Analisis Peran Pengawas Minum Obat (PMO) Terhadap Kesembuhan Tuberculosis Paru di Puskesmas Medan Area Selatan Kecamatan Medan Area Tahun 2014

(1)

SKRIPSI

OLEH:

MAGDA UFIK SITORUS NIM. 101000015

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

ii

ANALISIS PERAN PENGAWAS MINUM OBAT (PMO) TERHADAP KESEMBUHAN TUBERCULOSIS PARU

DI PUSKESMAS MEDAN AREA SELATAN KECAMATAN MEDAN AREA

TAHUN 2014

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH:

MAGDA UFIK SITORUS NIM. 101000015

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(3)

(4)

ii ABSTRAK

Kesembuhan Tuberculosis adalah kondisi individu yang telah menunjukkan peningkatan kesehatan dari penyakit Tuberculosis Paru dengan menyelesaikan pengobatan secara lengkap serta pemeriksaan ulang dahak pada akhir pengobatan yang hasilnya negatif. Puskesmas Medan Area Selatan merupakan puskesmas yang memiliki angka kesembuhan Tuberculosis Paru terendah di Kota Medan pada tahun 2013 dengan penderita BTA positif sebanyak 22 orang dan yang sembuh sebanyak 15 orang (68%). Hal ini berarti angka kesembuhan di Puskesmas Medan Area Selatan belum mencapai target yang ditetapkan yaitu minimal 85%.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata tertulis dan lisan dari orang-orang yang akan diamati untuk menganalisis peran Pengawas Minum Obat (PMO) terhadap kesembuhan Tuberculosis Paru di Puskesmas Medan Area Selatan, Kecamatan Medan Area, Tahun 2014. Informan dalam penelitian ini berjumlah 10 orang, yang terdiri dari 1 informan kepala Puskesmas, 1 informan petugas Tb Paru puskesmas, 4 informan penderita Tb Paru, dan 4 informan pengawas minum obat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran pengawas minum obat yang dilakukan masih kurang baik, ditandai dengan kurangnya komunikasi antara pengawas minum obat dengan penderita Tuberculosis Paru dalam mengawasi dan mengingatkan minum obat.

Berdasarkan hasil penelitian, diharapkan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan agar lebih meningkatkan pengawasan terhadap Puskesmas terkait penanggulangan Tuberculosis Paru. Kepada Puskesmas Medan Area Selatan agar meningkatkan pemantauan dan penyuluhan kepada pengawas minum obat agar lebih memahami tugas dan fungsinya, serta penyuluhan kepada penderita supaya lebih paham tentang penyakit yang dideritanya dan bertanggungjawab atas kesembuhannya.

Kata Kunci: Peran PMO, Kesembuhan Tuberculosis


(5)

Field South Area Community Health Center is a health center that has a cure rate of Tuberculosis lowest of 39 health centers in the city of Medan in 2013 with the sheer number of smear positive Tuberculosis patients as many as 22 people and as many as 15 people were cured (68%). This means that the cure rate in the Southern Area Health Center field has not reached the set target is at least 85%.

This research was a qualitative research that produces descriptive data in the form of written and spoken words of the people who will be observed to analyze the role of the drugs swallowing control (PMO) to cure pulmonary Tuberculosis in Southern Area Health Center Medan, Medan District Area, in 2014. Informants in this study amounted to 10 informants, consisting of 1 head of Health Centre, 1 Tuberculosis officer of Health Centre, 4 patients with pulmonary Tuberculosis, and 4 informant from drugs swallowing control.

The results showed that the role of the drugs swallowing control is done is still not good, characterized by a lack of communication between the drugs swallowing control with pulmonary Tuberculosis patients in supervising and reminded to take medication.

Based on the results of the study, expected to Medan City Health Department in order to further improve the supervision of the health center treatment-related pulmonary Tuberculosis. The Southern Area Health Center field in order to improve monitoring, and counseling to drugs swallowing control in order to better understand their duties and functions, as well as counseling to the patient so that the patient is more aware about her illness and responsible for his recovery.


(6)

iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Magda Ufik Sitorus

Tempat/ Tanggal Lahir : Bandar Pasir Mandoge/ 27 Maret 1992 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Anak ke : 3 dari 3 bersaudara Status Perkawinan : Belum Menikah

Alamat Rumah : Bandar Pasir Mandoge, Kabupaten Asahan Riwayat Pendidikan : 1. Tahun 1997-1998 : TK Hidayatul Islam

2. Tahun 1998-2004 : SDN 010113 Bandar Pasir Mandoge

3. Tahun 2004-2007 : MTs. Hidayatul Islam PTPN IV Pasir Mandoge

4. Tahun 2007-2010 : SMA Diponegoro Kisaran 5. Tahun 2010-2014 : Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara


(7)

karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Peran Pengawas Minum Obat (PMO) Terhadap Kesembuhan Tuberculosis Paru di Puskesmas Medan Area Selatan Kecamatan Medan Area Tahun 2014, guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Selama penyusunan skripsi mulai dari awal hingga akhir selesainya skripsi ini penulis banyak mendapat bimbingan, dukungan, serta bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Drs. Surya Utama, M.S., selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Heldy BZ, MPH, selaku Ketua Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. dr. Rusmalawaty, M.Kes, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak membimbing dan meluangkan waktu, memberikan saran, dukungan, nasihat, serta arahan dalam penyelesaian skripsi ini.

4. dr. Fauzi, SKM, selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah banyak meluangkan waktu, memberikan bimbingan, pengarahan, dukungan, serta arahan kepada penulis untuk kesempurnaan skripsi ini.


(8)

vi

5. Siti Khadijah Nasution, SKM, M.Kes, selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan serta saran-saran kepada penulis dalam perbaikan skripsi ini.

6. Asfriyati, SKM, M.Kes, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan dukungan dan bimbingan selama penulis menjalani pendidikan.. 7. Seluruh dosen dan staf di FKM USU khususnya Departemen AKK yang telah

memberikan ilmu dan membantu penulis selama penulis menjadi mahasiswa di FKM USU.

8. Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian.

9. Kepala Puskesmas Medan Area Selatan dan seluruh staf khususnya penanggungjawab Tb Paru yang telah membantu penelitian penulis.

10. Teristimewa untuk kedua orang tua saya, M. Haidir Sitorus dan Rokinim Br. Silalahi yang senantiasa memberikan do‟a, kasih sayang dan dukungan kepada penulis, serta abang saya Agus Tami Sitorus yang selalu mengingatkan dan memberikan motivasi kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini.

11. Terima kasih untuk sahabat saya yang terhimpun dalam Keluarga Barokah yaitu Siti, Eci, Inur, Cya, Mutia, dan Anggia yang telah menjadi teman terbaik sekaligus keluarga kedua saya dari awal saya berada di FKM USU.

12. Keluarga besar HMI Komisariat FKM USU yang telah menjadi wadah bagi saya untuk berproses lebih dalam belajar.

13. Teman-teman seperjuangan di Departemen AKK yaitu Riri, Anif, Asel, Arnis, Nancy, Anggi, Martines, Siti, Reni, Ayu, Vanny, Tasya, Okta, Era, dan Sukaria.


(9)

yang telah penulis terima selama ini. Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya keluarga besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Medan, Juli 2014


(10)

viii DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Persetujuan ... i

Abstrak ... ii

Abstract ... iii

Daftar Riwayat Hidup ... iv

Kata Pengantar... v

Daftar Isi ... viii

Daftar Tabel ... xi

Daftar Gambar ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Puskesmas ... 11

2.1.1 Pengertian ... 11

2.1.2 Visi dan Misi Puskesmas ... 11

2.1.3 Tujuan dan Fungsi Puskesmas ... 12

2.1.4 Manajemen Puskesmas ... 12

2.1.5 Program Pokok Puskesmas ... 14

2.2 Tuberculosis Paru (TB Paru) ... 14

2.2.1 Pengertian ... 14

2.2.2 Gejala TB ... 15

2.2.3 Klasifikasi TB ... 16

2.2.4 Tipe Penderita TB Paru ... 18

2.2.5 Manfaat Menentukan Klasifikasi dan Tipe Penderita TB Paru ... 19

2.2.6 Penyebaran dan Cara Penularan TB Paru ... 19

2.2.7 Resiko Penularan TB Paru ... 20

2.3 Program Penanggulangan TB ... 21

2.3.1 Program Nasional Penanggulangan TB Indonesia ... 21

2.3.2 Strategi Penemuan Penderita TB ... 22

2.3.3 Identifikasi Suspek TB ... 23

2.3.4 Pemeriksaan Dahak ... 24

2.3.5 Strategi DOTS (Directly Observed Treatments Shortcourse) ... 25


(11)

2.5 Konsep Determinan Perilaku ... 34

2.6 Pengawas Minum Obat (PMO) ... 35

2.6.1 Persyaratan PMO ... 35

2.6.2 Tugas PMO ... 36

2.6.3 Petugas PMO ... 36

2.7 Kesembuhan TB Paru ... 37

2.8 Fokus Penelitian ... 41

BAB III METODE PENELITIAN... 43

3.1 Jenis Penelitian ... 43

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 43

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 43

3.2.2 Waktu Penelitian ... 43

3.3 Informan Penelitian ... 44

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 44

3.5 Triangulasi ... 45

3.6 Teknik Analisis Data ... 45

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 46

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 46

4.2 Karakteristik Informan ... 48

4.3 Hasil Wawancara Kepada Informan ... 49

BAB V PEMBAHASAN ... 67

5.1 Mengawasi Penderita Setiap kali Menelan Obat ... 68

5.2 Mendorong Penderita Agar Berobat Teratur ... 71

5.3 Mengingatkan Penderita Untuk Periksa Ulang Dahak ... 73

5.4 Memberi Penyuluhan Kepada Penderita Tentang Penyakit TB Paru ... 74

5.5 Kepatuhan Minum Obat ... 76

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 82

6.1 Kesimpulan ... 82


(12)

x DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Pedoman Wawancara

Surat Izin Penelitian dari FKM USU

Surat Izin Penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Medan Surat Keterangan Telah Selesai Melakukan Penelitian


