Apa yang Kamu Lakukan Setelah Orgy Nihi

“Apa yang Kamu Lakukan Setelah Orgy?”: Nihilisme
Baudrillard, Reversibilitas, dan Perlawanan
Simulakrais
indoprogress.com /2014/11/apa-yang-kamu-lakukan-setelah-orgy-nihilisme-baudrillardreversibilitas-dan-perlawanan-simulakrais/
Harian Indoprogress
“Satu-satunya kenikmatan
sejati di dunia ini adalah untuk
menyaksikan segala sesuatu
‘berbalik’ menjadi bencana,
untuk akhirnya keluar dari
determinasi dan indeterminasi,
dari peluang dan keniscayaan,
dan memasuki kenyataan
tentang keterkaitan yang
memusingkan dimana, suka
atau tidak suka, segala
sesuatu sampai pada akhirnya
tanpa melalui cara-caranya,
dimana kejadian-kejadian
menghasilkan efek tanpa
melalui penyebabnya.”[1]

“Apa yang menarik bagi saya
sebenarnya adalah suatu hal
semacam strategi fatal … yang
membongkar tatanan indah
ketak-terbalikkan
(irreversibility), yaitu tentang
finalitas segala sesuatunya.
Saya kira apa yang
mengganggu orang adalah ide
mengenai reversibilitas saat ia
terberi sebagai sesuatu
semacam hukum. Saya tidak
menganggapnya sebagai
suatu hukum. Saya
menerimanya sebagai aturan
permainan.”[2]
— Jean Baudrillard

DARI sekian banyak konsep yang dicetuskan oleh Jean Baudrillard, satu yang kurang begitu
mendapat sorotan adalah konsep reversibilitas (reversibility),[3] yaitu yang saya artikan sebagai

suatu potensialitas inheren untuk berputar-balik, menyimpang, berdeviasi dari arah, bentuk, model dan
intensi yang digariskan sedari mula. Seperti yang akan saya perjelas pada bagian-bagian berikutnya,

reversibilitas ini adalah fitur ontologis dari realitas dalam pemahaman Baudrillard. Jika hiper-realitas
Baudrillardian cenderung menekankan suatu konsepsi realitas yang terdiri dari silang sengkarut
banalitas simulakra, maka, demi kepentingan pembeda, saya akan menyebut Baudrealitas sebagai
hiperealitas yang menekankan potensi reversibilitas dari realitas. Realitas, dengan demikian memiliki
dua wajah: hiper-realitas dan Baudrealitas.
Artikel ini mencoba menarik apresiasi terhadap teori dan filosofi Jean Baudrillard keluar dari kubangan
nihilisme naïf yang merebak di kalangan penstudi dan pembaca Baudrillard, terutama di Indonesia.[4]
Repetisi melelahkan akan konsep-konsep seperti simulakra, simulasi dan hiper-realitas nampaknya
telah mendiskreditkan konsep Baudrillard yang lain – yaitu reversibilitas, misalnya – yang menurut
penulis memiliki potensi perlawanan terhadap ketiga konsep sebelumnya. Artikel ini mencoba
mengangkat konsep reversibilitas, dan bagaimana ia berimplikasi bagi pemahaman kita baik tentang
semesta realitas maupun filsafat Baudrillard sendiri. Kesemuanya ini demi menyudahi dan melawan
euforia selebrasi pseudo-liberal posmodernisme, atau yang disebut Baudrillard sebagai orgy[5]. Ya,
posmodernitas adalah sebuah orgy.
Pilihan saya untuk menyoroti konsep reversibilitas ini bukan sekedar pilihan suka atau tidak suka,
melainkan ia berdasarkan dari beberapa urgensi dan memiliki beberapa implikasi, baik filosofis
maupun praksis (setidaknya yang saya kampanyekan, yaitu perlawanan sistemik terhadap totalitas

tatanan kapitalisme-neoliberal hari ini). Pertama, konsep ini merupakan salah satu cara untuk
membawa karya-karya Baudrillard dari jurang nihilisme naïf, [6] yang notabene juga kerap dijumpai di
pikiran para cerdik pandai Indonesia. Cara ini, harus diakui, bukanlah suatu cara à la Baudrillard untuk
melampaui nihilisme. Baudrillard sendiri lebih memilih membawa nihilisme ini sampai pada limitnya,
eksesnya, sehingga ia akan menghancurkan dirinya sendiri dari dalam (implosi).[7] Namun demikian,
sayangnya (sejauh yang saya amati), Baudrillard tidak menunjukkan caranya (selain seruan untuk
terus mengkonsumsi, seperti di Consumer Society). Akibatnya, proposal ini hanya menjadi retorika
politik asesorial, jika bukan kepercayaan mesianik yang naïf.
Tidak ada salahnya dengan ini, hanya saja, kita tidak akan pernah tahu, apalagi mampu mengevaluasi,
sejauh mana proposal ini berhasil. Interpretasi ini akhirnya hanya akan meninggalkan kita terkatungkatung di samudera hiperealitas, dalam toleransi fatalis terhadap pluralisme realitas, dan berpestapora sampai mati dalam posmodernitas sembari menunggu sang ratu adil datang membawakan
kebenaran mulianya. Politik, jika ada, akhirnya tak lebih dari sekedar sebuah bingkisan etik/fatsoen
yang banal dan obesitas alibi etika dan moral yang tak berdasar. Singkatnya, politik sama dengan NOL
besar dalam hiperealitas posmodern berikut filosofi yang mempropagandakannya—posmodernisme.
Kedua, konsep reversibilitas mampu menunjukkan jalan untuk memanjat jurang nihilisme ini, tepat
dengan cara yang sama seperti ia menjebak kita semua dalam jurang tersebut. Sumbangsih penting
Baudrillard adalah menunjukkan bahwa pada nihilisme, selalu terdapat momen reversibilitas. Segala
sesuatunya, pasca nihilisme (yaitu pasca pengosongan esensi; pasca simulasi ke dalam tatanan
simulakra) memiliki potensi untuk dibolak-balik arahnya, logikanya, “isi”-nya, orientasinya, dst.
Konsekuensi nihilisme—yaitu matinya esensi, orisinalitas, dan otentisitas—tidak lantas berujung pada
apatisme dan sinisme apolitis—sebagaimana yang banyak diderita Baudrillardian posmodern (baca:

