ANALISIS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA LAL

ANALISIS PENYELESAIAN PERKARA PIDANA LALU LINTAS YANG
DILAKUKAN OLEH ANAK YANG MENYEBABKAN KEMATIAN
(Studi di Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung)

Oleh
Erlangga Rekayasa, Maroni, Dona Raisa Monica. Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung Jalan Soemantri Brojonegoro Nomor 1
Bandar Lampung 35145. Email: erlanggarekayasa@gmail.com

Abstrak
Perkara pidana lalu lintas pada umumnya terjadi karena faktor kelalaian, karena pada
dasarnya baik pelaku maupun korban perkara pidana lalu lintas tidak mengharapkan
hal tersebut terjadi. Penyelesaian perkara pidana lalu lintas terhadap anak yang
melakukan tindak pidana lalu lintas dan menyebabkan korbannya meninggal dunia,
didasarkan pada ketentuan hukum dan sistem peradilan pidana anak yang berlaku di
Indonesia. Permasalahan penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah penyelesaian
perkara pidana lalu lintas yang dilakukan oleh anak yang menyebabkan kematian? (2)
Apakah faktor-faktor yang menghambat penyelesaian perkara pidana lalu lintas yang
dilakukan oleh anak yang menyebabkan kematian?
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Penyelesaian tindak pidana lalu
lintas yang dilakukan oleh anak yang menyebabkan kematian dilaksanakan dengan

mekanisme hukum pidana yang berlaku melalui proses peradilan melalui penyidikan,
penuntutan dan penjatuhan hukuman pidana, namun demikian pelaku dan keluarga
korban dapat melakukan perdamaian, karena pada dasarnya tindak pidana lalu lintas
terjadi tanpa kesengajaan. Perdamaian yang dilakukan oleh pelaku dan keluarga
korban dimediasi oleh Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung tidak menghapuskan
unsur pidana dalam perkara lalu lintas yang terjadi. (2) Faktor-faktor yang
menghambat penyelesaian tindak pidana lalu lintas yang dilakukan oleh anak yang
mengebabkan kematian adalah: a) Faktor penegak hukum, yaitu masih terbatasnya
jumlah anggota Satlantas dalam menangani perkara lalu lintas di seluruh Kota Bandar
Lampung dan secara kualitas masih kurangnya pengetahuan dan keterampilan
penyidik Satlantas dalam menerapkan perdamaian b) Faktor masyarakat, yaitu
ketidak lengkapan data dan informasi yang disampaikan oleh pelaku dan korban yang
terlibat dalam perkara pidana lalu lintas. c) Faktor Kebudayaan, yaitu karakter
personal pelaku, korban dan keluarganya yang tidak mendukung penyelesaian
perkara di luar peradilan atau perdamaian.
Kata Kunci: Penyelesaian, Perkara Lalu Lintas, Anak

ANALISYS TOWARD TRAFFIC CRIMINAL CASE BY CHILD
THAT CAUSE OF DEATH
(Study on Police Resort of Bandar Lampung)


Abstract
Criminal traffic generally occured because of inadvertence, because basically both
perpetrators and victims of criminal traffic not expect it to happen. Completion of a
criminal traffic cases against children who commit criminal acts of traffic and cause
the victim's death, based on the rule of law and juvenile criminal justice system
applicable in Indonesia. The problem in this study were: (1) How is the settlement of
the criminal case that traffic carried by the child who caused the death? (2) What the
factors that hinder the completion of the criminal case that traffic carried by the child
who caused the death?
Research results and discussion indicate: (1) Completion of a criminal offense
committed by the traffic that caused the child's death should be a mechanism criminal
law through judicial process, through investigation, prosecution and conviction,
however, the perpetrator and the victim's family can make peace, because basically
the crime of traffic going without intent. Peace is made by the perpetrator and the
victim's family is mediated by Bandar Lampung Police do not eliminate the criminal
element in traffic cases that occur. (2) The factors that hinder the completion of the
traffic criminal offenses committed by children who mengebabkan death are: a) the
law enforcement factor, ie the quantity of the limited number of members of the
Police Traffic in handling cases of traffic throughout the city of Bandar Lampung and

the quality is still a lack of knowledge and skills in implementing peace traffic
investigator in a criminal case settlement traffic. b) community factors, namely the
lack of completeness of data and information submitted by the offender and the victim
were involved in a criminal traffic case, so that the perpetrators and the victims only
provide data that are considered potentially detrimental to his side. c) Cultural
factors, namely the personal character of the offender, the victim and kleluarganya
that does not support the resolution of the case outside the justice or peace.
Keywords: Resolution, Criminal Traffic, Child