(13)

Tabel 1.1 : Jumlah Penderita TB Paru per Wiayah Unit Pelayanan Kesehatan

(UPK) di Kota Medan Tahun 2013 ... 8

Tabel 4.1 : Jumlah Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Area Selatan Tahun 2013 ... 46

Tabel 4.2 : Data Sarana Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Area Selatan Tahun 2013 ... 47

Tabel 4.3 : Data Tenaga Kesehatan di Puskesmas Medan Area Selatan Tahun 2013 ... 47

Tabel 4.4 : Karakteristik Informan ... 48

Tabel 4.5 : Matriks Pernyataan Informan tentang Kondisi Kasus TB dan Kesembuhannya di Puskesmas Medan Area Selatan Tahun 2013 ... 49

Tabel 4.6 : Matriks Pernyataan Informan tentang Pengertian dan Penyebab TB Paru ... 50

Tabel 4.7 : Matriks Pernyataan Informan tentang Tanda-tanda TB Paru ... 51

Tabel 4.8 : Matriks Pernyataan Informan tentang Penularan TB Paru ... 52

Tabel 4.9 : Matriks Pernyataan Informan tentang Pemeriksaan TB Paru ... 53

Tabel 4.10 : Matriks Pernyataan Informan tentang Lama Menjalani Pengobatan ... 54

Tabel 4.11 : Matriks Pernyataan Informan tentang Ketersediaan dan Jenis Obat TB Paru ... 56

Tabel 4.12 : Matriks Pernyataan Informan tentang Penjelasan Minum Obat oleh Petugas ... 57

Tabel 4.13 : Matriks Pernyataan Informan tentang Efek Samping Obat ... 58

Tabel 4.14 : Matriks Pernyataan Informan tentang Keteraturan Minum Obat ... 59


(14)

xii

Tabel 4.16 : Matriks Pernyataan Informan tentang Kriteria PMO ... 61

Tabel 4.17 : Matriks Pernyataan Informan tentang Pernyataan Tertulis PMO ... 62

Tabel 4.18 : Matriks Pernyataan Informan tentang Penyuluhan Oleh Petugas ... 63

Tabel 4.19 : Matriks Pernyataan Informan tentang Tugas dan Fungsi PMO ... 64

Tabel 4.20 : Matriks Pernyataan Informan tentang Kegiatan PMO ... 65


(15)

(16)

ii ABSTRAK

Kesembuhan Tuberculosis adalah kondisi individu yang telah menunjukkan peningkatan kesehatan dari penyakit Tuberculosis Paru dengan menyelesaikan pengobatan secara lengkap serta pemeriksaan ulang dahak pada akhir pengobatan yang hasilnya negatif. Puskesmas Medan Area Selatan merupakan puskesmas yang memiliki angka kesembuhan Tuberculosis Paru terendah di Kota Medan pada tahun 2013 dengan penderita BTA positif sebanyak 22 orang dan yang sembuh sebanyak 15 orang (68%). Hal ini berarti angka kesembuhan di Puskesmas Medan Area Selatan belum mencapai target yang ditetapkan yaitu minimal 85%.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata tertulis dan lisan dari orang-orang yang akan diamati untuk menganalisis peran Pengawas Minum Obat (PMO) terhadap kesembuhan Tuberculosis Paru di Puskesmas Medan Area Selatan, Kecamatan Medan Area, Tahun 2014. Informan dalam penelitian ini berjumlah 10 orang, yang terdiri dari 1 informan kepala Puskesmas, 1 informan petugas Tb Paru puskesmas, 4 informan penderita Tb Paru, dan 4 informan pengawas minum obat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran pengawas minum obat yang dilakukan masih kurang baik, ditandai dengan kurangnya komunikasi antara pengawas minum obat dengan penderita Tuberculosis Paru dalam mengawasi dan mengingatkan minum obat.

Berdasarkan hasil penelitian, diharapkan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan agar lebih meningkatkan pengawasan terhadap Puskesmas terkait penanggulangan Tuberculosis Paru. Kepada Puskesmas Medan Area Selatan agar meningkatkan pemantauan dan penyuluhan kepada pengawas minum obat agar lebih memahami tugas dan fungsinya, serta penyuluhan kepada penderita supaya lebih paham tentang penyakit yang dideritanya dan bertanggungjawab atas kesembuhannya.

Kata Kunci: Peran PMO, Kesembuhan Tuberculosis


(17)

Field South Area Community Health Center is a health center that has a cure rate of Tuberculosis lowest of 39 health centers in the city of Medan in 2013 with the sheer number of smear positive Tuberculosis patients as many as 22 people and as many as 15 people were cured (68%). This means that the cure rate in the Southern Area Health Center field has not reached the set target is at least 85%.

This research was a qualitative research that produces descriptive data in the form of written and spoken words of the people who will be observed to analyze the role of the drugs swallowing control (PMO) to cure pulmonary Tuberculosis in Southern Area Health Center Medan, Medan District Area, in 2014. Informants in this study amounted to 10 informants, consisting of 1 head of Health Centre, 1 Tuberculosis officer of Health Centre, 4 patients with pulmonary Tuberculosis, and 4 informant from drugs swallowing control.

The results showed that the role of the drugs swallowing control is done is still not good, characterized by a lack of communication between the drugs swallowing control with pulmonary Tuberculosis patients in supervising and reminded to take medication.

Based on the results of the study, expected to Medan City Health Department in order to further improve the supervision of the health center treatment-related pulmonary Tuberculosis. The Southern Area Health Center field in order to improve monitoring, and counseling to drugs swallowing control in order to better understand their duties and functions, as well as counseling to the patient so that the patient is more aware about her illness and responsible for his recovery.


(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan kesehatan merupakan bagian utama dari misi pemerintah mengenai peningkatan kesejahteraan rakyat serta pembangunan kesehatan yang berkeadilan. Hal ini tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Dalam RPJMN tersebut, salah satu misi pemerintah adalah melanjutkan pembangunan menuju Indonesia yang sehat (Kemenkes RI, 2011).

Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2025 adalah meningkatnya kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Hal ini dicapai melalui terciptanya masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan perilaku dan lingkungan yang sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah Republik Indonesia (Depkes RI, 2009).

Untuk mencapai tujuan tersebut, sesuai arah dan kebijakan pembangunan nasional bidang kesehatan, ditetapkan upaya kesehatan masyarakat dengan pendekatan paradigma sehat dengan prioritas pada upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Salah satu tujuan khusus dari


(19)

program upaya kesehatan adalah mencegah terjadinya dan tersebarnya penyakit menular sehingga tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat, dan menurunnya angka kematian dan angka kecacatan. Untuk itu disusun pokok-pokok program pembangunan kesehatan antara lain mencakup program Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) (Depkes RI, 2009).

Salah satu penyakit menular yang sampai saat ini masih tinggi kasusnya di masyarakat dan menjadi perhatian global adalah Tuberkulosis (TB). TB berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi bahkan mengancam keselamatan jiwa manusia. TB merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Kuman TB tidak hanya menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Sekitar 75% penderita TB adalah kelompok usia kerja produktif (15-49 tahun), kebanyakan dari kelompok sosial ekonomi dan berpendidikan rendah. Diperkirakan seorang penderita TB dewasa akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal ini berakibat kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk secara sosial yaitu dikucilkan oleh masyarakat (Depkes RI, 2008).

Secara global, TB masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di dunia, terutama di negara-negara berkembang. Sejak tahun 1993, WHO menyatakan bahwa TB merupakan kedaruratan global bagi kemanusiaan. Hal ini dapat dilihat dari beban penyakit TB di masyarakat sangat tinggi. Dengan berbagai kemajuan yang dicapai sejak tahun 2003, diperkirakan masih terdapat sekitar 9,5 juta kasus baru TB, dan sekitar 0,5 juta orang meninggal akibat TB di seluruh dunia. Jumlah kasus baru


(20)

3

penyakit TB pada tahun 2010 tercatat 8,8 juta kasus dan jumlah kematian karena TB yaitu 1,4 juta jiwa (Kemenkes RI, 2011).

Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Berdasarkan data WHO pada Tahun 2007, jumlah penderita TB di Indonesia sekitar 528.000 orang atau berada di posisi tiga di dunia setelah India dan Cina. Sedangkan pada tahun 2009, jumlah penderita TB di Indonesia sebesar 430.000 orang. Pada tahun 2011, Indonesia menempati urutan keempat terbesar di dunia sebagai penyumbang penderita TB setelah negara India, Cina dan Afrika Selatan (Kemenkes RI, 2012).

Tingkat resiko untuk terserang penyakit TB Paru di Indonesia berkisar antara 1,7% sampai 4,4%. Penyakit TB Paru merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan pada semua kelompok usia dan nomor satu dari penyakit golongan penyakit infeksi. Secara nasional, TB Paru membunuh kira-kira 100.000 orang tiap tahun, setiap hari 300 orang meninggal akibat penyakit TB Paru di Indonesia (Depkes RI, 2009).

Mengacu pada kondisi tersebut, maka diperlukan adanya program penanggulangan TB Paru. Sejak tahun 1995, program Pemberantasan TB Paru telah dilaksanakan dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang direkomendasikan oleh WHO. Kemudian berkembang seiring dengan pembentukan Gerakan Terpadu Nasional (GERDUNAS) TB yang dicanangkan pemerintah pada tanggal 24 maret 1999, maka pemberantasan penyakit TB telah berubah menjadi


(21)

program penanggulangan TB Paru. Ada lima komponen dalam strategi DOTS yaitu: 1. Komitmen politis dari pemerintah untuk menjalankan progam TB nasional.

2. Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis.

3. Pengobatan TB Paru dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang diawasi langsung oleh Pengawas Minum Obat (PMO).