para nihilis pasif). Reversibilitas merupakan potensi politik peninggalan Baudrillard untuk membongkar
sistem yang telah dideskripsikannya dengan baik: hiper-realitas.
Tujuan utama tulisan singkat ini, sebagaimana yang mungkin sudah bisa dideteksi, adalah suatu
eksperimentasi teoretiko-politis untuk memahami, demi kemudian mendeteksi celah (yi. reversibilitas)
dari tatanan simulakra. Untuk sampai kepada tujuan ini, tulisan ini akan pertama-tama membahas
perkembangan konsep reversibilitas dalam pemikiran Baudrillard sendiri, lalu mencoba memberikan
rumusan yang padu. Berikutnya konsep ini dipakai untuk menggeser cara pandang umum mengenai
hiper-realitas (a la posmodern), yang menurut penulis, kontra-produktif bagi seluruh perjuangan politik
melawan tatanan simulakra itu sendiri. Sampai sini setidaknya motivasi utama artikel ini jelas: yaitu
merebut warisan Baudrillard dari cengkeraman pesimisme nihilisme naïf à la posmodernisme untuk
kemudian menggunakannya balik untuk menghantam posmodernitas itu sendiri, berikut nabi-nabi

posmodern yang menopangnya, termasuk, jika perlu, para Baudrillardian sendiri. Forget Baudrillard?
No! Forget (postmodern) Baudrillards![8]

Menyudahi Transendensi dan Orgy Posmodernisme
Secara kronologi intelektual, Baudrillard pertama kali mengembangkan konsep reversibilitas ini pada
tiga bukunya Symbolic Exchange and Death (1976), Forget Foucault (1977) dan Seduction (1979).
Latar belakang pengembangan konsep ini tentu saja adalah pelajaran yang ia petik saat bergulat
dengan kontradiksi yang ia temukan dalam pemikiran Marx, dan dalam aplikasi pemikiran Marx

tersebut ke realitas sosial saat itu. Pelajaran tersebut tak lain adalah matinya transendensi. Dalam
pemikiran Marx, Baudrillard menunjukkan titik buta dari seluruh sistem pemikiran tersebut mengenai
kapital, yaitu pada konsep ‘produksi’ yang berfungsi seoah-olah sebagai metafisika transenden.
Produksi, sebagai konsep, tidak pernah dipertanyakan Marx; seolah-olah ia adalah konsep absolutuniversal yang berlaku di sepanjang sejarah. Padahal, sebagaimana Baudrillard buktikan di zamannya
sendiri (tepatnya, kapitalisme pasca-Fordis dan/atau kapitalisme pasca-Industri), konsep tersebut telah
berubah.[9]
Sebagaimana ditunjukkan Baudrillard, yang terutama akan semakin jelas pada tahun-tahun
berikutnya, produksi dalam kapitalisme kontemporer, adalah selalu produksi akan tanda yang tidak
memiliki acuan apapun. Produksi di kapitalisme kontemporer, adalah simulasi tanda-tanda. Sehingga
tepatlah judul buku Baudrillard berikutnya: The Political Economy of Sign. Namun demikian,
produksi/simulasi tanda ini tidak selalu harus diartikan sesempit produksi iklan, pencitraan dan produkproduk berbasis citra. Bahkan, yang ingin penulis tekankan, produksi/simulasi tanda yang dimaksud
Baudrillard harus dipahami lebih dari ini; ia juga berpengaruh pada ekonomi kapitalis yang tradisional
juga. Mengapa demikian?” Penjelasan dalam kata-kata Baudrillard sendiri, sbb.:
“Dengan mengangkat produksi ke abstraksi total (yi. produksi demi produksi itu sendiri),
ke kekuatan kode, yang bahkan tidak lagi beresiko menjadi dipertanyakan oleh suatu
acuan yang ditiadakan, sistem ini berhasil menetralisir tidak hanya konsumsi,
melainkan juga produksi itu sendiri sebagai suatu medan kontradiksi. Daya-daya
produksi sebagai suatu acuan (substansi ‘obyektif’ dari proses produksi) dan dengan
demikian juga sebagai suatu acuan revolusioner (motor dari kontradiksi modus
produksi) kehilangan dampak spesifiknya, dan dialektika tidak lagi beroperasi di antara

daya-daya produksi dan relasi-relasi produksi, persis karena ‘dialektika’ tidak lagi
beroperasi di antara substansi tanda-tanda dan tanda-tanda itu sendiri.”
[Through the elevation of production to a total abstraction (production for its own sake),
to the power of a code, which no longer even risks being called into question by an
abolished referent, the system succeeds in neutralizing not only consumption, but
production itself as a field of contradictions. Productive forces as a referent (‘objective’
substance of the production process) and thus also as a revolutionary referent (motor of
the contradictions of the mode of production) lose their specific impact, and the dialectic
no longer operates between productive forces and relations of production, just as the
‘dialectic’ no longer operates between the substance of signs and the signs
themselves.][10]
Pandangan ini menunjukkan dengan jelas bahwa Baudrillard sudah mengantisipasi dominasi
kapitalisme finansial yang akan terjadi justru dua dekade berikutnya. Kapitalisme finansial mencoba
mengabstraksikan suatu produk/komoditas ke dalam bit-bit/angka—angka yang nantinya disebut
‘indeks harga’. Indeks harga ini dipertukarkan sedemikian rupa dalam bursa saham. Akhirnya, bursa
saham ini menjadi ujung tombak akumulasi kapital bagi perusahaan (bahkan ia menjadi mimpi bagi

perusahaan-perusahaan yang belum go public). Lini produksi akhirnya diperketat bukan demi
meningkatkan kualitas komoditas per se, melainkan demi meningkatkan performa (ya, performa—yaitu
pagelaran rangkaian tanda!) di mata pemegang saham dan calon investor. Sampai di sini perlu

