Syamsuddin and Gunadi Setyo Utomo 2014 .

Peranan Pekerja Sosial dalam Masalah Perdagangan Manusia
Syamsuddin. SST. MA
Mahasiswa Program Doktor Falsafah (Social Work)
Universiti Sains Malaysia (USM) Pulau Pinang, Malaysia
E-mail: syamsuddingido@yahoo.co.id
M-01 8-45 Desa Siswa Restu USM Minden Pulau Pinang Malaysia 11800
+62108140231
Gunadi Setyo Utomo, SST.MA.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan
Kesejahteraan Sosial (B2P3KS) Yogyakarta
E-mail: gunadibpks@yahoo.co.id
+6285228147528

ABSTRAK
Perdagangan manusia adalah masalah sosial global yang terkait dengan isu hak asasi manusia
dan keadilan sosial. Korban mengalami eksploitasi, kekerasan, pembatasan gerak, kondisi
hidup yang buruk serta kondisi pekerjaan yang membahayakan. Hak asasi manusia dan
keadilan sosial adalah dua hal yang sangat fundamental dalam praktek pekerjaan sosial.
Sebagai profesi pertolongan, pekerjaan sosial dapat memainkan perannya secara lebih
komprehensif dalam isu ini. Baik dalam usaha penanganan dan pemulihan korban, ataupun
dalam upaya pencegahan. Program pencegahan dilakukan melalui upaya peningkatan

kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang bahaya perdagangan manusia.Usaha-usaha
advokasi juga dapat diperankan guna memberikan perlindungan dan memenuhi hak-hak
korban serta advokasi korban dalam usaha menjerat pelaku. Pekerja sosial juga dapat
berperan dalam penguatan kebijakan serta peranan dalam melakukan riset terkait dengan isu
perdagangan manusia baik skala regional maupun global. Untuk merealisasikan hal tersebut
maka diperlukan: pertama, perlu semakin digalakkan praktek pekerja sosial internasional
yang bekerja dibawah lisensi dan mendapatkan pengakuan international untuk bekerja lintas
negara. Kedua, perlunya digagas penelitian dalam kawasan asia dan asia tenggara untuk
mengungkap secara lebih dalam mengenai isu perdagangan manusia, dan ketiga pekerja
sosial juga perlu menjadi tim pakar di legeslatif untuk memperjuangkan kebijakan terkait
dengan isu ini.
Key Word : Perdagangan manusia, Peranan, Pekerjaan sosial, Hak asasi Manusia

Pendahuluan
Masalah perdagangan manusia adalah salah satu kejahatan serius yang saat ini
sedang melanda hampir setiap Negara-negara di dunia. Kejahatan ini dijalankan dan
diorganisir dengan sangat rapi. Perdagangan manusia merupakan kejahatan nomor 3 yang
paling menguntungkan setelah perdagangan narkoba dan perdagangan senjata, diperkirakan
keuntungan yang didapatkan adalah lebih dari 10 milyar dolar Amerika setiap tahun .
International Labour Organization (ILO) tahun 2005, melaporkan bahwa dalam

dekade terakhir diperkirakan sekurang-kurangnya 2.450.000 orang di dunia yang berada
dalam keadaan kerja paksa akibat dari perdagangan manusia, 56% dari korban adalah
perempuan yang dieksploitasi secara ekonomi, serta 98% dieksploitasi dalam seks
komersial .
ILO (2005) kemudian menjabarkan distribusi korban berdasarkan wilayahnya
sebagai berikut, kawasan asia pasifik sebanyak 1.360.000 korban, negara-negara industri
sebanyak 270.000 korban, negara amerika latin dan karibian 250.000 korban, negara timur
tengah dan afrika utara adalah sebanyal 230.000 korban, negara-negara transisi sebanyak
200.000 korban, dan negara saharah afrika sebanyak 130.000 korban (dalam Aronowitz
(2009).
Departement of State United State of Amerika (2012) Trafficking In Persons Report
bulan Juni tahun 2012 secara garis besar mengambarkan kondisi yang dialami oleh korban
perdagangan manusia dalam 3 bentuk yakni ; pembatasan gerak (Restriction of movement),
Kondisi hidup yang membahayakan (Harmful living conditions) dan kondisi pekerjaan yang
merugikan dan membahayakan (Harmful working conditions).
Bentuk pembatasan gerak yang dimaksud seperti,

