Review Buku Teroris Me Aktor and Isu Glo

IDENTITAS BUKU
Judul Buku

: Teroris(Me): Aktor & Isu Global Abad XXI

Penulis

: Dr. Agus Subagyo, S.IP., M.Si.

Tebal Buku

: 116 halaman

Penerbit

: Alfabeta

Terbit

: April 2015


Ukuran buku

: 14,5 x 20,5 cm

Cetakan

: Cetakan I, tahun 2015

ISBN

: 978-602-289-127-7

Jumlah Halaman

: x + 106 halaman

Jumlah Bab

: 6 Bab


Text Bahasa

: Bahasa Indonesia

1

PENDAHULUAN
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, resensi itu sendiri diartikan sebagai
pertimbangan atau pembicaraan tentang buku dan sebagainya. Secara garis besar
resensi diartikan sebagai kegiatan untuk mengulas atau menilai sebuah hasil karya
baik itu berupa buku, novel, maupun film dengan cara memaparkan data-data,
sinopsis, dan kritikan terhadap karya tersebut. Resensi bermanfaat agar kita
mengetahui tentang banyak hal, selain itu juga bermanfaat agar dapat melatih kita
untuk membaca dan menilai suatu karya dari orang lain. Selain manfaat membaca
yang menambah wawasan, membaca juga dapat membuka pemikiran kita
terhadap permasalahan agar permasalahan yang kita hadapi dapat dipecahkan
dengan pemikiran yang luas dan tidak terbatas.
Manfaat merensensi buku Teroris(Me): Aktor & Isu Global Abad XXI selain
kita mengetahui ada aktor apa saja di dalam Ilmu Hubungan Internasional, kita
juga dapat mengetahui bahwa pada abad ini yaitu abad XXI ada banyak isu yang

tidak dapat dipungkiri, yaitu adalah adanya aktor baru di dalam Ilmu Hubungan
Internasional yaitu Teroris, karena disadari atau tidak dan baik secara langsung
ataupun tidak Teroris sangat mempengaruhi perkembangan Ilmu Hubungan
Internasional.
Teroris

mulai diperhitungkan keberadaanya

setelah terjadi peristiwa

fenomenal 11 September 2001 yaitu runtuhnya menara kembar WTC di AS dan
mulai dari situlah Teroris mencuat sebagai salah satu aktor HI, karena peristiwa
itu benar-benar membuat dunia internasional menggeming dan menjadi suatu
momok yang menakutkan dan dilanjutkan oleh serentetan peristiwa terorisme
dihampir seluruh penjuru dunia tak terkecuali Indonesia.

2

ISI / SUBSTANSI BUKU
Hubungan Internasional dan Terorisme, dimana Terorisme mual mencuat

setelah peristiwa Selasa, 11 September 2001, yang menewaskan sekitar 6.000
orang warga sipil yang dikenal dengan tragedi WTC dan Pentagon. Dampaknya
pun tidak hanya terjadi di AS sebagai negara korban, tetapi telah menjadi terror
bagi seluruh dunia. Tak lama setelah peristiwa itu terjadi George W. Bush
mengumumkan kepada dunia bahwa AS diserang oleh teroris yang biadab dan
menuduh Osama bin Laden dan jaringan Al Qaeda sebagai dalang dari tragedi itu.
Rezim Taliban di Afghanistan yang melidungi Osama bin Laden dan kelompok Al
Qaeda dihancurkan oleh pasukan koalisi pimpinan AS, walaupun pada saat itu
tidak berhasil menangkap Osama bin Laden.
Tampilan politik luar negeri AS memang cenderung agresif dan ofensif dalam
mengkampanyekan perburuan menghancurkan sel-sel Al Qaeda dan jaringan
terorisme global di seantero dunia. Tetapi, amat disayangkan perilaku Amerika
yang mulai tidak mengindahkan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan kedaulatan
negara yang seharusnya dijunjung tinggi dalam arena internasional. AS
melakukan intervensi dan embargo ekonomi bagi negara yang dipandang
mendukung terorisme global.
Dalam literature Ilmu Politik, hak asasi adalah hak yang dimiliki manusia
yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau
kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. HAM sendiri mulai lahir setelah
adanya Magna Charta 1215, Glorius Revolution 1688, Deklarasi Kemerdekaan

AS, pemikiran Trias Politika, dan Kontrak Sosial.
Dalam piagam negara-negara pemenang perang terutama pada Perang Dunia I
dan Perang Dunia II, mereka memperjuangkan apa yang dalam piagamnya disebut
sebagai penghormatan atas HAM dan kebebasan fundamental (respect for human
rights and for fundamental freedom). Badan dunia pun memproklamirkan
Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948 yang dijabarkan dalam
dua perjanjian: International Covenant on Civil and Political Rights dan

