PERKEMBANGAN SEJARAH BAHASA INDONESIA SEJARAH PERKEMBANGAN
PERKEMBANGAN SEJARAH BAHASA INDONESIA
Bahasa indonesia pada dasarnya berasal dari bahasa melayu, pada zaman dahulu
lebih tepatnya pada zaman kerajaan sriwijaya bahasa melayu banyak digunakan
sebagai bahasa penghubung antar suku di plosok nusantara. Selain itu bahasa
melayu juga di gunakan sebagai bahasa perdagangan antara pedagang dalam
nusantara maupun dari luar nusantara.
Bahasa melayu menyebar ke pelosok nusantara bersamaan dengan penyebaran
agama islam, serta makin kokoh keberadaan nya karena bahasa melayu mudah
diterima oleh masyarakat nusantara karena bahasa melayu digunakan sebagai
penghubung antar suku, antar pulau, antar pedagang, dan antar kerajaan.
Temuan tersebut kemudian mengindikasikan adanya penyebaran bahasa ini ke
hampir seluruh tempat di Nusantara dari tempatnya ditemukan. Hal ini tidak lepas
dari campur tangan kerajaan Sriwijaya yang saat itu menjadi penguasa jalur
perdagangan di area Nusantara. Nama Melayu muncul dari nama sebuah kerajaan
yang didirikan di Jambi tepatnya di Batang Hari, bernama kerajaan Malayu. Di
kerajaan ini, diketahui bahwa bahasa Melayu masyarakat Jambi secara
keseluruhan menggunakan dialek “o”, dimana akhir kalimat yang diakhiri dengan
alfabet a akan diubah menjadi o seperti misalnya “kemano” yang merupakan
dialek o dari kata “kemana”. Nantinya, dialek Melayu ini akan terus berkembang
dan menjadi semakin banyak ragamnya seiring semakin banyaknya tempat yang
menggunakan dialek ini. Dalam perkembangannya, penggunaan kata “Melayu”
sendiri akhirnya menjadi jauh lebih luas dibandingkan daerah kerajaan Malayu
yang hanya mencakup sebagian kecil dari pulau Sumatera. Hal ini disebut dalam
Kakawin Negarakertagama sebagai asal-usul mengapa pulau Sumatera memiliki
sebutan lain sebagai Bumi Melayu.
Sejarah bahasa Indonesia baru menjadi “resmi” ketika pada awal abad ke-20,
mulai ada perpecahan bentuk baku tulisan pada bahasa Melayu. Pada tahun 1901,
Indonesia yang masih menjadi Hindia-Belanda mengadopsi ejaan Van Ophuijsen
dan Persekutuan Tanah Melayu yang nantinya menjadi bagian dari Malaysia
mengadopsi ejaan Wilkinson 3 tahun setelahnya.
Akibat program Taman Poestaka yang diluncurkan oleh pemerintah Belanda,
terjadi perkembangan yag pesat dimana 700 perpustakaan telah terbangun pada
tahun 1912. Program ini melahirkan berbagai anak bangsa yang hobi mencari
ilmu dan membaca yang akhirnya menuntun pada terjadinya Sumpah Pemuda
pada 28 Oktober 1928.
Sumpah Pemuda memainkan peran penting dalam sejarah bahasa Indonesia,
terutama penggunaannya sebagai bahasa Nasional. Sumpah Pemuda sendiri
sebenarnya adalah hasil putusan yang diterima dari Kongres Pemuda Kedua pada
tanggal 87 dan 28 Oktober 1928. Dalam salah satu isi Sumpah Pemuda tertuliskan
bahwa pemuda dan pemudi Indonesia memutuskan untuk menggunakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa. Pada kongres ini juga Muhammad
Yamin mengatakan bahwa ada dua kemungkinan bahasa yang bisa menjadi bahasa
persatuan yaitu Jawa dan Melayu, dan Yamin berpendapat bahwa bahasa Melayu
yang akan menjadi bahasa pergaulan.
Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. pada saat itu, para pemuda
dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam kerapatan Pemuda dan berikrar
1. bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia,
2. berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan
3. menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini
dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.
Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa
bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada tahun 1928
itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional.
Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal
18 Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan
sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam UndangUndang Dasar 1945 disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia .
Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain,
menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa
Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu
sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di
Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.
Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti
yang menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit
berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M
(Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang
Brahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari
berbahasa Melayu Kuna. Bahasa Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada
zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti
berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M
yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna.
Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu
bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa
perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik
sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan
terhadap
para
pedagang
yang
datang
dari
luar
Nusantara.
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari
peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan pada
batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra
(abad ke-16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai,
Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin.
Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya
agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh
masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku,
antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak
mengenal tingkat tutur.
Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin
berkembang dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai
di daerah di wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak
budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama
dari bahasa Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa.
Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan
dialek.
Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan
mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia.
Komunikasi antarperkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa
Melayu.
Para pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara
sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa
persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).
Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia dengan
pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah sangat
besar dalam memodernkan bahasa Indonesia.
Proklamasi kemerdekaan
Republik
Indonesia, 17 Agustus
1945, telah
mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional
sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan
masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Perkembangan dan pertumbuhan Bahasa Melayu tampak lebih jelas dari berbagai
peninggalan-peninggalan misalnya:
1. Tulisan yang terdapat pada batu Nisan di Minye Tujoh, Aceh pada tahun
1380
2. Prasasti Kedukan Bukit, di Palembang pada tahun 683.
3. Prasasti Talang Tuo, di Palembang pada Tahun 684.
4. Prasasti Kota Kapur, di Bangka Barat, pada Tahun 686.
5. Prasati Karang Brahi Bangko, Merangi, Jambi, pada Tahun 688.
Dan pada saat itu Bahasa Melayu telah berfungsi sebagai:
1. Bahasa kebudayaan yaitu bahasa buku-buku yang berisia aturan-aturan
hidup dan sastra.
2. Bahasa perhubungan (Lingua Franca) antar suku di indonesia
3. Bahasa perdagangan baik bagi suku yang ada di Indonesia maupun
pedagang yang berasal dari luar indonesia.
4. Bahasa resmi kerajaan.
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahas persatuan
bangsa indonesia. Bahasa indonesia di resmikan penggunaannya setelah
Proklamasi Kemerekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan
dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, Bahasa Indonesia berposisi
sebagi bahasa kerja. Dari sudut pandang Linguistik, bahasa indonesia adalah salah
satu dari banyak ragam bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa
Melayu-Riau dari abad ke-19.
Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaannya sebagi
bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan
sejak awal abad ke-20. Penamaan “Bahasa Indonesia” di awali sejak di
canangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan
“Imperialisme bahasa” apabila nama bahasa Melayu tetap di gunakan.
Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa indonesia saat ini dari varian bahasa
Melayu yang di gunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini,
bahasa indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan katakata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan
bahasa asing. Meskipun di pahami dan di tuturkan oleh lebih dari 90% warga
indonesia, bahasa indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya.
Sebagian besar warga indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang
ada di indonesia sebagai bahasa Ibu. Penutur Bahasa indonesia kerap kali
menggunakan versi sehari-hari (kolokial) atau mencampur adukkan dengan dialek
Melayu lainnya atau bahasa Ibunya.
Meskipun demikian , bahasa indonesia di gunakan di gunakan sangat luas di
perguruan-perguruan. Di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat
resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa
bahasa indonesia di gunakan oleh semua warga indonesia. Bahasa Melayu dipakai
dimana-mana diwilayah nusantara serta makin berkembang dengan dan
bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai didaerah-daerah
diwilayah nusantara dalam pertumbuhan dipengaruhi oleh corak budaya daerah.
Bahasa Melayu menyerap kosa kata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa
sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa.
Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan
dialek. Perkembangan bahasa Melayu diwilayah nusantara mempengaruhi dan
mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia.
Komikasi rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi antar
perkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu menjadi
bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia
dalam sumpah pemuda 28 Oktober 1928. Untuk memperoleh bahasa nasionalnya,
Bangsa Indonesia harus berjuang dalam waktu yang cukup panjang dan penuh
dengan tantangan.
Perjuagan demikian harus dilakukan karena adanya kesadaran bahwa di samping
fungsinya sebagai alat komunikasi tunggal, bahasa nasional sebagai salah satu ciri
cultural, yang ke dalam menunjukkan sesatuan dan keluar menyatakan perbedaan
dengan bangsa lain.
Ada empat faktor yang menyebabkan Bahasa melayu diangkat menjadi bahasa
Indonesia, yaitu:
1. Bahasa melayu adalah merupakan Lingua Franca di Indonesia, bahasa
perhubungan dan bahasa perdagangan.
