PEMIKIRAN HAMID ALGADRI TENTANG INDO ARA

PEMIKIRAN HAMID ALGADRI TENTANG INDO-ARAB DAN TANAH AIR
(Studi Kasus dalam Majalah Insaf dan Aliran Baroe pada Masa Kolonial Belanda, 19371941)
Muhammad Ridho Rachman
Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
E-mail: muhammad.ridho82@ui.ac.id
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan buah pemikiran Hamid Algadri khususnya
mengenai tema Indo-Arab dan tanah air dalam dua majalah; Insaf dan Aliran Baroe pada
rentang periode 1937-1941. Dalam pembahasan ini digambarkan juga mengenai latar
belakang kehidupan, lingkungan intelektual,dan gambaran sosial politik yang memengaruhi
pemikiran Hamid Algadri khususnya mengenai tema-tema yang dibahas. Hamid Algadri
adalah pionir dari golongan Arab yang mengenyam pendidikan tinggi dalam bidang ilmu
hukum pada masa itu. Berbagai tulisannya mempunyai kontribusi penting bagi kekuatan
gerakan partainya (Partai Arab Indonesia). Posisinya sebagai redaktur majalah Insaf membuat
ia cukup sering menuangkan pemikirannya dalam majalah tersebut. Majalah Aliran Baroe,
sebagai orgaan officieel PAI cabang Surabaya, pun turut memuat berbagai tulisannya. Dari
kesemuanya, penulis mengangkat dua tema yakni tentang Indo-Arab dan tanah air karena
sering ditulisnya. Kedua tema ini pula yang sering dibahas dalam komunitas masyarakat Arab
di Indonesia, khususnya para pemuka PAI—juga oleh tokoh-tokoh nasional yang menaruh
perhatian terhadap hal tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemikirannya dalam
dua tema tersebut merupakan reaksi dari kondisi masyarakat peranakan Arab (Indo-Arab) di

Indonesia yang menurutnya harus menginsafi diri sebagai putra Indonesia. Ia meminta
golongan Indo-Arab keluar dari kehidupan yang cenderung mengisolasi diri dari masyarakat
umum Indonesia. Buah pemikirannya memperlihatkan bahwa Algadri merupakan salah satu
tokoh keturunan Arab yang progresif dan memiliki konsistensi dalam memperjuangkan apa
yang ada dalam idealismenya.
Kata kunci

: sejarah pemikiran, Hamid Algadri, Indo-Arab, tanah air, Insaf, Aliran Baroe.

1. PENDAHULUAN
Pergerakan kebangsaan Indonesia dimulai
pada awal abad ke-20 yang ditandai
dengan berdirinya organisasi-organisasi
rakyat yang bergerak dalam bidang sosial
dan pendidikan. Di antara organisasiorganisasi yang lahir pada awal tahun
1900-an itu, Budi Utomo dikatakan
sebagai organisasi modern pertama yang
lahir di Indonesia. Oleh karenanya, tanggal
lahir Budi Utomo, yakni 20 Mei,
diperingati sebagai Hari Kebangkitan

Nasional. Faktor utama yang mendorong
lahirnya kesadaran nasional tersebut
terutama sekali adalah faktor pendidikan

yang mulai masif dikenyam oleh rakyat
Indonesia sejak akhir abad ke-19—sebagai
salah satu kebijakan Politik Etis yang
diterapkan pada masa itu (Anshoriy, 2008).
Pergerakan nasional yang muncul secara
langsung telah memengaruhi sebagian dari
kalangan etnis-etnis non-pribumi, seperti
Cina, Eropa, dan Arab, yang juga merasa
bahwa mereka adalah bagian dari bangsa
Indonesia. Bagaimanapun—menurut kaum
tersebut—berbagai pengalaman ekonomi,
sosial, politik mereka sama dengan yang
dialami oleh golongan pribumi Indonesia.
Tercatat bahwa organisasi non-pribumi

2


pertama yang menjadi benih nasionalisme
dari golongan Indo-Eropa adalah Indische
Bond (1899) yang menjadi cikal bakal
Insulinde yang lahir pada 1907 di Bandung
(Pringgodigdo, 1964). Kemudian Partai
Tionghoa Indonesia (1932) yang lahir
tahun 1932 mewakili golongan etnis Cina.
Organisasi ini lahir dari rahim tokoh-tokoh
pers koran Sin Tit Po, yang beraliran
nasionalis (Suryadinata, 2010). Terakhir,
golongan Indo-Arab mendirikan organisasi
nasionalisnya yang bernama Partai Arab
Indonesia (PAI) pada tahun 1934. PAI lahir
dari deklarasi para tokoh keturunan Arab
yang terkenal dengan sebutan Sumpah
Pemuda Keturunan Arab yang menyatakan
bahwa Indonesia adalah tanah air mereka
(Santoso, 2003).
Upaya perjuangan golongan Indo tersebut

merupakan suatu usaha alternatif setelah
mereka tidak diterima dalam berbagai
organisasi nasionalis (pribumi) pada masa
itu. Kondisi sosial pada masa itu masih
mengganggap bahwa peranakan nonpribumi adalah orang asing yang hanya
menetap dan tinggal di tanah Indonesia.
Tetapi bagaimanapun juga, mereka
bukanlah orang Indonesia.
Persatuan Arab Indonesia (kemudian
berubah, Partai Arab Indonesia) adalah
organisasi
Islam
nasionalis
yang
dicetuskan oleh AR. Baswedan (Menteri
Muda Penerangan 1946-1947) yang
beranggotakan para pemuda peranakan
Arab yang memulai gerakannya atas dasar
pengakuan terhadap Indonesia sebagai
tanah air bagi para peranakan Arab. Dalam

usaha-usaha
menuju kemerdekaan
Indonesia, PAI memiliki kontribusi penting
dengan ikut berjuang dalam Petisi
Soetadjo, GAPI, MIAI, serta aktif dalam
berbagai usaha perjuangan lainnya
bersama tokoh-tokoh pejuang bangsa
pribumi.
Kaum
keturunan
Arab
menyatakan Indonesia sebagai tanah air
mereka meskipun Pemerintah Kolonial
Belanda memasukkan mereka ke dalam
golongan
Timur
Asing
(Vreemde
Oosterlingen) berdasarkan Pasal 163


Indische Staatregeling (Algadri, 1988).
Artinya bahwa dalam hukum pemerintah,
mereka adalah orang asing meskipun
sebenarnya ibu-ibu mereka adalah orang
Indonesia asli, mereka lahir di Indonesia,
serta mengadopsi budaya Indonesia
sepenuhnya.
Hamid Algadri memandang bahwa adanya
suatu
“Politik
Segregasi”
ketika
menempatkan semua golongan Arab ke
dalam strata Vreemde Oosterlingen
(Algadri,
1988).
Secara
definitif,
pengertian segregasi menurut bahasa
adalah pemisahan (suatu golongan dari

golongan lain) atau pengasingan (KBBI,
2008). Bagi Hamid Algadri, Politik
Segregasi adalah kebijakan pemerintah
yang membagi-bagi penduduk jajahan
menjadi kelas-kelas tertentu berdasarkan
ras atau agama. Ada upaya pemisahan
antara
penduduk
pribumi
dengan
keturunan Arab yang mengharuskan
mereka tinggal dalam satu wilayah yang
telah ditentukan oleh pemerintah untuk
memudahkan mengontrol mereka dan jika
ingin keluar bepergian dari wilayah
tersebut, mereka wajib membayar retribusi
untuk berpergian yang dikenal dengan
Passen Stelsel. (Santoso, 2003).
Mengenai Hamid Algadri (selanjutnya
disebut HA), ia merupakan salah seorang

politisi PAI. Penulis tertarik membahas
pemikiran HA pada masa kolonial,
khususnya saat ia bergabung dalam PAI.
Semenjak menjadi redaktur majalah PAI,
Insaf, ia sering menulis dengan berbagai
macam tema, berbagai pendapatnya atas
permasalahan sosial dan politik yang
terjadi terhadap golongan Arab atau soal
lainnya. Tetapi dari kesemua tulisannya,
penulis mengangkat dua tema yakni
tentang Indo-Arab dan tanah air karena
kedua tema inilah yang paling sering
ditulisnya. Kedua tema ini pula yang kerap
dibahas dalam komunitas masyarakat Arab
di Indonesia, khususnya para pemuka PAI,
juga oleh tokoh-tokoh nasional yang
menaruh perhatian terhadap hal tersebut.