I. Pendahuluan
Anak pada dasarnya merupakan amanah
dan karunia Tuhan Yang Maha Esa,
yang dalam dirinya juga melekat harkat
dan
martabat
sebagai
manusia
seutuhnya. Anak merupakan potensi
masa depan dan generasi muda penerus
cita-cita perjuangan bangsa, memiliki

peran strategis dan mempunyai ciri dan
sifat
khusus
yang
menjamin
kelangsungan eksistensi bangsa dan
negara pada masa depan.
Seiring dengan perkembangan zaman
dapat dilihat bahwa telah terjadi pola
perubahan dan perilaku anak dalam
kehidupan sehari-hari. Anak yang
seharusnya menjalani kehidupannya
secara wajar sesuai dengan usianya,
ternyata melakukan berbagai perbuatan
tercela yang mengarah pada pelanggaran
dan tindak pidana, seperti menjadi
pelaku tindak
pidana pencurian,
pencabulan bahkan pembunuhan.
Fenomena lain yang saat ini berkembang

adalah anak telah terbiasa mengendarai
kendaraan bermotor, padahal mereka
belum memiliki Surat Izin Mengemudi
(SIM), belum memahami dan tidak
mematuhi peraturan lalu lintas, tidak
memiliki kemampuan mengemudikan
kendaraannya dengan wajar dan tidak
mengutamakan keselamatan dalam
berkendara. Pada umumnya anak yang
mengendarai
kendaraan
bermotor
berstatus sebagai pelajar yang belum
memahami kelas jalan, rambu-rambu
dan marka jalan, alat pemberi isyarat lalu
lintas, waktu kerja dan waktu istirahat
pengemudi, gerak lalu lintas berhenti
dan parkir, persyaratan teknis dan laik
jalan kendaraan bermotor dan tidak
mengindahkan kecepatan minimum dan


kecepatan maksimum dalam berkendara.
Berbagai hal tersebut menjadi penyebab
terjadinya kecelakaan lalu lintas di
kalangan pelajar atau yang dikategorikan
sebagai anak.
Sebagai contoh kasus tindak pidana lalu
lintas yang dilakukan oleh anak adalah
kecelakaan lalu lintas yang dilakukan
oleh AQJ (13 tahun), yang mengendarai
mobilnya dengan kecepatan tinggi,
sehingga menabrak pembatas jalan dan
menabrak dua mobil lain, sehingga
mengakibatkan 7 pengendara mobil
tersebut meninggal dunia dan 9 terluka.
Pihak kepolisian telah melakukan
penyidikan terhadap perkara ini dan
menetapkan AQJ sebagai tersangka,
karena Pasal 310 Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).
Kelalaian AQJ yang mengakibatkan
kecelakaan dengan korban meninggal
dunia dengan ancaman 6 tahun pidana
penjara. AQJ juga melanggar Pasal 281
jo. Pasal 77 UU LLAJ, karena
mengemudikan kendaraan bermotor
tidak memiliki Surat Izin Mengemudi
(SIM). Selain itu melanggar Pasal 280
jo. Pasal 68 UU LLAJ karena Tanda
Nomor Kendaraan Bermotor yang
dipasang tidak sesuai dengan yang
ditetapkan Polri. Tim Jaksa Penuntut
Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi DKI
Jakarta mendakwa AQJ (Dul) karena
melanggar Pasal 310 ayat (1), (3) dan
(4), Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, dengan ancaman hukuman 6 tahun
pidana penjara.1


1

http://www.indopos.co.id/2014/02/dul-di-tuntutenam-jaksa.html Diakses Sabtu 29 April 2014

Pasal 310 ayat (1), (3) dan (4) UndangUndang Nomor 22 Tahun 2009:
(1) Setiap orang yang mengemudikan
Kendaraan Bermotor yang karena
kelalaiannya
mengakibatkan
Kecelakaan Lalu Lintas dengan
kerusakan
Kendaraan
dan/atau
barang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam)
bulan dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(3) Setiap orang yang mengemudikan

Kendaraan Bermotor yang karena
kelalaiannya
mengakibatkan
Kecelakaan Lalu Lintas dengan
korban luka berat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4),
dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda
paling
banyak
Rp10.000.000,00
(sepuluh
juta
rupiah).
(4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) yang
mengakibatkan orang lain meninggal
dunia, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun

dan/atau denda paling banyak
Rp12.000.000,00 (dua belas juta
rupiah).
Perkara tindak pidana lalu lintas
umumnya terjadi tanpa kesengajaan, di
sini yang ada hanya unsur kealpaan atau
kelalaian. Pengenaan pidana kepada
orang yang karena alpa melakukan
kejahatan disebut dengan strict liability,
artinya ada kejahatan yang pada waktu
terjadinya keadaan mental terdakwa
adalah tidak mengetahui dan sama sekali
tidak bermaksud untuk melakukan suatu
perbuatan. Namun meskipun demikian
dia dipandang tetap bertanggung jawab
atas terjadinya perkara yang terlarang