3

International Covenant on Social, Economic, and Cultural Rights. Tonggak HAM
yang lain juga ada perjanjian Helsinki (Final Act of Helsinki) 1975.
Dalam konteks hubungan internasional implementasi HAM memiliki
perdebatan yang dapat dirangkum dalam dua pandangan berikut: Pertama,
Autonomy of States, bersumber dari pemikiran Thomas Hobbes, menekankan pada
pengakuan atas prinsip kedaulatan negara dalam hubungan internasional. Masalah
yang muncul pada negara tertentu, termasuk masalah HAM, dilihat sebagai
masalah domestik. Prinsip tidak campur tangan (non-intervention) urusan dalam
negara lain.
Kedua, cospolitan perspective. Bertumpu pada pengakuan HAM pada tingkat

individu secara universal. Masalah hak asasi pada hakekatnya melampaui batasbatas nasional negara bangsa. Langkah intervensi politik dan ekonomi diperlukan
untuk menciptakan keadilan dunia, termasuk di dalamnya HAM.
Terdapat empat perubahan mendasar yang menentukan wujud tatanan politik
dunia yaitu:
Pertama, kecenderungan kea rah perubahan dalam konstelasi politik gloal dari
suatu kerangka bipolar mengarah ke kerangka multipolar. Kedua, menguatnya
gejala saling ketergantungan (interdependensi) antar negara dan saling keterkaitan
(interlink age) antar masalah global diberbagai bidang.
Ketiga, meningkatnya peranan-peranan aktor non-pemerintah dalam tata
hubungan antar negara. Keempat, munculnya isu baru dalam agenda internasional,
seperti masalah HAM, intervensi humaniter, demokrasi, good governance, civil
society, lingkungan hidup dan pemberantasan korupsi.
Perubahan tata politik global pasca perang dingin menggeser isu high politics
menjadi low politics, dan mulai mengarah kecenderungan ke arah apa yang
disebut “intervensi humaniter”. Namun, sejak peristiwa WTC dan Pentagon,
mulai muncul dengan apa yang disebut Doktrin Bush yang berbunyi, “kalau anda
bukan teman saya, pastilah anda musuh saya. Saya tidak membedakan teroris
dengan negara yang melindungi teroris.”
4


Agar perang melawan terorisme global ini tidak mematikan prinsip-prinsip
HAM, diperlukan suatu kerangka konseptual. PBB seharusnya merumuskan
“Global Antiterrorism Governance” yakni suatu sistem pengelolaan dan
penanganan masalah terorisme secara global-universal.
Indonesia sendiri mendukung Resolusi DK PBB No. 1373 untuk memberantas
terorisme global dengan cara-cara yang manusiawi dan berpegang teguh pada
prinsip HAM. Upaya Indonesia memerangi terorisme global terdiri dari tiga lapis
terekam dalam laporan yang disampaikan kepada komite kontra terorisme (Center
Terrorism Committee/CTC) DK PBB berikut ini:
Pertama, dalam skala internasional, Indonesia berupaya memperluas
kerjasama dengan ASEAN, Gerakan Non Blok(GNB), Organisasi Konferensi
Islam (OKI), dan negara-negara Pasifik. Kedua, dalam skala regional, Indonesia
juga terlibat secara intensif melawan terorisme bersama Filipina, Singapura, dan
Malaysia. Bahkan, Indonesia juga menandatangani sebuah Momerandum of
Understanding untuk memberantas terorisme bersama Australia. Ketiga, dalam
skala nasional, Indonesia secara intensif menggodog RUU antiterorisme, RUU
money laundering, dan memperbaiki sistem keimigrasian.
Setelah terjadi peristiwa WTC dan Pentagon. Serangan udara AS ke
Afghanistan yang dimulai sejak 7 Oktober lalu, mengalihkan perhatian dunia
internasional dari AS ke Afghanistan. Banyak negara yang mendukung upaya AS

dalam memerangi terorisme. Namun, banyak negara yang tidak setuju dengan
cara yang dilakukan AS menghancurkan terorisme dengan menyerang
Afghanistan sebagai sebuah negara yang berdaulat.
Pandangan dan tindakan AS yang positivistik dalam menangani permasalahanpermasalahan internasional telah mengabaikan nilai-nilai hukum dan aturanaturan demokratis yang selama ini ia junjung tinggi. Penetapan Osama bin Laden
didasari oleh motivasi subyektif, tendensius, dan balas dendam, bukan atas dasar
asas praduga tak bersalah.

5

Hans J. Morgenthau (1978), seorang pelopor realisme dan politik
internasional, mengatakan bahwa salah satu asumsi realisme politik adalah
kemampuannya mempengaruhi negara lain melalui penggunaan kekuasaan,
kekuatan, dan kekerasan tanpa mengindahkan nilai-nilai moral dan etika. Dan
politik luar negeri AS selalu bernafaskan ideologi “realisme politik”, AS lebih
mengedepankan diplomacy of violence.
Para pengambil keputusan AS seharusnya mengedepankan manajemen konflik
yang proporsional dalam mengatasi rezim Taliban dan menangkap Osama bin
Laden. Namun, semua juga tidak tahu apa maksud lain AS menyerang
Afghanistan. Presiden AS, George W. Bush mengatakan bahwa serangan dan
pemboman yang dilakukan oleh Pasukan militer AS dan dibantu dengan Inggris

mempunyai tiga tujuan utama. Pertama, untuk menangkap Osama bin Laden
sebagai otak dari tragedi 11 September. Kedua, untuk menghancurkan jaringan Al
Qaeda

beserta

jaringan

terorismenya

diseluruh

dunia.

