Pengaruh Pengawas Menelan Obat terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan Tahun 2014
TESIS
Oleh
EVA LATIFAH NURHAYATI 127032273/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
THESIS
By
EVA LATIFAH NURHAYATI 127032273/IKM
MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
EVA LATIFAH NURHAYATI 127032273/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(4)
Nomor Induk Mahasiswa : 127032273
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas Epidemiologi
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dra. Nurmaini, M.K.M, Ph.D) (dr. Halinda Sari Lubis, M.K.K.K) Ketua Anggota
Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
(5)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dra. Nurmaini, M.K.M, Ph.D Anggota : 1. dr. Halinda Sari Lubis, M.K.K.K
2. dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D 3. drh. Hiswani, M.Kes
(6)
GLUGUR DARAT KOTA MEDAN TAHUN 2014
T E S I S
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Mei 2014
Eva Latifah Nurhayati 127032273/IKM
(7)
ABSTRAK
Penderita TB Paru di Indonesia prevalensi 5,8%. Penderita TB Paru yang melakukan pengobatan ulang pada tahun 2013 di Kota Medan berjumlah 62 orang, sedangkan di Puskesmas Glugur Darat tahun 2013 terdapat 4 orang yang tidak patuh minum obat dan 1 orang drop out. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh pengawas menelan obat terhadap kepatuhan minum obat penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan.
Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pengawas menelan obat pada penderita TB Paru pada tahun 2012 sampai 2013 di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan berjumlah 169 orang dan sampel pada penelitian ini berjumlah 100 orang, pengambilan sampel dengan cara systematik random sampling. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan regresi logistik ganda pada α = 5% .
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh sikap mendukung dengan nilai RP 2,138 (95% CI = 1439-3,176), sikap positif dengan nilai RP 1,958 (95% CI = 1,325-2,892), empati dengan nilai RP 1.374 (95% CI = 1,000-1,888). Hasil penelitian juga menunjukkan tidak ada pengaruh keterbukaan dengan nilai RP 1,173 (95% CI = 0,912-1,509), kesetaraan dengan nilai RP 1,253 (95% CI = 0,953-1,649), pengetahuan dengan nilai RP 0,953 (95% CI = 0,742-1,223), siapa PMO dengan nilai RP 1,211 (95% CI = 0,586-2,503) dan variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap kepatuhan minum obat penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan adalah variabel sikap mendukung dengan nilai RP 6,404 (95% CI = 2,027-20,231).
Disarankan kepada pengawas menelan obat untuk selalu memberikan motivasi kepada penderita TB Paru dengan selalu mengingatkan penderita agar minum obat secara teratur setiap hari, mendampingi penderita TB Paru disaat minum obat, serta mendorong untuk tetap semangat dalam pengobatan sehingga penderita TB Paru akan merasa tenang dan nyaman dalam menghadapi proses pengobatan yang harus dijalaninya.
(8)
ABSTRACT
The prevalence of Lung TB sufferers in Indonesia is 5.8% . The Lung TB sufferers who did re-treatment in 2013 in the City of Medan were 62 persons. In 2013, at Puskesmas (Community Health Center) Glugur Darat, 4 patients did not comply with taking medicine and 1 patient dropped out. The purpose of this study was to explain the influence of the supervisor taking the medicine on the compliance with taking medicine in the sufferers of Lung TB at Puskesmas (Community Health Center) Glugur Darat, the city of Medan.
This is an analytical survey study with cross-sectional design. The population of this study was all of the 169 supervisors of taking medicine in the sufferers of Lung TB at Puskesmas (Community Health Center) Glugur Darat, the city of Medan from 2012 to 2013 and 100 of them were selected to be the samples for this study through systematic random sampling technique. The data for this study was obtained through questionnaire-based interviews. The data obtained were analyzed through multiple logistic regresion tests at α = 5%.
The result of this studied showed that the influence of supportive attitude with RP 2.138 (95% CI = 1439-3.176), positive attitude with RP 1.958 (95% CI = 1.325-2.892), empathy with RP 1.374 (95% CI = 1.000 – 1.888). The result of this study showed that there was no influence of transparency with RP 1.173 (95% CI = 0.912 – 1.509), equivalence with RP 1.253 (95% CI = 0.953 – 1.649) knowledge with RP 0.953 (95% CI = 0.742 – 1.223), who the Supervisor supervising the patient taking the medicine was with RP 1.211 (95% CI = 0.586 – 2.503) and the most dominant variable influencing the compliance with taking medicine in the sufferers of Lung TB at Puskesmas (Community Health Center) Glugur Darat, the city of Medan was the supportive attitude with RP 6.404 (95% CI = 2.027 – 20.231).
The supervisors of taking medicine are suggested to frequently motivate the sufferers of Lung TB by reminding the sufferers to regulary take the medicine every day, accompanying the Lung TB sufferers when taking medicine, and encouraging the Lung TB sufferers to keep their spirit during the treatment that the sufferers will feel calm, relax and comfortable during the treatment process.
Keywords : Supervisor of Taking Medicine, Compliance With Taking Medicine, Lung TB
(9)
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala Rahmat dan KaruniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul: “Pengaruh Pengawas Menelan Obat terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan Tahun 2014.”
Penulis menyadari penulisan tesis ini tidak dapat terlaksana tanpa bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan banyak terima kasih yang tidak terhingga kepada:
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
4. Dra. Nurmaini, M.K.M, Ph.D selaku Ketua Komisi Pembimbing yang penuh perhatian, kesabaran dan ketelitian dalam memberikan bimbingan, arahan, petunjuk, hingga selesainya penulisan tesis ini.
5. dr. Halinda Sari Lubis, M.K.K.K selaku Pembimbing Kedua yang telah meluangkan waktu dan memberi motivasi, bimbingan, arahan, petunjuk hingga selesainya penulisan tesis ini.
(10)
6. dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D dan drh. Hiswani, M.Kes selaku Tim Penguji yang telah banyak memberikan masukan berupa saran dan kritikan demi peningkatan kualitas dan esensi tesis ini.
7. Seluruh staf pengajar Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat selama penulis mengikuti pendidikan.
8. Dr. Rosita Nurjannah, selaku Kepala Puskesmas Glugur Darat Kota Medan beserta jajarannya yang telah memberikan izin penelitian sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik.
9. Suami tercinta M. Syaiful Bahri yang senantiasa memberikan inspirasi, spirit serta curahan kasih sayang yang tiada mampu untuk dilukiskan dengan kata-kata. Juga untuk anak-anakku tersayang M. Fajar Alfansyah Nurhayoto, Muhammad Daffa Nurhayoto dan Alzena Huriyyah Nurhayati dan kedua orangtuaku Alm. Muhammad Nurhayoto Maidi dan Hj. Rusmi yang tiada henti-hentinya memberikan semangat dan dukungan do’a kepada penulis terutama dalam penyusunan tesis ini.
10.Keluarga Besar Alm. Muhammad Nurhayoto Maidi (M. Isman Pranoto, Drs. Med M. Indra Supriadi, Ir. Aida Ekayani, drg. Ety Sofia Ramadhan MKes, Ir. Muhammad Bayu Nurhayoto, Ir. Muhammad Surya Nurhayoto, Muhammad Fajri Nurhayoto SH, iparku dan ponakan-ponakanku yang telah membantu penulis baik secara materi maupun tenaga dalam penyelesaian tesis ini.
(11)
11.Seluruh teman-teman mahasiswa Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara khususnya minat studi Administrasi Kesehatan Komunitas/ Epidemiologi yang telah memberikan semangat dan keindahan persahabatan. Dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan moril kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat banyak kekurangan dan keterbatasan, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini. Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat.
Medan, Juli 2014 Penulis
Eva Latifah Nurhayati 127032273/IKM
(12)
RIWAYAT HIDUP
Eva Latifah Nurhayati, lahir di Medan tanggal 23 Maret 1978, dari pasangan bapak Alm. Muhammad Nurhayoto dan Hj. Rusmi. Penulis anak kedelapan dari delapan orang bersaudara dan menikah dengan M. Syaiful Bahri pada tanggal 11 Maret 2006 dan dikaruniai 3 orang anak (2 orang laki-laki dan 1 orang perempuan). Bertempat tinggal di Krakatau, Jl. Pendidikan No. 21 Kecamatan Medan Timur.
Jenjang pendidikan formal penulis mulai di SD Negeri No 060871 Medan tamat pada tahun 1991. Pada tahun 1994, penulis menyelesaikan pendidikan di SMP Negeri 12 Medan. Pada tahun 1997, penulis menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 7 Medan. Pada tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan D3 Keperawatan di Akademi Keperawatan Departemen Kesehatan RI Medan, Pada Tahun 2005 penulis menyelesaikan S1 di Fakultas Kesehatan Masyarakat USU dan pada tahun 2012-2014 penulis menempuh pendidikan S-2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan dan Komunitas/Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Penulis mulai bekerja sebagai Pegawai Swasta di Yayasan Perguruan Syuhada Akademi Keperawatan Syuhada Padangsidimpuan dari tahun 2006 – 2012.
