Psikologi Kriminal Psikologi kriminal Psikologi kriminal
HUKUM PIDANA
PSIKOLOGI KRIMINAL
TUGAS
BINSAR I. SIMANJUNTAK
120 200 237
PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM
DEPATERMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2015
SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER GENAP 2015
Mata Kuliah
Grup
Dosen Penguji
1.
2.
3.
4.
: Psikologi Kriminal
:B
: Liza Erwina, SH., M.Hum.
Jelaskan hubungan psikologi criminal dengan kriminologi.
Jelaskan yang dimaksud dengan Structure Personality menurut Signmund Freud
Jelaskan tentang gelombang masa-masa kehidupan manusia serta masa krisis
Jelaskan teori-teori sebab terjadinya kejahatan menurut WA Bonger dan EH
Sutherland.
Jawaban :
1. Pengertian psikologi kriminal adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari dan meneliti
kejahatan dari sudut kejiwaan si pelaku. Jika kita perhatikan batasan–batasan yang pernah
dikemukakan oleh para psikolog yang berminat dalam bidang ini ternyata mereka
mendasarkan suatu pendapat tentang adanya hubungan perbuatan dengan jiwa manusia dan
pelakunya.
Pengertian kriminologi adalah Istilah kriminologi berasal dari bahasa inggris criminology
yang berakar dari bahasa latin yaitu dari kata crimen yang berarti kejahatan atau penjahat dan
logos yang berarti ilmu pengetahuan. Dari pengertian itu, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa kriminologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kejahatan. Kriminologi baru
berkembang pada tahun 1850 bersama-sama sosiologi, antropologi, psikologi, dan cabangcabang ilmu yang mempelajari gejala/tingkah laku manusia dalam masyarakat. Nama
kriminologi sendiri pertama kali ditemukan oleh P. Topinard (1830-1911) seorang ahli
antropologi berkebangsaan Perancis.
Hubungan Psikologi Kriminal dan Kriminologi lebih mengarah kepada Teori-Teori yang
Mencari Sebab Kejahatan dari Faktor Psikologis dan Psikiatris (psikologi kriminal). Usahausaha untuk mencari sebab-sebab kejahatan dari faktor psikis termasuk agak baru. Seperti
halnya para positivistis pada umumnya, usaha mencari ciri-ciri psikis pada para penjahat
didasarkan anggapan bahwa penjahat merupakan orang-orang yang mempunyai ciri-ciri psikis
yang berbeda dengan orang-orang yang bukan penjahat,dan ciri-ciri psikis tersebut terletak
pada intelegensinya yang rendah. Bagaimanapun juga psikologi kriminal haruslah didasrkan
pada psikologi itu sendiri, sedangkan psikologi termasuk ilmu yang perkembangannya agak
lambat. Pada umumnya ahli-ahli psikologi pengembangan ilmunya dengan cara-cara
membagi manusia dengan tipe-tipe tertentu (tipologi). Akan tetapi tipologi yang dihasilkan
tersebut
tidak
bisa
begitu
saja
diterapkan
pada
para
penjahat.
Psikologi kriminal adalah mempelajari ciri-ciri psikis dari para pelaku kejahatan yang sehat,
artinya sehat dalam pengertian psikologi. Mengingat tentang jiwa yang sehat sangat sulit
dirumuskan, dan kalaupun ada maka perumusannya sangat luas. Bentuk-bentuk gangguan
mental yang akan dibicarakan disini adalah psikoses, neuroses dan cacat mental.
2. Menurut Sigmud Fereud kehidupan jiwa memiliki tiga tingkatan kesadaran, yakni
sadar (conscious), prasadar (preconscious), dan tak-sadar (unconscious). Konsep dari teori
Freud yang paling terkenal adalah tentang adanya alam bawah sadar yang mengendalikan
sebagian besar perilaku. Selain itu, dia juga memberikan pernyataan bahwa perilaku manusia
didasari pada hasrat seksualitas (eros) yang pada awalnya dirasakan oleh manusia semenjak
kecil dari ibunya.
Alam bawah sadar yang digambarkan freud memiliki 3 unsur, yaitu id, ego dan super ego.
ID
Id merupakan Kepribadian yang asli; Id merupakan sumber dari kedua sistem/energi yang lain
yaitu ego dan superego. Id terdiri dari dorongan - dorongan biologis dasar seperti kebutuhan
makan, minum dan sex. Didalam Id terdapat dua jenis energi yang bertentangan dan sangat
mempengaruhi kehidupan dan kepribadian individu, yaitu insting kehidupan dan insting
kematian. Insting kehidupan ini disebut libido. Dorongan-dorongan dalam Id selalu ingin
dipuaskan dan dalam pemuasannnya Id selalu berupaya menghindari pengalaman–pengalaman
yang tidak menyenangkan. Makanya cara pemuasan dari dorongan ini disebut prinsip
kesenangan ( pleasure principle ).
EGO
Ego merupakan energi yang mendorong untuk mengikuti prinsip kenyataan (reality principle),
dan beroperasi menurut proses sekunder. Tujuan prinsip sekunder ini adalah mencegah
terjadinya tegangan sampai ditemukannya suatu objek yang cocok untuk pemuasan kebutuhan.
Ego menjalankan fungsi pengendalian yang berupaya untuk pemuasan dorongan Id itu bersifat
realistis dan sesuai dengan kenyataan. Dengan kata lain fungsi ego adalah menyaring
dorongan-dorongan yang ingin dipuaskan oleh ID berdasarkan kenyataan.
SUPER EGO
Superego adalah suatu gambaran kesadaran akan nilai-nilai dan moral masyarakat yang
ditanamkan oleh adat istiadat, agama, orang tua, guru dan orang- orang lain pada anak. Karena
itu pada dasarnya Superego adalah hati nurani (concenience) seseorang yang menilai benar
atau salahnya suatu tindakan seseorang.itu berarti Superego mewakili nilai-nilai ideal dan
selau berorientasi pada kesempurnaan. Cita-cita individu juga diarahkan pada nilai-nilai ideal
tersebut, sehingga setiap individu memiliki gambaran tentang dirinya yang paling ideal (Egoideal).
Bersama-sama dengan ego, Superego mengatur dan mengarahkan tingkah laku individu yang
mengarahkan dorongan-dorongan dari Id berdasarkan aturan-aturan dalam masyarakat, agama
atau keyakinan-keyakinan tertentu mengenai perilaku yang baik dan buruk.
3. gelombang masa pertumbuhan perkembangan manusia
a)
Tahap Bayi (Infancy): Sejak lahir hingga usia 18 bulan.
Periode ini disebut juga dengan tahapan sensorik oral, karena orang biasa melihat bayi
memasukkan segala sesuatu ke dalam mulutnya. Sosok Ibu memainkan peranan terpenting
untuk memberikan perhatian positif dan penuh kasih kepada anak, dengan penekanan pada
kontak visual dan sentuhan. Jika periode ini dilalui dengan baik, bayi akan menumbuhkan
perasaan trust (percaya) pada lingkungan dan melihat bahwa kehidupan ini pada dasarnya baik.