Ketiga,

untuk

menggulingkan rezim Taliban yang dia anggap melindungi Osama bin Laden.
Namun, beberapa kalangan mensinyalir bahwa selain ketiga tujuan di atas, AS

mempunyai motivasi lain menyerang Afghanistan yakni motivasi geografis dan
ekonomis. Konflik AS–Afghanistan dipandang dari perspektif hubungan
internasional melibatkan nation state, alangkah baiknya PBB mengambil peran
strategis untuk menyelesaikan dan menghentikan serangan AS atas Afghanistan
melalui mekanisme mediasi multilateral.
Resolusi DK PBB No. 1373 mewajibkan negara-negara anggota PBB untuk
mencari, menghukum, atau mengekstradisi teroris merupakan resolusi yang dapat
dijadikan batu pijakan untuk menghadapi terorisme global.
Isu-isu seputar terorisme global yang mengemuka akhir-akhir ini tentunya
sangat membahayakan kemanusiaan, perdamaian, dan stabilitas internasional.
Makna yang bisa diambil dari perubahan-perubahan besar politik dunia ini adalah
terjadinya arus balik orientasi dan isu high politics yang mencakup kajian militer,
keamanan, dan perang.

6

Realisme politik yang selama ini ada pada politik luar negeri AS mendapatkan
penantangnya yaitu Terorisme Global. Sebagai polisi dunia, AS ingin
menunjukkan bahwa dirinya memang benar-benar penjaga perdamaian dunia
dengan menggalang koalisi internasional memerangi terorisme global.

Organisasi terorisme saat ini dalam khazanah Ilmu Hubungan Internasional
adalah satu aktor atau pemain dalam percaturan politik internasional, karena
sifatnya yang melintas batas antar negara. Sebagai aktor global, organisasi
terorisme baru diakui secara luas ketika mencapai klimaks pada tragedi WTC dan
Pentagon pada tanggal 11 September 2001. Setelah AS berhasil menaklukkan
rezim Taliban di Afghanistan yang dianggap melindungi Osama bin Laden, AS
memperluas penyerangan ke negara-negara Timur Tengah, Asia Tenggara, dan
Asia Timur. Presiden George W. Bush membentuk pemerintahan bayangan di luar
Gedung Putih dan memberlakukan sistem keamanan dan pertahanan nasional
antiteroris, dan peningkatan anggaran guna membiayai kampanye antiterorisme
global.
Al Qaeda, organisasi terorisme pimpinan Osama bin Laden, mempunyai selsel di banyak negara terutama daerah Timur Tengah dan Asia. Selain mempunyai
jaringan di banyak negara, Al Qaeda juga membangun hubungan dengan
kelompok-kelompok pergerakan pembebasan nasional (AS menyebutnya sebagai
organisasi teroris). Dalam melakukan langkah-langkah operasionalisasi, Al Qaeda
didukung oleh dana yang besar baik dana yang berasal dari individu-individu
maupun organisasi-organisasi amal yang kebanyakan bersifat rahasia.
Oleh karena itu, semangat dan perhatian besar dari masyarakat internasional
untuk memerangi terorisme global harus diwujudkan dalam tiga lapis. Pertama,
lapisan internasional yang dikoordinir oleh PBB sebagai organisasi dunia. Kedua,
lapisan regional yang tentunya melibatkan organisasi-organisasi regionalkawasan. Ketiga, lapisan nasional yang dikomandani oleh para pemimpin dari
masing-masing negara.

7

Awal abad ke-21, secara politik muncul gelombang demokrasi yang sarat akan
nilai-nilai kebebasan dan persamaan. Secara ekonomi, timbul gejala globalisasi
ekonomi pasar yang kental akan nuansa kapitalisme global dan perdagangan
global, dan telah menempatkan negara-negara pada pola hubungan saling
ketergantungan (inter-dependensi) dan saling keterkaitan (inter-linkage).
Akibat dari adanya isu terorisme ini akhirnya menyebabkan lahirnya teroris
sebagai aktor internasional, kecenderungan dalam hubungan internasional bahwa
aktor politik global tidak lagi terbatas pada pemerintah (nation state), melainkan
meliputi unsur-unsur non pemerintah. Kampanye antiterorisme AS yang disertai
tekanan-tekanan politik secara tidak langsung telah menciptakan ketidakharmonisan kawasan. Konfigurasi politik kawasan telah mengalami kegoncangan
yang membahayakan karena masing-masing negara dalam kawasan saling curiga
dan menuduh satu sama lain meskipun tidak ada bukti yang akurat.
Setelah terjadi peristiwa 11 September 2001, opini publik yang berkembang di
AS menunjukkan bahwa Osama bin Laden dan jaringan Al Qaeda yang
melakukan perbuatan itu, didasari pada informasi dan penemuan-penemuan yang
dikembangkan oleh pemerintah AS dan diperkuat berbagai kesaksian. Namun,
Osama membantah dan menurutnya teroris yang melakukan penyerangan itu dari
kelompok orang-orang AS sendiri. Spekulasi yang muncul kemudian adalah teori
konspirasi bahwa pelaku utama dari tragedy WTC dan Pentagon adalah Israel dan
rakyat AS.
AS menetapkan Osama bin Laden sebagai the most wanted man, dead or
alive. Osama bin Laden sendiri memiliki nama asli Usamah bin Muhammad Awad
bin Laden, dia adalah anak ke-17 dari 50 bersaudara. Lahir di Riyadh tahun 1957,
ayahnya adalah Moehammad bin Laden, adalah seorang konglomerat Arab Saudi.
Hidup Osama bin Laden diabdikan bagi perjuangan melawan kejahatan dan
kebhatilan. Perjuangannya dimulai ketika ia berada di Afghanistan tahun 1979 dan
langsung menyerukan jihad atas invasi tentara Soviet.