4. Kesinambungan persediaan OAT.

5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Paru (Depkes RI, 2002).

Penanggulangan TB dilaksanakan oleh seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK), meliputi Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah dan swasta, Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4), dan Praktek Dokter Swasta dengan melibatkan peran serta masyarakat secara paripurna dan terpadu. Penanggulangan TB Paru dengan strategi DOTS diharapkan dapat memberikan angka kesembuhan sesuai target global yang telah ditetapkan oleh WHO dengan angka kesembuhan sebesar 85%. Angka kesembuhan menunjukkan persentasi pasien TB Paru BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan diantara pasien TB Paru BTA positif yang tercatat (Depkes RI, 2007).

Untuk mencapai kesembuhan diperlukan keteraturan atau kepatuhan berobat bagi setiap penderita. Paduan obat anti tuberkulosis jangka pendek dan penerapan pengawasan minum obat merupakan strategi untuk menjamin kesembuhan penderita, walaupun obat yang digunakan baik tetapi bila penderita tidak berobat dengan teratur maka umumnya hasil pengobatan akan mengecewakan. Kenyataan


(22)

5

lain bahwa penyakit TB Paru sulit untuk disembuhkan karena obat yang diberikan harus beberapa macam sekaligus serta pengobatannya memakan waktu lama, setidaknya 6 bulan sehingga menyebabkan penderita banyak yang putus berobat. Penyebabnya adalah kurangnya perhatian pada tuberkulosis dari berbagai pihak terkait, akibatnya program penanggulangan TB di berbagai tempat menjadi sangat lemah (Dinkes Sumut, 2010).

Pengobatan TB membutuhkan peran dan kinerja yang baik dari tenaga kesehatan untuk mencapai angka kesembuhan. Oleh karena itu, pencapaian angka kesembuhan sebesar 85% menunjukkan kinerja yang baik dari Petugas P2TB (Kemenkes RI, 2012). Kinerja petugas TB dalam melakukan pengobatan TB Paru tidak terlepas dari faktor yang berhubungan dengan kinerja petugas itu sendiri. Menurut teori kinerja yang dikemukakan oleh Gibson bahwa tiga faktor yang memengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu yaitu faktor individu (pengetahuan), faktor organisasi (kompensasi), dan faktor psikologis (sikap dan motivasi) (Gari, 2009).

Selain itu, kegagalan pengobatan dan kurang kedisiplinan bagi penderita TB Paru juga sangat dipengaruhi oleh peran Pengawas Minum Obat (PMO). PMO sangat penting untuk mendampingi penderita agar dicapai hasil pengobatan yang optimal. Kolaborasi petugas kesehatan dengan keluarga yang ditunjuk untuk mendampingi ketika penderita minum obat, juga faktor yang perlu dievaluasi untuk menentukan tingkat keberhasilan pengobatan (Depkes RI, 2008).


(23)

Rendahnya cakupan angka kesembuhan berdampak negatif pada kesehatan masyarakat dan keberhasilan pencapaian program karena masih memberi peluang terjadinya penularan penyakit TB Paru kepada anggota keluarga dan masyarakat sekitarnya. Selain itu hal ini memungkinkan terjadinya resistensi kuman TB Paru terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT), sehingga menambah penyebarluasan penyakit TB Paru, meningkatkan kesakitan dan kematian akibat TB Paru (Anggraeni, 2011) .

Penelitian yang dilakukan oleh Wahab (2002), menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan penanggulangan TB Paru di Puskesmas Helvetia adalah sikap pasien, sikap petugas, tipe pengobatan dan penghasilan. Penelitian Simamora (2004), menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap ketidakteraturan berobat penderita TB Paru adalah pengetahuan penderita tentang pengobatan TB Paru, ada tidaknya PMO, efek samping obat, perilaku petugas kesehatan, persepsi pasien terhadap penyuluhan kesehatan dan jarak antara rumah dengan fasilitas pelayanan kesehatan.

Menurut Nukman (Permatasari, 2005), faktor yang memengaruhi keberhasilan TB Paru adalah: a) faktor sarana yang meliputi tersedianya obat yang cukup dan kontiniu, edukasi petugas kesehatan, dan pemberian obat yang adekuat, b) faktor penderita yang meliputi pengetahuan, kesadaran dan tekad untuk sembuh, dan kebersihan diri, c) faktor keluarga dan lingkungan masyarakat.

Penelitian Amiruddin (2006) menunjukkan bahwa terdapat 3 variabel yang memengaruhi terjadinya kesembuhan dalam pengobatan penderita TB Paru di Kota


(24)

7

Ambon yaitu Pengawas Minum Obat (PMO), kepatuhan berobat penderitaTB Paru dan efek samping obat. Penelitian Akhmadi (2012) menunjukkan bahwa faktor yang dominan dalam pencapaian angka kesembuhan TB paru yaitu kinerja petugas TB dinilai dari pengetahuan, motivasi, sikap, dan kompensasi.

Dalam lima tahun terakhir, jumlah kasus TB Paru BTA positif di Sumatera Utara menunjukkan angka yang tidak stabil. Pada tahun 2005-2006 kasus TB Paru mengalami peningkatan dari 13.401 kasus menjadi 16.678 kasus, namun tahun 2007 mengalami penurunan dengan jumlah 13.369 kasus. Jumlah kasus TB Paru naik menjadi 14.158 kasus pada tahun 2008 dan mengalami peningkatan lagi menjadi 17.026 kasus pada tahun 2009 (Dinkes Sumut, 2010).

Kasus TB Paru di Kota Medan Tahun 2012 secara klinis terjadi peningkatan dari Tahun 2011. TB Paru klinis pada Tahun 2011 yaitu sebesar 11.179 penderita sedangkan pada Tahun 2012 sebesar 21.079 penderita. Selain itu, dari 39 puskesmas yang ada di kota Medan terdapat 1.516 penderita TB Paru BTA positif. Dari 1.516 penderita TB Paru BTA positif sebanyak 790 penderita (52,11%) telah dinyatakan sembuh (Dinkes Kota Medan, 2012).

Dari data Dinas Kesehatan Kota Medan tahun 2013, terdapat 8 Puskesmas yang mengalami kesembuhan di bawah 85% dari 39 Puskesmas yang ada di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Medan. Kedelapan puskesmas tersebut diantaranya Puskesmas Medan Area Selatan dengan angka kesembuhan 68%, Puskesmas Bromo dengan angka kesembuhan 84%, Puskesmas Tegal Sari dengan angka kesembuhan 79%, Puskesmas Medan Denai dengan angka kesembuhan 79%, Puskesmas Petisah


(25)

dengan angka kesembuhan 77%, Puskesmas Simalingkar dengan angka kesembuhan 83%, Puskesmas Desa Lalang dengan angka kesembuhan 70%, dan Puskesmas Sunggal dengan angka kesembuhan 74%.

Adapun jumlah penderita TB Paru per Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) di Kota Medan Tahun 2013 dapat dilihat pada tabel 1.1

Tabel 1.1 Jumlah Penderita TB Paru per Wilayah Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) di Kota Medan Tahun 2013

No. Puskesmas BTA (+)

Diobati

Kesembuhan %

1. Pasar Merah 43 43 100

2. Suka Rame 37 36 97

3. Kota Matsum 20 17 85

4. Medan Area Selatan 22 15 68

5. Bromo 25 21 84

6. Tegal Sari 28 22 79

7. Teladan 143 143 100

8. Simpang Limun 43 42 98

9. Amplas 28 27 96

10. Desa Binjai 26 26 100

11. Sentosa Baru 66 66 100

12. Sering 65 65 100

13. Medan Denai 47 37 79

14. Mandala 53 53 100

15. Darussalam 30 30 100

16. Petisah 13 10 77

17. Sei Agul 32 32 100

18. Rantang 28 28 100

19. Padang Bulan 56 54 96

20. Padang Bulan Selayang 72 72 100

21. Simalingkar 41 34 83

22. Tuntungan 9 8 89

23. Polonia 28 27 96

24. Medan Johor 80 76 95

25. Kampung Baru 52 50 96

26. Kedai Durian 36 35 97

27. Pekan Labuhan 33 30 91


(26)

9

29. Desa Terjun 64 62 97

30. Medan Deli 82 81 99

31. Titi Papan 22 21 95

32. Martubung 45 45 100

33. Helvetia 90 88 90

34. Desa Lalang 33 23 70

35. Sunggal 34 25 74

36. Glugur Darat 31 31 100

37. P. Brayan Kota 1 0 0

38. Glugur Kota 1 0 0

39. Belawan 113 110 97

Sumber: PMK Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2013

Data di atas menunjukkan bahwa angka kesembuhan penderita TB Paru terendah terdapat di Puskesmas Medan Area Selatan. Jumlah penderita TB Paru BTA positif yang diobati di Puskesmas tersebut pada tahun 2013 sebanyak 22 penderita. Dari 22 penderita, jumlah penderita yang dinyatakan sembuh hanya 15 penderita (68%). Hal ini menunjukkan angka kesembuhan penderita TB Paru belum mencapai target yang ditetapkan yaitu angka kesembuhan minimal 85%.

Berdasarkan survei pendahuluan peneliti, dari pernyataan beberapa penderita TB Paru di Puskesmas Medan Area Selatan dapat diketahui bahwa kurangnya motivasi penderita TB Paru baik motivasi yang berasal dari individu itu sendiri maupun dar luar dirinya. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya motivasi dan pengawasan dari PMO sehingga penderita TB tidak tuntas dalam pengobatannya.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai analisis peran PMO terhadap kesembuhan TB Paru di Puskemas Medan Area Selatan, Kecamatan Medan Area Tahun 2014.


