7 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN ANAK DALAM ISLAM
DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
A. Kedudukan Anak dalam Keluarga
1. Pengertian Anak
Di dalam konteks sosial penetapan terhadap kedudukan anak
(keturunan) merupakan salah satu kewajiban umat. Yang dimaksud agar
tidak timbul kekacauan pada anggota masyarakat dalam upaya
memperjuangkan, menuntut dan menjalankan serta melaksanakan berbagai
macam hak dan kewajiban.1 Sehingga dengan sendirinya akan tercipta
pula suatu masyarakat yang tertib dan teratur, lantaran mematuhi peraturan
baku yang telah ditetapkan oleh agama Islam sebelumnya.
Anak sebagai amanat Allah yang harus dilaksanakan dengan baik,
khususnya bagi orang tua, dan tidak boleh begitu saja mengabaikannya,
lantaran hak-hak anak termasuk ke dalam salah satu kewajiban orang tua
terhadap anak yang telah digariskan oleh agama Islam.2 Oleh karena itu
dalam meniti kehidupan ini, anak-anak muslim memiliki hak mutlak yang
tidak dapat diganggu gugat.
1
Abdul Razaq Husain, Islam wa Tiflu, Alih bahasa Azwir Butun, Hak-hak Anak dalam
Islam, Jakarta: Fika Hati Aniska, 1992, hlm. 49
2
Ibid, hlm. 53
17
18
Pengertian anak menurut istilah hukum Islam adalah keturunan
kedua yang masih kecil.3 Sifat kecil kalau dihubungkan dengan perwalian
hak milik dan larangan bertindak sendiri, sebenarnya ada dua tingkatan
yaitu:
a. Kecil dan belum mumayyiz dalam hal ini anak itu sama sekali tidak
memiliki kemampuan untuk bertindak. Jadi, tidak sah kalau misalnya
ia membeli apa-apa atau memberikan apa-apa kepada orang lain. Katakatanya sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai pegangan, jadi
segala-galanya berada di tangan wali.
b. Kecil tapi sudah mumayyiz, dalam hal ini si kecil ini kurang
kemampuannya untuk bertindak, namun sudah punya kemampuan,
oleh sebab itu kata-katanya sudah dapat dijadikan pegangan dan sudah
sah kalau ia membeli atau menjual atau memberikan apa-apa kepada
orang lain.4
Dalam hukum Islam, Anak yang Mumayyiz ialah yang sudah
mencapai usia mengerti tentang akad transaksi secara keseluruhan dia
mengerti maksud kata-kata yang diucapkannya, bahwa membeli itu
menerima barang sedang menjual itu memberikan barang dan juga ia
menegerti tentang rugi dan beruntung, biasanya usia anak itu sudah genap
7 (tujuh) tahun. Jadi kalau masih kurang dari tujuh maka anak itu
hukumnya belum Mumayyiz, walaupun ia mengerti tentang istilah-istilah
3
4
Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, hlm. 112
Zakariya Ahmad Al-Barry, Al-Ahkamul Aulad, alih bahasa Chadidjah Nasution,
Hukum Anak-anak dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997, hlm. 113
19
menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah
lebih tujuh tahun umurnya tetapi masih belum mengerti tentang jual beli
dan sebagainya.5
Hukum anak kecil ini tetap berlaku, sampai anak itu dewasa dan
hal ini dimaksudkan dalam firman Allah SWT:
!" # %
$ & '(
./ -, +
)! " *
Artinya: “Dan hendaklah kamu menguji anak yatim itu sampai mereka
cukup umur untuk menikah, kemudian jika kamu berpendapat
bahwa mereka sudah cerdas sudah pandai memelihara harta,
maka hendaklah kamu serahkan kepada mereka itu hartahartanya” ( Q.S. an-Nisa: 6)6
Kata dewasa disini maksudnya cukup umur untuk berketurunan
dan muncul tanda-tanda lelaki dewasa pada pria, begitu juga muncul
tanda-tanda wanita dewasa pada puteri, inilah dewasa yang wajar, yang
biasanya belum ada sebelum anak laki-laki berumur 12 (dua belas) tahun,
dan anak perempuan berumur 9 (sembilan) tahun. Maka kalau anak
mengatakan dia sudah dewasa, setelah ia mencapai usia ini, maka
keterangannya itu dapat diterima karena dia sendirilah yang lebih mengerti
tentang dewasa atau tidaknya dan biasanya anak-anak tidak mau berdusta
dalam persoalan ini.7
5
Ibid, hlm. 114
6
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: PT. Tanjung Mas
Inti, 1992, hlm. 115
7
Zakariya Ahmad Al-Barry, op. cit., hlm. 114
20
Sedangkan dalam KUH Perdata tidak ada ketentuan-ketentuan
umum tentang pengertian seorang anak.
2. Kewajiban orang Tua dan Hak-hak Anak
a. Kewajiban Orang Tua terhadap Anak
Dalam suatu rumah tangga yang aman dan damai, segala
sesuatu yang menyangkut kesejahteraan anak adalah di bawah
pengamatan kedua orang tuanya suami isteri bahu-membahu dan
bekerja sama memenuhi hidup semua keperluan anak-anaknya,
anakpun merasa tenteram dalam pertumbuhan jasmaniah dan
rokhaniyahnya. Semua orang sangat mengidam-idamkan hal yang
demikian, rumah tangganya adalah istana baginya selama hayat
dikandung badan.8
Menurut Hilman Hadikusuma tentang perkawinan dalam
hukum Islam mengatakan bahwa, dengan adanya ikatan perkawinan
tersebut akan menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dan
anak-anaknya. Seorang ayah dibebani tugas kewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya. Sedangkan ibu bersifat membantu, ibu hanya
berkewajiban menyusui anak dan merawatnya.9 Kewajiban bapak
dalam memberi nafkah terhadap anak terbatas kepada kemampuannya.