itu, walaupun dia sama sekali tidak
bermaksud untuk melakukan suatu
perbuatan

yang
ternyata
adalah
2
kejahatan.
Perkara pidana lalu lintas dapat
diselesaikan melalui perdamaian sebagai
proses penyelesaian pekara pidana lalu
lintas di luar pengadilan (Alternative
Dispute Resolution). Polisi sebagai
penyidik dalam menyelesaikan tindak
pidana lalu lintas khususnya yang
termasuk Pasal 359 KUHP di luar
Pengadilan ini kalau pelaku dan pihak
korban sudah ada kesepakatan kehendak.
Penyelesaian di dalam Pengadilan,
apabila para pihak pelaku dan keluarga
korban tidak ada kesepakatan kehendak
untuk diselesaikan di luar Pengadilan,
Polisi sebagai penyidik sesuai dengan
tugasnya membuat berita acara tentang
kejadiannya dan kemudian menyerahkan
ke Jaksa penuntut Umum agar dilakukan
penuntutan.
Polisi
sebagai
penyidik
dalam
menangani perkara kecelakaan lalu lintas
harus melihat dahulu sebab-sebab
terjadinya kecelakaan lalu lintas tersebut,
sehingga dapat tidaknya perkara tersebut
diselesaikan di luar pengadilan atau
harus melalui pengadilan. Polisi dalam
menentukan kriteria tersebut harus
mempunyai dasar keahlian khusus di
bidang lalu lintas karena polisi tersebut
dalam menangani perkara tersebut harus
dapat menyelesaikan dengan baik dan
adil. Adapun dalam hal tersebut
berkaitan
langsung
dengan
cara
penyelesaiannya,
apabila
dapat
dibuktikan karena kealpaan pelaku dan
2

C.S.T, Kansil dan Christine S.T. Kansil,
Disiplin Berlalu Lintas di Jalan Raya ,Jakarta,
Rineka Cipta, 1995, hlm.4

korban dianggap bersalah maka dapat
diselesaikan di luar pengadilan.
Sebagai contoh perkara kecelakaan lalu
lintas yang diselesaikan di luar
pengadilan adalah tabrakan sepeda
motor antara korban Suhardi Bin Zubir
(28 tahun) yang mengendarai Sepeda
Motor Yamaha Mio Nopol BE 6553 YS
dengan tersangka Oghi Putra (16 tahun)
yang mengendarai sepeda Motor
Yamaha Vega R Nopol BE 8791 CU.
Kecelakaan terjadi pada Hari Jum'at,
Tanggal 11 November 2013, pukul
21.00 wib di Jl. Soekarno Hatta Simpang
Gg. Sawah Baru By Pass Raya Rajabasa
Bandar Lampung. Keluarga kedua belah
pihak telah mengadakan perdamaian dan
menyelesaikan permasalahan secara
kekeluargaan. Dalam konteks ini Pihak
Kepolisian menjadi fasilitator untuk
mengupayakan perdamaian. 3
Kesenjangan yang terjadi dalam perkara
di atas adalah meskipun Pihak
Kepolisian telah memfasilitasi upaya
perdamaian antara pelaku dengan pihak
keluarga korban, tetapi proses hukum
tetap berjalan, padahal Pasal 1 ayat (7)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
dinyatakan bahwa diversi adalah
pengalihan penyelesaian perkara anak
dari proses peradilan pidana ke proses di
luar peradilan pidana.
Berdasarkan uraian di atas maka
permasalahan penelitian ini adalah:
a. Bagaimanakah penyelesaian perkara
pidana lalu lintas yang dilakukan
oleh anak yang menyebabkan
kematian?
3

Data Laporan Satuan Lalu Lintas Polresta
Bandar Lampung Bulan Desember 2013.

b. Apakah
faktor-faktor
yang
menghambat penyelesaian perkara
pidana lalu lintas yang dilakukan
oleh anak yang menyebabkan
kematian?
Pendekatan masalah dalam penelitian ini
menggunakan
pendekatan
yuridis
normatif dan pendekatan yuridis empiris,
dengan responden penelitian yaitu
anggota Kepolisian Resor Kota Bandar
Lampung dan dan Dosen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan
data dilakukan dengan teknik studi
pustaka dan studi lapangan. Data
selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
II. Pembahasan
A. Penyelesaian Perkara Pidana Lalu
Lintas Yang Dilakukan oleh Anak
Yang Menyebabkan Kematian
Pada dasarnya setiap perkara lalu lintas
yang menimbulkan korban meninggal
dunia merupakan perkara pidana dan
harus diselesaikan melalui pengadilan,
namun demikian pihak pelaku maupun
keluarga korban dapat menempuh upaya
di luar pengadilan dan secara
kekeluargaan
melalui
proses
perdamaian.
Terjadinya
peristiwa
kecelakaan
lalu
lintas
yang
menyebabkan meninggal dunia pada
umumnya tidak ada unsur kesengajaan
dan yang ada unsur kealpaan. Oleh
karena itu antara pelaku dan pihak
keluarga korban biasanya saling
menyadari
sehingga
dalam
menyelesaikan perkara mereka memilih
di luar pengadilan atau dengan cara
damai. Jadi secara ringkas bentuk
penyelesaian perkara lalu lintas di luar
pengadilan
dengan
cara
damai
maksudnya antara pelaku dan pihak