(27)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian yaitu bagaimana peran PMO terhadap kesembuhan TB Paru di Puskesmas Medan Area Selatan, Kecamatan Medan Area, Tahun 2014.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk menjelaskan seberapa besar peran PMO terhadap kesembuhan TB paru di Puskemas Medan Area Selatan, Kecamatan Medan Area Tahun 2014.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi Dinas Kesehatan Kota Medan mengenai penanggulangan TB Paru.

2. Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Medan Area Selatan dalam melaksanakan program penanggulangan TB Paru dan meningkatkan pelayanan kesehatan kepada penderita TB Paru.

3. Sebagai bahan informasi dan pengembangan wawasan keilmuan bagi peneliti lain khususnya mengenai penanggulangan TB Paru.

4. Sebagai tambahan informasi dalam pengembangan kajian dan ilmu di bidang Administrasidan Kebijakan Kesehatan.


(28)

11 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Puskesmas 2.1.1 Pengertian

Puskesmas adalah organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat dan memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok (Depkes RI, 2004). Menurut Kepmenkes RI No. 128/Menkes/SK/II/2004, puskesmas merupakan Unit Pelayanan Teknis (UPT) Dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.

2.1.2 Visi dan Misi Puskesmas

Adapun Visi Puskesmas adalah: “Tercapainya Kecamatan sehat menuju Indonesia sehat 2010”. Artinya masyarakat yang hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Depkes RI, 2004).

Misi Puskesmas berdasarkan Depkes RI tahun 2004 adalah sebagai berikut: 1. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya.

2. Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah kerjanya.


(29)

3. Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan.

4. Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat, beserta lingkungannya.

2.1.3 Tujuan dan Fungsi Puskesmas

Tujuan puskesmas menurut Depkes RI (2004) adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional yakni meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas. Sedangkan fungsi puskesmas (Depkes RI, 2004) adalah :

1. Pusat pembangunan berwawasan kesehatan 2. Pusat pemberdayaan keluarga dan masyarakat 3. Pusat pelayanan kesehatan strata pertama

2.1.4 Manajemen Puskesmas

Manajemen puskesmas dapat digambarkan sebagai suatu rangkaian kegiatan yang bekerja secara senergis, sehingga menghasilkan keluaran yang efisien dan efektif. Manajemen puskesmas tersebut terdiri dari perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian, serta pengawasan dan pertanggungjawaban. Seluruh kegiatan diatas merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan berkesinambungan (Depkes RI, 2004).


(30)

13

a. Perencanaan Puskesmas

Arah perencanaan puskesmas adalah mewujudkan kecamatan sehat 2015. Dalam perencanaan puskesmas hendaknya melibatkan masyarakat sejak awal sesuai kondisi kemampuan masyarakat di wilayah kecamatan.Hasil perencanaan puskesmas adalah Rencana Usulan Kegiatan (RUK) tahun yang akan datang setelah dibahas bersama dengan Badan Penyantun Puskesmas (BPP). Setelah mendapat kejelasan dana alokasi kegiatan yang tersedia selanjutnya puskesmas membuat Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK). Proses perencanaan dapat menggunakan instrumen Perencanaan Tingkat Puskesmas (PTP) yang telah disesuaikan dengan kondisi setempat atau dapat memanfaatkan instrument lainnya. RUK dan RPK menghasilkan upaya kesehatan wajib dan upaya kesehatan pengembangan.

b. Pelaksanaan dan Pengendalian Kegiatan ini terdiri dari :

1. Pengorganisasian, mencakup penentuan dan penanggungjawab dan pelaksana kegiatan per satuan wilayah kerja, membagi habis pekerjaan, dan penggalangan kerja sama tim dengan lintas sektoral.

2. Penyelenggaraan dengan memperhatikan azas penyelenggaraan puskesmas, standar dan pedoman pelayanan, serta menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya.

3. Pemantauan, mencakup kinerja, mutu, dan biaya serta masalah dan hambatan dalam pemantauan.

4. Penilaian


(31)

c. Pengawasan dan Pertanggungjawaban

Proses pengawasan yang dilakukan oleh puskesmas dapat bersifat internal maupun eksternal. Sedangkan untuk terselenggaranya proses pertanggungjawaban dilakukan laporan berkala serta laporan pertanggungjawaban masa jabatan.

2.1.5 Program Pokok Puskesmas

Program Puskesmas berdasarkan Depkes RI (2004) adalah: 1. Program promosi kesehatan

2. Program kesehatan lingkungan 3. Program KIA/KB

4. Program perbaikan gizi masyarakat

5. Program Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) 6. Program Pengobatan

2.2 Tuberkulosis Paru (TB Paru) 2.2.1 Pengertian

Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang bersifat kronis (menahun) dan telah lama dikenal oleh masyarakat luas. Penyakit ini disebabkan oleh kuman

Mycobacterium tuberculosis yang dideskripsikan pertama kali oleh Robert Kock pada tanggal 24 maret 1882. Menurut Robbins (1957) tuberkulosis adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa dan lebih sering menginfeksi organ paru-paru dibandingkan bagian tubuh manusia lainnya (Misnadiarly, 2006).


(32)

15

Mycobacterium tuberculosis hanya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop. Bakteri ini termasuk bakteri aerob, berwarna merah dan berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 - 4 um dan tebal 0,3 - 0,6 um, serta tidak membentuk spora.

Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri yang sangat kuat sehingga diperlukan waktu yang lama untuk mengobatinya. Bakteri ini disebut juga Bakteri Tahan Asam (BTA) dikarenakan bakteri ini mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada proses pewarnaan. Bakteri ini akan mati jika berada dalam lingkungan bertemperatur 6 selama 15 - 20 menit dan jika terpapar sinar matahari langsung selama 2 jam. Selain itu, bakteri ini juga dapat bersifat dorman yaitu tertidur lama selama beberapa tahun dalam jaringan tubuh. Mycobacterium dapat bertahan 20 - 30 jam dalam dahak serta pada suhu kamar akan bertahan hidup 6 - 8 bulan dan dapat disimpan dalam lemari dengan suhu 20 selama 2 tahun (Anggraeni, 2011).

2.2.2 Gejala TB

Gejala TB dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus. Gejala ini timbul sesuai dengan organ yang terlibat (Misnadiarly, 2006).

a. Gejala Umum

1. Batuk disertai dahak selama lebih dari tiga minggu. 2. Sesak nafas dan nyeri dada.

3. Badan lemah, dan kurang enak badan.

4. Berkeringat pada malam hari walau tanpa kegiatan. 5. Penurunan nafsu makan dan berat badan menurun.


(33)

6. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul. b. Gejala Khusus

1. Jika ada cairan di rongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada.

2. Jika mengenai tulang, maka akan terjadi gejala infeksi tulang. Suatu saat infeksi ini dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, sehingga pada muara ini akan keluar cairan nanah.

3. Jika terjadi sumbatan pada sebagian bronkus (saluran menuju ke paru-paru), maka akan menimbulkan suara “mengi”, yaitu suara nafas melemah yang disertai sesak. Hal ini di akibatkan oleh penekanan kelenjar getah bening yang membesar.

2.2.3 Klasifikasi TB

Untuk menentukan klasifikasi penyakit TB, ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut (Laban, 2012):

a. Berdasarkan Organ Tubuh yang Sakit

1. TB paru adalah TB yang menyerang jaringan paru-paru (parenkim), tidak termasuk selaput paru (pleura).

2. TB ekstra paru adalah TB yang menyerang organ tubuh lain selain paru-paru, misalnya selaput jantung (pericardium), selaput otak, pleura, kelenjar getah bening, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.


(34)

17

b. Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak Basil Tahan Asam 1. TB paru BTA positif (sangat menular)

- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 pemeriksaan dahak memberikan hasil yang positif.

- Satu pemeriksaan dahak memberikan hasil yang positif. - Foto rontgen dada menunjukkan TB aktif.

- Biakan dahak hasilnya positif. 2. TB paru BTA negatif

- Tiga pemeriksaan dahak memberikan hasil yang negatif. - Pemeriksaan ulang dahak hasilnya negatif.

- Foto rontgen dada menunjukkan TB aktif.

- Jumlah kuman yang ditemukan pada waktu pemeriksaan belum memenuhi syarat positif.

- Biakan dahak hasilnya meragukan. c. Berdasarkan Tingkat Keparahan Penyakit

1. TB ekstra paru berat, misalnya: TB miller, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin, meningitis, pericarditis, peritonitis, dan pleuritis eksudativa bilateral.

2. TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar getah bening, kelenjar adrenal, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan pleuritis eksudativa unilateral.


(35)

2.2.4 Tipe Penderita TB Paru

Menurut Depkes RI (2009), beberapa tipe penderita TB Paru berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu sebagai berikut:

1. Kasus baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (28 hari).

2. Kambuh (Relaps) adalah penderita TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh (pengobatan lengkap), kemudian didiagnosis kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

3. Kasus lalai berobat (Default) adalah penderita yang berobat satu bulan atau lebih dan putus berobat selama dua bulan atau lebih, datang lagi dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

4. Kasus gagal adalah penderita yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada satu bulan sebelum akhir pengobatan atau pada akhir pengobatan.

5. Kasus pindahan (Transfer in) adalah penderita yang dipindahkan dari sarana Pelayanan Kesehatan atau Kabupaten/Kota yang memiliki register TB unutuk melanjutkan pengobatannnya di Kabupaten/Kota tempat tinggal yang baru.

6. Semua kasus TB yang tidak memenuhi ketentuan di atas, dalam kelompok ini termasuk TB kronik, yaitu penderita dengan hasil pemeriksaan dahak ulang masih tetap BTA positif sampai dengan selesainya pengobatan ulang.


(36)

19

2.2.5 Manfaat Menentukan Klasifikasi dan Tipe Penderita TB Paru

Menurut Laban (2012), ada beberapa manfaat dalam menentukan klasifikasi dan tipe penderita TB Paru, antara lain:

1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai untuk:

- Menghindari pengobatan yang tidak perlu (Over treatment) untuk meningkatkan pemakaian sumber daya lebih efektif.

