Analisis Usaha Pemanfaatan Pelepah Daun Kelapa Sawit Fermentasi dengan Aspergilus niger dan Limbah Pabrik Kelapa Sawit Terhadap Sapi Bali Jantan

TINJAUAN PUSTAKA Biaya dan Penerimaan

  Biaya adalah nilai dari semua korbanan ekonomis yang diperlukan yang tidak dapat dihindarkan, dapat diperkirakan dan dapat diukur untuk menghasilkan sesuatu produk. Biaya bagi perusahaan adalah nilai dari faktor-faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan output (Budiono, 1990). Lipsey et al., (1995) mendefinisikan pengeluaran atau biaya bagi perusahaan adalah sebagai nilai input yang digunakan untuk memproduksi suatu output tertentu. Pengeluaran perusahaan adalah semua uang yang dikeluarkan sebagai biaya produksi, baik itu biaya tetap maupun biaya variable atau biaya-biaya lainnya (Kadarsan, 1995).

  Biaya tetap merupakan biaya yang harus dikeluarkan ada atau tidak ada ternak di kandang, biaya ini harus tetap keluar. Misalnya : gaji pekerja bulanan, penyusutan, bunga atas modal, pajak bumi dan bangunan, dan lain-lain. Sedangkan biaya variabel adalah biaya yang dikeluarkan bertalian dengan jumlah produksi sapi yang dijalankan. Semakin banyak sapi semakin besar pula biaya variabel yang dikeluarkan dalam produksi peternakan secara total.(Rasyaf, 1995).

  Analisis Rugi-Laba

  Soekartawi (1986) menyatakan bahwa Keuntungan (laba) suatu usaha ditentukan oleh selisih antara total penerimaan (total reserve) dan total pengeluaran (total cost) atau secara matematis dapat dituliskan K = TR-TC. Laba sebagai nilai maksimum yang dapat didistribusikan oleh suatu satuan usaha dalam suatu periode bagaimana pada awal periode.

  Laporan laba rugi merupakan laporan keuangan yang menggambarkan hasil usaha dalam suatu periode tertentu. Dalam laporan ini tergambar jumlah pendapatan serta jumlah biaya dan jenis-jenis biaya yang dikeluarkan. Laporan laba-rugi (balance sheet) adalah laporan yang menunjukkan jumlah pendapatan yang diperoleh dan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam suatu periode tertentu.

  Setiap jangka waktu tertentu, umumnya satu tahun, perusahaan perlu memperhitungkan hasil usaha perusahaan yang dituangkan dalam bentuk laporan laba-rugi. Hasil usaha tersebut didapat dengan cara membandingkan penghasilan dan biaya selama jangka waktu satu tahun. (Kasmir dan Jakfar, 2003).

  R/C Ratio (return cost ratio)

  R/C Ratio adalah nilai atau manfaat yang diperoleh dari setiap satuan biaya yang dikeluarkan. Dimana R/C Ratio diperoleh dengan cara membagikan total penerimaan (total reserve) dengan total pengeluaran(total cost). Kadariah (1987) menyatakan bahwa untuk mengetahui tingkat efisiensi suatu usaha dapat digunakan parameter yaitu dengan mengukur besarnya pemasukan dibagi besarnya korbanan, dimana bila : R/C Ratio > 1 = efisien R/C Ratio

  ═ 1 = impas R/C Ratio < 1 = tidak efisien

  Cahyono (2002) mengatakan bahwa return cost ratio (R/C ratio) bisa digunakan dalam analisis kelayakan usaha tani, yaitu perbandingan antara total pendapatan dan total biaya yang dikeluarkan dengan rumus: .

  Total Pendapatan (Rp) R/C ratio =

  Total Biaya Produksi (Rp)

  IOFC (income over feed cost)

  IOFC adalah selisih antara pendapatan usaha peternakan terhadap total biaya pakan. Pendapatan ini merupakan perkalian antara nilai produksi peternakan dengan harga jual, sedangkan biaya pakan adalah jumlah biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan ternak tersebut (Prawirokusumo, 1990).