(13)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Permasalahan ... 8
1.3 Tujuan Penelitian ... 8
1.4 Hipotesis ... 9
1.5 Manfaat Penelitian ... 9
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 10
2.1. Komunikasi (Communication) ... 10
2.1.1. Prinsip Dasar Komunikasi ... 10
2.1.2. Unsur-unsur Komunikasi ... 11
2.1.3. Bentuk-bentuk Komunikasi ... 12
2.1.4. Efektivitas Komunikasi ... 16
2.2. Pengawas Menelan Obat ... 18
2.2.1. Pengertian ... 18
2.2.2. Tujuan ... 19
2.2.3. Persyaratan PMO ... 19
2.2.4. Siapa yang Bisa Jadi PMO ... 19
2.2.5. Tugas PMO ... 20
2.2.6. Informasi Penting yang Perlu Dipahami PMO ... 20
2.3. Kepatuhan... 21
2.3.1. Pengertian ... 21
2.3.2. Faktor yang Memengaruhi Tingkat Kepatuhan ... 21
2.4. Tuberkulosis Paru ... 24
2.4.1. Pengertian ... 24
2.4.2. Sejarah ... 24
2.4.3. Epidemiologi ... 27
2.4.4. Penyebab Penyakit Tuberkulosis... 28
2.4.5. Klasifikasi TB Paru ... 29
(14)
2.4.7. Gejala Klinis Pasien TB ... 31
2.4.8. Pengobatan TB dan Efek Samping ... 32
2.4.9. Memastikan Penyakit TB Paru ... 34
2.4.10. Pencegahan ... 35
2.4.11. Stategi Directly Observed Treatment Short-course ... 35
2.4.12. Strategi AKMS (Advokasi Komunikasi Mobilisasi Sosial) 37 2.5. Kerangka Pikir ... 39
2.6. Landasan Teori... 39
2.7. Kerangka Konsep... 41
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 42
3.1. Jenis Penelitian... 42
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 42
3.3. Populasi dan Sampel... 42
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 43
3.4.1. Jenis Data ... 43
3.4.2. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 44
3.5. Variabel dan Definisi Operasional... 45
3.5.1. Variabel Bebas... 45
3.5.2. Variabel Terikat ... 49
3.6. Aspek Pengukuran ... 49
3.7. Metode Analisis Data ... 50
3.7.1. Analisis Univariat ... 50
3.7.2. Analisis Bivariat ... 50
3.7.3. Analisis Multivariat ... 52
BAB 4. HASIL PENELITIAN... 54
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 54
4.1.1. Letak Geografis ... 54
4.1.2. Wilayah Kerja ... 54
4.1.3. Demografi ... 55
4.1.4. Tenaga Kesehatan yang Bertugas dalam Pelayanan TB Paru ... 56
4.1.5. Penderita TB Paru ... 56
4.2. Karakteristik responden ... 57
4.3. Analisis Univariat ... 58
4.4. Analisis Bivariat ... 60
4.4.1. Hubungan Keterbukaan dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat ... 61
4.4.2. Hubungan Empati dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat ... 62
4.4.3. Hubungan Sikap Mendukung dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat ... 62
(15)
4.4.4. Hubungan Sikap Positif dengan Kepatuhan Minum Obat
Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat ... 63
4.4.5. Hubungan Kesetaraan dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat ... 63
4.4.6. Hubungan Pengetahuan dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat ... 64
4.4.7. Hubungan Siapa PMO dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat ... 64
4.4. Analisis Multivariat ... 65
BAB 5. PEMBAHASAN ... 69
5.1. Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru ... 69
5.2. Hubungan Keterbukaan dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat ... 70
5.3. Hubungan Empati dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat ... 72
5.4. Hubungan Sikap Mendukung dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat ... 74
5.5. Hubungan Sikap Positif dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat ... 76
5.6. Hubungan Kesetaraan dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat ... 78
5.7. Hubungan Pengetahuan dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat ... 79
5.8. Hubungan Siapa PMO dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat ... 81
5.9. Multivariat Hubungan Sikap Mendukung dan Hubungan Sikap Positif dengan Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat ... 82
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 84
6.1 Kesimpulan ... 84
6.2 Saran ... 85
DAFTAR PUSTAKA ... 86 LAMPIRAN
(16)
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman 3.1. Variabel, Cara, Alat, Skala dan Hasil Ukur... 49 4.1. Distribusi Penduduk Berdasarkan Pekerjaan di Wilayah Kerja
Puskesmas Glugur Darat Kota Medan Tahun 2013 ... 56 4.2. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Wilayah Kerja
Puskesmas Glugur Darat Kota Medan Tahun 2013 ... 56 4.3. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di Puskesmas Glugur
Darat Kota Medan ... 57 4.4. Komunikasi Interpersonal (Keterbukaan, Empati, Sikap Mendukung,
Sikap Positif, Kesetaraan), Siapa PMO, Pengetahuan dan Kepatuhan Minum Obat di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan Tahun 2014 ... 58 4.5. Pengaruh (Keterbukaan, Empati, Sikap Mendukung, Sikap Positif,
Kesetaraan, Siapa PMO dan Pengetahuan terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan... 60 4.6. Variabel yang akan Diikutsertakan dalam Analisis Multivariat ... 65 4.7. Pengaruh Pengawas Menelan Obat (Sikap Mendukung dan Sikap
Positif) terhadap Kepatuhan Minum Obat Penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan ... 65
(17)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman 2.1. Kerangka Pikir dan Strategi AKMS ... 39 2.2. Kerangka Teori Penelitian ... 40 2.3. Kerangka Konsep Penelitian... 41
(18)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Surat Pernyataan Persetujuan Sebagai Responden ... 90
2. Kuesioner Penelitian ... 91
3. Perencanaan Waktu Penelitian ... 96
4. Master Valididasi dan Reliabilitas ... 97
5. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 99
6. Master Data Penelitian ... 104
7. Hasil Olah Data ... 107
(19)
ABSTRAK
Penderita TB Paru di Indonesia prevalensi 5,8%. Penderita TB Paru yang melakukan pengobatan ulang pada tahun 2013 di Kota Medan berjumlah 62 orang, sedangkan di Puskesmas Glugur Darat tahun 2013 terdapat 4 orang yang tidak patuh minum obat dan 1 orang drop out. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh pengawas menelan obat terhadap kepatuhan minum obat penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan.
Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pengawas menelan obat pada penderita TB Paru pada tahun 2012 sampai 2013 di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan berjumlah 169 orang dan sampel pada penelitian ini berjumlah 100 orang, pengambilan sampel dengan cara systematik random sampling. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan regresi logistik ganda pada α = 5% .
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh sikap mendukung dengan nilai RP 2,138 (95% CI = 1439-3,176), sikap positif dengan nilai RP 1,958 (95% CI = 1,325-2,892), empati dengan nilai RP 1.374 (95% CI = 1,000-1,888). Hasil penelitian juga menunjukkan tidak ada pengaruh keterbukaan dengan nilai RP 1,173 (95% CI = 0,912-1,509), kesetaraan dengan nilai RP 1,253 (95% CI = 0,953-1,649), pengetahuan dengan nilai RP 0,953 (95% CI = 0,742-1,223), siapa PMO dengan nilai RP 1,211 (95% CI = 0,586-2,503) dan variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap kepatuhan minum obat penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan adalah variabel sikap mendukung dengan nilai RP 6,404 (95% CI = 2,027-20,231).
Disarankan kepada pengawas menelan obat untuk selalu memberikan motivasi kepada penderita TB Paru dengan selalu mengingatkan penderita agar minum obat secara teratur setiap hari, mendampingi penderita TB Paru disaat minum obat, serta mendorong untuk tetap semangat dalam pengobatan sehingga penderita TB Paru akan merasa tenang dan nyaman dalam menghadapi proses pengobatan yang harus dijalaninya.
(20)
ABSTRACT
The prevalence of Lung TB sufferers in Indonesia is 5.8% . The Lung TB sufferers who did re-treatment in 2013 in the City of Medan were 62 persons. In 2013, at Puskesmas (Community Health Center) Glugur Darat, 4 patients did not comply with taking medicine and 1 patient dropped out. The purpose of this study was to explain the influence of the supervisor taking the medicine on the compliance with taking medicine in the sufferers of Lung TB at Puskesmas (Community Health Center) Glugur Darat, the city of Medan.
This is an analytical survey study with cross-sectional design. The population of this study was all of the 169 supervisors of taking medicine in the sufferers of Lung TB at Puskesmas (Community Health Center) Glugur Darat, the city of Medan from 2012 to 2013 and 100 of them were selected to be the samples for this study through systematic random sampling technique. The data for this study was obtained through questionnaire-based interviews. The data obtained were analyzed through multiple logistic regresion tests at α = 5%.
The result of this studied showed that the influence of supportive attitude with RP 2.138 (95% CI = 1439-3.176), positive attitude with RP 1.958 (95% CI = 1.325-2.892), empathy with RP 1.374 (95% CI = 1.000 – 1.888). The result of this study showed that there was no influence of transparency with RP 1.173 (95% CI = 0.912 – 1.509), equivalence with RP 1.253 (95% CI = 0.953 – 1.649) knowledge with RP 0.953 (95% CI = 0.742 – 1.223), who the Supervisor supervising the patient taking the medicine was with RP 1.211 (95% CI = 0.586 – 2.503) and the most dominant variable influencing the compliance with taking medicine in the sufferers of Lung TB at Puskesmas (Community Health Center) Glugur Darat, the city of Medan was the supportive attitude with RP 6.404 (95% CI = 2.027 – 20.231).
The supervisors of taking medicine are suggested to frequently motivate the sufferers of Lung TB by reminding the sufferers to regulary take the medicine every day, accompanying the Lung TB sufferers when taking medicine, and encouraging the Lung TB sufferers to keep their spirit during the treatment that the sufferers will feel calm, relax and comfortable during the treatment process.
