Kekuatan Pembuktian Akta Di Bawah Tangan Dikaitkan Dengan Kewenangan Notaris Dalam Legalisasi Dan Waarmerking Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Adjie, Habib, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, cet. 2, Bandung: Refika Aditama, 2009.

Adjie, Habib, Hukum Notaris Indonesia: Tafsir Tematik terhadap Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Jakarta: Refika Aditama, 2009.

Amiruddin dan Asikin, Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 2006.

Andreae, S. J. Fockema, Rechtsgeleerd Handwoorddenboek, diterjemahkan oleh Walter Siregar, Bij J. B. Wolter uitgeversmaat schappij, Jakarta: N. V. Gronogen, 1951.

Arif, M. Isa, Pembuktian dan Daluwarsa Jakarta: Intermasa, 1978.

Boediarto, M. Ali, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara Perdata Setengah Abad, Jakarta: Swa Justitia, 2005.

Hadjon, Philipus M, Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik, Surabaya Post, 31 Januari 2001.

Mertokusumo, Soedikno Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, 1988.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1979.

___________________, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2006.

Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center for Documentation and Studies of Business Law, Yogyakarta, CDSBL, 2003.

Notodisoerjo, R. Soegondo, Hukum Notariat di Indonesia: Suatu Penjelasan, Jakarta: Rajawali, 1982.


(2)

79

Sembiring, M. U, Teknik Pembuatan Akta, Medan: Program Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum USU, 1997.

Situmorang Viktor M dan Sitanggang, Cormentyna, Gross Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, Jakarta: Rineka Cipta, 1993.

Soemitro, Ronitijo Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.

Soerojo, Irawan, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Surabaya: Arkola, 2003.

Subekti, R, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1980.

Subekti, R dan Tjitrosudibio, R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 1983.

_______________________, Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1980. Tobing,G.H.S. Lumban, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta: Erlangga, 1996.

Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Jabatan Notaris (PJN)

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW)

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 338/KMK.01/2000, tanggal 18 Agustus 2000.

Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 702 K / Sip / 1973 tanggal 5 September 1973

Internet

http://mkn-unsri.blogspot.com/2010/02/perbedaan-legalisasi-dengan-waarmerking html. Diakses tanggal 27 Maret 2010.


(3)

BAB III

TINJAUAN TERHADAP NOTARIS DAN KEWENANGANNYA DALAM UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS

A. Karakteristik Notaris

Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Dengan dasar seperti ini mereka yang diangkat sebagai Notaris harus mempunyai semangat untuk melayani masyarakat dan atas pelayanan tersebut, masyarakat yang merasa telah dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas jabatannya, dapat memberikan honorarium kepada Notaris.61 Oleh karena itu Notaris tidak berarti apa-apa jika masyarakat tidak membutuhkannya.

Menurut Habib Adjie, Notaris sebagai suatu Jabatan Publik mempunyai karakteristik:62

a. Sebagai jabatan;

Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh negara. Menempatkan Notaris sebagai pejabat merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu (kewenangan tertentu) serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap.

b. Notaris mempunyai kewenangan tertentu;

61

Mengenai honorarium ini diatur dalam Pasal 36 UUJN.

62


(4)

Setiap wewenang yang diberikan kepada Jabatan harus dilandasi aturan hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang pejabat (Notaris) melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang. Dalam UUJN Wewenang Notaris dicantumkan dalam Pasal 15.

c. Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah;

Pasal 2 UUJN menentukan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh menteri (pemerintah), dalam hal ini menteri yang membidangi kenotariatan (Pasal 1 angka 14 UUJN). Meskipun Notaris secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tidak berarti Notaris menjadi subordinasi (bawahan) dari yang mengangkatnya. Dengan demikian Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya:

1.Bersifat mandiri (autonomous); 2.Tidak memihak siapa-pun (impartial);

3.Tidak tergantung kepada siapa-pun (independent), yang berarti dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak lain.

d. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya;

Notaris meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tetapi tidak menerima gaji dan pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima


(5)

honorarium dari masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat memberikan pelayanan cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu.

e. Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat.

Kehadiran Notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan dokumen hukum (akta) otentik dalam bidang hukum perdata, sehingga notaris mempunyai tanggung jawab untuk melayani masyarakat yang dapat menggugat secara perdata, menuntut biaya, ganti rugi dan bunga jika ternyata akta tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hal ini merupakan bentuk akuntabilitas notaris kepada masyarakat.

B. Syarat, Kewajiban dan Larangan Bagi Notaris

Notaris dengan segala fungsi dan kewenangannya dalam rangka pelayanan di bidang hukum, dituntut untuk memiliki kecakapan teknis di bidangnya, dedikasi tinggi, wawasan pengetahuan yang luas disertai integritas moral. Untuk itu ditetapkan berbagai ketentuan mengenai syarat-syarat, kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan yang wajib dilaksanakan dan dipenuhi Notaris dalam melaksanakan jabatannya.

Pasal 3 UUJN menyebutkan syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi notaris adalah:

a. warga negara Indonesia;

b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun; d. sehat jasmani dan rohani;


(6)

e. berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;

f. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; dan

g. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris.

Mengenai kewajiban Notaris diatur dalam Pasal 16 UUJN, yang menyatakan bahwa dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban:

a. Bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;

b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris;

c. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta;

d. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;

e. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali Undang-undang menentukan lain;

f. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta


(7)

tidak dapat dimuat dalam 1 (satu) buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari 1 (satu) buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;

g. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;

h. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan;

i. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya; j. Mencatat dalam Repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada

setiap akhir bulan;

k. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya ditulis nama, jabatan dan tempat kedudukan yang bersangkutan;

l. Membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris;

m.Menerima magang calon notaris.

Mengenai larangan bagi notaris dalam melaksanakan jabatannya diatur dalam Pasal 17 UUJN, yang selengkapnya berbunyi: notaris dilarang:


(8)

b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut- turut tanpa alasan yang sah;

c. merangkap sebagai pegawai negeri;

d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara; e. merangkap jabatan sebagai advokat;

f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha milik swasta; g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar

wilayah jabatan Notaris;

h. menjadi Notaris Pengganti; atau

i. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris.

C. Pengawasan Notaris Melalui Lembaga Majelis Pengawas

Pengawasan terhadap Notaris dilakukan melalui Lembaga Majelis Pengawas yang diatur dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Jabatan Notaris, yang menyatakan bahwa Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris. Majelis Pengawas berjumlah 9 orang, terdiri atas unsur:

1. Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang;

2. Organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang; 3. Ahli/ akademisi sebanyak 3 (tiga) orang.


(9)

Pengawasan yang dilakukan meliputi perilaku Notaris dan pelaksanaan Jabatan Notaris. Dalam menjalankan kewenangan dan kewajibannya, Majelis Pengawas terdiri atas:

1. Majelis Pengawas Daerah

Majelis Pengawas Daerah (MPD) dibentuk di Kabupaten atau Kota. Berdasarkan Pasal 70 UU Jabatan Notaris, MPD berwenang:

a. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan Jabatan Notaris;

b. melakukan pemeriksaan terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu;

c. memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan 6 (enam) bulan;

d. menetapkan Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul Notaris yang bersangkutan;

e. menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima Protokol Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih;

f. menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara Protokol Notaris yang diangkat sebagai pejabat negara;

g. menerima laporan dari masyarakat mengenai dugaan pelanggaran Kode Etik atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang Jabatan Notaris; h. membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam angka

1,2,3,4,5,6, dan 7 kepada Majelis Pengawas Wilayah.


(10)

a. mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam Protokol Notaris dengan menyebutkan tanggal pemeriksaan, jumlah akta serta jumlah surat di bawah tangan yang disahkan dan dibuat sejak tanggal pemeriksaan terakhir;

b. membuat berita acara pemeriksaan dan menyampaikannya kepada Majelis Pengawas wilayah setempat, dengan tembusan kepada Notaris yang bersangkutan, Organisasi Notaris dan Majelis Pengawas Pusat;

c. merahasiakan isi akta dan hasil pemeriksaan;

d. menerima salinan yang telah disahkan dari daftar akta dan daftar lain dari Notaris dan merahasiakannya;

e. memeriksa laporan masyarakat terhadap Notaris dan menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut kepada Majelis Pengawas Wilayah dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, Notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat dan Organisasi Notaris;

f. menyampaikan permohonan banding terhadap keputusan penolakan cuti.

2. Majelis Pengawas Wilayah

Majelis Pengawas Wilayah (MPW) dibentuk dan berkedudukan di ibukota Provinsi. Pasal 73 UU Jabatan Notaris menyatakan MPW berwenang:

a. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang disampaikan melalui Majelis Pengawas Wilayah;


(11)

b. memanggil Notaris pelapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud pada angka 1;

c. memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu) tahun; d. memeriksa dan memutus atas keputusan MPD yang menolak cuti yang

diajukan oleh Notaris Pelapor;

e. memberikan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis;

f. mengusulkan pemberian saksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat (MPP) berupa:

1. pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai 6 (enam) bulan; 2. pemberhentian dengan tidak hormat.

Pasal 75 UUJN menyebutkan MPW berkewajiban:

a. menyampaikan keputusan kepada Notaris yang bersangkutan dengan tembusan kepada Majelis Pengawas Pusat dan Organisasi Notaris;

b. menyampaikan pengajuan banding dari Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti;

3. Majelis Pengawas Pusat

Majelis Pengawas Pusat (MPP) dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara. Pasal 77 UUJN menyebutkan MPP berwenang:

a. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengadili keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti; b. memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan;

c. mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri.


(12)

Pasal 78 UUJN menyatakan MPP berkewajiban menyampaikan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 angka 1 kepada Menteri dan Notaris yang bersangkutan dengan tembusan kepada Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Daerah serta Organisasi Notaris.