5

keluarga
korban sepakat
mengadakan
musyawarah
menyelesaikan
perkara
kekeluargan.

setelah
untuk
secara

Berdasarkan hasil wawancara kepada
Toni Suherman, menyatakan bahwa
polisi
sebagai
penyidik
dalam
menangani perkara kecelakaan lalu lintas
harus melihat dahulu sebab-sebab
terjadinya kecelakaan lalu lintas tersebut,
sehingga dapat tidaknya perkara tersebut
diselesaikan di luar pengadilan atau
harus melalui pengadilan. 4
Polisi dalam menentukan kriteria
tersebut harus mempunyai dasar
keahlian khusus di bidang lalu lintas
karena polisi tersebut dalam menangani
perkara
tersebut
harus
dapat
menyelesaikan dengan baik dan adil.
Adapun dalam hal tersebut berkaitan
langsung dengan cara penyelesaiannya,
apabila
dapat
dibuktikan karena
kealpaan pelaku dan korban dianggap
bersalah maka dapat diselesaikan di luar
pengadilan dan sebaliknya apabila
kesalahan dari pelaku maka polisi selaku
penyidik akan melimpahkan perkara
tersebut ke Kejaksaan untuk dilakukan
penuntutan dan selanjutnya harus
diselesaikan melalui pengadilan.
Toni Suherman menjelaskan bahwa
kepolisian mempunyai kewenangan
untuk menentukan apakah suatu
perbuatan
diteruskan
atau
tidak
diteruskan dalam proses peradilan
pidana dengan alasan-alasan tertentu.
Dalam perkara lalu lintas seperti dalam
kecelakaan lalu lintas, apabila hanya
4

Hasil wawancara dengan Toni Suherman,
Kasubnit I Laka Satuan Lalu Lintas Polresta
Bandar Lampung. Rabu 26 Agustus 2014

menimbulkan kerugian yang kecil atau
luka yang kecil biasanya diselesaikan
dengan mediasi di antara pelaku dan
korban, dan pihak kepolisian sebagai
saksi atas kesepakatan yang dicapai,
perkara tidak diteruskan atas dasar
kesepakatan bersama antara pelaku dan
korban.
Namun
demikian
jika
kecelakaan akibat kelalaian tersebut
menimbulkan kerugian yang besar
seperti, nyawa maka mediasi tidak dapat
dilakukan, adapun pembayaran ganti
kerugian berupa biaya rumah sakit dan
penguburan jenazah korban hanya
sebagai salah satu pertimbangan yang
nantinya digunakan oleh hakim dalam
menjatuhkan putusan kepada terdakwa. 5
Kesepakatan mengganti kerugian tidak
menghapuskan tindak pidananya, karena
pelaku tetap saja disidik dan diproses
dalam sistem peradilan pidana. Dalam
mediasi ini pihak korban dapat meminta
ganti kerugian kepada pelaku, namun
demikian apabila terjadi kesepakatan
dari pihak korban dan pelaku untuk
mengganti kerugian, kesepakatannya
tidak
menghilangkan
penuntutan,
sehingga proses peradilan tetap berjalan
sebagaimana mestinya, dan kesepakatan
ganti kerugian hanya bersifat sebagai
pertimbangan jaksa dalam mengadakan
penuntutan, keputusan tetap di tangan
hakim.
Menurut pendapat M. Rohmawan
Kepolisian
dapat
melaksanakan
perannya sebagai mediator dalam proses
mediasi penal antara pelaku perkara
pidana lalu lintas dan keluarganya.
Mediasi penal di sini hanya bersifat
5