Sebagaimana digariskan dalam Al-Qur’an yang menyatakan:
8
9
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, cet.I, 1988, hlm. 400
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, cet. I,
1990 , hlm. 144
21
01 23 $4 56 ! 2)78 2 !9 7) : * 2 ; : ? > 9 "0 1 )@ A ; B DC 6 0 1 E! ?DF
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya, dan orang yang disempitkan rizkinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan
sesudah kesempitan”
( Q.S. at-Thalaq: 7)10
Seorang ibu wajib menyusui anaknya, kalau memang dia
ditentukan untuk itu, maksudnya tidak ada wanita lain yang akan
mengambil alih tugas itu dari padanya atau bayi itu tidak mau
menyusu kecuali kepada ibunya saja. Adapun
bunyi ayat yang
memerintahkan penyusuan adalah sebagai berikut:
=9 J$> $( ?
:( : ! K : & $:L D* : J>? M
*
OP6 EC! 3D '!7N*> ( " $: 3 K* :$ )78 2 ) ( '!9* '!7
Q '!9* R " 2 O ) D* L " ST * $ U3D ;*CD
/ -T >XY + V # )@W
Artinya: “Dan ibu-ibu menyusukan anak-anak mereka dua tahun yang
sempurna bagi siapa yang ingin menyempurnakan
penyusuan. Dan bagi ayah diwajibkan memberikan nafkah
kepada mereka. Dan pakaian mereka, dengan cara yang baik,
suatu jiwa tidak dibebani kecuali menurut kesanggupannya
saja, tidak boleh si ibu disusahkan karena bayinya dan juga
tidak boleh si ayah disusahkan karena masalah anaknya”.
(.S.Al-Baqarah: 233).11
10
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 946
11
Zakariya Ahmad Al-Barry, op. cit., hlm. 44
22
Selain dari beban yang wajib tersebut, di dalam Islam orang tua
dianjurkan untuk melaksanakan sunnah Nabi dalam membesarkan anak
sampai ia dewasa dan dapat berdiri sendiri.12 Sebaliknya anak juga
wajib menghormati dan berbuat baik terhadap ayah, ibu, dan para
anggota kerabatnya sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
Z 9 $: )!Y? $
& :?
"* R $? CD [* Y 3CD "\ 'U7*
@)7* (L> 3D* Y
] @)7* =(&$> : ^_`
a ( b6& * (?>KFcD 7 (
/ g -f>;D + > d e " (K ( (&
Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia. Dan supaya kamu berbuat baik
kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya, terutama jika
salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dan berada dalam pemeliharaanmu, maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kedua
perkataan “Ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kasih sayang. Dan ucapkanlah.”Ya Tuhanku berikanlah
rahmat kepada mereka berdua sebagaiman mereka telah
mendidik aku dengan kasih sayangnya waktu aku masih
kecil”. (Al-Isra’: 23-24).13
b. Hak-hak Anak
Pada
dasarnya,
seorang
anak
berhak
mendapatkan
pemeliharaan, perawatan dan pendidikan dari orang tuannya. Dalam
hukum Islam, anak-anak dikatakan dibawah umur, kalau mereka
12
Hilman Hadikusuma, op. cit., hlm. 144
13
Zakariya Ahmad Al-Barry, op. cit., hlm. 88
23
belum mencapai umur 15 tahun atau belum mencapai pebertet atau
mengalami menstruasi bagi anak perempuan.
Perawatan dan pemeliharaan terhadap seorang anak diwajibkan
kepada ibu, sedangkan hak pendidikan terhadap seorang anak
diwajibkan kepada kedua orang tua. Hak dan kewajiban ini diberatkan
kepada masing-masing orang tua, baik selama perkawinan ataupun
jikalau perkawinan telah diputuskan.
Apabila seorang ibu tidak dapat melakukan kewajibannya itu,
dikarenakan tidak ada atau karena dikenakan diskualifikasi, maka
hukum Islam menentukan beberapa anggota keluarganya yang
perempuan. Dan jika anggota-anggota keluarga yang perempuan
initidak dapat melakukan kewajibannya, maka kewajiban dan
pemberian hak terhadap anak itu berpindah kepada anggota keluarga
yang laki-laki. Dimulai dari bapaknya.14
Perbedaan pendapat para ulama mengenai batas usia seorang
anak yang diasuh:
1. Menurut Madzhab Hanafi, terutama ulama-ulama mereja yang
terdahulu, bahwa mengasuh anak kecil itu berakhir apabila ia telah
sanggup mengurus keperluannya yang utama seperti makan,
berpakaian, dan kebersihannya. Sedangkan untuk anak perempuan
berakhir sampai usia baligh (batas timbulnya syahwat). Mereka
tidak memberi batas yang tegas.
14
Abdoeraoef, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, 1970, hlm. 88
24
Adapun ulama-ulama Hanafi yang datang kemudian
memberikan batasan berdasarkan ijtihad karena pertimbvangan
kondisi anak, tempat dan masanya. Maka mereka menentukan
batas usia untuk anak laki-laki berusia tujuh tahun, dan untuk anak
perempuan sembilan tahun. Ada pula di antara yang memberi batas
untuk anak laki-laki berusia sembilan tahun dan untuk anak
perempuan sebelas tahun.
2. Madzhab Maliki, menyatakan bahwa batas usia seorang anak untuk
diasuh ialah sejak ia lahir sampai baligh. Untuk anak perempuan
adalah sejak ia lahir sampai menikah, bahkan sampai dicampuri
suaminya.
3. Madzhab Syafi’i, menyatakan bahwa batas tidak batas tertentu
untuk mengasuh seorang anak kecil, karena tidak ada suatu
keterangan yang tegas dalam hal itu. Seorang anak tetap tinggal
bersama ibunya (apabila orang tuanya bercari). Sehingga anak itu
dapat mempertimbangkan sendiri untuk di mana ia tinggal, di
antara ibu dan bapaknya atau saudaranya.
4. Madzhab Hambali, memberikan batas untuk mengasuh seorang
anak, baik laki-laki maupun perempuan, ialah tujuh tahun. Adapun
anak perempuan, apabila sudah berusia tujuh tahun, bapaknya
berkewajiban menjaganya dengan baik sampai anak itu menikah.
