang tidak dapat diamati. Adapun yang akan ditanyakan kepada para informan adalah jenis dan bahan pangan, sistem pengelolaannya, jumlah pakan yang diberikan, proses pembuatan keramba, aturan-aturan yang berlaku yang harus ditaati untuk keberlangsungan keramba yang bersifat tertulis ataupun lisan (kearifan lokal). Teknik ini bertujuan untuk memperoleh data mengenai pendirian-pendirian masyarakat yang diteliti tentang rumusan masalah yang dikaji oleh peneliti (Singarimbun dan Effendi, 1984 : 145). Wawancara yang peneliti lakukan adalah wawancara mendalam (depth interview) dengan menggunakan pedoman wawancara serta instrument wawancara, untuk merekam dan mencatat hasil wawancara digunakan alat seperti tape recorder, buku tulis, pena dan alat tulis lainnya.


(32)

c. Pengembangan Raport

Peneliti berusaha membangun raport yang baik terhadap informan untuk mendapatkan data-data yang diperlukan dalam penelitian, serta untuk membuat informan menjadi lebih nyaman dan mudah terbuka atas jawaban-jawaban dari pertanyaan penelitian yang ditanyakan. Sebelumnya peneliti telah menjalin raport dengan informan yakni pada saat melakukan pra lapangan pada saat itu penduduk sekitar cukup ramah dan kooperatif saat melakukan wawancara awal, maka peneliti rasa tidak sulit saat melakukan penelitian.

1.6.2 Pengalaman Penelitian

Alasan saya mengambil judul ini karena menurut saya tema ini cukup menarik hati saya. Dimana beberapa literatur dari berbagai media elektronik menyebutkan terjadi mengalami kemunduran pariwisata di Danau Toba. Hal ini disebabkan oleh jenis usaha baru yakni keramba jaring apung. Cukup miris memang ketika berbicara objek pariwisata di Sumatera yang diagungkan adalah Danau Toba namun terus mengalami permasalahan lingkungan. Kemudian ketika mata kuliah ekologi kami belajar bagaimana alam di Sumatera khususnya Danau Toba dan permasalahan yang ada disana. Dari hasil pembelajaran tersebut, saya mendapat pemahaman Danau Toba tidak dikelola dengan baik sehingga diperlukan berbagai kebijakan untuk membenahinya.

Keramba jaring apung itu hanya satu penyebab dari permasalahan lingkungan, masih ada masalah limbah hotel, limbah rumah tangga, MCK sekitar


(33)

Danau Toba dan yang paling perlu diketahui bahwa air Danau Toba disuplay oleh 19 sungai. Sungai ini memiliki anak sungai yang dimanfaatkan untuk irigasi, sepanjang perjalanannya air sungai itu dimanfaatkan untuk hal yang sama. Jadilah permasalahan yang diakibatkan sisa pupuk pada tanaman menjadi lipat ganda.

Jadi jika ingin membenahi Danau Toba jangan melupakan berbagai daerah yang berkaitan dengan ekosistemnya kira-kira begitulah kesimpulan pelajaran hari itu. Tidak ada yang salah dari pernyataan tersebut. Danau Toba memang sama sekali tidak mendapat polesan. Keindahan alamnya seakan dianggurkan begitu saja. Pembangunan tidak dikelola secara baik, tidak pula diperhatikan secara konsisten dan tegas. Saya kemudian mencari berbagai literatur, mengapa Danau Toba menyusut peminatnya, beberapa literature menyebutkan keramba menjadi penyebab utamanya. Meskipun hasil pembelajaran saya menyebutkan, keramba hanya segintir permasalahan yang ada. Akan tetapi saya sependapat bahwa keramba menjadikan pemandangan indah Danau Toba terlihat kumuh.

Beberapa lokasi keramba yang dikelola oleh masyarakat, umumnya berada dipinggiran danau tanpa aturan yang jelas. Letaknya sembarangan, meskipun sudah ada aturan pemerintah yang menetapkan pendirian bangunan di sekitar danau, sungai, laut dan waduk adalah 100 meter dari bibir pantai tampaknya tidak terealisasi di Danau Toba bahkan mungkin di seluruh Indonesia. Perbedaan tampak jelas antara keramba milik warga dengan milik sebuah perusahaan asing yang letaknya teratur, rapi dan menjorok ketengah danau di wilayah Lottung, Samosir.


(34)

Perusahaan ini berdiri di wilayah Kabupaten Samosir, izin berdirinya sejak tahun 1998. Meskipun sama-sama memiliki limbah dari pembudidayaan ikan akan tetapi milik perusahaan lebih mudah dikontrol dan diawasi. Pengelolaannya juga wajib memiliki analisis dampak lingkungan, hal ini berbeda dengan milik warga yang letaknya tidak teratur dan semraut. Kesemrautan ini sangat terlihat jelas di Haranggaol. Sehingga saya menetapkan, Haranggaol sebagai lokasi penelitian ini. Penetapan lokasi ini sebagai fokus tempat juga didukung oleh dosen pembimbing saya saat itu.

Haranggaol adalah sebuah desa yang masuk kedalam wilayah administratif Kabupaten Simalungun. Sebelumnya, saya tidak pernah dari sini. Saya memanfaatkan bantuan teman saya dari facebook untuk mengumpulkan data awal saya. Ia bernama Saveraldo Saragih. Jadi ketika itu data yang diberikannya cukup membantu saya, sampai akhirnya saya langsung datang dan mengobservasi tempat ini. Masyarakat disini ramah, dan berpikiran terbuka. Bersolidaritas tinggi dan menjunjung nilai persaudaraan. Saveraldo memiliki nama panggil Eppo, Ayahnya cukup baik dan terpandang di desa ini. Beliau seorang pengusaha sebuah toko Muara Jaya. Dari tutur orang Batak, saya memanggil beliau dengan tulang14.

Ketika sampai, ia menyambut saya dengan hangat kemudian bertanya maksud dan tujuan saya. Saya menjelaskan bahwa saya ingin mengumpulkan data skripsi. “tenang ma ham ulang pola stress pakoni, sadarion pe boi do siap ta baen (tenanglah kamu, jangan stress karenanya, satu hari inipun bisanya selesai itu

       14 

Tulang merupakan sebutan untuk saudara laki‐laki dari ibu, pada orang batak sebutan tulang  adalah yang semarga dengan ibu. Ibu saya bermarga Sidabutar yang masuk kedalam klan besar  Raja Parna, di Simalungun Saragih adalah Parna. Sehingga Ayah Eppo saya sebut sebagai Tulang. 