Universitas Indonesia


3

HA merupakan pionir dari golongan Arab
yang pertama menempuh pendidikan
tinggi dalam bidang ilmu hukum. Oleh
karenanya,
ada
perbedaan-perbedaan
penekanan dalam tulisannya dibandingkan
dengan penulis-penulis lainnya mengenai
tema-tema tersebut. Dalam berbagai
artikelnya, ia menyertakan pendekatan
hukum
di
dalamnya.
Tulisannya
menjelaskan tentang status hukum
kewarganegaraan,
hak-kewajiban
seseorang dalam hukum tatanegara dan

sipil,
penjelasan-penjelasan
yang
menyangkut di dalamnya, dan kritik
kepada pemerintah yang tidak sejalan
dengan teori hukum yang semestinya.
Sebenarnya
cukup
sulit
untuk
memasukkan ke dalam kategori mana HA

ini. Apakah lebih sebagai seorang penulis
atau seorang politisi partai. Kontribusinya
lebih cemerlang dalam berbagai pidato,
diskusi, dan perundingan—sebagaimana
seorang politisi—dibandingkan karirnya
dalam dunia penulisan. Namun, secara
umum
menurut

penulis,
berbagai
tulisannya menyiratkan kontribusi besar
pula bagi kekuatan gerakan PAI,
khususnya dalam kritik terhadap realitas
golongan Indo-Arab yang mengisolasi diri,
kritik terhadap pemerintah soal status
hukum warga negara, dan definisi tanah air
yang bagi golongan Arab masa itu. PAI
pun tak luput mengabaikan keahliannya
dalam setiap perancangan serta penafsiran
AD/ART Partai.

2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode
penelitian
sejarah.
Penelitian
ini
membahas buah pemikiran dari Hamid
Algadri
dalam
majalah,
berbagai
tulisannya yang menjadi sumber primer
penelitian diperoleh dari Perpustakaan
Nasional RI dan perpustakaan pribadi
tokoh. Selanjutnya juga dilakukan
penelusuran terhadap buku-buku referensi
dan laporan-laporan penelitian terkait.
Tahap kedua adalah kritik atau pemilahan
sumber yang telah didapat. Pemilahan ini
memisahkan
sumber-sumber
primer,
sekunder, dan sumber-sumber yang layak
atau tidak layak dijadikan referensi, baik

secara ekstern maupun intern. Tahap ini
dimaksudkan agar sumber-sumber yang
digunakan
kredibel
dan
dapat
dipertanggungjawabkan isinya.
Tahap selanjutnya adalah interpretasi atau
pemaknaan data yang didapat dari sumber.
Interpertasi dilakukan seobjektif mungkin
dengan merujuk pada sumber-sumber yang
didapat.
Tahapan
terakhir
adalah
historiografi atau penulisan yang bersifat
akademik
dan
dapat
dipertanggungjawabkan
kebenarannya.
Pada tahap ini dilakukan rekonstruksi
terhadap
pemikiran
HA
dengan
menggunakan kaidah Ilmu Sejarah.

3. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Hamid Algadri terlahir dengan nama Sayid
Hamid Muhammad Algadri di Surabaya,
Jawa Timur, pada 12 Juli 1910. Kata
“sayid” (bentuk jamak saadah), berarti
tuan. Sayid merupakan sebutan yang
khusus bagi seorang yang dianggap
sebagai keturunan Nabi Muhammad dari
garis keturunan Husain, putra Ali bin Abi
Talib menantu Muhammad. HA berasal
dari keluarga Algadri, merupakan keluarga

yang cukup terpandang di masyarakat.
Kakek dan ayahnya adalah seorang
Kapiten der Arabieren (Kapten Arab) di
Pasuruan. Kapten Arab adalah suatu
jabatan pada masa kolonial Hindia
Belanda yang diangkat oleh pemerintah
kolonial dengan tugas mengepalai orangorang etnis Arab. Menurut HA, kepala
Arab ini sifatnya kehormatan dengan
pangkat letnan atau kapten, tergantung
Universitas Indonesia

4

oleh banyaknya warga Arab yang tinggal
di daerah tersebut atau lamanya kedudukan
tadi dijabat seseorang (Haikal, 1986).
Namun, jabatan itu tidak menjadikan
mereka sebagai kaki tangan kebijakankebijakan
Belanda.
Mereka
lebih
mengganggap diri sebagai pelindung
golongannya ketimbang sebagai pegawai
Pemerintah Belanda (Algadri, 1999).
Sebagai keluarga Arab, keluarga HA bisa
dikatakan moderat, hal itu terlihat dari
anak-anak mereka yang mengenyam
pendidikan modern Barat. Kondisi ini
berbeda dengan pandangan masyarakat
Arab pada masa itu yang menganggap
bahwa sekolah kolonial akan “merusak”
agama anak-anak mereka. Umumnya,
orang Arab pada masa itu termasuk
golongan yang anti terhadap sesuatu yang
beraroma Barat, termasuk pendidikan
Barat (Haikal, 1986). Meskipun ditentang
oleh golongannya sendiri, keluarga Algadri
tetap memilih pendidikan Barat agar kelak
anak dan cucu mereka berpikiran modern.
HA menempuh pendidikan formal sekolah
dasar ELS. Kemudian, HA masuk ke
sekolah menengah MULO, dilanjutkan di
AMS. Setelah itu pada tahun 1936, ia
menjadi mahasiswa Rechts Hoge School
(Pendidikan Tinggi Hukum) di Batavia. Ia
merupakan salah satu pemuda Arab
pertama yang menuntut ilmu di perguruan
tinggi. Namun, peristiwa penutupan RHS
oleh pemerintah pendudukan Jepang
membuatnya belum sempat menyelesaikan
studinya.
Pendidikan
ilmu
hukum
baru
diselesaikannya di Universitas Indonesia
tahun 1952 melalui inisatif Prof.
Djokosoetono yang membuka kesempatan
bagi para mahasiswa yang belum sempat
menyelesaikan studinya pada masa
pendudukan Jepang. Gelar sarjana hukum
didapat HA cukup mudah, hanya
menempuh ujian tingkat akhir serta
mendapat keringanan-keringanan karena
alasan telah matang selama masa
perjuangan.
HA memulai keaktifan berorganisasi
dalam Jong Islamieten Bond (JIB),