Sebaliknya, bila gagal di periode ini, individu memiliki perasaan mistrust (tidak percaya) dan akan
melihat bahwa dunia ini adalah tempat yang mengecewakan dan penuh frustrasi. Banyak studi
tentang bunuh diri dan usaha bunuh diri yang menunjukkan betapa pentingnya pembentukan
keyakinan di tahun-tahun awal kehidupan ini. Di awal kehidupan ini begitu penting meletakkan
dasar perasaan percaya dan keyakinan bahwa tiap manusia memiliki hak untuk hidup di muka
bumi, dan hal itu hanya bisa dilakukan oleh sosok Ibu, atau siapapun yang dianggap signifikan
dalam memberikan kasih sayang secara tetap.
b) Tahap Kanak-Kanak Awal (Early Childhood): 18 Bulan hingga 3 tahun
Selama tahapan ini individu mempelajari ketrampilan untuk diri sendiri. Bukan sekedar belajar
berjalan, bicara, dan makan sendiri, melainkan juga mempelajari perkembangan motorik yang
lebih halus, termasuk latihan yang sangat dihargai: toilet training. Di masa ini, individu
berkesempatan untuk belajar tentang harga diri dan otonomi, seiring dengan berkembangnya
kemampuan mengendalikan bagian tubuh dan tumbuhnya pemahaman tentang benar dan salah.
Salah satu ketrampilan yant muncul di periode adalah kemampuan berkata TIDAK. Sekalipun
tidak menyenangkan orang tua, hal ini berguna untuk pengembangan semangat dan kemauan.
Di sisi lain, ada kerentanan yang bisa terjadi dalam periode ini, khususnya berkenaan dengan
kegagalan dalam proses toilet training atau mempelajari skill lainnya, yang mengakibatkan
munculnya rasa malu dan ragu-ragu. Lebih jauh, individu akan kehilangan rasa percaya dirinya.
c) Tahap Usia Bermain (Play Age): 3 hingga 5 tahun
Pada periode ini, individu biasanya memasukkan gambaran tentang orang dewasa di sekitarnya
dan secara inisiatif dibawa dalam situasi bermain. Anak laki-laki bermain dengan kuda-kudaan
dan senapan kayu, anak perempuan main “pasar-pasaran” atau boneka yang mengimitasi
kehidupan keluarga, mobil-mobilan, handphone mainan, tentara mainan untuk bermain peran,
dsb. Di masa ini, muncul sebuah kata yang sering diucapkan seorang anak:”KENAPA?”
Sesuai dengan konsep Freudian, di masa ini anak (khususnya laki-laki) juga sedang berjuang
dalam identitas gender-nya yang disebut “oedipal struggle”. Kita sering melihat anak laki-laki
yang bermain dengan alat kelaminnya, saling menunjukkan pada sesama anak laki-laki, atau
bahkan menunjukkan pada anak perempuan sebaya. Kegagalan melalui fase ini menimbulkan
perasaan bersalah.
Hubungan yang signifikan di periode ini adalah dengan keluarga inti (ayah, ibu, dan saudara).
d) Tahap Usia Sekolah (School Age): Usia 6 – 12 tahun
Periode ini sering disebut juga dengan periode laten, karena individu sepintas hanya
menunjukkan pertumbuhan fisik tanpa perkembangan aspek mental yang berarti, berbeda
dengan fase-fase sebelumnya. Kita bisa simak, dalam periode sebelumnya pertumbuhan dan
perkembangan berbilang bulan saja untuk manusia agar bisa tumbuh dan berkembang.
Ketrampilan baru yang dikembangkan selama periode ini mengarah pada sikap industri
(ketekunan belajar, aktivitas, produktivitas, semangat, kerajinan, dsb), serta berada di dalam
konteks sosial. Bila individu gagal menempatkan diri secara normal dalam konteks sosial, ia akan
merasakan ketidak mampuan dan rendah diri.
Sekolah dan lingkungan sosial menjadi figur yang berperan penting dalam pembentukan ego ini,
sementara orang tua sekalipun masih penting namun bukan lagi sebagai otoritas tunggal.
e) Tahap Remaja (Adolescence): Usia 12 hingga 18 tahun
Bila sebelumnya perkembangan lebih berkisar padaapa yang dilakukan untuk saya, sejak
stage perkembangan ini perkembangan tergantung padaapa yang saya kerjakan. Karena di
periode ini individu bukan lagi anak tetapi belum menjadi dewasa, hidup berubah sangat
kompleks karena individu berusaha mencari identitasnya, berjuang dalam interaksi sosial, dan
bergulat dengan persoalan-persoalan moral.
Tugas perkembangan di fase ini adalah menemukan jati diri sebagai individu yang terpisah dari
keularga asal dan menjadi bagian dari lingkup sosial yang lebih luas. Bila stage ini tidak lancara
diselesaikan, orang akan mengalami kebingungan dan kekacauan peran.
Hal utama yang perlu dikembangkan di sini adalah filosofi kehidupan. Di masa ini, seseorang
bersifat idealis dan mengharapkan bebas konflik, yang pada kenyataannya tidak demikian. Wajar
bila di periode ada kesetiaan dan ketergantungan pada teman.
f) Tahap Dewasa Awal (Young Adulthood): Usia 18 hingga 35 tahun
Langkah awal menjadi dewasa adalah mencari teman dan cinta. Hubungan yang saling
memberikan rasa senang dan puas, utamanya melalui perkawinan dan persahabatan.
Keberhasilan di stage ini memberikan keintiman di level yang dalam.
Kegagalan di level ini menjadikan orang mengisolasi diri, menjauh dari orang lain, dunia terasa
sempit, bahkan hingga bersikap superior kepada orang lain sebagai bentuk pertahanan ego.
Hubungan yang signifikan adalah melalui perkawinan dan persahabatan.
g) Tahap Dewasa (Middle Adulthood): Usia 35 hingga 55 atau 65tahun
Masa ini dianggap penting karena dalam periode inilah individu cenderung penuh dengan
pekerjaan yang kreatif dan bermakna, serta berbagai permasalahan di seputar keluarga. Selain
itu adalah masa “berwenang” yang diidamkan sejak lama.
Tugas yang penting di sini adalah mengejawantahkan budaya dan meneruskan nilai budaya pada
keluarga (membentuk karakter anak) serta memantapkan lingkungan yang stabil. Kekuatan
timbul melalui perhatian orang lain, dan karya yang memberikan sumbangan pada kebaikan
masyarakat, yang disebut dengan generativitas. Jadi di masa ini, kita takut akan ketidak aktifan
dan ketidak bermaknaan diri.
Sementara itu, ketika anak-anak mulai keluar dari rumah, hubungan interpersonal tujuan , ada
kehidupan yang berubah drastic, individu harus menetapkan makna dan tujuan hidup yang baru.
Bila tidak berhasil di stage ini, timbullah self-absorpsi atau stagnasi.
Yang memainkan peranan di sini adalh komunitas dan keluarga.
h) Tahap Dewasa Akhir (Late Adulthood): Usia 55 atau 65 tahun hingga mati
Orang berusia lanjut yang bisa melihat kembali masa-masa yang telah dilaluinya dengan
bahagia, merasa tercukupi, dan merasa telah memberikan kontribusi pada kehidupan, ia akan
merasakan integritas. Kebijaksanaannya yang tumbuh menerima keluasan dunia dan menjelang
kematian sebagai kelengkapan kehidupan.Sebaliknya, orang yang menganggap masa lalu
adalah kegagalan merasakan keputus asaan, belum bisa menerima kematian karena belum
menemukan makna kehidupan. Atau bisa jadi, ia merasa telah menemukan jati diri dan meyakini
sekali bahwa dogma yang dianutnyalah yang paling benar.