(35)

kita buat). Sebenarnya saya kurang mengerti dengan tutur kata beliau, untuk menghargainya tersenyum dan mengucapkan terima kasih sepertinya adalah cara terbaik. Saat itu bahasa merupakan salah satu kendala bagi saya, meskipun saya orang Batak akan tetapi penggunaan bahasanya agak sedikit berbeda di desa ini. Hal ini disebabkan bahasa Simalungun merupakan bahasa yang digunakan di desa ini.

Esokan harinya tulang menelpon Kepala Desa, sesaat setelah ditelpon bapak Janes Sitanggang selaku Kepala Desa Kelurahan Haranggaol datang. Dan disampaikanlah tujuan dan maksud kehadiran saya. Dengan hangat beliau menyuruh saya langsung datang ke kantor mengambil data dan menyerahkan surat lapangan. Pagi pada 08 April 2014 saya ke kantor Kelurahan Haranggaol yang berbentuk seperti balai kesehatan. Terdapat beberapa ruangan berbentuk persegi. Disebuah ruangan dekat koridor saya dipersilahkan petugas untuk masuk. Namun kepala desa tidak ada, beliau sedang meminum kopi pagi itu. Jadi saya berbincang dengan seorang pegawai bernama ibu Purba yang ternyata adalah Isteri dari kepala desa.

Ibu Purba langsung menyuruh saya untuk melihat sebuah papan statistik wilayah dan peta Haranggaol. Beliau sedang disibukkan mengobrol dengan sesama pegawai. Ada 3 orang yang terdapat di ruangan tersebut. Karena suasana tidak kondusif saya meminta izin, setelah mencatat data kependudukan. Setelahnya saya bertemu dengan bapak Janes disebuah warung kopi sebelah kantor kelurahan. Beliau yang melihat saya langsung mengajak saya kembali kekantor. Dan saat itu kami berbincang mengenai keramba jaring apung.


(36)

Beliau sangat membantu saya menemukan data awal seperti sejarah dan perkembangan keramba, kemudian beliau menyarankan saya menemui beberapa orang petani keramba yang sudah lama berkecimpung didunia budidaya perikanan ini. Beliau juga langsung memberikan nomor handphone orang-orang tersebut. Kemudian saya kembali kerumah bang Eppo dan menanyakan orang-orang tersebut. Iapun tertawa dan mengatakan bagaimana masih takut sama orang Haranggaol (sambil tersenyum)?

Awalnya saya takut dengan cerita bahwa orang Haranggaol yang bermayoritas suku Simalungun adalah Pardatu Bolon15. Menurut ceritanya bahwa siapapun orang dengan niat tidak baik akan di busung16 jika ke daerah ini. Hal ini sempat saya tanyakan kepada bang Eppo yang menanggapi saya dengan tertawa sambil berkata “Simalungun abad ke berapa itu nang”. Yah akhirnya pandangan streotipe tentang orang Simalungun terpatahkan setelah penelitian lapangan saya ke desa ini. Setelah pulang dari kantor kepala desa, saya meminta izin berkeliling desa kepada Tulang Eppo. Belian pun kemudian mengizinkan saya bahkan menyuruh Eppo menghantar, saya cukup tahu bahwa Eppo memiliki pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan sehingga saya menolak.

Dengan membawa kamera saya berkeliling desa, sambil menikmati teriknya suasana hari itu. Desa Haranggaol memiliki keterikatan marga secara geneologis territorial paling tidak mereka terikat secara garis klan besar

      

15

Orang yang suka berdukun, dan menyebarkan penyakit melalui ilmu mistik.

16

Diberikan penyakit oleh kekuatan gaib. Orang yang dibusung biasanya perutnya akan membesar dan keras kemudian akan mati. Orang yang dibusung adalah orang yang berkonflik dengan orang yang memberikan busung. Konflik ini seperti kasus pencurian dan pemberitaan yang tidak benar (fitnah) kepada pihak lawan.


(37)

Saragih17. Jadi kesolidaritasan di Desa Haranggaol ini terbangun oleh tali

persaudaraan. Jika tidak bermarga Saragih, bermarga Purba yang memiliki isteri boru Saragih. Atau ibu dari marga Purba tadi adalah boru Saragih.

Esokan harinya saya dihantarkan bang Eppo ke rumah seorang petani ikan bermarga Saragih, memang hampir 50% masyarakat di Haranggaol bermarga Saragih. Ia bernama Toja Saragih. Sekitar 4 tahun lalu ia mendirikan keramba milik sendiri, sebelumnya ia mengurus keramba ayahnya. Setelah ayahnya meninggal, beliau kemudian melanjutkan usahanya. Tulang Toja, sangat ramah dan terbuka terhadap pertanyaan-pertanyaan saya.

Pada suatu hari, setelah beberapa minggu mencari data terjadi sebuah kesalah pahaman diantara kami tepatnya dengan isteri tulang Toja. Saat itu isteri tulang Toja yang bekerja sebagai Bidan ikut kekolam dan sedang duduk di sopo. Di depan sopo terdapat sebuah meja dan beberapa kursi, saya meletakan catatan yang berisi outline, daftar wawancara, penulisan yang akan saya lakukan dan beberapa hal lain untuk kelanjutan skripsi ini. Nantulang (sebutan untuk isteri tulang) membacanya dan muncullah sensitifitas terhadap saya. Namun ia tidak langsung menyatakannya kepada saya. Saya sedang asik merekam dan bercerita dengan tulang di kolam, sehingga tidak menghiraukan catatan tersebut.

      

17

Di simalungun terdapat 4 marga yang disingkat dengan sebutan SiSaDapur (Sinaga, Saragih, Damanik, Purba). marga-marga lain yang ada diwilayah Simalungun adalah marga pendatang. Seperti marga Toba dan Karo.


(38)

Keesokan harinya, tulang Toja secara halus tidak bersedia saya wawancarai. Saya tidak ambil pusing dan mencari informan lain. Dua hari kemudian keadaan sama, tulang Toja masih tidak ingin saya wawancarai. Sampai akhirnya, saya pergi ke kolam mereka bersama dengan bang Eppo dengan menumpang kapal milik tulang Gerhad Saragih. Sebelum ke kolam tulang Toja kami singgah ke kolam tulang Gerhad dan ikut memberi makan ikan. Setelahnya kami diantar anggota tulang Gerhad ke kolam tulang Toja. Beliau sedikit menunjukan ekspresi terkejut dan tidak suka.