Keywords : Supervisor of Taking Medicine, Compliance With Taking Medicine, Lung TB
(21)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan secara umum sering diartikan sebagai upaya multidimensi untuk mencapai kualitas hidup seluruh penduduk yang lebih baik. Oleh banyak negara, pembangunan kesehatan dimaknakan sebagai proses yang terus-menerus dan progresif untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pembangunan nasional di Indonesia, termasuk dibidang kesehatan berkembang semakin kompleks, berubah dengan cepat dan sering kurang menentu. Perkembangan ini memerlukan pemikiran dasar pembangunan kesehatan yang kuat. Pemikiran dasar ini pada hakikatnya merupakan makna dari pelaksanaan paradigma sehat yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Agar pembangunan kesehatan dapat lebih ditingkatkan akselerasi dan mutunya, maka diperlukan penguatan pengelolaan dan pelaksanaan pembangunan kesehatan tersebut.
Pembangunan kesehatan di Indonesia pada hakikatnya adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara social dan ekonomis. Pembangunan kesehatan di Indonesia dalam kurun waktu 30 tahun terakhir ini telah menunjukkan berbagai perkembangan, tetapi dalam awal millennium ke-3 ini
(22)
pembangunan kesehatan menghadapi tantangan strategis yang mendasar, baik eksternal maupun internal. Berbagai tantangan tersebut pada akhirnya mempengaruhi percepatan pembangunan kesehatan yang diharapkan (Hapsara, 2013).
Perkembangan pembangunan kesehatan terutama tampak dari peningkatan derajat kesehatan masyarakat, penyelenggaraan pembangunan kesehatan dan dukungan lingkungan strategis pembangunan kesehatan yang juga tampak meningkat. Dalam lima tahun terakhir terdapat program unggulan/terobosan kementerian kesehatan, antara lain penanggulangan Penyakit Menular salah satunya adalah Tuberkulosis Paru.
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang kemerdekaan, Tuberkulosis ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP-4). Sejak tahun 1969 pengendalian dilakukan secara nasional melalui Puskesmas. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang digunakan adalah paduan standar INH, PAS dan Streptomisin selama satu sampai dua tahun. Asam Para Amino Salisilat (PAS), kemudian diganti dengan Pirazinamid. Sejak 1977 mulai digunakan paduan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH, Rifampisin, Pirazinamid dan Ethambutol selama 6 bulan (Kemenkes,2011).
Pada tahun 1995, program nasional pengendalian Tuberkulosis mulai menerapkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS
(23)
dilaksanakan secara nasional di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan terutama Puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar. (Kemenkes,2011)
Pada tahun 2009 Indonesia merupakan negara dengan pasien Tuberkulosis terbanyak ke -5 di dunia setelah India, Cina, Afrika selatan dan Nigeria. Diperkirakan jumlah pasien Tuberkulosis di Indonesia sekitar 5,8 % dari total jumlah pasien Tuberkulosis di dunia. Insidensi kasus Tuberkulosis BTA positif sekitar 102 per 100.000 penduduk. Sedangkan pada tahun 2012 Indonesia menduduki peringkat ke -4 setelah India, Cina, dan Afrika Selatan.
Hasil survey prevalensi Tuberkulosis di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk. Secara regional prevalensi TB BTA di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah, yaitu : 1) wilayah sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk; 2) wilayah jawa dan bali angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk; 3) wilayah Indonesia timur angka prevalensi TB adalah 120 per 100.000 penduduk. Khusus untuk provinsi DIY dan Bali angka prevalensi TB adalah 68 per 100.000 penduduk. Mengacu pada hasil survey prevalensi tahun 2004, diperkirakan penurunan insiden TB BTA positif secara nasional 3-4 % setiap tahunnya. Sampai tahun 2009, keterlibatan dalam program pengendalian TB dengan strategi DOTS meliputi 98 % Puskesmas, sementara rumah sakit umum, Balai Kesehatan Paru masyarakat mencapai sekitar 50% (Kemenkes, 2011).
Penurunan ini terjadi karena ketekunan dan kerja keras terutama tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas-puskesmas serta dukungan tenaga kesehatan di
(24)
Program Nasional Tuberkulosis Departemen Kesehatan RI, serta bantuan berbagai pihak seperti WHO, LSM misalnya PPTI, KNCV dan USAID serta beberapa Negara penyandang dana yang tergabung dalam GF-ATM ( Global Fund to AIDS, TB and Malaria ) angka kejadian TB dapat diturunkan secara bermakna ( Hudoyo,2008).
Penyakit Tuberkulosis menjadi masalah sosial karena sebagian besar penderitanya adalah kelompok usia kerja produktif, kelompok ekonomi lemah dan tingkat pendidikan rendah. Selain itu masalah lainnya adalah pengobatan penyakit Tuberkulosis memerlukan jangka waktu yang lama dan rutin yaitu 6-8 bulan. Dengan demikian, apabila penderita meminum obat secara tidak teratur/tidak selesai, akan mengakibatkan terjadinya kekebalan ganda kuman TBC terhadap Obat Anti-Tuberkulosis (OAT), sehingga untuk pengobatannya penderita harus mengeluarkan biaya yang tinggi/mahal serta dalam jangka waktu yang relatife lama. Penanggulangan penyakit TB Paru perlu ditangani dengan cara yang lebih baik agar tidak lagi menjadi masalah di Indonesia, terutama dari segi manajemen pengobatan seperti pengawasan keteraturan berobat (Depkes RI, 2002).
Salah satu dari komponen DOTS adalah panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang pengawas menelan obat (PMO). Penderita TB Paru yang teratur melakukan pengobatan disamping karena adanya kesadaran dari penderita untuk lepas dari penyakitnya juga didukung oleh karena adanya peran dari keluarga sebagai pengawas menelan obat yang selalu mengontrol pengobatan penderita TB Paru.
(25)
Anggota keluarga sebagai pengawas menelan obat cukup efektif dan efisien dalam memaksimalkan peran dan fungsi PMO karena tidak mengedepankan reward berupa materi sebagai imbalan jasa tetapi dimotivasi oleh kedekatan keluarga yang disadari oleh pengabdian yang tulus, ikhlas, sabar, dan tanggung jawab sebagai implementasi nilai keyakinan (PPTI,2010).
Hasil penelitian Nasution (2013) memperlihatkan ada hubungan antara dukungan sosial keluarga (dukungan informasional, dukungan penilaian, dukungan instrumental, dan dukungan emosional) sebagai Pengawas Menelan Obat (PMO) dengan kepatuhan minum obat penderita TB Paru di Kecamatan Medan Teladan Kota Medan. Kemudian hasil analisis uji regresi logisik berganda juga memperlihatkan ada pengaruh antara dukungan informasional dan dukungan penilaian yang memiliki pengaruh (p < 0,05) terhadap kepatuhan minum obat penderita TB Paru di Kecamatan Medan Teladan Kota Medan dengan variabel dominannya adalah dukungan informasional.
Selain itu hasil penelitian Panjaitan (2013) menunjukkan bahwa terdapat hubungan komunikasi interpersonal (keterbukaan, sikap mendukung dan sikap positif) petugas kesehatan dengan kepatuhan berobat penderita TB Paru, tidak terdapat hubungan komunikasi interpersonal (empati dan kesetaraan) petugas kesehatan dengan kepatuhan berobat penderita TB Paru dan variabel yang paling dominan berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita TB Paru di Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang adalah variabel sikap positif.
(26)
Artinya disamping faktor petugas medis, pasien, obatnya dan teknik serta cara pengobatan, maka peran pengawasan dalam hal ini keluarga sangat penting untuk membantu kelancaran pasien dalam menjalani terapinya. Bagaimanapun pentingnya pengobatan, faktor keluarga sebagai pengawas akan lebih efisien dan efektif jika dibandingkan pengawasan yang sangat terbatas oleh petugas medis ataupun kader dilingkungannya.
Selain itu strategi komunikasi juga dipergunakan Kemenkes untuk meningkatkan keterampilan konseling dan komunikasi petugas maupun kader TB melalui pelatihan. Sehingga dapat menciptakan dukungan dan persepsi positif dari masyarakat terhadap TB, pengawasan menelan obat bagi pasien TB, perilaku pencegahan penularan TB juga kampanye STOP TB.
Kepatuhan minumobat TB di Indonesia terbukti masih belum maksimal. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2011, terlihat masih adanya penderita TB yang masih belum patuh untuk minum obat atau drop out. Program DOTS yang memiliki target, yaitu menyembuhkan 85% penderita TB di Indonesia ternyata masih belum tercapai secara maksimal. Data surveilans memberikan hasil bahwa telah terjadi resistensi bakteri terhadap OAT pada penderita TB untuk satu jenis OAT (DR-TB, Drug Resistant-TB) sebesar 12,6% dan untuk lebih dari 2 jenis OAT (MDR-TB,Multi Drug Resistant- TB) sebesar 2,2%. Hal ini nyata menunjukkan adanya ketidakpatuhan minum obat TB di Indonesia (Ditjen P2M, 2011).
Data dari the third report of the WHO/IUATLD Global Project on Anti Tuberculosis Drug Resistance Survellance pada 75 area dari 13 negara tahun 1999-
(27)
2002, menunjukkan MDR-TB berkisar antara 6,5% sampai 14% pada kasus baru (resisten primer) dan 30% sampai 60% pada kasus yang pernah diobati (resistensekunder). Di Indonesia, RS. Persahabatan Jakarta (data dari WHO tahun 2003), melaporkan angka MDR-TB sebesar 4,3% pada kasus baru dan 34,44%pada kasus yang pernah diobati.