perampasan atau penyitaan

dokumen seperti paspor, visa atau identitas diri lainnya. Korban terus menerus dikawal oleh


pelaku, menterjemahkan dan menjawab segala pertanyaan atas nama korban sehingga korban
tidak dapat melaporkan eksplitasi ataupun kekerasan yang mereka alami. Korban diisolasi
dan tidak diberi tahu alamat dimana korban disekap sehingga tidak dapat memberitahukan
kepada orang lain atau keluarga agar bisa segera ditolong. Kemungkinan korban untuk
melarikan diri adalah sangat kecil sebab pelaku mensyaratkan korban untuk bekerja dan
tinggal pada tempat yang sama sehingga.
Kondisi hidup yang buruk dialami oleh korban meliputi : tidak diberikan akses
terhadap makan dan pakaian yang layak, tidak diberikan akses terhadap pelayanan medis,
serta tidak diberikan waktu untuk istirahat dan tidur.
Sedangkan kondisi pekerjaan yang buruk meliputi ; korban dibebani dengan utang
yang mustahil untuk mereka lunasi, jam kerja yang panjang, tanpa isitrahat dan tanpa hari
libur, tidak diberikan gaji secara berkala ataupun digaji tapi sangat tidak wajar atau sangat
tidak sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.
Kondisi kehidupan yang kerasa dan buruk yang dialami korban sebagaimana
digambarkan di atas kemudian berdampak kepada masalah fisik dan reaksi emosional.
Masalah fisik yang dialami seperti fisik yang melemah, memar, luka, atau penyakit medis
lainnya yang tidak diobati, keluhan sakit perut, jantung berdebar-debar dan perubahan
ekstrim pada pola makan. Sementara reaksi emosional seperti: kehilangan ingatan berkaitan
dengan peristiwa traumatik, kesedihan mendalam yang diekspresikan dengan sering

menangis (tearfulness), ketidakmampuan membina hubungan emosional secara layak
(emotional detachment), menyalahkan diri sendiri, mengalami mimpi buruk atau kembali
kepada situasi buruk tersebut, mati rasa secara emosional atau tidak dapat merespon situasi
dan kondisi secara tepat, terutama secara emosional (emotional numbing), masalah

konsentrasi dan kesulitan mengambil keputusan, serta menghindari kontak mata dengan cara
cara yang tidak terkait dengan budaya.
Apabila kita merujuk kepada Deklarasi Hak Asasi Manusia maka kondisi eksploitasi
maupun kekerasan yang dialami oleh korban, dapat dikategorikan sebagai bentuk penistaan
atau pelanggaran terhadap hak dasar atau azali yang dimiliki oleh setiap manusia. Dalam
beberapa pasal dapat kita lihat seperti: “tiada seorangpun boleh diperlakukan sebagai seorang
budak atau hamba, segala bentuk perbudakan dan perdagangan budak adalah dilarang (pasal
4)”, “tiada seorangpun boleh untuk disiksa atau mendapatkan perlakuan kejam, tidak
manusiawi dan direndahkan martabatnya sebagai manusia (pasal 5)”, “setiap orang berhak
atas pekerjaan dan bebas memilih pekerjaan dengan kondisi pekerjaan yang layak dan adil
(pasal 23 ayat 1)”, “setiap orang berhak mendapatkan penghasilan yang sama untuk
pekerjaan yang sama tanpa diskriminasi (pasal 23 ayat 2)”, “setiap orang yang bekerja berhak
atas remunerasi yang adil dan baik yang dapat menjamin kehidupannya dan keluarganya,
suatu kehidupan yang layak untuk manusia bermartabat, dan jika perlu ditambah, dengan
perlindungan dan jaminan sosial lainnya (pasal 23 ayat 3)”, serta “setiap orang memiliki hak