  Untuk menghasilkan suatu produksi kita harus mengetahui berproduksi secara teknis dan juga berproduksi dari segi ekonominya juga, beberapa tolak ukur yang dapat digunakan untuk berproduksi adalah IOFC (income over feed

  

cost ) atau selisih pendapatan usaha peternakan dengan biaya pakan. Pendapatan

  merupakan perkalian antara hasil produksi peternakan (kilogram hidup) dengan harga jual (Hermanto, 1996).

  Potensi Hasil Samping Kelapa Sawit Kelapa sawit di Indonesia berkembang pesat sejak awal tahun 80-an, dan

saat ini telah menjadi salah satu komoditas yang berperan sangat penting dalam

penerimaan devisa negara, penyerapan tenaga kerja, serta pengembangan

perekonomian rakyat dan daerah. Pada tahun 2002 luas perkebunan kelapa sawit

di Indonesia mencapai 4,1 juta ha dengan produksi minyak sawit (crude palm oil) lebih dari 9 juta ton (Elisabeth dan Ginting, 2003).

  Produk samping industri kelapa sawit yang tersedia dalam jumlah yang

banyak dan belum dimanfaatkan secara optimal adalah pelepah daun, lumpur

sawit, dan bungkil inti kelapa sawit, khususnya sebagai bahan dasar ransum

ternak ruminansia. Dengan pola integrasi atau diversifikasi tanaman dan ternak

(khususnya ternak ruminansia) diharapkan dapat merupakan bagian integral dari

  

usaha perkebunan. Oleh karena itu, pemanfaatan produk samping industri kelapa

sawit (pelepah) pada wilayah perkebunan sebagai pengadaan bahan pakan ternak,

khususnya ruminansia diharapkan banyak memberikan nilai tambah, baik secara

langsung maupun tidak langsung (Jalaludin et al., 1991).

  Pelepah Daun Kelapa Sawit Pelepah dapat diberikan dalam keadaan segar hingga 30 persen dari

konsumsi bahan kering ransum. Untuk meningkatkan konsumsi dan kecernaan

pelepah dapat dilakukan dengan penambahan produk ikutan lainnya dari kelapa

sawit. Hal yang sama juga berlaku untuk daun kelapa sawit yang secara teknis

dapat dipergunakan sebagai sumber atau pengganti pakan hijauan. Namun

demikian, dalam perlakuan pemanfaatan daun kelapa sawit sebagai pakan hijauan memiliki kekurangan dalam penyediaannya. Hal ini disebabkan adanya lidi daun

yang dapat menyulitkan ternak untuk mengkonsumsinya. Pencacahan yang

dilanjutkan dengan pengeringan dan digiling, dapat diberikan dalam bentuk pakan komplit (Wan Zahari et al., 2003).

  Pemanfaatan pelepah sebagai bahan pakan ruminansia disarankan tidak

melebihi 30%. Untuk meningkatkan konsumsi dan kecernaan pelepah dapat

ditambahkan produk samping lain dari kelapa sawit. Penampilan sapi yang diberi

  3

pelepah segar atau silase dalam bentuk kubus (1-2 cm ) cukup menjanjikan.

  

Namun, pemberian tepung pelepah dalam bentuk pelet tidak disarankan karena

ukurannya terlalu kecil sehingga mempersingkat waktu tinggal partikel tersebut

dalam saluran pencernaan. Pemberian pelepah sebagai bahan ransum dalam

  

jangka panjang menghasilkan karkas yang berkualitas baik (Balai Penelitian

Ternak, 2003).

  Dari daun kelapa sawit didapat hijauan segar yang dapat diberikan

langsung ke ternak baik yang berbentuk segar maupun yang telah diawetkan

seperti dengan melakukan silase maupun amoniasi. Perlakuan dengan silase

memberi keuntungan, karena lebih aman dan dapat memberi nilai nutrisi yang

lebih baik dan sekaligus memanfaatkan limbah pertanian. Keuntungan lain dengan perlakuan silase ini adalah pengerjaannya mudah dan dapat meningkatkan kualitas dari bahan yang disilase (Hassan dan Ishida, 1992).