Dinas KesehatanProvinsi Sumatera Utara juga melaporkan bahwa tingkat kepatuhan minum obat di wilayah kerjanya juga belum mencapai 100%. Pada tahun 2011, kesembuhan penderita memang telah mencapai target nasional. Namun, tingkat kepatuhan minum obatnya belum mencapai 85%. Hal ini terbukti mulai ditemukannya resistensi kuman TB terhadap satu jenis OAT, terutama yang terjadi di Kota Medan.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2013, penderita TB Paru yang melakukan pengobatan ulang untuk triwulan 1 (Januari-Maret) kategori penderita TB yang kambuh 16 orang dan gagal 1 orang, triwulan 2 ( April-Juni) 19 orang yang kambuh, triwulan 3 (Juli-September) 13 orang dengan kategori kambuh dan defaulter 1 orang, triwulan 4 (Oktober-Desember) terdapat 12 orang pederita TB Paru yang kambuh.
Berdasarkan hasil survey awal di Puskesmas Glugur Darat bahwasanya penderita TB Paru pada tahun 2012 berjumlah 99 orang dan tahun 2013 berjumlah 70 orang dengan rincian sebagai berikut pada triwulan 1 (Januari-Maret) 18 orang, triwulan 2 (April-Juni) 11 orang, triwulan 3 (Juli-September) 19 orang dan triwulan 4 (Oktober-Desember) 22 orang ( 2 orang penderita dengan kategori anak ), diantara
(28)
penderita TB Paru tersebut terdapat 4 orang yang tidak patuh minum obat dan 1 orang yang tidak pernah datang kembali untuk mengambil obat ke puskesmas (drop out). Hasil wawancara peneliti dengan petugas TB Paru bahwasanya penderita maupun PMO tidak perduli mengenai manfaat dari OAT, sehingga penderita maupun PMO tidak mengambil obat ke Puskesmas. Agar pengawasan menelan obat berjalan efektif maka diperlukan komunikasi yang baik antara penderita dengan pengawas menelan obat, karena tanpa komunikasi yang baik , interaksi antara PMO dengan penderita tuberkulosis tidak mungkin terjadi. Untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh pengawas menelan obat terhadap kepatuhan minum obat penderita TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Glugur Darat Kota Medan Tahun 2014.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat di ketahui bahwa permasalahan dalam penelitian ini adalah belum di ketahuinya pengaruh pengawas menelan obat terhadap kepatuhan minum obat penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan tahun 2014.
1.3. Tujuan Penelitian
Menganalisis pengaruh pengawas menelan obat (Komunikasi, Siapa PMO, Pengetahuan) terhadap kepatuhan minum obat penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan tahun 2014.
(29)
1.4. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh pengawas menelan obat (Komunikasi, Siapa PMO, Pengetahuan) terhadap kepatuhan minum obat penderita TB Paru di Puskesmas Glugur Darat Kota Medan tahun 2014
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah Kota Medan dalam menentukan kebijakan untuk penanggulangan TB Paru
1.5.2. Sebagai bahan masukkan bagi instansi dan stakeholder terkait dalam meningkatkan penyuluhan KIE terutama dalam kepatuhan minum obat pada penderita TB Paru juga sebagai referensi dalam menyusun program pengendalian TB paru
1.5.3. Sebagai bahan masukan bagi penderita TB Paru terkait dalam pelaksanaan pengobatan TB Paru untuk tetap patuh dalam minum OAT sesuai dosis dan waktu yang telah dianjurkan.
1.5.4. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya
(30)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Komunikasi (Communication) 2.1.1. Prinsip Dasar Komunikasi
Menurut Setiawati yang dikutip Panjaitan, 2013. Komunikasi adalah proses pengoperasian rangsangan (stimulus) dalam bentuk lambang atau simbol bahasa atau gerak (non-verbal), untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Proses komunika si yang menggunakan stimulus atau respon dalam bentuk bahasa baik lisan maupun tulisan selanjutnya disebut komunikasi verbal. Sedangkan apabila proses komunikasi tersebut menggunakan simbol-simbol disebut komunikasi non-verbal
Agar terjadi komunikasi yang efektif antara pihak satu dengan pihak yang lain, antara kelompok satu dengan yang lain, atau seseorang dengan orang lain diperlukan keterlibatan beberapa unsur komunikasi, yakni : Komunikator (source) adalah orang atau sumber yang menyampaikan atau mengeluarkan stimulus antara lain dalam bentuk informasi atau lebih tepatnya disebut pesan yang harus disampaikan. Komunikan (recevier) adalah pihak yang menerima stimulus dan memberikan respon terhadap stimulus tersebut. Respon bisa aktif dalam bentuk ungkapan ataupun pasif dalam bentuk pemahaman. Pesan (message) adalah isi stimulus yang dikeluarkan oleh komunikator (sumber) kepada komunikan. Unsur komunikasi yang terakhir yaitu Saluran (media) adalah alat atau sarana yang digunakan oleh komunikan dalam menyampaikan pesan atau informasi kepada komunikan (Notoatmodjo, 2003).
(31)
Teori perubahan perilaku menurut Rogers (1995):
a. Awareness (kesadaran)
Yakni individu menyadari adanya stimulus yang datang terlebih dahulu b. Interest (perhatian/tertarik)
Individu mulai tertarik dengan adanya stimulus yang masuk
c. Evaluation (menilai)
Individu mulai menimbang-nimbang baik dan buruknya apabila mengikuti stimulus tersebut
d. Trial (mencoba)
Individu mulai mencoba perilaku baru
e. Adoption (menerima)
Individu telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
2.1.2. Unsur-unsur Komunikasi
Agar terjadi komunikasi yang efektif antara pihak satu dengan pihak yang lain, antara kelompok satu dengan yang lain, atau seseorang dengan orang lain diperlukan keterlibatan beberapa unsur komunikasi, yakni : Komunikator (source) adalah orang atau sumber yang menyampaikan atau mengeluarkan stimulus antara lain dalam bentuk informasi atau lebih tepatnya disebut pesan yang harus disampaikan. Komunikan (recevier) adalah pihak yang menerima stimulus dan memberikan respon terhadap stimulus tersebut. Respon bisa aktif dalam bentuk ungkapan ataupun pasif dalam bentuk pemahaman. Pesan (message) adalah isi stimulus yang dikeluarkan
(32)
oleh komunikator (sumber) kepada komunikan. Unsur komunikasi yang terakhir yaitu Saluran (media), adalah alat atau sarana yang digunakan oleh komunikan dalam menyampaikan pesan atau informasi kepada komunikan (Notoatmodjo, 2003).
2.1.3. Bentuk-bentuk Komunikasi
2.1.3.1. Komunikasi Interpersonal/Tatap Muka (Face to face) 2.1.3.1.1. Pengertian
Komunikasi interpersonal melibatkan paling sedikit dua orang yang mempunyai sifat, nilai-nilai, pendapat, sikap, pikiran dan perilaku yang khas dan berbeda-beda. Selain itu, komunikasi interpersonal juga menuntut adanya tindakan saling memberi dan menerima diantara pelaku yang terlibat dalam komunikasi. Dengan kata lain pelaku komunikasi saling bertukar informasi, pikiran, gagasan dan sebagainya (Rakhmat,2002)
Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antar komunikator dengan komunikan, komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam upaya mengubah sikap, pendapat atau perilaku seseorang, karena sifatnya yang dialogis berupa percakapan. Arus balik bersifat langsung, komunikator mengetahui tanggapan komunikan ketika itu juga. Pada saat komunikasi, komunikator mengetahui secara pasti apakah komunikasinya positif atau negatif, berhasil atau tidaknya.(Rakhmat, 2002).
Pada pengobatan TB Paru juga diperlukan pengawas menelan obat, agar pengawasan menelan dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan komunikasi interpersonal pengawas menelan obat dengan penderita TB Paru, karena tanpa
(33)
komuniaksi yang baik diantara keduanya maka interaksi tidak akan berjalan dengan optimal.
2.1.3.1.2. Faktor-faktor Efektivitas Komunikasi Interpersonal
Menurut Devito bahwa faktor-faktor efektivitas komunikasi interpersonal dimulai dengan lima kualitas umum yang dipertimbangkan yaitu :
1. Keterbukaan (Openness)
Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka kepada orang yang diajaknya berinteraksi. Ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan semua riwayat hidupnya, memang ini mungkin menarik, tapi biasanya tidak membantu komunikasi. Sebaliknya, harus ada kesediaan untuk membuka diri mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan, asalkan pengungkapan diri ini patut.
Aspek keterbukaan yang kedua mengacu kepada kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Orang yang diam, tidak kritis, dan tidak tanggap pada umumnya merupakan peserta percakapan yang menjemukan. Kita ingin orang bereaksi secara terbuka terhadap apa yang kita ucapkan. Dan kita berhak mengharapkan hal ini. Tidak ada yang lebih buruk daripada ketidak acuhan, bahkan ketidaksependapatan jauh lebih menyenangkan.Kita memperlihatkan keterbukaan dengan cara bereaksi secara spontan terhadap orang lain.
Aspek ketiga menyangkut “kepemilikan” perasaan dan pikiran (Bochner dan Kelly, 1974). Terbuka dalam pengertian ini adalah mengakui bahwa perasaan dan
(34)
pikiran yang anda lontarkan adalah memang milik anda dan anda bertanggung jawab atasnya. Cara terbaik untuk menyatakan tanggung jawab ini adalah dengan pesan yang menggunakan kata Saya (kata ganti orang pertama tunggal).
