BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Atas Turunnya Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris

BAB I PENDAHULUAN Alat bukti yang sah atau diterima dalam suatu perkara (perdata), pada dasarnya

  terdiri dari ucapan dalam bentuk keterangan saksi-saksi, pengakuan, sumpah, dan tertulis dapat berupa tulisan-tulisan yang mempunyai nilai pembuktian. Dalam perkembangan alat bukti sekarang ini (untuk perkara pidana juga perdata) telah diterima pula alat bukti elektronis atau yang terekam atau yang disimpan secara elektronis sebagai alat bukti yang

  1

  sah dalam persidangan pengadilan. Menurut George Whitecross Patton alat bukti dapat berupa oral (words spoken by a witness in court) dan documentary (the production of a

  

admissible documents) atau material (the production of a physical res other than a

  2 document ).

  Alat bukti adalah bahan-bahan yang dipakai untuk pembuktian dalam suatu perkara

  3

  di depan persidangan pengadilan. Dalam Pasal 1866 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyebutkan alat-alat bukti terdiri dari : 1

  a. Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan.

  b. Pasal 38 huruf b dan c Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

  c. Pasal 26 A huruf a dan b Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan

Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

  d. Pasal 27 huruf b Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang. 2 George Whitecross Patton, A Text-Book of Jurisprudence, Oxford at the Clarendon Press, second edition, 1953, hal. 481. 3 Bachtiar Effendie, Masdari Tasmin dan A.Chodari, Surat Gugatan dan Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 49.

  1. Bukti Tulisan;

  2. Bukti dengan saksi-saksi;

  4. Pengakuan; 5. Sumpah.

  Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan

  4

  tulisan-tulisan dibawah tangan. Baik akta otentik maupun akta dibawah tangan dibuat dengan tujuan sebagai alat bukti. Perbedaan yang penting antara kedua jenis bukti tulisan tersebut, yaitu dalam nilai pembuktian, akta otentik mempunyai pembuktian yang sempurna. Dengan kesempurnaan akta Notaris sebagai alat bukti, maka akta tersebut harus dilihat apa adanya, tidak perlu dinilai atau ditafsirkan lain, selain yang tertulis dalam akta tersebut. Akta dibawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian sepanjang para pihak mengakuinya atau tidak ada penyangkalan dari salah satu pihak. Jika ada salah satu pihak tidak mengakuinya, beban pembuktian diserahkan kepada pihak yang menyangkal tersebut dan penilaian atas penyangkalan bukti tersebut diserahkan kepada hakim. Baik alat bukti akta dibawah tangan maupun akta otentik harus memenuhi rumusan mengenai sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata dan secara materil mengikat para pihak yang membuatnya (Pasal 1338 KUHPerdata) sebagai suatu perjanjian yang harus ditepati oleh para pihak (pacta sunt servanda).

  4 Pasal 1867 KUHPerdata. Menurut Subekti yang dimaksud dengan akta adalah suatu tulisan yang memang

  5 dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani.

  yang ditentukan dalam Pasal 1868 KUHPerdata, yaitu : 1.

  Akta harus dibuat oleh (door) atau dihadapan (ten overstaan) seseorang pejabat umum.

  2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.

  3. Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai kewenangan untuk membuat akta itu.

  Akta yang dibuat oleh (door) Notaris dalam praktiknya disebut Akta Relaas atau Akta Berita Acara yang berisi berupa uraian Notaris yang dilihat dan disaksikan Notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris. Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) Notaris, dalam praktik Notaris disebut Akta Pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan Notaris. Para pihak

  6 berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris.

  Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang yaitu Undang-undang No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN). Ketentuan-ketentuan akta Notaris dalam UUJN dapat dilihat pada Pasal 38 yang berbunyi : 5

  1. Setiap akta Notaris terdiri atas : 6 Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta : PT. Pradnya Paramitha, 2005), hal. 25.

  G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta : Erlangga, 1983), hal. 51. a. awal akta atau kepala akta;

  b. badan akta; dan c. akhir atau penutup akta.