Bapak dianggap lebih mampu
mengawasinya, karena itu
25
diserahkan kepadanya, meskipun ibu anak itu mau mengawasinya
dengan sukarela.
5. Pendapat Ibnu Qayyim, tentang masalah ini diadakan undian atau
anak melakukan pilihan tempat tinggalnya, pada ibu atau
bapaknya, karena orang tuanya sudah bercerai, barulah kita
lakukan hal itu jika membawa kemaslahatan kepada anak yang
bersangkutan.
6. Menurut UU. No. I tahun 1974, berlaku sampai anak itu kawin atau
dapat berdiri sendiri. Kewajiban tersebut berlkau terus menerus,
meskipun perkawinan antara orang tua putus.15
Menurut KUH Perdata, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak
itu merupakan hubungan dan kewajiban hukum pada batas umur tertentu,
sampai anak-anak yang lahir dalam ikatan perkawinan mencapai umur
tertentu yang disebut dewasa.16
Dalam apa yang dinamakan kuasa orang tua oleh hukum perdata,
yang oleh hukum Islam dinamakan kewajiban orang tua terhadap hak-hak
seorang anak, kita melihat beberapa perbedaan. Dalam hukum perdata,
kuasa orang tua hanya ada jikalau kedua-duanya masih hidup dan tidak
bercarai (pasal 299, 345 KUH Perdata). Sedangkan menurut hukum Islam
hlm. 199
15
Peunoh Daly, op.cit., hlm. 405-406
16
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Medan: CV. Zahir, 1975, Cet. I,
26
kewjiban itu tetap ada, sungguhpun kedua orang tua sudah bercerai atau
salah satu meninggal dunia, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.17
B. Pembuktian Asal Usul Anak
Hasrat untuk menyalurkan kebutuhan biologis merupakan fitrah
manusia tapi penyalurannya perlu diatur. Agama Islam telah mengatur batasbatas yang boleh dilakukan, sehingga tidak terjadi penyelewengan hukum.
Agama Islam telah menetapkan hal tersebut melalui jalan perkawinan yang
sah.18 Agama Islam juga memelihara keturunan agar jangan sampai tersia-sia,
jangan didustakan dan jangan dipalsukan karena hal ini merupakan hak anak.
Anak akan dapat menangkis penghinaan atau musibah terlantar yang mungkin
akan menimpa dirinya. Setiap ibu bertugas menolak hal-hal yang
menghinakan dari tuduhan-tuduhan yang tidak baik terhadap anaknya.
Demikian juga setiap ayah bertugas memelihara keturunannya dan keturunan
anak cucunya agar jangan sampai tersia-sia atau dihubung-hubungkan dengan
orang lain.
Lahirnya seorang anak menunjukan adanya bapak dan ibu dari si
anak itu. Dalam arti bahwa, sebagai hasil perbuatan bersetubuh dari seorang
laki-laki dan seorang wanita, maka si wanita akan melahirkan manusia lain
yang dapat menyatakan bahwa seorang laki-laki adalah ayahnya dan seorang
wanita adalah ibunya.
17
18
Abdoeraoef, op. cit., hlm. 89
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiah Al-Hadits Pada Masalah kontemporer Hukum Islam,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998, hlm. 79
27
Oleh karena itu, antara waktu bersetubuh dan waktu lahirnya si anak
ada tenggang waktu beberapa bulan, maka pada waktu anak itu lahir tidak
mungkin pada saat itu pula dapat ditentukan siapakah sebenarnya ayah dari si
anak itu. Dengan kenyataan inilah, maka perlu adanya suatu perkawinan
antara seorang wanita dengan seorang laki-laki, yang dengan bersetubuh akan
menghasilkan seorang anak. Hukum di manapun didunia yang mengenal
lembaga perkawinan mempunyai harapan bahwa seorang suami atau istri
setelah kawin tidak akan bersetubuh dengan orang ketiga.19
Apabila timbul suatu keragu-raguan dalam memastikan seorang
adalah betul-betul anak dari seorang laki-laki tersebut, maka menjadi
persoalan hukum, lalu apakah tidak mungkin diadakan penyelidikan yang
tepat dan seksama tentang keturunan seorang anak dari bapaknya,20 karena
asal usul seorang anak merupakan dasar untuk menunjukkan hubungan
kemahraman (nasab) dengan ayahnya.21
Untuk membuktikan sah atau tidaknya seorang anak itu diperlukan
dua macam akta, yaitu:
1. Akta perkawinan orang tua yang membuktikan dengan siapa ibu itu
menikah.
19
M. Ridwan Indra, Hukum Perkawinan di Indoensia, Jakarta: Haji Masagung, 1994,
cet. I, hlm. 48
20
Ibid, hlm. 56
21
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Hukum Keluarga, Sinar Grafika, tt, hlm. 43.
28
2. Akta kelahiran yang membuktikan dari mana anak itu dilahirkan dan
kapan anak itu dilahirkan.22
Adapun isi pokok dari akta kelahiran atau surat lahir yang
dikeluarkan oleh kantor catatan sipil, demikian sebagai bukti adanya kelahiran
seorang anak yang menyangkut hal-hal sebagai berikut:
1. Nomor akta.
2. Tempat, Tanggal, bulan dan tahun anak tersebut dilahirkan
3. Nama anak yang bersangkutan
4. Jenis kelamin
5. Nama kedua orang tuanya (dapat dibuktikan dengan salinan akta nikah)
6. Kota atau tempat dan tanggal dikeluarkannya akta kelahiran
7. Nama dan tanda tangan pejabat kantor catatan sipil yang ditunjuk untuk itu
atau dalam bentuk bentuk surat kenal lahir adalah lurah atau kepala desa.
Dari akta kelahiran tersebut pihak yang bersangkutan diberikan
kutipannya. Demikian juga dalam bentuk surat kenal lahir atau surat kelahiran
dari lurah atau kepala desa dimana dan kapan dilahirkannya anak tersebut.