organisasi kepemudaan yang diprakarsai
antara lain oleh Agus Salim yang dibentuk
pada tanggal 1 Januari 1925. Pergerakan
JIB
didasarkan
atas
Islam
dan
nasionalisme
Indonesia.
HA
lalu
bergabung di dalamnya tahun 1930.
Masa sekolah menengah, HA rasakan
bahwa gerakan nasionalis (non-agama)
pada waktu itu sangat meningkat
aktivitasnya, baik dalam bentuk partai
maupun kelompok belajar (studieclub).
Semangat ini juga menjalar kepada siswasiswa di sekolah HA. Walau sebagai
anggota JIB, ia menaruh simpati besar
kepada gerakan nasionalis. Memang
sangat logis jika seorang pembela Islam
menjadi anti-Belanda sekaligus seorang
nasionalis. Sehingga, HA berkeinginan
sekali mendekatkan diri dengan siswa
yang beraliran nasionalis (Algadri, 1988).
Sewaktu berkuliah di RHS Batavia, HA
tercatat mengikuti lima organisasi pelajar
yang berpusat di ibukota.1 Kariernya
dalam organisasi kepemudaan yang cukup
menonjol terlihat saat menjabat sebagai
redaktur majalah USI (USIBlad) dan wakil
ketua Baperpi. Namun, tak lama ia aktif di
Baperpi (organisasi kepemudaan terakhir
yang ia ikuti) karena pada masa
pendudukan Jepang, ia aktif sebagai kader
politik Amir Syarifudin dalam gerakan
kampanye bawah tanah anti Jepang.
Realitas Sosial Golongan Arab
Umumnya orang Arab yang datang ke
Indonesia berasal dari Hadramaut.
Hadramaut adalah wilayah yang terletak di
sepanjang pantai Arab Selatan, berada di
antara Aden hingga Tanjung Ras Al-Hadd.
Dalam penulisan ini istilah Arab secara
spesifik mengacu kepada Hadramaut.
Walaupun dalam beberapa hal merujuk
pula pada kawasan Arab secara umum.
Letak geografis antara Indonesia dengan
Hadramaut
relatif
lebih
dekat
dibandingkan jarak dengan wilayah Arabia
1 Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI),
Indonesia Muda, Studenten Islam Studie Club
(organisasi JIB tingkat perguruan tinggi), Unitas
Studiosorum Indonesisensis (USI), dan Baperpi
(Badan Persatuan Pelajar Indonesia).
Universitas Indonesia

5

lainnya menjadi salah satu sebab
umumnya orang-orang Arab yang datang
ke Indonesia berasal dari Hadramaut.
Terlalu sedikit jumlah orang Arab nonHadramaut yang datang ke Indonesia,
sehingga sebagian dari mereka kemudian
melebur dalam masyarakat Arab pendatang
yang berasal dari Hadramaut (Haikal,
1986).
Keberadaan orang Hadramaut di Indonesia
sudah sejak lama, banyak teori yang
menyatakan hal demikian, bahkan jauh
sebelum abad ke-17, sebelum bangkitnya
Islam di dunia Arab (Berg, 1989).
Bajunaid membagi periode persebaran
mereka: prakolonial, masa kolonial, dan
pascakolonial.
Periode
pertama
diperkirakan sejak abad ke-9 sampai
permulaan abad ke-19, periode panjang
menggambarkan peran dominan peradaban
Islam ke hampir seluruh dunia.
Selanjutnya, fase yang kedua ditandai kian
derasnya kedatangan mereka yang
didukung oleh kemajuan teknologi di
bidang transportasi dan dibukanya Kanal
Suez 1869. Periode terakhir terjadi ketika
lahirnya ide-ide nasionalisme yang di
Indonesia sendiri orang Hadrami diikat
dalam kesatuan komunitas yang tidak lagi
berdasarkan etnis (Bajunaid, 2005).
Pada penghujung abad ke-19, lahir
kebijakan Politik Etis sebagai wujud balas
budi pemerintah kolonial kepada penduduk
jajahan Hindia Belanda. Kebijakan
terbesar Politik Etis adalah di bidang
pendidikan yang membuka lebih luas
kesempatan kaum pribumi mengenyam
dunia pendidikan. Program tersebut
menjadi pendorong lahirnya berbagai
organisasi rakyat yang bergerak dalam
bidang sosial dan pendidikan.
Golongan Arab mendirikan organisasinya
yang pertama, Jamiyatul Khair, pada tahun
1901 di Batavia. Sebuah organisasi sosial
pendidikan yang didirikan oleh golongan
Arab yang berpendidikan modern.
Kelahiran Jamiyatul Khair juga didorong
oleh faktor makin banyaknya jumlah
orang-orang Arab datang ke Indonesia
yang sejalan dengan perbaikan sarana

transportasi dan dibukanya Terusan Suez.
Sebagian dari mereka merupakan orangorang taraf ekonomi mapan dan cukup
terdidik.
Kedatangan “ulama intelek” ini membawa
gerakan tajdid, gerakan pembaharuan atau
gerakan pemurnian agama yang membawa
Islam yang reformis-modernis. Suatu
gerakan yang disebarkan oleh tokoh tiga
serangkai:
Al-Afghani,
Muhammad
Abduh, dan Rasyid Ridha (Haikal, 1986).
Jamiyatul Khair mendapat dukungan
penuh dari seluruh warga Arab, setidaknya
untuk masa sepuluh tahun karena pada
tahun 1912 dengan kedatangan guru dari
Sudan yang bernama Syekh Ahmad
Surkati muncul pro-kontra dalam golongan
Arab atas berbagai pernyataan yang dibuat
oleh syekh tersebut.
Sebagian golongan Arab yang sependapat
dengan
Syekh
Surkati
kemudian
bergabung dan bersama-sama membentuk
Al-Irsyad di Jati Petamburan pada tahun
1914 (Haikal, 1986). Gerakan Al-Irsyad
sebagai upaya perlawanan terhadap
golongan saadah (kaum sayid) yang
mendominasi dalam masyarakat Arab.
Lalu, golongan Sayid merespons gerakan
Al-Irsyad dengan mendirikan perkumpulan
Arrabitah Al-Alawiyah (ikatan kaum
Baalawi)2 pada tahun 1928 yang dari
tujuan organisasi dapat diartikan hanya
untuk orang-orang Arab di Indonesia,
khususnya para Sayid (Haikal, 1986).
Dengan kondisi yang kian berlarut-larut,
maka kian ramailah apa yang dikenal
dengan pertikaian “Partai Sayid dengan
Partai Syekh”.
Gagasan PAI: Upaya Menyatukan
Peranakan Arab
Sebenarnya sumber utama pergesekan
dalam masyarakat Arab adalah sistem
sosial tradisi di Hadramaut yang dibawa ke
Indonesia. Konteks sosial, ekonomi,
politik, dan geografis yang berbeda
melahirkan pemikiran baru. Terlebih
migrasinya beberapa golongan dari
Hadramuat dikarenakan stratifikasi sosial
2Ba’alawi atau Alawi semakna dengan saadah atau
sayid.
Universitas Indonesia

6

yang pincang dan kondisi ekonomi politik
yang tidak sesuai dengan harapan mereka.
Atas inisiatif beberapa tokoh pemuda Arab
dari golongan Alawi maupun non-Alawi,
diadakan kongres pada 4 Oktober 1934
yang menelurkan sebuah organisasi yang
disebut dengan Persatuan Arab Indonesia
(PAI). Sesuai dengan namanya, PAI
berusaha menyatukan pihak-pihak yang
selama ini berseteru, khususnya di
kalangan muwalad,3 golongan yang
sebenarnya hanya terseret dalam pertikaian
yang ada.
Dengan lahirnya PAI, berangsur-angsur
kaum peranakan Arab mulai bersatu.
Mereka dipersatukan oleh keyakinan baru
sebagai putra-putra Indonesia dan ditarik
dari isolasi berpikir maupun dari ruang
gerak di lingkungannya selama ini
(Suratmin, 1989). Mereka ikut dalam
gelanggang perjuangan nasional yang luas.
Mereka bergabung dengan saudara
sebangsa dan bercita-cita kemerdekaan
tanah air dan bangsa (AR. Baswedan,
1974).
Peran Hamid Algadri dalam PAI dan
Majalah Insaf
HA melihat bahwa gerakan PAI
merupakan bentuk usaha penyelesaian
masalah yang lebih cerah, tokoh-tokoh di
dalamnya pun menjadi ketertarikan
tersendiri baginya untuk bergabung dalam
PAI. Apalagi Baswedan adalah sahabat
penanya sejak sekolah di MULO sekaligus
sesama anggota JIB di daerahnya masingmasing. Ia mengatakan bahwa cita-cita
awal bergabung dalam PAI adalah
mencoba mengubah citra buruk Arab
sebagai golongan rentenir yang diciptakan
oleh
Pemerintah
yang
cenderung
digeneralisasi. Stigma buruk ini telah
merambah pada golongan pemudaintelektual yang ia rasakan sendiri hal
tersebut (Algadri, 1988).
HA merupakan pemuda yang cukup
berpengalaman
dalam
berorganisasi,
terlebih ia bersama ZA bin Yahya
merupakan dua pemuda Arab yang
3 Sebutan bagi orang Arab yang berdarah
campuran dan lahir di luar kawasan Arab.

