BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Strategi Penerjemahan dan Tingkat Keterbacaan Teks Beristeguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Provinsi Sumatera Utara umumnya memiliki potensi wisata yang cukup banyak, diantaranya adalah ekowisata. Hal yang paling menggembirakan adalah banyaknya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memberi perhatian besar dan keturutsertaan mereka dalam mengembangkan ekowisata tersebut. Pengelolaan ekowisata tidaklah terlepas dari sektor bisnis, oleh karena itu diperlukan pelatihan untuk pengelolaaan suatu usaha kecil. JICA (Japan International Cooperation Agency), salah satu organisasi Non-Pemerintah atau NGO yang telah berhasil mengadakan pelatihan-pelatihan tersebut. Saat ini JICA juga telah menelurkan sebuah buku dengan judul From the Ocean to the Mountain: Observing the Paths,

  

Appraising the Promises (bahasa sumber) atau Dari Laut ke Gunung: Meninjau

Jejak, Menakar Ikrar (bahasa sasaran) yang berisi kompilasi artikel proyek-proyek

  CEP (Community Empowerment Program) di seluruh Indonesia yang didasarkan pada catatan-catatatn dan lesson-learned ke-16 LSM yang telah dan sedang menggarap 17 proyek CEP.

  Artikel-artikel CEP-JICA, salah satu diantaranya “Consistent in Loosening

  

Tangled Thread in Sibolangit (Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit)” juga disajikan dalam dua bahasa yakni bahasa Inggris sebagai bahasa sumber dan bahasa indonesia sebagai bahasa Sasaran. Penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia telah dilakukan dengan harapan agar pesan atau makna yang terdapat pada artikel- artikel proyek CEP-JICA tersebut dapat menjangkau pembaca dari kalangan Pemkab Deli Serdang dan BAPEDALSU (Badan Dampak dan Lingkungan Sumatera Utara) pada khususnya, dan kalangan masyarakat Sibolangit serta masyarakat Sumatera Utara pada umumnya. Dari Harapan yang dijelaskan sebelumnya, terlihat jelas bahwa keterbacaan penerjemahan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran sangat penting, karena tingkat keterbacaan selalu berbanding lurus dengan makna yang hendak disampaikan. Nida dan Taber (1982:12) memberikan definisi tentang penerjemahan “Translating consists of reproducing in the receptor

  

language the closer natural equivalenvce of the source language mesage, first in

term of meaning and secondly in terms of style”. Dapat dikatakan, penerjemahan

  adalah usaha mencipta kembali pesan dalam bahasa yang sedekat mungkin, pertama-tama dalam hal makna dan kemudian gaya bahasanya.

  Banyak perspektif yang dikemukakan oleh para ahli tentang penerjemahan. Penerjemahan terkadang dianggap suatu kegiatan mengalihkan kata demi kata dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Padahal, menerjemahkan sesungguhnya adalah usaha menghadirkan pesan secara ekuivalen, sebab ada amanat yang harus disampaikan kepada pembaca. Penjelasan singkat tersebut di atas tentu sudah memberi sedikit gambaran bahwa menerjemahkan itu tidaklah mudah. Esensi penerjemahan sesungguhnya menyampaikan gagasan, pemikiran, perasaan dari bahasa Sumber ke bahasa Sasaran secara utuh, baik bentuk maupun makna kepada pembaca.Teks terjemahan yang mengandung makna tidak lengkap atau rancu akan menimbulkan kesalahpahaman terhadap pembaca. Kenyataannya adalah, setiap bahasa memiliki keunikannya masing-masing dengan fitur-fitur budaya yang menyertainya, keunikannya inilah yang menyebabkan sesuatu menjadi mungkin dalam menghasilkan terjemahan yang ideal. Sesuai dengan pendapat Hatim (2001: 10) yang menyatakan “A translation work is a multi-faceted activity; it is not simple

  

matter of vocabulary and grammar only but that it can never be separated from the

culture”, yakni penerjemahan adalah sesuatu yang kompleks. Proses penerjemahan

  tidak hanya menyangkut kosa kata dan tata bahasa saja, tetapi juga menyangkut masalah budaya. Seorang penerjemah bahasa biasanya mempelajari berbagai macam istilah dari berbagai cabang ilmu yang kadang tidak dimengerti oleh orang awam.