Manfaat lain dari adanya akta kelahiran atau yang sejenis, hal ini
merupakan identitas resmi yang akan sering digunakan misalnya untuk
keperluan sekolah, pengurusan passport, dan lain-lain. Jadi, secara internal
22
R. Soetojo Prawirahamidjojo, Asis Sofioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Bandung:
Alumni, 1986, cet. V, hlm. 135.
29
akta kelahiran merupakan identitas asal-usul seorang anak, secara eksternal
merupakan idetitas diri dari yang bersangkutan.23
Dengan adanya gugatan pengingkaran suami terhadap keabsahan
anak atau dengan kata lain pembuktian asal usul anak (keturunan). Hal ini
hanya bisa dibuktikan dengan bukti-bukti permulaan berupa surat-surat
tertulis, atau dapat pula dibuktikan dengan keadaan-keadaan yang nyata. Yang
dimaksud dengan keadaan yang nyata adalah, yang telah menunjuk pada
praktek kehidupan dan pergaulan sehari-hari antara mereka yang bersangkutan
sebagaimana yang diatur dalam pasal 262 KUH Perdata bahwa:
1. Masyarakat menganggap atau memperlakukan seorang anak adalah anak
sah dari keluarga tertentu.
2. Nama belakang dari anak itu selalu memakai nama si bapak.
3. Bahwa masyarakat selalu mengakui dia sebagai anak si bapak
4. Bahwa saudara-saudaranya mengakui dia sebagai anak si bapak.24
Kalau kenyataan-kenyataan yang disebutkan di atas itu cocok dengan
isi akta kelahiran, maka kebenaran tersebut tidak boleh diganggu gugat lagi
(pasal 263 KUH Perdata).
Hanya jika akta kelahiran atau kenyataan-kenyataan itu tidak ada,
maka asal usul anak (keturunan) baru dapat dibuktikan dengan saksi-saksi,
tetapi dengan ketentuan harus sudah ada permulaan pembuktian tertulis atau
23
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998,
cet. III, hlm. 220.
24
Soedharyo Soimin, op.cit, hlm. 47-48.
30
juga sudah adanya petunjuk-petunjuk yang sangat kuat (pasal 264 KUH
Perdata).25
Kekuatan mengenai adanya peristiwa hukum (rechfeit) seperti nikah,
talak, rujuk, dan akibat hukumnya adalah penting, baik bagi yang
berkepentingan sendiri maupun bagi masyarakat. Oleh karena itu perlu adanya
pencatatan resmi dari pemerintah, yang tertuang dalam penjelasan umum
dinyatakan bahwa pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan
seseorang misal dalam masalah kelahiran, kematian, yang dinyatakan dengan
surat-surat keterangan suatu akte resmi, yang juga dimuat dalam daftar
pencatatan.26
Mengenai pencatatan, memiliki manfaat prefentif yaitu untuk
menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan. Apalagi
dalam masalah pencatatan perkawinan, yang mengingat kesadaran masyarakat
yang menjadi subyek hukum. Penelitian pegawai pencatat juga bermaksud
untuk meneliti status perkawinan seseorang, baik calon suami maupun calon
istri. Karena dengan adanya pencatatan tersebut, status perkawinan akan
menjadi jelas. dan anak yang dilahirkannya juga akan mempunyai kedudukan
yang jelas. Jadi, anak yang mempunyai kedudukan anak sah adalah anak yang
lahir dari atau akibat perkawinan yang sah, sepanjang bayi itu lahir dari ibu
25
M. Ridwan Indra, op.cit, hlm. 58.
26
Amin Syarifuddin, op.cit., hlm. 329.
31
yang berada dalam ikatan perkawinan yang sah, sehingga dia dapat disebut
sebagai anak yang berkedudukan sebagai anak sah.27
Dengan adanya pencatatan nikah tersebut, maka tidak mungkin akan
terjadi suatu perselisihan antara suami istri ketika mereka melahirkan seorang
anak. Kecuali apabila sang istri sebelum nikah sudah terlanjur hamil dahulu,
dan hamilnya itu disembunyikan dari suaminya. Atau sang suami selama
dalam ikatan perkawinan tidak pernah merasa berkumpul dan melakukan
persetubuhan dengan istrinya, maka hal ini akan menjadikan suatu
perselisihan yang sangat berkepanjangan. Dalam hal untuk memastikan asal
usul anak (keturunan) atau untuk memastikan sah tidaknya seorang anak.28
Perzinaan merupakan salah satu perbuatan yang menyalahi hukum,
sehingga hasil dari perbuatan tersebut membawa efek bukan hanya bagi si
pelakunya, tetapi juga menyangkut pihak lain yaitu mengenai anak hasil
perbuatan zina itu.29
Menurut hukum Islam pelaku zina baik pria maupun wanita dihukum
dengan seratus kali dera, bahkan kalau pelaku zina itu sudah berkeluarga atau
dalam ikatan perkawinan, atau pernah kawin, maka hukumannya lebih berat
lagi, yaitu dirajam atau dilempari batu sampai mati.
Seseorang dapat dijatuhi hukuman yang seberat itu kalau perbuatan
zina itu disaksikan oleh empat saksi pria Islam, yang adil atau memiliki
27
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, cet
III, hlm. 111.
28
Ibid, hlm. 225.
29
M. Ali Hasan, loc.cit.
32
integritas yang menyaksikan dan melihat ketika perbuatan zina itu dilakukan.
Sehubungan dengan hal ini, ada sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari
Muslim dan Abu Hurairah:
' L* C!;* 2 !9 01 'C!d 1 ^ ; S@a '3 -^ 7 T>?>L e" :9
h" F 2 !9 $ * 2 9 i>9 j 8 ' 1 ^ ; ? ^ X R
A (
2 !9 01 'C!d eY$ R 9
D d
$ **
)rHr 2) m *
Artinya: “Kami perintahkan kepada manusia supaya bebuat baik kepada kedua
orang tua (Ibu Bapaknya). Ibunya mengandungnya dengan susah
payah dan melahirkannya dengan susah payah juga, mengandung
sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan” (Q.S. Al-Ahqaf: 15)35
Dalam firman Allah dalam surat Luqman ayat 14:
: 9 ' 2) m *
TINJAUAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN ANAK DALAM ISLAM
DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
A. Kedudukan Anak dalam Keluarga
1. Pengertian Anak
Di dalam konteks sosial penetapan terhadap kedudukan anak
(keturunan) merupakan salah satu kewajiban umat. Yang dimaksud agar
tidak timbul kekacauan pada anggota masyarakat dalam upaya
memperjuangkan, menuntut dan menjalankan serta melaksanakan berbagai
macam hak dan kewajiban.1 Sehingga dengan sendirinya akan tercipta
pula suatu masyarakat yang tertib dan teratur, lantaran mematuhi peraturan
baku yang telah ditetapkan oleh agama Islam sebelumnya.