untuk istirahat dan libur, termasuk pembatasan-pembatasan jam kerja yang wajar dan liburan
berkala dengan upah (pasal 24)”.
Pekerja sosial sebagai profesi pertolongan memiliki tugas serta dapat memainkan
peranannya dalam isu perdagangan manusia sebagai persoalan atau hak asasi manusia.
Sebagaimana digambarkan oleh International Federation of Social Workers tahun 2000
bahwa hak asasi manusia dan keadilan sosial adalah merupakan prinsip yang paling
fundamental dalam praktek pekerjaan sosial. Prinsip ini dapat diterjemahkan bahwa ketika
terjadi sebuah keadaan yang menimbulkan tercabutnya atau terenggutnya hak – hak asasi
manusia seperti hak akan kebebasan, hak akan gaji yang layak, hak untuk bersosialisasi, hak
untuk mendapatkan pendidikan dan perawatan kesehatan maka pekerja sosial berkwajiban

untuk menolong, membela dan memberikan perlindungan terhadap mereka yang
teridentifikasi sebagai korban.
Selain karena isu perdagangan manusia sebagai isu yang barkaitan dengan hak asasi
manusia, pekerja sosial juga seharusnya memiliki perhatian yang serius terhadap masalah ini
sebab beberapa faktor yang menggiring terjadinya praktek perdagangan manusia
sebagaimana dikemukakan oleh Pearson (2000)

adalah bidang-bidang dalam praktek


pekerjaan sosial seperti kemiskinan dan pengangguran, konflik sosial, hukum dan kebijakan
yang terkait dengan masalah pelacuran, korupsi, keuntangan yang besar yang melibatkan
jaringan kejahatan, feminisasi kemiskinan dan migrasi, diskriminasi gender, budaya dan
praktek keagamaan.
Karena itulah dalam tulisan ini bertujuan untuk mengembangkan pemikiran
mengenai peranan pekerja sosial dalam upaya memerangi dan menanggulangi segala bentuk
perdagangan manusia.

Pembahasan
Beberapa tugas dan peranan pekerja sosial berhubungan dengan masalah perdagangan
manusia
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa masalah perdagangan manusia terkait erat
dengan masalah-masalah sosial lainya seperti kemiskinan, pengangguran, pendidikan rendah,
diskriminasi gender, budaya patriarki dan lain sebagainya. Pekerja sosial dalam upaya
memerangi segala bentuk perdangan manusia dapat memainkan peranannya bukan hanya
terbatas pada upaya pemulihan korban, akan tetapi juga boleh memberikan sumbangsih yang
lebih luas dalam bentuk pencegahan maupun advokasi kebijakan yang berpihak kepada
upaya-upaya menghapus segala bentuk perdagangan manusia, serta memprakarsai

terwujudnya riset yang komprehensif dalam satu kawasan untuk memahami mekanisme dan

pola penanganan perdagangan manusia.
Peran dalam Pencegahan
Peranan dalam mencegah terjadinya perdagangan manusia, pekerja sosial dapat
membantu masyarakat dalam meningkatkan kesadaran mereka tentang bahaya perdagangan
manusia terutama mereka yang tergolong sebagai kelompok rentan (Salett, 2006). Untuk
dapat mengidentifikasi kelompok rentan yang dimaksud, dapat dilakukan dengan jalan
assesmen dan pemetaan guna memahami tingkat kerentanaan dari sebuah kelompok atau
komunitas dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kerentanan tersebut. Selanjutnya
kelompok-kelompok tersebut diberikan penyuluhan, pelatihan atau bentuk – bentuk kegiatan
lainnya termasuk kampanye pendidikan publik, ceramah dan forum warga yang membahas
tentang perdagangan manusia. Pendidikan ini akan menambah sumber daya dan kekuatan
dalam rangka mengungkap berbagai praktek perdagangan manusia yang belum teridentifikasi
terutama perempuan dan anak yang paling rentan untuk diperdagangkan (Christenson, 2012).
Aspek-aspek yang dapat dipertimbangkan sebagai kondisi rentan pada suatu masyarakat
seperti kemiskinan disertasi dengan adanya nilai, budaya atau kebiasaan mempekerjakan
anak sebagai bentuk pengabdian kepada orang tua orang tua (Syamsuddin & Azlinda Azman,
2013), adanya toleransi terhadap pelacuran, kebiasaan masyarakat untuk bekerja di luar
negeri atau di kota-kota lain sebagai pekerja non-profesional dan lower education seperti
pembantu rumah, pekerja konstruksi, pelayan restoran, pekerja pabrik dan sebagainya. Hal ini
dapat dijadikan sebagai satu indikator awal untuk melakukan asesmen terhadap tingkat