8

Meskipun pihak pemerintah AS telah membekukan aset aliran dana Osama
yang ditaksir sekitar US$ 300 juta, tetapi ia tak pernah kekurangan dana untuk
operasionalisasi kegiatannya. Karena Osama telah mengadopsi suatu sistem
pengelolaan khusus untuk masalah keuangannya dan sumber keuangan lainnya
adalah berupa sumbangan dari para donator yang bersimpati dengan
perjuangannya.
Awal reformasi, radikalisme dan militansi yang merebak di Indonesia adalah
radikalisme etnik yang ditandai dengan berbagai kekerasan kolektif dan kerusuhan
sosial. Radikalisme etnik kemudian menjalar pada radikalisme kesukuan,
golongan, dan agama. Namun, radikalisme etnik sekarang ini meredup dan digeser
oleh radikalisme teroris. Namun, sebagai bangsa yang menjunjung tinggi
kemanusiaan dan keberagaman, yang perlu di pegang teguh adalah bahwa
terorisme dan segala bentuknya jangan disangkutpautkan dengan agama.
Kecenderungan radikalisme teroris terletak pada individu atau personel masingmasing.
Konsepsi multikulturalisme yang intinya menekankan pada pengakuan dan
penghormatan

terhadap

kebhinekaan

dan

perbedaan

yang

selama

ini

dikembangkan dalam konteks kebangsaan Indonesia akan berhadapan secara
tajam dengan isu-isu terorisme. Perspektif terorisme tidak mengedepankan pada
kebersamaan dan pluralism, melainkan hanya menekankan pada uniformitas yang
monolitik.
Bahayanya permasalahan terorisme di Indonesia, maka perlu diupayakan
strategi untuk menangkalnya. Salah satu cara yang efektif untuk itu adalah
langkah penguatan masyarakat sipil (civil society) yang ada dalam masyarakat
Indonesia.
Di Indonesia sendiri, struktur negara seperti Eksekutif, Legislatif, dan
Yudikatif telah gagal dalam menciptakan tertib sosial masyarakat. Padahal, tujuan
utama dibentuknya negara adalah kontrak sosial dari seluruh elemen masyarakat
untuk secara bersama mendelegasikan kekuasaan kepada negara untuk

9

menciptakan kondisi yang kondusif bagi interaksi hak dan kewajiban antar
individu dalam masyarakat.
Reaksi di Indonesia atas tragedi bom di Legian, Kuta, Bali pada tanggal 12
Oktober 2002. Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra,
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Anti
Terorisme. Meskipun mendapat dukungan dari negara-negara di dunia, khususnya
AS dan sekutunya. Perpu Antiterorisme dipandang secara bervariasi oleh publik
domestik dimana terdapat pro dan kontra. Bagi publik yang mendukung
pemberlakuan Perpu Antiterorisme, perangkat hukum berwujud Perpu ini sangat
penting baik secara hukum maupun secara politik. Sedangkan, bagi publik yang
menolak Perpu Antiterorisme berargumentasi bahwa proses lahirnya Perpu
Antiterorisme sarat dengan muatan kepentingan negara asing, yakni AS.
Berbeda dengan AS yang bersatu dalam memerangi terorisme global sejak
peristiwa WTC dan Pentagon, Indonesia pasca bom Bali menunjukkan kenyataan
yang sebaliknya. Teror bom Bali telah menciptakan benturan-benturan yang
membahayakan antara pemerintah dengan kelompok-kelompok Islam, khususnya
kelompok Islam garis keras dan radikal.
Langkah

penangkapan

terhadap

tokoh-tokoh

Islam

oleh

pemerintah

disebabkan karena upaya dari tokoh-tokoh Islam tersebut untuk mengubah bentuk
negara dari yang menurut mereka sekuler menjadi negara agama Islam, dimana
dengan menjalankan syariat Islam secara konsisten. Namun, menurut pemerintah
Indonesia sangat heterogen dan plural apabila di tinjau dari aspek etnik.
Karenanya, Pancasila adalah konsep yang tepat untuk mewadahi hal tersebut.
Terdapat tiga indikator sebagai argumentasi bahwa relasi non harmonis antara
kelompok-kelompok Islam dengan pemerintah akan mempengaruhi dan
mengancam proses demokratisasi Indonesia. Pertama, isu terorisme yang menjadi
ketidakharmonisan relasi Islam dan negara. Kedua, pemberlakuan Perpu
Antiterorisme yang terkesan diterbitkan secara terburu-buru dan tidak
memungkinkan pemberian ruang publik bagi partisipasi publik maupun public