menempuh pendidikan tinggi, karirnya
dalam PAI melesat cepat. Menjadi penulis
dalam majalah Insaf, kemudian menjadi
komisi redaksi majalah tersebut. Karirnya
dalam PAI menanjak sejak terpilih menjadi
juru periksa PAI, kemudian ketua PAI
cabang Jakarta, sampai menjadi anggota
Pengurus Besar PAI. Semua jenjang
diraihnya sekaligus pada tahun 1937.
Pada tahun-tahun awal berdiri, PAI
mengalami kesulitan dalam membina
cabang-cabangnya sekalipun jumlahnya
masih sedikit. Pada Kongres I di
Pekalongan tahun 1935, PAI baru memiliki
6 cabang. Kongres II di Surabaya tahun
1937, PAI telah memiliki 10 cabang.
Kemudian, pada Kongres III di Semarang,
PAI telah memiliki 16 cabang.4
Dengan terbitnya majalah Insaf, orgaan
officieel PAI, kesulitan tersebut berkurang.
Lewat majalah bulanan tersebut Pengurus
Besar PAI dapat langsung memberikan
pembinaan pada cabang-cabang. Majalah
ini terbit tiap tanggal 25, dengan staf
redaksi A. Bajasut dan pembantu tetap A.
Makarim, direktur A. Assegaf dan HMA.
Hoesin Alatas. Nomor perdananya terbit
pada bulan Januari 1937. Insaf adalah
nama majalah yang dipilih agar senantiasa
teringat bahwa memang yang sebenarnya
masyarakat Arab butuhkan dan dituju
adalah keinsafan, dan dengan keinsafan
diperoleh kemajuan (Insaf, Januari
1937:1).
Hadirnya majalah Insaf ini memberikan
kesadaran mengenai peran dan tanggung
jawab golongan Arab sebagai putra-putri
Indonesia yang harus ikut bersama pejuang
pribumi dalam menuntut hak sebagai
warga negara. Untuk memperoleh majalah
Insaf, para anggota mendapatkan majalah
tersebut dengan cuma-cuma karena
sebagian iuran anggota disisihkan untuk
biaya majalah.

4Hingga dibubarkannya PAI menurut catatan
sampai Agustus 1941 jumlah cabang PAI sejumlah
50 cabang yang tersebar di pulau Jawa, Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa
Tenggara. (Haikal, 1986).
Universitas Indonesia

7

Majalah Insaf jelas memperlihatkan
Indonesia-sentris dalam setiap tulisannya.
Hal ini sesuai dengan cita-cita gerakan PAI
yang bertujuan menjadikan Indonesia
sebagai tanah air peranakan Arab. Namun,
arah penulisan seperti ini berbeda dengan
arus majalah-majalah Arab lain yang lahir
di Indonesia. Natalie (KITLV, 1996:245)
mengatakan bahwa tujuan dari majalahmajalah Arab yang terbit baik dalam
bahasa Arab atau Melayu adalah untuk
mempromosikan
nahdah,
renaisans
golongan Hadrami di Hindia Belanda. Tak
mengherankan bahwa tulisan-tulisan PAI
menuai perdebatan dari media Arab yang
berlainan paham, dan bahkan dengan
media non-Arab.
Dalam setiap tulisannya di Insaf, HA
mempunyai ciri khusus. Ia sering menulis
artikel bernada kritikan, baik terhadap
kebijakan-kebijakan pemerintah maupun
kepada masyarakat Arab. Setiap artikelnya
lebih berbobot karena mengandung
penjelasan ilmiah. Kritiknya pun tidak
subjektif. Ketidaksetujuannya terhadap
satu hal dijadikannya satu pintu untuk
melakukan koreksi berdasarkan kadar
keilmuan yang ia miliki. Ia tidak
menggunakan analogi yang berlebihan
yang kadang malahan membuat absurd
substansi.
Dalam kritik terhadap pemerintah, ia lebih
sering
mempertanyakan
sikap
ketidakkonsistenan pemerintah dalam
menjalankan
Undang-Undang
yang
berlaku.
Misalnya
dalam
pengimplementasian
Undang-Undang
Dasar perubahan Inlandsch Staatregeling
tahun 1922. Menurutnya, peraturan yang
ada hanya sebatas formalitas belaka.
Hanya demi meredam tuntutan dari
golongan Etisch di parlemen Belanda
sehingga perubahan UU yang lebih
demokratis bagi seluruh penduduk Hindia
Belanda itu dilakukan. Tetapi semua itu
hanya sebatas kata-kata dalam undangundang, tetapi tidak ada dalam praktik.
Keruwetan soal kewarganegaraan juga tak
luput jadi bahan kritiknya. Menurutnya,

hak-hak kewarganegaraan masih bersifat
dualisme dalam bidang staatrecht (hukum
tata negara) dan privaatrecht (hukum
privat) khususnya bagi golongan asing
yang terlahir di Indonesia (golongan Indo).
Masih saja diberlakukan sistem rasial yang
merupakan warisan kebijakan masa lalu.
Sehingga menyebabkan tumpang tindih
dan tidak bersesuaian dengan logika
hukum.
Ia juga mengkritik kekolotan masyarakat
Arab di Indonesia. Menurutnya, sikap
kegolongan tidak lagi sesuai dengan
zamannya. Masyarakat bukan lagi
golongan yang terlepas dari soal hak dan
kewajiban terhadap negara. Ia menyadari
bahwa kebijakan segregasi sosial telah
dalam
memengaruhi
mentalitas
masyarakat Arab yang menyebabkan
mereka cenderung lari dari kontestasi
politik
nasional—belum
lagi
soal
perselisihan dalam masyarakat Arab yang
masih terkubu dalam dua golongan. Ia
berpendapat bahwa cara pandang seperti
itulah yang membuat golongan Arab
terkucilkan dari pergaulan nasional.
Menurutnya, sikap yang tepat bagi
golongan Arab adalah ikut mengambil
kewajiban sebagai putra-putra Indonesia
demi menuju persatuan rakyat dan tanah
air Indonesia.
Secara umum, menurut penulis, berbagai
tulisannya memiliki kontribusi besar bagi
kekuatan gerakan PAI “seperti yang
diketahui bahwa... saudara ini ada menjadi
pembantu Insaf dengan tulisan-tulisannya
yang
berharga”(Insaf,
November
1937:162) khususnya dalam bidang hukum
seperti kritik terhadap pemerintah soal
status hukum warga negara, soal
ketanahairan, dan perancangan kebijakan
serta penafsiran AD/ART PAI sebagaimana
kapabilitasnya dalam bidang ilmu hukum
atau tulisan-tulisan lainnya yang secara
umum menjadi suara politik PAI. Hal yang
menjadi menarik karena upayanya di dunia
tulis menulis juga dibarenginya dengan
aktif bersuara dalam berbagai pidato
politik sebagai seorang aktifis PAI.