4. Sebab terjadinya kejahatan menurut WA. Bonger dan EH. Sutherland
Menurut Mr. W. A. BONGER kejahatan adalah perbuatan yang sangat antisosial yang memperoleh
tentangan dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan (hukuman atau tindakan).
Apa yang menyebabkan seseorang / kelompok melakukan suatu kejahatan tidak lepas dari beberapa faktor
yang mendasarinya seperti faktor lingkungn, ekonomi, sosiologi, psychologi, bio-sosiologi, dan spiritualis.
Sutherland Merumuskan, (The Body of Knowledge regarding crime as social Phenomenon)
kriminologi sebagai keseluruhan ilmu pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan jahat sebgai
gejala sosial. menurut Sutherland Kriminologi mencakup proses-proses pembuatan hukum,
pelanggaran hukum dan reaksi atas pelnggaran hukum
SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP 2015
Mata Kuliah
Grup
Dosen Penguji
1.
2.
3.
4.
: Psikologi Kriminal
:B
: Liza Erwina, SH., M.Hum.
Jelaskan apa yang dimaksud dengan Psychologisch zwang menurut van
Feuerbach.
Jelaskan beberapa teori penghukuman yang saudara ketahui.
Jelaskan azas hukum penghapusan hukuman, meringankan dan pemberatan
hukuman dalam beberapa pasal di Buku 1 KUHP.
sebutkan dan jelaskan azas-azas hukum pidana dalam buku 1 KUHP tentang
gugurnya hak Negara melakukan penuntutan.
Jawaban :
1. Asas legalitas ini menentukan dilarang dan diancamnya suatu perbuatan dengan pidana, yang
berarti azas inilah yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana jika
tidak ada ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Asas ini biasanya dikenal dalam bahasa
latin sebagai: “nullum delictum nulla poena sine praevia lege” (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa
peraturan lebih dulu). Ucapan “nullum delictum nulla poena sine praevia lege” ini berasal dari Von
Feuerbach, sarjana hokum pidana Jerman (1775-1833). Dialah yang merumuskannya dalam pepatah latin
tadi dalam bukunya: “Lehrbuch des peinlichen Recht” (1801).[8] Perumusan itu dikemukakan berhubung
dengan teorinya yang terkenal dengan nama teori “vom psychologische Zwang”, yaitu menganjurkan
supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang
macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana yang
diancamkan. Dengan cara demikian ini, maka oleh orang yang akan melakukan perbuatan yang dilarang
tadi lebih dahulu telah mengetahui pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu
dilakukan. Dengan demikian dalam batinnya, dalam psychenya, lalu diadakan rem atau tekanan utuk
tidak berbuat. Dan kalau toh dia melakukan perbuatan tadi, maka hal dijatuhi pidana kepadanya itu bisa
dipandang sebagai sudah disetujuinya sendiri. Jadi pendirian Von Feuerbach mengenai pidana ialah
pendirian yang tergolong absolut (mutlak). Sama halnya dengan teori pembalasan (retribution).
2. Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana :
1) Teori Relatif atau tujuan ( doeltheorien )
Teori ini mencari mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya,
yaitu untuk mencegah terjadinya kejahatan.Pidana ini biasanya membuat seseorang takut, memperbaiki
atau membinasakan. Bentuk tertua pencegahan umum dipraktekkan sampai revolusi Prancis, biasanya
dilakukan dengan menakuti orang lain dengan jalan pelaksanaan pidana yang dipertontonkanan, kadangkadang pelaksanaan pidana yang telah diputu kan itu dipertontonkan didepan umum dengan sangat
ganasnya agar supaya anggota masyarakat ngeri melihatnya yang akhirnya muncul sebutan adogium latin
( neon prudens punit,quia peccantum, sed net peccetur ) supaya kalayak ramai betul-betul takut
melakukan kejahatan, maka perlu pidana yang ganas dan pelaksanaannya didepan umum.
2) Teori Absolut atau teori pembalasan ( vergeldingstheorien )
Teori ini muncul pada akhir abad ke 18 dianut antara lain oleh imanuel kant, Hegel, Herbart, para sarjana
yang mendasarkan teorinya pada filsafat katolik dan para sarjana hukum islam yang mendasarkan
teorinya pada ajaran Al-quran. Teori absolut mengatakan bahwa pidana tidak lah bertujuan untuk yang
praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur – unsur untuk
dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada karena dilakukan suatu kejahatan. Tidak perlu memikirkan
manfaat menjatuhkan pidana itu karena setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana pada
pelanggaran.
Oleh karena itu teori ini disebut teori absolut karena pidana merupakan tuntutan mutlak bukan hanya
sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan, hakikat suatu pidana adalah pembalasan.
3. Teori gabungan ( verenigingsthrorien)
Teori gabungan antara pembalasan dan pencegahan beragam pula, ada yang menitik beratkan pada
pembalasan, ada pula yang ingin agar unsur pembalasan dan prefensi seimbang
a.
Menitik beratkan pada unsur pembalasan dianut antara lain oleh Pompe,
Pompe mengatakan orang tidak boleh menutup mata pada pembalasan. Memang pidana dapat
dibedakan dengan saksi-saksi lain tetapi tetap ada cirri-cirinya, tetap tidak dapat dikecilkan artinya bahwa
pidana adalah suatu saksi dan dengan demikian terikat dengan tujuan saksi-saksi itu. Dan karena itu
hanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi kepentingan
umum.
Van Bemmelan pun menganut teori gabungan dengan mengatakan : pidana bertujuan membalas
kesalahan dan mengamankan masyarakat, tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan jadi
pidana dan tindakan keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam
kehidupan masyarakat. ( diterjemahkan dari kutipan Oemar Seno Adji-1980).
Grotius mengembangkan teori gabungan yang menitik beratkan keadilan mutlak yang diwujudkan
dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarakat. Dasar tiap- tiap pidana ialah penderitaan yang
beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana,Tetapi sampai batas mana
beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa
yang berguna bagi masyarakat.
Teori yang dikemukikan oleh Grotius dilanjutkan oleh Rossi dan kemudian Zevenbergen yang
mengatakan bahwa makna tiap-tiap pidana ialah pembalasan tetapi maksud tiap-tiap pidana ialah
melindungi tata hukum. Pidana mengembalikan hormat terhadap hukum dan pemerintah.
b. Teori gabungan yaitu yang menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat.
Teori ini tidak boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya. Dan gunanya juga tidak boleh lebih
besar dari pada yang seharusnya.Pidana bersifat pembalasan karena ia hanya dijatuhkan terhadap delik –
delik, yaitu perbuatan yang dilakukan secara sukarela. Pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan
tujuan. Tujuan pidana adalah melindungi kesejahteraan masyarakat.
Dalam rancangan KUHP nasional telah diatur tentang tujuan penjatuhan pidana yaitu :
1)
mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hokum demi pengayoman
masyarakat.