ditandaskan bahwa dominasi kapitalisme finansial dan pasca-industri tidak serta-merta menafikan
kerja-kerja manufaktur tradisional. Namun kerja-kerja manufaktur tradisional ini harus diletakkan dalam
konteks dominasi kapitalisme finansial/pasca-industri ini. Karena, sebagaimana ditekankan
Baudrillard, “[p]roduksi riil dimana-mana tertundukkan kepadanya.”
“Secara ekonomis, proses ini memuncak pada otonomi internasional semu kapital
finansial, pada permainan kapital mengambang yang tak terkendalikan. Saat mata uang
dicerabut dari pertana-pertanda produksi, dan bahkan dari acuan standar dolar,
ekwivalensi universal* (general equivalence) menjadi tempat strategi dari manipulasi.
Produksi riil dimana-mana tertundukkan kepadanya. Puncak kejayaan sistemik ini
berkaitan erat dengan kemenangan kode.”
[Economically, this process culminates in the virtual international autonomy of finance
capital, in the uncontrollable play of floating capital. Once currencies are extracted from
all productive cautions, and even from reference to the gold standard, general
equivalence becomes the strategic place of the manipulation. Real production is
everywhere subordinated to it. This apogee of the system corresponds to the triumph of
the code.][11]
Pembahasan ini bisa berlanjut bahkan sampai menjelaskan kolapsnya perekonomian dunia (1995 di
Mexico, 1998 di Asia, 2002 di Argentina, 2008 Subprime Mortgage di AS, 2010 Eurozone, 2011
Yunani), yang lagi-lagi sudah diramalkan oleh Baudrillard sendiri. Namun bukan ini yang menjadi
tujuan utama tulisan ini. Yang ingin ditunjukkan melalui fenomena finansialisasi dan krisis kapitalisme

ini adalah bahwa matinya transendensi ekonomi, yaitu produksi, berimplikasi pada ke-“serba
mungkin”-an produksi itu sendiri, bahkan kemungkinan akan bunuh dirinya (suicide) sistem produksi
itu sendiri (baca: krisis kapitalisme). Kondisi serba mungkin yang tidak menentu inilah yang disebutnya
sebagai kondisi reversibilitas.

Sekiranya jelas bahwa kondisi reversibilitas ini menjadi nampak saat transendensi berakhir, atau lebih
tepatnya, diakhiri. Selama landasan dan fundamen segala sesuatu (ekonomi: produksi; agama: tuhan;
politik: kebaikan; kuasa: kekerasan, hukum: keadilan dst.) masih diasumsikan ada, yang padahal tidak
pernah ada, maka segala sesuatu akan tampak irreversible. Inilah arti penting reversibilitas
Baudrillardian; ia mampu menunjukkan celah dari kebuntuan katastrofik hiper-realitas lautan simulakra.
Memahami realitas secara Baudrealitas dengan demikian pertama-tama akan menghalau seluruh
konsepsi orisinalitas, keaslian, otentisitas, ke-nyata-an, kebenaran, dst., atau dengan kata lain
“membunuh” realitas itu sendiri, mengosongkannya dari esensinya. Berikutnya, mengangkat dan
menampakkan dimensi reversibilitas dari realitas tersebut, sedemikian rupa sehingga realitas tadi
tampak tidak lebih sebagai ilusi. Namun sekali lagi, mencoba menyelamatkan ilusi dari kepasifan
fatalis para posmodern, ilusi di sini tidak seharusnya dilihat sebagai titik akhir; melainkan ia adalah titik
awal dari mana politik dimulai, dari mana sejarah perlawanan mulai dicatat. Mengapa demikian?
Karena “[s]ejarah tidak akan berakhir—karena sisa-sisanya, seluruh residunya – Gereja, komunisme,
kelompok etnis, konflik, dan idiologi— dapat didaur-ulang terus-menerus secara tak terbatas.” [[h]istory
will not come to an end – since the leftovers, all the leftovers – the Church, communism, ethnic groups,

conflicts, ideologies – are indefinitely recyclable].[12]
Penekanan tentang poin ini dirasa penting semenjak kecenderungan penerimaan terhadap pemikiran
Baudrillard ini (dan pemikiran yang disebut “posmodern” secara umum) selalu berujung pada sikap
apolitis/apatis[13] yang berujung pada aspirasi liberal akan perayaan banalitas, pluralitas dan multikulturalisme.[14] Pula sikap ini akan menarik orang pada ruang-ruang privat kehidupan, pada
spiritualitas (baik baru maupun lama), pada etika-diri dan moralitas, pada romantisisme masa lalu, dst.,
yang justru hanya mengulang apa yang ingin dilawan Baudrillard (dan posmodernisme itu sendiri).
Lainnya, orang akan berkubang pada pragmatisme (dalam arti sempit) kehidupan dengan merayakan
hedonisme dan workaholism, seraya menghindari kompleksitas kehidupan dengan kembali menarik
diri ke ruang-ruang privat yang juga telah disediakan sebelumnya (agama, kesenian murni, yoga,
bisnis, sekte-motivasi, video game, dst.). Singkatnya, afirmasi pasif dari nihilisme hanya akan berujung
pada fundamentalisme: kesenangan, keyakinan, identitas, dan pasar. Posmodernisme dan
fundamentalisme adalah satu koin yang sama dengan dua wajah berbeda.

Momen posmodern—dalam artian runtuhnya tiang-tiang metafisik penyanggah segala sesuatu,
diartikan Baudrillard sebagai suatu kematian (death). Namun demikian, perayaan Baudrillard akan
kematian ini tidak seperti euforia fundamentalis yang barusan dipaparkan. Malahan Baudrillard
menyebut euforia ini sebagai orgy—suatu metafora yang digunakannya untuk menunjukkan kondisi
“apa saja boleh.” Orgy adalah konsekuensi dari matinya transendensi yang bermuara pada apatisme
dan apolitisme. Baudrillard kemudian bertanya,
“Jika saya harus mengarakterisasikan kondisi yang baru ini, saya akan menyebutnya