  Dari analisa kimia dinyatakan bahwa daun kelapa sawit tersusun dari 70%

serat dan 22% karbohidarat yang dapat larut dalam bahan kering. Ini

menunjukkan bahwa daun kelapa sawit dapat diawetkan sebagai silase dan telah

diindikasikan bahwa kecernaan bahan kering akan bertambah 45% dari hasil

silase daun kelapa sawit (Sinurat, 2003).

  Hasil analisis Laboratorium Ilmu Nutrisi Makanan Ternak menunjukkan bahwa pelepah daun kelapa sawit mengandung 6,50% protein kasar, 32,55% serat

kasar, 4,47% lemak kasar, 93,4 bahan kering dan 56,00% TDN. Hasil analisis memperlihatkan bahwa kandungan protein kasar pelepah daun kelapa sawit cukup rendah yaitu sebesar 6,5 % dengan serat kasar yang cukup tinggi sebesar 32,55 %

Kandungan serat kasar yang cukup tinggi akan mempengaruhi kecernaan bahan

pakan pada ternak (Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Departemen Peternakan

Fakultas Pertanian USU, 2000). Kandungan gizi pelepah daun sawit berdasarkan hasil analisis proksimat dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi zat makanan pelepah daun kelapa sawit berdasarkan umur tanaman

  Zat makanan Kandungan (%) Bahan kering 26,70 Protein kasar 5,02 Lemak kasar 1,07 Serat kasar 50,94 BETN 39,82 TDN 45,00 GE (kkal/Kg) 56,00 Ca 0,96 P

  0,08 Sumber : Balai Penelitian Bioteknolologi Tanaman Pangan (2000).

  Fermentasi

  Fermentasi adalah segala macam proses metabolis dengan bantuan dari enzim mikrobia (jasad renik) untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa dan reaksi kimia lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu. Fermentasi merupakan proses biokimia yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan sifat bahan pangan sebagai akibat dari pemecahan kandungan bahan tersebut (Winarno, 1979).

  Melalui proses fermentasi, nilai gizi limbah kulit buah kakao dapat ditingkatkan, sehingga layak untuk pakan penguat kambing maupun sapi, bahkan untuk ransum babi dan ayam. Manfaat fermentasi antara lain yaitu: meningkatkan kandungan protein, menurunkan kandungan serat kasar, menurunkan kandungan tanin (zat penghambat pencernaan).

  Proses fermentasi tidak akan berlangsung tanpa adanya enzim katalis spesifik yang akan dapat dikeluarkan oleh mikroorganisme tertentu. Proses fermentasi mikroorganisme memperoleh sejumlah energi untuk pertumbuhannya dengan jalan merombak bahan yang memberikan zat-zat hara atau mineral bagi mikroorganisme seperti hidrat arang, protein, vitamin dan lain - lain.

  Aspergillus niger Aspergillus niger merupakan salah satu spesies yang paling umum dan mudah diidentifikasi dari genus Aspergillus, famili Moniliaceae, ordo Monoliales

dan kelas Fungi imperfecti. Aspergillus niger dapat tumbuh dengan cepat,

diantaranya digunakan secara komersial dalam produksi asam sitrat, asam

glukonat dan pembuatan beberapa enzim seperti amilase, pektinase,

amiloglukosidase dan sellulase. Aspergillus niger dapat tumbuh pada suhu 35-

37ºC (optimum), 6-8ºC (minimum), 45-47ºC (maksimum) dan memerlukan

oksigen yang cukup (aerobik). Aspergillus niger memiliki bulu dasar berwarna

putih atau kuning dengan lapisan konidiospora tebal berwarna coklat gelap sampai

hitam. Kepala konidia berwarna hitam, bulat, cenderung memisah menjadi

bagian-bagian yang lebih longgar dengan bertambahnya umur. Konidiospora

memiliki dinding yang halus, hialin tetapi juga berwarna coklat (Suharto, 2003).