D. Sumber Kewenangan Notaris

Wewenang (atau sering pula ditulis dengan istilah kewenangan) merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur jabatan yang bersangkutan. Dengan demikian, setiap wewenang ada batasannya sebagaimana yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Wewenang notaris terbatas sebagaimana peraturan perundang-undangan yang mengatur jabatan yang bersangkutan.63

Wewenang yang diperoleh suatu jabatan mempunyai sumber asalnya. Dalam hukum administrasi wewenang bisa diperoleh secara atribusi, delegasi, atau mandat.

Wewenang secara atribusi adalah pemberian wewenang yang baru kepada suatu jabatan berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan atau aturan hukum. Wewenang secara delegasi merupakan pemindahan/ pengalihan wewenang yang ada berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan atau aturan

63

Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia: Tafsir Tematik terhadap Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, (Jakarta: Refika Aditama, 2009), hal. 77.


(13)

hukum. Mandat sebenarnya bukan pengalihan atau pemindahan wewenang, tapi karena yang berkompeten berhalangan.64

Berdasarkan Undang-undang Jabatan Notaris ternyata notaris sebagai pejabat umum memperoleh wewenang secara atribusi, karena wewenang tersebut diciptakan dan diberikan oleh Undang-undang Jabatan Notaris sendiri. Jadi wewenang yang diperoleh notaris bukan berasal dari lembaga lain, misalnya dari Departemen Hukum dan HAM.

Kewenangan notaris tersebut dalam pasal 15 ayat (1) sampai dengan ayat (3) Undang-undang Jabatan Notaris yang dapat dibagi menjadi:65

1. Kewenangan Umum Notaris

Salah satu kewenangan notaris yaitu membuat akta secara umum.66 Hal ini disebut sebagai kewenangan umum notaris dengan batasan sepanjang:

a. Tidak dikecualikan terhadap pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-undang

b. Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan

c. Mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan.67

64

Ibid, hal. 78.

65 Ibid.

66

Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Jabatan Notaris

67


(14)

Menurut pasal 15 ayat (1) bahwa wewenang notaris adalah membuat akta,68 bukan membuat surat, seperti surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT) atau membuat surat lain, seperti surat keterangan waris (SKW). Ada beberapa akta otentik yang merupakan wewenang notaris dan juga menjadi wewenang pejabat atau instansi lain, yaitu:

a. Akta pengakuan anak luar kawin.69

b. Akta berita acara tentang kelalaian pejabat penyimpan hipotik.70

c. Akta berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi.71

d. Akta protes wesel dan cek.72

e. Surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT).73 f. Membuat akta risalah lelang.74

Berdasarkan wewenang yang ada pada notaris sebagaimana tersebut dalam pasal 15 Undang-undang Jabatan Notaris dan kekuatan pembuktian dari akta notaris, maka disimpulkan:

a. Tugas jabatan notaris adalah memformulasikan keinginan/ tindakan para pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku.

68

Herlien Budiono, Op. cit, hal. 58.

69

Pasal 281 BW

70

Pasal 1227BW (Pasal ini terdapat dalam Buku II BW. Menurut pasal 29 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, ketentuan mengenai hipotik dinyatakan tidak berlaku lagi).

71

Pasal 1405 dan 1406 BW

72

Pasal 143 dan 218 WvK

73

Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996.

74

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 338/KMK.01?2000, tanggal 18 Agustus 2000.


(15)

b. Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian sempurna,75 sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti lainnya, jika ada orang/ pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/ pihak yang menilai atau menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan hukum yang berlaku. Kekuatan pembuktian akta notaris ini berhubungan dengan sifat publik dari jabatan notaris.

2. Kewenangan Khusus Notaris

Pasal 15 ayat (2) mengatur mengenai kewenangan khusus notaris untuk melakukan tindakan hukum tertentu, seperti:

a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tanda tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

c. Member kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian bagimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

d. Melakukan pengesahan kecocokan photo copy dengan surat aslinya; e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau

75

M. Ali Boediarto, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara Perdata Setengah Abad, (Jakarta: Swa Justitia, 2005), hal. 150.


(16)

g. Membuat akta risalah lelang.

E. Kewenangan Legalisasi dan Waarmerking Notaris 1. Legalisasi

Artinya, dokumen/surat yang dibuat di bawah tangan tangan tersebut ditanda-tangani di hadapan notaris, asetelah dokumen/surat tersebut dibacakan atau dijelaskan oleh Notaris yang bersangkutan. Sehingga tanggal dokumen atau surat yang bersangkutan adalah sama dengan tanggal legalisasi dari notaris. Dengan demikian, notaris menjamin keabsahan tanda-tangan dari para pihak yang dilegalisir tanda-tangannya, dan pihak (yang bertanda-tangan dalam dokumen) karena sudah dijelaskan oleh notaris tentang isi surat tersebut, tidak bisa menyangkal dan mengatakan bahwa ybs tidak mengerti isi dari dokumen/surat tersebut.76 Untuk legalisasi ini, kadang dibedakan oleh notaris yang bersangkutan, dengan Legalisasi tangan saja. Dimana dalam legalisasi tanda-tangan tersebut notaris tidak membacakan isi dokumen/surat dimaksud, yang kadang-kadang disebabkan oleh beberapa hal, misalnya: notaris tidak mengerti bahasa dari dokumen tersebut (contohnya: dokumen yang ditulis dalam Bahasa Mandarin atau bahasa lain yang tidak dimengerti oleh notaris yang bersangkutan) atau notaris tidak terlibat pada saat pembahasan dokumen di antara para pihak yang bertanda-tangan.77

76

http://mkn-unsri.blogspot.com/2010/02/perbedaan-legalisasi-dengan-waarmerking. html. Diakses tanggal 27 Maret 2010.

77 Ibid


(17)

Rumusan kalimat legalisasi juga dicantumkan dalam pasal 2 ayat 1 Ordonansi yang berbunyi sebagai berikut:

“Keterangan yang oleh para notaris dan pejabat lainnya yang ditunjuk oleh pasal 1 dicantumkan pada kaki akta berbunyi:

Saya yang bertanda tangan di bawah ini ……….. notaris (Bupati/ walikota kepala daerah ……….. ketua pengadilan negeri ………..) di ……….., menerangkan ……….. yang saya, notaris, kenal (atau diperkenalkan kepada saya, notaris) dan kemudian tuan/ nyonya……….. tersebut membubuhkan tanda tangannya (cap ibu jarinya) di atas akta ini di hadapan saya, notaris.”

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka untuk legalisasi diperlukan adanya tiga unsur, yakni:

a. Yang mencantumkan tanda tangan atau cap ibu jari di atas akta di bawah tangan tersebut dikenal oleh notaris atau diperkenalkan kepada notaris tersebut

b. Bahwa akta tersebut telah dijelaskan isinya oleh notaris kepada si pembubuh tanda tangan/ cap ibu jari itu

c. Bahwa setelah itu, maka seketika itu juga akta itu lantas ditandatangani atau dibubuhi cap ibu jari oleh orang yang bersangkutan di hadapan notaris tersebut.

Selain sebagaimana yang telah dirumuskan di atas, ada beberapa hal yang perlu ditambahkan pada isi rumusan legalisasi, yakni:

a. Selain nama penghadap (pembubuh tanda tangan atau cap ibu jari) harus pula dicantumkan pekerjaan dan tempat tinggalnya,

b. Jikalau penghadap itu tidak dikenal melainkan diperkenalkan, kepada notaris, maka saksi yang memperkenalkan itu jumlahnya harus dua orang,


(18)

c. Nama, pekerjaan dan tempat tinggal para saksi yang memperkenalkan juga harus dicantumkan dalam akta tersebut.

d. Tanggal dilakukannya penandatanganan/ pembubuhan cap ibu jari beserta tanggal legalisasi akta tertentu harus sama dan dicantumkan di bagian bawah keterangan notaris tersebut.

2. Waarmerking

Artinya, dokumen/surat yang bersangkutan di daftar dalam buku khusus yang dibuat oleh Notaris. Biasanya hal ini ditempuh apabila dokumen/surat tersebut sudah ditanda-tangani terlebih dahulu oleh para pihak, sebelum di sampaikan kepada notaris yang bersangkutan. Contohnya: Surat Perjanjian Kerjasama tertanggal 1 Januari 2008 yang ditanda-tangani oleh Tuan A dan Tuan B. Jika hendak di legalisir oleh Notaris pada tanggal 18 Januari 2008, maka bentuknya tidak bisa legalisasi biasa, melainkan hanya bisa didaftar (waarmerking) saja. Jika ditinjau dari sudut kekuatan hukumnya untuk pembuktian, maka tentu saja lebih kuat Legalisasi daripada Register (waarmerking). Ada dokumen-dokumen tertentu yang akan digunakan sebagai kelengkapan suatu proses mutlak diminta harus dilegalisir, misalnya: di kantor Pertanahan, surat persetujuan dari ahli waris untuk menjaminkan tanah dan bangunan, atau surat persetujuan isteri untuk menjual tanah yang terdaftar atas nama suaminya dan lain sebagainya. Kalau surat/dokumen tersebut tidak dilegalisir oleh notaris, maka biasanya dokumen tersebut tidak dapat diterima sebagai kelengkapan proses Hak Tanggungan atau jual beli yang


(19)

dimaksud. Terpaksa pihak yang bersangkutan harus membuat ulang persetujuan dan melegalisirnya di hadapan notaris setempat.78

Dalam praktek notariat, di samping istilah legalisasi dikenal pula istilah waarmerking. Istilah waarmerking ini oleh praktek notariat diterjemahkan menjadi “dibukukukan” dan ada pula memakai perkataan “ditandai”. Yang dimaksud dengan “didaftarkan” ialah hasil perbuatan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) Ordonansi, yang berbunyi:

“Akta di bawah tangan sepanjang tidak ada memuat perkataan yang dimaksud dalam ayat pertama, jikalau hendak dipergunakan sebagai bukti terhadap pihak ketiga mengenai hari, tanggal, bulan akta itu dapat ditandai oleh notaris atau oleh salah seorang pegawai yang ditunjuk oleh ayat pertama dengan membubuhkan perkataan “didaftarkan” pada kaki akta itu dan menandatanganinya serta membubuhkan hari, tanggal, bulan hal itu dilakukan.”