2)
mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik
dan berguna.
3)
menyelesaikan konflik yang ditimbulkan olah tindakan pidana memulihkan keseimbangan dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
4) membebaskan rasa bersalah pada terpidana ( pasal 5 ).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang tercantum dalam rancangan KUHP tersebut
merupakan penjabaran teori gabungan dalam arti yang luas. Ia meliputi usaha prefensi, koreksi kedamaian
dalam masyarkat dan pembebasan rasa bersalah pada terpidana ( mirip dengan expiation ).
3. azas hukum penghapusan hukuman, meringankan dan pemberatan hukuman dalam beberapa
pasal di Buku 1 KUHP.
Penghapusan Hukuman :
Alasan penghapus pidana yang termasuk alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP adalah :
Keadaan darurat, diatur dala Pasal 48 KUHP;
Seseorang dikatakan berada dalam keadaan darurat (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, 2007 : 60)
“apabila seseorang dihadapkan pada suatu dilema untuk memilih antara melakukan delik atau merusak
kepentingan yang lebih besar”.
Dalam keadaan darurat pelaku suatu tindak pidana terdorong oleh suatu paksaan dari luar, paksaan
tersebut yang menyebabkan pelaku dihadapkan pada tiga keadaan darurat, yaitu Perbenturan antara dua
kepentingan hukum. Dalam hal ini pelaku harus melakukan suatu perbuatan untuk melindungi
kepentingan hukum tertentu, namun pada saat yang sama melanggar kepentingan hukum yang lain, begitu
pula sebaliknya Perbenturan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum. Dalam hal ini pelaku
dihadapkan pada keadaan apakah harus melindungi kepentingan hukum atau melaksanakan kewajiban
hukum Perbenturan antara kewajiban hukum dan kewajiban hukum. Dalam hal ini pelaku harus
melakukan kewajiban hukum tertentu, namun pada saat yang sama dia tidak melakukan kewajiban hukum
yang lain, begitu pula sebaliknya.
Dalam keadaan darurat tersebut di atas, tindak pidana yang dilakukan hanya dibenarkan jika (J.E.
Sahetapy dan Agustinus Pohan, 2007 : 61) ;
tidak ada jalan lain;
kepentingan yang dilindungi secara objektif bernilai lebih tinggi dari pada kepentingan yang dikorbankan.
2. Pembelaan terpaksa, diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP;
Menurut Pasal 49 ayat (1) disyaratkan hal-hal yang bisa dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa (J.E.
Sahetapy dan Agustinus Pohan, 2007 : 55), yaitu :
Ada serangan mendadak atau seketika itu terhadap raga, kehormatan, kesusilaan atau harta benda;
Serangan itu bersifat melawan hukum;
Pembelaan merupakan keharusan;
Cara pembelaan adalah patut.
3. Melaksanakan ketentuan undang-undang, diatur dalam Pasal 50 KUHP;
Dalam hal ini, terdapat hal dimana ada perbenturan antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum
lainnya, artinya bahwa untuk melakukan kewajiban hukumnya, seseorang harus melanggar kewajiban
hukum lainnya. Dalam melaksanakan ketentuan UU tersebut, kewajiban yang terbesar yang harus
diutamakan.
4. Menjalankan perintah jabatan yang sah, diatur dalam Pasal 51 KUHP.
2. Jenis-Jenis Alasan Pemaaf
Alasan penghapus pidana yang termasuk alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP adalah :
Tidak mampu bertanggungjawab, diatur dalam Pasal 44 KUHP;
Dalam Pasal 44 KUHP, membedakan pertanggungjawaban dalam dua kategori yaitu cacat dalam
pertumbuhan dan gangguan penyakit kejiwaan.
Yang dimaksud gangguan adalah gangguan sejak lahir atau sejak remaja tumbuh dengan normal namun
dikemudian hari muncul kelainan jiwa.
Pada dasarnya cacat atau gangguan penyakit muncul pada saat perbuatan atau tindak pidana, dan ketika
perbuatan itu dilakukan ada hubungan antara gangguan jiwanya dengan perbuatannya
2. Daya paksa, diatur dalam Pasal 48 KUHP;
Dalam memori penjelasan Pasal 48 KUHP (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, 2007 : 61), daya paksa
adalah “setiap daya, setiap dorongan, atau setiap paksaan yang tidak dapat dilawan”.
Contoh : sebuah kapal tenggelam, ada dua penumpang yang berpegang pada papan yang sama, dimana
papan tersebut hanya kuat menahan 1 orang. Karena takut akan mati tenggelam, maka salah seorang
mendorong yang lainnya.
Titik tolak dari daya paksa adalah adanya keadaan-keadaan yang eksepsional yang secara mendadak
menyerang pembuat atau pelaku, bukan ketegangan psikis, melainkan keharusan melakukan perbuatan
pidana untuk mencapai tujuan yang adil.
Dalam daya paksa ini, ada perbenturan antara kepentigan hukum satu dengan kepentingan hukum lain,
dimana kepentingan yang dilindungi harus mempunyai nilai kebih tinggi daripada kepentingan hukum
yang diabaikan.
3. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP.
Dalam pembelaan terpaksa, ada dua hal yang harus diperhatikan (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan,
2007 : 59). Yaitu :
Harus ada situasi pembelaan terpaksa, yang berarti suatu situasi dimana pembelaan raga, kehormatan
kesusilaan, atau harta benda terhadap serangan seketika bersifat melawan hukum menjadi keharusan.
Kalau orang dapat menghindarkan diri dari serangan, pembelaan tidak menjadi keharusan sehingga
bantahan atas dasar pembelaan terpaksa, harus ditolak. Demikian juga bantahan tidak akan berhasil.
Bantahan tersebut hanya berhasil kalau pembelanya sendiri merupakan keharusan.
Pelampauan batas dari keharusan pembelaan, harus merupakan akibat langsung dari kegoncangan jiwa
yang hebat, yang pada gilirannya disebabkan oleh serangan. “kegoncangan jiwa yang hebat” dapat
mencakup berbagai jenis emosi, yaitu takut, marah, dan panik. Kebencian yang sudah ada terlebih dahulu
yang tidak disebabkan oleh serangan, tidak dapat dipakai untuk memaafkan. Selain itu, juga kalau
kegoncangan jiwa yang hebat itu tidak disebabkan oleh serangan, tetapi karena pengaruh alkohol atau
narkoba.
4. azas hukum pidana dalam buku 1 KUHP tentang gugurnya hak Negara melakukan penuntutan.
Dalam hubungannya dengan hapusnya hak penuntutan pidana, bahwa
KUHP memuat 4 (empat) hal yang menyebabkan negara kehilangan hak
untuk menuntut pidana terhadap si pembuat tindak pidana, yaitu:
1. Sebab perbuatan yang telah diputus oleh pengadilan dengan putusan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 76);
2. Sebab meninggalnya si pembuat (pasal 77);
3. Sebab telah lampau waktu atau kadaluwarsa (pasal 78-80);
4. Penyelesaian di luar pengadilan, yaitu dengan dibayarnya denda
maksimum dan biaya-biaya bila penuntutan telah dimulai (pasal 82: bagi
pelanggaran yang hanya diancam pidana denda).