- Mengurangi efek samping pada penderita TB dengan pemakaian paduan obat yang sesuai.

- Menghindari terapi yang tidak adekuat (Under treatment) untuk mencegah timbulnya resistensi.

2. Analisis hasil pengobatan. 3. Registrasi kasus secara benar.

2.2.6 Penyebaran dan Cara Penularan TB Paru

Kuman TB menyebar dengan mudah. Satu orang yang terinfeksi TB dapat menularkan kepada 10 - 15 orang, dan 10% diantaranya akan berkembang dan menderita penyakit tuberculosis. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya melaui proses batuk. Faktor yang memengaruhi kemungkinkan seseorang menjadi sakit TB atau tidak dipengaruhi beberapa faktor misalnya daya tahan tubuh yang rendah, gizi buruk dan sedang menderita penyakit lainnya (HIV dan diabetes melitus) (Cahyono, 2012).


(37)

Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei) pada waktu batuk atau bersin. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Percikan dahak dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan gelap dan lembap. Semakin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, semakin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Penularan dapat dikurangi dengan menggunakan ventilasi dan sinar matahari karena sinar matahari langsung dapat membunuh kuman TB (Depkes RI, 2009).

2.2.7 Resiko Penularan TB Paru

Resiko penularan tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Penderita TB paru dengan BTA positif memberikan resiko penularan lebih besar dari penderita TB paru dengan BTA negatif. Resiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang beresiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1 - 3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberculosis negatif menjadi positif (Depkes RI, 2009).


(38)

21

2.3 Program Penanggulangan TB

2.3.1 Program Nasional Pengendalian TB Indonesia

Berdasarkan Kemenkes RI (2011), stratetegi nasional pengendalian TB di Indonesia, antara lain:

a. Visi

“Menuju Masyarakat Bebas Masalah TB, Sehat, Mandiri, dan Berkeadilan”. b. Misi

1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani dalam pengendalian TB.

2. Menjamin ketersediaan pelayanan TB yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan.

3. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya pengendalian TB. 4. Menciptakan tata kelola program TB yang baik.

c. Tujuan

Menurunkan angka kesakitan dan kematian TB dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. d. Sasaran

Sasaran strategi nasional pengendalian TB mengacu pada rencana strategis kementrian kesehatan dari 2010 sampai dengan tahun 2014 yaitu menurunkan prevalensi TB dari 235 per 100.000 penduduk menjadi 224 per 100.000 penduduk. Sasaran keluaran adalah:


(39)

1. Meningkatkan persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang ditemukan dari 73% menjadi 90%.

2. Meningkatkan persentase keberhasilan pengobatan kasus baru TB paru (BTA positif) mencapai 88%.

3. Meningkatkan persentase provinsi dengan keberhasilan pengobatan di atas 85% dari 80% menjadi 88%.

e. Target

1. Cakupan penderita TB BTA (+) > 70% 2. Angka kesalahan laboratorium < 5% 3. Angka kesembuhan > 85%

2.3.2 Strategi Penemuan Penderita TB

1. Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif, artinya penjaringan suspek TB dilakukan dengan menunggu kehadiran pasien di Sarana Pelayanan Kesehatan oleh petugas kesehatan sebagai hasil dari upaya penyuluhan secara aktif.

2. Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah sampai saat ini belum dianggap sebagai upaya yang paling efektif.

3. Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama kontak erat pasien TB BTA positif.

4. Apabila dijumpai pasien TB anak, harus dicari sumber penularannya (Depkes RI, 2009).


(40)

23

2.3.3 Identifikasi Suspek TB

1. Gejala Klinis TB, suspek TB biasanya datang ke Sarana Pelayanan Kesehatan dengan berbagai keluhan dan gejala yang akan menunjukkan bahwa yang bersangkutan termasuk suspek.

- Gejala utama: batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih.

- Gejala tambahan yang sering dijumpai: Gejala respiratorik (batuk darah, sesak nafas, dahak bercampur darah, dan rasa nyeri dada). Gejala sistemik (kurang enak badan/ malaise, nafsu makan menurun, badan lemah, berat badan turun, demam meriang yang berulang lebih dari satu bulan, berkeringat pada malam hari walaupun tanpa kegiatan).

2. Gejala-gejala tersebut juga dapat dijumpai pada pasien penyakit paru selain TB, seperti bronchitis kronik, bronkiektasis, asma, kangker paru, dan lain-lain.

3. Gejala TB ekstra paru tergantung dari organ yang terkena, misalnya pada limfadentis TB akan ditemukan pembesaran pada kelenjar getah bening.

4. Di negara endemis TB seperti Indonesia, setiap orang yang datang ke Sarana Pelayanan Kesehatan dengan gejala tersebut di atas, harus dianggap sebagai seorang suspek TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung terlebih dahulu (Depkes RI, 2009).


(41)

2.3.4 Pemeriksaan Dahak

Menurut Depkes RI (2009), diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Pemeriksaan tiga specimen „Sewaktu Pagi Sewaktu‟ (SPS) dahak secara mikroskopis langsung merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah, murah, dan hampir semua unit laboratorium dapat melaksanakan.

Pemeriksaan ulang dahak memantau kemajuan pengobatan dilakukan pada: 1. Akhir tahap intensif

Dilakukan sebelum akhir bulan ke-2 pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke-3 pengobatan ulang penderita BTA positif kategori 2.

2. Sebulan sebelum akhir pengobatan

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-5 pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke-7 pengobatan ulang penderita BTA positif dengan kategori 2.

3. Akhir pengobatan

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-6 pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke-8 pengobatan ulang penderita BTA positif dengan kategori 2.


(42)

25

2.3.5 Strategi DOTS (Directly Observed Treatments Shortcourse)

Strategi DOTS adalah strategi penanggulangan TB paru nasional yang telah direkomendasikan oleh WHO. Strategi ini dimulai pelaksanaannya di Indonesia pada tahun 1995/1996. Sebelum pelaksanaan strategi DOTS (1969-1994) angka kesembuhan TB paru yang dapat dicapai oleh program hanya 40 - 60%. Dengan strategi DOTS diharapkan angka kesembuhan dapat dicapai minimal 85% dari penderita TB Paru BTA positif yang ditemukan (Permatasari, 2005).

Intervensi yang utama terdiri dari peningkatan pelayanan DOTS dengan menerapkan lima komponen strategi DOTS. Kelima komponen DOTS tersebut yaitu komitmen politik, pemeriksaan mikroskopis, penyediaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), adanya Pengawas Minum Obat (PMO), serta pencatatan dan pelaporan. Ekspansi pelayanan DOTS yang berkualitas ditujukan ke seluruh lapisan masyarakat, khususnya masyarakat miskin, rentan dan penderita TB anak. Upaya untuk mendapatkan komitmen politis yang telah dimulai sebelumnya terus menerus ditingkatkan dengan berbagai kegiatan. Mulai dari memperkuat Gerakan Terpadu Nasional (Gerdunas TB) pada setiap tingkatan, pembentukan tim DOTS, dan berbagai kegiatan advokasi kepada pemerintah daerah maupun lembaga swadaya masyarakat lainnya. Peningkatan komitmen politis akan terus menjadi program intervensi utama untuk beberapa tahun ke depan (Depkes RI, 2007).

Dalam menentukan penemuan dan pengobatan yang tepat dan bermutu di fasilitas pelayanan DOTS dibutuhkan kapasitas laboratorium. Oleh karenanya diperlukan supervisi yang efektif di semua tingkatan untuk memantau kepatuhan


(43)

seluruh penyedia pelayanan terhadap pedoman pemeriksaan laboratorium dalam penanggulangan TB. Hal ini bertujuan untuk meningkatan kapasitas laboratorium rujukan di tingkat pusat dan regional yang didukung oleh tujuh laboratorium regional dan laboratorium provinsi yang merupakan prioritas utama untuk peningkatan mutu diagnostik (Permatasari, 2005).

Upaya perbaikan pengelolaan logistik baik OAT dan non OAT akan tetap dilakukan pada tahun-tahun mendatang. Peralihan OAT dari komposisi terpisah menjadi Kombinasi Dosis Tetap (KDT) untuk dewasa merupakan upaya untuk perbaikan pengobatan penderita. Produksi KDT dewasa dan anak yang belum tersedia merupakan prioritas ke depan penanggulangan TB. Berbagai pelatihan untuk Pengawas Minum Obat (PMO) terus dilaksanakan. Berbagai media komunikasi, informasi dan edukasi untuk para PMO terus dikembangkan. Keterlibatan petugas kesehatan dalam pengawasan minum obat terus diupayakan melalui keterlibatan para bidan desa dan petugas pustu. Upaya penurunan angka drop out di rumah sakit dan BP4 dilakukan dengan penyediaan PMO bagi setiap penderita dengan memanfaatkan berbagai sektor yang berpotensi seperti LSM, dan lainnya (Depkes RI, 2007).

Sistem surveilens dan monitoring evaluasi diperkuat melalui penunjukan petugas monitoring evaluasi provinsi, yang bertanggungjawab terhadap pencapaian target indikator. Uji coba register TB dan modifikasi dari tanggal registrasi menjadi tanggal mulai pengobatan akan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan. Sistem logistik di provinsi dan Kabupaten/Kota, termasuk pengadaan bahan medis dan non


(44)

27

medis juga akan lebih baik sesuai dengan tanggung jawab masing-masing pada setiap tingkat (Depkes RI, 2007).

2.3.6 Jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Menurut Depkes RI (2009), OAT yang digunakan dalam program penanggulangan TB saat ini adalah obat lini pertama, yang terdiri dari:

1. Isoniasid / INH (H)

Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama masa pengobatan. Obat ini sangat efektif untuk membunuh kuman yang aktif berkembang. Dosis harian yang dianjurkan adalah 5 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan tahap lanjutan diberikan 3 kali seminggu dengan dosis 10 mg/kg BB.