Sekali lagi diingatkan bahwa perkataan “ditandai” dapat diganti dengan perkataan “dibubuhkan” atau “didaftarkan”.

Adapun akta yang dibubuhi perkataan “ditandai” ini adalah akta yang belum disodorkan kepada notaris telah ditandatangani terlebih dahulu oleh pihak yang berkepentingan di luar hadirnya notaris (bukan di depan notaris).

Dengan kata lain, notaris tidak mengetahui kapan akta itu ditandatangani dan juga tidak mengetahui siapa yang menandatanganinya. Oleh karena itu, tidak ada jaminan kepastian mengenai tanggal penandatanganan dan juga ada jaminan kepastian tentang siapa yang menandai/ membubuhkan cap ibu jari di atas akta itu. Jaminan kepastian satu-satunya yang ada

78 Ibid


(20)

hanyalah bahwa akta tersebut telah ada (telah exist) pada tanggal akta itu ditandai.

Satu-satunya kepastian hukum yang diperoleh sebagai akibat adanya tindakan “waarmerking” ialah bahwa eksistensi dalam arti kata, hari, tanggal, bulan akta di bawah tangan yang ditandai itu telah diakui terhitung sejak tanggal diadakannya waarmerking satu dan lain sesuai dengan apa yang diatur dalam pasal 1880.


(21)

BAB IV

KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA DI BAWAH TANGAN DIKAITKAN DENGAN LEGALISASI DAN

WAARMERKING NOTARIS

A. Kekuatan Pembuktian Akta di Bawah Tangan Dikaitkan dengan Legalisasi dan Waarmerking Notaris

Pasal 1874 ayat (2) KUHP menyatakan bahwa:

“Dengan penandatanganan sepucuk tulisan di bawah tangan dipersamakan suatu cap ibu jari dibubuhi dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang, darimana ternyata bahwa mengenal di pembubuh cap ibu jari atau orang itu telah diperkenalkan kepadanya dan bahwa isi akte itu telah dijelaskan kepada si pembubuh cap ibu jari itu dan kemudian cap ibu jari dicantumkan di hadapan pejabat tersebut.”

Dengan adanya ketentuan pasal tersebut, maka suatu tulisan yang tidak ditandatangani dapat diterima sebagai akta di bawah tangan asal saja dibubuhi cap ibu jari di hadapan seorang pejabat umum. Jadi, dalam hal ini, pembuatan akta dilakukan dengan adanya campur tangan pejabat, namun campur tangan itu terbatas hanya sampai menyaksikan pencantuman cap ibu jari saja disertai penjelasan mengenai isi akta tanpa mengatur dan menetapkan bentuk akta seperti yang dikehendaki oleh pasal 1868. Dengan demikian campur tangan pejabat umum itu sifatnya demikian terbatas sehingga tidak menaikkan kualitas akta di bawah tangan menjadi akta otentik.


(22)

Namun bagaimanapun juga, harus diakui bahwa akta di bawah tangan tersebut ada kelebihannya jika dibandingkan dengan akta di bawah tangan seumumnya yang sama sekali tidak ada campur tangan pejabat. Kelebihan itu adalah:

1. Ada kepastian siapa yang menumbuhkan cap ibu jari di atas akta itu (i.c. cap ibu jarinya dipersamakan dengan tanda tangan).

2. Ada kepastian mengenai tanggal pembuatan akta tersebut.

Sebagaimana telah disebutkan pada bahasan sebelumnya, bahwa kekuatan pembuatan akta di bawah tangan tidak sama dengan kekuatan pembuktian akta otentik, terutama dalam kekuatan pembuktian lahiriah, formil, maupun materil. Akta di bawah tangan baru memiliki kekuatan pembuktian sebagaimana kekuatan pembuktian akta otentik apabila pengakuan dari para pihak yang membenarkan tanda tangan mereka di dalam akta dimaksud.

Setelah dilakukan legalisasi maupun waarmerking, kekuatan pembuktian akta di bawah tangan tidak juga dapat dipersamakan dengan akta otentik. Namun jika dibandingkan dengan akta di bawah tangan yang tidak mendapatkan legalisasi maupun waarmerking, maka kekuatan pembuktian yang telah dilegalisasi ataupun di waarmerking oleh pejabat notaris lebih memiliki kekuatan pembuktian.

Istilah akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan berkaitan dengan nilai pembuktian suatu alat bukti. Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian sepanjang isi dan tanda tangan yang tercantum di dalamnya diakui oleh para pihak. Jila salah satu pihak mengingkarinya, maka nilai pembuktian tersebut diserahkan kepada hakim.


(23)

Berdasarkan hal ini, maka legalisasi ataupun waarmerking yang dilakukan atas suatu akta yang notabene merupakan akta di bawah tangan, tetap memerlukan adanya pengakuan dari para pihak tentang kebenaran dari akta tersebut, walaupun telah melalui pencatatan ataupun pendaftaran oleh pejabat umum. Dalam hal ini, yang dapat mengkualifikasikan kekuatan pembuktian akta di bawah tangan yang telah dilegalisasi atau diwaarmerking ini adalah hakim.

Sebagian masyarakat berpendapat bahwa dengan dilegalisasinya akta di bawah tangan, akta tersebut telah memperoleh kedudukan sebagai akta otentik. Akta di bawah tangan sekalipun telah mendapat legalisasi dari notaris tetaplah merupakan akta yang dibuat di bawah tangan, sebab legalisasi adalah pengesahan surat yang dibuat di bawah tangan.79

Wewenang untuk legalisasi dan waarmerking surat-surat di bawah tangan tidak hanya diberikan kepada notaris, akan tetapi juga kepada beberapa pejabat lainnya, seperti Ketua Pengadilan Negeri, Walikota dan Bupati.

Legalisasi adalah pengesahan dari surat-surat yang dibuat di bawah tangan dalam mana semua pihak membuat surat tersebut datang di hadapan notaris, dan notaris membacakan dan menjelaskan isi surat tersebut untuk selanjutnya surat tersebut diberi tanggal dan ditandatangani oleh para pihak dan akhirnya baru dilegalisasi oleh notaris.

Pasal 15 ayat (2) huruf a Undang-undang Jabatan Notaris mengatur tentang legalisasi berbunyi:

Notaris berwenang mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.

79


(24)

Pasal 15 ayat (2) huruf b Undang-undang Jabatan Notaris yang mengatur mengenai waarmerking menyatakan: notaris berwenang membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.

Pada waarmerking tidak terdapat jaminan, karena baik tanggal, tanda tangan, isi surat tersebut tidak dibuat dan diketahui notaris. Notaris terhadap surat ini hanya mengakui bahwa pada hari tersebut telah datang di kantor notaris, diberi bernomor, dimasukkan dalam buku daftar waarmerking, dan diberi tulisan oleh notaris bahwa surat tersebut telah diberi nomor dan dimasukkan ke dalam buku daftar yang khusus dibuat untuk itu, diberi materai, ditandatangani oleh notaris lalu dikembalikan kepada yang bersangkutan. Sebelum dikembalikan, setiap halaman diberi bernomor dan diparaf oleh notaris.

Jika pada waarmerking notaris hanya melakukan pendaftaran, maka pada legalisasi, dengan telah dilegalisasinya suatu akta, maka para pihak dengan sendirinya telah memberikan penegasan tentang kebenaran tanda tangan mereka dan itu berarti juga adalah penegasan tentang kebenaran tanggal.

Berdasarkan hal tersebut di atas, di sini jelas bahwa akta-akta di bawah tangan yang antara tanggal pembuatannya dengan terjadi peristiwa hukumnya yang berbeda perlu dilegalisasi oleh notaris atas kesepakatan para pihak, untuk selanjutnya diberi tanggal dan para pihak menandatangani akta tersebut yang kemudian ditandatangani oleh notaris, sehingga para pihak memperoleh jaminan atau kepastian dari pejabat ini tentang tanggal, tanda tangan, serta identitas diri yang menandatangani. Legalisasi ini dimaksud harus dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak yang berkepentingan.


(25)

Dengan telah dilegalisasi akta di bawah tangan maka bagi hakim telah diperoleh kepastian mengenai tanggal dan identitas para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut serta tanda tangan yang dibubuhkan di bawah surat itu benar berasal dan dibubuhkan oleh orang yang namanya tercantum dalam surat itu dan orang yang membubuhkan tanda tangannya di bawah surat itu tidak lagi dapat mengatakan bahwa para pihak atau salah satu pihak tidak mengetahui apa isi surat itu, karena isinya telah dibacakan dan dijelaskan terlebih dahulu sebelum para pihak membubuhkan tanda tangannya di hadapan pejabat umum tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, maka akta di bawah tangan yang telah memperoleh legalisasi dari notaris membantu hakim dalam hal pembuktian, karena dengan diakuinya tanda tangan tersebut, maka isi aktapun dianggap sebagai kesepakatan para pihak karena akta di bawah tangan kebenarannya terletak pada tanda tangan para pihak, maka denga diakuinya tanda tangan, akta tersebut menjadi bukti yang sempurna.

B. Kewenangan Hakim Membatalkan Akta Di Bawah Tanganyang Telah Memperoleh Legalisasi Dari Notaris

Dalam hal pembatalan memang diperlukan putusan hakim karena selama tidak dimintakan pembatalan maka akta itu berlaku atau sah. Dalam hal batal demi hukum, kalau tidak terjadi sengketa maka tidak perlu kebatalan itu diputus oleh hakim tetapi kalau kemudian terjadi sengketa kebatalan itu perlu diputus oleh hakim dan saat batal itu berlaku surut sejak perjanjian itu dibuat.80

80

Sudikno Mertokusumo, Pembatalan Isi Akta Notaris Dengan Putusan Hakim, Makalah Dalam Seminar Kenotariatan Nasonal, Semarang, 9 Maret 1991.