Anak sebagai amanat Allah yang harus dilaksanakan dengan baik,
khususnya bagi orang tua, dan tidak boleh begitu saja mengabaikannya,
lantaran hak-hak anak termasuk ke dalam salah satu kewajiban orang tua
terhadap anak yang telah digariskan oleh agama Islam.2 Oleh karena itu
dalam meniti kehidupan ini, anak-anak muslim memiliki hak mutlak yang
tidak dapat diganggu gugat.
1
Abdul Razaq Husain, Islam wa Tiflu, Alih bahasa Azwir Butun, Hak-hak Anak dalam
Islam, Jakarta: Fika Hati Aniska, 1992, hlm. 49
2
Ibid, hlm. 53
17
18
Pengertian anak menurut istilah hukum Islam adalah keturunan
kedua yang masih kecil.3 Sifat kecil kalau dihubungkan dengan perwalian
hak milik dan larangan bertindak sendiri, sebenarnya ada dua tingkatan
yaitu:
a. Kecil dan belum mumayyiz dalam hal ini anak itu sama sekali tidak
memiliki kemampuan untuk bertindak. Jadi, tidak sah kalau misalnya
ia membeli apa-apa atau memberikan apa-apa kepada orang lain. Katakatanya sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai pegangan, jadi
segala-galanya berada di tangan wali.
b. Kecil tapi sudah mumayyiz, dalam hal ini si kecil ini kurang
kemampuannya untuk bertindak, namun sudah punya kemampuan,
oleh sebab itu kata-katanya sudah dapat dijadikan pegangan dan sudah
sah kalau ia membeli atau menjual atau memberikan apa-apa kepada
orang lain.4
Dalam hukum Islam, Anak yang Mumayyiz ialah yang sudah
mencapai usia mengerti tentang akad transaksi secara keseluruhan dia
mengerti maksud kata-kata yang diucapkannya, bahwa membeli itu
menerima barang sedang menjual itu memberikan barang dan juga ia
menegerti tentang rugi dan beruntung, biasanya usia anak itu sudah genap
7 (tujuh) tahun. Jadi kalau masih kurang dari tujuh maka anak itu
hukumnya belum Mumayyiz, walaupun ia mengerti tentang istilah-istilah
3
4
Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, hlm. 112
Zakariya Ahmad Al-Barry, Al-Ahkamul Aulad, alih bahasa Chadidjah Nasution,
Hukum Anak-anak dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997, hlm. 113
19
menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah
lebih tujuh tahun umurnya tetapi masih belum mengerti tentang jual beli
dan sebagainya.5
Hukum anak kecil ini tetap berlaku, sampai anak itu dewasa dan
hal ini dimaksudkan dalam firman Allah SWT:
!" # %
$ & '(
./ -, +
)! " *
Artinya: “Dan hendaklah kamu menguji anak yatim itu sampai mereka
cukup umur untuk menikah, kemudian jika kamu berpendapat
bahwa mereka sudah cerdas sudah pandai memelihara harta,
maka hendaklah kamu serahkan kepada mereka itu hartahartanya” ( Q.S. an-Nisa: 6)6
Kata dewasa disini maksudnya cukup umur untuk berketurunan
dan muncul tanda-tanda lelaki dewasa pada pria, begitu juga muncul
tanda-tanda wanita dewasa pada puteri, inilah dewasa yang wajar, yang
biasanya belum ada sebelum anak laki-laki berumur 12 (dua belas) tahun,
dan anak perempuan berumur 9 (sembilan) tahun. Maka kalau anak
mengatakan dia sudah dewasa, setelah ia mencapai usia ini, maka
keterangannya itu dapat diterima karena dia sendirilah yang lebih mengerti
tentang dewasa atau tidaknya dan biasanya anak-anak tidak mau berdusta
dalam persoalan ini.7
5
Ibid, hlm. 114
6
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: PT. Tanjung Mas
Inti, 1992, hlm. 115
7
Zakariya Ahmad Al-Barry, op. cit., hlm. 114
20
Sedangkan dalam KUH Perdata tidak ada ketentuan-ketentuan
umum tentang pengertian seorang anak.
2. Kewajiban orang Tua dan Hak-hak Anak
a. Kewajiban Orang Tua terhadap Anak
Dalam suatu rumah tangga yang aman dan damai, segala
sesuatu yang menyangkut kesejahteraan anak adalah di bawah
pengamatan kedua orang tuanya suami isteri bahu-membahu dan
bekerja sama memenuhi hidup semua keperluan anak-anaknya,
anakpun merasa tenteram dalam pertumbuhan jasmaniah dan
rokhaniyahnya. Semua orang sangat mengidam-idamkan hal yang
demikian, rumah tangganya adalah istana baginya selama hayat
dikandung badan.8
Menurut Hilman Hadikusuma tentang perkawinan dalam
hukum Islam mengatakan bahwa, dengan adanya ikatan perkawinan
tersebut akan menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dan
anak-anaknya. Seorang ayah dibebani tugas kewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya. Sedangkan ibu bersifat membantu, ibu hanya
berkewajiban menyusui anak dan merawatnya.9 Kewajiban bapak
dalam memberi nafkah terhadap anak terbatas kepada kemampuannya.