Hasil wawancara dengan Toni Suherman,
Kasubnit I Laka Satuan Lalu Lintas Polresta
Bandar Lampung. Rabu 26 Agustus 2014

memperingan tuntutan, oleh karena
belum ada undang-undang
yang
mengatur pelaksanaan mediasi beserta
kekuatan hukum dari akte kesepakatan
hasil mediasi penal, sehingga pelaku
tetap dipidana akan tetapi pidananya
diperingan.6
Penyelesaian perkara di luar pengadilan
terhadap tindak pidana lalu lintas yang
dilakukan oleh anak tersebut sesuai
dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
menyebutkan bahwa pada tingkat
penyidikan,
penuntutan,
dan
pemeriksaan perkara anak di pengadilan
negeri wajib diupayakan diversi. Pasal 7
ayat (2) menyebutkan bahwa diversi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dalam hal tindak pidana
yang dilakukan: a) diancam dengan
pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun;
dan b) bukan merupakan pengulangan
tindak pidana.
Diversi menurut Pasal 1 angka (7)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
adalah pengalihan penyelesaian perkara
anak dari proses peradilan pidana ke
proses di luar peradilan pidana. Pasal 6
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
menyebutkan bahwa diversi bertujuan
untuk mencapai perdamaian antara
korban dan anak, menyelesaikan perkara
anak di luar proses peradilan,
menghindarkan anak dari perampasan
kemerdekaan, mendorong masyarakat
untuk berpartisipasi dan menanamkan
rasa tanggung jawab kepada anak

6

Hasil wawancara dengan M. Rohmawan,
Penyidik Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar
Lampung. Rabu 26 Agustus 2014

Berdasarkan wawancara dengan Erna
Dewi menyatakan bahwa tujuan diversi
dalam sistem peradilan pidana tersebut
adalah untuk semakin efektifnya
perlindungan anak dalam sistem
peradilan demin terwujudnya sistem
peradilan pidana yang terpadu atau juga
bisa jadi pemunduran terhadap nilai-nilai
yang
telah
ada
sebelumnya.
Pemberlakuan kedua undang-undang
tersebut merupakan upaya untuk
memenuhi berbagai hak anak yang
bermasalah dengan hukum. 7
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa
sistem peradilan pidana di Indonesia
memberikan perhatian secara khusus
terhadap anak-anak yang bermasalah
dengan hukum, termasuk anak sebagai
pelaku tindak pidana lalu lintas, yaitu
dengan
diberlakukannya
UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, yang
memberikan diversi kepada anak yang
bermasalah
dengan
hukum.
Pertimbangan pemberlakuan undangundang ini adalah anak dipandang
bagian dari generasi muda sebagai salah
satu sumber daya manusia yang
merupakan potensi dan penerus cita-cita
perjuangan bangsa, yang memiliki
peranan strategis dan mempunyai ciri
dan
sifat
khusus,
memerlukan
pembinaan dan perlindungan dalam
rangka menjamin pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental dan sosial
secara utuh, serasi, selaras, dan
seimbang.
Untuk
melaksanakan
pembinaan
dan
memberikan
perlindungan terhadap anak, diperlukan
dukungan, baik yang menyangkut
7

Hasil wawancara dengan Erna Dewi,
Akademisi
Fakultas Hukum
Universitas
Lampung. Jumat 28 Agustus 2014

kelembagaan maupun perangkat hukum
yang lebih mantap dan memadai.
Berdasarkan wawancara kepada Toni
Suherman maka diketahui bahwa
kecelakaan lalu lintas merupakan suatu
peristiwa di jalan yang tidak diduga dan
tidak disengaja melibatkan kendaraan
dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain
yang mengakibatkan korban manusia
dan/atau
kerugian
harta
benda.
Kecelakaan lalu lintas merupakan
kejadian yang sangat sulit di prediksi
kapan
dan
dimana
terjadinya.
Kecelakaan tidak hanya mengakibatkan
trauma, cidera, ataupun kecacatan tetapi
dapat mengakibatkan kematian. Perkara
kecelakaan sulit diminimalisasi dan
cenderung
meningkat
seiring
pertambahan
panjang
jalan
dan
banyaknya pergerakan dari kendaraan8
Berdasarkan uraian di atas maka penulis
dapat menganalisis bahwa penyelesaian
perkara di luar pengadilan didasarkan
pada proses penyelesaian pekara pidana
lalu lintas di luar pengadilan yang
menjadi penyebab matinya seseorang itu
adalah: Pengendara kendaraan yang
kurang hati-hati atau lalai, kekurang
waspadaan,
kurang
menggunakan
ingatan atau kekilafan atau sekiranya dia
tidak waspada, tertib
atau kekilafan
atau sekiranya dia tidak waspada, tertib
atau ingat, peristiwa itu tidak akan
terjadi atau dapat dicegah. 9
Penyelesaian perkara pidana lalu lintas
yang
menyebabkan
meninggalnya
8

