BAB I PENDAHULUAN 1.1 - Analisis Peran Pengawas Minum Obat (PMO) Terhadap Kesembuhan Tuberculosis Paru di Puskesmas Medan Area Selatan Kecamatan Medan Area Tahun 2014

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Pembangunan kesehatan merupakan bagian utama dari misi pemerintah mengenai peningkatan kesejahteraan rakyat serta pembangunan kesehatan yang berkeadilan. Hal ini tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Dalam RPJMN tersebut, salah satu misi pemerintah adalah melanjutkan pembangunan menuju Indonesia yang sehat (Kemenkes RI, 2011).

  Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2025 adalah meningkatnya kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Hal ini dicapai melalui terciptanya masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan perilaku dan lingkungan yang sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah Republik Indonesia (Depkes RI, 2009).

  Untuk mencapai tujuan tersebut, sesuai arah dan kebijakan pembangunan nasional bidang kesehatan, ditetapkan upaya kesehatan masyarakat dengan pendekatan paradigma sehat dengan prioritas pada upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Salah satu tujuan khusus dari

  1 program upaya kesehatan adalah mencegah terjadinya dan tersebarnya penyakit menular sehingga tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat, dan menurunnya angka kematian dan angka kecacatan. Untuk itu disusun pokok-pokok program pembangunan kesehatan antara lain mencakup program Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) (Depkes RI, 2009).

  Salah satu penyakit menular yang sampai saat ini masih tinggi kasusnya di masyarakat dan menjadi perhatian global adalah Tuberkulosis (TB). TB berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi bahkan mengancam keselamatan jiwa manusia. TB merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium

  . Kuman TB tidak hanya menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai

  tuberculosis

  organ tubuh lainnya. Sekitar 75% penderita TB adalah kelompok usia kerja produktif (15-49 tahun), kebanyakan dari kelompok sosial ekonomi dan berpendidikan rendah.

  Diperkirakan seorang penderita TB dewasa akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal ini berakibat kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk secara sosial yaitu dikucilkan oleh masyarakat (Depkes RI, 2008).

  Secara global, TB masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di dunia, terutama di negara-negara berkembang. Sejak tahun 1993, WHO menyatakan bahwa TB merupakan kedaruratan global bagi kemanusiaan. Hal ini dapat dilihat dari beban penyakit TB di masyarakat sangat tinggi. Dengan berbagai kemajuan yang dicapai sejak tahun 2003, diperkirakan masih terdapat sekitar 9,5 juta kasus baru TB, dan sekitar 0,5 juta orang meninggal akibat TB di seluruh dunia. Jumlah kasus baru penyakit TB pada tahun 2010 tercatat 8,8 juta kasus dan jumlah kematian karena TB yaitu 1,4 juta jiwa (Kemenkes RI, 2011).

  Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Berdasarkan data WHO pada Tahun 2007, jumlah penderita TB di Indonesia sekitar 528.000 orang atau berada di posisi tiga di dunia setelah India dan Cina. Sedangkan pada tahun 2009, jumlah penderita TB di Indonesia sebesar 430.000 orang. Pada tahun 2011, Indonesia menempati urutan keempat terbesar di dunia sebagai penyumbang penderita TB setelah negara India, Cina dan Afrika Selatan (Kemenkes RI, 2012).

  Tingkat resiko untuk terserang penyakit TB Paru di Indonesia berkisar antara 1,7% sampai 4,4%. Penyakit TB Paru merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan pada semua kelompok usia dan nomor satu dari penyakit golongan penyakit infeksi. Secara nasional, TB Paru membunuh kira-kira 100.000 orang tiap tahun, setiap hari 300 orang meninggal akibat penyakit TB Paru di Indonesia (Depkes RI, 2009).