Secara spontan, nantulang yang saat itu berada di kolam berkata “udahlah dek, sebaiknya kamu jangan melanjutkan skripsimu kalau hanya untuk merusak pendapatan kami”. Saya cukup terkejut mendengarnya dan memberanikan bertanya perihal pernyataan tersebut. Beliaupun menceritakan mengenai catatan yang dibacanya, bang Eppo yang mendengarkan penjelasan tersebut tidak dapat berkata apapun. Namun dengan sigap, ia memberikan saya kesempatan untuk menjelaskan tujuan akhir penulisan ini.

Saya menjelaskan bahwa penulisan ini hanya ingin mengetahui pengelolaan keramba jaring apung yang dilakukan masyarakat. saya sampai memberikan salinan surat izin penelitian dari fakultas (surat ini saya bawa dalam catatan) untuk menyakinkan bahkan saya juga memberikan proposal rancangan penelitian yang telah diseminarkan dan berjanji tidak akan merusak mata pencaharian masyarakat Haranggaol. Beliau yang masih belum percaya kemudian memberikan hak penuh kepada suaminya. Apakah masih ingin diwawancara atau tidak. Tulang yang mengerti rasa takut saya kemudian berkata “ketakutanmu


(39)

berlebihan, tidak mungkin panogolan18 ini membuat yang tidak baik untuk

masyarakat disini”. Meskipun tulang juga masih ragu, akan tetapi tampaknya ia memberikan saya kesempatan untuk menyelesaikan penulisan ini.

Setelah beliau yakin kepada saya, wawancara kami semakin intens dan beliau sering mengenalkan saya kepada rekan-rekannya sesama pengusaha ikan. Mulai dari pengusaha dengan 5 unit sampai 50 unit. Ada tulang Makdin, tulang Gerhard Saragih, Sihite (merupakan anggota tulang Toja) dan beberapa informan lain yang mereka ingin disebut namanya. Dan saya menghormatinya.

Biasanya kami mengobrol setelah memberikan makan ikan, karena petani di Haranggaol memiliki kebiasaan “ngumpul” seusai memantau ikan. Tempat berkumpulnya tidak jauh dari rumah bang Eppo, tepat disebelah rumahnya. Saya membuat wawancara dengan para petani tidak begitu formal, bahkan tanpa mereka sadari saya seringkali mencari informasi dengan mengobrol ringan (ini disarankan oleh pembimbing sebelum ke lapangan). Saya melakukan semacam focus group discussion (FGD) dengan petani ikan di warung dengan tema kesadaran mereka terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi karena keramba. Mereka sebenarnya sadar, akan tetapi mereka tidak punya pilihan. Sudah cukup lama dan terlanjur mendirikan keramba dengan modal mencapai 30jutaan untuk mendirikan bangunan keramba belum termasuk modal untuk benih ikan. Memang modal tersebut sudah kembali saat ini, akan tetapi jika diberhentikan maka Haranggaol akan kembali lumpuh seperti setelah terjadi hama pertanian.

      

18

Dalam bahasa Toba Panogolan adalah Bere. Yang artinya adalah anak dari sodara perempuan dari pihak laki-laki.


(40)

Usaha keramba jaring apung ini dijadikan masyarakat sebagai suatu mata pencaharian yang mampu melipat gandakan pendapatan. Pasalnya sekali panen petani meraup keuntungan lima juta rupiah perlobang kolam. Jika seorang petani memiliki 10 lobang maka sekali panen ia mendapat keuntungan mencapai 50 juta rupiah. Dan banyak penyebab yang menjadikan mereka sulit di berikan pemahaman, pendapatan membutakan mereka dan ketidak percayaan mereka terhadap pemerintah yang hanya menjanjikan tanpa pembuktian membuat usaha keramba jaring apung terus tumbuh pesat di Haranggaol.

Selain pemerintah yang menurut masyarakat hanya mengumbar janji, mereka juga memiliki kekuatan yang bernama solidaritas. Solidaritas ini dibangun berdasarkan genealogis. Dimana semua penduduk memiliki hubungan darah dan sistem kekerabatan. Sehingga sosialisasi yang bagaimanapun akan sulit ketika menyangkut keramba. Sama seperti pertama kali para informan yang menaruh rasa curiga kepada peneliti.

Janji yang dilontarkan pemerintah menjadi janji manis yang berubah getir dalam kehidupan mereka. Pesan mereka kepada saya saat penelitian ini usai adalah tetaplah menjadi rendah hati, jangan sombong dan jangan lupa ketika sudah menjadi sukses. Pesan yang paling penting dan harapan para informan adalah jangan merusak ketenangan yang sudah tercipta di Desa Haranggaol dengan menuliskan yang tidak baik, tulislah apa adanya dan sebagaimana mestinya.


(41)

Pemerintah yang menginginkan danau milik masyarakat Haranggaol ini kembali seperti semula perlu tindakan ekstra. Diperlukan penelitian yang berkelanjutan, dan tindakan nyata untuk merealisasikan Haranggaol sebagai destinasi wisata. Jadi jika ingin melakukan kesadaran dan pemahaman kepada para petani, belajarlah bagaimana pengelolaan yang mereka lakukan. Pelajari bagaimana kebudayaan mereka. Sehingga usaha untuk melestarikan Danau Toba sebagai ikon Sumatera Utara tercapai. Haranggaol yang memang indah dengan tumpukan keramba banyak mengajarkan saya tentang kekuatan hukum masyarakat bernama unnamed low. Sehingga koeksistensi sangat diperlukan untuk keberlanjutan mata pencaharian keramba jaring apung ini.

1.6.3 Analisi Data

Setelah melakukan semua teknik penelitian dan menemukan data maka peneliti akan melakukan analisis data. Data yang telah ditemukan dari lapangan akan dikelompokkan ke dalam kategori-kategori yakni sejarah perkembangan keramba, pengelolaan serta aturan-aturan yang dijalankan untuk proses keberlangsungan keramba dan mencari hubungan-hubungan data tersebut. Sehingga, pada saat melakukan penulisan akhir akan mudah menyimpulkan bagaimana seharusnya proses terbaik untuk matapencarian ini.


(42)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1 Gambaran Umum Desa Haranggaol

Secara Administratif Desa Haranggaol termasuk dalam wilayah Kelurahan Haranggaol kecamatan Haranggaol Horisan Kabupaten Simalungun. Luas desa ini mencapai 1.493,8 Ha. Batas-batas wilayah Desa Haranggaol terdiri dari:

1. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Bandar Saribu 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Danau Toba 3. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Siboro 4. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Tangga Batu

Selain Desa Haranggaol, Kelurahan Haranggaol terdiri dari beberapa desa lainnya yaitu Desa Sigunggung, Desa Tangga Batu, Desa Siboro, Desa Bandar Saribu, Desa Purba Saribu, Desa Mariah Purba. Letak astronomi Desa Haranggaol secara umum terletak pada 2°48´46´´-2°52´31´´LU dan 98° 35´ 51´´-94° 45´ 11´´ BT. Berada pada ketinggian 751-1400 meter diatas permukaan laut dengan rata-rata suhunya adalah 28-39°. Keadaan iklimnya adalah beriklim dingin.