PSIKOLOGI KRIMINAL
TUGAS
BINSAR I. SIMANJUNTAK
120 200 237
PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM
DEPATERMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2015
SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER GENAP 2015
Mata Kuliah
Grup
Dosen Penguji
1.
2.
3.
4.
: Psikologi Kriminal
:B
: Liza Erwina, SH., M.Hum.
Jelaskan hubungan psikologi criminal dengan kriminologi.
Jelaskan yang dimaksud dengan Structure Personality menurut Signmund Freud
Jelaskan tentang gelombang masa-masa kehidupan manusia serta masa krisis
Jelaskan teori-teori sebab terjadinya kejahatan menurut WA Bonger dan EH
Sutherland.
Jawaban :
1. Pengertian psikologi kriminal adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari dan meneliti
kejahatan dari sudut kejiwaan si pelaku. Jika kita perhatikan batasan–batasan yang pernah
dikemukakan oleh para psikolog yang berminat dalam bidang ini ternyata mereka
mendasarkan suatu pendapat tentang adanya hubungan perbuatan dengan jiwa manusia dan
pelakunya.
Pengertian kriminologi adalah Istilah kriminologi berasal dari bahasa inggris criminology
yang berakar dari bahasa latin yaitu dari kata crimen yang berarti kejahatan atau penjahat dan
logos yang berarti ilmu pengetahuan. Dari pengertian itu, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa kriminologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kejahatan. Kriminologi baru
berkembang pada tahun 1850 bersama-sama sosiologi, antropologi, psikologi, dan cabangcabang ilmu yang mempelajari gejala/tingkah laku manusia dalam masyarakat. Nama
kriminologi sendiri pertama kali ditemukan oleh P. Topinard (1830-1911) seorang ahli
antropologi berkebangsaan Perancis.
Hubungan Psikologi Kriminal dan Kriminologi lebih mengarah kepada Teori-Teori yang
Mencari Sebab Kejahatan dari Faktor Psikologis dan Psikiatris (psikologi kriminal). Usahausaha untuk mencari sebab-sebab kejahatan dari faktor psikis termasuk agak baru. Seperti
halnya para positivistis pada umumnya, usaha mencari ciri-ciri psikis pada para penjahat
didasarkan anggapan bahwa penjahat merupakan orang-orang yang mempunyai ciri-ciri psikis
yang berbeda dengan orang-orang yang bukan penjahat,dan ciri-ciri psikis tersebut terletak
pada intelegensinya yang rendah. Bagaimanapun juga psikologi kriminal haruslah didasrkan
pada psikologi itu sendiri, sedangkan psikologi termasuk ilmu yang perkembangannya agak
lambat. Pada umumnya ahli-ahli psikologi pengembangan ilmunya dengan cara-cara
membagi manusia dengan tipe-tipe tertentu (tipologi). Akan tetapi tipologi yang dihasilkan
tersebut
tidak
bisa
begitu
saja
diterapkan
pada
para
penjahat.
Psikologi kriminal adalah mempelajari ciri-ciri psikis dari para pelaku kejahatan yang sehat,
artinya sehat dalam pengertian psikologi. Mengingat tentang jiwa yang sehat sangat sulit
dirumuskan, dan kalaupun ada maka perumusannya sangat luas. Bentuk-bentuk gangguan
mental yang akan dibicarakan disini adalah psikoses, neuroses dan cacat mental.
2. Menurut Sigmud Fereud kehidupan jiwa memiliki tiga tingkatan kesadaran, yakni
sadar (conscious), prasadar (preconscious), dan tak-sadar (unconscious). Konsep dari teori
Freud yang paling terkenal adalah tentang adanya alam bawah sadar yang mengendalikan
sebagian besar perilaku. Selain itu, dia juga memberikan pernyataan bahwa perilaku manusia
didasari pada hasrat seksualitas (eros) yang pada awalnya dirasakan oleh manusia semenjak
kecil dari ibunya.
Alam bawah sadar yang digambarkan freud memiliki 3 unsur, yaitu id, ego dan super ego.
ID
Id merupakan Kepribadian yang asli; Id merupakan sumber dari kedua sistem/energi yang lain
yaitu ego dan superego. Id terdiri dari dorongan - dorongan biologis dasar seperti kebutuhan
makan, minum dan sex. Didalam Id terdapat dua jenis energi yang bertentangan dan sangat
mempengaruhi kehidupan dan kepribadian individu, yaitu insting kehidupan dan insting
kematian. Insting kehidupan ini disebut libido. Dorongan-dorongan dalam Id selalu ingin
dipuaskan dan dalam pemuasannnya Id selalu berupaya menghindari pengalaman–pengalaman
yang tidak menyenangkan. Makanya cara pemuasan dari dorongan ini disebut prinsip
kesenangan ( pleasure principle ).
EGO
Ego merupakan energi yang mendorong untuk mengikuti prinsip kenyataan (reality principle),
dan beroperasi menurut proses sekunder. Tujuan prinsip sekunder ini adalah mencegah
terjadinya tegangan sampai ditemukannya suatu objek yang cocok untuk pemuasan kebutuhan.
Ego menjalankan fungsi pengendalian yang berupaya untuk pemuasan dorongan Id itu bersifat
realistis dan sesuai dengan kenyataan. Dengan kata lain fungsi ego adalah menyaring
dorongan-dorongan yang ingin dipuaskan oleh ID berdasarkan kenyataan.
SUPER EGO
Superego adalah suatu gambaran kesadaran akan nilai-nilai dan moral masyarakat yang
ditanamkan oleh adat istiadat, agama, orang tua, guru dan orang- orang lain pada anak. Karena
itu pada dasarnya Superego adalah hati nurani (concenience) seseorang yang menilai benar
atau salahnya suatu tindakan seseorang.itu berarti Superego mewakili nilai-nilai ideal dan
selau berorientasi pada kesempurnaan. Cita-cita individu juga diarahkan pada nilai-nilai ideal
tersebut, sehingga setiap individu memiliki gambaran tentang dirinya yang paling ideal (Egoideal).
Bersama-sama dengan ego, Superego mengatur dan mengarahkan tingkah laku individu yang
mengarahkan dorongan-dorongan dari Id berdasarkan aturan-aturan dalam masyarakat, agama
atau keyakinan-keyakinan tertentu mengenai perilaku yang baik dan buruk.
3. gelombang masa pertumbuhan perkembangan manusia
a)
Tahap Bayi (Infancy): Sejak lahir hingga usia 18 bulan.
Periode ini disebut juga dengan tahapan sensorik oral, karena orang biasa melihat bayi
memasukkan segala sesuatu ke dalam mulutnya. Sosok Ibu memainkan peranan terpenting
untuk memberikan perhatian positif dan penuh kasih kepada anak, dengan penekanan pada
kontak visual dan sentuhan. Jika periode ini dilalui dengan baik, bayi akan menumbuhkan
perasaan trust (percaya) pada lingkungan dan melihat bahwa kehidupan ini pada dasarnya baik.