2. Sistem bahasa melayu sederhana, mudah di pelajari karena dalam bahasa
melayu tidak di kenal tingkatan bahasa (bahasa kasar dan bahasa halus).
3. Suku Jawa, Suku Sunda, dan Suku2 yang lainnya dengan sukarela
menerima bahasa melayu menjadi bahasa indonesia sebagai bahasa
nasional.
4. Bahasa melayu mempunyai kesanggupan untuk di pakai sebagai bahasa
kebudayaan dalam arti yang luas.
Dibandingkan dengan bahasa-bahasa Eropa, bahasa Indonesia tidak menggunakan
kata bergender. Sebagai contoh kata ganti seperti "dia" tidak secara spesifik
menunjukkan apakah orang yang disebut itu lelaki atau perempuan. Hal yang
sama juga ditemukan pada kata seperti "adik" dan "pacar" sebagai contohnya.
Untuk memerinci sebuah jenis kelamin, sebuah kata sifat harus ditambahkan,
"adik laki-laki" sebagai contohnya.
Ada juga kata yang berjenis kelamin, seperti contohnya "putri" dan "putra". Katakata seperti ini biasanya diserap dari bahasa lain. Pada kasus di atas, kedua kata
itu diserap dari bahasa Sanskerta melalui bahasa Jawa Kuno.
Untuk mengubah sebuah kata benda menjadi bentuk jamak digunakanlah
reduplikasi (perulangan kata), tapi hanya jika jumlahnya tidak terlibat dalam
konteks. Sebagai contoh "seribu orang" dipakai, bukan "seribu orang-orang".
Perulangan kata juga mempunyai banyak kegunaan lain, tidak terbatas pada kata
benda.
Bahasa Indonesia menggunakan dua jenis kata ganti orang pertama jamak, yaitu
"kami" dan "kita". "Kami" adalah kata ganti eksklusif yang berarti tidak termasuk
sang lawan bicara, sedangkan "kita" adalah kata ganti inklusif yang berarti
kelompok orang yang disebut termasuk lawan bicaranya.
Susunan kata dasar yaitu Subjek - Predikat - Objek (SPO), walaupun susunan kata
lain juga mungkin. Kata kerja tidak di bahasa berinfleksikan kepada orang atau
jumlah subjek dan objek. Bahasa Indonesia juga tidak mengenal kala (tense).
Waktu dinyatakan dengan menambahkan kata keterangan waktu (seperti,
"kemarin" atau "esok"), atau petunjuk lain seperti "sudah" atau "belum".
KEDUDUKAN RESMI BAHASA INDONESIA
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting seperti yang
tercantum dalam: Ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 dengan bunyi, ”Kami putra
dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Undang-Undang Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara,
serta Lagu Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa
”Bahasa Negara ialah
Bahasa Indonesia”.
Dari Kedua hal tersebut, maka kedudukan bahasa Indonesia sebagai:
Bahasa kebangsaan, kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah.
Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari
cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di
Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.
Aksara pertama dalam bahasa Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara
Pulau Sumatera, mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat
di Nusantara dari wilayah ini, berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya
yang menguasai jalur perdagangan. Istilah Melayu atau sebutan bagi wilayahnya
sebagai Malaya sendiri berasal dari Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang
Hari, Jambi, di mana diketahui bahasa Melayu yang digunakan di Jambi
menggunakan dialek "o" sedangkan dikemudian hari bahasa dan dialek Melayu
berkembang secara luas dan menjadi beragam.
Istilah Melayu atau Malayu berasal dari Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan HinduBudha pada abad ke-7 di hulu sungai Batanghari, Jambi di pulau Sumatera, jadi
secara geografis semula hanya mengacu kepada wilayah kerajaan tersebut yang
merupakan sebagian dari wilayah pulau Sumatera. Dalam perkembangannya
pemakaian istilah Melayu mencakup wilayah geografis yang lebih luas dari
wilayah Kerajaan Malayu tersebut, mencakup negeri-negeri di pulau Sumatera
sehingga pulau tersebut disebut juga Bumi Melayu seperti disebutkan dalam
Kakawin Nagarakretagama.