Desa Haranggaol merupakan sebuah kota Kecamatan Haranggaol Horisan. Desa ini berjarak 30 Km dari ibu kota kabupatennya yakni kota Raya. Keadaan


(43)

alam Haranggaol di kelilingi hamparan pegunungan, sebelah selatannya berbatasan langsung dengan luasnya Danau Toba. Sementara kontruksi tanahnya Desa Haranggaol adalah berbatu-batuan.

Sepanjang perjalan menuju Haranggaol, pemandangan yang tersaji adalah kosongnya lahan pertanian sehingga tampak gersang. Memang ada beberapa lahan pertanian yang ditanami dengan tomat , akan tetapi tomat-tomat ini seperti hidup segan mati tak mau dan dibiarkan begitu saja. Tampak pula beberapa pohon mangga di pinggir jalan yang kasusnya juga sama seperti tomat. Buah-buah kecil yang belum matang berjatuhan di jalanan, buah-buah itu masih mentah namun sudah berjatuhan sehingga tidak menghasilkan.

Memasuki wilayah perkampungan, dapat dilihat perumahan yang bertingkat dengan bangunan batu berderet membelakangi Danau Toba. Tidak tampak seperti wilayah pedesaan Batak yang terkenal dengan rumah-rumah panggung. Memang hampir seluruh perumahan Batak sudah berubah menjadi perumahan yang lazim dilihat diperkotaan.

Haranggaol memiliki sebuah pasar tradisional bernama Tiga Langgiung yang artinya pasar di tepi danau, karena lokasinya yang berdekatan dengan danau. Dahulu pasar dibuka dua kali seminggu setiap senin dan kamis. Sekarang, pasar tradisional ini dibuka sekali seminggu yakni setiap senin. Menurut warga hal ini disebabkan tidak adanya hasil pertanian seperti waktu dulu ditambah merosotnya pariwisata.


(44)

Dahulu Haranggaol merupakan daerah tujuan wisata yang cukup dihandalkan oleh Kabupaten Simalungun. Terdapat beberapa objek wisata di tempat ini yakni pantai Sigunggung, pantai Sigumba. Dekat dengan pantai-pantai ini terdapat fasilitas penginapan. Akan tetapi penginapan ini sepertinya mati suri saat ini, tidak ada wisatawan yang berkunjung bahkan karena tidak adanya pengunjung yang menginap menyebabkan para pengusaha hotel ini beralih mata pencaharian menjadi petani keramba (Skripsi Keristina Ginting, Peralihan Mata Pencaharian Masyarakat dari sektor pariwisata ke sektor perikanan, Sosiologi USU, 2009).

Kini pemandangan yang terlihat setiap hari di Haranggaol adalah lalu lalangnya mobil pengangkut ikan hasil panen dan pengangkut bibit. Pada malam hari, hasil panen akan dibawa ke kota sedangkan pagi hari mobil pickup pengangkut bibit sampai dari berbagai tempat seperti Rantau Parapat, Padang, Palembang, Jawa dan lainnya. Namun ketika ruas kanan dan kiri berpapasan pickup penganggkut ikan, maka salah satu mobil harus mengalah dan menyudutkan mobilnya hampir mendekati jurang. Hal ini terjadi karena jalan di desa ini tidak cukup untuk dilalui oleh dua mobil sekaligus.

2.2 Sejarah Desa Haranggaol

Desa Haranggaol adalah sebuah desa yang terletak di Kelurahan Haranggaol, Kecamatan Haranggaol Horisan, Kabupaten Simalungun. Dulunya Desa Haranggaol bernama Desa Tiga Linggiung yang artinya adalah pasar di pesisir pantai danau yang menjual berbagai jenis hasil pertanian dari desa sekitar


(45)

Danau Toba. Pada tahun 1960 nama desa ini diubah menjadi Desa Haranggaol. Jika dipisahkan dari suku katanya Harang artinya ladang sedangkan Gaol artinya pisang, maka secara harfiah Haranggaol merupakan ladang pisang.

Pada tahun tersebut masyarakat Desa Linggiung yang telah diubah menjadi Desa Haranggaol mayoritasnya adalah petani pisang. Pada saat itu juga, pisang dari tempat ini terkenal di Simalungun sehingga perpindahan nama tersebut sangat tepat. Seiring pertumbuhan penduduk pada tahun 1974 Desa Haranggaol diubah menjadi Kelurahan Haranggaol. Mulanya kantor kelurahan terletak di pinggir danau, namun pada tahun 1985 kantor terhempas ombak sehingga hampir seluruh bangunan rusak parah. Kemudian kantor ini dipindah ke balai desa yang berada tidak jauh dari kantor sebelumnya. Sehingga sampai saat ini kantor kelurahan ini masih berbentuk kantor balai desa.

Penduduk asli Haranggaol adalah suku Simalungun ditambah dengan pendatang seperti suku Toba, Karo dan Jawa serta Padang. Hingga saat ini Desa Haranggaol bermayoritas suku Simalungun dengan bahasa Simalungun. Masyarakat Haranggaol hidup rukun dan saling berdampingan.

2.3 Bahasa

Bahasa merupakan sarana dalam melakukan pergaulan manusia dalam komunikasinya. Itulah sebabnya bahasa merupakan satu unsur penting dalam kebudayaan. Indonesia yang memiliki keberagaman budaya dipersatukan dengan bahasa nasional yakni bahasa Indonesia. Meskipun demikian di pelosok-pelosok


(46)

tanah air masih banyak suku bangsa yang masih menggunakan bahasa daerahnya sebagai alat komunikasi.

Begitupula yang terdapat di daerah penelitian ini, bahasa yang sering dipergunakan adalah bahasa Simalungun. Hal ini disebabkan mayoritas penduduk di desa ini adalah suku bangsa Simalungun. Memang ada suku lain seperti Batak Toba, Karo, Jawa dan Padang. Namun, mereka juga menggunakan bahasa Simalungun pada saat bertemu dengan orang Batak. Suku bangsa pendatang ini beradaptasi dengan baik sehingga terjadi akulturasi19. Akan tetapi para pendatang ini juga tidak menghilangkan kebudayaan aslinya. Seperti saat berkomunikasi dengan warga dari suku yang sama, mereka akan menggunakan bahasa daerah mereka. Penggunaan bahasa Simalungun juga berdasarkan konteks, misalnya saat berbicara dengan orang yang lebih tua menggunakan kata “nasiam/ham” dan menghindari kata “ambia” karena dianggap tidak sopan. Kata ambia digunakan untuk tutur sebaya.