Sebagaimana digariskan dalam Al-Qur’an yang menyatakan:
8
9
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, cet.I, 1988, hlm. 400
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, cet. I,
1990 , hlm. 144
21
01 23 $4 56 ! 2)78 2 !9 7) : * 2 ; : ? > 9 "0 1 )@ A ; B DC 6 0 1 E! ?DF
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya, dan orang yang disempitkan rizkinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan
sesudah kesempitan”
( Q.S. at-Thalaq: 7)10
Seorang ibu wajib menyusui anaknya, kalau memang dia
ditentukan untuk itu, maksudnya tidak ada wanita lain yang akan
mengambil alih tugas itu dari padanya atau bayi itu tidak mau
menyusu kecuali kepada ibunya saja. Adapun
bunyi ayat yang
memerintahkan penyusuan adalah sebagai berikut:
=9 J$> $( ?
:( : ! K : & $:L D* : J>? M
*
OP6 EC! 3D '!7N*> ( " $: 3 K* :$ )78 2 ) ( '!9* '!7
Q '!9* R " 2 O ) D* L " ST * $ U3D ;*CD
/ -T >XY + V # )@W
Artinya: “Dan ibu-ibu menyusukan anak-anak mereka dua tahun yang
sempurna bagi siapa yang ingin menyempurnakan
penyusuan. Dan bagi ayah diwajibkan memberikan nafkah
kepada mereka. Dan pakaian mereka, dengan cara yang baik,
suatu jiwa tidak dibebani kecuali menurut kesanggupannya
saja, tidak boleh si ibu disusahkan karena bayinya dan juga
tidak boleh si ayah disusahkan karena masalah anaknya”.
(.S.Al-Baqarah: 233).11
10
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 946
11
Zakariya Ahmad Al-Barry, op. cit., hlm. 44
22
Selain dari beban yang wajib tersebut, di dalam Islam orang tua
dianjurkan untuk melaksanakan sunnah Nabi dalam membesarkan anak
sampai ia dewasa dan dapat berdiri sendiri.12 Sebaliknya anak juga
wajib menghormati dan berbuat baik terhadap ayah, ibu, dan para
anggota kerabatnya sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
Z 9 $: )!Y? $
& :?
"* R $? CD [* Y 3CD "\ 'U7*
@)7* (L> 3D* Y
] @)7* =(&$> : ^_`
a ( b6& * (?>KFcD 7 (
/ g -f>;D + > d e " (K ( (&
Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia. Dan supaya kamu berbuat baik
kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya, terutama jika
salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dan berada dalam pemeliharaanmu, maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kedua
perkataan “Ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kasih sayang. Dan ucapkanlah.”Ya Tuhanku berikanlah
rahmat kepada mereka berdua sebagaiman mereka telah
mendidik aku dengan kasih sayangnya waktu aku masih
kecil”. (Al-Isra’: 23-24).13
b. Hak-hak Anak
Pada
dasarnya,
seorang
anak
berhak
mendapatkan
pemeliharaan, perawatan dan pendidikan dari orang tuannya. Dalam
hukum Islam, anak-anak dikatakan dibawah umur, kalau mereka
12
Hilman Hadikusuma, op. cit., hlm. 144
13
Zakariya Ahmad Al-Barry, op. cit., hlm. 88
23
belum mencapai umur 15 tahun atau belum mencapai pebertet atau
mengalami menstruasi bagi anak perempuan.
Perawatan dan pemeliharaan terhadap seorang anak diwajibkan
kepada ibu, sedangkan hak pendidikan terhadap seorang anak
diwajibkan kepada kedua orang tua. Hak dan kewajiban ini diberatkan
kepada masing-masing orang tua, baik selama perkawinan ataupun
jikalau perkawinan telah diputuskan.
Apabila seorang ibu tidak dapat melakukan kewajibannya itu,
dikarenakan tidak ada atau karena dikenakan diskualifikasi, maka
hukum Islam menentukan beberapa anggota keluarganya yang
perempuan. Dan jika anggota-anggota keluarga yang perempuan
initidak dapat melakukan kewajibannya, maka kewajiban dan
pemberian hak terhadap anak itu berpindah kepada anggota keluarga
yang laki-laki. Dimulai dari bapaknya.14
Perbedaan pendapat para ulama mengenai batas usia seorang
anak yang diasuh:
1. Menurut Madzhab Hanafi, terutama ulama-ulama mereja yang
terdahulu, bahwa mengasuh anak kecil itu berakhir apabila ia telah
sanggup mengurus keperluannya yang utama seperti makan,
berpakaian, dan kebersihannya. Sedangkan untuk anak perempuan
berakhir sampai usia baligh (batas timbulnya syahwat). Mereka
tidak memberi batas yang tegas.
14
Abdoeraoef, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, 1970, hlm. 88
24
Adapun ulama-ulama Hanafi yang datang kemudian
memberikan batasan berdasarkan ijtihad karena pertimbvangan
kondisi anak, tempat dan masanya. Maka mereka menentukan
batas usia untuk anak laki-laki berusia tujuh tahun, dan untuk anak
perempuan sembilan tahun. Ada pula di antara yang memberi batas
untuk anak laki-laki berusia sembilan tahun dan untuk anak
perempuan sebelas tahun.
2. Madzhab Maliki, menyatakan bahwa batas usia seorang anak untuk
diasuh ialah sejak ia lahir sampai baligh. Untuk anak perempuan
adalah sejak ia lahir sampai menikah, bahkan sampai dicampuri
suaminya.
3. Madzhab Syafi’i, menyatakan bahwa batas tidak batas tertentu
untuk mengasuh seorang anak kecil, karena tidak ada suatu
keterangan yang tegas dalam hal itu. Seorang anak tetap tinggal
bersama ibunya (apabila orang tuanya bercari). Sehingga anak itu
dapat mempertimbangkan sendiri untuk di mana ia tinggal, di
antara ibu dan bapaknya atau saudaranya.
4. Madzhab Hambali, memberikan batas untuk mengasuh seorang
anak, baik laki-laki maupun perempuan, ialah tujuh tahun. Adapun
anak perempuan, apabila sudah berusia tujuh tahun, bapaknya
berkewajiban menjaganya dengan baik sampai anak itu menikah.
