KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN LINGKUNGAN DAL (1)

KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN LINGKUNGAN
DALAM KEHIDUPAN MANUSIA
David Baniardy Nurrahman
davidbaniardy@students.unnes.ac.id

DATA BUKU
Nama/Judul Buku :
Pembangunan
Penulis/Pengarang
Penerbit
:
Tahun Terbit
Kota Penerbit
:
Bahasa Buku
Jumlah halaman :
ISBN Buku
:

Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan
: Muhammad Erwin, SH., M.Hum.

Refka Aditama
: 2011
Bandung
: Bahasa Indonesia
211 Halaman
978-979-1073-99-8

PEMBAHASAN BUKU

Lingkungan hidup. Apa yang terbersit dalam pikiran kita ketika
terdengar kalimat tersebut ? mungkin sebagian orang akan terpikir daerah
sekitar kita, sebagian orang lainnya berpikir lingkungan tercemar, bersih, dll.
Namun dalam buku yang akan saya review berikut ini yang berjudul Hukum
Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan karya Muhammad
Erwin ini akan menarik perhatian kita semua. Pasalnya dalam buku ini, saudara
Erwin mengambil perspektif kajian pembangunan disertai dengan segala
kebijaksanaannya yang berupa Konservasi Sumber Daya alam hayati dan
ekosistemnya, Tanggung jawab mutlak atau bahasa kerennya Strict Liabillity,
Pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Sedikit mengenai
fsik buku yang diterbitkan oleh Refka Aditama ini sekilas terlihat menarik.

Mulai dari pemilihan sampul yang halus, bahan yang dipakai juga mungkin
double jadi tidak mudah rusak. Serta pemilihan gambar yang tidak terlalu
mencolok mata merupakan sebuah karya yang bagus sekali. Buku ini
dibanderol dengan harga yang terjangkau. Hanya sekitar 60 rb saja kita sudah
dapat buku ini. Harga yang cukup terjangkau untuk meluaskan wawasan kita
tentang lingkungan hidup dalam persepktif pembangunan. Baik secara singkat
buku
ini
membahas
tentang
pembangunan
berkelanjutan.
Dalam
pembangunan ada 3 pilar pembangunan yang sangat utama yaitu dari segi
sosial, ekonomi dan lingkungan hidup. Ketiga pilar tersebut harus menjadi
perhatian utama dalam adanya keseimbangan diantaranya dalam melakukan
pembangunan. Namun, pada kenyataannya pada era ini pembangunan yang
dilakukan tidak memperhatikan ketiga pilar tersebut. Misalnya, pembangunan
ruko-ruko atau tempat pusat perbelanjaan saat ini yang semakin bersaing dan
memakan banyak daerah resapan air. Akibatnya daerah yang dijadikan

resapan air menjadi bajir. Hal seperti ini tentu menjadi hal yang sangat

merugikan lingkungan sosial di sekitarnya. Banyak masyarakat yang mengeluh
dan merasa dirugikan. Dari konsep tersebut dapat dikatakan bahwasnya
pembangunan ini tidak memperhatikan ketiga pilar pembangunan tersebut.
Mereka hanya memperhatikan bagaimana caranya pertumbuhan ekonomi
menjadi lebih baik tetapi hal itu menimbulkan keresahan masyarakat dengan
menghilangkan daerah resapan air. Disini hanya angka ekonomi yang
diutamakan tetapi angka sosial dan lingkungan hidup tidak diperhatikan dalam
konsep pembangunannya. Hal seperti inilah merupakan suatu eksploitasi
terhadap lingkungan hidup. Penggundulan lahan hutan, lahan kritis,
menipisnya lapisan ozon, pemanasan global tumpahan minyak di laut, ikan
mati di anak sungai karena zat-zat kimia, dan punahnya species tertentu
adalah beberapa contoh dari masalah-masalah lingkungan hidup. Dalam
literatur masalah-masalah lingkungan dapat dikelompokkan kedalam tiga
bentuk yaitu pencemaran lingkungan (pollution), pemanfaatan lahan secara
salah dan pengurasan atau habisnya sumber daya alam . Tetapi, jika dilihat
dari perspektif hukum yang berlaku di Indonesia, masalah-masalah lingkungan
hanya dikelompokan ke dalam dua bentuk, yakni pencemaran lingkungan dan
perusakan lingkungan hidup.