Penyebutan masyarakat untuk keramba jaring apung adalah kolam atau beberapa informan juga menyebutkannya dengan sebutan tambak. Sehingga ketika peneliti dalam tulisannya menyebutkan kolam berarti yang di maksud adalah keramba jaring apung.

      

19

Akulturasi adalah penyatuan dua kebudayaan atau lebih tanpa menghilangkan kebudayaan aslinya.


(47)

2.4 Pola Permukiman Penduduk dan Pemanfataan Ruang

Pola permukiman menunjukan tempat bermukim manusia dan bertempat tinggal menetap serta melakukan kegiatan atau aktivitasnya sehari-harinya. Permukiman dapat diartikan sebagai suatu daerah dimana penduduk terkonsentrasi dan hidup bersama menggunakan lingkungan setempat untuk mempertahankan, melangsungkan dan mengembangkan hidupnya. Begitu pula dengan desa Haranggaol telah mengalami beberapa kali perubahan permukiman untuk mempertahankan, mengembangkan serta melangsungkan kehidupannya.

Persebaran bentuk permukiman pada desa ini berada di sekitar pinggiran Danau Toba. Bentuk rumah yang membelakangi danau dan saling berhadapan dengan rumah lainnya. Adapula rumah yang membelakangi pegunungan seperti disekitar jalan Siboro, Desa Haranggaol jalan besar. Rumah-rumah tersebut membelakangi perbukitan dan berhadapan dengan Tiga.

Menurut informasi yang peneliti kumpulkan di lapangan, kondisi rumah pada sekitar 1974-an berupa rumah bara20. Kemudian pada tahun 1990-an bentuk rumah berganti menjadi rumah semi permanen hingga saat ini sudah menjadi rumah batu permanen bertingkat. Perubahan bentuk rumah ini disebabkan oleh perkembangan zaman dan kemajuan teknologi. Anak-anak penduduk yang mengadu nasib di kota kemudian membenahi rumahnya seperti bentuk-bentuk rumah di kota. Dan banyak diantara penduduk yang merubah rumahnya

      

20 Rumah bara adalah rumah panggung khas batak yang memiliki panggung, sehingga bagian


(48)

disebabkan pendapatan dari sektor perikanan dalam keramba jaring apung di danau.

Pendapatan dari sektor jaring apung juga mengambil alih dalam perubahan yang terjadi di Haranggaol. Menurut beberapa informan ketika bertani, berdagang dan berpariwisata, pendapatan mereka hanya cukup untuk sekolah anak, dan kebutuhan sehari-hari. Hingga kemudian saat beralih pada mata pencaharian keramba jaring apung mereka mendapat keuntungan yang besar dan mulai bisa membangun perumahan, membeli kendaraan dan menambah aset lain.

Saat ini, seluruh rumah di Desa Haranggaol telah memakai jasa perusahaan listrik Negara (PLN). Untuk mendapatkan air dahulu masyarakat langsung memanfaatkan air sekitar danau. Namun, saat ini masyarakat tidak perlu kesusahan untuk mendapatkan air bersih tersebut. Sebab, di kelurahan ini telah memiliki sarana air bersih yang dikelola oleh PAM dan di aliri kerumah-rumah penduduk.

Dahulu penduduk desa ini memanfaatkan lahan perbukitan sebagai pertanian bawang dan pisang serta mangga. Hingga pada tahun 2000-an pemanfaatan lahan berkurang hampir 70%. Penurunan ini terjadi setelah serangan hama pada tanaman pertanian. Saat ini pemanfaatan ruang di Desa Haranggaol adalah memanfaatkan Danau Toba menjadi sentra perikanan ikan nila.


(49)

Desa Haranggaol ini merupakan sebuah perkampungan yang bersifat geneologis territorial21. Selain dihuni oleh suku Simalungun, Haranggaol dihuni oleh penduduk pendatang seperti suku Batak Toba, Karo, Jawa, Padang. Dengan demikian mayoritas suku di Haranggaol ini adalah suku Batak Simalungun dengan Marga Saragih, Sinaga , Purba dan sedikit bermarga Silalahi, Aritonang, Sirait, Nainggolan dan lain-lain.

2.5 Sarana Jalan dan Angkutan

Sarana jalan yang terdapat di daerah penelitian berada dalam kondisi yang kurang baik. Hal ini dirasakan oleh peneliti berserta penumpang lain yang menuju Desa Haranggaol ini, misalnya sepanjang jalan simpang Haranggaol menuju Haranggaol. Pada lokasi ini terdapat sejumlah lubang aspal yang membahayakan pengendara. Itulah sebabnya para pengendara diharuskan berhati-hati jika melewati lokasi ini. Namun demikian Desa Haranggaol telah memiliki jalan yang menghubungkan satu kelurahan ke kelurahan lain, satu desa menuju desa lain, bahkan dari desa menuju kota.

Sarana transportasi yang digunakan ke Haranggaol adalah angkutan umum berupa bis dengan merek angkutan CV. Sinar Sepadan trayek Saribu dolok-Haranggaol. Mobil tersebut digunakan untuk mengangkut penumpang menuju ke Kaban Jahe. Jadi penumpang dengan tujuan ke Haranggaol hanya sampai di simpang Haranggaol, harus melanjutkan perjalanan dengan angkutan sepadan

       21


(50)

yang berangkat setiap 30 menit sampai 1 jam sekali atau paling tidak, sampai angkutan tersebut penuh.

Alternatif lain menuju Haranggaol adalah menggunakan taksi milik warga sekitar yang dapat dihubungi langsung. Taksi ini mengantarkan penumpang sampai tujuan dengan tarif Rp 40.000. Sedangkan transportasi yang digunakan untuk mengangkut hasil ternak ikan, masyarakat menggunakan mobil truk berupa colt diesel dan mobil pick-up kecil lainnya. Transportasi lainnya adalah kendaraan pribadi penduduk sekitar seperti sepeda motor.

Transportasi yang tidak kalah penting untuk penduduk Haranggaol adalah kapal bermotor. Kapal ini digunakan untuk mengangkut keperluan kolam seperti pakan, bibit dan hasil panen serta keperluan lainnya. Sebenarnya kapal bermotor ini adalah angkutan wajib yang harus dimiliki para petani, akan tetapi tidak semua memiliki kapal bermotor namun paling tidak mereka memiliki sampan.