  Mengacu pada kondisi tersebut, maka diperlukan adanya program penanggulangan TB Paru. Sejak tahun 1995, program Pemberantasan TB Paru telah dilaksanakan dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang direkomendasikan oleh WHO. Kemudian berkembang seiring dengan pembentukan Gerakan Terpadu Nasional (GERDUNAS) TB yang dicanangkan pemerintah pada tanggal 24 maret 1999, maka pemberantasan penyakit TB telah berubah menjadi program penanggulangan TB Paru. Ada lima komponen dalam strategi DOTS yaitu: 1. Komitmen politis dari pemerintah untuk menjalankan progam TB nasional.

  2. Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis.

  3. Pengobatan TB Paru dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang diawasi langsung oleh Pengawas Minum Obat (PMO).

  4. Kesinambungan persediaan OAT.

  5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Paru (Depkes RI, 2002).

  Penanggulangan TB dilaksanakan oleh seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK), meliputi Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah dan swasta, Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4), dan Praktek Dokter Swasta dengan melibatkan peran serta masyarakat secara paripurna dan terpadu. Penanggulangan TB Paru dengan strategi DOTS diharapkan dapat memberikan angka kesembuhan sesuai target global yang telah ditetapkan oleh WHO dengan angka kesembuhan sebesar 85%. Angka kesembuhan menunjukkan persentasi pasien TB Paru BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan diantara pasien TB Paru BTA positif yang tercatat (Depkes RI, 2007).

  Untuk mencapai kesembuhan diperlukan keteraturan atau kepatuhan berobat bagi setiap penderita. Paduan obat anti tuberkulosis jangka pendek dan penerapan pengawasan minum obat merupakan strategi untuk menjamin kesembuhan penderita, walaupun obat yang digunakan baik tetapi bila penderita tidak berobat dengan teratur maka umumnya hasil pengobatan akan mengecewakan. Kenyataan lain bahwa penyakit TB Paru sulit untuk disembuhkan karena obat yang diberikan harus beberapa macam sekaligus serta pengobatannya memakan waktu lama, setidaknya 6 bulan sehingga menyebabkan penderita banyak yang putus berobat. Penyebabnya adalah kurangnya perhatian pada tuberkulosis dari berbagai pihak terkait, akibatnya program penanggulangan TB di berbagai tempat menjadi sangat lemah (Dinkes Sumut, 2010).

  Pengobatan TB membutuhkan peran dan kinerja yang baik dari tenaga kesehatan untuk mencapai angka kesembuhan. Oleh karena itu, pencapaian angka kesembuhan sebesar 85% menunjukkan kinerja yang baik dari Petugas P2TB (Kemenkes RI, 2012). Kinerja petugas TB dalam melakukan pengobatan TB Paru tidak terlepas dari faktor yang berhubungan dengan kinerja petugas itu sendiri.

  Menurut teori kinerja yang dikemukakan oleh Gibson bahwa tiga faktor yang memengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu yaitu faktor individu (pengetahuan), faktor organisasi (kompensasi), dan faktor psikologis (sikap dan motivasi) (Gari, 2009).

  Selain itu, kegagalan pengobatan dan kurang kedisiplinan bagi penderita TB Paru juga sangat dipengaruhi oleh peran Pengawas Minum Obat (PMO). PMO sangat penting untuk mendampingi penderita agar dicapai hasil pengobatan yang optimal.

  Kolaborasi petugas kesehatan dengan keluarga yang ditunjuk untuk mendampingi ketika penderita minum obat, juga faktor yang perlu dievaluasi untuk menentukan tingkat keberhasilan pengobatan (Depkes RI, 2008).

  Rendahnya cakupan angka kesembuhan berdampak negatif pada kesehatan masyarakat dan keberhasilan pencapaian program karena masih memberi peluang terjadinya penularan penyakit TB Paru kepada anggota keluarga dan masyarakat sekitarnya. Selain itu hal ini memungkinkan terjadinya resistensi kuman TB Paru terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT), sehingga menambah penyebarluasan penyakit TB Paru, meningkatkan kesakitan dan kematian akibat TB Paru (Anggraeni, 2011) .