2. Rifampisin (R)

Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman persisten yang tidak dapat dibunuh oleh ioniasid. Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg/kg BB diberikan selama pengobatan harian maupun tahap lanjutan sebanyak 3 kali seminggu.

3. Etambutol (E)

Bersifat bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan adalah 15 mg/kg BB, sedangkan pengobatan untuk tahap lanjutan diberikan 3 kali seminggu dengan dosis 30 mg/kg BB.


(45)

4. Streptomisin (S)

Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB. Untuk penderita TB yang berumur sampai 60 tahun dosisnya adalah 0,75 g/hari, sedangkan untuk penderita TB berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 g/hari.

5. Pirazinamid (Z)

Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan adalah 25 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan tahap lanjutan diberikan 3 kali seminggu dengan dosis 35 mg/kg BB.

Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket kombipak. Satu paket untuk satu penderita dalam satu masa pengobatan. Hal ini bertujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai.

2.3.7 Efek Samping OAT

Sebagian besar penderita TB Paru dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Oleh karena itu, pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Pemantauan dilakukan dengan cara menjelaskan kepada penderita tanda-tanda efek samping dan menyatakan adanya gejala efek samping pada waktu penderita mengambil OAT (Zuliana, 2009).

Efek samping berat OAT adalah bingung, muntah-muntah, gatal dan kemerahan pada kulit, tuli, ikterus tanpa penyebab lain, gangguan keseimbangan,


(46)

29

gangguan penglihatan, purpura dan syok. Sedangkan efek samping ringan OAT adalah mual, tidak nafsu makan, sakit perut, warna kemerahan pada air seni, nyeri sendi, kesemutan sampai dengan rasa terbakar di kaki (Depkes RI, 2009).

2.3.8 Pengobatan TB Paru

Menurut Kemenkes RI (2010), pengobatan TB paru diberikan dalam 2 tahap yaitu:

1. Tahap intensif

Pada tahap intensif (awal), penderita mendapat obat tiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama ripamfisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam jangka waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB Paru BTA positif menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan intensif.

2. Tahap lanjutan

Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.

Pengobatan pada penderita TB dengan memadukan obat anti tuberkulosis yang digunakan dalam Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia menurut Depkes RI (2009) dibagi dalam beberapa kategori, yaitu:


(47)

1. Kategori 1

Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), dan Ethambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniazid (H) dan Rifampisin(R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3). Obat ini diberikan untuk:

a. Penderita baru TB Paru BTA Positif

b. Penderita TB Paru BTA negatif Rontgen Positif yang sakit berat c. Penderita TB Ekstra Paru berat

2. Kategori 2

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan. Dua bulan pertama dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Ethambutol (E) dan suntikan streptomisin setiap hari di Unit Pelayanan Kesehatan. Dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (P), dan Ethambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat.

Obat ini diberikan untuk: a. Penderita kambuh (relaps) b. Penderita gagal (failure)

c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default) 3. Kategori 3


(48)

31

Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan, diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu. Obat ini diberikan untuk:

a. Penderita baru BTA negatif b. Rontgen positif sakit ringan. 4. OAT Sisipan

Bila pada akhir tahap intensif dari pengobatan dengan kategori 1 atau kategori 2 hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan.

Adapun tujuan dari pengobatan TB Paru menurut Depkes RI (2009), adalah untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap OAT, mencegah kekambuhan, menyembuhkan penderita, mencegah kematian atau akibat buruk yang ditimbulkan, memutuskan rantai penularan, dan mengurangi dampak sosial dan ekonomi. Sedangkan prinsip dari pengobatan TB Paru adalah OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori dalam pengobatan. Pemakaian OAT Kombinasi Dosis Tetap (KDT) akan lebih menguntungkan dan dianjurkan. OAT ditelan sekaligus dan sebaiknya saat perut kosong. Hindari melakukan mono terapi (pengobatan dengan obat tunggal). Untuk menjamin kepatuhan penderita TB dalam menelan obat, pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT=Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Minum Obat (PMO). Jangka waktu pengobatan


(49)

relatif lama yaitu 6 - 8 bulan, dan diberikan secara terus menerus yang dibagi dalam 2 tahap.

2.3.9 Evaluasi Pengobatan 1. Evaluasi Klinis

a. Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama, pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan.

b. Evaluasi: respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit.

c. Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik. 2. Evaluasi bakteriologis (0 - 2 bulan pengobatan)

a. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. b. Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopis:

- Sebelum pengobatan dimulai

- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif) - Pada akhir pengobatan

c. Bila ada fasilitas biakan, dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi. 3. Evaluasi radiologi (0 - 2 bulan pengobatan)

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada: a. Sebelum pengobatan

b. Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)


(50)

33

c. Pada akhir pengobatan.

4. Evaluasi efek samping secara klinis

Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman.

5. Evaluasi keteraturan berobat

a. Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum/tidaknya obat tersebut.

b. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi (Depkes RI, 2009).

2.4 Penyuluhan TB Paru

Dalam program penanggulangan TB, penyuluhan TB paru perlu dilakukan karena masalah TB Paru berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan TB paru (Depkes RI, 2007).

Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam proses penyuluhan TB Paru yaitu dengan menyampaikan pesan penting secara langsung atau menggunakan media kepada masyarakat maupun perorangan. Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan media massa bertujuan untuk menjangkau masyarakat yang lebih luas, serta mengubah persepsi masyarakat tentang TB Paru. Penyuluhan langsung perorangan sangat penting dikarenakan hal ini sebagai penentu keberhasilan pengobatan


(51)

penderita. Penyuluhan ini ditujukan kepada suspek, penderita dan keluarganya supaya penderita menjalani pengobatan secara teratur sampai sembuh. Anggota keluarga yang sehat diharapkan dapat menjaga, melindungi dan meningkatkan kesehatannya sehingga terhindar dari penularan TB Paru (Laban, 2012).

Penyuluhan langsung perorangan dapat dianggap berhasil jika: 1. Penderita datang berobat secara teratur sesuai jadwal pengobatan

2. Penderita dapat menjelaskan secara tepat tentang riwayat pengobatan sebelumnya 3. Anggota keluarga penderita dapat menjaga dan melindungi kesehatannya (Zuliana,

2009).

2.5 Konsep Determinan Kesehatan

Menurut Henrik L. Blum dalam Azwar, faktor-faktor yang memengaruhi kesehatan berdasarkan besarnya pengaruh secara berurutan meliputi faktor lingkungan, faktor perilaku, faktor pelayanan kesehatan dan faktor keturunan. Keempat faktor tersebut berpengaruh langsung terhadap kesehatan, juga saling berpengaruh satu sama lainnya. Status kesehatan akan optimal jika keempat faktor tersebut secara bersama-sama dalam kondisi optimal pula. Jika satu faktor terganggu, maka status kesehatan akan bergeser ke arah di bawah optimal. Dengan kata lain, intervensi dalam upaya memelihara dan meningkatkan kesehatan harus ditujukan kepada empat faktor tersebut (Maulana, 2009).


(52)

35

Determinan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:

1. Determinan atau faktor internal, yaitu karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat pemberian atau bawaan, misalnya: jenis kelamin, tingkat kecerdasan, tingkat emosional, dan sebagainya.

2. Determinan atau faktor eksternal, yaitu lingkungan baik lingkungan fisik, ekonomi, sosial budaya, dan sebaginya.

Berdasarkan teori Skinner, dapat dikatakan bahwa kesembuhan penderita TB Paru merupakan bentuk nyata yang dalam hal ini kegiatan tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor dalam diri si penderita (faktor internal) maupun dari luar si penderita (faktor eksternal). Faktor internal yaitu umur, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan dan pengetahuan, dan kepatuhan berobat sedangkan faktor eksternalnya yaitu dukungan keluarga, pengawasan PMO, sikap petugas, dan ketersediaan obat anti tuberculosis (OAT).

2.6 Pengawas Minum Obat (PMO)

Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang Pengawas Minum Obat (PMO). PMO adalah seseorang yang ditunjuk dan dipercaya untuk mengawasi dan memantau penderita TB dalam meminum obatnya secara teratur dan tuntas. Pengawasan dilakukan untuk menjamin kepatuhan penderita dalam meminum obat sesuai dengan dosis dan jadwal yang ditetapkan (Depkes RI, 2009).


(53)

2.6.1 Persyaratan PMO

Persyaratan seorang PMO Menurut Depkes RI (2009), adalah: 1. Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita TB.

2. Seorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui baik oleh petugas kesehatan maupun penderita TB, selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita TB. 3. Bersedia membantu penderita TB dengan sukarela.

4. Bersedia dilatih atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita TB.

2.6.2 Tugas PMO

Tugas PMO menurut Depkes RI (2009) adalah:

1. Mengawasi penderita TB agar minum obat secara teratur sampai selesai pengobatan.

2. Memberi dorongan kepada penderita TB agar mau berobat teratur.

3. Mengingatkan penderita TB untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.

4. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB yang mempunyai gejala-gejala yang mencurigakan untuk segera memeriksakan diri ke sarana pelayanan kesehatan.

2.6.3 Petugas PPMO

Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya perawat, bidan desa, pekarya kesehatan, juru imunisasi, sanitarian, dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru,


(54)

37

anggota PKK, dan tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga (Depkes RI, 2009).

2.7 Kesembuhan TB Paru

Kesembuhan penyakit TB yaitu suatu kondisi dimana individu telah menunjukan peningkatan kesehatan dan memiliki salah satu indikator kesembuhan penyakit TB, diantaranya: menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow up ), dilakukan tes BTA terhadap sputum dan hasilnya negatif pada akhir pengobatan serta minimal satu pemeriksaan follow up sebelumnya negatif (Kemenkes RI, 2010).