2. Empati (Empathy)
Empati adalah sebagai ”kemampuan seseorang untuk ‘mengetahui’ apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu.” Bersimpati, di pihak lain adalah merasakan bagi orang lain atau merasa ikut bersedih. Sedangkan berempati adalah merasakan sesuatu seperti orang yang mengalaminya, berada di kapal yang sama dan merasakan perasaan yang sama dengan cara yang sama.Orang yang empatik mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan keinginan mereka untuk masa mendatang.Kita dapat mengkomunikasikan empati baik secara verbal maupun non verbal. Secara nonverbal, kita dapat mengkomunikasikan empati dengan memperlihatkan (1) keterlibatan aktif dengan orang itu melalui ekspresi wajah dan gerak-gerik yang sesuai; (2) konsentrasi terpusat meliputi kontak mata, postur tubuh yang penuh perhatian, dan kedekatan fisik; serta (3) sentuhan atau belaian yang sepantasnya.
3. Sikap Mendukung (Supportiveness)
Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap mendukung (supportiveness). Suatu konsep yang perumusannya dilakukan berdasarkan karya Jack Gibb. Komunikasi yang terbuka dan empatik tidak dapat berlangsung dalam suasana yang tidak mendukung. Kita memperlihatkan sikap
(35)
mendukung dengan bersikap (1) deskriptif, bukan evaluatif, (2) spontan, bukan strategic, dan (3) provisional, bukan sangat yakin.
4. Sikap Positif (Positiveness)
Kita mengkomunikasikan sikap positif dalam komunikasi interpersonal dengan sedikitnya dua cara: (1) menyatakan sikap positif dan (2) secara positif mendorong orang yang menjadi teman kita berinteraksi. Sikap positif mengacu pada sedikitnya dua aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikasi interpersonal terbina jika seseorang memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri.Kedua, perasaan positif untuk situasi komunikasi pada umumnya sangat penting untuk interaksi yang efektif. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada berkomunikasi dengan orang yang tidak menikmati interaksi atau tidak bereaksi secara menyenangkan terhadap situasi atau suasana interaksi.
5. Kesetaraan (Equality)
Dalam setiap situasi, barangkali terjadi ketidaksetaraan. Salah seorang mungkin lebih pandai. Lebih kaya, lebih tampan atau cantik, atau lebih atletis daripada yang lain. Tidak pernah ada dua orang yang benar-benar setara dalam segala hal. Terlepas dari ketidaksetaraan ini, komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila suasananya setara. Artinya, harus ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan bahwa masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Dalam suatu hubungan interpersonal yang ditandai oleh kesetaraan,ketidak-sependapatan dan konflik lebih dillihat sebagai upaya untuk memahami perbedaan yang pasti ada daripada sebagai kesempatan untuk
(36)
menjatuhkan pihak lain.kesetaraan tidak mengharuskan kita menerima dan menyetujui begitu saja semua perilaku verbal dan nonverbal pihak lain. Kesetaraan berarti kita menerima pihak lain, atau menurut istilah Carl rogers, kesetaraan meminta kita untuk memberikan ”penghargaan positif tak bersyarat” kepada orang lain.
2.1.4. Efektivitas Komunikasi
Komunikasi sebenarnya bukan hanya ilmu pengetahuan, tapi juga seni bergaul agar kita dapat berkomunikasi efektif. Komunikasi yang efektif adalah komunikasi dalam mana makna yang distimulasikan serupa atau sama dengan yang dimaksudkan komunikator. Pendeknya komunikasi efektif adalah makna bersama. Komunikasi yang efektif memberikan keuntungan dalam mencapai tujuan-tujuan pribadi dan pekerjaan. Siapa pun anda dan apa pun pekerjaan anda, anda tidak bisa tidak harus melakukan komunikasi.
Kriteria komunikasi yang efektif secara sederhana, bila orang berhasil menyampaikan apa yang dimaksudkannya. Sebenarnya, ini hanya salah satu ukuran bagi efektivitas komunikasi. Secara umum, komunikasi dinilai efektif bila rangsangan yang disampaikan dan yang dimaksudkan oleh pengirim atau sumber berkaitan erat dengan rangsangan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima.
Keefektifan komunikasi ditentukan oleh etos komunikator. Etos adalah nilai diri seseorang yang merupakan paduan dari kognisi, afeksi dan konasi. Kognisi adalah proses memahami. Afeksi adalah perasaan yang ditimbulkan oleh perangsang dari luar. Konasi adalah aspek psikologis yang berkaitan dengan upaya atau perjuangan (Rakhmat, 2002).
(37)
Ciri-ciri efektif-tidaknya komunikasi ditunjukan oleh dampak kognitif, dampak afektif, dan dampak behavioral yaitu :
a. Dampak kognitif adalah dampak yang timbul pada diri komunikan yang menyebabkan dia menjadi tahu atau meningkat intelektualitasnya.
b. Dampak afektif adalah dampak yang lebih tinggi kadarnya daripada dampak kognitif. Disini tujuan komunikator bukan hanya sekedar agar komunikan tahu, tetapi tergerak hatinya yang dapat menimbulkan perasaan tertentu, misalnya persaan iba, terharu, bahagia dan sebagainya.
c. Dampak behavioral adalah dampak yang paling tinggi kadarnya, yakni dampak yang timbul pada komunikan dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan.
Tanda-tanda komunikasi efektif menimbulkan lima hal : 1. Pengertian/Pemahaman
Seorang komunikator dikatakan efektif bila penerima memperoleh pemahaman yang cermat atas pesan yang disampaikannya.
2. Kesenangan
Komunikasi semacam ini biasa disebut komunikasi fatik atau mempertahankan hubungan insani. Dan komunikasi inilah yang menjadikan hubungan kita hangat, akrab dan menyenangkan.
3. Mempengaruhi sikap
Komunikasi persuasif memerlukan pemahaman tentang faktor-faktor pada diri komunikator, dan pesan menimbulkan efek pada komunikan. Persuasif didefinisikan sebagai “proses mempengaruhi pendapat, sikap dan tindakan
(38)
dengan menggunakan manipulasi psikologis sehingga orang tersebut bertindak seperti atas kehendaknya sendiri”. Dalam berbagai situasi kita berusaha mempengaruhi sikap orang lain, dan berusaha agar orang lain memahami ucapan kita.
4. Memperbaiki hubungan/ hubungan sosial yang baik
Sudah menjadi keyakinan umum bahwa bila seseorang dapat memilih kata yang tepat, mempersiapkannya jauh sebelumnya, dan mengemukakannya dengan tepat pula maka hasilnya adalah komunikasi yang sempurna. Dan dapat dipastikan hubungan sosial yang baik akan timbul.
5. Tindakan
Persuasi juga ditujukan untuk melahirkan tindakan yang dihendaki. Menimbulkan tindakan nyata memang indikator efektivitas yang paling penting. Karena untuk menimbulkan tindakan, kita harus berhasil lebih dulu menanamkan pengertian, membentuk dan mengubah sikap, atau menumbuhkan hubungan yang baik (Rahmat, 2002).
2.2. Pengawas Menelan Obat 2.2.1. Pengertian
Pengawas Menelan Obat adalah orang yang bertugas mengawasi secara langsung terhadap penderita tuberculosis paru pada saat minum obat setiap harinya dengan menggunakan panduan obat jangka pendek (Kemenkes, 2011)
(39)
PMO adalah seseorang yang membantu pasien TB untuk menjalani pengobatan dengan cara mengingatkan dan mengawasi untuk Menelan obat dan memberi dorongan moril agar pasien TB tidak berputus asa (PPTI, 2010)
2.2.2. Tujuan
Menurut Ditjen PPM dan PLP (1997), tujuan diadakannya pengawas menelan obat pada penderita TB Paru adalah :
a. untuk menjamin ketekunan dan keteraturan pengobatan sesuai jadwal yang telah disepakati pada awal pengobatan
b. untuk menghindari penderita dari putus berobat sebelum waktunya
c. mengurangi kemungkinan kegagalan pengobatan dan kekebalan terhadap OAT 2.2.3. Persyaratan PMO
Seorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui baik oleh petugas kesehatan maupun penderita selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita, seseorang yang tinggal dekat penderita, bersedia membantu penderita dengan sukarela, bersedia dilatih dan mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita (Depkes RI, 2000). 2.2.4. Siapa yang Bisa jadi PMO
Semua orang bisa menjadi PMO, yang penting mau dan disetujui oleh pasien TB. Sebaiknya dipilih anggota keluarga terdekat atau kader kesehatan yang telah dilatih, atau petugas kesehatan yang bertempat tinggal tidak jauh dari pasien dan disegani oleh pasien TB (PPTI,2010)
(40)
2.2.5. Tugas PMO
Menurut Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (2010) Tugas PMO sangat penting untuk menjamin keteraturan pengobatan pasien TB, yaitu : a. Mengawasi dan memberi dorongan serta memastikan pasien TB menelan obat
sesuai aturan sampai sembuh.
b. Mengingatkan pasien TB untuk memeriksakan ulang dahak pada waktu yang ditentukan untuk mengetahui perkembangan pengobatan.
c. Memberikan penyuluhan tentang TB dan menyarankan anggota keluarga pasien TB untuk memeriksakan diri bila ada yang dicurigai sakit TB.
d. Memperhatikan atau mengawasi bila ada gejala efek samping obat, segera minta penjelasan atau penanganan selanjutnya kepada petugas kesehatan dan jangan menghentikan minum obat tanpa persetujuan petugas.