  2. Awal akta atau kepala akta memuat :

  b. nomor akta;

  c. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.

  3. Badan akta memuat :

  a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;

  b. keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;

  c. isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan d. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

  4. Akhir atau penutup akta memuat:

  a. uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m atau Pasal 16 ayat (7); b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada; c. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian.

  5. Akta Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris, selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), juga memuat nomor dan tanggal penetapan pengangkatan, serta pejabat yang mengangkatnya.

  Kewenangan Pejabat untuk membuat akta diatur pada Pasal 15 UUJN yang berbunyi: Ayat (1) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang Ayat (2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula: a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

  e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta;

  f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. membuat Akta risalah lelang. Ayat (3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

  Berdasarkan Pasal 1888 KUHPerdata, kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya, apabila akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta ikhtisar- ikhtisar hanyalah dapat dipercaya sekadar salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan aslinya, yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukannya. Kekuatan pembuktian akta otentik akan ada selama minuta akta aslinya masih menjadi bagian prokol Notaris. Apabila Notaris tersebut pensiun maka protokol Notaris pensiun tersebut diteruskan oleh Notaris lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

  Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat sendiri oleh pihak-pihak yang

  7

  berkepentingan tanpa bantuan pejabat umum. Akta otentik diatur dalam HIR dan KUHPerdata, namun akta dibawah tangan ini tidak diatur dalam HIR untuk Jawa dan Madura. Akta dibawah tangan ini diatur dalam ordonansi Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3 karena pada waktu HIR dibuat (sebelum tahun 1848) akta dibawah tangan tersebut diatur khusus dalam Staatsblad 1867 Nomor 29 tentang kekuatan pembuktian tulisan-tulisan dibawah 7 Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2004), hal. 100. tangan. Untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam RBg Pasal 286 sampai dengan

  Pasal 305. Selain itu, akta dibawah tangan dapat juga dilihat dalam Pasal 1874 sampai mengatur mengenai akta otentik saja, maka RBg selain mengatur mengenai akta otentik juga mengatur mengenai akta dibawah tangan.

  8 Adapun isi dari Pasal-pasal S. 1867 No. 29 adalah sebagai berikut:

  Pasal 1 “Sebagai tulisan-tulisan dibawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat rumah tangga, dan lain-lain tulisan yang ditandatangani, yang dibuat tanpa bantuan seorang pejabat umum. Dengan penandatanganan sebuah tulisan dibawah tangan dipersoalkan cap jari yang dibutuhkan dibawahnya, disahkan dengan suatu keterangan yang tertinggal dari seorang notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang dari mana ternyata bahwa ia mengenai di pembubuh cap jari tersebut dibubuhkan dihadapan pejabat tersebut.”

  Pasal 2 “Barang siapa yang terhadapnya diajukan suatu tulisan dibawah tangan, diwajibkan secara tegas mengakui atau menyangkal tanda tangannya, tetapi bagi para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripadanya cukuplah jika mereka menerangkan tidak mengakui tulisan atau tanda tangan itu sebagai tulisan atau tanda tangan orang yang mereka wakili.”

  Pasal 3 “Jika seseorang menyangkal tulisan atau tanda tangannya, ataupun jika para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripadanya, menerangkan tidak mengakuinya, maka hakim harus memerintahkan supaya keaslian daripada tulisan atau tanda tangan tersebut.