Target Angka kesembuhan nasional > 85%. Rumus:

Menurut pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis tahun 2010, faktor-faktor yang memengaruhi angka kesembuhan antara lain:

1. Keberadaan Pengawas Minum Obat (PMO) 2. Pelayanan kesehatan

Berikut ini akan diuraikan masing-masing faktor yang berhubungan dengan kesembuhan TB (teori green modifikasi Nizar, 2010):

1. Faktor yang mempermudah (predisposising factor), yaitu faktor pencetus yang mempermudah terjadinya kesembuhan terwujud dalam:

a. Hubungan Pengetahuan dengan Kesembuhan TB

Jumlah penderita baru BTA positif yang sembuh X 100% Jumlah penderita baru BTA positif yang diobati


(55)

Pengetahuan seseorang dapat diibaratkan sebagai suatu alat yang digunakan manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Pengetahuan diperoleh dengan melihat, mendengar, atau mengalami suatu kejadian yang nyata (pengalaman), juga dapat diperolah di bangku pendidikan baik formal maupun non formal. Misalnya pengetahuan/ intelegensi seseorang yang digunakan dalam pemberian OAT pada penderita yang terkena TB Paru.

b. Sikap Penderita TB

Suatu sikap tidak secara otomatis terwujud dalam tindakan. Untuk terwujudnya sikap dalam perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung (overt behavior) atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Disamping fasilitas juga diperlukan faktor pendukung (support) dari pihak lain (Notoatmodjo, 2003).

c. Hubungan perilaku buang dahak dengan kesembuhan TB

Tidak semua orang yang terhirup basil tuberculosis akan menjadi sakit, walaupun tidak sengaja menghirup basil tuberculosis melalui dahak. Resiko orang terinfeksi TB paru untuk menderita TB paru pada ARTI (Annual Risk of Tuberculosis Infection) sebesar 1%. Hal ini berarti diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 penderita TB paru setiap tahunnya dimana 50 penderita adalah BTA positif.

2. Faktor yang memungkinkan (enabling factor), yaitu faktor yang memungkinkan terjadinya perubahan status kesehatan dikarenakan antara lain:


(56)

39

a. Pemakaian OAT

Tujuan terpenting dari tata laksana pengobatan tuberkulosis adalah untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat anti tuberkulosis.

b. Pelayanan kesehatan (Puskesmas) c. Keefektifan PMO

Persepsi penderita TB paru terhadap pelaksanaan tugas-tugas pengawas menelan obat selama penderita menjalani pengobatan dari awal sampai akhir (mengawasi penderita setiap kali menenelan obat, mendorong penderita agar berobat teratur, mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak, memberi penyuluhan kepada penderita tentang penyakit TB paru). Peran PMO sangat berpengaruh terhadap kepatuhan minum obat dan kesembuhan ini dibuktikan dengan hasil chi square p= 0.00 yang menyatakan bahwa ada hubungan antara PMO dengan kesembuhan.

3. Faktor penguat (reinforcing factor), terwujud dalam sikap dan perilaku kelompok, diantaranya:

a. Dukungan keluarga

Dukungan keluarga adalah persepsi seseorang bahwa dirinya menjadi bagian dari jaringan sosial yang di dalamnya tiap anggotanya saling mendukung.


(57)

b. Hubungan dukungan keluarga dengan kesembuhan TB

Keluarga harus dilibatkan dalam progam pendididikan dan penyuluhan pengobatan penderita TB paru agar mereka mampu mendukung salah satu anggota keluarga mereka agar segera sembuh dari penyakitnya. Bimbingan dan dukungan keluarga secara terus-menerus diperlukan agar pasien patuh dalam minum obat baik itu yang terapi itensif maupun terapi lanjutan sehingga penderita dapat sembuh total.

4. Dari 3 faktor yaitu presdisposing factor, enabling factor dan reinforcing factor

menimbulkan kepatuhan minum obat a. Kepatuhan minum obat

Kepatuhan minum obat adalah tingkat perilaku penderita dalam mengambil suatu tindakan atau upaya untuk secara teratur menjalani pengobatan. Penderita yang patuh minum obat adalah yang menyelesaikan pengobatannya secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama 6 bulan sampai dengan 8 bulan, sedangkan penderita yang tidak patuh minum obat bila frekuensi minum obat tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan (Depkes RI, 2002).

b. Hubungan kepatuhan minum obat dengan kesembuhan pengobatan

Keteraturan minum obat diukur sesuai dengan petunjuk pelaksanaan yang telah di tetapkan yaitu: patuh bila dengan pengobatan lengkap sampai selesai dalam jangka waktu pengobatan selama 6 bulan. Keteraturan pengobatan akan mempengaruhi penyembuhan OAT apabila diminum secara teratur sesuai


(58)

41

jadwal terutama pada fase awal guna menghindari terjadinya kegagalan pengobatan serta terjadinya kekambuhan. Dikatakan tidak patuh apabila penderita lalai dalam meminum obat selama fase pengobatan selama 6 bulan. 2.8 Fokus Penelitian

Gambar 2.1 Fokus Penelitian

Berdasarkan gambar diatas, dapat dirumuskan definisi fokus penelitian sebagai berikut :

1. Masukan (input) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan untuk memengaruhi kesembuhan TB, meliputi: penderita TB, PMO, dan tenaga Kesehatan, dengan definisi sebagai berikut :

a. Penderita TB adalah seseorang yang menderita TB Paru BTA positif. Input

1. Penderita TB 2. Pengawas Minum

Obat (PMO) 3. Tenaga

Kesehatan

Proses Peran PMO:

1. Mengawasi penderita setiap minum obat 2. Mendorong penderita

agar berobat teratur 3. Mengingatkan penderita

periksa ulang dahak 4. Penyuluhan tentang

Penyakit TB Paru Kepatuhan Minum Obat

Output Kesembuhan TB Paru


(59)

b. Pengawas Minum Obat (PMO) adalah seseorang yang ditunjuk dan dipercaya untuk mengawasi penderita TB dalam minum obat secara teratur.

c. Tenaga kesehatan adalah petugas yang terlibat dalam penanggulangan TB Paru di Puskesmas Medan Area Selatan.

2. Proses (process) adalah langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mencapai kesembuhan TB Paru, salah satunya melalui peran PMO yaitu partisipasi dan dorongan dari PMO dalam membantu pemulihan penyakit TB Paru, meliputi: a. Mengawasi penderita setiap minum obat.

b. Mendorong penderita agar berobat teratur c. Mengingatkan penderita periksa ulang dahak d. Penyuluhan tentang Penyakit TB Paru

Pada proses juga terdapat kepatuhan minum obat yaitu tingkat perilaku penderita dalam mengambil suatu tindakan atau upaya untuk secara teratur menjalani pengobatan.

3. Keluaran (output) adalah hasil dari pengawasan dan pemantauan PMO dalam mengawasi penderita minum obat secara teratur yaitu kesembuhan TB Paru, dengan definisi sebagai berikut :

a. Kesembuhan TB Paru adalah hasil pengobatan penderita yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap selama 6 - 8 bulan dan pemeriksaan ulang dahak.


(60)

43 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan metode pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui secara jelas dan lebih mendalam tentang peran PMO terhadap kesembuan TB Paru di Puskemas Medan Area Selatan. Pendekatan kualitatif menurut Benister et al yang dikutip oleh Herdiansyah (2012) adalah penelitian yang bertujuan untuk menangkap dan memberi gambaran terhadap suatu fenomena, sebagai metode untuk mengeksplorasi fenomena, dan sebagai metode untuk memberikan penjelasan dari suatu fenomena yang diteliti.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Medan Area Selatan, Kecamatan Medan Area, dengan pertimbangan yaitu : Puskesmas Medan Area Selatan merupakan salah satu puskesmas di Kota Medan yang masih memiliki angka kesembuhan TB Paru terendah yaitu sebesar 68% atau belum mencapai target yang ditetapkan pemerintah yaitu minimal 85% (Dinkes Kota Medan, 2013).

3.2.2 Waktu Penelitian

Waktu yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah selama 18 minggu terhitung sejak bulan Februari 2014 sampai Juni 2014 (Survei pendahuluan dan penelitian).


(61)

3.3 Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik

purposive, yaitu teknik yang dilakukan untuk memilih informan yang bersedia dan mampu memberikan informasi yang berkaitan dengan topik penelitian, yang terdiri dari:

1. Kepala Puskesmas Medan Area Selatan.

2. Penanggungjawab TB Puskesmas Medan Area Selatan.

3. 4 informan penderita TB Paru, yang terdiri dari 1 informan penderita TB yang putus berobat, 1 informan penderita TB yang sedang menjalani pengobatan kurang dari 6 bulan, 1 informan penderita TB MDR, dan 1 informan penderita TB yang telah sembuh.

4. 4 informan Pengawas Minum Obat (PMO) dari masing-masing penderita di atas.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini digunakan dua sumber data yaitu:

1. Wawancara, yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara semi-terstruktur yang dilengkapi dengan pedoman wawancara yang dijadikan patokan dalam alur, urutan dan penggunaan kata (Herdiansyah, 2012).

2. Observasi, yaitu sebagai suatu proses melihat, mengamati, dan mencermati perilaku secara sistematis untuk suatu tujuan tertentu (Cartwright dalam Herdiansyah, 2012). Observasi disini yaitu mengamati bagaimana peran PMO dalam kesembuhan TB Paru di puskesmas Medan Area Selatan.


(62)

45

3.5 Triangulasi

Triangulasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber, yaitu dengan memilih informan yang dapat memberikan jawaban sesuai dengan pertanyaan yang diajukan (Patton dalam Moleong, 2007).

3.6 Teknik Analisis Data

Analisis data kualitatif dilakukan secara simultan dengan proses pengumpulan data, interpretasi data dan dibuat matriks untuk mempermudah dalam melihat data secara lebih sistematis (Miles dan Huberman dalam Herdiansyah, 2012).