10

complain. Ketiga, pembentukan Satgas Antiterorisme telah menciptakan
kekhawatiran akan fungsinya yang dapat diselewengkan oleh penguasa
sebagaimana Kopkamtib di masa rezim Soeharto.
Kampanye perang melawan terorisme global yang dikumandangkan oleh PBB
dengan sponsor AS telah mempengaruhi stabilitas keamanan internasional (Noam
Chomsky, 2002).
Al Qaeda adalah organisasi teroris internasional pimpinan Osama bin Laden
yang berbasis di Afghanistan. Al Qaeda mendukung dan mendanai setiap gerakan
radikal yang menentang hegemoni AS.
Jamaah Islamiyah atau Al Jamaah Islamiyah (JI), adalah organisasi keagamaan
radikal yang didirikan oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir pada tahun
1993. Beroperasi di Malaysia, Singapura, Indonesia, Philipina dan Thailand. Di
tahun 2001 JI di masukkan dalam daftar 10 organisasi teroris oleh PBB atas
desakan dari AS. Keterikaitan Al Qaeda dan JI adalah dalam hal penyebaran
ideologi, pelatihan, kemiliteran, dana operasi, senjata dan amunisi, personil, dan
pelatih.
Perkembangan

lingkungan

strategis

dengan

ditandai

adanya

saling

ketergantungan antar negara dimana setiap perubahan yang terjadi pada satu
negara akan mempengaruhi negara lain. Salah satu dampak dari perkembangan
lingkungan strategis tersebut adalah merebaknya aksi terorisme yang terjadi di
Indonesia akhir-akhir ini. Kondisi inilah yang mendorong perlunya penyiapan
satuan khusus anti teror TNI, yang terdiri dari Densus 81 (TNI AD), Den Jaka
(TNI AL), dan Den Bravo (TNI AU).
Permasalahan pelanggaran HAM dijadikan oleh negara-negara maju, termasuk
AS untuk menekan dan mengintervensi negara-negara berkembang dengan
melakukan embargo militer. Bantuan Uni Eropa terhadap Indonesia dalam
menangani aksi teror yang dikucurkan melalui lembaga donor yang bernaung di
bawah payung Uni Eropa telah mempengaruhi upaya penanganan terorisme di
Indonesia.
11

Menguatnya radikalisme, fundamentalisme, dan militansi agama, khususnya
agama Islam yang dipraktekkan secara keliru oleh sebagian kecil pemeluknya
telah mendorong adanya aksi terorisme yang mengatasnamakan agama.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang penanganan terhadap aksi
terorisme belum mewadahi secara eksplisit unsur satuan khusus anti teror TNI.
UU terorisme tersebut masih sangat terbatas dan belum detail.
Kondisi ekonomi masyarakat Indonesia merupakan akar penyebab terjadinya
aksi teror di Indonesia. Tingkat pendidikan masyarakat Indonesia yang umumnya
relatif rendah mendorong masyarakat Indonesia mudah untuk diprovokasi dan
dipancing isu-isu yang dapat membahayakan stabilitas keamanan. Ditambah
belum adanya pembagian tugas yang jelas antara TNI, Polri dan komponen
bangsa lainnya terhadap penanganan aksi teror mendorong satuan khusus lebih
menonjol dibanding satuan khusus yang lainnya.
Dalam UU TNI disebutkan bahwa TNI melakukan OMSP, yang salah satunya
menumpas aksi terorisme, namun dalam kenyataanya TNI kurang difungsikan
dalam penanganan aksi teror dan menyebabkan masyarakat kondisi ini sebagai
superioritas Polri terhadap TNI di era reformasi. Pasal 7 UU TNI dinyatakan
bahwa ada dua macam operasi TNI, yakni Operasi Militer Untuk Perang dan
Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
Berlandaskan UU No. 2 Tahun 2002 tentang POLRI, Kepolisian RI melalui
Detasemen Khusus (Densus) 88 telah melakukan perburuan terhadap para teroris.
Namun, kinerja Polri masih dikatakan belum optimal dan bahkan terkesan
kedodoran dalam penanganan kasus terorisme. Mekanisme kinerja Polri yang
bersifat represif tanpa ada upaya preventif terasa kurang optimal dimana upaya
preventif dengan menciptakan sistem deteksi dini di masyarakat kurang
diberdayakan.
Undang-Undang RI No. 34 tahun 2004 tentang TNI, khususnya pasal 9,
dimana TNI memegang amanat untuk melakukan tugas pokok dalam operasi
militer selain perang (OMSP).
12

Dalam penanganan terorisme, TNI menghadapi berbagai peluang yang dapat
dimanfaatkan sehingga dapat mendorong stabilitas nasional, antara lain:
Perang melawan terorisme yang dilakukan oleh AS dapat dijadikan peluang
bagi Indonesia untuk meyakinkan dunia internasional, bahwa penanganan aksi
teror tidak hanya bisa dilakukan oleh satuan tertentu semata.
Citra positif masyarakat internasional terhadap kepemimpinan nasional yang
dinilai sangat komit terhadap nilai-nilai demokrasi, HAM, dan good governance
menjadi peluang bagi Indonesia untuk menggalang dukungan internasional dalam
menyelesaikan aksi teror secara mandiri tanpa ada intervensi dari negara lain.
Bantuan dana, teknis dan manajerial yang mengalir dari lembaga internasional
terhadap pemerintah Indonesia untuk menangani aksi teror secara lebih optimal
sehingga sangat membantu pemerintah dalam menangani masalah terorisme.
Sedangkan kendala yang dihadapi oleh TNI dalam menghadapi aksi terorisme
adalah:
Kurang tegas dan kurang beraninya kepemimpinan nasional dalam mengambil
tindakan dan kebijakan untuk menangani aksi teror secara terarah, terpadu, dan
terprogram.
Perilaku pejabat publik yang masih diwarnai dengan perilaku KKN, konflik
antar elit politik, konflik antar partai politik, konflik dalam memperebutkan
kekuasaan, dan tiadanya perhatian terhadap kesejahteraan masyarakat telah
mempercepat tumbuh dan berkembangnya aksi teror di Indonesia sehingga sulit
untuk menanganinya secara tuntas sampai ke akar-akarnya.
Belum disahkannya