  Penelitian yang dilakukan oleh Wahab (2002), menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan penanggulangan TB Paru di Puskesmas Helvetia adalah sikap pasien, sikap petugas, tipe pengobatan dan penghasilan. Penelitian Simamora (2004), menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap ketidakteraturan berobat penderita TB Paru adalah pengetahuan penderita tentang pengobatan TB Paru, ada tidaknya PMO, efek samping obat, perilaku petugas kesehatan, persepsi pasien terhadap penyuluhan kesehatan dan jarak antara rumah dengan fasilitas pelayanan kesehatan.

  Menurut Nukman (Permatasari, 2005), faktor yang memengaruhi keberhasilan TB Paru adalah: a) faktor sarana yang meliputi tersedianya obat yang cukup dan kontiniu, edukasi petugas kesehatan, dan pemberian obat yang adekuat, b) faktor penderita yang meliputi pengetahuan, kesadaran dan tekad untuk sembuh, dan kebersihan diri, c) faktor keluarga dan lingkungan masyarakat.

  Penelitian Amiruddin (2006) menunjukkan bahwa terdapat 3 variabel yang memengaruhi terjadinya kesembuhan dalam pengobatan penderita TB Paru di Kota Ambon yaitu Pengawas Minum Obat (PMO), kepatuhan berobat penderitaTB Paru dan efek samping obat. Penelitian Akhmadi (2012) menunjukkan bahwa faktor yang dominan dalam pencapaian angka kesembuhan TB paru yaitu kinerja petugas TB dinilai dari pengetahuan, motivasi, sikap, dan kompensasi.

  Dalam lima tahun terakhir, jumlah kasus TB Paru BTA positif di Sumatera Utara menunjukkan angka yang tidak stabil. Pada tahun 2005-2006 kasus TB Paru mengalami peningkatan dari 13.401 kasus menjadi 16.678 kasus, namun tahun 2007 mengalami penurunan dengan jumlah 13.369 kasus. Jumlah kasus TB Paru naik menjadi 14.158 kasus pada tahun 2008 dan mengalami peningkatan lagi menjadi 17.026 kasus pada tahun 2009 (Dinkes Sumut, 2010).

  Kasus TB Paru di Kota Medan Tahun 2012 secara klinis terjadi peningkatan dari Tahun 2011. TB Paru klinis pada Tahun 2011 yaitu sebesar 11.179 penderita sedangkan pada Tahun 2012 sebesar 21.079 penderita. Selain itu, dari 39 puskesmas yang ada di kota Medan terdapat 1.516 penderita TB Paru BTA positif. Dari 1.516 penderita TB Paru BTA positif sebanyak 790 penderita (52,11%) telah dinyatakan sembuh (Dinkes Kota Medan, 2012).

  Dari data Dinas Kesehatan Kota Medan tahun 2013, terdapat 8 Puskesmas yang mengalami kesembuhan di bawah 85% dari 39 Puskesmas yang ada di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Medan. Kedelapan puskesmas tersebut diantaranya Puskesmas Medan Area Selatan dengan angka kesembuhan 68%, Puskesmas Bromo dengan angka kesembuhan 84%, Puskesmas Tegal Sari dengan angka kesembuhan 79%, Puskesmas Medan Denai dengan angka kesembuhan 79%, Puskesmas Petisah dengan angka kesembuhan 77%, Puskesmas Simalingkar dengan angka kesembuhan 83%, Puskesmas Desa Lalang dengan angka kesembuhan 70%, dan Puskesmas Sunggal dengan angka kesembuhan 74%.