Pembedaan masalah lingkungan hidup ke dalam dua bentuk dapat dilihat
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) yang kemudian dicabut oleh UU NO 23
tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH).
Dalam buku ini, pengertian pencemaran lingkungan adalah sebagaimana
dirumuskan dalam pasal 1 butir 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997,
yakni :
Masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/ atau
komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan, sehingga kualitasnya
turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak
berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Pengertian perusakan lingkungan
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 14, yaitu:
Tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung
terhadap sifat fsik dan/ atau hayati yang mengakibatkan lingkungan hidup
tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Dampak
negatif dari menurunnya kualitas lingkungan hidup baik karena terjadinya
pencemaran atau terkurasnya sumber daya alam adalah timbulnya ancaman
atau dampak negatif terhadap kesehatan, menurunnya nilai estetika, kerugian
ekonomi (economic cost), dan terganggunya sistem alami (natural system).
Substansi hukkum lingkungan yang mencakup sejumlah ketentuan-ketentuan

hukum tentang dan berkaitan dengan upaya-upaya mencegah dan mengatasi
masalah-masalah lingkungan hidup. Van den Berg membagi hukum lingkungan
ke dalam lima bidang, yakni: hukum bencana, hukum kesehatan lingkungan,
hukum tentang sumber daya alam, atau hukum tentang sumber daya alam
atau hukum konservasi, hukum tentang pembagian pemakaian ruang, hukum
perlindungan lingkungan. Hukum penyelesaian sengketa lingkungan terdiri
atas ketentuan-ketentuan hukum penyelesaian sengketa melalui proses
peradilan dan tata cara penyelesaian sengketa di luar proses peradilan.
Beberapa pokok bahasan dalam hukum penyelesaian sengketa lingkungan,
antara lain, berkaitan dengan hukum acara di Pengadilan Umum dan
Pengadilan Tata Usaha Negara, hak gugat, gugatan perwakilan, pembuktian,
pertanggungjawaban perdata, negosiasi dan mediasi lingkungan.
Hukum konservasi sumber daya alam hayati mencakup ketentuanketentuan hukum yang berkaitan dengan izin pengembilan sumber daya alam,

kriteria baku kerusakan lingkungan, perlindungan tentang pemanfaatan
sumber daya alam, sanksi-sanksi hukum pidana yang berkaitan dengan
pengambilan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Posner salah seorang sarjana penganjur terkemuka teori pendekatan
ekonomi terhadap hukum, berpandangan bahwa teori pendekatan ekonomi
terhadap hukum semestinnya menjadi landasan dan acuan bagi

pengembangan dan analisis terhadap hukum pada umumnya. Dalam konteks
penerapannya ke dalam hukum lingkungan, teori pendekatan ekonomi sangat
dipengaruhi oleh asumsi-asumsi dasar ilmu ekonomi yang memandang
masalah-masalah lingkungan bersumber dari dua hal, yaitu kelangkaan sumber
daya alam dan kegagalan pasar. Kelangkaan sumber daya alam menjadi
sumber permasalahan dalam kehidupan manusia. Manusia mengandalkan
sumber daya alam untuk dapat memenuhi keinginannya. Masalahnya adalah
bahwa sumber daya alam tidak mungkin memenuhi semua keinginan manusia,
oleh sebab itu perlu ada kebijakan dari pemerintah tentang alokasi
pemanfaatan sumber daya alam. Kebijakan alokasi yang baik adalah kebijakan
yang dapat memaksimmalkan kepuasan atau keinginan orang perorangan.
Bagi para penganjur pendekatan ekonomi terhadap hukum lingkungan
misalkan pencemaran lingkungan dipandang semata-mata sebagai bentuk
eksternaliti akibat pasar tidak memasukan seluruh unsur biaya yang
semestinya dimasukan ke dalam harga dari produk yang bersangkutan. Jadi
eksternalitas semata-mata dipandang sebagai akibat kegagalan pasar. Oleh
sebab itu, pengaturan hukum lingkungan hanya dapat dibenarkan apabila
hukum lingkungan berfungsi sebagai upaya rasional untuk memperbaiki
kegagalan pasar dalam mengalokasikan penggunaan sumber daya alam
secara efsien atau untuk mencapai pendistribusian kekayaan secara lebih adil.