Universitas Indonesia

8

TENTANG INDO-ARAB
Golongan Arab-Indonesia
Antara tahun 1934-1942, golongan IndoArab mengalami perselisihan pendapat
yang cukup mendasar. Satu perselisihan
yang tidak lagi dalam hal agama dan adat
istiadat. Melainkan menyoal suatu
pertanyaan lampau yang tidak pernah
terjawab: Hendak kemana Indo-Arab
setelah semua ini, ataukah mereka akan
bergabung dalam satu negara yang
dibentuk dari Hindia Belanda? (MobiniKesheh, 1999). Ternyata yang lahir adalah
satu konflik baru antara golongan yang
berorientasi ke Hadramaut, gabungan dari
Al-Irsyad dan Ar-Rabitah, melawan
mantan
pendukung
mereka
yang
membentuk golongan baru, Partai Arab
Indonesia.
Golongan PAI adalah pilahan dari IndoArab yang memiliki pandangan berbeda
dari mayoritas. Satu generasi yang
mendapat
pendidikan
modern dan
ditumbuhi faham baru soal tanah air.
Mereka merasakan kecintaan terhadap
tempatnya
bertumbuh,
tidak
lagi
terkungkung oleh ketatnya peraturan
seperti passen en wijken stelsel
sebagaimana yang dirasakan generasi
sebelumnya. Mereka tidak lagi merasa
terpisahkan dengan pergaulan masyarakat
Indonesia seperti dulu. Generasi ini
bekerja menentukan nasib dan tujuannya
sendiri. Tidak menggantungkan diri
kepada orang lain yang memiliki orientasi
dan tujuan yang berbeda. Walaupun itu
orang tuanya sendiri, para wulaiti.5
Sebenarnya perasaan seperti itu tidak
hanya dialami oleh golongan Indo-Arab.
Bahwasanya telah terdapat pilahan dari
golongan-golongan Indo lain yang merasa
satu bangsa dengan pribumi Indonesia.
Secara umum, majalah Insaf menyebutkan
tiga organisasi Indo yang beraliran
nasionalis, yang mewakili golongannya
masing-masing. Ialah Insulinde dari
golongan Belanda-Eropa, PTI yang

mewakili etnis Tionghoa, dan PAI dari
peranakan Arab. HA mengatakan bahwa
pada tahun 1940-an, kian berkembangnya
pergerakan dari kaum peranakan maka
kian “besarlah perhatian kaum pergerakan
nasional kepadanya” (Insaf, FebruariMaret 1940:1).
Di sisi lain, kondisi masyarakat Indonesia
sampai tahun 1930-an masih belum bisa
menerima berbagai simpati dan bantuan
dari golongan Indo dalam upaya
perjuangan nasionalisme. Hal itu memang
diakibatkan stratifikasi sosial yang ada
yang menempatkan golongan pribumi
dalam lapisan terbawah stratifikasi sosial.
Inilah yang menimbulkan sentimensentimen negatif karena pada dasarnya
golongan Indo—Belanda, Tionghoa, dan
Arab—adalah setengah pribumi.
Mengenai
sentimen
sosial,
HA
menjelaskan bahwa kondisi ketegangan di
masyarakat yang paling terlihat memang
antara golongan Indo dengan golongan
pribumi. Bagaimanapun, golongan Indo
adalah separuh pribumi, tetapi mengapa
mereka memandang “rendah dan kecil”
(Insaf, Maret-April 1939:50) serta memilih
lari dari separuh identitasnya sebagai
bangsa Indonesia. HA sendiri amat
menyayangkan perasaan yang demikian itu
dan menyebut mereka sebagai kaum
“pelarian”. Dengan satire ia mengatakan
bahwa
“mereka tidak saja memungkiri darah yang
mengalir dalam tubuhnya, tetapi juga memandang
rendah apa saja yang bercorak Indonesia... mereka
lari dan berlindung—si Indo-Eropa pada
Westersche cultuur, Indo-Tionghoa pada Republik
Tiongkok, Indo-Arab... pada kemajuan Hijaz dan
Irak” (Insaf, Maret-April 1939:50).

Tentu jika diminta untuk memilih, maka
mereka lebih tertarik sebagai golongan
Indo yang memiliki kedudukan lebih
tinggi dibanding menjadi golongan ibu,
golongan pribumi.

5 Arab totok, Arab berdarah murni.
Universitas Indonesia

9

Hanya lantaran ayah mereka adalah asing
sehingga mereka disebut sebagai IndoEropa, Indo-Tionghoa, dan Indo-Arab. HA
mempertanyakan mengapa pemikirannya
tidak dibalik karena ibu Indonesia maka
menjadi
Eropa-Indonesia,
TionghoaIndonesia, dan Arab-Indonesia. Agaknya
dualisme yang ada dimenangkan oleh
kedudukan superioritas yang dimiliki
golongan Indo dan lari dari definisi
Indonesia yang rendahan.
Dari luar etnis Arab, sentimen-sentimen
rasial masih begitu jelas terlihat. Kondisi
tersebut juga dialami oleh golongan IndoArab. HA mengalami sendiri sikap
penolakan terhadapnya dalam organisasiorganisasi nasionalis pribumi hanya sebab
ia adalah seorang keturunan Arab.
(Algadri, 1988).
Mengenai
sikap
umum
organisasi
nasionalis yang masih memiliki sentimen
etnis, dalam satu tulisan HA memberikan
komentar yang cermat untuk menenangkan
golongan Indo, terutama Indo-Arab atas
putusan Kongres ke-II Parindra pada
Desember 1938. Pada Kongres Parindra
yang
dilaksanakan
di
Bandung
memutuskan bahwa Parindra belum bisa
menerima orang-orang Indo sebagai
anggota. Namun, jika tidak bertentangan
dengan asas dan AD-nya, Parindra
bersedia bekerja sama dengan golongan
Indo (Pusponegoro, 1993:343). HA
mengatakan bahwa putusan tersebut
“bersifat diplomatis yang ulung sekali
yang harus dipuji dari segala pro dan
kontra”
(Insaf,
Januari
1939:7).
Menurutnya,
pernyataan
tersebut
mengandung arti belum saatnya golongan
Indo diterima dalam barisan Parindra
bukan berarti menutup pintu partai bagi
Indo selamanya. Sebagai organisasi
politik, keputusan ini merupakan langkah
kehati-hatian Parindra dalam menentukan
sikapnya terhadap golongan Indo agar
tidak terlalu menyakiti kalangan-kalangan
yang berkepentingan dalam putusan
tersebut. Terlebih beberapa waktu sebelum
diadakannya kongres tersebut, terdapat

segolongan dari Indo yang mendukung
pelarangan berbahasa Indonesia dalam
gementeeraad.
HA menjelaskan bahwa tujuan dari
Parindra sebenarnya hanya menolak
golongan Indo-Belanda yang sering
menunjukkan sikap kontra terhadap
pergerakan nasional. Namun, istilah Indo
memang tidak hanya dimiliki oleh IndoBelanda saja. Ada golongan lain yang
terbawa akibat dari perilaku golongan
tersebut. Oleh karenanya, golongan IndoArab tidak perlu mengambil sikap yang
berlebihan terhadap putusan tersebut sebab
golongan Arab yang diwakili oleh PAI
telah diakui kenasionalannya seperti yang
diungkapkan
oleh
Dr.
Ratulangie,
pemimpin redaksi dari Majalah Nationale
Commentaren.
Dr. Ratulangie mengomentari tindakan
organisasi-organisasi nasionalis yang
ekslusif dengan menulis sebenarnya ada
“organisasi [indo] yang bersifat nasional.
[bahkan] dalam praktiknya lebih nasional
dari yang lain” (Insaf, Januari 1939:7).
Tetapi mengapa mereka mengambil sikap
tegas dengan mengeneralisasi bahwa
semua organisasi Indo tidak nasionalis.
Bagi HA, hal yang terpenting adalah mesti
“memberantas anggapan yang salah itu”
(Insaf, Februari-Maret 1940:1) dengan
upaya konkret untuk membuktikan
kenasionalitasannya.
Menjunjung semangat persamaan bangsa,
yang terutama menghilangkan perasaan
superioritas
bangsa Arab terhadap
golongan Indonesier, adalah pekerjaan
utama dari PAI. PAI bertugas mengadakan
“revolusi
batin”
(Insaf,
Desember
1940:12) di kalangan Indo-Arab untuk
menjadikan mereka Arab-Indonesia. Tugas
penting ini merupakan “tugas paling sulit
dan paling sukar, dan malah pekerjaan
yang paling berat sekali, yang selama ini
dihadapi oleh PAI” (Aliran Baroe, April
1939:5).
HA memiliki definisi sendiri mengenai
perbedaan antara Indo-Arab dan ArabUniversitas Indonesia

10

Indonesia. Menurutnya, Arab-Indonesia
adalah “mereka yang telah sadar bahwa
mereka mempunyai nasib dan kebutuhan
seperti juga bangsa Indonesia, tidak
mempunyai perasaan lebih tinggi dari
bangsa lain” (Aliran Baroe, April 1939:5).
Sedangkan, Indo-Arab menurutnya adalah
mereka yang arah tujuannya masih kabur.
Sekelompok pendatang yang tidak
memiliki keterikatan atau bahkan tanggung
jawab terhadap Indonesia. Indonesia
dianggapnya hanya sebagai tempat hijrah
untuk mencari nafkah. Ia menarik diri dari
kegiatan nasional, dan bahkan berpikir
bahwa
golongannya
lebih
tinggi
derajatnya.

kurang oleh perbedaan bangsa, di mana yang satu
beranggapan lebih tinggi derajatnya daripada yang
lain” (Insaf, November 1937:175).