Hasil wawancara dengan Toni Suherman,
Kasubnit I Laka Satuan Lalu Lintas Polresta
Bandar Lampung. Rabu 26 Agustus 2014
9
Hasil wawancara dengan Toni Suherman,
Kasubnit I Laka Satuan Lalu Lintas Polresta
Bandar Lampung. Rabu 26 Agustus 2014

korban dan penyelesaiannya dilakukan
melalui perdamaian antara pihak-pihak
yang terlibat, dan perdamaian tersebut
dapat diterima kedua belah pihak, namun
demikian tidak menghapuskan unsur
pidana yang dilakukan oleh pelaku
tindak pidana lalu lintas yang
menyebabkan korban meninggal dunia.
Artinya dalam perkara pidana lalu lintas
oleh anak yang menyebabkan kematian,
dapat diselesaikan melalui diversi
dengan syarat bahwa perkara pidana
tersebut diancam dengan pidana penjara
di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan
merupakan pengulangan tindak pidana.
Diversi
dapat
ditempuh
melalui
perdamaian antara pelaku dan keluarga
korban, tetapi apabila diversi tidak
tercapai maka proses hukum atas perkara
pidana lalu lintas tersebut tetap berjalan
seseuai dengan hukum yang berlaku.
B. Faktor-Faktor Yang Menghambat
Penyelesaian Perkara Pidana Lalu
Lintas yang Dilakukan Oleh Anak
Yang Menyebabkan Kematian
Faktor-faktor
yang
menghambat
penyelesaian tindak pidana lalu lintas
yang dilakukan oleh anak di bawah yang
menyebabkan kematian adalah:
1. Faktor penegak hukum
Berdasarkan hasil wawancara dengan
Toni Suherman maka diketahui
bahwa faktor penegak hukum yang
menghambat penyelesaian perkara di
luar pengadilan terhadap tindak
pidana lalu lintas yang dilakukan
oleh anak adalah secara kuantitas
masih terbatasnya jumlah anggota
Satlantas Polresta Bandar Lampung

yang dimilikinya. Setiap polisi
melakukan
tugas
berdasarkan
sumpah jabatan dan berkewajiban
untuk melaksanakan profesionalisme
kerja secara maskimal. Kuantitas
anggota kepolisian dilihat dari
idealnya jumlah anggota dalam
melakukan pengaturan lalu lintas.
Faktor kuantitas anggota polisi yang
terbatas ini dapat menghambat
pelaksanaan tugas penertiban lalu
lintas dan jalan raya. Polisi harus
benar-benar mampu menerapkan
batasan-batasan
dalam
diskresi
kepolisian, sehingga diskresi yang
dilakukan
benar-benar
demi
kepentingan kepentingan tugas-tugas
kepolisian dan kepentingan umum,
meskipun polisi telah diberikan
kewenangan oleh undang-undang
untuk mengambil tindakan lain
tersebut tetap saja polisi harus bisa
untuk mempertanggung jawabkan
atas segala tindakan dan keputusan
yang
telah
diambil
dalam
melaksanakan tugasnya.

dalam menangani perkara lalu lintas
di seluruh Kota Bandar Lampung. 10
Sedangkan berdasarkan wawancara
dengan M. Rohmawan diperoleh
penjelasan bahwa secara kualitas
masih kurangnya pengetahuan dan
keterampilan penyidik Satlantas
dalam
menerapkan perdamaian
dalam penyelesaian perkara pidana
lalu
lintas.
Kepolisian
dapat
melaksanakan perannya sebagai
mediator dalam proses mediasi penal
antara pelaku perkara pidana lalu
lintas dan keluarganya. 11
Mediasi penal di sini hanya bersifat
memperingan tuntutan, oleh karena
belum ada undang-undang yang
mengatur
pelaksanaan
mediasi
beserta kekuatan hukum dari akte
kesepakatan hasil mediasi penal. Jadi
pelaku tetap dipidana akan tetapi
pidananya diperingan dan dapat
dilakukan mediasi di mana korban
dapat meminta ganti kerugian kepada
pelaku
dengan
sebuah
akta
kesepakatan bahwa telah dilakukan
pembayaran ganti kerugian kepada
korban.
Berdasarkan uraian di atas maka
dapat dianalisis bahwa kualitas
anggota kepolisian dilihat dari
profesionalisme kerja polisi sebagai
aparat penegak hukum, yang dituntut
untuk melaksanakan tugas-tugasnya
secara profesional terutama dalam
mempergunakan wewenang diskresi

2. Faktor masyarakat
Berdasarkan
penjelasan
Toni
Suherman maka diketahui bahwa
faktor masyarakat yang menghambat
penyelesaian perkara
di
luar
pengadilan terhadap tindak pidana
lalu lintas yang dilakukan oleh anak
adalah ketidak lengkapan data dan
informasi yang disampaikan oleh
pelaku dan korban yang terlibat
dalam perkara pidana lalu lintas. 12
Menurut penjelasan M. Rohmawan
maka diketahui bahwa seharusnya