2.6 Sarana Kesehatan

Desa Haranggaol memang tidak memiliki rumah sakit, namun terdapat sebuah puskesmas dan sebuah balai kesehatan desa yang dipergunakan untuk imunisasi setiap bulannya bagi balita dan konsultasi bagi para ibu hamil. Tingkat kesadaran masyarakat terhadap kesehatan cukup baik, dibuktikan ketika masyarakat sakit mereka akan mengunjungi para ahli kesehatan (Bidan) terdekat untuk diperiksa dan mendapatkan penangan berupa obat. Untuk memudahkan


(51)

melihat jumlah sarana kesehatan yang terdapat di Kelurahan Haranggaol dapat dilihat melalui tabel berikut ini:

Tabel 1 Sarana kesehatan

No Sarana Kesehatan Jumlah

1 Puskesmas 1

2 Polindes 3

3 Balai Pengobatan 2

Jumlah 6

Sumber: Kantor Kelurahan Haranggaol 2014

2.7 Sarana Pendidikan

Daerah Kelurahan Haranggaol memiliki sarana pendidikan berupa gedung sekolah. Gedung sekolah tersebut adalah 1 gedung taman kanak-kanak, 4 gedung sekolah dasar yakni: SDN 1 Haranggaol, SDN 2 Haranggaol, SDN Purba Saribu, SD Inpres Tangga Batu dan 2 gedung sekolah menengah pertama yaitu SMP GKPS Haranggaol dan SMP Santo Agustinus Haranggaol. Sementara untuk sekolah menengah atas masyarakat harus sekolah di luar Haranggaol, umumnya para orangtua memilih menyekolahkan anaknya di kota seperti Saribudolok, Siantar dan Medan.


(52)

Sarana pendidikan ini diharapkan dapat membangun motivasi bagi masyarakat sekitar Haranggaol mengenai pentingnya pendidikan pada usia dini. Sehingga, dapat memperbaiki sumber daya manusia di desa ini. untuk memudahkan dalam melihat jumlah gedung sekolah sekolah di kelurahan Haranggaol maka dapat dilihat melalui tabel berikut ini:

Tabel 2

Sarana Pendidikan di Kelurahan Haranggaol

No Jenis Sekolah Nama dan Tempat sekolah Jumlah

1 Taman Kanak-kanak TK Santo Fransiskus jalan Besar Haranggaol 1

2 Sekolah Dasar

1. Sekolah Dasar Negeri 1 Haranggaol 2. Sekolah Dasar Negeri 2 Haranggaol

3. Sekolah Negeri Purba Saribu 4. Sekolah Inpres Tangga Batu

4

3 Sekolah Menengah

Pertama

1. Sekolah Menengah Pertama GKPS Haranggaol

2. Sekolah Menengah Pertama Santo Agustinus Haranggaol

2

Jumlah 7

Sumber: Kantor Kelurahan Haranggaol 2014

2.8 Keadaan Penduduk

Keadaan penduduk Haranggaol cukup beragam dengan tingkat pendapatan yang cukup tinggi. Di desa ini rata-rata masyarakatnya bertaraf kehidupan menengah ke atas. Di desa ini bangunannya berbentuk permanen dengan rumah bertingkat dengan fasilitas lengkap bahkan seluruh penduduknya memiliki


(53)

kendaraan bermotor. Taraf kehidupan ini dikarenakan mata pencaharian keramba, karena sebelumnya masyarakat hanya mampu menghidupi kebutuhan sehari-harinya tanpa memikir kebutuhan tersier. Meskipun beberapa dari penduduk bermata pencaharian sebagai pegawai negeri sipil tetapi mereka tetap menggantungkan kehidupannya dari keramba. Untuk lebih mengetahui bagaimana keadaan penduduk di Desa Haranggaol akan penulis akan uraikan secara rinci dalam sub judul berikut:

2.8.1 Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk Kelurahan Haranggaol dalam data statistik tahun 2014 yang diperoleh dari kantor Kelurahan Haranggaol adalah 916 kepala keluarga dengan jumlah penduduk 3202 jiwa. Dengan berjenis kelamin laki-laki berjumlah 1402 dan perempuan berjumlah 1800. Jumlah penduduk pada masyarakat Kelurahan Haranggaol tersebar dalam 11RT. Untuk lebih jelasnya mengenai penyebaran penduduk pada masyarakat kelurahan Haranggaol dapat di lihat pada tabel berikut:


(54)

Penyebaran Jumlah Penduduk berdasarkan RT di Kelurahan Haranggaol

No Nama RT Nama Dusun Jumlah Jiwa

1 RT I Dusun Sigunggung 538

2 RT II Dusun Tangga Batu 474

3 RT III Dusun Siboro 378

4 RT IV Dusun Haranggaol 346

5 RT V Dusun Haranggaol 282

6 RT VI Dusun Haranggaol 250

7 RT VII Dusun Bandar Saribu 218

8 RT VIII Dusun Bandar Saribu 190

9 RT IX Dusun Purba Saribu 182

10 RT X Dusun Purba Saribu 178

11 RT XI Dusun Mariah Purba 166

Jumlah 3202

Sumber: Kantor Kelurahan Haranggaol 2014

Berdasarkan tabel tersebut , jumlah penduduk di desa Haranggaol yakni RT IV sampai RT VI pada tahun 2014 terdapat 878 jiwa. Jumlah tersebut tersebar


(55)

di tiga wilayah lingkungan dengan 227 KK. Keterangan lebih jelas dapat di lihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 4 Jumlah Penduduk

Dusun Haranggaol Jumlah Jiwa Jumlah KK

I 346 110

II 282 57

III 250 60

Jumlah 878 227

Sumber: Data Statistik Desa Haranggaol 2014

2.8.2 Kompsisi Penduduk

Komposisi penduduk di Desa Haranggaol, Kecamatan Haranggaol Horisan dapat dikelompokkan berdasarkan agama, mata pencaharian dan pendidikan.