Usaha tak kenal lelah PAIers dalam
mengajak seluruh golongan Indo-Arab,
memang cukup panjang. Dari tiga tahun
sejak berdirinya, PAI berkonsentrasi
mengurus hal-hal internal kearaban.
Itulah kewajiban PAI, mereka berjuang
terus di dalam golongan peranakan Arab
agar mereka yang masih berada di luar
PAI dan masih menganut definisi IndoArab lekas insaf dengan masuk ke dalam
PAI dan menjadi Arab-Indonesia.

Seorang PAIers adalah seorang ArabIndonesia, ia tidak melihat adanya
golongan-golongan dalam masyarakat dan
memandang jauh tujuan persatuan yang
hendak dicapainya. “Ia bukanlah serdadu
gajihan [bayaran], akan tetapi seorang
vrijwillingers, tiap-tiap serdadu terdorong
oleh maksud yang suci” (Insaf, Juli
1939:96). Persatuan PAI adalah rumah
tangga dari keluarga Arab-Indonesia yang
diikat oleh satu tujuan hidup, satu
keyakinan, menuju cita-cita yang sama
dengan putera Indonesia lainnya.
Bagaimanapun, bukanlah pekerjaan yang
mudah bagi PAI untuk mengadakan
perubahan cara pandang golongan Arab.
Upaya menghilangkan “perasaan takabur
dari bangsa Arab” (Insaf, Oktober
1937:146) yakni dengan menanam
perasaan persamaan di antara kelompok
Arab dan Indonesia sebagai landasan
utama bekerja sama dan saling membantu
dalam lapangan politik, ekonomi, dan
sosial menuju keselamatan rakyat dan
tanah air Indonesia.6 Menurut HA akan
lebih sulit tujuan yang hendak dicapai
karena
“di Indonesia ini lambatnya itu proses [mencapai
tujuan], tidak saja disebabkan oleh perbedaan
kepentingan, tetapi dalam arti yang juga tidak
6Anggaran Dasar PAI “Tujuan dan Usaha” dalam
Hamid Algadri, “Perubahan Anggaran Dasar PAI,”
Insaf (Februari-Maret, 1940), 4.
Universitas Indonesia

11

TENTANG TANAH AIR
Menentukan Sikap Soal Tanah Air : Aksi dan Reaksi
Timbulnya ide mendirikan Persatuan Arab
Indonesia berkaitan erat dengan perubahan
orientasi tanah air pada sebagian golongan
Arab, khususnya dalam kaum peranakan
Arab. Golongan ini merasa bahwa mereka
berbeda dengan kaum totok soal orientasi
tanah air. Mereka dilahirkan dari rahim ibu
Indonesia
dan
dibesarkan
dalam
lingkungan Indonesia. Dalam dirinya
tumbuh perasaan cinta terhadap tempat
tinggalnya, tanah air yang memberikan
kehidupan dan penghidupan baginya.
Indonesia adalah tanah air, sedangkan
Hadramaut adalah tanah air leluhur, itulah
pendapat PAI (Mobini-Kesheh, 1999).
Atas dasar itu PAI melepaskan diri dari
sistem sosial a la Hadramaut dan
mengaitkan diri dengan kenyataan sosial
yang ada di Indonesia (Algadri, 1988).
Dengan mendahulukan kewajiban sebagai
putra-putra Indonesia, PAI berketetapan
untuk
masuk
dalam
gelanggang
perjuangan nasional dan bergabung dengan
saudara sebangsanya untuk memerdekaan
tanah air dan bangsanya (Suratmin, 1989).
Tanah air menurut HA merupakan suatu
konsep lama yang telah dikenal di dunia.
Mungkin konteksnya agak berbeda di
Indonesia yang saat itu masih merupakan
satu wilayah kolonialisme Belanda.
Walaupun begitu, gambaran nasional telah
terbayang jelas dari keinginan rakyat
bersama-sama
untuk
mendapatkan
kemerdekaan dan keadilan.
HA menjelaskan dua faham soal tanah air
yakni faham ras dan faham natie
(kebangsaan). Faham ras merupakan
konsep lama yang mengatakan bahwa
tanah air berasal dari kesamaan ciri fisik
(ras). Sedangkan, faham natie menurutnya
suatu konsep baru yang lebih dulu muncul
di Eropa dan Amerika, bahwa suatu negeri
terdiri dari satu keturunan atau lebih yang
memiliki cita-cita dan merasakan nasib

yang sama (Insaf, Oktober 1937:146).
Pengakuan PAI yang bertanah air
Indonesia merupakan keberpihakannya
terhadap konsep tanah air faham natie
karena dari ciri fisik golongan PAI tidak
sama dengan ras mayoritas penduduk
Indonesia.
HA menolak faham ras. Malahan ia
mengatakan bahwa pemerintah kolonial
yang melakukan penggolongan masyarakat
ke dalam ras bangsa-bangsa adalah suatu
kebijakan yang keliru yang tujuannya
bukan untuk menunjang pembangunan
persatuan masyarakat di Hindia Belanda.
Ia menuntut faham tersebut harus
dihilangkan dalam hukum yang ada karena
prinsip hukum yang sebenarnya adalah
mengurus “recht, hak, kepentingan, atau
nasib manusia [yang] tidak ditentukan oleh
keturunan, tetapi berdasarkan tempat
tinggal” (Insaf, Oktober 1937:146). Ia
mengambil contoh orang Afrika yang
tinggal di Amerika. Menurut paham ras
memang orang Afrika, tetapi menurut
faham natie ia adalah bangsa Amerika
yang sejati. Oleh karena itu hukum negara
yang
membedakan
penduduknya
berdasarkan ras tidaklah bersesuaian
dengan hukum internasional yang berlaku.
Di Hindia Belanda, golongan Indo masih
saja dipisahkan oleh staatrecht (hukum
tata negara) yang mengeluarkan mereka
dari rakyat Indonesia padahal Indo adalah
bagian integral dari masyarakat Indonesia.
Maka dari itu, PAI melalui aksi-aksi
politiknya berusaha menghapuskan faham
tanah air yang berasaskan keturunan
tersebut.
Penerapan hukum berdasarkan ras telah
memisahkan golongan Arab dari mayoritas
penduduk muslim. Bagaimanapun mereka
juga menganut agama Islam tetapi
mengapa dibedakan dengan golongan
mayoritas? Pasal 163 IS-lah yang
memasukkan Arab ke dalam Vreeede
Universitas Indonesia