UU Keamanan Nasional yang mengatur prosi

kewenangan setiap institusi pertahanan dan keamanan dalam menangani aksi
teror.
Masih adanya persepsi negatif sebagian masyarakat yang menyatakan bahwa
pemberian porsi yang besar bagi satuan khusus anti teror TNI akan dapat

13

mendorong pelanggaran HAM, dan kondisi masyarakat yang masih tradisional
pola pikir dan pola tindaknya sehingga menyulitkan bagi semua pihak untuk
menangani aksi teror secara komprehensif.
Sejarah terorisme di Indonesia diawali dari adanya DI/TII Kartosuwiryo
dengan tujuan utama yaitu untuk mengubah dasar negara Pancasila menjadi dasar
agama Islam. Wilayah Indonesia dianggap cocok untuk dimanfaatkan sebagai alat
bagi para teroris untuk melakukan indoktrinasi atas nama “agama” tertentu.
Operasi perburuan teroris yang dilakukan oleh Detasemen Khusus 88 Anti
Teror (Densus 88/AT) Polri diberbagai wilayah sebenarnya telah mempersempit
ruang gerak para teroris. Sebagai kamtibmas, Polri mempunyai tugas dan
wewenang untuk menanggulangi aksi terorisme sebagaimana tertuang dalam UU
No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri dan UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Penanganan
Tindak Pidana Terorisme. Tim analisa Densus 88 AT harus memiliki kemampuan
dalam membaca sms content, membuka CDR, membuka voice, dan melakukan
tracing IMEI yang ada dalam setiap handphone.
Satuan Intelkam adalah unsur pelaksana utama Polres yang berada di bawah
Kapolres, bertugas menyelenggarakan / membina fungsi intelijen bidang
keamanan, termasuk persandian, dan pemberian pelayanan dalam bentuk surat
izin / keterangan yang menyangkut orang asing, senjata api dan bahan peledak,
kegiatan sosial / politik masyarakat dan Surat Keterangan Rekaman Kejahatan
(SKRK/ Criminal Record).
Visi satintelkan adalah terwujudnya postur Intelijen Keamanan yang
professional, bermoral dan modern dalam memelihara Kamtibmas dan penegakan
hukum, dengan melaksanakan early warning dan early detection terhadap
ancaman dan gangguan keamanan guna mewujudkan kewaspadaan dan stabilitas
keamanan.
Sedangkan misinya adalah: (1) Mendeteksi potensi gangguan keamanan
secara dini yang bersumber dari dalam dan luar negeri; (2) Mewujudkan kondisi
keamanan yang mendukung terselenggaranya kegiatan pemerintah dan kehidupan
14

masyarakat; (3) Mewujudkan Intelijen Keamanan sebagai pusat informasi
keamanan yang akurat dan aktual serta bermanfaat dalam rangka mengamankan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; (4) Membangun kekuatan
Intelijen Keamanan dengan infra strukturnya dalam satu sistem terintegrasi dan
tergelar dari tingkat pusat sampai tingkat kewilayahan yang didukung oleh etika
profesi Intelijen; (5) Membangun dan mengembangkan kerjasama dengan badanbadan Intelijen Instansi terkait dalam rangka mewujudkan pemeliharaan
keamanan.
Tugas pokok Satintelkam adalah: (1) Sebagai Mata dan Telinga kesatuan Polri
yang berkewajiban melaksanakan deteksi dini dan memberikan peringatan
masalah dan perkembangan masalah dan perubahan kehidupan sosial dalam
masyarakat; (2) Mengidentifikasi ancaman, gangguan, atau hambatan terhadap
Kamtibmas; (3) Melaksanakan pengamatan terhadap sasaran-sasaran tertentu
dalam masyarakat di bidang Ipoleksosbudhankam bagi kepentingan yang
membahayakan masyarakat khususnya dalam kegiatan kontra Intelijen; (4)
Menciptakan kondisi tertentu yang menguntungkan dalam masyarakat bagi
pelaksanaan tugas Polri.
Fungsi satuan intelkam adalah pengamanan dan penggalangan untuk
keperluan pelaksanaan tugas dan fungsi kepolisian, terutama penegakan hukum,
pembinaan kamtibmas, serta keperluan tugas bantuan petahanan dan kekuatan
sosial.
Berdasarkan Juklak Kapolri No. Pol.: Juklak/10/VI/1980 Tentang Penggunaan
Intelijen Kepolisian, intelijen adalah pekerjaan dan kegiatan yang dilakukan
dengan menggunakan metode-metode tertentu yang secara terorganisir untuk
mendapatkan pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah, sedang, dan
akan dihadapi. Fungsi Intelijen adalah melakukan penyelidikan, pengamanan dan
penggalangan di tengah masyarakat.