(26)

Kesalahan yang terjadi pada isi akta bisa terjadi apabila para pihak memberikan keterangan yang pada saat pembuatan akta dianggap benar, tetapi setelah itu kemudian ternyata tidak benar. Misalnya:

a. Yang bersangkutan memberikan bukti-bukti pemilikan atas objek perjanjian yang kemudian hari ternyata palsu.

b. Yang bersangkutan mengaku sebagi warga negara Indonesia, kemudian ternyata orang asing.

Berkaitan dengan kewenangan hakim dalam memutuskan batalnya suatu akta (baik dalam bentuk batal demi hukum maupun dalam bentuk dapat dibatalkan), hakim hanya dapat melakukannya apabila diajukan padanya suatu akta sebagai alat bukti. Hakim tidak mungkin atas nisiatifnya sendiri memberikan putusan tanpa adanya akta perjanjian sebagai alat bukti tertulis.

Tugas hakim dalam hal pembuktian di persidangan adalah melihat dan menimbang keaslian surat bukti yang diajukan oleh para pihak kemudian menilai dapat tidaknya diterima suatu alat bukti dalam pembuktian. Hakim secara ex officio pada prinsipnya tidak dapat membatalkan akta baik akta otentik maupun akta di bawah tangan kalau tidak dimintakan pembatalan, karena hakim tidak boleh memutuskan yang tidak diminta.81 Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 189 ayat 3 RBg yang menyatakan :hakim dilarang akan menjatuhkan putusan atas perkara yang tiada dituntut atau akan meluluskan lebih dari pada yang dituntut.

Hakim hanya dapat membatalkan akta yang telah diperbuat oleh notaris apabila dimintakan dan dituntut pembatalannya oleh pihak yang bersangkutan

81

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hal. 126.


(27)

apabila ada bukti lawan. Dalam hal ini notaris membuat akta ternyata melanggar peraturan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, maka akibatnya ialah bahwa akta tersebut hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan (Pasal 52 ayat 3 UUJN).

Mengingat bahwa notaris pada dasarnya hanya mencatat apa yang dikemukakan oleh para penghadap dan tidak diwajibkan untuk menyelidiki kebenaran materil isinya, maka tidaklah tepat kalau hakim membatalkannya (Putusan MA 8 September 1973, No. 702 K/ Sip/ 1973). Kesalahan notaris dapat saja terjadi menyangkut isi akta yang dibuatnya disebabkan para pihak sebagai penghadap memberikan informasi yang salah (sengaja atau tidak). Tetapi karena isi akta tersebut terlebih dahulu telah dikonfirmasikan kepada penghadap dengan dibacakannya terlebih dahulu sebelum ditandatangani maka terhadap notaris tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya.

Bila terjadi seorang notaris salah menyalin akta, maka salinan itu tidak mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti tertulis, karena kekuatan akta otentik terletak pada akta aslinya ( Pasal 1888 KUHPerdata ). Dalam hal akta notaris menjadi persyaratan untuk sahnya suatu perbuatan hukum dan tidak dipenuhi, seperti misalnya pada hibah, maka isi dan aktanya batal (Pasal 1682, 1171 KUHPerdata). Jadi baik perbuatannya maupun aktanya batal.

Suatu akta yang tidak cacat secara yuridis, maka hanya perbuatan hukumnya saja yang dibatalkan (MA 5 September 1973 No. 702 K / Sip / 1973). Kesalahan dalam bentuk akta yaitu apabila bentuknya adalah suatu pernyataan keputusan rapat umum luar biasa sedang yang seharusnya adalah berita acara


(28)

rapat, maka aktanya batal, tetapi isinya tidak. Pembatalan menimbulkan keadaan tidak pasti, oleh karena itu undang–undang memberi waktu terbatas untuk menuntut berdasarkan pembatalan Undang–undang memberi pembatalan apabila hendak melindungi seseorang terhadap dirinya sendiri.

Dibatalkannya suatu perbuatan hukum tidak berarti bahwa perbuatan hukumnya sah, berlaku, apabila dalam batas waktu tertentu tidak diajukan tuntutan pembatalan. Dalam hal terdapat salah satu pihak yang belum cukup umur dan tidak cakap dianggap tidak dapat melaksanakan kepentingannya dengan baik, maka pihak tersebut diberi wewenang oleh undang–undang untuk menghindarkan diri dari akibat–akibatnya, sepanjang pihak yang bersangkutan tidak cakap, dengan mengajukan permohonan pembatalan kepada hakim.

Ratio ajaran pembatalan ini ialah bahwa pihak lawan tidak dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada hakim. Berdasarkan hal tersebut maka dapat diketahui bahwa pembatalan merupakan perlindungan individu terhadap dirinya sendiri sedangkan kebatalan merupakan perlindungan seseorang terhadap orang lain. Dalam hal pembatalan kiranya memang diperlukan putusan hakim, karena selama tidak dimintakan pembatalan perjanjian atau akta itu berlaku atau sah. Dalam hal batal demi hukum, kalau tidak terjadi sengketa maka tidak perlu kebatalan itu diputus oleh hakim, tetapi kalau kemudian terjadi sengketa maka perlu kebatalan itu diputus oleh hakim dan saat batal itu berlaku surut terhitung sejak perjanjian itu dibuat.

Akta di bawah tangan yang telah memperoleh legalisasi dan waarmerking


(29)

pembuktian hanya membagi beban membuktikan, tetapi secara ex officio hakim tidak dapat membatalkan suatu akta kalau tidak dimintakan pembatalan karena hakim tidak boleh memutuskan yang tidak diminta. Dalam hal akta di bawah tangan yang diakui dimintakan pembatalan, maka hakim dapat membatalkan akta tersebut apabila terdapat bukti lawan yang menguatkan pembatalan itu. Suatu akta juga dapat menjadi batal demi hukum apabila tidak dipenuhinya suatu syarat objektif suatu perjanjian, dan suatu akta dapat dibatalkan dengan tidak dipenuhinya syarat subyektif suatu perjanjian.


(30)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Akta otentik dan akta di bawah tangan di Indonesia diatur secara jelas dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. KUH Perdata secara tegas membedakan kedua akta ini, khususnya dalam hal lahirnya kedua akta ini, dimana akta otentik lahir dari melalui keikusertaan pejabat yang berwenang untuk itu, sedangkan akta di bawah tangan lahir hanya berdasarkan inisiatif para pihak tanpa mengikusertakan keterlibatan pejabat yang berwenang untuk itu.

2. Kewenangan legalisasi dan waarmerking diatur dalam pasal 15 ayat 2 Undang-undang Jabatan Notaris yang menyebutkan tentang beberapa kewenangan notaris selain sebagai pejabat pembuat akta otentik, yaitu mengesahkan tanda tangan serta membukukan surat di bawah tangan. 3. Akta di bawah tangan yang telah memperoleh legalisasi ataupun

waarmerking dari notaris kekuatan pembuktiannya tidak dapat dipersamakan dengan akta otentik, sebab akta otentik hanyalah akta yang dibuat oleh pejabat notaris, bukan yang dilegalisasi atau diwaarmerking oleh notaris. Namun dibandingkan dengan akta di bawah tangan pada umumnya, akta di bawah tangan yang telah dilegalisasi ataupun diwaarmerking jelas memiliki kelebihan.


(31)

B. Saran

1. Perlu adanya suatu pengaturan tegas oleh peraturan perundang-undangan tentang kedudukan dan kekuatan pembuktian akta di bawah tangan yang telah dilegalisasi atau diwaamerking oleh notaris. Hal ini mutlak diperlukan, sebab kekuatan pembuktiannya mengambang. Di satu sisi tidak dapat dipersamakan dengan akta otentik, sedang di sisi lain juga memiliki kelebihan dibanding akta di bawah tangan pada umumnya.

2. Perlu adanya sosialisasi menyeluruh kepada masyarakat tentang pentingnya melakukan kesepakatan apapun melalui pejabat notaris, agar diperoleh akta yang otentik yang memiliki kekuatan pembuktian absolut yang dapat melindungi kepentingan para pihak dari hal-hal yang dapat merugikan kepentingan para pihak.


(32)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP AKTA

A. Pengertian Akta

Menurut S. J. Fockema Andreae, dalam bukunya “Rechts geleerd Handwoorddenboek”, kata akta itu berasal dari bahasa Latin “acta” yang berarti geschrift32 atau surat sedangkan menurut R. Subekti dan Tjitrosudibio dalam bukunya Kamus Hukum, bahwa kata “acta” erupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang berasal dari bahasa Latin yang berarti perbuatan-perbuatan33

A. Pitlo mengartikan akta itu sebagai berikut: “surat-surat yang ditandatangani dibuat untuk dipakai sebagai alat bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu dibuat.34

Di samping pengertian akta sebagai surat yang sengaja dibuat untuk dipakai sebagai alat bukti, dalam peraturan perundang-undangan sering kita jumpai perkataan akta yang maksudnya sama sekali bukanlah “surat” melainkan perbuatan. Hal ini kita jumpai misalnya pada pasal 108 KUH Perdata, yang berbunyi:

Seorang isteri, biar ia kawin di luar persatuan harta kekayaan, atau telah berpisah dalam hal itu sekalipun, namun tak bolehlah ia menghibahkan barang sesuatu, atau memindahtangankannya, atau memperolehnya, baik dengan cuma-cuma maupun atas beban melainkan dengan bantuan dalam “akta” atau dengan izin tertulis dari suaminya.

32

S. J. Fockema Andreae, Rechtsgeleerd Handwoorddenboek, diterjemahkan oleh Walter Siregar, Bij J. B. Wolter uitgeversmaat schappij, (Jakarta: N. V. Gronogen, 1951, hal. 9.