12

Oosterlingen (Timur Asing) bersama
golongan Asia lainnya yang sebenarnya
antara golongan Timur Asing itupun
memiliki banyak perbedaan. Lebih parah
lagi, menurut HA, dalam praktiknya
sebagian dari golongan Arab menjadi
Timur Asing, tetapi sebagian lain masuk
pribumi, ada relativitas khusus bagi
golongan Arab, curiganya. “Sekalipun
Belanda tahu benar, bahwa mereka adalah
keturunan Arab.” (Algadri, 1988).
Kenyataan seperti inilah yang membuat
HA
merasakan
adanya
keganjilan
mengenai status hukum bagi keturunan
Arab hingga diketemukan kesimpulan ada
upaya politis tentang itu (Algadri, 1999).
Di Hindia Belanda, subyek hukum
memang
dipilah
berdasarkan
asas
keturunan. HA memandang adanya upaya
yang disebutnya “Politik Segregasi” yakni
suatu kebijakan politik yang membagi-bagi
penduduk jajahan berdasarkan ras atau
agama (Santoso, 2003). Lokalisasi tempat
tinggal bagi golongan pendatang memang
tidak hanya ditujukan kepada Arab saja,
golongan lain seperti Tionghoa dan India
pun mengalami hal serupa. Bagi HA,
kebijakan ini terutama ditujukan bagi
bangsa Arab, yang menurut pemerintah
adalah golongan yang membawa pengaruh
membahayakan bagi jajahannya, Hindia
Belanda.
Semenjak diubahnya status hukum Hindia
Belanda dari negeri jajahan menjadi negeri
yang setara dengan Belanda, sesuai dengan
revisi Undang-Undang Dasar Inlandsch
Staatregeling tahun 1922, Hindia Belanda
diakui sebagai bagian integral dari
Kerajaan Belanda. Menurut HA, saat itu
pemerintah kolonial malah menjadi
paradoks. Boleh jadi perlakuan penduduk
berdasarkan asas keturunan merupakan
satu kebijakan tepat dalam mengelola
negeri
jajahan.
Namun,
semenjak
penetapan UUD perubahan (grondwet
berziening) tahun 1922, pemerintah malah
tidak menjalankan prinsip kesetaraan yang
diamanatkan Undang-Undang baru itu.

Hanya karena meredam tuntutan dari
golongan Etisch di parlemen Belanda
sehingga perubahan UU itu dilakukan.
Tetapi semua itu hanya sebatas kata-kata
dalam Undang-Undang, tetapi tidak ada
dalam praktik. Oleh karenanya, berbagai
dukungan muncul ketika Petisi Sutarjo
yang
menuntut
kesetaraan
kewarganegaraan diajukan ke dalam
Volksraad.
Telah diketahui bahwa, PAI merupakan
salah satu organisasi penyokong Petisi
Sutarjo. Mengenai petisi ini, HA
menjabarkan pasal 1 UUD IS 1922 yang
mengalami perubahan, yang berbunyi
“Kerajaan Nederlanden terdiri dari
Nederland, Nederlandsch-Indie, Suriname,
dan Curaqau” (Insaf, Januari 1938:7).
Tafsiran dari pasal ini tentu membuat
Indonesia tidak lagi menjadi koloni
Belanda. Bahkan memiliki kedudukan
yang sama dengan Belanda. Namun, teori
pasal ini belum bersesuaian dengan
implementasinya di lapangan. Pemerintah
Kolonial Belanda tidak juga melakukan
perubahan apa-apa terhadap status
Indonesia, tetap sebagai negeri jajahannya.
Atas
dasar itulah Petisi
Sutarjo
menyuarakan dengan menuntut “pada
Nederland buat memenuhi kesanggupan
janji tadi pada Indonesia... yang terletak
dalam Art 1 yang baru itu” (Insaf, Januari
1938:7). Bahkan lebih jauh, HA
mengkritisi bahwa niatan pemerintah
hanya setengah-setengah dan cenderung
mengelabui. Terbukti dalam pasal 61, 62
Undang-Undang Dasar dan 82, 90, 99, 100
dalam Inlandsche Staatsregeling yang
mengatakan:
“politik luar negeri Indonesia sama sekali
bergantung pada kekuasaan di Nederland. Sedang
politik dalam negeri kekuasaan Indonesia tidak
memuaskan lantaran kekuasaan tadi gampang
dibatasi oleh kekuasaan di Nederland... tentu ini
sangat bertentangan dengan art. 1 Grondwet yang
mengasih Indonesia kedudukan sama dengan
Nederland” (Insaf, Januari 1938:8).

HA menegaskan bahwa gerakan PAI
berupaya
“menunjang
kebangunan
kerakyatan Indonesia yang satu” (Insaf,
Universitas Indonesia

13

November 1937:175). Usaha itu selaras
dengan keinginan Petisi Sutarjo dalam
rancangan
Indisch
Burgerschap-nya
(kewarganegaraan Hindia). Petisi ini
meminta diadakan kesetaraan antara
warganegara yang tinggal di Hindia
Belanda. Akhirnya, tuntutan itu telah
masuk dalam salah satu pembahasan
Volksraad.
Keadaan berkebalikan terjadi antara
lapangan politik dengan realitas sosial.
Dukungan PAI terhadap ide politik
penyatuan
kewarganegaraan
dalam
Volksraad malah menuai banyak sikap
kontra di masyarakat Arab. Sikap
penetangan yang ada memang bersumber
dari pendapat PAI mengenai konsep tanah
air berdasarkan paham natie. Organisasi
IAB
(Indo
Arabische
Beweging),
merupakan salah satu organisasi golongan
Arab yang menentang PAI. Menurut IAB,
tumbuhnya nasionalisme Indonesia dalam
masyarakat keturunan Arab dinilai
membahayakan
(Aritonang,
2004).
Melalui pemimpinnya, MBA Alamudi,
IAB mengatakan bahwa nasionalisme
merupakan satu gerakan yang berbahaya
dan gerakan nasional merupakan gerakan
yang tidak sehat (Algadri, 1988). Hal ini
menunjukkan posisi organisasi ini
berseberangan dengan PAI. Padahal asal
mula pembentukan keduanya sama-sama
menuju persatuan golongan Arab yang
saat itu diliputi sentimen antara Syekh dan
Sayid.
Dari sekian golongan kontra, Al-Irsyad
Surabaya merupakan kelompok yang
paling keras menentang gagasan PAI.
Dengan ekstrim Al-Irsyad ini mengatakan
bahwa PAI akan meninggalkan agama
(Haikal,
1986).
Mereka
terutama
keberatan dengan sikap PAI yang
menentang adat dalam hal kedudukan
perempuan Arab. Bagi PAI, adat Arab
cenderung diskriminatif terhadap para
perempuan.
Lewat media massa, majalah berbahasa
Arab seperti
Barhut,
Attruyuman,
Hadramaut, serta Assalam menulis

serangan-serangan hebat terhadap gerakan
PAI. Begitu juga dengan majalah dari
organisasi yang dipimpin MBA. Alamudi
(Al-Jaum) merupakan organisasi yang
paling besar serangan dan hasutannya
terhadap PAI (Suratmin, 1989).
Salah satu organisasi dari luar Arab yang
kontra terhadap gerakan PAI adalah
Persis. Organisasi ini secara terangterangan mengatakan dengan keras
ketidaksetujuannya
atas
pernyataan
golongan-golongan
Indo
yang
menyatakan tanah air mereka adalah
Indonesia.
“walaupun
itu
ditulis,
diucapkan, dan disiarkan, maka kami
putra-putra muslim Indonesia tetap
menganggap mereka... asing... dan bukan
bangsa Indonesia” (Al-Lisan, 5 Agustus
1940:9). Bahkan, Al-Lisan sebagai media
partai mencibir,
“bukan dengan jalan berkaok-kaok di atas
podium... surat kabar... dan.. lidah yang tidak
bertulang. Tetapi dengan rasa yang penuh dengan
amal dan kerja. Dibuktikan dengan rasa yang
penuh persamaan
dalam
segala macam
kepentingan dan kebutuhan” (Al-Lisan, 5 Agustus
1940:10).