kerentanaan masyarakat tersebut.
Dalam skala mezzo dan mikro, keluarga dapat menjadi unit analisis yang perlu
dipertimbangkan. Hasil penelitian syamsuddin dan azlinda (2013) menemukan bahwa
keluarga yang didalamnya terdapat kekerasan terhadap anak, pelecehan seksual dan

penelantaran adalah beberapa faktor yang menyebabkan anak perempuan lari dari rumah
yang menghantar mereka masuk kedalam pelacuran. Karena itulah pekerja sosial penting
untuk melakukan intervensi keluarga guna memberikan penguatan terhadap hal-hal yang
dapat membuat anak terpapar dalam kondisi rentan .
Upaya penyadaran akan bahaya human trafficking dapat dilakukan dengan
menggunakan berbagai pendekatan baik dengan pendekatan individual dengan berupa
konseling kepada individu yang tergolong rentan untuk dijadikan korban, ataupun juga boleh
menggunakan pendekatan kelompok dengan membentuk kelompok-kelompok diskusi untuk
membahas mengenai masalah perdagangan manusia dan bahayanya, sasarannya bisa pada
kelompok remaja di sekolah maupun di komunitas ataupun juga kelompok dewasa. Ataupun
melalui kegiatan-kegiatan di masyarakat seperti arisan, pengajian dan lain-lain. Pendekatan
lain yakni dengan melibatkan komunitas untuk sama-sama terlibat dalam menyebarkan
kepada masyarakat umum tentang bahaya human trafficking, yang dapat dilakukan dengan
membuat poster, peyuluhan, brosur dan lain-lain.
Terkait dengan upaya pencegahan yang mana penekanannya pada upaya untuk

membangun kesadaran publik, maka hal yang sangat penting untuk dilakukan adalah
mengembangkan modul-modul pelatihan terkait dengan issu human trafficking yang dibuat
secara spesifik sesuai dengan target dan sasaran dari pelatihan. Misalnya modul pelatihan
untuk organisasi sosial atau NGO, modul pelatihan untuk remaja, modul pelatihan untuk ibu
rumah tangga, modul pelatihan untuk penegak hukum dan lain sebagainya sehingga pelatihan
yang dilakukan bisa terukur dan dapat dilaksanakan secara efektif (The Europe Institute for
Social Work, 2013).
Selain kelompok tersebut, pekerja sosial juga penting untuk memberikan pelatihan
kepada kelompok profesi yang setiap waktu dapat herhadapan kepada korban, sebab korban

mungkin akan mencari pertolongan kepada kelompok-kelompok profesi ini seperti : pegawai
pemerintah yang bekerja sebagai pengawas pelabuhan, pegawai konsulat, pengawas industri
makanan, pengawas pabrik, pengawas pertanian, termasuk petugas pos. Kemudian pekerja
pada sektor swasta seperti : pekerja hotel, bar, restaurant, salon kecantikan dan toko
kelontong. Petugas penegak hukum seperti : polisi, petugas imigrasi dan petugas penjaga
perbatasan. Termasuk petugas kesehatan dan mereka yang bekerja dalam bidang transportasi.
(Departement of State United State of Amerika, 2012).
Peranan dalam upaya Penanganan
Dalam upaya penanganan Salett (2006) mengusulkan dua hal yang dapat dilakukan
oleh pekerja sosial. Pertama, mengidentifikasi korban perdagangan dan menfasilitasi mereka