2.8.2.1 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama

Masyarakat Kelurahan Haranggaol mayoritas beragama Kristen Protestan, ini disebabkan karena mayoritas suku di daerah ini Simalungun dan Toba. Dimana diketahui bahwa umumnya suku yang bersuku Batak beragama Kristen, begitu


(56)

pula di Haranggaol ini. Agama Kristen ini kemudian dikategorikan lagi menjadi Protestan dan Katolik. Namun selain kedua agama ini terdapat pula agama Islam yang di anut oleh suku Jawa dan Padang. Untuk lebih jelasnya komposisi penduduk pada masyarakat kelurahan Haranggaol dapat di lihat pada tabel berikut:

Tabel 5

Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama

No Agama Jumlah Persentase

1 Kristen Protestan 615 70%

2 Katolik 246 28%

3 Islam 17 2%

4 Budha - -

5 Hindu - -

Sumber: Kantor Kelurahan Haranggaol 2014

2.8.2.2 Komposisi Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian

Ada beberapa jenis mata pencaharian yang digeluti oleh masyarakat Haranggaol seperti petani, perikanan dalam Keramba Jaring Apung (KJA), pedagang, wiraswasta (pemilik Hotel, Penginapan) dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Untuk mata pencaharian perikanan belum tercatat sebagai jenis mata


(57)

pencaharian yang resmi di kelurahan ini meskipun hampir 80% masyarakat memiliki keramba jaring apung. Menurut Kepala Desa Kelurahan Haranggaol, peternakan KJA di akumulasikan pada jenis mata pencaharian pertanian. Untuk lebih jelasnya persentase mata pencaharian di kelurahan Haranggaol ini dapat dilihat melalui tabel berikut ini:

Tabel 6

Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

No Mata Pencaharian Jumlah Persentase

1 Pegawai Negeri Sipil 4 0.5%

2 Petani 474 54%

3 Supir 9 1%

4 Pedagang/Pengusaha 53 6%

5 Pensiunan 4 0.5%

6 Usia Sekolah 325 37%

7 Lain-lain 9 1%

Jumlah 878 100%


(58)

2.8.2.3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan

Masyarakat Kelurahan Haranggaol sebenarnya sudah sadar akan pentingnya pendidikan, hal ini ditandai dengan sudah banyaknya masyarakat yang telah lulus dari bangku SMA. Tetapi kebanyakan masyarakat Haranggaol hanya tamat SMA dan tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Hal ini disebabkan oleh kurangnya minat pemuda-pemudi setempat dan keterbatasan ekonomi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat melalui tabel berikut ini:

Tabel 7

Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah

1 Tidak/Belum sekolah 44

2 Tamat SD 35

3 Tamat SLTP 138

4 Tamat SMA 354

5 Sedang duduk di bangku SD 105

6 Sedang duduk di bangku SLTP 53


(59)

8 Perguruan tinggi/lulus perguruan tinggi

61

Jumlah 878

Sumber: Kantor Kelurahan Haranggaol 2014

Data ini menunjukan tingkat pendidikan masyarakat Haranggaol sudah tergolong masyarakat yang berpendidikan. Memang masih ada yang hanya tamat SD dan SMP, namun golongan ini adalah penduduk yang sudah lansia. Berkembangnya pendidikan di daerah ini tidak terlepas dari sarana sekolah yang ada di Kelurahan Haranggaol dan keinginan orangtua agar anaknya mendapat pendidikan yang lebih baik sehingga dapat membangun Haranggaol.

2.9 Gambaran Umum Keramba Jaring Apung Haranggaol

Keramba jaring apung (cage culture) adalah sistem budidaya dalam wadah berupa jaring yang mengapung dengan bantuan pelampung dan ditempatkan di perairan seperti danau, waduk, sungai, selat dan teluk. Sistem ini terdiri dari beberapa komponen seperti rangka, kantong jaring, pelampung, jalan inspeksi dan rumah jaga. Kantong jaring terbuat dari bahan polyethelene dan polyprophelene dengan berbagai ukuran mata jaring dan berbagai ukuran benang, berfungsi sebagai wadah untuk pemeliharaan dan treatment ikan. Pelampung terbuat dari drum plastik, drum besi bervolume 200 liter, Styrofoam/gabus yang dibungkus dengan kain terpal yang berfungsi untuk mempertahankan kantong jaring tetap mengapung di dekat permukaan air


(1)

pariwisata? Mengapa tidak menjadikan pariwisata dan keramba jaring apung sebagai keunikan Haranggaol.

Menurut informan petani keramba jaring apung siap mendukung program pemerintah untuk menjadikan Haranggaol kembali sebagai daerah tujuan wisata. Bahkan idenya adalah membangun sebuah kapal induk dari ribuan keramba jaring apung. Di kapal induk tersebut para wisatawan dapat menikmati indahnya Haranggaol sambil menikmati kuliner atau sekedar memancing. Tidak benar sepenuhnya jika pariwisata Haranggaol mati, buktinya pada hari libur masih terdapat wisatawan yang menikmati indahnya Haranggaol bersama keluarga dan menikmati ikan bakar di pantai-pantai Situhulan, Sigunggung dan Sigumba Haranggaol.

Pembangkangan para petani ikan bermula dari desakan pembersihan Haranggaol dari keramba jaring apung. Sementara, tidak ada mata pencaharian yang mendukung perekonomian masyarakat. jika sudah terjadi pembangkang seperti ini pemerintah semestinya memanfaatkan kebudayaan penduduk sekitar dalam memberikan penyadaran. Bukan hanya sebatas janji tanpa keseriusan. Misalnya beberapa informan yang menyatakan:

Jika memang serius ingin membangun Haranggaol menjadi destinasi pariwisata mengapa tidak membangun infrastruktur lebih dahulu, benahi angkutan umum, sebab tidak seluruhnya wisatawan memiliki kendaraan pribadi mencapai lokasi ini. jalanan yang rusak parah akan menakutkan bagi wisatawan yang sama saja menghatarkan


(2)

nyawa. Terlalu jauh menikmati keindahan danau toba di Haranggaol, apa tidak lebih baik para wisatawan ke Parapat, dan Samosir?

Menjadikan Haranggaol menjadi daerah pariwisata bukan perkara mudah, banyak yang harus dibenahi. Jika tidak ada keunikan yang didapat para wisatawan akan surut niatnya mengunjungi Haranggaol. itulah sebabnya peneliti setuju jika petani membuat kapal induk. Kapal induk ini menjadikan Haranggaol berbeda dari beberapa wilayah kabupaten yang mengeliling Danau Toba.

Diperlukan upaya dan keseriusan dari seluruh stakeholder Kabupaten Simalungun untuk membangun Haranggaol menjadi daerah tujuan wisata. Dalam saran ini peneliti juga menyampaikan beberapa hal pesan dari masyarakat Haranggaol:

1. Jika pemerintah ingin membangun Haranggaol, terbitkan aturan dan tetapkan daya tampung yang seharusnya. Bukan menghapuskan keramba.