  Selain dari ketentuan Pasal 1869 KUHPerdata mengenai kekuatan pembuktian akta, didalam UUJN juga mengatur ketentuan pembuktian akta tersebut, yaitu pada Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51. Beberapa Pasal tersebut mengatur terperincinya terhadap bentuk akta, dengan tidak terpenuhinya ketentuan yang ada pasal- pasal tersebut maka menyebabkan turunnya (degradasi) kekuatan pembuktian akta otentik. Istilah degradasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti penurunan, 8 Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung : PT. Cipta Aditya Bakti, 1992), hal. 137. tentang pangkat, mutu, moral dan sebagainya, kemunduran, kemerosotan atau dapat juga

  9

  menempatkan ditingkat atau posisi yang lebih rendah. Dalam pengertian yang bukti yang lengkap atau sempurna dan memiliki kekuatan mengikat, serta telah mencukupi batas minimal alat bukti yang sah tanpa lagi diperlukan alat bukti lain dalam suatu

  10

  sengketa hukum perdata, namun demikian akta tersebut dapat mengalami penurunan mutu atau kemunduran atau kemerosotan status, dalam arti posisinya lebih rendah dalam kekuatan sebagai alat bukti, dari kekuatan bukti lengkap dan sempurna menjadi permulaan pembuktian seperti akta dibawah tangan dan dapat memiliki cacat hukum yang

  11 menyebabkan kebatalan atau ketidakabsahannya akta tersebut.

  Notaris sebagai pejabat umum tentunya dalam membuat suatu akta, tidak dapat diberlakukan serta merta terhadap akta yang dibuatnya mengalami turunnya kekuatan pembuktian dari akta otentik menjadi akta dibawah tangan, seharusnya melalui prosedur pembuktian di pengadilan dan mendapatkan keputusan pengadilan yang inkrah terlebih dahulu. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya celah hukum bagi oknum yang tidak beritikad baik. 9 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi ke empat, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 304. 10 Menurut Pasal 1870 KUHPerdata suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta para

ahli warisnya atau orang yang mendapatkan haknya dari mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa yang

  

dimuat didalamnya. Akta otentik merupakan suatu bukti yang mengikat dalam arti bahwa apa yang ditulis

dalam akta tersebut harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus dianggap sebagai benar, selama

ketidakbenarannya tidak dibuktikan. Dan akta tersebut memberikan suatu bukti yang sempurna, dalam arti

bahwa akta tersebut sudah tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian. Akta otentik itu tidak hanya

membuktikan bahwa para pihak sudah menerangkan apa yang dituliskan, tetapi juga bahwa apa yang

diterangkan tadi adalah benar. R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2008), hal. 27. 11 Habib Adjie, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, (Bandung : CV. Mandar Maju, 2011), hal. 120.

  Pelaksanaan turunnya kekuatan pembuktian akta hanya karena kurang paraf (yang diatur pada Pasal 50 ayat (2)) yang salah satu akibatnya berpengaruh pada perjanjian kredit dan biaya-biaya yang timbul. Apabila ada pihak debitur yang beritikad tidak baik hal-hal tersebut dapat menjadi celah hukum untuk menjatuhkan Notaris tanpa dibuktikan terlebih dahulu. Pasal-pasal tersebut sudah serta merta memberikan vonis Notaris bersalah tanpa melalui pembuktian di pengadilan (mengenyampingkan asas praduga tidak bersalah).

  Berdasarkan latar belakang tersebut di atas ,maka perlu kiranya dilakukan penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Atas Turunnya Kekuatan Pembuktian Akta Notaris

  Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris No. 2 Tahun 2014 Tentan g Jabatan Notaris.”

B. Perumusan Masalah

  Ada beberapa pokok permasalahan hukum yang akan dibahas dalam penyusunan penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimana kedudukan hukum atas batasan turunnya kekuatan pembuktian akta

  Notaris berdasarkan UUJN No. 2 Tahun 2014? 2. Bagaimana mekanisme penerapan sanksi terhadap Notaris dalam terjadinya turunnya kekuatan pembuktian akta Notaris?

  3. Bagaimana batasan pertanggungjawaban Notaris terhadap turunnya kekuatan pembuktian akta Notaris?

C. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan pada rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan Penelitian ini adalah :

  1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana kedudukan hukum atas batasan turunnya kekuatan pembuktian akta Notaris berdasarkan UUJN No. 2 Tahun 2014.