agar segera mendapatkan pertolongan dan Kedua ; bekerja pada lembaga pelayanan sosial
yang secara khusus memberikan pelayanan kepada korban human trafficking dalam proses
rehabilitasi dan reintegrasi.
Keterampilan dalam mengidentifikasi korban diharapkan terutama sekali dimiliki oleh
para pekerja sosial yang bekerja pada setting – setting yang tidak secara langsung menangani
korban perdagangan manusia, seperti rumah sakit, atau pekerja sosial komunitas. Kadang
kala korban mendatangi tempat-tempat tersebut tetapi petugas tidak dapat mengidentifikasi
mereka sebagai korban sebab kurangnya pengetahuan mengenai perdagangan manusia.
Karena itulah untuk meningkatkan kepekaan ini pekerja sosial sebaiknya diberikan
pelatihan mengenai issu-isu pemerdangan manusia. selain itu pengetahuan dan keterampilan
dalam membangun jaringan untuk melakukan reaksi cepat dan pertolongan yang bersifat
komprehensif terhadap korban. Jaringan kerja yang dapat dibangun oleh pekerja sosial seperti
polisi atau penegak hukum setempat, pengacara, pendeta/ulama, rumah sakit, dinas sosial,
panti rehabilitasi, rumah perlindungan, lembaga-lembaga NGO dan lain-lain (Christenson,
2012). Terkait dengan tugas ini pekerja sosial ataupun lembaga-lembaga profesi pekerjaan

sosial harus melakukan upaya-upaya yang serius untuk melakukan asesmen terhadap
lembaga-lembaga kesejahteraan sosial yang konsen dalam issu ini (The Europe Institute for
Social Work, 2013).
Pekerja Sosial dalam upaya penanggulangan juga berperan besar dalam upaya untuk

membantu korban dalam proses pemulihan dari berbagai permasalahan psikologis yang
dialami korban seperti perasaan malu, depresi, harga diri rendah, serangan panic, serta gejala
posttraumatic stress disorder (Hodge, 2008).
Sebagai panduan bagi para pekerja sosial dalam rangka menolong korban,
Departement of State United State of Amerika tahun 2012 merumuskan pendekatan yang
berpusat pada korban (a victim-centered approach) sebagai panduan untuk pogram
pemberian akses dan pemberdayaan korban, meliputi; rumah perlindungan yang sifatnya
terbuka atau pilihan (Open shelter), pemberian informasi yang secara penuh kepada korban,
kerahasiaan, residensi dan hak untuk bekerja.
Shelter yang terbuka (Open Shelter). Korban tidak boleh ditahan di shelter dalam
bentuk apapun. Para korban harus diizinkan meninggalkan tempat penampungan dengan atau
tanpa pendamping jika korban menghendakinya. Tinggal di shelter adalah pilihan bagi
korban bukan satu keharusan. Jika korban memiliki akses terhadap bentuk akomodasi yang
lain maka harus diizinkan untuk memilih alternatif-alternatif lainnya.
Informasi yang menyeluruh (Full Information to Victims). Korban harus diberitahu
tentang hak-hak mereka sedini mungkin dalam bahasa yang mereka pahami. Para korban
harus diberitahu tentang apa yang akan dan tidak akan diharapkan dari mereka selama proses
pengadilan pidana berlangsung. Korban harus dipandu mengenai pilihan mereka dalam
urusan imigrasi dan juga perlu diberitahu bahwa mereka memiliki hak untuk akses kepada
konsuler atau diplomatik. Negara-negara dapat melakukan hal ini dalam berbagai cara,