2. Mari membangun Haranggaol menjadi lebih baik dengan infrastruktur yang layak, sehingga kolaborasi pariwisata dan perikanan menjadi


(3)

Sementara menurut peneliti untuk membangun Haranggaol menjadi lebih baik tetapi tidak mengabaikan pendapatan yang diperoleh saat berkeramba adalah menghidupkan peran tokoh adat dan anggota komunitas marga. Ini menjadi penting dalam meningkatkan peran dalam pelestarian ekosistem Danau Toba. Masyarakat Batak mengenal nilai-nilai kearifan lokal yang perankan warganya sesuai kedudukan dalam struktur masyarakat, yaitu Dalihan Na Tolu dalam wadah marga. Mereka yang mardongan tubu (semarga) bisa saling mengingatkan saudaranya untuk ikut bersama dalam upaya melestarikan fungsi lingkungan hidup serta mencegah pencemaran dan kerusakan lingkungan. Demikian marga Silalahi bisa minta bantuan boru-nya (saudara perempuannya), serta meminta bimbingan dan hula-hulanya (keluarga istrinya). Dengan demikian tidak satu orangpun warga komunitas marga ini yang tidak terlibat dalam pelestarian Danau Toba. Hal ini tidak saja efektif menjaga kelestarian ekosistem Danau Toba, akan tetapi juga menciptakan keserasian lingkungan sosial.


(4)

DAFTAR PUSTAKA Buku/Literatur tertulis

Adhuri, D.S. 1998. Hak Ulayat Laut, Stratifikasi Sosial dan Politik Kepala Desa: Memahami Konteks Sosial Manajemen Tradisional Sumber Daya Laut di Kep. Kei, Maluku Tenggara. Makalah dalam lokakarya Kebijakan dan Masalah Kependudukan dalam Pengelolaan Sumber Daya Kawasan Pesisir Indonesia. Jakarta, Jurusan Antropologi, FISIP Universitas Indonesia, 20–21 April.

Amry Marzali, 2012. Antropologi dan Kebijakan Publik, Jakarta, Kencana Prenada Media Group.

Azhari, Samlawi. tanpa tahun, Etika Lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan. Skripsi Lingkungan hidup USU tidak diterbitkan.

Buletin Danau Toba. 2011 Vol IV edisi ke II, Media Simalungun.

Dalton, George 1986. Tribal and Peasant economiec,University of texas. Austin and London.

Ginting, Kristina. 2009. Peralihan Mata Pencaharian Masyarakat dari sektor pariwisata ke sektor perikanan, Skripsi Sosiologi USU, Medan, tidak diterbitkan. Hardjasoemantri, Koesnadi 2009. Hukum Tata Lingkungan edisi VIII, Cetakan kedua puluh, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.

Hidayat, Herman, Jhon Haba, & Robert Siburian. 2011. Politik Ekologi: pengelolaan Taman Nasional Era Otda. Jakarta:LIPI Press dan Yayasan Obor Indonesia.

Ihromi. T.O.(ed) 1993. Antropologi Hukum; Sebuah Bunga Rampai. Jakarta penerbit Yayasan Obor Indonesia.

Koenjtaraningrat. 1981. Pengantar Antropologi: Jakarta penerbit PT Rineka Cipta.


(5)

Pengelolaan Lubuk Larangan di Sumatera Utara” riset yang difasilitasi melalui proyek Riset Unggulan Kemasyarakatan dan Kemanusiaan (RUKK-I), Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia.

Masinambow, K. M. 2000 Hukum dan Kemajemukan budaya, Jakarta penerbit Yayasan Obor Indonesia.

Moleong, Lexi J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Penelitian Ekonomi budidaya perairan di Asia, 1986 Gramedia

Saad, Sudirman. 2000. “Puralisme Hukum dan Masalah Lingkungan, kasus Penangkapan Ikan di Danau Tempe, Sulawesi Selatan” dalam hukum dan Kemajemukan Budaya K. M Masinambow Jakarta penerbit Yayasan Obor Indonesia.

Satria, Arif. 2009. Ekologi Politik Nelayan. Yogyakarta: LKis.

Shiva, Vandhana. 2003. Water Wars; Privatisasi, profit dan polusi, Walhi

Siagian, P. “Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Kawasan Danau Toba”.Makalah disampaikan pada seminar nasional tentang Strategi Pembangunan Berkelnajutan dan Pengelolaan Kawasan Danau Toba yang diselenggarakan oelh Partungkoan Batak Toba (Partabo) Medan, Yayasan Del Jakarta dan Yayasan Perhimpunan Pencinta Danau Toba, Medan, 2002.

Sitorus, Hasan MS, “Pembangunan Perikanan Berwawasan Lingkungan di Perairan Danau Toba”. Makalah disampaikan pada seminar nasional tentang Strategi Pembangunan Berkelnajutan dan Pengelolaan Kawasan Danau Toba yang diselenggarakan oelh Partungkoan Batak Toba (Partabo) Medan, Yayasan Del Jakarta dan Yayasan Perhimpunan Pencinta Danau Toba, Medan, 2002.

Sunaryo, M Trie dkk. 2005. Pengelolaan sumber daya air, konsep dan penerapannya. Bayumedia


(6)

Sumber Lain

Fra, 2013 Perairan Danau Toba Semrawut Oleh Keramba Jaring Apung, Analisa 03 September 2013

http://www.penurunan danau toba sebagai tujuan pariwisata.html (diakses 10 july,

2013 4:43:52 PM)

Proyek AFN di Danau Toba Pro dan Kontra, http://www.harianorbit.com (diakses Thursday, July 11, 2013 6:17:55 AM)

Bona Pasogit: Perlu Undang-undang mengenai otorita Danau Toba: http://bona-pasogit.blogspot.com/2009/08/pendiri-ir_09.html (diakses Saturday, July 13, 2013 4:43:52 PM)

Keramba Apung Danau Toba, http://www.indosiar.com/ragam/keramba-apung-danau-toba_39189.html (diakses sabtu, 13 July 2013 9:41:51 PM)

Krisis moneter,http://aannurefendi.wordpress.com/2012/07/12/pengertian-krisis-moneter/ (diakses Sunday, July 14, 2013 11:46:28 AM)

Saatnya Melestarikan Danau Toba, http://www.saatnya-melestarikan-danau-toba.html (diakses Wednesday, July 17, 2013 9:02:15 PM)

Berita Simalungun, Http://www.situs resmi pemerintah-simalungun.html (diakses pada 4 november 2013)

http://www.Riskjuntiction.blogspot.com/2009/06/mitigasi.html (diakses pada 21 januari 2014)

Sumber: http://www.tanijogonegoro.com/2013/06/pakan-ikan.html (diakses pada 16 April 2014 pukul 14.00 WIB)

sumber: http://news.liputan6.com/read/89549/pemkab-simalungun

memusnahkan-ikan-mas-di-danau-toba diakses 16 april 2014