33

R. Subekti, dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980), hal. 9.

34


(33)

Seorang isteri, biar ia telah dikuasakan oleh suaminya untuk membuat suatu akta, atau untuk mengangkat suatu perjanjian sekalipun, namun tidaklah ia, karena itu, berhak menerima sesuatu pembayaran, atau memberi pelunasan atas itu, tanpa izin yang tegas dari suaminya.

Bila diperhatikan dengan teliti dan seksama, maka penggunaan “akta” dalam ketentuan undang-undang tersebut di atas tidak tepat kalau diartikan surat yang diperuntukkan sebagai alat bukti.

Menurut R. Subekti, kata akta dalam pasal 108 KUH Perdata tersebut di atas bukanlah berarti surat melainkan harus diartikan dengan perbuatan hukum, berasal dari kata “acta” yang dalam bahasa Perancis berarti perbuatan.35

Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan akta adalah:

1. Perbuatan handeling/ perbuatan hukum (rechtshandeling) itulah pengertian yang luas, dan

2. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai/ digunakan sebagai bukti perbuatan hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang ditujukan kepada pembuktian sesuatu.

Demikia pula misalnya dalam pasal 109 KUH Perdata (Pasal 1115 BW Nederland) dan pasla 1415 KUH Perdata (Pasal 1451 BW Nederland) kata akta dalam pasal-pasal ini bukan berarti surat melainkan perbuatan hukum.

Menurut Sudikno Mertokusumo, akta adalah surat yang diberi tanda tandatangan, yang memuat peristiwa-peristiwa, yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.36

35


(34)

B. Persyaratan Suatu Akta

Dari definisi tersebut di atas, jelas bahwa tidaklah semua surat dapat disebut akta, melainkan hanya surat-surat tertentu yang memenuhi syarat-syarat tertentu pula baru dapat disebut akta. Adapun syarat yang harus dipenuhi supaya suatu surat dapat disebut akta adalah:37

1. Surat itu harus ditandatangani

Keharusan ditandatangani sesuatu surat untuk dapat disebut akta ditentukan dalam pasal 1869 KUH Perdata, yang berbunyi:

Suatu akta, yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diberlakukan sebagai akta autentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ditandatangani oleh para pihak” Dari pasal tersebut, jelas bahwa suatu surat untuk dapat disebut akta, harus ditandatangani dan jika tidak ditandatangani oleh yang membuatnya, maka surat itu adalah surat bukan akta. Dengan demikian, jelas bahwa tulisan-tulisan yang tidak ditandatangani kendatipun diperuntukkan untuk pembuktian, seperti karcis kereta api, recu, dan lain-lain tidak dapat disebut akta. Tujuan dari keharusan ditandatangani surat untuk dapat disebut akta adalah untuk memberi ciri atau untuk mengindividualisasi sebuah akta, sebab tandatangan dari setiap orang mempunyai ciri tersendiri yang tidak mungkin sama dengan tandatangan orang lain.

2. Surat itu harus memuat peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hak atau perikatan

36

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1979), hal. 106.

37


(35)

Sesuai dengan peruntukkan sesuatu akta sebagai alat pembuktian demi kepentingan siapa surat itu dibuat, maka jelas bahwa surat itu harus berisikan suatu keterangan yang dapat menjadi bukti yang dibutuhkan. Peristiwa hukum yang dapat disebut dalam surat itu dan yang dibutuhkan sebagai alat pembuktian haruslah merupakan peristiwa hukum yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan. Jika suatu peristiwa hukum yang disebut dalam surat itu dapat menjadi dasar suatu hak atau perikatan, atau jika surat itu sama sekali tidak memuat suatu peristiwa hukum yang dapat menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan, maka surat itu bukanlah akta, sebab tidaklah mungkin surat itu dapat dipakai sebagai alat bukti. 3. Surat itu diperuntukkan sebagai alat bukti

Syarat ketiga agar suatu surat dapat disebut akta adalah surat itu harus diperuntukkan sebagai alat bukti. Apakah suatu bukti surat dibuat untuk menjadi bukti tidak selalu dapat dipastikan, demikian halnya mengenai sehelai surat, dapat menimbulkan keraguan. Surat yang ditulis oleh seorang pedagang untuk menegaskan suatu perstujuan yang telah dibuat secara lisan, adalah suatu akta, karena ia dibuat untuk pembuktian. Demikian juga H.R tanggal 14 April 1961 (N. Y. 1961: 446). Suatu surat ulang tahun tidaklah dibuat untuk pembuktian. Di antara keduanya terdapat daerah kesangsian.


(36)

C. Macam-macam Akta

Pasal 1867 KUH Perdata yang berbunyi: pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan (akta) autentik maupun dengan tulisan-tulisan (akta) di bawah tangan.

Dari bunyi pasal tersebut, maka akta dapat dibedakan atas:

1. Akta Autentik

Mengenai akta autentik diatur dalam pasal 165 HIR, yang bersamaan bunyinya dengan pasal 285 Rbg, yang berbunyi: “Akta autentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dari para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak daripadanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bahkan sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanya diberitahukan itu berhubungan langsung dengan perihal pada akta itu.38

Pasal 165 HIR dan pasal 285 Rbg memuat pengertian dan kekuatan pembuktian akta autentik sekaligus. Pengertian akta autentik dijumpai pula dalam pasal 1868 KUH Perdata, yang berbunyi: “suatu akta autentik adalah suatu akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu di tempat akta itu dibuat.

Akta yang dibuat di hadapan atau oleh notaris yang berkedudukan sebagai akta otentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-undang

38


(37)

Jabatan Notaris39, hal ini sejalan dengan pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa syarat akta otentik, yaitu:40

a. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (bentuknya baku) b. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum.

Dikemukakan pula oleh Irawan Soerojo, bahwa ada 3 (tiga) unsur esenselia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu:41

a. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang b. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum

c. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.

Menurut C. A. Kraan, akta otentik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:42 a. Suatu tulisan, dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti

atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut ditandatangani oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan saja.

b. Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat yang berwenang.

39

M. Ali Boediarto, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara Perdata Setengah Abad, (Jakarta: Swa Justitia, 2005), hal. 152

40

Philipus M. Hadjon, Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik, Surabaya Post, 31 Januari 2001, hal. 3

41

Irawan Soerojo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, (Surabaya: Arkola, 2003), hal. 148.

42

Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 3-4.


(38)

c. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang harus dipenuhi; ketentuan tersebut mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat ketentuan-ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu tulisan, nama dan kedudukan/ jabatan pejabat yang membuatnya c.q data dimana dapat diketahui mengenai hal-hal tersebut.

d. Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan pekerjaan yang mandiri serta tidak memihak dalam menjalankan jabatannya.

e. Pernyataan atau fakta dari tindakan yang disebut oleh pejabat adalah hubungan hukum di dalam bidang hukum privat.

Menurut G. H. S. Lumban Tobing, apabila suatu akta hendak memperoleh stempel otentisitas, hal mana terdapat pada akta notaris, maka menurut ketentuan dalam pasal 1868 KUH Perdata, akta yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:43

a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum

Pasal 38 Undang-undang Jabatan Notaris yang mengatur tentang sifat dan bentuk akta tidak menentukan mengenai sifat akta. Dalam pasal 1 angka 7 Undang-undang Jabatan Notaris menentukan bahwa akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-undang Jabatan Notaris, dan secara tersirat dalam pasal 58 ayat (2) Undang-undang Jabatan Notaris

43


(39)

disebutkan bahwa notaris wajib membuat daftar akta dan mencatat semua akta yang dibuat oleh atau dihadapan notaris

Akta yang dibuat oleh (door) notaris dalm praktek notaris disebut akta rellas atau akta berita acara berisi berupa uraian notaris yang dilihat dan disaksikan notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan ke dalam bentuk akta notaris. Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) notaris, dalam praktek notaris disebut akta pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan notaris. Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta notaris.44

b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang Ketika kepada para notaris masih diberlakukan peraturan jabatan notaris (PJN), masih diragukan apakah akta yang dibuat sesuai dengan undang-undang? Pengaturan pertama kali notaris Indonesia berdasarkan Instruktie voor de Notarissen Residerende in Nederlands Indie dengan Stbl. No. 11, tanggal 7 Maret 1822,45 kemudian dengan Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stbl. 1860: 3), dan Reglement ini berasal dari Wet op het Notarisambt (1842), kemudian Reglement tersebut diterjemahkan menjadi PJN.46

44

Ibid, hal. 51.

45

R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, (Jakarta: Rayawali, 1982), hal. 24-25.

46

Tan Thong Kie, Studi Notariat, Serba Serbi Praktek Notaris, (Jakarta, Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), hal. 362.


(40)

Meskipun notaris di Indonesia diatur dalam bentuk Reglement, hal tersebut tidak dimasalahkan karena sejak lembaga notaris lahir di Indonesia, pengaturannya tidak lebih dari bentuk Reglement, dan secara kelembagaan dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954, yang tidak mengatur mengenai bentuk akta. Setelah lahirnya Undang-undang Jabatan Notaris, keberadaan notaris mendapat pengukuhan karena bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dalam hal ini ditentukan dalam pasal 38 Undang-undang Jabatan Notaris.47

c. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.