10

Hasil wawancara dengan Toni Suherman,
Kasubnit I Laka Satuan Lalu Lintas Polresta
Bandar Lampung. Rabu 26 Agustus 2014
11
Hasil wawancara dengan M. Rohmawan,
Penyidik Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar
Lampung. Rabu 26 Agustus 2014

12

Hasil wawancara dengan Toni Suherman,
Kasubnit I Laka Satuan Lalu Lintas Polresta
Bandar Lampung. Rabu 26 Agustus 2014

diperlukan, kemudian segera paling
lambat
pada
hari
kedelapan
mengadakan proses perdamaian.
Apabila data yang diberikan tidak
lengkap maka pelaksanaan proses
perdamaian tidak akan dapat
dilaksanakan sesuai dengan jadwal,
karena data dan informasi yang
bersumber dari pelaku dan korban
tersebut selanjutnya akan dibahas
pada proses perdamaian melalui
tahap penciptaaan forum, yang berisi
pernyataan pelaku dan korban,
dengar
pendapat
(hearing);
menyampaikan
dan
klarifikasi
informasi.

penyidik
selaku
mediator
mendapatkan data secara lengkap
dan terperinci mengenai latar
belakang dan fakta pidana lalu lintas.
Ketidak lengkapan data tersebut
disebabkan
oleh
kurangnya
kesadaran pelaku dan korban bahwa
data yang seharusnya diberikan
secara lengkap kepada penyidik
selaku
mediator
akan
dijaga
kerahasiaan dan privasinya, sehingga
pelaku
dan
korban
hanya
memberikan data yang dianggap
tidak
berpotensi
merugikan
13
pihaknya.
Menurut penjelasan Erna Dewi maka
diketahui bahwa proses penyelesaian
tersebut dilakukan oleh para pihak
sendiri karena masing-masing pihak
sepakat untuk menyelesaikan tanpa
melalui proses yang berbelit-belit
dan memakan waktu yang lama,
adapun hal ini terjadi karena
pengadilan akan mempelajari buktibukti yang ada guna mencari
kebenaran dan keadilan yang dapat
diterima kedua belah pihak tanpa
tekanan atau paksaan dari manapun14
Berdasarkan uraian di atas maka
dapat
dianalisis
bahwa tidak
lengkapnya data yang diberikan
pelaku dan korban akan menghambat
pelaksanaan perdamaian, karena
dalam waktu tujuh hari setelah
menerima permintaan penyelesaian
perselisihan,
penyidik
selaku
mediator sudah harus mempelajari
dan menghimpun informasi yang

3. Faktor Kebudayaan
Berdasarkan wawancara kepada Toni
Suherman maka diketahui bahwa
faktor kebudayaan yang menghambat
penyelesaian perkara
di
luar
pengadilan terhadap tindak pidana
lalu lintas yang dilakukan oleh anak
adalah karakter personal pelaku dan
korban serta keluarganya yang tidak
mendukung penyelesaian perkara di
luar peradilan atau perdamaian. 15
Menurut penjelasan M. Rohmawan
maka diketahui bahwa pada tahap
perdamaian terdapat kecenderungan
pelaku dan korban serta keluarganya
untuk mencari-cari kesalahan dan
kelemahan pihak lain dalam proses
perdamaian, sehingga perdamaian
tidak menemukan titik terang atau

13

Hasil wawancara dengan M. Rohmawan,
Penyidik Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar
Lampung. Rabu 26 Agustus 2014
14
Hasil wawancara dengan Erna Dewi,
Akademisi
Fakultas Hukum
Universitas
Lampung. Jumat 28 Agustus 2014

15

Hasil wawancara dengan Toni Suherman,
Kasubnit I Laka Satuan Lalu Lintas Polresta
Bandar Lampung. Rabu 26 Agustus 2014

tidak menemukan jalan
sebagaimana diharapkan.16

keluar

Faktor budaya yang mempengaruhi
pelaksanaan diversi adalah nilai-nilai
budaya
di
Indonesia
yang
mengedepankan
prinsip
kekeluargaan,
musyawarah dan
mufakat dalam menyelesaikan suatu
permasalahan,
sehingga
dalam
konteks kecelakaan lalu lintas, faktor
budaya ini berpengaruh besar, di
mana masyarakat menggunakan
nilai-nilai
kebudayaan
berupa
kekeluargaan,
musyawarah dan
mufakat
dalam
menyelesaikan
perkara
lalu
lintas.
Pada
perkembangan selanjutnya, kondisi
yang
semacam
ini
akan
menyebabkan perdamaian menjadi
buntu dan tidak menemukan
pemecahan masalah dalam rangka
menyelesaikan perselisihan, sehingga
perkara pidana lalu lintas pada
akhirnya diteruskan pada Pengadilan.
III. Simpulan
1. Penyelesaian tindak pidana lalu
lintas yang dilakukan oleh anak yang
menyebabkan kematian dilaksanakan
dengan mekanisme hukum pidana
yang
berlaku
melalui
proses
peradilan, namun demikian pelaku
dan
keluarga
korban
dapat
menempuh jalur di luar peradilan
melalui diversi atau perdamaian,
karena pada dasarnya tindak pidana
lalu lintas terjadi tanpa kesengajaan.
Perdamaian yang dilakukan oleh
pelaku
dan
keluarga
korban
16