2.2.6. Informasi Penting yang Perlu Dipahami PMO ( Kemenkes,2011) 1) TB disebabkan oleh kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan 2) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
3) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya 4) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
5) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
6) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke fasilitas pelayanan kesehatan ( Fasyankes)
(41)
2.3. Kepatuhan 2.3.1. Pengertian
Kepatuhan atau ketaatan adalah tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau oleh orang lain (Smet, 1997). Kepatuhan pasien sebagai sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan (Niven,2002). Penderita yang patuh berobat adalah yang menyelesaikan pengobatan secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan 9 bulan (Depkes RI, 2000)
Penderita dikatakan lalai jika tidak datang lebih dari 3 hari sampai 2 bulan dari tanggal perjanjian dan dikatakan Droup Out jika lebih dari 2 bulan berturut-turut tidak datang berobat setelah dikunjungi petugas kesehatan (Depkes RI,2000)
2.3.2. Faktor yang Memengaruhi Tingkat Kepatuhan
Menurut Smet (1994), factor-faktor yang memengaruhi kepatuhan adalah : a. Faktor Komunikasi
Berbagai aspek komunikasi antara pasien dengan dokter memengaruhi tingkat ketidaktaatan, misalnya informasi dengan pengawasan yang kurang, ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan dokter, ketidakpuasan terhadap obat yang diberikan
b. Pengetahuan
Ketetapan dalam memberikan informasi secara jelas dan eksplisit terutama sekali penting dalam pemberian antibiotic. Karena sering kali pasien menghentikan obat tersebut setelah gejala yang dirasakan hilang bukan saat obat itu habis
(42)
c. Fasilitas Kesehatan
Fasilitas kesehatan merupakan sarana penting dimana dalam memberikan penyuluhan terhadap penderita diharapkan penderita menerima penjelasan dari tenaga kesehatan yang meliputi : jumlah tenaga kesehatan, gedung serba guna untuk penyuluhan dan lain-lain.
Sementara itu menurut Given dalam Wihartini (2010), bahwa factor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah :
a. Faktor Penderita atau Individu
1) Sikap atau motivasi individu ingin sembuh
Motivasi atau sikap yang paling kuat adalah dalam diri individu sendiri. Motivasi individu ingin tetap mempertahankan kesehatannya sangat berpengaruh terhadap factor-faktor yang berhubungan dengan perilaku dalam control penyakitnya 2) Keyakinan
Keyakinan merupakan dimensi spiritual yang dapat menjalani kehidupan. Penderita yang berpegang teguh terhadap keyakinannya akan memiliki jiwa yang tabah dan tidak mudah putus asa serta dapat menerima keadaannya, demikian juga cara perilaku akan lebih baik. Kemauan untuk melakukan control penyakitnya dapat dipengaruhi oleh keyakinan penderita, dimana penderita memiliki keyakinan yang kuat akan lebih tabah terhadap anjuran dan larangan kalau tahu akibatnya
(43)
b. Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga merupakan bagian dari penderita yang paling dekat dan tidak dapat dipisahkan. Penderita akan merasa senang dan tenteram apabila mendapat perhatian dan dukungan dari keluarganya, karena dengan dukungan tersebut akan menimbulkan kepercayaan dirinya untuk menghadapi atau mengelola penyakitnya dengan lebih baik, serta penderita mau menuruti saran-saran yang diberikan oleh keluarga untuk menunjang pengelolaan penyakitnya
c. Dukungan Sosial
Dukungan social dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga lain merupakan factor-faktor yang penting dalam kepatuhan terhadap program-program medis. Keluarga dapat mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu dan dapat mengurangi godaan terhadap ketidaktaatan.
d. Dukungan Petugas Kesehatan
Dukungan petugas kesehatan merupakan factor lain yang dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan. Dukungan mereka terutama berguna saat pasien mengahadapi bahwa perilaku sehat yang baru tersebut merupakan hal penting. Begitu juga mereka dapat memengaruhi perilaku pasien dengan cara menyampaikan antusias mereka terhadap tindakan tertentu dari pasien dan secara terus menerus memberikan penghargaan yang positif bagi pasien yang telah mampu beradaptasi dengan program pengobatannya.
(44)
2.4. Tuberkulosis Paru 2.4.1. Pengertian
Tuberkulosis biasanya disingkat menjadi TB atau TBC adalah penyakit menular disebabkan oleh bakteri tuberculosis (Mycobacterium Tuberculosis). Umumnya menyerang paru, tetapi bisa juga menyerang bagian tubuh lainnya seperti kelenjar getah bening, selaput otak, kulit, tulang dan persendian, usus, ginjal dan organ tubuh lainnya (PPTI,2010)
Tuberkulosis merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh bakteri TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.( Kemenkes,2011)
Tuberkulosis Paru adalah tuberculosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberculosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Penderita dengan TB Paru dan TB Ekstra Paru diklasifikasikan debagai TB paru. (Kemenkes, 2011)
2.4.2. Sejarah
Pada penggalian di Mesir telah ditemukan kerangka-kerangka dengan kelainan-kelainan menyerupai akibat penyakit tuberculosis, dan ternyata kerangka-kerangka tersebut telah berumur antara 600-3700 tahun sebelum masehi. Di Eropa juga ditemukan suatu kerangka Neolithis 1800 tahun sebelum masehi disekitar
(45)
Heidelberg yang menunjukkan adanya bekas-bekas tuberculosis vertebrata. Begitu pula di Amerika ditemukan kerangka-kerangka dengan bekas penyakit tuberculosis pada periode precolumbia. Penggalian bentuk-bentuk tertentu dibeberapa tempat menguatkan dugaan adanya penyakit tuberculosis pada waktu itu, misalnya ditemukan kerangka dengan Bungkuk Pott (Pottse Gibbus) pada tulang belakang. Disamping penemuan-penemuan tersebut, banyak tulisan tentang penyakit ini. Tulisan yang penting berasal dari Yunani dan Romawi, Hipokrates (abad ke V sebelum masehi). Hipokrates menamakan penyakit tersebut sebagai Phthisis yang berasal dari kata phthiein (menjadi kurus). Hippokrates saat itu menggambarkan penyakit tersebut dengan panas tinggi, batuk darah, penurunan berat badan, kelemahan tubuh serta buang-buang air. (Hudoyo,2008)
Perawatan pasien dengan tuberculosis di lukiskan dengan tuberculosis oleh Galenus pada saat itu antara lain dengan cara istirahat, mencuci diri, diit atau perjalanan dengan kapal laut. Selain perjalanan jauh melalui laut juga pergi ke daerah pegunungan, yang akhirnya menimbulkan gagasan pertama tentang pendirian Sanatorium 1840 ( di Reudi) dan di Jerman 1860 (di Brehmer). Pada abad ke XVI ‘ Laennec (1781-1826) masih mempertahankan pendapatannya bahwa tuberculosis adalah penyakit keturunan. Villemin (1827-1892) kemudian mengadakan percobaan untuk membuktikan bahwa penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular,walaupun saat itu belum menemukan kuman tuberkulosis sebagai organisme penyebab penyakit ini.(Hudoyo,2008)
(46)
Pada tanggal 24 Maret tahun 1882 adalah hari yang sangat bersejarah. Pada saat itulah Robert Koch mengumumkan di Berlin bahwa ia telah menemukan penyebab penyakit tubekulosis. Mulai saat itulah kemudian penelitian-penelitian dan percobaan dilakukan untuk menemukan obat pelawan tuberkulosis. Koch sendiri pada tahun 1890 melakukan percobaan dengan menggunakan kuman tuberkulosis yang telah mati –“Old Tuberculine”. Kemudian pada tahun 1907 Old Tuberculine dipakai bukan sebagai obat tapi sebagai larutan penguji oleh Von Pirquit. Pengobatan waktu itu (periode permulaan abad ke XX) berupa “collapse therapy” antara lain “intrapleural pneumothorax” atau tindakan pembedahan dengan cara memperkecil rongga dada (thoracoplasty). Cara-cara ini berlaku sampai ditemukan antibiotika pertama terhadap tuberculosis oleh Waksman pada tahun 1944. Dalam sejarah tuberculosis, maka tinta emas patut dituliskan untuk nama Wilhelm Rontgen yang pada tahun 1895 telah menemukan sinar x, serta Calmette dan Guerin pada tahun 1921 dengan vaksin BCG nya.(Hudoyo,2008)
Di Indonesia tuberculosis ternyata mempunyai sejarahnya sendiri yang patut disimak. Catatan paling tua dari penyakit ini didapatkan pada salah satu relief di Candi Borobudur yang menggambarkan sang Budha dan seorang yang sakit, digambarkan bentuk orang sakit pada umumnya pada waktu itu. Bila relief ini diperhatikan, kita tidak dapat memungkiri suatu gambar dari seorang yang sakit : kurus, iga menonjol, bahu terangkat, pipi cekung, semuanya menggambarkan bentuk suatu kasus tuberculosis. Dengan kata lain, pada waktu (tahun 750 sesudah masehi) orang sudah mengenal penyakit ini diantara mereka (Hudoyo A, 2008)
(47)
2.4.3. Epidemiologi
Di Amerika Serikat prevalensi dari penyakit tuberculosis turun dengan mengesankan semenjak tahun 1900. Di awal abad ini lebih 80 % penduduk terinfeksi sebelum berumur 20 tahun. Dalam suatu penelitian dengan autopsy di tahun 1946 dijumpai tuberkulosis sebanyak 80% dari mereka yang berumur diatas 50 ta hun. Pada tahun 1972 hanya 2 sampai 5 % dari anak-anak muda yang memberi reaksi tuberculin positif sedang pada usia diatas 50 tahun dijumpai sekitar 25 %. Penurunan insiden nyata terjadi pada anak-anak dan usia remaja. Hal ini berbeda dengan negara sedang berkembang, seperti Indonesia dengan penderita TB terbanyak pada usia angkatan kerja atau dewasa muda. ( Hudoyo, 2008)
Pada tahun 1959 insiden di Amerika Serikat sebesar 53 per 100.000 penduduk, kemudian turun menjadi 24 pada tahun 1966 dan turun lagi menjadi 14 pada tahun 1974. Sedangkan angka kematian di Amerika Serikat tercatat 200 orang dalam 100.000 orang pada tahun 1906, pada tahun 1966 turun menjadi 3,8 dan pada tahun 1976 menjadi hanya 1,5 per 100.000 penduduk
Gambaran penyakit TB di Indonesia, ditunjukkan oleh hasil survey prevalensi yang diadakan di Yogyakarta dan Malang sekitar tahun 1961-1965 dengan bantuan WHO dan Unicef, gambaran data-data epidemiologi saat itu adalah sbb :
1. Prevalensi BTA positif adalah 0,6 % (dengan biakan)
2. Prevalensi kelainan paru dengan pemeriksaan sinar tembus 3,6 % 3. Angka kejadian penularan tahunan diperhitungkan sebesar 5 % 4. Breakdown rate sebesar 5 %
(48)
5. Insidensi sumber penularan 0,10-0,15 % menurut perkiraan WHO
6. Angka kematian akibat penyakit TBC di Jakarta 36,8/100.000 penduduk pada tahun 1967
Dari survey di Jakarta tahun 1962 dan hasil Run-test jumlah penderita TB di beberapa daerah Nampak bahwa golongan masyarakat berpenghasilan rendah merupakan sasaran kuman-kuman TB.