‘setelah orgy’. Orgy bisa dilihat sebagai suatu keseluruhan pergerakan modernitas,
dengan ragam rupa liberasinya – liberasi politik, liberasi seksual, [dst.] Jika anda
mengehndaki pendapat saya, hari ini segala sesuatunya terliberasi. Permainan sudah
berakhir, dan kita bersama-sama dihadapkan pada pertanyaan penting: ‘apa yang kamu
lakukan setelah orgy?’”
[If I had to characterize this new state of affairs, I would call it ‘after the orgy’. The orgy
is in a way the whole explosive movement of modernity, with its various kinds of
liberation – political liberation, sexual liberation, [etc.] If you want my opinion, today
everything is liberated. The game is over, and we collectively confront the crucial
question: ‘What are you doing after the orgy?’][15]
Jelas, jika pertanyaan “apa yang kamu lakukan setelah orgy?” diajukan ke Baudrillard, maka ia akan
menjawab: reversibilitas.
“Mulai saat ini kita akan hidup dalam sebuah dunia tanpa yang orisinil, seperti yang
pernah terjadi pada obyek dan citra sebelum kesenian ada. Dan dalam ketiadaan
orisinalitas kita dapat menemukan kembali beberapa dari bentuk-bentuk ritual ini,
namun yang pasti itu semua tidak akan sama dengan yang pernah ada sebelum zaman
estetika. Bentuk dan citra kita adalah melampaui estetika, sama seperti media kita yang
melampaui benar dan salah, dan nilai-nilai kita yang melampaui baik dan jahat. Namun
selalu ada satu titik melampaui penghujung yang memudar ini. Selalu ada suatu masa
setelah orgy. Suatu rahasia reversibilitas mengeram dalam segala sesuatu, bahkan

saat ia tampak tak terbalikkan. Reversibilitas itu indah.”
[From now on we will live in a world without originals, as it was for objects and images
before art existed. And in the absence of originality we may recover some of these ritual
forms, but certainly they will not be the same as those existing before the age of
aesthetics. Our forms and images are beyond aesthetics, just as our media are beyond
the true and the false, and our values are beyond good and evil. But there is always a
point beyond the vanishing point. There is always a time after the orgy. A secret
reversibility lies in all things, even when they seem to be irreversible. Reversibility is
beautiful.][16]

Reversibilitas, Seduksi, Miskonstruksi
Mereka yang sudah memahami kondisi kontemporer sebagai suatu “kematian,” dan ingin beranjak
pada kondisi ini akan segera dihadapkan Baudrillard pada konsep reversibilitas. Memahami
reversibilitas, mirip seperti dekonstruksi Derridean, harus melihatnya sebagai “telah selalu bekerja”
(always already at work). Jadi, reversibilitas bukanlah suatu usaha dari luar untuk mengutak-atik suatu
konsep/obyek lalu memutar-balikkannya. Reversibilitas telah selalu ada pada segala sesuatu, bahkan

saat sesuatu tersebut tampak kokoh, mantap dan padu. Sekali lagi, untuk menyadari dimensi
reversibilitas ini, syarat utama yang harus dipenuhi adalah dengan membuang jauh-jaug pandangan
bahwa konsep/obyek yang akan direversi tersebut memiliki esensi dan substansi yang fix, asali, yang
“dari sananya.” Saat konsep/obyek tersebut telah dikosongkan, maka yang tersisa adalah suatu
‘kontingensi absolut’, suatu potensi reversibilitas yang tak terbatas. Jadi, seluruh kulit dan kerangka
(forma) dari konsep/obyek tersebut, minus substansi/esensi/maknanya, tersisa bagi kita untuk
dimainkan sesuka hati, diisi dengan esensi/substansi apapun, diarahkan kemanapun.
Menarik untuk sejenak membahas kritik Baudrillard terhadap Foucault, baik esensi kritiknya maupun
forma kritiknya. Secara esensi, kritik Baudrillard berusaha menunjukkan bahwa pandangan Foucault
mengenai kekuasaan yang tersebar, mikro dan relasional sebenarnya hanya dimungkinkan saat ia
(tanpa disadari), dan kita semua, menerima kenyataan bahwa kekuasaan telah mati. Kekuasaan
tradisional, yang berbasikan sumber-sumber baik ilahi maupun modern (hukum, rakyat, ide
perdamaian universal), telah berakhir.[17]
“[Bagaimana] jika Foucault berbicara dengan sangat baik mengenai kuasa—dan jangan
sampai kita melupakannya, yaitu yang dalam artiannya yang obyektif riil mencakup
bermacam-macam pembelokkan namun tidak mempertanyakan sudut pandang
seseorang tentangnya, dan mengenai kuasa yang tercacah-cacah namun yang prinsip
realitasnya tidak dipertanyakan—hanya karena kuasa itu sendiri telah mati?”
[[What] if Foucault spoke so well of power to us—and let us not forget it, in real
objective terms which cover manifold diffractions but nonetheless do not question the
objective point of view one has about them, and of power which is pulverized but whose
reality principle is nonetheless not questioned—only because power is dead?][18]
Dari segi forma, maka kerja kritik Baudrillard tersebut juga menunjukkan reversibilitas at work.
Baudrillard mengosongkan intensi Foucault, yaitu untuk memahami mekanisme kuasa (atau yang
disebutnya sendiri, “the ‘how’ of power” [19]) dari keseluruhan proyek intelektual Foucault (terutama,
yang dibahas buku itu, Discipline and Punish dan History of Sexualtiy, vol 1 ), untuk kemudian
menggantikannya dengan intensinya sendiri, yaitu menunjukkan bahwa “kuasa telah mati.” Ia
menggunakan seluruh bangunan teoritik Foucault untuk menunjukkan akhir lain yang tidak dilihat
Foucault, yang menanti di penghujung masyarakat disipliner Foucault: yaitu simulasi kekuasaan yang
notabene menjadi ketertarikan Baudrillard sendiri.
Baudrillard sendiri telah menunjukkan bagaimana caranya eksploitasi reversibilitas itu dilakukan.
Namun setidaknya ada beberapa yang bisa penulis rangkumkan: pertama-tama adalah dengan
memahami keseluruhan struktur sistemik dan logika internal beroperasinya obyek/konsep yang akan
direversi. Memahami logika internal yang dimaksud adalah memahaminya dalam obyektivitas dan
faktisitas singularnya; singkatnya, memahaminya in its own term. Di sini sekiranya perlu upaya suatu
rehabilitasi konsep ‘obyektivitas’ dari Positivisme yang semata-mata mengartikannya sebagai
keberjarakan subyek terhadap obyek yang diamatinya, yang notabene mustahil sebagaimana
ditunjukkan Mazhab Kritis Frankfurt. Obyektivitas harus dipahami sebagai suatu kondisi dimana suatu
obyek memiliki logika internalnya sendiri yang secara relatif otonom terhadap manusia. Unsur-unsur
manusiawi seperti kekuasaan, hasrat, moral, etika, bahasa, dst., dengan demikian harus diusir keluar
dari analisis obyektif. Memahami suatu artifak budaya misalnya, tidak bisa selamanya diletakkan pada
kehendak bebas sang penciptanya atau relasi kepentingan/kuasa yang melatar-belakanginya (sisi
manusia), melainkan harus melihat dari sisi materialitas spesifik artifak tersebut. [20] Begitu pula dalam
memahami kapitalisme, tidak bisa selamanya meletakkannya dalam koridor “demi kesejahteraan
bersama,” “demi kepentingan nasional,” “kepentingan komprador,” “intervensi asing,”“zionis!” dst.;
kapitalisme memiliki logikanya sendiri diluar ini semua: yaitu perpetuasi akumulasi dirinya sendiri!
Kedua, mengarahkan logika tersebut ke arah sesuai yang dikehendaki. Setelah obyektivitas sistem