  Kendala yang seringkali terjadi dalam interaksi baik secara tulisan (translasi) maupun lisan (interpretasi) adalah perbedaan pada kebudayaan.

  Perbedaan budaya merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam penerjemahan antar bahasa. Seorang penerjemah yang handal biasanya tidak hanya belajar soal bahasa atau teknik penerjemahan saja namun juga mempelajari tentang kebudayaan dimana bahasa tersebut digunakan. Mempelajari kebudayaan ini erat kaitannya dengan kebiasaan penggunaan bahasa sehari-hari serta bahasa slang yang kadang tidak akan ditemui di kamus-kamus formal.

  Pada hakekatnya, bahasa yang digunakan dalam proses penerjemahan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran yang merupakan salah satu persyaratan yang menentukan tingkat keterbacaan suatu teks. Untuk itu, tingkat keterbacaan suatu teks harus sesuai dengan kemampuan membaca pembacanya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Richards et.al seperti yang dikutip oleh Nababan (2007: 19), keterbacaan merujuk pada seberapa mudah teks tulis dapat dibaca dan dipahami oleh pembaca. Dari uraian di atas, keterbacaan itu dengan jelas menunjukkan bahwa ada dua faktor umum yang mempengaruhi keterbacaan teks, yaitu (1) unsur- unsur linguistik yang digunakan untuk menyampaikan pesan, dan (2) keterampilan membaca para pembaca. Keterbacaan sebuah teks dapat diukur secara empirik, yang didasarkan pada panjang rata-rata kalimat, kompleksitas struktur kalimat, dan jumlah kata baru yang digunakan dalam teks. Kata-kata yang berfrekuensi pemakaian tinggi (lazim) lebih mudah dipahami dibanding dengan kata-kata yang jarang dipakai atau jarang dijumpai. Demikian juga bentuk, jenis, dan makna kata, seperti kata benda abstrak, istilah, serapan, penghubung, dan kata majemuk dipertimbangkan sebagai indikator keterbacaan.

  Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa keterbacaan teks dilihat dari keterbacaan masing-masing paragrafnya. Lebih lanjut, keterbacaan paragraf dapat dilihat dari keterbacaan kalimat pendukung, dan dari jenis, tipe, serta kata-kata pembentuknya. Semakin panjang kalimat dan semakin panjang kata maka bahan bacaan tersebut semakin sukar. Sebaliknya, jika kalimat dan kata-katanya pendek- pendek, maka wacana dimaksud tergolong wacana yang mudah. Kriteria kesulitan kata juga didasarkan atas wujud/struktur yang tampak. Jika sebuah kalimat secara visual tampak lebih panjang, artinya kalimat tersebut tergolong sukar, sebaliknya, jika sebuah kalimat atau kata secara visual tampak pendek, maka kalimat tersebut tergolong mudah. Bagaimana dengan kriteria kesulitan kata? Apakah panjang- pendeknya sebuah kata benar-benar dapat menjadi indikator bagi tingkat kesulitan kata yang bersangkutan? Bila dibandingkan, kata era dan kata zaman, maka kita akan menyetujui bahwa kata era lebih tinggi keterbacaannya, walaupun katanya lebih pendek dibandingkan dengan kata zaman, begitu pula sebaliknya.

  Teks yang berjudul “Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit” adalah hasil terjemahan dari “Consistent in Loosening Tangled Thread in

  

Sibolangit”. “Consistent” (kata sifat) diterjemahkan menjadi “bersiteguh” (kata

  kerja) merupakan terjemahan yang menggunakan strategi penerjemahan yang menggunakan padanan kata yang se-alami atau lebih umum dan netral dan se-dekat mungkin/tidak mengubah makna. Dapat dikatakan bahwa strategi penerjemahan merupakan prosedur yang digunakan penerjemah dalam memecahkan permasalahan penerjemahan. Oleh sebab itu, strategi penerjemahan diawali dari kesadaran penerjemah tentang adanya sebuah permasalahan dan diakhiri dengan pemecahan permasalahan atau disadarinya bahwa masalah tersebut tidak dapat dipecahkan pada titik waktu tertentu. Pada umumnya beberapa ahli penerjemahan menggunakan istilah yang berbeda untuk “strategi penerjemahan”. Vinay dan Darbelnet (2000) serta Baker (1992) menggunakan “strategi”, Hoed (2006) memakai istilah “teknik”, sedangkan Newmark (1988) menyatakan “prosedur”.