termasuk menunjuk konsuler untuk korban, mengangkat advokat bagi korban, atau
melibatkan LSM. Beberapa negara mengembangkan brosur dan literatur lainnya dalam
banyak bahasa untuk memfasilitasi proses pengungkapan awal.
Kerahasiaan (confidentiality). Korban harus diberikan pilihan mengenai informasi
apa saja yang ingin mereka sampaikan. Jika mereka ingin diliput oleh media harus
mendapatkan persetujuan penuh dari korban. Termasuk apakah keluarga mereka diberitahu
tentang persoalan yang menimpanya ataukah tidak.
Residensi (recidency). Santunan bagi korban perdagangan manusia, termasuk izin
menjadi warga tetap (permanent resident), memfasilitasi proses penegakan hukum. Peraturan
imigrasi yang memberikan korban status penduduk tetap adalah praktek-praktek terbaik
daripada mandat pemulangan paksa. Skema residenci harus memungkinkan fleksibilitas
waktu bagi korban untuk menentukan apakah mereka ingin berpartisipasi dalam proses
pidana, dengan pengecualian khusus bagi korban yang belum dewasa atau yang mengalami
trauma parah. Ada banyak alasan korban perdagangan menolak bekerja sama dengan sebuah
penyelidikan. Kadang-kadang korban tidak mempercayai polisi untuk melindungi hak-hak
mereka sebab kadang-kadang penegak hukum ikut berpartisipasi dalam eksploitasi suatu
korban sehingga korban merasa terlalu trauma dengan pengalaman mereka untuk
membicarakannya dengan penegakan hukum.
Hak bekerja (Right to Work). Negara harus mempertimbangkan hak untuk bekerja
bagi korban perdagangan termasuk dari negara asing. Di banyak negara, bahkan bagi mereka
yang masuknya secara resmi, tidak membolehkan pemberian izin kerja bagi korban. Jika ini
berlaku dan tanpa bantuan materi, korban kembali ditempatkan dalam situasi rentan.
Usaha – Usaha Advokasi

Christenson (2012) mengusulkan 3 hal yang terkait dengan tugas pekerja sosial
dalam peranan advokasi dalam isu human trafficking yakni : pertama : mengadvokasi korban
agar diberikan perlindungan dan bukan sebaliknya di jadikan sebagai pelaku kriminal, hal ini
terkait dengan tugas dalam mengidentifikasi korban. Reaksi cepat pekerja sosial dalam
melakukan identifikasi dapat menyelematkan korban dari kondisi re-victimasi, hal ini sering
dijumpai pada korban yang dibawa keluar negari yang terjebak dengan urusan dokumen
seperti ketiadaan paspor dan permit sebab di tahan oleh majikan atau trafficker, akhirnya di
dakwa sebagai imigran illegal, padahal sejatinya mereka adalah korban, keberadaan pekerja
sosial disini akan akan sangat membantu dalam menolong korban.
Kedua, Advokasi ini juga diperlukan untuk membantu korban mendapatkan hak-hak
mereka, seperti pada beberapa kasus pekerja migrant (pembantu rumah) yang tidak
mendapatkan gaji selama bertahun-tahun hingga melarikan diri dari rumah majikan.
Pendekatan pekerja sosial dapat dilakukan dengan melibatkan lembaga-lembaga formal
seperti kepolisian, konsulat jenderal dari Negara korban. Pekerja sosial dapat melakukan
mediasi dan negosiasi untuk membuktikan bahwa korban memiliki hak yang harus
dibayarkan oleh pelaku. Terkait dengan keadaan ini penting sekali untuk menempatkan
seorang pekerja sosial pada lembaga-lembaga perwakilan (konsulat jenderal dan kedutaan)
yang telah memiliki sertifikasi atau lisensi sebagai international sosial work yang di
keluarkan oleh lembaga yang memiliki otoritas, sehingga pekerja sosial dapat melakukan
intervensi dalam upaya menolong korban.
Ketiga adalah advokasi dalam upaya menjerat pelaku, tentu saja ini bukan menjadi
tugas utama dari pekerja sosial akan tetapi dengan upaya pemulihan korban dengan
memberikan mereka support, menguatkan mereka dan mengembalikan kepercayaan diri
mereka sehingga mereka memiliki keberanian untuk bersaksi di pengadilan akan sangat
membantu dalam upaya menjerat pelaku. Akan tetapi upaya ini harus secara peka untuk