  Untuk mengetahui dan mengalisis bagaimana mekanisme penerapan sanksi terhadap Notaris dalam terjadinya turunnya kekuatan pembuktian akta Notaris.

  3. Untuk mengetahui dan mengalisis bagaimana batasan pertanggungjawaban Notaris terhadap turunnya kekuatan pembuktian akta Notaris.

D. Manfaat Penelitian

  Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu:

  1. Secara Teoritis a.

  Bagi masyarakat hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Hukum khususnya di Kenotariatan; b. Bagi para akademis dan dunia pendidikan hasil penelitian ini juga diharapkan menambah khasanah keilmuan dan pengembangan ilmu hukum.

  2. Secara Praktis a.

  Sebagai bahan masukan bagi praktisi yang terlibat langsung mengenai akta otentik; b.

  Sebagai bahan masukan untuk pembuat undang-undang (legislatif) tentang turunnya kekuatan pembuktian akta.

E. Keaslian Penelitian

  Berdasarkan Penelitian dan Penelusuran yang telah dilakukan baik terhadap hasil- Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, mengenai penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Atas Turunnya Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Menurut Undang- Undang Jabatan Notaris No. 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Nota ris” belum pernah dilakukan.

  Menurut hasil penelusuran di perpustakaan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara pernah ada penelitian yang juga membahas mengenai pembatalan akta Notaris, nama penulis Zuliana Maro Batubara, Nomor Induk Mahasiswa 087011134, Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, dengan Judul “Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan Akta Notaris (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Medan

  ”. Di dalam hasil penelitian tersebut membahas mengenai :

  1. Bagaimana suatu akta Notaris dapat menjadi batal oleh suatu putusan Pengadilan?

  2. Bagaimana tanggung jawab Notaris terhadap akta yang menjadi batal demi hukum oleh suatu putusan Pengadilan ?

  3. Bagaimana pandangan badan peradilan khususnya Pengadilan Negeri Medan dalam pertimbangannya dalam membatalkan akta Notaris ? Dalam penelitian ini yang berjudul “Analisis Yuridis Turunnya Kekuatan

  Pembuktian Akta Notaris Menurut Undang-undang Jabatan Notaris No. 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris” akan membahas mengenai :

  1. Bagaimana kedudukan hukum atas batasan turunnya kekuatan pembuktian akta Notaris berdasarkan UUJN No. 2 Tahun 2014? kekuatan pembuktian akta Notaris?

  3. Bagaimana batasan pertanggungjawaban Notaris terhadap turunnya kekuatan pembuktian akta Notaris? Dari beberapa permasalahan yang diteliti, maka penelitian yang dilakukan ini sangatlah berbeda dan penelitian ini adalah asli baik dari segi substansi maupun dari segi permasalahan sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

  Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang penting. Teori memberikan sarana untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang kita bicarakan secara lebih baik. Hal-hal yang semula tampak dan berdiri sendiri bisa disatukan dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara bermakna. Teori, dengan demikian memberikan penjelasan

  12 dengan cara mengorganisasi dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakan.

  Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam

  13

  membangun dan memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori juga dapat diartikan sebagai kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis si penulis mengenai sesuatu kasus ataupun permasalahan (problem), yang menjadi bahan 12 13 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2012), hal. 269.

  Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Konstitusi Pres, 2006), hal. 61. perbandingan, pegangan yang mungkin disetujui atau tidak disetujui,

  14

  Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.

  kekuatan pembuktian akta Notaris berdasarkan UUJN No. 2 Tahun 2014, bagaimana mekanisme penerapan sanksi terhadap Notaris dalam terjadinya turunnya kekuatan 14 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : CV. Mandar Maju, 1994), hal. 80. 15 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hal. 121. 16 Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, (Bandung : Mandar Maju, 2002), hal.

  16 Penelitian ini berusaha untuk menganalisis kedudukan hukum atas batasan turunnya

  Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang- undang atau penguasa), yaitu Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk.