Sentimen-sentimen seperti itu memang
wajar terjadi. Golongan Indo, menurut
pribumi, tidaklah berbeda dengan bangsa
kolonial yang ikut-ikutan menindas
mereka. Hal inilah yang menjadi suatu
bentuk perjuangan PAI untuk mengubah
pandangan luar terhadap golongan Indo,
khususnya Indo-Arab.
PAI adalah sebuah gerakan moral. Suatu
gerakan yang memberikan kesadaran
“seseorang dari kewajiban terhadap
masyarakatnya” (Insaf, Januari 1937:1).
Di mana seseorang tinggal, di situ ia
punya
tanggung
jawab.
Bahwa
kenyataannya “bangsa kita masih terlalu
terbelakang dan belum insaf, dengan tidak
mau mengerti kepentingan masyakarat”
(Insaf, Januari 1937:1). Lebih jauh, HA
menjelaskan
bahwa
ada
perasaan
superioritas dalam diri Indo-Arab yang
tidak mau diidentikkan dengan pribumi
yang “rendah dan kecil” (Insaf, MaretUniversitas Indonesia

14

April 1939:50). Dengan sinis HA
mengatakan bahwa orang-orang seperti itu
“tidak saja memungkiri darah yang
mengalir dalam tubuhnya, tetapi juga turut
memandang rendah apa saja yang
bercorak Indonesia” (Insaf, Maret-April
1939:50). Perasaan-perasaan seperti ini
timbul karena hukum kolonial yang ada
mengarahkan demikian. Atas dasar itulah
gerakan PAI hadir. PAI berjuang
menghilangkan perasaan dan sentimen
yang demikian. PAI mengusung “ideologi
yang baru, yang dapat melenyapkan
superioriteitswaan...
membentuk
persamaan bangsa... terhadap golongan
Indonesia” (Insaf, Maret-April 1939:50).
Menurut HA sekarang adalah “zaman
baru, zaman PAI” (Insaf, April 1938:60).
Suatu masa yang mendesak para pemuda
PAI untuk “membuka mata membangun
bangsa... mulia karena bekerja [berjuang]”
(Insaf, April 1938:60). Pemuda-pemuda
disadarkan untuk tidak hanya mengisolasi
diri seperti orang tuanya. Menurutnya,
tugas utama PAI “mengadakan revolusi
batin di kalangan Indo-Arab” (Insaf,
Maret-April 1939:50) untuk menyadarkan
golongan peranakan Arab terhadap tanah
air Indonesia. Suatu pekerjaaan yang tidak
nampak terlihat secara fisik, “tapi bisa
dirasakan oleh suara hati dan perasaan.”
(Aliran Baroe, April 1939:5). Perjuangan
panjang PAI dalam lapangan sosial politik
untuk
menyadarkan
golongan
membuktikan kesungguhannya terhadap
keyakinan yang dianutnya tentang tanah
air baru mereka, tanah air Indonesia.
Mengenai pihak-pihak yang masih saja
mempertanyakan pekerjaan PAI, HA
mengatakan bahwa “imannya hanya di
matanya” (Aliran Baroe, April 1939:5).
Menurutnya, orang tersebut hanya melihat
sesuatu dengan skeptis tanpa menyadari
kondisi apa yang terjadi dan apa yang
hendak dicapai PAI.
Pada kongres II PAI pada tahun 1937 di
Surabaya, diputuskan kesiapan untuk
berkecimpung dalam dunia politik.
Perkumpulan ini bertekad untuk berjuang

bersama kelompok-kelompok nasionalis
Indonesia lainnya untuk “cita-cita
persamaan kedudukan dengan Belanda”7
pada awalnya dan kemudian “menuntut
perubahan politik yang mewujudkan natie
Indonesia yang satu”8.
Petisi Sutarjo tercatat sebagai kontribusi
pertama PAI dalam lapangan politiknya.
Berbagai pidato mempropagandakan
petisi ini digelar dalam pertemuanpertemuan PAI di berbagai daerah. Khusus
mengenai Petisi Sutarjo, HA memiliki
kontribusi penting dalam menjelaskan
urgensinya bagi tujuan dan arah gerakan
politik
PAI.
Dalam
artikelnya,
“Soembangan Oentoek Orientasi PetitieSoetardjo” (Insaf, Januari 1938:7), ia
menjelaskan kepada golongan Arab
mengapa mereka mesti ikut mendukung
gerakan ini.
Berbagai aksi politik PAI terus berlanjut
sampai momentum lahirnya organisasi
GAPI dan MIAI. Khususnya dalam GAPI,
penerimaan PAI menjadi anggota penuh
GAPI merupakan wujud pengakuan bahwa
peranakan Arab telah dianggap dan
diterima sebagai putra yang bertanah air
Indonesia.
Dengan
optimis
HA
mengatakan “PAI punya pekerjaan
tidaklah sia-sia... tidak keliru kalau kita
katakan bahwa PAI-lah yang paling
berhasil dalam mendekatkan Indo...
dengan golongan Indonesia...” (Insaf,
Maret-April 1939:51).
Bahkan, dengan mengutip perkataan Dr.
Ratulangie yang mengatakan “mudah
dimengerti rupanya pergerakan nasional
Indonesia tidak akan berkeberatan sama
sekali untuk menerima Indo-Arab” (Insaf,
Maret-April 1939:8). Hal ini tentu
dimudahkan karena hanya PAI satusatunya organisasi Indo-Arab yang terjun
di dunia politik. Namun yang terpenting
adalah konsistensi dalam mewujudkan
idealisme yang “pada saatnya nanti kita7 Program Politik PAI pada kongres ke-II PAI di
Surabaya, lihat Insaf no. 4 Tahun ke 1 April 1937.
8 Program Politik PAI dalam Anggaran Dasar PAI
Perubahan tahun 1940.
Universitas Indonesia

15

peranakan Arab akan bertemu dengan
bangsa Indonesia asli” (Aliran Baroe,
April 1939:5), “Bukan darah yang menjadi
dasar tentang ke-Indonesiaan, sebab IndoArab... memiliki perasaan sebagai juga
perasaan putra Indonesia” (Aliran Baroe,
Desember 1940:12). Tentunya sejumlah
usaha-usaha ke arah sana sedikit demi

sedikit mulai diakui oleh masyarakat luas.
“kita [boleh] berbesar hati, bahwa
pekerjaan kita yang maha berat itu
mendapat bantuan [perhatian] yang cukup
dari pergerakan Indonesia yang kini
kelihatan lebih riil” (Aliran Baroe, April
1939:5).

KESIMPULAN
HA lahir dan besar dalam lingkungan yang
kental dengan pendidikan modern pada
zamannya. Tidak seperti anak keturunan
Arab kebanyakan yang anti terhadap
pendidikan Barat dan menganggap sekolah
kolonial akan “merusak” agama anak-anak
mereka, ia malah mengenyam pendidikan
sekular modern sejak TK sampai
perguruan tinggi. Keluarganya yang
berpikiran moderatlah yang menunjang
perkembangan dunia pendidikannya.
Pendidikan
adalah
pintu
lahirnya
kesadaran nasionalisme. Semenjak masuk
sekolah menengah, ia melihat gerakangerakan nasionalis yang pada waktu itu
sangat meningkat aktivitasnya baik dalam
bentuk
partai
maupun
studieclub.
Semangat ini juga menjalar kepada siswasiswa di sekolah HA. Walau sebagai
anggota JIB, ia menaruh simpati besar
kepada gerakan nasionalis. Memang
sangat logis jika seorang pembela Islam
menjadi anti-Belanda sekaligus seorang
nasionalis. Sehingga, HA berkeinginan
sekali mendekatkan diri dengan siswasiswa yang beraliran nasionalis.
Ketertarikan dan kedekatan terhadap
gerakan nasionalisme, membawa HA jauh
pada pemikiran yang lebih riil dalam
menghadapi
situasi
zaman.
Masa
mudanya, dalam lingkungan etnis Arab,
terus diliputi p