  Arti Penting Ternak Sapi bagi Kehidupan

  Ternak sapi, khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil daging yang memiliki nilai ekonomi tinggi, dan penting artinya bagi kehidupan masyarakat. Seekor atau kelompok ternak sapi bisa menghasilkan berbagai macam kebutuhan, terutama bahan makanan berupa daging, disamping hasil ikutan lainnya seperti pupuk kandang, kulit dan tulang (Sudarmono dan Bambang, 2008).

  Memelihara sapi sangat menguntungkan, karena tidak saja menghasilkan daging dan susu, tetapi juga menghasilkan pupuk kandang dan sebagai potensi tenaga kerja untuk lahan pertanian (Siregar, 1996).

  Sudarmono dan Bambang (2008) menyatakan bahwa daging sangat besar gunanya bagi pemenuhan gizi berupa protein hewani. Sapi sebagai salah satu hewan pemakan rumput sangat berperan sebagai pengumpul bahan bergizi rendah yang diubah menjadi bahan bergizi tinggi, kemudian diteruskan kepada manusia dalam bentuk daging. Konsumsi protein hewani yang sangat rendah pada anak- anak prasekolah dapat menyebabkan anak-anak yang berbakat normal menjadi subnormal. Oleh karena itu, protein hewani sangat menunjang kecerdasan, disamping diperlukan untuk daya tahan tubuh.

  Tingkat konsumsi hasil ternak bagi masyarakat Indonesia, dinilai masih jauh dibawah kecukupan gizi yang dianjurkan. Berdasarkan analisis dari Pola Pangan Harapan (PPH), tingkat konsumsi masyarakat Indonesia akan protein asal ternak baru mencapai 5,1g/kap/hr yang setara dengan konsumsi susu 7,5kg/kap/th, daging 7,7 kg/kap/th, dan telur 4,7 kg/kap/th (Dirjen Bina Produksi Peternakan, 2004). Tingkat konsumsi protein hasil ternak tersebut terhitung kecil dibanding jumlah konsumsi protein (total nabati dan hewani) yang dianjurkan sebesar 46,2 g/kap/hr. jadi untuk mencukupi kebutuhan akan protein hewani masyarakat peternak khususnya harus mengoptimalisasi dan meningkatkan produksi daging.

  (Tranggono, 2004).

  Kulit, tanduk, tulang dan darah sapi dari hasil pemotongan merupakan sumber bahan baku industri yang menghasilkan nilai tambah cukup tinggi.

  Sebagai bahan industri kulit sapi bisa dihasilkan aneka model tas, sepatu, ikat pinggang dan jaket, jok mobil, jok pesawat dan lain sebagainya. Tanduk, yang pada beberapa dekade lalu hanya menjadi sampah, kini sudah ”disulap” menjadi aneka produk kerajinan, bahkan menjadi bahan baku pembuatan lem. Tulang dan darah yang digunakan untuk pakan ternak. Beberapa waktu lalu, penggunaan tepung ini masih ditelorir di Australia, tetapi sejak Agustus 2001 penggunaannya sudah dilarang menyusul mewabahnya penyakit sapi gila di Inggris (Abidin dan Simanjuntak, 2006).

  Usaha Ternak Sapi Bagi Masyarakat Indonesia

  Indonesia merupakan negara agraris dimana mata pencaharian penduduknya sebahagiaan besar adalah disektor pertanian. Sektor ini menyediakan pangan bagi sebahagiaan besar pendududk Indonesia dan memberikan lapangan pekerjaan bagi semua angkatan kerja yang ada. Dengan menyempitnya lahan pertanian yang digarap oleh petani mendorong para petani untuk berusaha meningkatkan pendapatan melalui kegiatan lain yang bersifat komplementer. Salah satu kegiatan ini adalah kegiatan usaha ternak yang secara umum memiliki beberapa kelebihan seperti: sebagai sumber pendapatan untuk memenfaatkan limbah pertanian, sebagai penghasil daging dan susu, kotorannya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik dan kulitnya juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Dipedesaan ternak sapi cukup popular sebagai salah satu usaha baik itu usaha sampingan maupun usaha pokok para petani. Bahkan sapi dianggap sebagai tabungan keluarga, karena dapat dijual setiap saat, khususnya ditengah kebutuhan ekonomi yang mendesak (Mosher, 1987)