15

KEKUATAN & KELEMAHAN BUKU
1. Kekuatan Buku
Menurut saya, kekuatan buku ini sangat banyak, selain mengangkat tema yang
memang sedang banyak diperbincangkan di publik, tema buku ini juga sangat
bagus, karena saya sendiri tidak mengerti kenapa isu terorisme bisa menjadi salah
satu isu internasional, bahkan saat ini teroris sudah menjadi aktor dalam ilmu
hubungan internasional, hal ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya isu yang
dibahas di dalam buku ini. Selain dari substansi, bahasa yang digunakan pun
sangat komunikatif sehingga mudah diterima oleh masyarakat luas termasuk saya
sebagai seorang mahasiswa.
Bahasa yang ringan di tambah paparan materi yang mudah diterima membuat
saya dapat memahami apa yang ingin disampaikan oleh penulis.
2. Kelemahan Buku
Selain memiliki kekuatan, buku ini pastilah memiliki kelemahan, dan
kelemahan yang sebenarnya agak saya sayangkan karena buku ini tidak
mengangkat isu terorisme saat ini seperti ISIS, fenomena ini menurut saya akan
lebih menarik jika dibahas juga di dalam buku ini di sandingkan dengan Al Qaeda.
Di samping itu, yang mungkin agak saya sayangkan yaitu banyaknya pemborosan
kata dan ditambah dengan adanya pengulangan materi yang sama di hampir
semua bab, padahal menurut saya pembaca akan memahami peristiwa yang
dialami AS ketika 11 September 2001 pada bab-bab selanjutnya jadi tidak perlu
dijelaskan kembali. Materi yang dipaparkan pun menurut saya terlalu sedikit
padahal jika diangkat lebih jauh, pasti akan menarik dan membuat pembaca
penasaran.

16

KONTRIBUSI BUKU TERHADAP STUDI HUBUNGAN
INTERNASIONAL
Kontribusi yang dimiliki oleh buku ini banyak, diantaranya karena
mengangkat isu global saat ini yaitu adalah terorisme. Terorisme yang merupakan
salah satu aktor dalam ilmu hubungan internasional sangat berpengaruh besar
dalam kehidupan global masyarakat ini, bisa dilihat dari peristiwa yang dialami
oleh AS beberapa waktu lalu yang secara tidak langsung mempengaruhi
kehidupan banyak masyarakat. Secara tidak langsung terorisme menjadi suatu hal
yang sangat tabu untuk dibahas dan menjadi suatu ancaman tersendiri bagi
masyarakat. Pada abad XXI ini memang teroris sedang berada dipuncak kejayaan
nya.
Namun, yang amat disayangkan adalah beberapa oknum yang mengatasnamakan suatu agama di dalam setiap aksinya. Hal ini yang amat disayangkan
karena secara tidak langsung akan menjelek-jelekan suatu agama. Di dalam ilmu
hubungan internasional sendiri selain menjadi aktor, teroris juga memberikan
pengaruh yang besar dalam keadaan politik suatu negara ataupun mempengaruhi
politik internasional.
Buku ini pun berkontribusi dalam bagaimana suatu negara harus menghadapi
isu terorisme ini. Kita tidak boleh terlalu ofensif dalam menghadapi isu ini.
Setelah membaca buku ini kita bisa tahu bahwa apa yang dilakukan oleh AS
dalam memerangi terorisme adalah salah karena tidak mengindahkan nilai-nilai
hak asasi yang selama ini dijunjung oleh negara tersebut. Hal inilah yang harus
disikapi baik oleh kita terlebih oleh negara kita, karena jangan sampai negara
Indonesia ini yang idealnya menjunjung tinggi nilai hak asasi karena berasaskan
pancasila justru malah melanggar nya sendiri terlebih kita telah memasuki masa
reformasi.
Terorisme sendiri yang mulai menjadi suatu isu besar pada abad XXI akibat
peristiwa WTC dan Pentagon ini juga membuka pandangan ilmu hubungan
internasional, bahwa ancaman propaganda dan embargo bukan satu-satunya

17

masalah yang harus di waspadai oleh internasional khususnya organisasi PBB,
tetapi aksi terorisme menjadi suatu ancaman serius akhir-akhir ini.
Menurut saya sendiri berdasarkan kesimpulan yang dapat saya ambil dari
buku ini, aksi terorisme adalah suatu pukulan keras bagi internasional, karena
menurut saya ini adalah suatu kegagalan dalam mempersatukan perbedaan dan
menciptakan perdamaian dunia yang diimpikan oleh internasional termasuk PBB,
karena buktinya masih saja banyak oknum-oknum yang bersifat radikal menjamur
dan meneror ketentraman internasional, ini adalah suatu bukti kegagalan Amerika
juga yang menganggap dirinya sebagai polisi dunia karena buktinya masih
mengalami kecolongan dalam menciptakan kedamaian ditambah AS yang
menganut politik realis dan cenderung melakukan tindakan positivistik dan
mengedepankan diplomacy of violence justru memperburuk masalah terorisme ini.
PBB dan negara-negara anggotanya harusnya bersatupadu dalam menghadapi
terorisme ini, semua harus berkerjasama dalam menangkal paham-paham radikal
dan jangan sampai isu ini menimbulkan kesenjangan dan rasa saling kecurigaaan
antar negara. Yang ingin disampaikan oleh buku ini adalah negara-negara di dunia
jangan sampai gegabah dalam menghadapi masalah ini. Jangan sampai
menimbulkan masalah baru.
Penyerangan yang dilakukan oleh AS terhadap Afghanistan adalah salah satu
bukti bahwa terorisme ini bukan masalah sepele. Inilah yang menjadi kontribusi
buku dalam ilmu hubungan internasional. Jika di Indonesia sendiri, kontribusi
yang bisa kita ambil yaitu Indonesia harus membentuk benteng yang kuat untuk
mencegah masuknya terorisme di Indonesia, walaupun pada akhirnya Indonesia
kecolongan, pemerintah harus bisa menciptakan tim intelijen dan tim khusus
dimana mereka bisa saling berkoordinasi dan bekerjasama menghadapi ancaman
terorisme. Indonesia yang sudah membentuk tim khusus atau sering disebut
“detasemen khusus” juga harus bisa menjalin kerjasama yang baik dengan tim
intelijen atau densus negara lain untuk memerangi isu ini, selain bisa dalam
bentuk kerjasama, sesama negara pun bisa saling menyumbang persenjataan