didapatkan, barulah politik masuk. Namun kali ini, ia tidak masuk dan mengintervensinya secara
membabi-buta; sebaliknya, ia diam-diam, secara klandestin, menyabotase sistem tersebut ke arah
yang diinginkan. Persis seperti yang dikatakan Baudrillard, yaitu bahwa kita harus
“sampai pada suatu pandangan tentang sistem yang menyusuri logika internal sampai
akhir, tanpa menambah suatu apapun, namun yang, dalam waktu bersamaan,
membalikkan sistem secara total, mengungkapkan nir-maknawinya yang tersembunyi,
sang Tiada yang menghantuinya, ketidak-hadiran dalam jantung sistem, bayangbayang yang mengiringinya.”
[arrive at an account of the system which follows out its internal logic to its end, without
adding anything, yet which, at the same time, totally inverts that system, revealing its
hidden non-meaning, the Nothing which haunts it, that absence at the heart of the
system, that shadow running alongside it.][21]
Sebenarnya, inilah yang juga dimaksudkan Baudrillard melalui konsep seduksi-nya (seduction).
Seduksi, merupakan suatu tindakan untuk menyasarkan sesuatu, to lead something astray. Seduksi
adalah apa yang dilakukan saat seseorang mereversi sesuatu, saat ia “merayu” sesuatu untuk
berbelok dan keluar dari jalur yang ditentukanya. Seduksi adalah lawan dari produksi. Apabila produksi
adalah menghasilkan atau mengkonstruksi sesuatu; maka seduksi adalah menghasilkan sesuatu yang
baru dalam balutan yang lama.[22] Seduksi dengan demikian dapat dipahami sebagai suatu
misproduksi dan/atau miskonstruksi. Seperti yang ditekankan di atas, segala sesuatu bisa didaurulang, direorientasi, diputar-balikkan sesuka-hati sehingga kata mis- dalam misproduksi dan
miskonstruksi berarti suatu kreasi ulang yang baru yang diluar motif dan intensi awal pengkreasian
sesuatu tersebut.
“Karena kita memberi makna, mengikuti penggunaan kita akan yang imajiner, hanya
kepada apa yang tidak-terbalikkan; akumulasi, progresi, pertumbuhan, produksi, nilai,
kuasa, dan hasrat itu sendiri kesemuanya adalah tak-terbalikkan – suntikkan setetes
saja reversibilitas ke bangunan (dispositif) ekonomi, politik, institusi atau seksual kita
dan segala sesuatunya akan runtuh dalam sekejap.”
[For we give meaning, following our use of the imaginary, only to what is irreversible;
accumulation, progress, growth, production, value, power, and desire itself are all
irreversible processes—inject the slightest dose of reversibility into our economical,
political, institutional, or sexual machinery (dispositif) and everything collapses at
once.][23]

Refleksi Penutup: Mental Petaruh dan Perlawanan Simulakrais
Sampai di sini sekiranya telah jelas mengenai konsep reversibilitas, berikut potensi politik yang
terkandung di dalamnya. Reversibilitas merupakan suatu cara dalam mengafirmasi nihilisme hiperrealitas, tidak secara pasif dan naïf, melainkan secara aktif. Reversibilitas ini kemudian juga akan
mengganggu pandangan dominan mengenai Baudrillard sebagai seorang pemikir yang pesimis dan
fatalis. Selain mendeskripsikan permasalahan dan menempatkannya pada medan problematik yang
baru dan lebih realistis, Baudrillard juga memikirkan kemungkinan perlawananannya. Kenyataan
bahwa ia belum begitu dikembangkan dengan cukup ekstensif oleh Baudrillard tentu adalah sesuatu
yang patut disayangkan. Namun demikian, justru di titik inilah kerja intelektual Baudrillard harus
diteruskan.[24] Kerja intelektual ke depan, yang bergulat dengan Baudrealitas, dengan demikian harus
mampu beranjak dari sekedar berputar-putar pada konsep hiperealitas dan simulakra. Hal ini bukan
hanya karena sudah cukup banyak karya-karya yang menyoroti ini, melainkan juga adalah kontraproduktif secara politis untuk terus berkubang pada lautan simulakra ini. Kritik, dengan demikian,
hanya merepetisi tuduhan-tuduhan “bohong!”, “palsu!”, “tidak berdasar!” dst., seraya tidak berdaya
menjelaskan mengapa kebohongan tersebut terus direproduksi, apalagi mengintervensinya.
Problem lain yang mengemuka terkait reversibilitas ini adalah problem etik. Kosongnya
esensi/substansi/makna, juga berarti bahwa reversibilitas tidak mengenal moralitas sama sekali. Ia
bisa dinisbatkan predikat “netral.” Artinya, ia bisa dipakai siapa saja untuk kepentingan apa saja. Mulai
dari mereka yang berniat mengeruk keuntungan sampai mereka yang ingin menantang sistem
eksploitasi, mulai dari pemimpin berkedok moralis sampai teroris yang ingin menegakkan
idealismenya, dst. Inilah implikasi ekstrim dari reversibilitas. Ia menawarkan jalan perlawanan,
melainkan ia juga memungkinkan eksploitas jenis baru. Reversibilitas mempunyai struktur farmakon
(dalam pengertian Derrida), racun sekaligus penawarnya.
Melihat reversibilitas melulu dari sisi ekstrimnya hanya akan berakhir pada paranoia yang tidak kalah
kontra-produktifnya dengan apatisme dan naïfisme. Reversibilitas merupakan sumbangsih Baudrillard
untuk mereversi apa yang tampak tak-terbalikkan; ia merupakan saksi dari komitmen optimis