(63)

Puskesmas Medan Area Selatan didirikan pada tanggal 28 Februari 1974. Puskesmas ini terletak di Jalan Medan Area Selatan No. 1000, Kecamatan Medan Area, dengan luas wilayah 149,6 Ha. Adapun yang menjadi batas wilayah Puskesmas Medan Area Selatan adalah sebagai berikut :

Sebelah Utara : Sei Kera Hulu Sebelah Selatan : Pusat Pasar Medan Sebelah Barat : Jl. A.R. Hakim Sebelah Timur : Jl. Thamrin

Wilayah kerja Puskesmas Medan Area Selatan terdiri dari 4 kelurahan yaitu: Kelurahan Sukaramai I, Kelurahan Sukaramai II, Kelurahan Sei Rengas II, Kelurahan Pandau Hulu II. Jumlah lingkungan adalah sebanyak 54 lingkungan, dengan 7765 Kepala Keluarga, dan jumlah penduduk sebanyak 35.181 jiwa.

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Area Selatan Tahun 2013

No. Kelurahan KK Jumlah

Penduduk Jumlah Lingkungan Luas Wilayah/Ha 1. 2. 3. 4. Sukaramai I Sukaramai II Sei Rengas II Pandau Hulu II

1827 2043 1708 2187 10988 7847 6537 9809 17 16 11 10 35,70 31,20 35,78 47,55

Jumlah 7765 35181 54 150,23


(64)

47

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa distribusi penduduk di wilayah kerja Puskesmas Medan Area Selatan paling banyak di Kelurahan Sukaramai I.

Tabel 4.2 Data Sarana Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Area Selatan Tahun 2013

No. Sarana Kesehatan Jumlah

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

Rumah Sakit Swasta Rumah Sakit Jiwa Praktek Dokter Umum Swasta Praktek Dokter Spesialis Swasta Praktek Dokter Gigi Swasta Toko Obat Berizin

Apotik Poliklinik Poli gigi umum Refleksi 1 1 19 2 5 19 13 12 1 9 Sumber :Laporan Tahunan Puskesmas Medan Area Selatan Tahun 2013

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa sarana kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Medan Area Selatan adalah mayoritas praktek dokter umum swasta dan toko obat berizin.

Tabel 4.3 Data Tenaga Kesehatan di Puskesmas Medan Area Selatan Tahun 2013

No. Tenaga Kesehatan Jumlah

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Dokter Umum Dokter Gigi

Sarjana Kesehatan Masyarakat D3 Keperawatan

Perawat Bidan Pelaksana Gizi Asisten Apoteker Tata Usaha 3 2 3 7 5 5 1 1 1 Sumber : Laporan Tahunan Puskesmas Medan Area Selatan Tahun 2013


(65)

4.2 Karakteristik Informan

Karakteristik dari masing-masing informan pada penelitian ini, dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.4 Karakteristik Informan

No. Informan Jenis

Kelamin

Umur (tahun)

Pendidikan Jabatan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. dr. Lininiaty Daeli, M. Kes Rospida Silalahi Zein Piter Sri Wahyuni

Ali Amru Rahman Selvia Suryanto Irwansyah Irmawati Perempuan Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki Perempuan 53 52 60 26 62 24 26 38 35 58 S2 SPK D3 SMP SMEA SMA SMA SMA SMA SMP Kepala Puskesmas Petugas TB

Penderita TB MDR Penderita TB yang sedang menjalani pengobatan

Penderita TB yang drop out Penderita yang sembuh PMO PMO PMO PMO Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah informan dalam penelitian ini adalah 9 informan, yang terdiri dari 1 informan Kepala Puskemas Medan Area Selatan yang berusia 53 tahun dengan pendidikan S2, 1 informan petugas TB Paru Medan Area Selatan yang berusia 52 tahun dengan pendidikan SPK, 1 informan penderia TB Paru MDR, 1 informan pederita TB Paru yang sedang menjalani pengobatan, 1 informan penderita TB Paru drop out, 1 informan penderita TB Paru yang sembuh, dan 3 informan Pengawas Minum Obat (PMO).


(66)

49

4.3 Hasil Wawancara Kepada Informan

4.3.1 Pernyataan Informan tentang Kondisi Kasus TB Paru dan Kesembuhannya di Puskesmas Medan Area Selatan Tahun 2013

Tabel 4.5 Matriks Pernyataan Informan tentang Kondisi Kasus TB dan Kesembuhannya di Puskesmas Medan Area Selatan Tahun 2013

Informan Pernyataan

Informan 1 Informan 2 Informan 3 Informan 4 Informan 5 Informan 6 Informan 7 Informan 8 Informan 9 Informan 10

Eee.. peningkatannya ada ya, tapi gak, gak banyak kasusnya, gak terlalu banyak la peningkatannya, tapi ada la, jadi artinya memang penemuan kasus kami memang naik la dibanding tahun yang lalu. Eem… tau la. Ya memang kita meningkatkan pengawas minum obatnya gitu, menambah gitu, dan membuat apa namanya, eee… pegawai itu lebih, apa namanya, ya lebih eee… memberikan obatnya itu jangan terlalu sekaligus, memantaunya, memantaunya lebih ini lagi, lebih intensif.

Kayak mana ku bilang ya, dibilang peningkatan, peningkatan maksudnya, peningkatan, eee...iya, iyalah ada peningkatan, karena sudah semakin sadar, tahun 2013: 22 orang, 2014: masih 10, sampai bulan ini, bulan mei, yang BTA (+) ya.

Kalau sembuh, ya itu tergantung pasiennya karena kan kadang pasien ini kalau dah merasa ada kurangnya sedikit dah gak berobat lagi, ya terputus la obatnya.

Kalau itu, kurang tau pulak aku. Kalau yang kenak TBC, urusan puskesmas la itu, cobak la tanya sama petugasnya.

Eee… saya enggak tau jugak kak, tapi memang disini hari tu banyak yang kenak sakit paru-paru ini.

Ini disini banyak yang kenak paru-paru dek, aaa… tu karena merokok tu.

Begini dek, kalau sembuh itu tergantung kalau dia enggak merokok dek.

Kalau yang kenak TBC ini, gak tau aku banyak atau sikit kak soalnya aku kan kerja jualan tiap hari, jadi kurang tau la kak. Emm… itu kurang tau saya kak.

Setau saya, apa dibilang ya, istri saya aja la yang berobat ke puskesmas karena sakit ini. Kalau orang sini gak tau pulak saya kak.

Enggak, enggak tau, karena kan saya kerjanya sif malam dan pulangya pagi.

Kalo yang kenak paru-paru, apa TBC, ibuk kurang tau la nak, soalnya kan ibuk kan lebih seringan kerja daripada di rumah.


(1)

8. Apakah anda selalu minum obat TB secara teratur? Berapa kali dalam sehari anda meminum obat TB? Apa yang anda rasakan setelah minum obat TB? Apakah ada perasaan bosan untuk meminum obat? Apakah anda yakin jika anda berobat teratur maka anda akan sembuh?

9. Apakah petugas selalu menimbang berat badan anda? Apakah petugas selalu menanyakan kemajuan yang dirasakan oleh anda selama menjalani pengobatan?

10. Apakah anda memiliki Pengawas Minum Obat (PMO)? Siapa yang menjadi PMO anda? Menurut anda apakah PMO harus serumah dengan anda?

11. Apakah ada pernyataan tertulis yang dibuat oleh PMO? Jika ya,apakah anda tahu tujuannya?

12. Apakah anda tahu tugas dan fungsi PMO? Apakah PMO benar-benar mengawasi anda untuk minum obat? Jika ya, bagaimana cara PMO mengawasi dan mengingatkan anda untuk minum obat?

13. Apakah petugas selalu mengadakan penyuluhan? Bagaimana kegiatan penyuluhan yang dilakukan terhadap anda maupun PMO?


(2)

I. Identitas Informan

Nama :

Umur : Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki/Perempuan Pendidikan Terakhir :

Tanggal Wawancara :

II. Daftar Pertanyaan

D.Pertanyaan untuk Pengawas Minum Obat (PMO)

1. Bagaimana kondisi kasus TB Paru di Puskesmas Medan Area Selatan tahun 2013? Apakah mengalami peningkatan?

2. Apakah anda tahu jika Puskesmas Medan Area Selatan masuk ke dalam 10 puskesmas yang kesembuhannya di bawah 85%? Bagaimana tanggapan anda mengenai hal tersebut?

3. Menurut anda apa yang dimaksud dengan penyakit TB Paru? Apa penyebabnya? Bagaimana tanda-tanda orang menderita penyakit TB? Bagaimana cara penularan penyait TB Paru?

4. Bagaimana pemeriksaan yang dilakukan untuk menentukan seseorang menderita TB? Bagaimana pengobatan TB yang seharusnya supaya cepat sembuh?

5. Berapa lama penderita TB menjalani pengobatan? Bagaimana tanggapan anda setelah mengetahui bahwa berobat TB harus tuntas sampai 6 bulan?


(3)

8. Apakah penderita selalu minum obat TB secara teratur? Berapa kali dalam sehari penderita minum obat TB? Apakah penderita merasa bosan untuk meminum obat? Apakah anda yakin jika penderita berobat teratur maka akan sembuh?

9. Apakah petugas selalu menimbang berat badan penderita? Apakah petugas selalu menanyakan kemajuan yang dirasakan oleh penderita selama menjalani pengobatan?

10. Apakah anda pernah ditunjuk sebagai Pengawas Minum Obat (PMO)? Jika ya, siapa yang menunjuk anda menjadi PMO?

11. Apakah ada pernyataan tertulis yang anda buat sebagai kebersediaan menjadi PMO? Jika ya, apakah anda tahu apa tujuannya?

12. Apakah anda tahu tugas dan fungsi anda sebagai PMO? Apakah anda benar-benar mengawasi penderita untuk minum obat? Jika ya, bagaimana cara anda mengawasi dan mengingatkan penderita TB untuk minum obat? 13. Apakah petugas selalu mengadakan penyuluhan? Bagaimana kegiatan


(4)

(5)

(6)