Pengembangan hukum lingkungan berdasarkan teori hak dipengaruhi
pleh flsafat moral atau etika. Aliran flsafat ini menganggap perbuatan yang
menimbulkan pencemaran dan perusakan lingkungan merupakan perbuatan
jahat (evils) sehingga masyarakat atau negara wajib menghukum perbuatan
semacam itu. Teori hak ini juga mencakup dua aliran pemikiran, yaitu
libertarianisme di satu sisi dan aliran pemikiran tentang hak-hak hewan (animal
rights) di sisi lain.
Bagi libertarianisme, jika sebuah sistem hukum mengakui keberadaan
hak atas lingkungan hidup, maka hak itu berfungsi sebagai pelindung bagi
perorangan pemegang hak untuk menolak keputusan-keputusan atau
kebijakan-kebijakan pemerintah yang bertentangan atau mengancam hak atas
lingkungan hidup, meskipun keputusan atau kebijakan pemerintah secara
ekonomi dianggap efsien.
Beberapa sarjana mengusulkan perlunya membangun etika ekologis dan
perlindungan hak-hak hewan sebagai dasar bagi hukum dan kebijakan
lingkungan hidup. Aldo Leopold mengusulkan perlunya konsep etika tanah
(land etic), yaitu aturan perilaku untuk melindungi komunitas yang tidak saja
terdiri atas manusia, tetapi juga mencakup tanah, air, tumbuh-tumbuhan, dan
hewan. Sebuah kebijakan dianggap baik apabila tidak mengancam integritas,
stabilitas, dan keindahan komunitas.ndengan demikian Leopold menginginkan

adanya perlakuan yang sama terhadap semua makhluk sebagai bagian dari
komunitas etik.
Perilaku individual manusia sering kali dilatarbelakangi oleh berbagai
motif subjektif yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan kehidupan bersama
dalam masyarakat atau negara. Dengan demikian diperlukan berbagai
peraturan perundang-undangan lingkungan yang dimaksudkan untuk

mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak saja merugikan dirinya, tetapi juga
merugikan masyarakat secara keseluruhan, serta mengubah atau
mengarahkan kesukaan warga demi kebaikan masyarakat secara keseluruhan.
Agar pendekatan paternalisme tidak melanggar kebebasan dan hak individual,
pengaturan hukum atau kebijakan yang dibangun atas dasar teori
paternalisme diperlukan keterbukaan institusi-institusi pemerintah dan
individu-individu memiliki akses dalam proses politik yang menghasilkan
kebijakan paternalisme negara. UULH 1982 merupakan sumber hukum formal
tingkat undang-undang yang pertama dalam konteks hukum lingkungan
modern di Indonesia. UULH 1982 memuat ketentuan-ketentuan hukum yang
menandai lahirnya suatu bidang hukum baru, yakni hukum lingkungan karena
ketentuan-ketentuan itu mengandung konsep –konsep yang sebelumnya tidak
dikenal dalam bidang hukum. Disamping itu, ketentuan-ketentuan UULH 1982

memberikan landasan bagi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup. Setelah
UULH tahun 1982 berlaku selama sebelas tahun ternyata oleh para pengambil
kebijakan di pemerintah, khususnya di lingkungan Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup dan BAPEDAL, berpandangan, bahwa kegagalan dari
kebijakan
pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia akibat kelemahan
penegakan hukum UULH 1982. Oleh karena itu pemerintah menyempurnakan
UULH tersebut pada tahun 1997. Perkembangan terbaru adalah pemerintah
mengundangkan UU No. 32 Taun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (LN Tahun 2009 No.140) yang menggantikan UULH 1997. UU
ini secara normatif dan politik merupakan produk dari hak inisiatif DPR RI.
Tetapi secara empiris peran Eksekutif, khususnya Kementrian Lingkungan
Hidup sangat penting mempersiapkan RUUPPLH. Pengertian pembangunan
berkelanjutab, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1 butir 3 UUPPLH, adalah
“ upaya sadar dan terncana, yang memadukan lingkungan hidup sosial,
ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keselamatan,
kemampuan kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa
mendatang”.
Pengertian ekosistem sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1 butir 5
adalah “ tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh

menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan,
stabilitas dan produktivitas lingkungan hidup.” Pengertian pelestarian fungsi
lingkungan hidup dirumuskan dalam Pasal 1 butir 7, yaitu; “kemampuan
lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup
lain dan keseimbangan antar keduanya.” Selanjutnya, konsep daya tampung
lingkungan hidup dirumuskan sebagai berikut “ kemampuan lingkungan hidup
untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau
dimasukan kedalamnya.” Konsep daya dukung lingkungan berguna dalam
kaitannya dengan pengendalian pencemaran lingkungan hidup. Pengertian
sumber daya alam dirumuskan Pasal 1 ayat 9 UUPPLH adalah, “unsur
lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya alam,, baik hayati maupun
non-hayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem”.
Dalam UUPPLH tidak lagi menggunakan konsep kewenangan negara, tapi
kewenangan pemerintah yang dibedakan atas pemerintah, pemerintah
propinsi, pemerintah kabupaten/kota. Perubahan konsep ini tampaknya
didasarkan pada pertimbangan bahwa konsep negara lebih luas karena
mencakup pemerintah, teritorial dan warga negara. Negara dijalankan oleh
pemerintah sebagai sebuah organisasi kekuasaan negara.
Kewenangan pemerintah pada 3 tingkatan diformulasikan lebih rinci meliputi,
diantaranya :


1.
Menetapkan kebijakan nasional
2.
Menetapkan norma-norma, standar, prosedur, dan kriteria.
3.
Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH nasional.
Kewenangan pemerintah, mengenai pemerintah kabupaten/kota yang
dirumuskan secara rinci sebagaimana dirumuskan dalam pasal 63 ayat (1), (2)
dan (3) UUPPLH pada dasarnya tidak tepat. Semestinya rumusan normatif
dalam tingkatan UU bersifat abstrak, tetapi cukup mencakup kenyataan
empiris yang ingin dijangkau. Lagipula penyebutan sejumlah kewenangan
secara rinci tersebut ada yang tidak efsien, misalkan penyebuttan
kewenangan penegakan hukum. Kalaupun kewenangan penegakan hukum itu
tidak disebutkan dalam UUPPLH, pemerintah sudah semestinya memiliki
kewenangan penegakan hukum karena kewenangan itu sudah inhern dengan
pemerintah sesuai dengan teori-teori dalam ilmu negara atau ilmu politik,
bahwa kewenanga penegakan hukum itu ada pada pemerintah sebagai salah
satu unsur dari terbentuknya negara disamping terbentuknya negara
disamping wilayan dan warga. Pasal 5 UUPPLH mengamanatkan agar
pelaksanaan pegelolaan lingkungan hidup dilakukan melalui inventarisasi
lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion dan penyusunan Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). RPPLH terdiri atas
RPPLH nasional dibuat oleh Menteri Lingkungan Hidup berdasarkan
inventarisasi nasional, RPPLH provinsi dibuat berdasarkan RPPLH nasional,
inventarisasi tingkat pulau/kepulauan dan inventarisasi tingkat ekoregion,
RPPLH tingkat kabupaten/kota dibuat berdasarkan RPPLH provinsi,
inventarisasi tingkat pulau/kepulauan dan inventarisasi tingkat ekoregion.
Menurut ketentuan UPPLH, RPPLH menjadi dasar penyusunan dan dimuat
dalam rencana pembangunan jangkaa menengah. Hal ini juga membuktikan
bahwa secara normatif, UUPPLH telah mengintegrasikan upaya pembangunan
dengan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana menjadi ciri dari
pembangunan berkelanjutan. Konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya
berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang” (Pasal 2). Tujuan
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1990 adalah mengusahakan
terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan
ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Hukum lingkungan
adalah sebuah bidang cabang hukum yang memiliki kekhasan yang oleh
Drupsteen disebut sebagai bidang hukum fungsional, yaitu didalamnya
terdapat unsur-unsur hukum administrasi, hukum pidana dan hukum perdata.