Ibukota Kerajaan Melayu semakin mundur ke pedalaman karena serangan
Sriwijaya dan masyarakatnya diaspora keluar Bumi Melayu, belakangan
masyarakat pendukungnya yang mundur ke pedalaman berasimilasi ke dalam
masyarakat Minangkabau menjadi klan Malayu (suku Melayu Minangkabau)
yang merupakan salah satu marga di Sumatera Barat. Sriwijaya berpengaruh luas
hingga ke Filipina membawa penyebaran Bahasa Melayu semakin meluas, tampak
dalam prasasti Keping Tembaga Laguna.
Bahasa Melayu kuno yang berkembang di Bumi Melayu tersebut berlogat "o"
seperti Melayu Jambi, Minangkabau, Kerinci, Palembang dan Bengkulu.
Semenanjung Malaka dalam Nagarakretagama disebut Hujung Medini artinya
Semenanjung Medini.
Dalam perkembangannya orang Melayu migrasi ke Semenanjung Malaysia (=
Hujung Medini) dan lebih banyak lagi pada masa perkembangan kerajaankerajaan Islam yang pusat mandalanya adalah Kesultanan Malaka, istilah Melayu
bergeser kepada Semenanjung Malaka (= Semenanjung Malaysia) yang akhirnya
disebut Semenanjung Melayu atau Tanah Melayu. Tetapi nyatalah bahwa istilah
Melayu itui berasal dari Indonesia. Bahasa Melayu yang berkembang di sekitar
daerah Semenanjung Malaka berlogat "e".
Kesultanan Malaka dimusnahkan oleh Portugis tahun 1512 sehingga penduduknya
diaspora sampai ke kawasan timur kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Purba
sendiri diduga berasal dari pulau Kalimantan, jadi diduga pemakai bahasa Melayu
ini bukan penduduk asli Sumatera tetapi dari pulau Kalimantan. Suku Dayak yang
diduga memiliki hubungan dengan suku Melayu kuno di Sumatera misalnya
Dayak Salako, Dayak Kanayatn (Kendayan), dan Dayak Iban yang semuanya
berlogat "a" seperti bahasa Melayu Baku.
Penduduk asli Sumatera sebelumnya kedatangan pemakai bahasa Melayu tersebut
adalah nenek moyang suku Nias dan suku Mentawai. Dalam perkembangannya
istilah Melayu kemudian mengalami perluasan makna, sehingga muncul istilah
Kepulauan Melayu untuk menamakan kepulauan Nusantara.
M. Muhar Omtatok, seorang Seniman, Budayawan dan Sejarahwan menjelaskan
sebagai berikut: "Melayu secara puak (etnis, suku), bukan dilihat dari faktor
genekologi seperti kebanyakan puak-puak lain. Di Malaysia, tetap mengaku
berpuak Melayu walau moyang mereka berpuak Jawa, Mandailing, Bugis, Keling
dan lainnya.
Beberapa tempat di Sumatera Utara, ada beberapa Komunitas keturunan Batak
yang mengaku Orang Kampong - Puak Melayu
Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu
(sebagai bahasa Melayu Kuna) sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuna
yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu
menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa
Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan
bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari
abad berikutnya di Pulau Jawa[10] dan Pulau Luzon.[11] Kata-kata seperti
samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca masuk pada periode hingga
abad ke-15 Masehi.
Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu
Klasik (classical Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan
Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi.
Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa,
dan Semenanjung Malaya.[butuh rujukan] Laporan Portugis, misalnya oleh Tome
Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di
wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari Nusantara
yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam
sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan
bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak
abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan
kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya,
dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus
berlangsung hingga sekarang.
Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur
bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah
penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk
Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari
istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk
bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa
yang full-fledged, sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional pada masa itu,
karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok
bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang
kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya
tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi
kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat
dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena
penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan
menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab
rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa.
Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan
penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah
"embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk
semula bahasa Melayu Riau-Johor.
Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu
mulai terlihat. Pada tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi
ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak
menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.
Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun
1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad
Taib Soetan Ibrahim.
Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de
Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga
ini menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A.
Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan
kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah.
Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar
700 perpustakaan.[14] Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa
persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.
Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad
Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada
Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,
"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan
kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa
persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa
Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa
persatuan.
Selanjutnya
perkembangan
bahasa
dan
kesusastraan
Indonesia
banyak
dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur
Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan
Chairil
Anwar.