memikirkan terhadap kenyamanan, keselamatan dan persetujuan dari korban sebelum
memutuskan melibatkan korban dalam proses hukum ini (Christenson, 2012; Mapp, 2008).
Peranan dalam Upaya Meningkatkan Kebijakan
Pada tataran ini pekerja sosial bekerja pada level makro untuk memperjuangkan satu
kebijakan yang dapat menghasilkan atau lebih menguatkan undang-undang atau peraturan
yang berpihak pada kepentingan korban. Kebijakan yang diskriminatif terhadap korban dan
yang dijadikan celah oleh para pelaku dari jeratan hukum harus dihapuskan.
Selain itu, anggaran atau budget adalah hal penting untuk diperjuangkan agar para
intitusi maupun profesi yang berjuang dalam melawan praktek human trafficking dapat
menjalankan program-program yang betul-betul menyentuh akar persoalan. mulai dari
pencegahan, penanganan dan pemulihan korban secara efektif dan efisien. Karena itulah para
pekerja sosial harus mampu menyuarakan aspirasinya pada lembaga yang berwenang dan
memiliki hak budget yakni lembaga legislatif seperti DPR atau DPRD (Christenson, 2012)
Pekerja sosial juga dapat mendorong terwujudnya perangkat perundang-undangan
yang mengatur secara efektif mengenai mekanisme dan prosedur pertolongan kepada korban.
Usaha ini termasuk peningkatan kesadaran dalam upaya memberikan pelayanan yang efektif
kepada korban seperti bantuan hukum (legal assistance), bantuan keuangan (financial
assistance), termasuk bantuan makanan dan perumahan (Mapp, 2008).
Peranan Pekerja Sosial dalam Mengembangkan Riset dalam Issu Human Trafficking
Riset adalah hal penting dalam menyumbang terhadap peningkatan kualitas praktek
pekerjaan sosial serta dalam rangka membumikan teori-teori pekerjaan sosial, apalagi dengan
paradigma base evidance practice yang sangat tren dalam 10 tahun terakhir.

Pekerjaan sosial dalam membicarakan masalah human trafficking merupakan isu
baru dalam prakteknya oleh karena itu perlu mendapatkan dukungan dari hasil-hasil
peneltian. Dalam kaitan ini, The Europe Institute for Social Work, telah mengembangkan
sebuah program yang dinamakan dengan Program FGHT atau Fight Global Human
Trafficking, dalam program ini menekankan pentingnya dilakukan penelitian dalam upaya
melawan segala bentuk perdagangan manusia pada tingkatan global. Beberapa penelitian
yang dijalankan dalam bentuk upaya melakukan pemetaan dan evaluasi terhadap segala
bentuk perdagangan manusia, mengembangkan penelitian penelitian baru yang terkait dengan
isu isu perdagangan manusia dan membangun sebuah center atau pusat jaringan kerja yang
fokus pada penelitian dan pertukaran informasi mengenai praktek penanganan perdagangan
manusia. Tentu saja hal ini juga boleh diadopsi untuk di bangun pada tingkatan regional asia
atau lebih fokus untuk regional asia tenggara yang dapat dipelopori atau bekerjasama dengan
asosiasi pekerja sosial, kementerian sosial dan lembaga pendidikan pekerjaan sosial pada
masing-masing Negara. Lembaga ini juga akan berfungsi sebagai pusat konsultasi dan
rekomendasi bagi upaya melawan segala bentuk perdagangan manusia baik dalam tingkat
Negara, kawasan maupun internasional .
Kesimpulan
Pekerja sosial sebagai profesi pertolongan dapat menjalankan peranannya dalam berbagai
tahapan dalam upaya memerangi dan menanggulangi masalah perdagangan manusia, mulai
dari upaya pencegahan dengan aktif melakukan kampanye guna membangun kesadaran
masyarakat tentang bahaya perdagangan manusia, peranan dalam upaya penanganan yakni
mengidentfikasi korban dan segera memberikan pertolongan serta proteksi terhadapnya.
Dalam konteks kekinian dalam rangka menguatkan praktek pekerja sosial berdasarkan
paradigma base evidande practice maka penelitian pekerjaan sosial dalam bidang
perdagangan manusia amatlah openting untuk digalakkan. Peranan lain yang tak kalah

pentingnya adalah kehadiran pekerja sosial dalam memperjuangkan kebijakan termasuk
anggaran yang terkait dengan issu pemerdangan manusia
Saran :
1.