Baudrillard untuk melawan sistem simulakra ini. Menyikapi ekstrimitas implikasi reversibilitas ini
haruslah dengan mentalitas petaruh (gambler).[25] Itu juga mengapa Baudrillard melihat ini sebagai
suatu ‘permainan’ (game) dan ‘tantangan’ (challenge). Bila “game of truth” dalam pengertian Foucault
berarti pertarungan klaim-klaim kebenaran, maka “game of truth” Baudrillardian adalah suatu
permainan dimana kebenaran telah dikosongkan dari makna esensialnya, untuk lantas kemudian
direorientasi demi kepentingan masing-masing. Dalam permainan ini, dimana-mana tampak
kebenaran, tapi kebenaran tidak ada dimana-mana.
Masih terkait pertimbangan etis, politik yang berbasiskan pada konsep reversibilitas ini, di kesempatan
lain, secara kontroversial disandingkan Baudrillard dengan prinsip Iblis, yaitu “tentu saja bukan tentang
supremasi yang Jahat [dari yang Baik], melainkan mengenai ketergandaan fundamental yang
menuntut seluruh tatanan yang ada untuk dibangkangi, diserang, dilanggar, dan dibongkar” [not
exactly the supremacy of Evil [over the Good], but the fundamental duplicity that demands that any
order exists only to be disobeyed, attacked, exceeded, and dismantled].[26] Jadi yang perlu
diperhatikan di sini adalah bahwa prinsip Iblis dalam pemahaman Baudrillard adalah selalu melampaui
Baik dan Buruk, tidak hanya itu, ia menabrak pendikotomian itu sendiri! Ia akan secara aktif
mendevaluasi nilai-nilai yang ada, tapi juga kemudian merevaluasinya.
Perlawanan dengan mendasarkan strateginya pada permainan reversibilitas ini berada pada tataran
simbolik, pada permukaan, atau bahkan penulis akan menawarkan, perlawanan pada tataran
simulakra—perlawanan simulakrais. Jika perlawanan pada umumnya diarahkan pada dalang, yangdibelakang-layar, esensi, dst. dari suatu kebohongan, maka perlawanan simulakrais adalah
perlawanan yang dilangsungkan justru di medan kebohongan itu sendiri. Perlawanan simulakrais tidak
mencari esensi yang tersembunyi dari suatu kriminalitas (korupsi, skandal, eksploitasi, dst.), melainkan
justru ia beroperasi dalam dan melalui logika beroperasi kriminalitas itu sendiri. Inilah sumbangsih
strategis yang ditawarkan oleh Baudrillard bagi perlawanan politik di era hiperealitas. Hanya dengan
memahami dimensi reversibilitas Baudrealitas, suatu peluang pembebasan dari perbudakan
kapitalisme berbasis simulakra bisa dimungkinkan.
“Kita tidak akan menghancurkan sistem melalui suatu revolusi yang langsung dan
dialektis terhadap infrastruktur ekonomi dan politik. Segala sesuatu dihasilkan oleh
kontradiksi, oleh relasi kekuasaan, atau oleh energi pada umumnya, hanya akan
mengumpan balik ke mekanisme tersebut dan memberinya daya dorong, mengikuti
distorsi sirkuler menyerupai pita Moebius. Kita tidak akan pernah mengalahkannya
dengan mengikuti logika energinya, kalkulasinya, rasio dan revolusinya, sejarah dan
kuasanya, atau finalitas dan kontra-finalitasnya. Kita tidak akan pernah menaklukkan
sistem di ranah riil: kekeliruan paling parah dari seluruh strategi revolusioner kita
adalah percaya bahwa kita dapat mengakhiri sistem ini di ranah riil: ini adalah imajinasi
mereka, yang ditanamkan kepada mereka oleh sistem itu sendiri, hidup dan
terselamatkan semata karena selalu mengarahkan siapapun yang menyerang sang
sistem untuk bertarung satu sama lain dalam ranah realitas, yang adalah selalu realitas
dari sang sistem. … Karenanya kita harus memindahkan segala sesuatunya ke alam
simbolik, dimana tantangan, pembalikan, dan pelampauan adalah hukumnya.”
[We will not destroy the system by a direct, dialectical revolution of the economic or
political infrastructure. Everything produced by contradiction, by the relation of forces, or
by energy in general, will only feed back into the mechanism and give it impetus,
following a circular distortion similar to a Moebius strip. We will never defeat it by
following its own logic of energy, calculation, reason and revolution, history and power,
or some finality or counter-finality. The worst violence at this level has no purchase, and
will only backfire against itself. We will never defeat the system on the plane of the real:
the worst error of all our revolutionary strategies is to believe that we will put an end to
the system on the plane of the real: this is their imaginary, imposed on them by the

system itself, living or surviving only by always leading those who attack the system to
fight amongst each other on the terrain of reality, which is always the reality of the
system. ... We must therefore displace everything into the sphere of the symbolic, where
challenge, reversal and overbidding are the law.][27]
Akhirnya, sekiranya bisa dipahami kalimat kontroversial Baudrillard berikut, yang saya usulkan untuk
juga kita serukan: “Saya adalah teroris dan nihilis dalam teori sama seperti yang lainnya dengan
senjatanya. Kekerasan teoritis, dan bukan kebenaran, adalah satu-satunya yang tersisa bagi kita” [I
am a terrorist and nihilist in theory as the others are with their weapons. Theoretical violence, not truth,
is the only resource left us].[28]***