Jumlah penderita TB di Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah india dan China. Laporan dari WHO tahun 2000, jumlah penderita TB di India sebanyak 1,85 juta jiwa, di China 1,36 juta jiwa dan di Indonesia 0,59 juta jiwa. Dengan angka prevalensi masing-masing untuk India 184/100.000 penduduk, di China 102/100.000 penduduk dan di Indonesia 280/100.000 penduduk.(Hudoyo,2008)
2.4.4. Penyebab Penyakit Tuberkulosis
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri jenis Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Dokter Robert Koch. bakteri ini sangat kecil, untuk melihat bakteri ini perlu dilihat dengan mikroskop. Bakteri ini dapat ditemukan dalam dahak atau sputum seseorang yang sedang sakit TB. Bakteri ini bersifat tahan terhadap larutan asam atau bahkan lebih terkenal dengan nama Basil Tahan Asam (BTA). Jadi untuk pemeriksaan dahak pasien yang diduga sakit TB, pemeriksaan dahak yang diminta ke laboratorium dinamakan ‘Pemeriksaan Sputum BTA’. Pemeriksaan dahak BTA lazimnya dilakukan 3x berturut-turut untuk menghindari factor kebetulan. Bila hasil pemeriksaan dahak minimal 2 x positif, maka sudah dapat dipastikan orang tersebut sakit TB Paru.(Hudoyo,2008).
(49)
2.4.5. Klasifikasi TB Paru
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh bakteri TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2008).
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru dibagi dalam 2 bagian yaitu ; (1) TBC paru BTA positif (sangat menular) yaitu sekurang-kurangnya 2 dari 3
pemeriksaan dahak, memberikan hasil yang positif. Satu pemeriksaan dahak memberikan hasil yang positif dan foto rontgen dada menunjukkan TBC aktif; (2) TBC paru BTA negatif, yaitu pemeriksaan dahak hasilnya masih meragukan.
Jumlah bakteri yang ditemukan pada waktu pemeriksaan belum memenuhi syarat positif. Foto rontgen dada menunjukkan hasil positif .
2.4.6. Cara Penularan dan Risiko Penularan 2.4.6.1. Cara Penularan
1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
2. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan bakteri ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh bakteri. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
(50)
4. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya bakteri yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.
5. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan bakteri TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
6. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.
7. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.
8. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.
9. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif. 10. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB
11. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.
12. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).
(51)
13. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian.
2.4.6.2. Risiko Penularan
Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.
Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Seseorang dapat terpapar dengan TB hanya dengan menghirup sejumlah kecil bakteri TB. Penderita TB dengan status TB BTA (Basil Tahan Asam) positif dapat menularkan sekurang-kurangnya kepada 10-15 orang lain setiap tahunnya. Sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB (Depkes RI, 2008).
Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negative. menjadi positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien. TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).
2.4.7. Gejala Klinis Pasien TB
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
(52)
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
2.4.8. Pengobatan TB dan Efek Samping
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi bakteri terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Kombinasi beberapa jenis obat tersebut terdiri dari ; Rifampisin, INH, Pyrazinamid, Etambutol, Streptomisin . 2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung oleh seorang PMO, supaya penderita meminum obatnya secara teratur setiap hari. Minum obat yang tidak teratur dan terputus putus bisa menimbulkan kekebalan
(53)
bakteri terhadap obat anti TBC sehingga bakteri tidak mati dan penyakit sulit untuk sembuh. Keadaan ini akan sangat membahayakan penderita sendiri maupun masyarakat sekitarnya.
3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil pengobatan yaitu ; luasnya tubuh yang diserang, jenis, jumlah dan dosis obat yang cukup, teratur dalam menjalankan proses pengobatan, Istirahat yang cukup, perumahan yang sehat, makan-makanan bergizi, Iklim, faktor psikis.
Sebagian besar pasien menyelesaikan pengobatan TB tanpa efek samping yang bermakna, namun sebagian kecil mengalami efek samping. Oleh karena itu pengawasan klinis terhadap efek samping harus dilakukan. Petugas kesehatan dapat memantau efek samping dengan dua cara. Pertama dengan menerangkan kepada pasien untuk mengenal tanda-tanda efek samping obat dan segera
(54)
melaporkannyakepada dokter. Kedua, dengan menanyakan secara khusus kepada pasien tentang gejala yang dialaminya.
Efek samping saat minum obat yang perlu diketahui yaitu; kulit berwarna kuning, air seni berwarna gelap seperti minum air teh, kesemutan, mual dan muntah, hilang nafsu makan, perubahan pada penglihatan, demam yang tidak jelas, lemas dan keram perut.
Dosis obat penderita TB Paru disesuiakan dengan berat badan penderita TB Paru (Kemenkes,2011)
Tabel 2.1. Dosis Obat Penderita TB Paru
Berat Badan
Tahap Intensif TiapHariselama 56 Hari
RHZE (150/75/400/275)
Tahap Lanjutan 3 Kali Seminggu selama 16
Minggu RH (150/150) 30 – 37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2KDT 38 – 54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2KDT 55 – 70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2KDT
2.4.9. Memastikan Penyakit TB Paru
Untuk memastikan bahwa seseorang menderita TB paru atau tidak, dapat dilakukan pemeriksaan dahak sebanyak 3x selama 2 hari yang dikenal dengan istilah SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) yaitu;
1. Sewaktu (hari pertama), yaitu pemeriksaan dahak sewaktu penderita dating pertama kali;
2. Pagi (hari kedua), yaitu pemeriksaan sehabis bangun tidur kesesokan harinya. Dahak ditampung dalam pot kecil yang diberi petugas laboratorium;
(55)
3. Sewaktu (Hari kedua), yaitu pemeriksaan dahak yang dikeluarkan saat penderita datang ke laboratorium untuk diperiksa. Jika positif, orang tersebut dipastikan menderita TB Paru.
Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis (Depkes RI, 2007).
2.4.10. Pencegahan
Cara Pencegahan Penyakit TBC Menurut Depkes RI (2007) agar terhindar dari TB paru ada beberapa hal yang perlu dilakukan diantaranya :
1. Membiasakan cara hidup sehat dengan makan makanan yang bergizi, istirahat yang cukup, olah raga teratur, menghindari rokok, alkhol, obat terlarang dan menghindari stress.
2. Bila batuk mulut ditutup.
3. Jangan meludah sembarang tempat 4. Lingkungan sehat.
5. Vaksinasi BCG pada bayi
2.4.11. Strategi Directly Observed Treatment Short-course (DOTS)
Pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed
(56)
Treatment Short-course) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective).
Strategi ini dikembangkan dari berbagi studi, uji coba klinik (clinical trials), pengalaman-pengalaman terbaik (best practices), dan hasil implementasi program penanggulangan TB selama lebih dari dua dekade. Penerapan strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat menekan penularan, juga mencegah berkembangnya MDR-TB.
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.
WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi cost benefit yang dilakukan oleh WHO di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program penanggulangan TB, akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun.
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci: 1) Komitmen politis
(57)
3) Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan.
4) Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.
5) Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.