Bapak dianggap lebih mampu
mengawasinya, karena itu
25
diserahkan kepadanya, meskipun ibu anak itu mau mengawasinya
dengan sukarela.
5. Pendapat Ibnu Qayyim, tentang masalah ini diadakan undian atau
anak melakukan pilihan tempat tinggalnya, pada ibu atau
bapaknya, karena orang tuanya sudah bercerai, barulah kita
lakukan hal itu jika membawa kemaslahatan kepada anak yang
bersangkutan.
6. Menurut UU. No. I tahun 1974, berlaku sampai anak itu kawin atau
dapat berdiri sendiri. Kewajiban tersebut berlkau terus menerus,
meskipun perkawinan antara orang tua putus.15
Menurut KUH Perdata, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak
itu merupakan hubungan dan kewajiban hukum pada batas umur tertentu,
sampai anak-anak yang lahir dalam ikatan perkawinan mencapai umur
tertentu yang disebut dewasa.16
Dalam apa yang dinamakan kuasa orang tua oleh hukum perdata,
yang oleh hukum Islam dinamakan kewajiban orang tua terhadap hak-hak
seorang anak, kita melihat beberapa perbedaan. Dalam hukum perdata,
kuasa orang tua hanya ada jikalau kedua-duanya masih hidup dan tidak
bercarai (pasal 299, 345 KUH Perdata). Sedangkan menurut hukum Islam
hlm. 199
15
Peunoh Daly, op.cit., hlm. 405-406
16
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Medan: CV. Zahir, 1975, Cet. I,
26
kewjiban itu tetap ada, sungguhpun kedua orang tua sudah bercerai atau
salah satu meninggal dunia, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.17
B. Pembuktian Asal Usul Anak
Hasrat untuk menyalurkan kebutuhan biologis merupakan fitrah
manusia tapi penyalurannya perlu diatur. Agama Islam telah mengatur batasbatas yang boleh dilakukan, sehingga tidak terjadi penyelewengan hukum.
Agama Islam telah menetapkan hal tersebut melalui jalan perkawinan yang
sah.18 Agama Islam juga memelihara keturunan agar jangan sampai tersia-sia,
jangan didustakan dan jangan dipalsukan karena hal ini merupakan hak anak.
Anak akan dapat menangkis penghinaan atau musibah terlantar yang mungkin
akan menimpa dirinya. Setiap ibu bertugas menolak hal-hal yang
menghinakan dari tuduhan-tuduhan yang tidak baik terhadap anaknya.
Demikian juga setiap ayah bertugas memelihara keturunannya dan keturunan
anak cucunya agar jangan sampai tersia-sia atau dihubung-hubungkan dengan
orang lain.
Lahirnya seorang anak menunjukan adanya bapak dan ibu dari si
anak itu. Dalam arti bahwa, sebagai hasil perbuatan bersetubuh dari seorang
laki-laki dan seorang wanita, maka si wanita akan melahirkan manusia lain
yang dapat menyatakan bahwa seorang laki-laki adalah ayahnya dan seorang
wanita adalah ibunya.
17
18
Abdoeraoef, op. cit., hlm. 89
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiah Al-Hadits Pada Masalah kontemporer Hukum Islam,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998, hlm. 79
27
Oleh karena itu, antara waktu bersetubuh dan waktu lahirnya si anak
ada tenggang waktu beberapa bulan, maka pada waktu anak itu lahir tidak
mungkin pada saat itu pula dapat ditentukan siapakah sebenarnya ayah dari si
anak itu. Dengan kenyataan inilah, maka perlu adanya suatu perkawinan
antara seorang wanita dengan seorang laki-laki, yang dengan bersetubuh akan
menghasilkan seorang anak. Hukum di manapun didunia yang mengenal
lembaga perkawinan mempunyai harapan bahwa seorang suami atau istri
setelah kawin tidak akan bersetubuh dengan orang ketiga.19
Apabila timbul suatu keragu-raguan dalam memastikan seorang
adalah betul-betul anak dari seorang laki-laki tersebut, maka menjadi
persoalan hukum, lalu apakah tidak mungkin diadakan penyelidikan yang
tepat dan seksama tentang keturunan seorang anak dari bapaknya,20 karena
asal usul seorang anak merupakan dasar untuk menunjukkan hubungan
kemahraman (nasab) dengan ayahnya.21
Untuk membuktikan sah atau tidaknya seorang anak itu diperlukan
dua macam akta, yaitu:
1. Akta perkawinan orang tua yang membuktikan dengan siapa ibu itu
menikah.
19
M. Ridwan Indra, Hukum Perkawinan di Indoensia, Jakarta: Haji Masagung, 1994,
cet. I, hlm. 48
20
Ibid, hlm. 56
21
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Hukum Keluarga, Sinar Grafika, tt, hlm. 43.
28
2. Akta kelahiran yang membuktikan dari mana anak itu dilahirkan dan
kapan anak itu dilahirkan.22
Adapun isi pokok dari akta kelahiran atau surat lahir yang
dikeluarkan oleh kantor catatan sipil, demikian sebagai bukti adanya kelahiran
seorang anak yang menyangkut hal-hal sebagai berikut:
1. Nomor akta.
2. Tempat, Tanggal, bulan dan tahun anak tersebut dilahirkan
3. Nama anak yang bersangkutan
4. Jenis kelamin
5. Nama kedua orang tuanya (dapat dibuktikan dengan salinan akta nikah)
6. Kota atau tempat dan tanggal dikeluarkannya akta kelahiran
7. Nama dan tanda tangan pejabat kantor catatan sipil yang ditunjuk untuk itu
atau dalam bentuk bentuk surat kenal lahir adalah lurah atau kepala desa.
Dari akta kelahiran tersebut pihak yang bersangkutan diberikan
kutipannya. Demikian juga dalam bentuk surat kenal lahir atau surat kelahiran
dari lurah atau kepala desa dimana dan kapan dilahirkannya anak tersebut.