18

ataupun fasilitas yang dibutuhkan, jangan sampai negara satu tertinggal dari segi
teknologi karena jika dibandingkan terkadang sistem teknologi teroris lebih
canggih dari sistem teknologi Indonesia sendiri.
Isu yang patut diwaspadai saat ini adalah keberadaan ISIS, ini juga
menimbulkan ketakutan internasional karena ini menjadi suatu ancaman juga,
ISIS sendiri sudah membuktikan ancamanya dengan melakukan invasi dan
membunuh beberapa warga negara lain dengan cara yang tergolong sadis. Hal
inilah yang dicoba diangkat didalam buku untuk menjelaskan betapa
menyeramkan dan sadisnya kelompok-kelompok radikal.
Selain dari dalam buku disebutkan terorisme mulai merebak disebabkan oleh
peristiwa WTC dan Pentagon, isu terorisme juga mulai merebak akibat oleh
tuduhan Presiden AS pada saat itu yaitu George W. Bush yang menciptakan
doktrin Bush, yang mengakibatkan terorisme menjadi suatu ancaman karena
akibat doktrin itulah AS melakukan invasi setelah menuduh Al Qaeda dan Osama
bin Laden sebagai oknum yang melakukan aksi sadis tersebut. Hal ini dalam ilmu
hubungan internasional dapat dipahami bahwa suatu negara yang dianggap super
power dapat berkuasa dan dapat mempengaruhi kebijakan dan keputusan negara
lainnya dan membuktikan bahwa Amerika adalah negara yang ditakuti dan
diperhitungkan keberadaanya dikancah dunia.
Terorisme yang di dalam ilmu hubungan internasional merupakan aktor nonstate sudah merubah isu-isu dalam hubungan internasional sendiri yang pada
waktu itu sudah menjadi isu low politics menjadi kembali high politics yang
ditandai dengan kembali dibicarakanya isu-isu keamanan seperti isu perang,
keamanan, militer dan keamanan dalam negeri maupun luar negeri.
Isu inilah yang menurut saya menjadi sesuatu yang harus diperhitungkan
karena jika isu high politics benar-benar kembali diperhitungkan maka negaranegara internasional mulai akan berlomba-lomba untuk mempercanggih dan
membuat persenjataan dan akan menimbulkan kecurigaan satu sama lain. Inilah

19

yang harus disikapi oleh dunia internasional bagaimana menyikapi isu high
politics ini agar tidak salah perhitungan.
Buku ini juga berkontribusi dalam penegakan HAM yang sangat dijunjung
tinggi dalam ilmu hubungan internasional, walaupun setiap negara memiliki
pandangan yang berbeda terhadap HAM, tetapi pada intinya mereka tetap
mementingkan hak asasi. Inilah yang bertentangan antara HAM dan teroris,
dimana penanganan terhadap teroris pun akan menjadi perdebatan. Disisi lain kita
harus menjunjung tinggi HAM tetapi, teroris sendiri tidak mengindahkan adanya
HAM.
Paham radikalisme yang sudah seperti sebuah ideologi bagi penganutnya.
Buku ini juga mengajarkan bahwa teroris ini benar-benar sangat mempengaruhi
kehidupan berbangsa dan berpolitik.
Indonesia sendiri sebagai salah satu negara anggota PBB harus mengambil
andil dalam penanganan teroris, mau tidak mau selain menjadi isu global dan
sebuah teror, terorisme secara tidak langsung sudah banyak berkembang di
Indonesia. Disinilah peran ilmu hubungan internasional bagaimana cara untuk
mengkaji dan menangani teror ini dengan baik sehingga seluruh negara memiliki
cara yang sama dan terpaku kepada satu cara yang dianggap tepat tanpa
mengabaikan nilai-nilai sosial dan agama. Terlebih jangan sampai ada salah satu
agama yang merasa tersindir dan terasingkan keberadaanya.
Pemerataan pendidikan dan kesejahteraan kehidupan juga harus diperhatikan
dalam dunia internasional, sebagai salah satu faktor pemicu adanya aksi terorisme,
hal ini yang perlu diwaspadai oleh dunia internasional, karena paham radikalisme
lumrahnya mudah di terima oleh siapapun jika kualitas hidup seseorang bisa
dikatakan tidak layak.
Inilah tugas internasional untuk memikirkan bagaimana cara dan nasib dunia
untuk menekan paham radikalisme yang semakin berkembang, ditambah dengan
adanya ISIS semakin menunjukkan banyak tugas yang harus dilakukan PBB dan
dunia untuk memberantas paham radikal dan terorisme ini. Jangan sampai timbul
20

paham-paham radikalisme yang akan memperburuk kondisi dunia internasional
yang rindu akan kedamaian.

21