Strategi DOTS di atas telah dikembangkan oleh Kemitraan global dalam penanggulangan tb (stop TB partnership) dengan memperluas strategi dots sebagai berikut :
1) Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS 2) Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya 3) Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan
4) Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta. 5) Memberdayakan pasien dan masyarakat
6) Melaksanakan dan mengembangka
2.4.12. Strategi AKMS (Advokasi Komunikasi Mobilisasi Sosial)
AKMS adalah suatu konsep sekaligus kerangka kerja terpadu untuk mempengaruhi dan mengubah kebijakan publik, perilaku dan memberdayakan masyarakat dalam pelaksanaan pengendalian TB. AKMS TB merupakan suatu rangkaian kegiatan advokasi, komunikasindan mobilisasi sosial yang dirancang secara sistematis dan dinamis.(Kemenkes,2011).
(58)
Langkah-langkah dalam strategi AKMS : 1. Advokasi
a. Analisa situasi
b. Memilih strategi tang tepat (advokator, pelaksana, metode dsb) c. Mengembangkan bahan-bahan yang perlu disajikan kepada sasaran d. Mobilisasi sumber dana
2. Komunikasi
Strategi komunikasi yang dilakukan salah satunya adalah meningkatkan keterampilan konseling dan komunikasi petugas maupun kader TB melalui pelatihan. Strategi komunikasi diharapkan dapat menciptakan dukungan dan persepsi positif dari masyarakat terhadap TB, pengawasan menelan obat bagi pasien TB, perilaku pencegahan penularan TB dan kampanye stop TB.
3. Mobilisasi Sosial
a. Memberikan pelatihan/orientasi kepada kelompok pelopor (kelompok yang paling mudah menerima isu yang sedang diadvokasi
b. Mengkonsolidasikan mereka yang telah mengikuti pelatihan/orientasi menjadi kelompok-kelompok pendukung/kader
c. Mengembangkan jaringan informasi diantara anggota koalisi agar selalu mengetahui dan merasa terlibat dengan isu yang diadvokasikan
d. Melaksanakan kegiatan yang bersifat masal dengan melibatkan sebanyak mungkin anggota koalisi
e. Mendayagunakan media massa untuk mengekspose kegiatan koalisi dan sebagai jaringan informasi
(1)
Chi-Square Testsd
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Point Probability
Pearson Chi-Square .376a
1 .540 .617 .432
Continuity Correctionb .010 1 .919
Likelihood Ratio .352 1 .553 .617 .432
Fisher's Exact Test .617 .432
Linear-by-Linear Association .372c 1 .542 .617 .432 .299
N of Valid Cases 100
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,40.
b. Computed only for a 2x2 table
c. The standardized statistic is ,610.
d. For 2x2 crosstabulation, exact results are provided instead of Monte Carlo results.
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for siapa pmo
(keluarga inti / tidak keluarga inti) 1.769 .280 11.198
For cohort kategori kepatuhan
minum obat = patuh 1.211 .586 2.503
For cohort kategori kepatuhan
minum obat = tidak patuh .684 .223 2.102
(2)
Logistic Regression
Block 1: Method = Backward Stepwise (Likelihood Ratio)
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 33.151 7 .000
Block 33.151 7 .000
Model 33.151 7 .000
Step 2a Step -.024 1 .878
Block 33.128 6 .000
Model 33.128 6 .000
Step 3a Step -.067 1 .796
Block 33.061 5 .000
Model 33.061 5 .000
Step 4a Step -.187 1 .666
Block 32.874 4 .000
Model 32.874 4 .000
Step 5a Step -.685 1 .408
Block 32.189 3 .000
Model 32.189 3 .000
Step 6a Step -2.456 1 .117
Block 29.733 2 .000
Model 29.733 2 .000
a. A negative Chi-squares value indicates that the Chi-squares value has decreased from the previous step.
Model Summary
Step -2 Log likelihood
Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
1 85.439a .282 .406
2 85.463a .282 .406
3 85.530a .282 .405
4 85.717a .280 .403
5 86.402a .275 .396
6 88.857a .257 .370
a. Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than ,001.
(3)
Classification Tablea
Observed
Predicted kategori kepatuhan
minum obat
Percentage Correct patuh tidak patuh
Step 1 kategori kepatuhan minum obat patuh 64 8 88.9
tidak patuh 11 17 60.7
Overall Percentage 81.0
Step 2 kategori kepatuhan minum obat patuh 63 9 87.5
tidak patuh 10 18 64.3
Overall Percentage 81.0
Step 3 kategori kepatuhan minum obat patuh 65 7 90.3
tidak patuh 10 18 64.3
Overall Percentage 83.0
Step 4 kategori kepatuhan minum obat patuh 61 11 84.7
tidak patuh 10 18 64.3
Overall Percentage 79.0
Step 5 kategori kepatuhan minum obat patuh 64 8 88.9
tidak patuh 11 17 60.7
Overall Percentage 81.0
Step 6 kategori kepatuhan minum obat patuh 64 8 88.9
tidak patuh 11 17 60.7
Overall Percentage 81.0
(4)
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
95,0% C.I.for EXP(B)
Lower Upper
Step 1a Kk .086 .556 .024 1 .878 1.089 .367 3.238
Ek .474 .613 .600 1 .439 1.607 .484 5.338
mk 1.597 .630 6.433 1 .011 4.940 1.438 16.973
Sk 1.357 .630 4.641 1 .031 3.883 1.130 13.338
ksk .991 .604 2.691 1 .101 2.693 .825 8.794
pengk -.154 .586 .069 1 .792 .857 .272 2.701
spmok .483 1.141 .179 1 .672 1.621 .173 15.173
Constant -7.783 2.285 11.598 1 .001 .000
Step 2a Ek .484 .609 .631 1 .427 1.622 .492 5.354
mk 1.595 .631 6.389 1 .011 4.928 1.431 16.973
Sk 1.372 .623 4.851 1 .028 3.943 1.163 13.370
ksk .990 .603 2.699 1 .100 2.693 .826 8.777
pengk -.151 .586 .067 1 .796 .860 .273 2.710
spmok .487 1.140 .183 1 .669 1.628 .174 15.195
Constant -7.694 2.206 12.159 1 .000 .000
Step 3a Ek .479 .610 .618 1 .432 1.615 .489 5.338
mk 1.566 .620 6.385 1 .012 4.787 1.421 16.127
Sk 1.404 .610 5.302 1 .021 4.072 1.232 13.457
ksk 1.002 .602 2.776 1 .096 2.725 .838 8.862
spmok .495 1.144 .187 1 .665 1.640 .174 15.435
Constant -7.921 2.035 15.152 1 .000 .000
Step 4a Ek .504 .607 .690 1 .406 1.656 .504 5.438
mk 1.553 .616 6.357 1 .012 4.725 1.413 15.800
Sk 1.416 .610 5.392 1 .020 4.120 1.247 13.609
ksk 1.027 .601 2.913 1 .088 2.791 .859 9.074
Constant -7.465 1.730 18.623 1 .000 .001
Step 5a mk 1.708 .593 8.303 1 .004 5.519 1.727 17.640
Sk 1.425 .609 5.483 1 .019 4.158 1.261 13.707
ksk .870 .562 2.392 1 .122 2.387 .792 7.187
Constant -6.771 1.447 21.879 1 .000 .001
Step 6a mk 1.857 .587 10.009 1 .002 6.404 2.027 20.231
Sk 1.207 .581 4.320 1 .038 3.344 1.071 10.438
Constant -5.408 1.019 28.158 1 .000 .004
a. Variable(s) entered on step 1: kk, ek, mk, sk, ksk, pengk, spmok.
(5)
Model if Term Removed
Variable
Model Log Likelihood
Change in -2 Log
Likelihood df Sig. of the Change
Step 1 Kk -42.732 .024 1 .878
Ek -43.017 .595 1 .440
Mk -46.057 6.674 1 .010
Sk -45.050 4.661 1 .031
Ksk -44.124 2.808 1 .094
pengk -42.755 .070 1 .792
spmok -42.809 .179 1 .672
Step 2 Ek -43.045 .626 1 .429
Mk -46.057 6.650 1 .010
Sk -45.149 4.835 1 .028
Ksk -44.140 2.817 1 .093
pengk -42.765 .067 1 .796
spmok -42.823 .182 1 .670
Step 3 Ek -43.072 .613 1 .434
mk -46.074 6.618 1 .010
sk -45.424 5.318 1 .021
ksk -44.214 2.898 1 .089
spmok -42.858 .187 1 .666
Step 4 ek -43.201 .685 1 .408
mk -46.146 6.574 1 .010
sk -45.559 5.402 1 .020
ksk -44.381 3.046 1 .081
Step 5 mk -47.482 8.562 1 .003
sk -45.942 5.482 1 .019
ksk -44.429 2.456 1 .117
Step 6 mk -49.619 10.381 1 .001
(6)
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 2a Variables kk .024 1 .878
Overall Statistics .024 1 .878
Step 3b Variables kk .021 1 .885
pengk .067 1 .796
Overall Statistics .090 2 .956
Step 4c Variables kk .023 1 .878
pengk .071 1 .789
spmok .189 1 .664
Overall Statistics .280 3 .964
Step 5d Variables kk .055 1 .814
ek .696 1 .404
pengk .061 1 .805
spmok .264 1 .607
Overall Statistics .969 4 .914
Step 6e Variables kk .048 1 .827
ek .096 1 .757
ksk 2.466 1 .116
pengk .146 1 .703
spmok .371 1 .543
Overall Statistics 3.416 5 .636
a. Variable(s) removed on step 2: kk. b. Variable(s) removed on step 3: pengk. c. Variable(s) removed on step 4: spmok. d. Variable(s) removed on step 5: ek. e. Variable(s) removed on step 6: ksk.