Sebaliknya, bila gagal di periode ini, individu memiliki perasaan mistrust (tidak percaya) dan akan
melihat bahwa dunia ini adalah tempat yang mengecewakan dan penuh frustrasi. Banyak studi
tentang bunuh diri dan usaha bunuh diri yang menunjukkan betapa pentingnya pembentukan
keyakinan di tahun-tahun awal kehidupan ini. Di awal kehidupan ini begitu penting meletakkan
dasar perasaan percaya dan keyakinan bahwa tiap manusia memiliki hak untuk hidup di muka
bumi, dan hal itu hanya bisa dilakukan oleh sosok Ibu, atau siapapun yang dianggap signifikan
dalam memberikan kasih sayang secara tetap.
b) Tahap Kanak-Kanak Awal (Early Childhood): 18 Bulan hingga 3 tahun
Selama tahapan ini individu mempelajari ketrampilan untuk diri sendiri. Bukan sekedar belajar
berjalan, bicara, dan makan sendiri, melainkan juga mempelajari perkembangan motorik yang
lebih halus, termasuk latihan yang sangat dihargai: toilet training. Di masa ini, individu
berkesempatan untuk belajar tentang harga diri dan otonomi, seiring dengan berkembangnya
kemampuan mengendalikan bagian tubuh dan tumbuhnya pemahaman tentang benar dan salah.
Salah satu ketrampilan yant muncul di periode adalah kemampuan berkata TIDAK. Sekalipun
tidak menyenangkan orang tua, hal ini berguna untuk pengembangan semangat dan kemauan.
Di sisi lain, ada kerentanan yang bisa terjadi dalam periode ini, khususnya berkenaan dengan
kegagalan dalam proses toilet training atau mempelajari skill lainnya, yang mengakibatkan
munculnya rasa malu dan ragu-ragu. Lebih jauh, individu akan kehilangan rasa percaya dirinya.
c) Tahap Usia Bermain (Play Age): 3 hingga 5 tahun
Pada periode ini, individu biasanya memasukkan gambaran tentang orang dewasa di sekitarnya
dan secara inisiatif dibawa dalam situasi bermain. Anak laki-laki bermain dengan kuda-kudaan
dan senapan kayu, anak perempuan main “pasar-pasaran” atau boneka yang mengimitasi
kehidupan keluarga, mobil-mobilan, handphone mainan, tentara mainan untuk bermain peran,
dsb. Di masa ini, muncul sebuah kata yang sering diucapkan seorang anak:”KENAPA?”
Sesuai dengan konsep Freudian, di masa ini anak (khususnya laki-laki) juga sedang berjuang
dalam identitas gender-nya yang disebut “oedipal struggle”. Kita sering melihat anak laki-laki
yang bermain dengan alat kelaminnya, saling menunjukkan pada sesama anak laki-laki, atau
bahkan menunjukkan pada anak perempuan sebaya. Kegagalan melalui fase ini menimbulkan
perasaan bersalah.
Hubungan yang signifikan di periode ini adalah dengan keluarga inti (ayah, ibu, dan saudara).
d) Tahap Usia Sekolah (School Age): Usia 6 – 12 tahun
Periode ini sering disebut juga dengan periode laten, karena individu sepintas hanya
menunjukkan pertumbuhan fisik tanpa perkembangan aspek mental yang berarti, berbeda
dengan fase-fase sebelumnya. Kita bisa simak, dalam periode sebelumnya pertumbuhan dan
perkembangan berbilang bulan saja untuk manusia agar bisa tumbuh dan berkembang.
Ketrampilan baru yang dikembangkan selama periode ini mengarah pada sikap industri
(ketekunan belajar, aktivitas, produktivitas, semangat, kerajinan, dsb), serta berada di dalam
konteks sosial. Bila individu gagal menempatkan diri secara normal dalam konteks sosial, ia akan
merasakan ketidak mampuan dan rendah diri.
Sekolah dan lingkungan sosial menjadi figur yang berperan penting dalam pembentukan ego ini,
sementara orang tua sekalipun masih penting namun bukan lagi sebagai otoritas tunggal.
e) Tahap Remaja (Adolescence): Usia 12 hingga 18 tahun
Bila sebelumnya perkembangan lebih berkisar padaapa yang dilakukan untuk saya, sejak
stage perkembangan ini perkembangan tergantung padaapa yang saya kerjakan. Karena di
periode ini individu bukan lagi anak tetapi belum menjadi dewasa, hidup berubah sangat
kompleks karena individu berusaha mencari identitasnya, berjuang dalam interaksi sosial, dan
bergulat dengan persoalan-persoalan moral.
Tugas perkembangan di fase ini adalah menemukan jati diri sebagai individu yang terpisah dari
keularga asal dan menjadi bagian dari lingkup sosial yang lebih luas. Bila stage ini tidak lancara
diselesaikan, orang akan mengalami kebingungan dan kekacauan peran.
Hal utama yang perlu dikembangkan di sini adalah filosofi kehidupan. Di masa ini, seseorang
bersifat idealis dan mengharapkan bebas konflik, yang pada kenyataannya tidak demikian. Wajar
bila di periode ada kesetiaan dan ketergantungan pada teman.
f) Tahap Dewasa Awal (Young Adulthood): Usia 18 hingga 35 tahun
Langkah awal menjadi dewasa adalah mencari teman dan cinta. Hubungan yang saling
memberikan rasa senang dan puas, utamanya melalui perkawinan dan persahabatan.
Keberhasilan di stage ini memberikan keintiman di level yang dalam.
Kegagalan di level ini menjadikan orang mengisolasi diri, menjauh dari orang lain, dunia terasa
sempit, bahkan hingga bersikap superior kepada orang lain sebagai bentuk pertahanan ego.
Hubungan yang signifikan adalah melalui perkawinan dan persahabatan.
g) Tahap Dewasa (Middle Adulthood): Usia 35 hingga 55 atau 65tahun
Masa ini dianggap penting karena dalam periode inilah individu cenderung penuh dengan
pekerjaan yang kreatif dan bermakna, serta berbagai permasalahan di seputar keluarga. Selain
itu adalah masa “berwenang” yang diidamkan sejak lama.
Tugas yang penting di sini adalah mengejawantahkan budaya dan meneruskan nilai budaya pada
keluarga (membentuk karakter anak) serta memantapkan lingkungan yang stabil. Kekuatan
timbul melalui perhatian orang lain, dan karya yang memberikan sumbangan pada kebaikan
masyarakat, yang disebut dengan generativitas. Jadi di masa ini, kita takut akan ketidak aktifan
dan ketidak bermaknaan diri.
Sementara itu, ketika anak-anak mulai keluar dari rumah, hubungan interpersonal tujuan , ada
kehidupan yang berubah drastic, individu harus menetapkan makna dan tujuan hidup yang baru.
Bila tidak berhasil di stage ini, timbullah self-absorpsi atau stagnasi.
Yang memainkan peranan di sini adalh komunitas dan keluarga.
h) Tahap Dewasa Akhir (Late Adulthood): Usia 55 atau 65 tahun hingga mati
Orang berusia lanjut yang bisa melihat kembali masa-masa yang telah dilaluinya dengan
bahagia, merasa tercukupi, dan merasa telah memberikan kontribusi pada kehidupan, ia akan
merasakan integritas. Kebijaksanaannya yang tumbuh menerima keluasan dunia dan menjelang
kematian sebagai kelengkapan kehidupan.Sebaliknya, orang yang menganggap masa lalu
adalah kegagalan merasakan keputus asaan, belum bisa menerima kematian karena belum
menemukan makna kehidupan. Atau bisa jadi, ia merasa telah menemukan jati diri dan meyakini
sekali bahwa dogma yang dianutnyalah yang paling benar.