Sastrawan
tersebut
banyak
mengisi
dan
perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.
menambah
Bahasa indonesia pada dasarnya berasal dari bahasa melayu, pada zaman dahulu
lebih tepatnya pada zaman kerajaan sriwijaya bahasa melayu banyak digunakan
sebagai bahasa penghubung antar suku di plosok nusantara. Selain itu bahasa
melayu juga di gunakan sebagai bahasa perdagangan antara pedagang dalam
nusantara maupun dari luar nusantara.
Bahasa melayu menyebar ke pelosok nusantara bersamaan dengan penyebaran
agama islam, serta makin kokoh keberadaan nya karena bahasa melayu mudah
diterima oleh masyarakat nusantara karena bahasa melayu digunakan sebagai
penghubung antar suku, antar pulau, antar pedagang, dan antar kerajaan.
Temuan tersebut kemudian mengindikasikan adanya penyebaran bahasa ini ke
hampir seluruh tempat di Nusantara dari tempatnya ditemukan. Hal ini tidak lepas
dari campur tangan kerajaan Sriwijaya yang saat itu menjadi penguasa jalur
perdagangan di area Nusantara. Nama Melayu muncul dari nama sebuah kerajaan
yang didirikan di Jambi tepatnya di Batang Hari, bernama kerajaan Malayu. Di
kerajaan ini, diketahui bahwa bahasa Melayu masyarakat Jambi secara
keseluruhan menggunakan dialek “o”, dimana akhir kalimat yang diakhiri dengan
alfabet a akan diubah menjadi o seperti misalnya “kemano” yang merupakan
dialek o dari kata “kemana”. Nantinya, dialek Melayu ini akan terus berkembang
dan menjadi semakin banyak ragamnya seiring semakin banyaknya tempat yang
menggunakan dialek ini. Dalam perkembangannya, penggunaan kata “Melayu”
sendiri akhirnya menjadi jauh lebih luas dibandingkan daerah kerajaan Malayu
yang hanya mencakup sebagian kecil dari pulau Sumatera. Hal ini disebut dalam
Kakawin Negarakertagama sebagai asal-usul mengapa pulau Sumatera memiliki
sebutan lain sebagai Bumi Melayu.
Sejarah bahasa Indonesia baru menjadi “resmi” ketika pada awal abad ke-20,
mulai ada perpecahan bentuk baku tulisan pada bahasa Melayu. Pada tahun 1901,
Indonesia yang masih menjadi Hindia-Belanda mengadopsi ejaan Van Ophuijsen
dan Persekutuan Tanah Melayu yang nantinya menjadi bagian dari Malaysia
mengadopsi ejaan Wilkinson 3 tahun setelahnya.
Akibat program Taman Poestaka yang diluncurkan oleh pemerintah Belanda,
terjadi perkembangan yag pesat dimana 700 perpustakaan telah terbangun pada
tahun 1912. Program ini melahirkan berbagai anak bangsa yang hobi mencari
ilmu dan membaca yang akhirnya menuntun pada terjadinya Sumpah Pemuda
pada 28 Oktober 1928.
Sumpah Pemuda memainkan peran penting dalam sejarah bahasa Indonesia,
terutama penggunaannya sebagai bahasa Nasional. Sumpah Pemuda sendiri
sebenarnya adalah hasil putusan yang diterima dari Kongres Pemuda Kedua pada
tanggal 87 dan 28 Oktober 1928. Dalam salah satu isi Sumpah Pemuda tertuliskan
bahwa pemuda dan pemudi Indonesia memutuskan untuk menggunakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa. Pada kongres ini juga Muhammad
Yamin mengatakan bahwa ada dua kemungkinan bahasa yang bisa menjadi bahasa
persatuan yaitu Jawa dan Melayu, dan Yamin berpendapat bahwa bahasa Melayu
yang akan menjadi bahasa pergaulan.
Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. pada saat itu, para pemuda
dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam kerapatan Pemuda dan berikrar
1. bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia,
2. berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan
3. menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini
dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.
Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa
bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada tahun 1928
itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional.
Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal
18 Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan
sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam UndangUndang Dasar 1945 disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia .
Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain,
menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa
Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu
sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di
Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.
Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti
yang menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit
berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M
(Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang
Brahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari
berbahasa Melayu Kuna. Bahasa Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada
zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti
berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M
yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna.
Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu
bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa
perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik
sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan
terhadap
para
pedagang
yang
datang
dari
luar
Nusantara.
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari
peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan pada
batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra
(abad ke-16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai,
Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin.
Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya
agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh
masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku,
antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak
mengenal tingkat tutur.
Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin
berkembang dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai
di daerah di wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak
budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama
dari bahasa Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa.
Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan
dialek.
Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan
mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia.
Komunikasi antarperkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa
Melayu.
Para pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara
sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa
persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).
Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia dengan
pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah sangat
besar dalam memodernkan bahasa Indonesia.
Proklamasi kemerdekaan
Republik
Indonesia, 17 Agustus
1945, telah
mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional
sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan
masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Perkembangan dan pertumbuhan Bahasa Melayu tampak lebih jelas dari berbagai
peninggalan-peninggalan misalnya:
1. Tulisan yang terdapat pada batu Nisan di Minye Tujoh, Aceh pada tahun
1380
2. Prasasti Kedukan Bukit, di Palembang pada tahun 683.
3. Prasasti Talang Tuo, di Palembang pada Tahun 684.
4. Prasasti Kota Kapur, di Bangka Barat, pada Tahun 686.
5. Prasati Karang Brahi Bangko, Merangi, Jambi, pada Tahun 688.
Dan pada saat itu Bahasa Melayu telah berfungsi sebagai:
1. Bahasa kebudayaan yaitu bahasa buku-buku yang berisia aturan-aturan
hidup dan sastra.
2. Bahasa perhubungan (Lingua Franca) antar suku di indonesia
3. Bahasa perdagangan baik bagi suku yang ada di Indonesia maupun
pedagang yang berasal dari luar indonesia.
4. Bahasa resmi kerajaan.
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahas persatuan
bangsa indonesia. Bahasa indonesia di resmikan penggunaannya setelah
Proklamasi Kemerekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan
dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, Bahasa Indonesia berposisi
sebagi bahasa kerja. Dari sudut pandang Linguistik, bahasa indonesia adalah salah
satu dari banyak ragam bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa
Melayu-Riau dari abad ke-19.
Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaannya sebagi
bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan
sejak awal abad ke-20. Penamaan “Bahasa Indonesia” di awali sejak di
canangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan
“Imperialisme bahasa” apabila nama bahasa Melayu tetap di gunakan.
Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa indonesia saat ini dari varian bahasa
Melayu yang di gunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini,
bahasa indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan katakata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan
bahasa asing. Meskipun di pahami dan di tuturkan oleh lebih dari 90% warga
indonesia, bahasa indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya.
Sebagian besar warga indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang
ada di indonesia sebagai bahasa Ibu. Penutur Bahasa indonesia kerap kali
menggunakan versi sehari-hari (kolokial) atau mencampur adukkan dengan dialek
Melayu lainnya atau bahasa Ibunya.
Meskipun demikian , bahasa indonesia di gunakan di gunakan sangat luas di
perguruan-perguruan. Di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat
resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa
bahasa indonesia di gunakan oleh semua warga indonesia. Bahasa Melayu dipakai
dimana-mana diwilayah nusantara serta makin berkembang dengan dan
bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai didaerah-daerah
diwilayah nusantara dalam pertumbuhan dipengaruhi oleh corak budaya daerah.
Bahasa Melayu menyerap kosa kata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa
sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa.
Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan
dialek. Perkembangan bahasa Melayu diwilayah nusantara mempengaruhi dan
mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia.
Komikasi rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi antar
perkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu menjadi
bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia
dalam sumpah pemuda 28 Oktober 1928. Untuk memperoleh bahasa nasionalnya,
Bangsa Indonesia harus berjuang dalam waktu yang cukup panjang dan penuh
dengan tantangan.
Perjuagan demikian harus dilakukan karena adanya kesadaran bahwa di samping
fungsinya sebagai alat komunikasi tunggal, bahasa nasional sebagai salah satu ciri
cultural, yang ke dalam menunjukkan sesatuan dan keluar menyatakan perbedaan
dengan bangsa lain.
Ada empat faktor yang menyebabkan Bahasa melayu diangkat menjadi bahasa
Indonesia, yaitu:
1. Bahasa melayu adalah merupakan Lingua Franca di Indonesia, bahasa
perhubungan dan bahasa perdagangan.