  Pembangunan peternakan ditujukan untuk meningkatkan produksi hasil ternak sekaligus meningkatakan pendapatan peternak, menciptakan lapangan pekerjaan serta meningkatkan populasi dan mutu genetik ternak (Tohir, 1991).

  Dalam undang-undang no 18 tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan, pemerintah dan pemerintah daerah mengupayakan agar sebanyak mungkin warga masyarakat menyelenggarakan budidaya ternak agar populasi ternak dapat ditingkatkan.

  Memelihara ternak sapi sangat menguntungkan, karena tidak hanya menghasilkan daging atau susu, tetapi juga menghasilkan pupuk kandang dan sebagai potensi tenaga kerja. Sebagai penghasil daging, persentase karkas (bagian yang dapat dimakan) cukup tinggi, yaitu 45-55%. (Siregar, 1996).

  Karakteristik Sapi Bali Bangsa sapi bali memiliki klasifikasi taksonomi menurut (Williamson and Payne, 1993) sebagai berikut : Phylum : Chordata, Sub-phylum : Vertebrata,

  Class : Mamalia, Ordo : Artiodactyla, Sub-ordo : Ruminantia, Family : Bovidae, Genus : Bos, Species : Bos sondaicus.

  Industri peternakan sapi potong sebagai suatu kegiatan agribisnis

mempunyai cakupan yang sangat luas. Rantai kegiatan tidak terbatas pada

kegiatan produksi di hulu tetapi juga sampai kegiatan bisnis di hilir dan semua

kegiatan bisnis pendukungnya. Kita memimpikan mempunyai suatu industri

peternakan sapi potong yang tangguh dalam arti sebagai suatu industri peternakan yang mempunyai daya saing yang tinggi dan mampu secara mandiri terus tumbuh berkembang di era persaingan dalam ekonomi pasar global (Boediyana, 2008).

  Tiga bangsa sapi lokal yang berpotensi dikembangkan di Indonesia adalah

sapi Ongole (Sumba Ongole dan Peranakan Ongole), sapi Bali, dan sapi Madura.

  

Bangsa sapi tersebut telah beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan dan

cekaman di wilayah Indonesia. Dari ketiga bangsa sapi lokal tersebut, sapi Bali

paling tahan terhadap cekaman panas, di samping memiliki tingkat kesuburan

yang baik, kemampuan libido pejantan lebih unggul, persentase karkas tinggi (56

  

persen), dan kualitas daging baik. Dengan tata laksana pemeliharaan yang baik,

sapi potong dapat tumbuh-kembang dengan laju kenaikan bobot hidup harian 750 g, sementara pada kondisi pedesaan kecepatan pertumbuhan hanya mencapai rata- rata 250 g/ekor/hari (Bamualim dan Wirdahayati 2003).

  Plasma nutfah satu-satunya di dunia ini, mempunyai banyak keunggulan.

Sapi Bali mempunyai daya adaptasi baik terhadap berbagai kondisi lingkungan

baik kering maupun hujan. Bisa hidup liar dengan mencari makanan sendiri, di

areal pembuangan sampah sekalipun. Sapi Bali dikenal sangat responsif terhadap

perlakuan baik serta memiliki tingkat kesuburan reproduksi tinggi yaitu antara 80-

82 persen. Sapi induk (betina) mampu melahirkan setahun sekali. Selain itu,

kualitas dagingnya sangat baik dengan persentase karkas (daging dan tulang

dalam, tanpa kepala, kaki dan jeroan) mencapai 60 persen (Suryana, 2007).