Dalam rangka meningkatkan peranan pekerja sosial dalam masalah perdangan manusia
terutama yang bersifat lintas batas, maka sangat penting untuk menempatkan para
pekerja sosial berlisensi internatioanl social work baik pada pada lembaga-lembaga
perwakilan (kedutaan, Konsulat Jenderal) maupun pada lembaga-lembaga international
seperti (UNHCR,UNESCO dll) serta NGO international (save the children, IOM dll).
pekerja sosial yang memiliki spesialisasi dalam isu perdagangan manusia serta pernah
mengikuti training-training yang berkaitan dengan penanganan korban human trafficking
dan training-training lain yang berkaitan dengan isu human trafficking serta memiliki

2.

pengalaman praktek dalam penanganan korban perdangan manusia.
Kementerian Sosial, Asosiasi pekerja sosial, lembaga pendidikan pekerjaan sosial pada
tingkat asia ataupun asia tenggara perlu mempelopori kegiatan riset yang terintegrasi

3.

dengan isu perdagangan manusia.
Pekerja sosial penting untuk hadir sebagai tenaga pakar dalam setting legislatif untuk
membantu dalam merumuskan rancangan perundang-undangan yang terkait dengan isu
perdagangan manusia.

Daftar Pustaka
Aronowitz, A. A. (2009). Human Trafficking, Human Misery : the Global Trade in Human
Beings. West Port. Green Wood Publishing.
Syamsuddin & Azlinda Azman (2013) Vulnerable Runaway Children to Trafficking in
Makassar, Indonesia. (Paper) Dipresentasikan pada 1st International Young
Scholars Conference 2013 di Boracay Philipina tanggal 18 Mei 2013.
Departement of State United State of Amerika (2012) Trafficking In Persons Report June
2012. Diunduh dari http://www.state.gov/documents/organization/192587.pdf
pada tanggal 8 Juli 2013
Department of State United State of Amerika (2013) Trafficking In Persons Report June
2013. http://www.state.gov/documents/organization/210737.pdf pada tanggal 9
Juli 2013.
Inter-Parliamentary Union, & UNICEF. (2005). Handbook for for Parliamentarians No 9 :
Combating Child Trafficking. New York: IPU.
Christenson, K. (2012) Social Work Practitioners and the Identification of Human Trafficking
Victims. Master of Social Work Clinical Research Papers. School of Social Work
St. Catherine University/University of St. Thomas. Saint Paul, Minnesota. Di
unduh pada tanggal 6 juli 2013 dari http://sophia.stkate.edu/cgi/viewcontent.cgi?
article=1114&context=msw_papers
Salett, E., P. (2006) Human Trafficking And Modern-Day Slavery. Human right &
international Affairs:Practice Up Date . National Association Of Social Worker
(NASW). Nopember 2006. Diunduh pada tanggal 6 juli 2013 dari
http://www.socialworkers.org/diversity/affirmative_action/humantraffic1206.pdf.
FIGHT - Fight Global Human Trafficking. (n.d.). Retrieved July 6, 2014, from The Europe
Institute for Social Work website, http://www.socialeurope.de/home/fight.html
Mapp, S., C., 2008) Human Rights and Social Justice in a Global Perspective : An
Introduction to International Social Work. Oxford University Press, Inc. New York
Hodge, D. R. (2008). Sexual trafficking in the united states: A domestic problem
withtransnational dimensions. Social Work, 53(2), 143-152. Diunduh dari
http://ezproxy.stthomas.edu/login?url=http://search.ebscohost.com/login.aspx?
direct=true&db=swh&AN=57983&site=ehost-live.
Zimmerman, C., Hossain, M., Yun, K., Roche, B., Morison, L., & Watts, C. (2006). Stolen
Smiles : The physical and Psychological Health Consequences of Women and
Adolescents Trafficked in Europes. London: The London School of Hygiene &
Tropical Medicine.