2. Sistem bahasa melayu sederhana, mudah di pelajari karena dalam bahasa
melayu tidak di kenal tingkatan bahasa (bahasa kasar dan bahasa halus).
3. Suku Jawa, Suku Sunda, dan Suku2 yang lainnya dengan sukarela
menerima bahasa melayu menjadi bahasa indonesia sebagai bahasa
nasional.
4. Bahasa melayu mempunyai kesanggupan untuk di pakai sebagai bahasa
kebudayaan dalam arti yang luas.
Dibandingkan dengan bahasa-bahasa Eropa, bahasa Indonesia tidak menggunakan
kata bergender. Sebagai contoh kata ganti seperti "dia" tidak secara spesifik
menunjukkan apakah orang yang disebut itu lelaki atau perempuan. Hal yang
sama juga ditemukan pada kata seperti "adik" dan "pacar" sebagai contohnya.
Untuk memerinci sebuah jenis kelamin, sebuah kata sifat harus ditambahkan,
"adik laki-laki" sebagai contohnya.
Ada juga kata yang berjenis kelamin, seperti contohnya "putri" dan "putra". Katakata seperti ini biasanya diserap dari bahasa lain. Pada kasus di atas, kedua kata
itu diserap dari bahasa Sanskerta melalui bahasa Jawa Kuno.
Untuk mengubah sebuah kata benda menjadi bentuk jamak digunakanlah
reduplikasi (perulangan kata), tapi hanya jika jumlahnya tidak terlibat dalam
konteks. Sebagai contoh "seribu orang" dipakai, bukan "seribu orang-orang".
Perulangan kata juga mempunyai banyak kegunaan lain, tidak terbatas pada kata
benda.
Bahasa Indonesia menggunakan dua jenis kata ganti orang pertama jamak, yaitu
"kami" dan "kita". "Kami" adalah kata ganti eksklusif yang berarti tidak termasuk
sang lawan bicara, sedangkan "kita" adalah kata ganti inklusif yang berarti
kelompok orang yang disebut termasuk lawan bicaranya.
Susunan kata dasar yaitu Subjek - Predikat - Objek (SPO), walaupun susunan kata
lain juga mungkin. Kata kerja tidak di bahasa berinfleksikan kepada orang atau
jumlah subjek dan objek. Bahasa Indonesia juga tidak mengenal kala (tense).
Waktu dinyatakan dengan menambahkan kata keterangan waktu (seperti,
"kemarin" atau "esok"), atau petunjuk lain seperti "sudah" atau "belum".
KEDUDUKAN RESMI BAHASA INDONESIA
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting seperti yang
tercantum dalam: Ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 dengan bunyi, ”Kami putra
dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Undang-Undang Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara,
serta Lagu Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa
”Bahasa Negara ialah
Bahasa Indonesia”.
Dari Kedua hal tersebut, maka kedudukan bahasa Indonesia sebagai:
Bahasa kebangsaan, kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah.
Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari
cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca di
Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.
Aksara pertama dalam bahasa Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara
Pulau Sumatera, mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat
di Nusantara dari wilayah ini, berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya
yang menguasai jalur perdagangan. Istilah Melayu atau sebutan bagi wilayahnya
sebagai Malaya sendiri berasal dari Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang
Hari, Jambi, di mana diketahui bahasa Melayu yang digunakan di Jambi
menggunakan dialek "o" sedangkan dikemudian hari bahasa dan dialek Melayu
berkembang secara luas dan menjadi beragam.
Istilah Melayu atau Malayu berasal dari Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan HinduBudha pada abad ke-7 di hulu sungai Batanghari, Jambi di pulau Sumatera, jadi
secara geografis semula hanya mengacu kepada wilayah kerajaan tersebut yang
merupakan sebagian dari wilayah pulau Sumatera. Dalam perkembangannya
pemakaian istilah Melayu mencakup wilayah geografis yang lebih luas dari
wilayah Kerajaan Malayu tersebut, mencakup negeri-negeri di pulau Sumatera
sehingga pulau tersebut disebut juga Bumi Melayu seperti disebutkan dalam
Kakawin Nagarakretagama.