Hasil wawancara dengan M. Rohmawan,
Penyidik Satuan Lalu Lintas Polresta Bandar
Lampung. Rabu 26 Agustus 2014

dimediasi oleh Kepolisian Resor
Kota Bandar Lampung tidak
menghapuskan unsur pidana dalam
perkara lalu lintas yang terjadi.
2. Faktor-faktor yang menghambat
penyelesaian tindak pidana lalu lintas
yang dilakukan oleh anak yang
mengebabkan kematian adalah:
a. Faktor penegak hukum, yaitu
secara
kuantitas
masih
terbatasnya
jumlah
anggota
Satlantas
Polresta
Bandar
Lampung dalam menangani
perkara lalu lintas di seluruh
Kota Bandar Lampung dan
secara kualitas masih kurangnya
pengetahuan dan keterampilan
penyidik
Satlantas
dalam
menerapkan perdamaian dalam
penyelesaian perkara pidana lalu
lintas.
b. Faktor masyarakat, yaitu ketidak
lengkapan data dan informasi
yang disampaikan oleh pelaku
dan korban yang terlibat dalam
perkara pidana lalu lintas,
sehingga pelaku dan korban
hanya memberikan data yang
dianggap
tidak
berpotensi
merugikan pihaknya.
c. Faktor
Kebudayaan,
yaitu
karakter personal pelaku, korban
dan kleluarganya yang tidak
mendukung penyelesaian perkara
di
luar
peradilan
atau
perdamaian.
Daftar Pustaka
Faal, M. Penyaringan Perkara Pidana
Oleh
Polisi
(Diskresi
Kepolisian). Pradnya Paramita.
Jakarta. 1991.

Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana
Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta,
2000.

Perkara
Pustaka
2008.

Diluar Pengadilan,
Magister, Semarang,

----------Bunga Rampai Hukum Pidana
dan Acara Pidana. Ghalia
Indonesia.Jakarta. 2001.

Raharjo, Satjipto. Polisi Pelaku dan
Pemikir.
Gramedia
Pustaka
Utama. Jakarta. 1991.

Harahap, M. Yahya. Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan
KUHAP. Sinar Grafika. Jakarta.
1998.
Kelana, Momo. Hukum Kepolisian.
PTIK. Jakarta. 1981.

Reksodiputro, Mardjono. Sistem
Peradilan Pidana Indonesia.
Melihat
Kejahatan
dan
Penegakan Hukum dalam BatasBatas Toleransi. Pusat Keadilan
dan Pengabdian Hukum. Jakarta.
1994.

Lamintang, P.A.F. Dasar-Dasar Hukum
Pidana Indonesia. PT. Citra
Adityta Bakti. Bandung. 1996.

Soekanto, Soerjono. Pengantar
Penelitian Hukum. Rineka Cipta.
Jakarta. 1983

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan
Pertanggung jawaban dalam
Hukum Pidana, Bina Aksara,
Jakarta. 1993.

----------Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi
Penegakan
Hukum. Rineka Cipta.
Jakarta. 1986.

Marpaung, Leden. Proses Penanganan
Perkara Pidana. Sinar Grafika.
Jakarta.1992.

Zulfa, Eva Achjani. Keadilan Restoratif
di Indonesia, Fakultas Hukum,
Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.

Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan
Sistem Peradilan Pidana. Badan
Penerbit UNDIP. Semarang.
1997.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946
jo Undang-Undang Nomor 73
Tahun
1958
tentang
Pemberlakuan Kitab UndangUndang Hukum Pidana.

Nawawi Arief, Barda.Bunga Rampai
Kebijakan Hukum Pidana, PT
Citra Aditya Bakti. Bandung,
2003,

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.

----------Kebijakan Hukum Pidana. PT.
Citra Aditya Bakti. Bandung. 2004

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak

----------Mediasi Penal Penyelesaian

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang
Lalu
Lintas
dan
Angkutan Jalan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Anak
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
1983
tentang
Pedoman
Pelaksanaan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana
Keputusan Kapolri Nomor 01/VII/2003
tentang Naskah Kode Etik
Profesi
Kepolisian
Negara
Republik Indonesia