  Dengan lahirnya beberapa peraturan hukum positif di luar KUH Perdata sebagai konsekuensi dari asas-asas hukum yang terdapat lapangan hukum kekayaan dan hukum perikatan inilah diperlukan kerangka teori yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu teori hukum positif dari Jhon Austin, yang mengartikan:

  Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.

  e.

  d.

  yang nantinya merupakan masukan eksternal dalam penelitian ini. beberapa kegunaan sebagai berikut :

  Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.

  c.

  Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan definisi-definisi.

  b.

  Teori berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

  15 a.

  55. pembuktian akta Notaris dan bagaimana batasan pertanggungjawaban Notaris atas turunnya kekuatan pembuktian akta Notaris.

  Menurut R. Subekti dan Tjitrosudibio, bahwa kata “acta” merupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang merupakan bahasa Latin yang mempunyai arti perbuatan-

  17 perbuatan.

  Kata “akta” dalam pasal 108 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut bukanlah berarti surat atau tulisan, melainkan “perbuatan hukum”, yang berasal dari

  18 Menurut Soedikno Mertukusumo, bahasa Perancis yaitu “acte” yang artinya perbuatan.

  akta adalah surat yang diberi tanda tangan memuat peristiwa-peristiwa, yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan-perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk

  19 pembuktian.

  Ketentuan turunnya kekuatan pembuktian dalam UUJN diatur pada Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51. Setiap pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur dalam Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 akan mengakibatkan akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan (degradasi).

  Pada Pasal 40 menjelaskan tentang saksi dalam akta, yaitu paling sedikit 2 (dua) orang saksi dengan kriteria paling rendah berumur 18 tahun atau sebelumnya telah menikah, cakap melakukan perbuatan hukum, mengerti bahasa yang digunakan dalam akta, dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf. Pada Pasal 44 mengenai tanda tangan, 17 18 R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kamus Hukum, ( Penerbit Pradnya, Jakarta, 1980 ), hal. 9. 19 R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, ( PT. Intermasa, Jakarta, 1985 ), hal. 29.

  Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, ( Liberty, Yogyakarta, 1979 ), hal. 106. dimana setelah akta dibacakan oleh Notaris, akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat diganti, ditambah, dicoret, disisipkan, dihapus, ditulis tindih. Perubahan tersebut dapat dilakukan sah jika perubahan tersebut diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris. Pada Pasal 49 mengatur tentang perubahan atas akta yang dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) dibuat disis kiri akta apabila karena hal suatu perubahan tidak dapat dibuat disisi kiri, perubahan tersebut dapat dibuat pada akhir akta, sebelum penutup akta dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembar tambahan. Pada Pasal 50 mengatur tentang pencoretan kata, huruf, atau angka, pencoretan dilakukan sedemikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang tercantum semula, dan jumlah kata, huruf, atau angka yang dicoret dinyatakan pada sisi kiri akta. Pencoretan tersebut sah setelah diberi paraf atau tanda pengesahan lain dari para penghadap, saksi, dan Notaris.

  Beberapa ketentuan inilah yang apabila tidak dipenuhi, akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.

  Hal ini sebenarnya memberatkan Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum pembuat akta otentik. Tidak mengenyampingkan kehati-hatian dalam membuat akta, namun turunnya akta seharusnya melalui mekanisme pembuktian pengadilan dahulu, penetapan pada pasal-pasal tersebut diatas kurang tepat.

2. Konsepsi

  Dalam pemberian suatu konsep atau pengertian merupakan salah satu unsur pokok perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang digunakan. Maka perlu diuraikan beberapa konsep yang menjadi pegangan dalam proses penelitian yaitu :

  a. Pejabat umum

  Pejabat umum adalah pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh kekuasaan umum ( pemerintah ), dan diberi wewenang serta kewajiban untuk melayani publik

  20 dalam hal-hal tertentu, karena itu ia ikut melaksanakan kewibawaan pemerintah.