4. Sebab terjadinya kejahatan menurut WA. Bonger dan EH. Sutherland
Menurut Mr. W. A. BONGER kejahatan adalah perbuatan yang sangat antisosial yang memperoleh
tentangan dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan (hukuman atau tindakan).
Apa yang menyebabkan seseorang / kelompok melakukan suatu kejahatan tidak lepas dari beberapa faktor
yang mendasarinya seperti faktor lingkungn, ekonomi, sosiologi, psychologi, bio-sosiologi, dan spiritualis.
Sutherland Merumuskan, (The Body of Knowledge regarding crime as social Phenomenon)
kriminologi sebagai keseluruhan ilmu pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan jahat sebgai
gejala sosial. menurut Sutherland Kriminologi mencakup proses-proses pembuatan hukum,
pelanggaran hukum dan reaksi atas pelnggaran hukum
SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP 2015
Mata Kuliah
Grup
Dosen Penguji
1.
2.
3.
4.
: Psikologi Kriminal
:B
: Liza Erwina, SH., M.Hum.
Jelaskan apa yang dimaksud dengan Psychologisch zwang menurut van
Feuerbach.
Jelaskan beberapa teori penghukuman yang saudara ketahui.
Jelaskan azas hukum penghapusan hukuman, meringankan dan pemberatan
hukuman dalam beberapa pasal di Buku 1 KUHP.
sebutkan dan jelaskan azas-azas hukum pidana dalam buku 1 KUHP tentang
gugurnya hak Negara melakukan penuntutan.
Jawaban :
1. Asas legalitas ini menentukan dilarang dan diancamnya suatu perbuatan dengan pidana, yang
berarti azas inilah yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana jika
tidak ada ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Asas ini biasanya dikenal dalam bahasa
latin sebagai: “nullum delictum nulla poena sine praevia lege” (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa
peraturan lebih dulu). Ucapan “nullum delictum nulla poena sine praevia lege” ini berasal dari Von
Feuerbach, sarjana hokum pidana Jerman (1775-1833). Dialah yang merumuskannya dalam pepatah latin
tadi dalam bukunya: “Lehrbuch des peinlichen Recht” (1801).[8] Perumusan itu dikemukakan berhubung
dengan teorinya yang terkenal dengan nama teori “vom psychologische Zwang”, yaitu menganjurkan
supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang
macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana yang
diancamkan. Dengan cara demikian ini, maka oleh orang yang akan melakukan perbuatan yang dilarang
tadi lebih dahulu telah mengetahui pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu
dilakukan. Dengan demikian dalam batinnya, dalam psychenya, lalu diadakan rem atau tekanan utuk
tidak berbuat. Dan kalau toh dia melakukan perbuatan tadi, maka hal dijatuhi pidana kepadanya itu bisa
dipandang sebagai sudah disetujuinya sendiri. Jadi pendirian Von Feuerbach mengenai pidana ialah
pendirian yang tergolong absolut (mutlak). Sama halnya dengan teori pembalasan (retribution).
2. Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana :
1) Teori Relatif atau tujuan ( doeltheorien )
Teori ini mencari mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya,
yaitu untuk mencegah terjadinya kejahatan.Pidana ini biasanya membuat seseorang takut, memperbaiki
atau membinasakan. Bentuk tertua pencegahan umum dipraktekkan sampai revolusi Prancis, biasanya
dilakukan dengan menakuti orang lain dengan jalan pelaksanaan pidana yang dipertontonkanan, kadangkadang pelaksanaan pidana yang telah diputu kan itu dipertontonkan didepan umum dengan sangat
ganasnya agar supaya anggota masyarakat ngeri melihatnya yang akhirnya muncul sebutan adogium latin
( neon prudens punit,quia peccantum, sed net peccetur ) supaya kalayak ramai betul-betul takut
melakukan kejahatan, maka perlu pidana yang ganas dan pelaksanaannya didepan umum.
2) Teori Absolut atau teori pembalasan ( vergeldingstheorien )
Teori ini muncul pada akhir abad ke 18 dianut antara lain oleh imanuel kant, Hegel, Herbart, para sarjana
yang mendasarkan teorinya pada filsafat katolik dan para sarjana hukum islam yang mendasarkan
teorinya pada ajaran Al-quran. Teori absolut mengatakan bahwa pidana tidak lah bertujuan untuk yang
praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur – unsur untuk
dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada karena dilakukan suatu kejahatan. Tidak perlu memikirkan
manfaat menjatuhkan pidana itu karena setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana pada
pelanggaran.
Oleh karena itu teori ini disebut teori absolut karena pidana merupakan tuntutan mutlak bukan hanya
sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan, hakikat suatu pidana adalah pembalasan.
3. Teori gabungan ( verenigingsthrorien)
Teori gabungan antara pembalasan dan pencegahan beragam pula, ada yang menitik beratkan pada
pembalasan, ada pula yang ingin agar unsur pembalasan dan prefensi seimbang
a.
Menitik beratkan pada unsur pembalasan dianut antara lain oleh Pompe,
Pompe mengatakan orang tidak boleh menutup mata pada pembalasan. Memang pidana dapat
dibedakan dengan saksi-saksi lain tetapi tetap ada cirri-cirinya, tetap tidak dapat dikecilkan artinya bahwa
pidana adalah suatu saksi dan dengan demikian terikat dengan tujuan saksi-saksi itu. Dan karena itu
hanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi kepentingan
umum.
Van Bemmelan pun menganut teori gabungan dengan mengatakan : pidana bertujuan membalas
kesalahan dan mengamankan masyarakat, tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan jadi
pidana dan tindakan keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam
kehidupan masyarakat. ( diterjemahkan dari kutipan Oemar Seno Adji-1980).
Grotius mengembangkan teori gabungan yang menitik beratkan keadilan mutlak yang diwujudkan
dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarakat. Dasar tiap- tiap pidana ialah penderitaan yang
beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana,Tetapi sampai batas mana
beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa
yang berguna bagi masyarakat.
Teori yang dikemukikan oleh Grotius dilanjutkan oleh Rossi dan kemudian Zevenbergen yang
mengatakan bahwa makna tiap-tiap pidana ialah pembalasan tetapi maksud tiap-tiap pidana ialah
melindungi tata hukum. Pidana mengembalikan hormat terhadap hukum dan pemerintah.
b. Teori gabungan yaitu yang menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat.
Teori ini tidak boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya. Dan gunanya juga tidak boleh lebih
besar dari pada yang seharusnya.Pidana bersifat pembalasan karena ia hanya dijatuhkan terhadap delik –
delik, yaitu perbuatan yang dilakukan secara sukarela. Pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan
tujuan. Tujuan pidana adalah melindungi kesejahteraan masyarakat.
Dalam rancangan KUHP nasional telah diatur tentang tujuan penjatuhan pidana yaitu :
1)
mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hokum demi pengayoman
masyarakat.