Manfaat lain dari adanya akta kelahiran atau yang sejenis, hal ini
merupakan identitas resmi yang akan sering digunakan misalnya untuk
keperluan sekolah, pengurusan passport, dan lain-lain. Jadi, secara internal
22
R. Soetojo Prawirahamidjojo, Asis Sofioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Bandung:
Alumni, 1986, cet. V, hlm. 135.
29
akta kelahiran merupakan identitas asal-usul seorang anak, secara eksternal
merupakan idetitas diri dari yang bersangkutan.23
Dengan adanya gugatan pengingkaran suami terhadap keabsahan
anak atau dengan kata lain pembuktian asal usul anak (keturunan). Hal ini
hanya bisa dibuktikan dengan bukti-bukti permulaan berupa surat-surat
tertulis, atau dapat pula dibuktikan dengan keadaan-keadaan yang nyata. Yang
dimaksud dengan keadaan yang nyata adalah, yang telah menunjuk pada
praktek kehidupan dan pergaulan sehari-hari antara mereka yang bersangkutan
sebagaimana yang diatur dalam pasal 262 KUH Perdata bahwa:
1. Masyarakat menganggap atau memperlakukan seorang anak adalah anak
sah dari keluarga tertentu.
2. Nama belakang dari anak itu selalu memakai nama si bapak.
3. Bahwa masyarakat selalu mengakui dia sebagai anak si bapak
4. Bahwa saudara-saudaranya mengakui dia sebagai anak si bapak.24
Kalau kenyataan-kenyataan yang disebutkan di atas itu cocok dengan
isi akta kelahiran, maka kebenaran tersebut tidak boleh diganggu gugat lagi
(pasal 263 KUH Perdata).
Hanya jika akta kelahiran atau kenyataan-kenyataan itu tidak ada,
maka asal usul anak (keturunan) baru dapat dibuktikan dengan saksi-saksi,
tetapi dengan ketentuan harus sudah ada permulaan pembuktian tertulis atau
23
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998,
cet. III, hlm. 220.
24
Soedharyo Soimin, op.cit, hlm. 47-48.
30
juga sudah adanya petunjuk-petunjuk yang sangat kuat (pasal 264 KUH
Perdata).25
Kekuatan mengenai adanya peristiwa hukum (rechfeit) seperti nikah,
talak, rujuk, dan akibat hukumnya adalah penting, baik bagi yang
berkepentingan sendiri maupun bagi masyarakat. Oleh karena itu perlu adanya
pencatatan resmi dari pemerintah, yang tertuang dalam penjelasan umum
dinyatakan bahwa pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan
seseorang misal dalam masalah kelahiran, kematian, yang dinyatakan dengan
surat-surat keterangan suatu akte resmi, yang juga dimuat dalam daftar
pencatatan.26
Mengenai pencatatan, memiliki manfaat prefentif yaitu untuk
menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan. Apalagi
dalam masalah pencatatan perkawinan, yang mengingat kesadaran masyarakat
yang menjadi subyek hukum. Penelitian pegawai pencatat juga bermaksud
untuk meneliti status perkawinan seseorang, baik calon suami maupun calon
istri. Karena dengan adanya pencatatan tersebut, status perkawinan akan
menjadi jelas. dan anak yang dilahirkannya juga akan mempunyai kedudukan
yang jelas. Jadi, anak yang mempunyai kedudukan anak sah adalah anak yang
lahir dari atau akibat perkawinan yang sah, sepanjang bayi itu lahir dari ibu
25
M. Ridwan Indra, op.cit, hlm. 58.
26
Amin Syarifuddin, op.cit., hlm. 329.
31
yang berada dalam ikatan perkawinan yang sah, sehingga dia dapat disebut
sebagai anak yang berkedudukan sebagai anak sah.27
Dengan adanya pencatatan nikah tersebut, maka tidak mungkin akan
terjadi suatu perselisihan antara suami istri ketika mereka melahirkan seorang
anak. Kecuali apabila sang istri sebelum nikah sudah terlanjur hamil dahulu,
dan hamilnya itu disembunyikan dari suaminya. Atau sang suami selama
dalam ikatan perkawinan tidak pernah merasa berkumpul dan melakukan
persetubuhan dengan istrinya, maka hal ini akan menjadikan suatu
perselisihan yang sangat berkepanjangan. Dalam hal untuk memastikan asal
usul anak (keturunan) atau untuk memastikan sah tidaknya seorang anak.28
Perzinaan merupakan salah satu perbuatan yang menyalahi hukum,
sehingga hasil dari perbuatan tersebut membawa efek bukan hanya bagi si
pelakunya, tetapi juga menyangkut pihak lain yaitu mengenai anak hasil
perbuatan zina itu.29
Menurut hukum Islam pelaku zina baik pria maupun wanita dihukum
dengan seratus kali dera, bahkan kalau pelaku zina itu sudah berkeluarga atau
dalam ikatan perkawinan, atau pernah kawin, maka hukumannya lebih berat
lagi, yaitu dirajam atau dilempari batu sampai mati.
Seseorang dapat dijatuhi hukuman yang seberat itu kalau perbuatan
zina itu disaksikan oleh empat saksi pria Islam, yang adil atau memiliki
27
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, cet
III, hlm. 111.
28
Ibid, hlm. 225.
29
M. Ali Hasan, loc.cit.
32
integritas yang menyaksikan dan melihat ketika perbuatan zina itu dilakukan.
Sehubungan dengan hal ini, ada sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari
Muslim dan Abu Hurairah:
' L* C!;* 2 !9 01 'C!d 1 ^ ; S@a '3 -^ 7 T>?>L e" :9
h" F 2 !9 $ * 2 9 i>9 j 8 ' 1 ^ ; ? ^ X R
A (
2 !9 01 'C!d eY$ R 9
D d
$ **
)rHr 2) m *
Artinya: “Kami perintahkan kepada manusia supaya bebuat baik kepada kedua
orang tua (Ibu Bapaknya). Ibunya mengandungnya dengan susah
payah dan melahirkannya dengan susah payah juga, mengandung
sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan” (Q.S. Al-Ahqaf: 15)35
Dalam firman Allah dalam surat Luqman ayat 14:
: 9 ' 2) m *