  b. Notaris

  Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang jabatan Notaris, notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Menurut Sutrisno, Pasal 1 angka 1 UUJN tersebut merupakan pengertian mengenai notaris secara umum, untuk definisi apa itu notaris, diuraikan lebih lanjut di dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN. Jadi, bila digabung Pasal 1 angka 1 dengan Pasal 15 ayat (1),

  21

  terciptalah definisi notaris, yaitu : Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan, untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian 20 tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan

  Sutrisno, Diktat Kuliah tentang Komentar atas Undang-Undang Jabatan Notaris, Buku I, Medan, 2007, hal. 119. 21 Ibid, hal. 117.

  kutipan akta, semuanya sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

  Suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang sesuatu

  22 peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya.

  d. Akta Otentik

  Akta yang dibuat oleh/dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan atau

  23 tanpa bantuan yang berkepentingan untuk dicatat didalamnya.

  e. Kekuatan Pembuktian Akta Otentik

  Kekuatan pembuktian akta otentik itu adalah sebagai berikut : 1). Kekuatan pembuktian lahir.

  Bahwa suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat

  • –syarat yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat diangap sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya. Hal ini berarti bahwa tanda tangan pejabat dianggap sebagai aslinya, sampai ada pembuktian sebaliknya.

  2). Kekuatan pembuktian formil.

  Dalam arti formil akta otentik membuktikan kebenaran dari pada apa yang dilihat, didengar dan dilakukan pejabat. Ini adalah pembuktian tentang 22 kebenaran daripada keterangan pejabat sepanjang mengenai apa yang 23 Rocky Marbun, CS, Kamus Hukum Lengkap, (Jakarta : Visimedia 2012), hal. 12.

  Ibid, hal. 12. dilakukan dan dilihatnya. Dalam hal ini yang pasti adalah tanggal dan tempat akta otentik itu dibuat serta keaslian tanda tangannya.

  Pada umumnya akta pejabat tidak mempunyai kekuatan materiil, karena akta pejabat tidak lain hanyalah untuk membuktikan kebenaran apa yang dilihat dan dilakukan oleh pejabat. Akta pejabat yang mempunyai kekuatan pembuktian materil adalah akta yang dilakukan atau dikeluarkan kantor pencatatan sipil.

G. Metode Penelitian

  Meneliti pada hakekatnya berarti mencari, yang dicari dalam penelitian hukum adalah kaedah, norma atau das sollen, bukan peristiwa, perilaku dalam arti fakta atau das

  24

sein. Sebagai suatu penelitian yang ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian diawali

  dengan pengumpulan data hingga analisis data yang dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah penelitian sebagai berikut:

1. Spesifikasi Penelitian

  Penelitian yang dilakukan menggunakan metode pendekatan deskriptif analitis, yaitu memaparkan dan menganalisis data secara sistematis dengan maksud untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan dan gejala-gejala lainnya. Deskriptif mengandung arti, bahwa penulis ingin menggambarkan dan memberikan data yang seteliti mungkin, sistematis dan menyeluruh. Analisis mengandung makna, mengelompokkan,

24 Soedikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta : Liberty, 2001), hal.

  29. menghubungkan dan membandingkan aspek yang berkaitan dengan masalah secara teori dan praktek. yang merupakan penelitian kepustakaan dengan pendekatan historis dan perundang- undangan (statute approach) serta sinkronisasi vertical dan horizontal dalam hukum positif di Indonesia. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan menurut Soerjono Soekamto

  25

  mencakup :

  a. penelitian terhadap asas-asas hukum;

  b. penelitian terhadap sistematik hukum;

  c. penelitian terhadap sinkronisasi vertical dan horizontal;

  d. perbandingan hukum; e. sejarah hukum.

2. Sumber Data

  Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung penelitian lapangan, sebagai berikut: a. Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan

  26 hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

  1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni :

  a) 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

  Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 7. 26 Ibid, hal. 39. b) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN).

  c) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan. mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum yang berkaitan dengan Akta Notaris.