2)
mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik
dan berguna.
3)
menyelesaikan konflik yang ditimbulkan olah tindakan pidana memulihkan keseimbangan dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
4) membebaskan rasa bersalah pada terpidana ( pasal 5 ).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang tercantum dalam rancangan KUHP tersebut
merupakan penjabaran teori gabungan dalam arti yang luas. Ia meliputi usaha prefensi, koreksi kedamaian
dalam masyarkat dan pembebasan rasa bersalah pada terpidana ( mirip dengan expiation ).
3. azas hukum penghapusan hukuman, meringankan dan pemberatan hukuman dalam beberapa
pasal di Buku 1 KUHP.
Penghapusan Hukuman :
Alasan penghapus pidana yang termasuk alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP adalah :
Keadaan darurat, diatur dala Pasal 48 KUHP;
Seseorang dikatakan berada dalam keadaan darurat (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, 2007 : 60)
“apabila seseorang dihadapkan pada suatu dilema untuk memilih antara melakukan delik atau merusak
kepentingan yang lebih besar”.
Dalam keadaan darurat pelaku suatu tindak pidana terdorong oleh suatu paksaan dari luar, paksaan
tersebut yang menyebabkan pelaku dihadapkan pada tiga keadaan darurat, yaitu Perbenturan antara dua
kepentingan hukum. Dalam hal ini pelaku harus melakukan suatu perbuatan untuk melindungi
kepentingan hukum tertentu, namun pada saat yang sama melanggar kepentingan hukum yang lain, begitu
pula sebaliknya Perbenturan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum. Dalam hal ini pelaku
dihadapkan pada keadaan apakah harus melindungi kepentingan hukum atau melaksanakan kewajiban
hukum Perbenturan antara kewajiban hukum dan kewajiban hukum. Dalam hal ini pelaku harus
melakukan kewajiban hukum tertentu, namun pada saat yang sama dia tidak melakukan kewajiban hukum
yang lain, begitu pula sebaliknya.
Dalam keadaan darurat tersebut di atas, tindak pidana yang dilakukan hanya dibenarkan jika (J.E.
Sahetapy dan Agustinus Pohan, 2007 : 61) ;
tidak ada jalan lain;
kepentingan yang dilindungi secara objektif bernilai lebih tinggi dari pada kepentingan yang dikorbankan.
2. Pembelaan terpaksa, diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP;
Menurut Pasal 49 ayat (1) disyaratkan hal-hal yang bisa dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa (J.E.
Sahetapy dan Agustinus Pohan, 2007 : 55), yaitu :
Ada serangan mendadak atau seketika itu terhadap raga, kehormatan, kesusilaan atau harta benda;
Serangan itu bersifat melawan hukum;
Pembelaan merupakan keharusan;
Cara pembelaan adalah patut.
3. Melaksanakan ketentuan undang-undang, diatur dalam Pasal 50 KUHP;
Dalam hal ini, terdapat hal dimana ada perbenturan antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum
lainnya, artinya bahwa untuk melakukan kewajiban hukumnya, seseorang harus melanggar kewajiban
hukum lainnya. Dalam melaksanakan ketentuan UU tersebut, kewajiban yang terbesar yang harus
diutamakan.
4. Menjalankan perintah jabatan yang sah, diatur dalam Pasal 51 KUHP.
2. Jenis-Jenis Alasan Pemaaf
Alasan penghapus pidana yang termasuk alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP adalah :
Tidak mampu bertanggungjawab, diatur dalam Pasal 44 KUHP;
Dalam Pasal 44 KUHP, membedakan pertanggungjawaban dalam dua kategori yaitu cacat dalam
pertumbuhan dan gangguan penyakit kejiwaan.
Yang dimaksud gangguan adalah gangguan sejak lahir atau sejak remaja tumbuh dengan normal namun
dikemudian hari muncul kelainan jiwa.
Pada dasarnya cacat atau gangguan penyakit muncul pada saat perbuatan atau tindak pidana, dan ketika
perbuatan itu dilakukan ada hubungan antara gangguan jiwanya dengan perbuatannya
2. Daya paksa, diatur dalam Pasal 48 KUHP;
Dalam memori penjelasan Pasal 48 KUHP (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, 2007 : 61), daya paksa
adalah “setiap daya, setiap dorongan, atau setiap paksaan yang tidak dapat dilawan”.
Contoh : sebuah kapal tenggelam, ada dua penumpang yang berpegang pada papan yang sama, dimana
papan tersebut hanya kuat menahan 1 orang. Karena takut akan mati tenggelam, maka salah seorang
mendorong yang lainnya.
Titik tolak dari daya paksa adalah adanya keadaan-keadaan yang eksepsional yang secara mendadak
menyerang pembuat atau pelaku, bukan ketegangan psikis, melainkan keharusan melakukan perbuatan
pidana untuk mencapai tujuan yang adil.
Dalam daya paksa ini, ada perbenturan antara kepentigan hukum satu dengan kepentingan hukum lain,
dimana kepentingan yang dilindungi harus mempunyai nilai kebih tinggi daripada kepentingan hukum
yang diabaikan.
3. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP.
Dalam pembelaan terpaksa, ada dua hal yang harus diperhatikan (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan,
2007 : 59). Yaitu :
Harus ada situasi pembelaan terpaksa, yang berarti suatu situasi dimana pembelaan raga, kehormatan
kesusilaan, atau harta benda terhadap serangan seketika bersifat melawan hukum menjadi keharusan.
Kalau orang dapat menghindarkan diri dari serangan, pembelaan tidak menjadi keharusan sehingga
bantahan atas dasar pembelaan terpaksa, harus ditolak. Demikian juga bantahan tidak akan berhasil.
Bantahan tersebut hanya berhasil kalau pembelanya sendiri merupakan keharusan.
Pelampauan batas dari keharusan pembelaan, harus merupakan akibat langsung dari kegoncangan jiwa
yang hebat, yang pada gilirannya disebabkan oleh serangan. “kegoncangan jiwa yang hebat” dapat
mencakup berbagai jenis emosi, yaitu takut, marah, dan panik. Kebencian yang sudah ada terlebih dahulu
yang tidak disebabkan oleh serangan, tidak dapat dipakai untuk memaafkan. Selain itu, juga kalau
kegoncangan jiwa yang hebat itu tidak disebabkan oleh serangan, tetapi karena pengaruh alkohol atau
narkoba.
4. azas hukum pidana dalam buku 1 KUHP tentang gugurnya hak Negara melakukan penuntutan.
Dalam hubungannya dengan hapusnya hak penuntutan pidana, bahwa
KUHP memuat 4 (empat) hal yang menyebabkan negara kehilangan hak
untuk menuntut pidana terhadap si pembuat tindak pidana, yaitu:
1. Sebab perbuatan yang telah diputus oleh pengadilan dengan putusan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 76);
2. Sebab meninggalnya si pembuat (pasal 77);
3. Sebab telah lampau waktu atau kadaluwarsa (pasal 78-80);
4. Penyelesaian di luar pengadilan, yaitu dengan dibayarnya denda
maksimum dan biaya-biaya bila penuntutan telah dimulai (pasal 82: bagi
pelanggaran yang hanya diancam pidana denda).