Penulis aktif Purusha Research Cooperative

Daftar Kutipan
Baudrillard, Jean, “Beyond the Vanishing Point of Art,” terj. Paul Foss, dalam P. Taylor, ed., Post-Pop
Art (Cambridge: MIT, 1987, 1989).
Baudrillard, Jean, “Forget Baudrillard” dalam Forget Foucault, terj. N. Dufresne (LA: Semiotext(e),
2007 [1977]).
Baudrillard, Jean, “The Revenge of the Crystal: Interview with Guy Bellavanca,” dalam M. Gane, peny.,
Baudrillard Live: Selected Interviews,(New York: Routledge, 1993 [1983]).
Baudrillard, Jean, Berahi, terj. R. Wahyudi (Yogyakarta: Bentang, 2000 [1979])
Baudrillard, Jean, Fatal Strategies (NY: Semiotext(e)/Pluto, 1990).
Baudrillard, Jean, Fatal Strategies, terj. P Beitchman dan W.G.J. Niesluchowski (New York:
Semiotext(e), 1990 [1983]).
Baudrillard, Jean, Forget Foucault, terj. N. Dufresne (LA: Semiotext(e), 2007 [1977]).
Baudrillard, Jean, Illusion of the End, Terj. C. Turner (Stanford: Stanford University Press, 1994 [1992]).
Baudrillard, Jean, Impossible Exchange, Terj. C. Turner, (New York: Verso, 2001 [1999]).
Baudrillard, Jean, Seduction, terj. B. Singer (Montreal: New world Perspectives Press, 1990 [1979])
Baudrillard, Jean, Simulacra and Simulation, terj. S.F. Glaser (Ann Arbor Michigan: University of
Michigan Press, 1994 [1981]).
Baudrillard, Jean, Symbolic Exchange and Death, terj. I.H. Grant (London: SAGE, 1993 [1976]).
Baudrillard, Jean, The Mirror of Production, terj., M. Poster (St. Louis, Missouri: Telos Press, 1975
[1973]).
Benjamin, Breaking “I Will Not Bow,” Dear Agony (2009) [Lagu]
Cultural Politics, Special Issue: Baudrillard Redux, editor tamu, Richard G. Smith, David B. Clarke, and
Marcus A. Doel, vol. 7, issue 3, 2011.
Foucault, Michel, “Truth and Power,” dalam Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings
1972-1977, peny., C. Gordon (NY: Pantheon Books, 1980).

Foucault, Michel, Birth of Biopolitics: Lectures at the College de France, 1978-1979, terj. G. Burchell
(Hampshire, Palgrave Macmillan, 2008)
Foucault, Michel, Society Must be Defended: Lectures at the College de France, 1975-76, terj. D.
Macey (NY: Picador).
Marx, Karl, A Contribution to the Critique of the Political Economy, terj. N.I. Stone (Charles H. Kerr &
Compan, 1904)
Noys, Benjamin, The Persistence of the Negative: A Critique of Contemporary Continental Theory
(Edinburgh Uni Press, 2010).
Piliang, Yasraf Amir, Dunia yang Dilipat, ed. ketiga (Yogyakarta: Matahari, 2011).
Polimpung, Hizkia Yosie, Mahasiswa-Buruh-Kapitalis Tidak Kemana-Mana, Karena Ia Dimana-Mana,
Makalah pada Diskusi Publik, “Buruh dan Kapital: Mahasiswa ke Mana?” PUSGERAK BEM UI, FISIP
UI Depok, Senin, 30 April 2012.

[1] “The only real pleasure in the world is to watch things ‘turn’ into catastrophe, to emerge finally from
determinacy and indeterminacy, from chance and necessity, and enter the real of vertiginious
connections, for better or worse, where things reach their end without passing through their means,
where events attain their effects without passing through causes.” Jean Baudrillard, Fatal Strategies
(NY: Semiotext(e)/Pluto, 1990), hal. 156. Semua terjemahan adalah terjemahan bebas dari saya
sendiri.
[2] “What interests me is indeed something like a fatal strategy … which dismantles the beautiful order
of irreversibility, of the finality of things. I think what troubles people is the idea of reversibility when
given as a kind of law. I do not accept it as law. I take it as a rule of the game.” Jean Baudrillard, “The
Revenge of the Crystal: Interview with Guy Bellavanca,” dalam M. Gane, peny., Baudrillard Live:
Selected Interviews,(New York: Routledge, 1993 [1983]), hal. 57.
[3] Saya menerjemahkannya secara mentah dari bahasa Inggrisnya demi kepentingan keselarasan
citra akustik saja. (Terjemahan Indonesia yang bisa saya pikirkan, misalnya: keterputarbalikkan dan
keterbolak-balikan, menurut saya kurang berterima dan cenderung njelimet di lidah).
[4] Lihat karya-karya posmodernis Indonesia seperti Yasraf Amir Piliang, misalnya, yang tampak
sangat kental dengan pemikiran Baudrillard yang nihilis naïf ini.
[5] Orgy, adalah bahas Inggris untuk ‘pesta seks’. Baudrillard menggunakan terma ini secara metaforis
untuk menunjukkan euforia perayaan kebebasan di era posmodernitas, yaitu era di mana tatanan
sosial kehilangan tiang-tiang penyangga tradisionalnya (agama, negara, keseimbangan pasar, dst.).
Lihat bagian berikut tulisan ini.
[6] Nietzsche menekankan dua bentuk nihilisme: pasif dan aktif. Nihilisme pasif larut dalam euforia
matinya transendensi, sementara nihilisme aktif mengambil posisi aktif dalam terus menerus
menciptakan dan menghancurkan transendensi-transendensi baru. Nihilisme naïf yang dimaksud di
sini adalah nihilisme pasif dalam artian Nietzsche, atau yang dengan sinis disebut Baudrillard sebagai
orgy.
[7] Apresiasi demikian banyak dilakukan oleh kelompok filsuf baru yang menamai filosofinya sebagai
‘akselerasionisme’. Sebenarnya nama ini diberikan oleh Benjamin Noys dengan semangat kritik,
namun ia malah diafirmasi oleh sejumlah pemikir seperti Nick Srnicek, Alex Williams, dan Robin
Mackay, bahkan disambut oleh filsuf sekelas Antonio Negri. Lih. Benjamin Noys, The Persistence of
the Negative: A Critique of Contemporary Continental Theory (Edinburgh Uni Press, 2010), h. 4-9.
Pengantar dan arahan sumber penting bisa klik di sini: http://monoskop.org/Accelerationism.