  3) Bahan Hukum tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan Akta Notaris.

  b. Penelitian Lapangan (field research) untuk mendapatkan data yang terkait dengan penelitian ini, yaitu melakukan wawancara kepada 2 (dua) orang dari praktisi Pejabat Notaris, dan 1 (satu) orang dari Ikatan Notaris Indonesia Wilayah Sumatera Utara.

3. Teknik Pengumpulan Data

  Penelitian ini menggunakan bahan dari hasil penelitian kepustakaan yakni dengan pengumpulan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

  Bahan Hukum primer berupa dokumen-dokumen maupun peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan akta otentik yang mengandung konflik yang dapat menyebabkan notaris menjadi tersangka. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu pandangan para ahli hukum. Selanjutnya bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan dokumen yang terkait selanjutnya digunakan untuk kerangka teoritis pada penelitian lapangan hukum primer dan sekunder.

  Penelitian ini dilakukan dengan menggabungkan dua metode pengumpulan data, yaitu studi pustaka/studi dokumen (documentary study) dan penelitian lapangan (Field Studi kepustakaan/studi dokumen (documentary study) ini dimaksudkan untuk memperoleh data, berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tertier, dengan memperhatikan beberapa karakteristik, yaitu mempunyai relevansi dengan penelitian yang akan dilakukan, akurasi datanya serta aktualitas.

  Untuk melengkapi data sekunder, maka penelitian ini juga didukung oleh data primer yang diperoleh melalui Penelitian lapangan (Field Research). Penelitian ini dilakukan dengan wawancara mendalam yang menggunakan pedoman interview kepada 2 (dua) orang dari praktisi Pejabat Notaris Kota Medan, dan 1 (satu) orang dari Majelis Kehormatan Wilayah.

4. Alat Pengumpul Data

  Penelitian ini menggunakan 2 (dua) alat pengumpulan data yaitu:

  a. Studi Dokumen untuk mengumpulkan data sekunder yang terkait dengan permasalahan yang diajukan, dengan cara mempelajari buku-buku, hasil penelitian dan dokumen-dokumen perundang-undangan yang terkait selanjutnya digunakan untuk kerangka teoritis pada penelitian lapangan.

  b. Wawancara, yang dilakukan dengan pedoman wawancara yang terstruktur kepada informan yang telah ditetapkan yang terkait dengan Akta Notaris.

5. Analisis Data

  Dalam suatu penelitian diperlukan adanya analisis terhadap data yang ditemukan dilakukan. Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data kualitatif, yaitu analisis data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan informan hingga dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini.

  Semua data yang diperoleh kemudian dikelompokkan atas data yang sejenis untuk kepentingan analisis, dan disusun secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan deduktif. Kesimpulan adalah merupakan jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Atas Turunnya Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris

6 96 116

Kekuatan Pembuktian Akta Di Bawah Tangan Dikaitkan Dengan Kewenangan Notaris Dalam Legalisasi Dan Waarmerking Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

0 46 80

Analisis Yuridis Penegakan Hukum Atas Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Dalam Hubungannya Dengan Penegakan Kode Etik Notaris

5 115 137

Analisis Yuridis Pengambilan Fotokopi Minuta Akta Dan Pemanggilan Notaris Ditinjau Dari Undang-Undang Jabatan Notaris Dan Peraturan Pelaksanaannya

5 100 124

Paradigma Grosse Akta Sesudah Berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

1 20 196

Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

3 78 167

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Komparisi Penghadap Dalam Akta Notaris Berdasarkan Putusan No. 51 Pk/Tun/2013

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Prinsip Kemandirian Notaris Dalam Pembuatan Akta Otentik

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tanggung Jawab Werda Notaris Terhadap Akta Yang Dibuatnya

0 5 23

BAB II KEDUDUKAN HUKUM ATAS BATASAN TURUNNYA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS BERDASARKAN UUJN NO. 2 TAHUN 2014 A. Karakter Yuridis Akta Notaris - Analisis Yuridis Atas Turunnya Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor

0 1 30