  Adapun jumlah penderita TB Paru per Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) di Kota Medan Tahun 2013 dapat dilihat pada tabel 1.1

Tabel 1.1 Jumlah Penderita TB Paru per Wilayah Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) di Kota Medan Tahun 2013

  No. Puskesmas BTA (+) Diobati Kesembuhan %

  1. Pasar Merah

  43 43 100

  2. Suka Rame

  37

  36

  97

  3. Kota Matsum

  20

  17

  85

4. Medan Area Selatan

  15

  83

  28

  23. Polonia

  89

  8

  9

  22. Tuntungan

  34

  96

  41

  21. Simalingkar

  72 72 100

  20. Padang Bulan Selayang

  96

  54

  56

  27

  24. Medan Johor

  28 28 100

  35

  5 5 100

  28. Medan Labuhan

  91

  30

  33

  27. Pekan Labuhan

  97

  36

  80

  26. Kedai Durian

  96

  50

  52

  25. Kampung Baru

  95

  76

  19. Padang Bulan

  18. Rantang

  68

  7. Teladan 143 143 100

  27

  28

  9. Amplas

  98

  42

  43

  8. Simpang Limun

  79

  10. Desa Binjai

  22

  28

  6. Tegal Sari

  84

  21

  25

  5. Bromo

  96

  26 26 100

  32 32 100

  53 53 100

  17. Sei Agul

  77

  10

  13

  16. Petisah

  22

  15. Darussalam

  14. Mandala

  11. Sentosa Baru

  79

  37

  47

  13. Medan Denai

  65 65 100

  12. Sering

  66 66 100

  30 30 100

  29. Desa Terjun

  31 31 100

  70

  35. Sunggal

  34

  25

  74

  36. Glugur Darat

  37. P. Brayan Kota

  33

  1

  38. Glugur Kota

  1

  39. Belawan 113 110

  97 Sumber: PMK Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2013 Data di atas menunjukkan bahwa angka kesembuhan penderita TB Paru terendah terdapat di Puskesmas Medan Area Selatan. Jumlah penderita TB Paru BTA positif yang diobati di Puskesmas tersebut pada tahun 2013 sebanyak 22 penderita. Dari 22 penderita, jumlah penderita yang dinyatakan sembuh hanya 15 penderita (68%). Hal ini menunjukkan angka kesembuhan penderita TB Paru belum mencapai target yang ditetapkan yaitu angka kesembuhan minimal 85%.

  Berdasarkan survei pendahuluan peneliti, dari pernyataan beberapa penderita TB Paru di Puskesmas Medan Area Selatan dapat diketahui bahwa kurangnya motivasi penderita TB Paru baik motivasi yang berasal dari individu itu sendiri maupun dar luar dirinya. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya motivasi dan pengawasan dari PMO sehingga penderita TB tidak tuntas dalam pengobatannya.

  23

  34. Desa Lalang

  64

  31. Titi Papan

  62

  97

  30. Medan Deli

  82

  81

  99

  22

  90

  21

  95

  32. Martubung

  45 45 100

  33. Helvetia

  90

  88

  Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai analisis peran PMO terhadap kesembuhan TB Paru di Puskemas Medan Area Selatan, Kecamatan Medan Area Tahun 2014.

  1.2 Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian yaitu bagaimana peran PMO terhadap kesembuhan TB Paru di Puskesmas Medan Area Selatan, Kecamatan Medan Area, Tahun 2014.

  1.3 Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian adalah untuk menjelaskan seberapa besar peran PMO terhadap kesembuhan TB paru di Puskemas Medan Area Selatan, Kecamatan Medan Area Tahun 2014.

  1.4 Manfaat Penelitian

  Manfaat dari penelitian ini adalah:

  1. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi Dinas Kesehatan Kota Medan mengenai penanggulangan TB Paru.

  2. Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Medan Area Selatan dalam melaksanakan program penanggulangan TB Paru dan meningkatkan pelayanan kesehatan kepada penderita TB Paru.

  3. Sebagai bahan informasi dan pengembangan wawasan keilmuan bagi peneliti lain khususnya mengenai penanggulangan TB Paru.

  4. Sebagai tambahan informasi dalam pengembangan kajian dan ilmu di bidang Administrasidan Kebijakan Kesehatan.