Sayangnya, pendeketan akselerasionis ini rawan mengulai mesianisme nihilisme pasif. Kritik ekstensif
terhadap akselerasionis ini akan disampaikan di lain kesempatan.
[8] “Forget Baudrillard” merupakan judul artikel penutup buku Jean Baudrillard, Forget Foucault, terj. N.
Dufresne (LA: Semiotext(e), 2007 [1977]).
[9] Sebenarnya kritik ini juga bukan tanpa masalah. Apakah konsepsi produksi yang telah berubah,
atau Baudrillard sendiri yang memang gagal melihat antisipasi Marx terhadap “perubahan”—jika ada—
konsep produksi. Saya membahas ini melalu konsep ‘produksi imaterial’; lihat, Hizkia Yosie
Polimpung, Mahasiswa-Buruh-Kapitalis Tidak Kemana-Mana, Karena Ia Dimana-Mana, Makalah pada
Diskusi Publik, “Buruh dan Kapital: Mahasiswa ke Mana?” PUSGERAK BEM UI, FISIP UI Depok,
Senin, 30 April 2012.
[10] Jean Baudrillard, The Mirror of Production, terj., M. Poster (St. Louis, Missouri: Telos Press, 1975
[1973]), hal. 129. Penekanan pada teks asli.
[11] Ibid., cat.kaki no. 95. Penekanan dari penulis. *cat: ‘General equivalence’ dalam teks asli saya
terjemahkan sebagai ‘ekwivalensi universal’. Hal ini untuk mengikuti konseptualisasi Marx mengenai
uang sebagai ‘universal equivalent’, yaitu yang secara umum merupakan upaya mengonversikan kerja
manusia yang abstrak (susah diukur) dalam menghasilkan suatu komoditas ke dalam satu ukuran
umum (yi. universal) yang setara (yi. ekwivalen) sebagai medium pertukaran. Alhasil, karena ekwivalen
universal (yi. uang) ini, kerja manusia menjadi tak tampak, menjadi terepresi. Lih. Karl Marx, A
Contribution to the Critique of the Political Economy, terj. N.I. Stone (Charles H. Kerr & Compan, 1904),
h.26-30.
[12] Jean Baudrillard, Illusion of the End, Terj. C. Turner (Stanford: Stanford University Press, 1994
[1992]), hal. 27.
[13] Contoh untuk ini adalah sikap kawan-kawan anarkis dan punk kebanyakan dan kelas menengah
pada umumnya.
[14] Lihat karya-karya Yasraf Amir Piliang, misalnya, Dunia yang Dilipat, ed. ketiga (Yogyakarta:
Matahari, 201) untuk ini.
[15] Jean Baudrillard, “Beyond the Vanishing Point of Art,” terj. Paul Foss, dalam P. Taylor, ed., PostPop Art (Cambridge: MIT, 1987, 1989), hal. 182.
[16] Ibid., hal. 189.
[17] Sebenarnya Foucault pun telah menyadari hal ini saat menyerukan untuk “[l]et’s suppose that
universals do not exist” untuk memulai analisis tentang kekuasaan dan kepemerintahan
(governmentality). Hal ini karena menurutnya universal-universal ini—yaitu agasan semacam sang
berdaulat, kedaulatan, rakyat, subyek, negara dan masyakarat madani,” dan bahwa itu semua
hanyalah korelat-korelat dari suatu cara tertentu dalam memerintah.” Michel Foucault, Birth of
Biopolitics: Lectures at the College de France, 1978-1979, terj. G. Burchell (Hampshire, Palgrave
Macmillan, 2008), hal. 2-3. Di kesempatan lain, Foucault juga menyerukan “[k]ita perlu memenggal
kepala sang Raja: dalam teori politik yang masih harus dilakukan,” dalam Power/Knowledge: Selected
Interviews and Other Writings 1972-1977, peny., C. Gordon (NY: Pantheon Books, 1980), hal. 121.
[18] Baudrillard, Forget Foucault, hal. 31.
[19] Lihat, misalnya, Michel Foucault, Society Must be Defended: Lectures at the College de France,
1975-76, terj. D. Macey (NY: Picador), hal. 24.
[20] Hal ini tidak lantas berarti faktor-faktor subyektif/antropo-sentris (kuasa, hasrat, kepentingan,
bahasa, dst.) dikesampingkan. Melainkan poinnya, menjelaskan sesuatu dari faktor-faktor ini saja
hanyalah menjelaskan separuh cerita saja, separuh lainnya adalah bagaimana sesuatu tersebut

bekerja dengan caranya sendiri. Analisis yang holistik dengan demikian berkomitmen untuk melihat
dan memahami tarik-menarik kedua faktor ini.
[21] Jean Baudrillard, Impossible Exchange, Terj. C. Turner, (New York: Verso, 2001 [1999]), hal 150.
[22] Lih. & bdk. Jean Baudrillard, Seduction, terj. B. Singer (Montreal: New world Perspectives Press,
1990 [1979]), hal. 34-5. Dari konsepsi ini sekiranya jelas bahwa terjemahan bahasa Indonesia atas
buku ini telah salah kaprah sedari, bahkan, penjudulannya ke dalam bahasa Indonesia: “Berahi.” Lih.
Jean Baudrillard, Berahi, terj. R. Wahyudi (Yogyakarta: Bentang, 2000 [1979])
[23] Baudrillard, Forget Foucault, hal. 55
[24] Jurnal Cultural Politics vol 7, issue 3, 2007, edisi khusus: Baudrillard Redux, misalkan,
mendedikasikan seluruh volumenya untuk membahas warisan Baudrillard selain konsep-konsep
simulasi, simulakra dan hiper-realitas.
[25] Uraian lebih ekstensif mengenai mentalitas petaruh ini, lihat karya Baudrillard, Seduction.
[26] Jean Baudrillard, Fatal Strategies, terj. P Beitchman dan W.G.J. Niesluchowski (New York:
Semiotext(e), 1990 [1983]), hal. 77.
[27] Jean Baudrillard, Symbolic Exchange and Death, terj. I.H. Grant (London: SAGE, 1993 [1976]), hal
36. Penekanan dari teks asli.
[28] Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, terj. S.F. Glaser (Ann Arbor Michigan: University of
Michigan Press, 1994 [1981]), hal 163.

Baca Juga
Kontemporalitas Idealisme Martin, atau Bagaimana Menjadi
Materialisme-Dialektis tanpa Perlu Dialektis [Bagian I]
Kenapa Oligarki Ingin Mengakhiri Pilkada Langsung?
Tuhan Di Bumi

Kontemporalitas Idealisme Martin dan Pentingnya Menonjok
Obyektivitas secara Obyektif [Bagian II]

Realisme, Realitas dan Realistis dalam Hubungan Internasional