  Sejak lama sapi Bali sudah menyebar ke seluruh pelosok Indonesia, dan

mendominasi spesies sapi di Indonesia Timur. Peternak menyukai sapi Bali

mengingat beberapa keunggulan karakteristiknya antara lain : mempunyai

fertilitas tinggi, lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang kurang baik, cepat

beradaptasi apabila dihadapkan dengan lingkungan baru, cepat berkembang biak,

bereaksi positif terhadp perlakuan pemberian pakan, kandungan lemak karkas

rendah, keempukan daging tidak kalah dengan daging impor. Fertilitas sapi Bali

berkisar 83 - 86 persen, lebih tinggi dibandingkan sapi Eropa yang 60 persen.

  Karakteristik reproduktif antara lain : periode kehamilan 280-294 hari, rata-rata

persentase kebuntingan 86,56 persen, tingkat kematian kelahiran anak sapi hanya

3,65 persen, persentase kelahiran 83,4 persen, dan interval penyapihan antara

15,48-16,28 bulan (Wahyuni, 2000).

  Pakan Ternak Sapi

  Pakan sapi pada dasarnya merupakan sumber pembangun tubuh. Untuk memproduksi protein tubuh, sumbernya adalah protein pakan, sedangkan energi yang diperlukan bersumber dari pakan yang di konsumsi, sehingga pakan merupakan kebutuhan utama dalam pertumbuhan ternak. Pertumbuhan ternak sangat tergantung dari imbangan protein energi yang bersumber dari pakan yang dikonsumsi (Yassin dan Dilaga, 1993).

  Pakan yang diberikan jangan sekedar dimaksukkan untuk mengatasi lapar atau sebagai pengisi perut saja melainkan harus benar-benar bermanfaat untuk kebutuhan hidup, membentuk sel - sel baru, mengganti sel-sel yang rusak dan untuk produksi (Widayati dan Widalestari, 1996). Pakan adalah semua bahan yang biasa diberikan dan bermanfaaat bagi ternak serta tidak menimbulkan pengaruh negatif terhadap tubuh ternak. Pakan yang diberikan harus berkualitas tinggi yaitu mengandung zat - zat yang diperlukan oleh tubuh ternak seperti air, karbohidrat, lemak, protein dan mineral (Parakkasi, 1995).

  Limbah sendiri memang menjadi masalah yang sangat serius. Berbagai penanganan telah dilakukan tetapi tetap saja menjadi masalah. Bila ternak dapat memanfaatkan limbah - limbah tersebut sebagai bahan pakan ternak tentunya sangat membantu pemecahan masalah. Berbagai jenis limbah memiliki potensi besar sebagian besar sebagai bahan pakan ternak. Diantaranya adalah sampah - sampah sisa rumah tangga, restoran, hotel, limbah pertanian, limbah peternakan, limbah industri makanan dan limbah perikanan (Widayati dan Widalestari, 1996).

  Teknologi pengolahan limbah pertanian dan limbah agroindustri menjadi pakan lengkap dengan metode processing yang terdiri dari : Perlakuan pencacahan (chopper) untuk merubah ukuran partikel dan tekstur bahan agar konsumsi ternak lebih efisien, perlakuan pengeringan (drying) dengan panas matahari atau dengan alat pengeringan untuk menurunkan kadar air bahan, proses pencampuran (mixing) dengan menggunakan alat pencampuran (mixer) dan perlakuan penggilingan dengan alat giling hammer mill dan terakhir proses pengemasan (Wahyono dan Hardianto, 2004).

  Protein pakan tertentu akan dimanfaatkan secara tidak langsung oleh ternak melalui pertumbuhan mikroba rumen yang lebih dahulu memanfaatkan.

  Setelah sampai di intestinal, protein akan dicerna dan diserap. Sebaiknya mikrobia itu tidak langsung memanfaatkan protein pakan kualitas tinggi bernilai biologi tinggi dan keceranaan protein tinggi, karena tidak ekonomis dan menjadi rendah. Sebaiknya, pakan yang memiliki nilai biologi protein tinggi bisa diserap langsung di usus kecil (konsep protein by pass).