Ibukota Kerajaan Melayu semakin mundur ke pedalaman karena serangan
Sriwijaya dan masyarakatnya diaspora keluar Bumi Melayu, belakangan
masyarakat pendukungnya yang mundur ke pedalaman berasimilasi ke dalam
masyarakat Minangkabau menjadi klan Malayu (suku Melayu Minangkabau)
yang merupakan salah satu marga di Sumatera Barat. Sriwijaya berpengaruh luas
hingga ke Filipina membawa penyebaran Bahasa Melayu semakin meluas, tampak
dalam prasasti Keping Tembaga Laguna.
Bahasa Melayu kuno yang berkembang di Bumi Melayu tersebut berlogat "o"
seperti Melayu Jambi, Minangkabau, Kerinci, Palembang dan Bengkulu.
Semenanjung Malaka dalam Nagarakretagama disebut Hujung Medini artinya
Semenanjung Medini.
Dalam perkembangannya orang Melayu migrasi ke Semenanjung Malaysia (=
Hujung Medini) dan lebih banyak lagi pada masa perkembangan kerajaankerajaan Islam yang pusat mandalanya adalah Kesultanan Malaka, istilah Melayu
bergeser kepada Semenanjung Malaka (= Semenanjung Malaysia) yang akhirnya
disebut Semenanjung Melayu atau Tanah Melayu. Tetapi nyatalah bahwa istilah
Melayu itui berasal dari Indonesia. Bahasa Melayu yang berkembang di sekitar
daerah Semenanjung Malaka berlogat "e".
Kesultanan Malaka dimusnahkan oleh Portugis tahun 1512 sehingga penduduknya
diaspora sampai ke kawasan timur kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Purba
sendiri diduga berasal dari pulau Kalimantan, jadi diduga pemakai bahasa Melayu
ini bukan penduduk asli Sumatera tetapi dari pulau Kalimantan. Suku Dayak yang
diduga memiliki hubungan dengan suku Melayu kuno di Sumatera misalnya
Dayak Salako, Dayak Kanayatn (Kendayan), dan Dayak Iban yang semuanya
berlogat "a" seperti bahasa Melayu Baku.
Penduduk asli Sumatera sebelumnya kedatangan pemakai bahasa Melayu tersebut
adalah nenek moyang suku Nias dan suku Mentawai. Dalam perkembangannya
istilah Melayu kemudian mengalami perluasan makna, sehingga muncul istilah
Kepulauan Melayu untuk menamakan kepulauan Nusantara.
M. Muhar Omtatok, seorang Seniman, Budayawan dan Sejarahwan menjelaskan
sebagai berikut: "Melayu secara puak (etnis, suku), bukan dilihat dari faktor
genekologi seperti kebanyakan puak-puak lain. Di Malaysia, tetap mengaku
berpuak Melayu walau moyang mereka berpuak Jawa, Mandailing, Bugis, Keling
dan lainnya.
Beberapa tempat di Sumatera Utara, ada beberapa Komunitas keturunan Batak
yang mengaku Orang Kampong - Puak Melayu
Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu
(sebagai bahasa Melayu Kuna) sebagai bahasa kenegaraan. Lima prasasti kuna
yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu
menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa
Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan
bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari
abad berikutnya di Pulau Jawa[10] dan Pulau Luzon.[11] Kata-kata seperti
samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca masuk pada periode hingga
abad ke-15 Masehi.
Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu
Klasik (classical Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan
Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi.
Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa,
dan Semenanjung Malaya.[butuh rujukan] Laporan Portugis, misalnya oleh Tome
Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di
wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari Nusantara
yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling menonjol dalam ragam
sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan
bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak
abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan
kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya,
dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus
berlangsung hingga sekarang.
Bahasa yang dipakai pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur
bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah
penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk
Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari
istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk
bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa
yang full-fledged, sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional pada masa itu,
karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok
bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang
kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya
tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi
kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat
dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena
penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan
menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab
rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa.
Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan
penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah
"embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk
semula bahasa Melayu Riau-Johor.
Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu
mulai terlihat. Pada tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi
ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak
menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.
Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun
1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad
Taib Soetan Ibrahim.
Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de
Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga
ini menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A.
Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan
kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah.
Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar
700 perpustakaan.[14] Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa
persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.
Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad
Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada
Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,
"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan
kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa
persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa
Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa
persatuan.
Selanjutnya
perkembangan
bahasa
dan
kesusastraan
Indonesia
banyak
dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur
Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan
Chairil
Anwar.
Sastrawan
tersebut
banyak
mengisi
dan
perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.
menambah