Wewenang notaris meliputi empat hal, yaitu:48

1) Notaris harus berwenang sepanjang menyangkut akta yang harus dibuat itu

2) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat

3) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat

47

Notaris dan PPAT diberi kewenangan untuk membuat surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT) berdasarkan pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996. Dengan menggunakan parameter pasal 38 Undang-undang Jabatan Notaris tersebut, maka SKMHT tidak memenuhi syarat sebagai akta notaris, sehingga notaris dalam membuat surat kuasa membebankan hak tanggungan tidak dapat menggunakan blanko SKMHT yang selama ini ada,t tapi notaris wajib membuatnya dalam bentuk akta notaris dengan memenuhi semua ketentuan yang tercantum dalam pasal 38 Undang-undang Jabatan Notaris. Jika notaris dalam membuat surat kuasa membebankan hak tanggungan masih menggunakan blanko SKMHT, maka notaris telah bertindak di luar kewenangannya, sehingga SKMHT tersebut tidak mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta otentik, tetapi hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

48


(41)

4) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu

2. Akta di Bawah Tangan

Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat oleh para pihak untuk pembuktian tanpa bantuan dari seorang pejabat pembuat akta dengan kata lain akta di bawah tangan adalah akta yang dimasukkan oleh para pihak sebagai alat bukti, tetapi tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum pembuat akta.49

Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum juga menjadi akta di bawah tangan, jika pejabat itu tidak berwenang untuk membuat akta itu jika terdapat cacat dalam bentuk akta itu, sebagaimana disebut dalam pasal 1869 KUH Perdata.50

Mengenai akta di bawah tangan ini tidak diatur dalam HIR, tetapi di dalam Rbg ada diatur dalam pasal 286 sampai dengan pasal 305 dan dalam KUH Perdata diatur dalam pasal 1874 sampai dengan pasal 1880, dan dalam Stbl. 1867 No. 29.

Mengenai akta di bawah tangan yang memuat pengakuan utang secara sepihak untuk membayar sejumlah uang atau memberikan/ menyerahkan sesuatu barang yang dapat ditetapkan atas suatu harga tertentu, harus seluruhnya ditulis dengan tangannya sendiri oleh orang yang menandatangani (orang yang berutang) atau paling sedikit selainnya tanda tangan, harus ditulis sendiri oleh si

49

Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op. cit, hal. 36.

50

Pasal 1869 KUH Perdata: “Suatu akta, yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya dalam pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diberlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan.”


(42)

penandatangan (orang yang berutang) suatu persetujuan yang memuat jumlah atau besarnya barang yang terutang.

Jika diindahkan, maka apabila perikatan dimungkiri, akta di bawah tangan itu hanya dapat diterima sebagai suatu permulaan pembuktian dengan tulisan, demikian menurut pasal 1878 KUH Perdata, yang bersamaan isinya dengan pasal 1291 Rbg dan pasal 4 Stbl. 1867 No. 29. Apa yang dimaksud dengan permulaan bukti tertulis, dijelaskan dalam pasal 1902 ayat (2) KUH Perdata, yang berbunyi: “yang dinamakan permulaan pembuktian dengan tulisan ialah segala akta tertulis yang berasal dari orang terhadap siapa tuntutan dimajukan, atau dari orang yang diwakili olehnya, dan yang memberikan persangkaan tentang benarnya peristiwa-peristiwa yang dimajukan oleh seseorang.’

Jadi surat yang berasal dari penggugat atau pihak ketiga tidaklah merupakan permulaan bukti tertulis. Untuk dapat menjadi bukti sempurna atau lengkap, maka permulaan bukti tertulis itu harus dilengkapi dengan alat-alat bukti lain.

Menurut G. H. S. Lumban Tobing, perbedaan terbesar antara akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah:

a. Akta otentik mempunyai tanggal yang pasti;

b. Grosse dari akta otentik dalam beberapa hal mempunyai kekuatan eksekutorial seperti putusan hakim sedang akta di bawah tangan tidak pernah mempunyai kekuatan eksekutorial.


(43)

c. Kemungkinan akan hilangnya akta yang dibuat di bawah tangan lebih besar dibandingkan dengan akta otentik.51

Di samping itu masih ada lagi perbedaan-perbedaan antara akta otentik dan akta di bawah tangan, seperti:52

a. Akta otentik harus dibuat oleh atau di hadapan pejabat dan harus mengikuti bentuk dan formalitas yang ditentukan dalam undang-undang, sedang akta di bawah tangan tidak demikian.

b. Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian lahir sesuai dengan asas “acta publica probant seseipsa”, sedang akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan lahir.

D. Kekuatan Pembuktian Akta

Bila diperhatikan pasal 164 HR, pasal 283 Tbg, dan pasal 1865 KUH Perdata, maka jelas bahwa bukti tulisan ditempatkan paling atas dari seluruh alat-alat bukti yang disebut dalam pasal-pasal undang-undang tersebut.

Walaupun urutan penyebutan alat bukti dalam ketentuan undang-undang itu bukan imperative, namun dapat dikatakan bahwa alat bukti tulisan (akta) memang merupakan alat bukti yang paling tepat dan penting, terlebih-lebih pada masyarakat modern saat ini.

Pada hakikatnya kekuatan pembuktian dari akta itu selalu dapat dibedakan atas tiga, yaitu:53

1. Kekuatan pembuktian lahir (Uitendige Bewijskracth)

51

G. H. S. Lumban Tobing, Op. cit, hal. 46-47.

52

Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op.cit, hal. 37-38..

53


(44)

Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir ialah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir dari akta itu, maksudnya bahwa suatu surat yang kelihatannya seperti akta, harus diperlakukan sebagai akta, sampai dibuktikan sebaliknya.

Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian lahir, sesuai dengan asas “acta publica probant seseipsa”, yang berarti bahwa satu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik, serta memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, maka akta itu harus dianggap sebagai akta otentik, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.

Berbeda dengan akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat, dimana tanda tangan pejabat itu merupakan jaminan otentisitas dari akta itu, sehingga oleh karenanya mempunyai kekuatan pembuktian lahir, maka akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian lahir. Hal ini berarti bahwa akta di bawah tangan baru berlaku sah, jika yang menandantanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangannya itu, artinya jika tanda tangan telah diakui kebenarannya oleh yang bersangkutan, barulah akta itu berlaku sebagai alat bukti sempurna bagi para pihak yang bersangkutan (pasal 1875 KUH Perdata).

Orang terhadap siapa akta di bawah tangan itu digunakan, diwajibkan membenarkan (mengakui) atau memungkiri tanda tangannya, sedang bagi ahli warisnya cukup hanya menerangkan bahwa ia tidak kenal akan tanda tangan tersebut.54

54


(45)

Oleh karena tanda tangan pada akta di bawah tangan selalu masih dapat dipungkiri oleh si penandatangan sendiri atau oleh ahli warisnya tidak diakui, maka akta di bawah tangan itu tidak mempunyai kekuatan pembuktian lahir.55

2. Kekuatan pembuktian formil (FormilBewijskracth)

Kekuatan pembuktian formal ini didasarkan atas benar tidaknya ada pernyataan oleh yang bertanda tangan di bawah akta itu. Dalam akta otentik, pejabat pembuat akta menyatakan dalam tulisan itu bahwa ada yang dinyatakan dalam akta itu sebagaimana telah dicantumkan di dalamnya.56

Pada ambtelijke akten, pejabat pembuat aktalah yang menerangkan apa yang dikonstatia oleh pejabat itu dan menuliskannya dalam akta, dan oleh sebab itu apa yang diterangkan oeh pejabat tadi telah pasti bagi siapapun, sepanjang mengenai tanggal pembuatan, tempat pembuatan akta dan isi/ keterangan dalam akta itu. Dalam partij akten sebagai akta otentik, bagi siapapun telah pasti bahwa pihak-pihak dan pejabat yang bersangkutan menyatakan seperti apa yang tertulis di atas tanda tangan mereka.57

Dalam hal ini, sudah pasti adalah: tanggal pembuatan akta, dan keaslian tanda tangan pejabat dan para pihak serta saksi-saksi yang turut menandatangani akta tersebut, serta kepastian bahwa para pihak ada menerangkan seperti apa yang diuraikan/ dicantumkan dalam akta itu,

55

Sudikno Mertokusumo, Op. cit, hal. 114.

56

Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op.cit, hal. 111.

57


(46)

sedang kebenaran dari apa yang diterangkan oleh para pihak itu pada hakikatnya hanya pasti antara mereka sendiri.58

Akta di bawah tangan baru mempunyai kekuatan pembuktian formal, jika tanda tangan di bawah akta itu diakui/ tidak disangkal kebenarannya. Dengan diakuinya keaslian tanda tangan pada akta di bawah tangan, maka kekuatan pembuktian formal dari akta di bawah tangan itu sama dengan kekuatan pembuktian formal dari akta otentik.

3. Kekuatan pembuktian materil (Materiele Bewijskracth)

Kekuatan pembuktian materil ini menyangkut pembuktian tentang materi suatu akta, memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak melakukan atau melaksanakan seperti apa yang diterangkan dalam akta itu.59

Akta pejabat sebagai akta otentik, tidak lain hanya membuktikan apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar dan juga dilakukan sendiri oleh pejabat itu dalam menjalankan jabatannya. Akta para pihak menurut undang-undang merupakan bukti sempurna bagi mereka dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak darinya.

Akta di bawah tangan, jika tanda tangan di dalam akta itu tidak dimungkiri keasliannya, serupa dengan partij akten sebagai akta otentik, mempunyai kekuatan pembuktian materil bagi yang menandatanganinya, ahli warisnya

58 Ibid 59


(47)

serta para penerima hak dari mereka, sebagaimana ditentukan dalam pasal 1875 KUH Perdata (pasal 288 Rbg).60

60

Pasal 1875 KUH Perdata: “Suatu akta di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa akta itu hendak dipakai, atau dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang mendapat hak daripada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik.


(48)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.1

Istilah Pejabat Umum merupakan terjemaah dari istilah Openbare Ambtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris2 dan Pasal 1868 KUHPerdata.3

Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan:4

“Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.”

Pasal 1868 KUHPerdata menyebutkan: “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.”

1

Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

2

Istilah Openbare Ambtenaren yang terdapat dalam Art. 1 Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3) diterjemahkan menjadi Pejabat Umum oleh G.H.S. Lumban Tobing. Lihat G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris (Jakarta: Erlangga, 1996), hal 31.

3

Istilah Openbare Ambtenaren yang terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata diterjemahkan menjadi Pejabat Umum oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983).

4


(49)

Menurut Habib Adjie, khusus berkaitan dengan Openbare Ambtenaren

yang diterjemahkan sebagai Pejabat Umum diartikan sebagai pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan publik, dan kualifikasi itu diberikan kepada Notaris.5 Baik PJN maupun UUJN tidak memberikan batasan atau definisi mengenai Pejabat Umum.

Pemberian kualifikasi Notaris sebagai Pejabat Umum berkaitan dengan wewenang Notaris. Pasal 15 ayat (1) UUJN menyebutkan:

“Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang”.

Pemberian wewenang kepada pejabat atau instansi lain, seperti Kantor Catatan Sipil, tidak berarti memberikan kualifikasi sebagai Pejabat Umum tapi hanya menjalankan fungsi sebagai Pejabat Umum saja ketika membuat akta-akta yang ditentukan oleh aturan hukum dan kedudukan mereka tetap dalam jabatannya seperti semula sebagai pejabat negara. Misalnya akta-akta yang dibuat oleh Kantor Catatan Sipil juga termasuk akta otentik. Kepala Kantor Catatan Sipil yang membuat dan menandatanganinya tetap berkedudukan sebagai Pegawai Negeri.6

Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan

5

Habib Adjie, Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, cet. 2, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hal. 27.

6


(50)

alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Dengan dasar seperti ini mereka yang diangkat sebagai Notaris harus mempunyai semangat untuk melayani masyarakat dan atas pelayanan tersebut, masyarakat yang merasa telah dilayani oleh Notaris sesuai dengan tugas jabatannya, dapat memberikan honorarium kepada Notaris.7 Oleh karena itu Notaris tidak berarti apa-apa jika masyarakat tidak membutuhkannya.

Selain dari akta otentik yang dibuat oleh notaris, terdapat akta lain yang disebut sebagai akta di bawah tangan, yaitu akta yang sengaja dibuat oleh para pihak untuk pembuktian tanpa bantuan dari seorang pejabat pembuat akta. Dengan kata lain, akta di di bawah tangan adalah akta yang dimaksudkan oleh para pihak sebagai alat bukti, tetapi tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum.8

Akta di bawah tangan, jika tanda tangan di dalam akta itu tidak dimungkiri keasliannya, serupa dengan dengan akta otentik, mempunyai kekuatan pembuktian materil bagi yang menandatanganinya, ahli warisnya serta para pihak penerima hak dari mereka, sebagaimana ditentukan dalam pasal 1875 KUH Perdata (Pasal 288 Rbg).9 Jadi, isi keterangan di dalam akta di bawah tangan yang telah diakui keaslian tanda tangan atau diangap telah diakui menurut undang-undang itu berlaku bagi para pihak sebagai akta otentik, dan merupakan alat bukti

7

Mengenai honorarium ini diatur dalam Pasal 36 UUJN.

8

Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Gross Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 36.

9

Pasal 1875 KUH Perdata: suatu akta di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa akta itu hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang mendapat hak daripada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu akta autentik.


(51)

sempurna bagi mereka serta para ahli warisnya dan para penerima hak dari mereka, sepanjang mengenai apa yang dicantumkan dalam akta itu.10

Akta di bawah tangan juga dapat disebut sebagai akta otentik melalui pengesahan (legalisasi) dan pendaftaran (waarmerking) pada pejabat notaris. Hal ini dimungkinkan oleh Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang mengatur tentang kewenangan notaris, yang salah satunya adalah membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.11 Dengan demikian, kekuatan pembuktian akta di bawah tangan yang telah didaftarkan tersebut akan sama dengan kekuatan pembuktian akta otentik.

Tulisan ini mencoba untuk melihat sejauh mana kekuatan pembuktian akta di bawah tangan dikaitkan dengan kewenangan notaris dalam legalisasi dan waamerking berdasarkan Undang-undang tentang Jabatan Notaris.

B. Permasalahan

Adapun permasalahan yang akan diangkat dalam skripsi ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan tentang akta otentik dan akta di bawah tangan di Indonesia?

2. Bagaimana pengaturan tentang kewenangan legalisasi dan waarmerking notaris dalam Undang-undang Jabatan Notaris?

3. Bagaimana kekuatan pembuktian akta di bawah tangan dikaitkan dengan kewenangan legalisasi dan waarmerking notaris?

10

hal. 114.

11


(52)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan

a. Untuk mengetahui pengaturan tentang akta otentik dan akta di bawah tangan di Indonesia

b. Untuk mengetahui pengaturan tentang kewenangan legalisasi dan waarmerking notaris dalam Undang-undang Jabatan Notaris

c. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian akta di bawah tangan dikaitkan dengan kewenangan legalisasi dan waarmerking notaris

2. Manfaat

a. Teoritis

1) Penelitian ini dapat menambah referensi atau khasanah kepustakaan di bidang ilmu pengetahuan, khususnya hukum perdata.

2) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi tambahan bagi penelitian yang akan datang apabila sama bidang penelitiannya.

b. Praktis

Dapat diajukan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan-rekan mahasiswa, masyarakat, lembaga kenotariatan, praktisi hukum dan pemerintah dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan kekuatan pembuktian akta di bawah tangan dikaitkan dengan kewenangan legalisasi dan waarmerking notaris.


(53)

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Kekuatan Pembuktian Akta di Bawah Tangan Dikaitkan Dengan Kewenangan Notaris dalam Legalisasi dan Waarmerking Berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Notaris dan Kelembagaannya di Indonesia

Notaris berasal dari kata notarius, yaitu orang yang menjalankan pekerjaan menulis pada zaman Romawi. Pada abad kelima dan keenam sebutan notarius, majemuknya notarii, diberikan kepada penulis atau sekretaris pribadi raja.12 Fungsi notarius pada saat itu sangat berbeda dengan fungsi Notaris pada saat ini.

Pada akhir abad kelima sebutan notarii diberikan kepada pegawai-pegawai istana yang melaksanakan pekerjaan-pekerjaan administratif. Mereka memiliki keahlian untuk mempergunakan suatu bentuk tulisan cepat, yang sekarang dikenal sebagai stenografen.

12

Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center for Documentation and Studies of Business Law, (Yogyakarta: CDSBL, 2003), hal. 31.


(54)

Pejabat-pejabat yang dinamakan notarii tersebut merupakan pejabat yang menjalankan tugas untuk pemerintah dan tidak melayani publik. Yang melayani publik dinamakan tabelliones, yaitu pejabat yang menjalankan pekerjaan sebagai penulis untuk publik yang membutuhkan keahliannya.13

Pada dasarnya fungsi tabelliones mirip dengan fungsi Notaris pada masa sekarang, hanya saja akta-akta yang dibuatnya tidak mempunyai sifat otentik dan hanya mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat di bawah tangan.14

Selain tabelliones terdapat juga pejabat lain yang dinamakan tabularii yang bertugas memegang dan mengerjakan buku-buku keuangan kota serta mengadakan pengawasan terhadap administrasi kota. Tabularii juga ditugaskan menyimpan surat-surat dan berwenang membuat akta. Tabularii berhak menyatakan secara tertulis terhadap tindakan-tindakan hukum yang ada dari para pihak yang membutuhkan jasanya.15 Tabularii merupakan saingan berat bagi para

tabelliones.

Lembaga Notaris masuk ke Indonesia pada permulaan abad XVII dengan keberadaan Vereenigde Oost Ind. Compagnie (VOC)16 di Indonesia. Jan Pieterszoon Coen pada waktu itu sebagai Gubernur Jendral di Jacatra (sekarang Jakarta) antara tahun 1617 sampai 1629, untuk keperluan para penduduk dan para pedagang di Jakarta menganggap perlu mengangkat seorang Notaris.

Pada tanggal 27 Agustus 1620, Melchior Kerchem, sekretaris dari

College van Schepenen (Urusan Perkapalan Kota) di Jakarta, diangkat sebagai

13 Ibid 14

Ibid, hal. 32.

15 Ibid 16


(55)

Notaris pertama di Indonesia.17 Dalam akta pengangkatannya sebagai Notaris, secara singkat dimuat suatu instruksi yang menguraikan bidang pekerjaan dan wewenangnya, yaitu menjalankan tugas jabatannya di Jakarta demi kepenti-ngan publik dan berkewajiban untuk mendaftarkan semua dokumen-dokumen dan akta-akta yang dibuatnya.

Pada tahun 1625 jabatan Notaris dipisahkan dari jabatan Sekretaris

College van Schepenen, yaitu dengan dikeluarkan instruksi untuk para Notaris pada tanggal 16 Juni 1625. Instruksi ini hanya terdiri dari 10 (sepuluh) pasal, antara lain menetapkan bahwa Notaris wajib merahasiakan segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya dan tidak boleh menyerahkan salinan-salinan dari akta-akta kepada orang-orang yang tidak berkepentingan.18 Tanggal 7 Maret 1822 (Stb. No. 11) dikeluarkan Instructie voor de Notarissen Residerende in Nederlands Indie. Pasal 1 instruksi tersebut mengatur secara hukum batas-batas dan wewenang dari seorang Notaris dan juga menegaskan Notaris bertugas untuk membuat akta-akta dan kontrak-kontrak, dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan danpengesahan, menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan k e m u d i a n mengeluarkan grossenya, demikian juga memberikan salinannya yang sah dan benar.19

Tahun 1860 Pemerintah Hindia Belanda memandang perlu untuk membuat peraturan-peraturan yang baru mengenai jabatan Notaris di Nederlands Indie untuk disesuaikan dengan peraturan-peraturan mengenai jabatan Notaris yang

17 Ibid 18

R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia: Suatu Penjelasan, ( Jakarta, Rajawali, 1982), hal. 23.

19


(56)

berlaku di Belanda. Sebagai pengganti Instructie voor de Notarissen Residerende in Nederlands Indie, kemudian tanggal 1 Juli 1860 ditetapkan Reglement op HetNotaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3).20

Setelah Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, keberadaan Notaris di Indonesia tetap diakui berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang- Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu: “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang- undang dasar ini.” Dengan dasar Pasal II Aturan Peralihan tersebut tetap diberlakukan Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie

(Stbl. 1860: 3). Sejak tahun 1948 kewenangan pengangkatan Notaris dilakukan oleh Menteri Kehakiman, berdasarkan Peraturan Pemerintah Tahun 1948 Nomor 60, tanggal 30 Oktober 1948, Tentang Lapangan Pekerjaan, Susunan, Pimpinan dan TugasKewajiban Kementerian Kehakiman.21

Tahun 1949 melalui Konfrensi Meja Bundar (KMB) yang dilaksanakan di Den Haag, Nederland, tanggal 23 Agustus – 22 September 1949, salah satu hasil KMB terjadi Penyerahan Kedaulatan dari Pemerintah Belanda kepada Republik Indonesia Serikat untuk seluruh Wilayah Indonesia (kecuali Irian Barat-Papua sekarang), adanya penyerahan kedaulatan tersebut, membawa akibat kepada status Notaris yang berkewarganegaraan Belanda yang ada di Indonesia, harusmeninggalkan jabatannya.22

Dengan demikian terjadi kekosongan Notaris di Indonesia, untuk mengisi kekosongan tersebut sesuai dengan kewenangan yang ada pada Menteri

20

Habib Adjie, Op. cit, 2009, hal. 2.

21 Ibid 22


(57)

Kehakiman Republik Indonesia Serikat dari tahun 1949 sampai dengan tahun 1954 menetapkan dan mengangkat Wakil Notaris untuk menjalankan tugas Jabatan Notaris dan menerima protokol yang berasal dari Notaris yang berkewarganegaraan Belanda.23

Tanggal 13 November 1954 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang nomor 33 Tahun 1954 Tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara. Pasal 2 ayat (1) undang-undang tersebut menegaskan bahwa, dalam hal Notaris tidak ada, Menteri Kehakiman dapat menunjuk seorang yang diwajibkan menjalankan pekerjaan-pekerjaan Notaris. Mereka yang ditunjuk dengan kewajiban seperti tersebut dalam pasal ini disebut sebagai Wakil Notaris (Pasal 1 huruf c dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954). Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan, sambil menunggu ketetapan dari Menteri Kehakiman, Ketua Pengadilan Negeri dapat menunjuk seorang untuk sementara diwajibkan menjalankan pekerjaan-pekerjaan Notaris. Mereka yang ditunjuk dengan kewajiban seperti tersebut dalam pasal ini disebut sebagai Wakil Notaris Sementara (Pasal 1 huruf d Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954), sedangkan yang disebut Notaris adalah mereka yang diangkat berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3)- (Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954). Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 juga sekaligus menegaskan berlakunya Reglement op Het

23 Ibid


(1)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan yang tiada henti-hentinya akan kehadhirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan kesempatan penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat dan salam tak lupa penulis panjatkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan jalan dan menuntun umatnya dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang yang disinari oleh nur iman dan Islam.

Skripsi ini berjudul: Kekuatan Pembuktian Akta di Bawah Tangan Dikaitkan dengan Kewenangan Notaris dalam Legalisasi dan Waarmerking Berdasarkan Undang-undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Penulis menyadari bahwa di dalam pelaksanaan pendidikan ini banyak mengalami kesulitan-kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kelemahan serta kekurangan-kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan adanya suatu masukan serta saran yang bersifat membangun di masa yang akan datang.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:


(2)

1. Bapak Prof. Dr. Syahril Pasaribu, sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU.

4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU.

5. Bapak Muhammad Husni, SH, M. Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU.

6. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS sebagai Ketua Jurusan Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M. Hum sebagai Dosen Pembimbing I, terima kasih atas bimbingan dan dukungan Bapak selama ini kepada penulis.

8. Zulkarnain Mahfudz, SH, CN, sebagai sebagai Dosen Pembimbing II, terima kasih atas bimbingan dan dukungan Bapak selama ini kepada penulis.

9. Seluruh staf Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum USU. 10.Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum USU.

11.Ayahanda dan ibunda yang tercinta, sembah sujud ananda haturkan atas curahan dan belaian kasih sayang yang tulus dan dengan susah payah dan segala upaya telah membesarkan dan mendidik ananda hingga ananda


(3)

dapat menyelesaikan studi di perguruan tinggi, serta seluruh keluarga besar yang memberikan dorongan semangat kepada penulis selama mengikuti perkuliahan hingga selesai skripsi ini.

12.Buat teman-temanku yang tidak bisa di sebutkan satu persatu, kalian akan selalu dihatiku.

13.Buat semua pihak yang telah berpartisipasi atas penulisan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Demikianlah yang penulis dapat sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangannya penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan 20 Mei 2009


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... ABSTRAKSI ...

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 5

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan... 6

F. Metode Penelitian ... 21

G. Sistematika Penulisan ... 24

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP AKTA... 26

A. Pengertian akta ... 26

B. Persyaratan Suatu Akta ... 28

C. Macam-macam Akta ... 30

D. Kekuatan Pembuktian Akta... 38

BAB III TINJAUAN TERHADAP NOTARIS DAN KEWENANGANNYA DALAM UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS... 42

A. Karakteristik Notaris ... 42

B. Syarat, Kewajiban dan Larangan Bagi Notaris ... 44

C. Pengawasan Notaris Melalui Lembaga Majelis Pengawas... 47


(5)

D. Sumber Kewenangan Notaris... 51

E. Kewenangan Legalisasi dan Waarmerking Notaris ... 55

BAB IV KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA DI BAWAH TANGAN DIKAITKAN DENGAN LEGALISASI DAN WAARMERKING NOTARIS ... 61

A. Kekuatan Pembuktian Akta di Bawah Tangan Dikaitkan dengan Legalisasi dan Waarmerking Notaris ... 61

B. Kewenangan Hakim Membatalkan Akta di Bawah Tangan yang telah Memperoleh Legalisasi dari Notaris ... 66

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN... 70

A. Kesimpulan ... 70

B. Saran... 71


(6)

ABSTRAKSI

Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Selain dari akta otentik yang dibuat oleh notaris, terdapat akta lain yang disebut sebagai akta di bawah tangan, yaitu akta yang sengaja dibuat oleh para pihak untuk pembuktian tanpa bantuan dari seorang pejabat pembuat akta. Akta di bawah tangan juga dapat disebut sebagai akta otentik apabila akta tersebut diakui oleh para pembuatnya ditambah lagi melalui pengesahan (legalisasi) dan pendaftaran (waarmerking) pada pejabat notaris. Hal ini dimungkinkan oleh Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang mengatur tentang kewenangan notaris, yang salah satunya adalah membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.Dengan demikian, kekuatan pembuktian akta di bawah tangan yang telah didaftarkan tersebut akan sama dengan kekuatan pembuktian akta otentik.

Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah permasalahan tentang pengaturan tentang akta otentik dan akta di bawah tangan di Indonesia, pengaturan tentang kewenangan legalisasi dan waarmerking notaris dalam Undang-undang Jabatan Notaris, dan kekuatan pembuktian akta di bawah tangan dikaitkan dengan kewenangan legalisasi dan waarmerking notaris.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doctrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Akta otentik dan akta di bawah tangan di Indonesia diatur secara jelas dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. KUH Perdata secara tegas membedakan kedua akta ini, khususnya dalam hal lahirnya kedua akta ini, dimana akta otentik lahir dari melalui keikusertaan pejabat yang berwenang untuk itu, sedangkan akta di bawah tangan lahir hanya berdasarkan inisiatif para pihak tanpa mengikusertakan keterlibatan pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan legalisasi dan waarmerking diatur dalam pasal 15 ayat 2 Undang-undang Jabatan Notaris yang menyebutkan tentang beberapa kewenangan notaris selain sebagai pejabat pembuat akta otentik, yaitu mengesahkan tanda tangan serta membukukan surat di bawah tangan. Akta di bawah tangan yang telah memperoleh legalisasi ataupun waarmerking dari notaris kekuatan pembuktiannya tidak dapat dipersamakan dengan akta otentik, sebab akta otentik hanyalah akta yang dibuat oleh pejabat notaris, bukan yang dilegalisasi atau diwaarmerking oleh notaris. Namun dibandingkan dengan akta di bawah tangan pada umumnya, akta di bawah tangan yang telah dilegalisasi ataupun diwaarmerking jelas memiliki kelebihan.


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Terhadap Kekuatan Pembuktian Akta Dibawah Tangan Yang Telah Di Legalisasi Dan Registrasi Oleh Notaris

8 85 114

Analisis Kewenangan Majelis Pengawas Notaris Dalam Pengawasan Notaris Menurut Undang-Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

3 78 167

KEKUATAN PEMBUKTIAN LEGALISASI DAN WAARMERRKING AKTA DIBAWAH TANGAN OLEH NOTARIS

2 10 9

KEKUATAN PEMBUKTIAN LEGALISASI DAN WAARMERRKING AKTA DIBAWAH TANGAN OLEH NOTARIS

0 7 17

TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP LEGALISASI DAN WAARMERKING AKTA DI BAWAH TANGAN DI KOTA PADANG.

0 9 6

ANALISIS YURIDIS TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS.

0 1 109

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP AKTA A. Pengertian Akta - Kekuatan Pembuktian Akta Di Bawah Tangan Dikaitkan Dengan Kewenangan Notaris Dalam Legalisasi Dan Waarmerking Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

0 0 16

BAB III TINJAUAN TERHADAP NOTARIS DAN KEWENANGANNYA DALAM UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS A. Karakteristik Notaris - Kekuatan Pembuktian Akta Di Bawah Tangan Dikaitkan Dengan Kewenangan Notaris Dalam Legalisasi Dan Waarmerking Berdasarkan UU No. 30 Tahun 20

0 0 29

ANALISIS YURIDIS TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

1 6 58

AKIBAT HUKUM PEMBUBUHAN SIDIK JARI TANGAN PARA PENGHADAP PADA MINUTA AKTA NOTARIS SEBAGAI SEMPURNANYA AKTA AUTENTIK MENURUT UU NO 2 TAHUN 2014 JO UU NO 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS - Unissula Repository

0 0 36