  Dari beberapa pendapat tersebut dapat dipahami bahwa strategi, prosedur dan teknik penerjemahan digunakan untuk mengatasi masalah penerjemahan. Alasan peneliti memilih istilah “strategi penerjemahan” adalah merupakan masalah ketertarikan istilah pencarian pemadanan.

  Penerjemahan Consistent in Loosening Tangled Thread in Sibolangit menjadi Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit merupakan satu contoh penggunaan strategi penerjemahan. Bagaimana dengan keseluruhan teks?. Uraian tersebut di atas merupakan hal yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian tentang strategi penerjemahan yakni keingintahuan peneliti tentang cara menemukan pemadanan terjemahan yang tepat dalam teks Bersiteguh Mengurai

  Benang Kusut di Sibolangit dan mengetahui tingkat keterbacaannya.

  Vinay dan Darbelnet yang dikutip oleh Venuti (2008: 84-93) mengemukakan cara pemadanan dan membaginya dalam dua kategori besar yakni (1) pemadanan langsumg (direct translation) dan (2) pemadanan oblik (oblique

  

translation) yang terdiri dari tujuh strategi berbeda. Namun, secara garis besar

  terdapat beberapa kemungkinan kesepadanan dalam penerjemahan, yakni (1) sepadan sekaligus berkorespondensi, (2) sepadan tapi bentuk tidak berkorespondensi, dan (3) sepadan dan makna tidak berkorespondensi karena beda cakupan makna. Penerjemahan sebagai proses pemadanan tidaklah sesederhana definisi yang umum diterima, yakni mengungkapkan makna ke dalam bahasa lain. Menurut Nida yang dikutip Silalahi (2009: 16), proses penerjemahan merujuk pada

  

linguistic operation (operasi linguistik) yang dilakukan oleh penerjemah dalam

  mengalihkan pesan teks bahasa sumber ke bahasa sasaran dan diwujudkan dalam tiga tahapan: 1) analisis teks bahasa sumber, 2) pengalihan pesan, 3) penyusunan kembali teks bahasa sasaran.

  Dalam bidang linguistik, penerjemahan dikelompokkan ke dalam bidang linguistik terapan dimana penerjemahan merupakan suatu hal yang sangat penting sebagaimana yang diuraikan pada penjelasan di atas. Kenyataannya, penerjemahan sering memunculkan perdebatan dan kompleksitas masalah yang berujung pada hasil terjemahan yang kurang atau bahkan tidak berkualitas. Masalah penerjemahan cenderung teletak pada pengalihan arti (rendering) baik secar leksikal, semantik dan atau secara pragmatik dari bahasa sumber ke bahsa sasaran. Masalah lain yang timbul ialah ketiadaan padanan kata bahasa sumber dalam bahasa sasaran, dalam situasi seperti itu timbul masalah ketakterjemahan linguistik (linguistic

  

untranslatability) dan ketakterjemahan budaya (cultural untranslatability) karena

  setiap bahasa mempunyai ciri-ciri tersendiri ”sui generis” yang berbeda dari bahasa lain.

  Kegiatan penerjemahan sering berhadapan dengan berbagai varian teks diantaranya teks hukum, teks sastra, teks medis dan teks ilmiah lainnya. Salah satu jenis teks ilmiah adalah teks ilmiah populer. Teks tentang proyek CEP-JICA merupakan teks ilmiah populer karena teks tersebut tidak terikat secara ketat dengan aturan penulisan ilmiah, karena ditulis lebih bersifat umum, untuk konsumsi publik. Suatu teks dinamakan teks ilmiah populer karena ditulis bukan untuk keperluan akademik tetapi untuk menjangkau pembaca khalayak, selain itu aturan- aturan penulisan ilmiahnya juga fleksibel..

  Penelitian dengan judul “Analisis Strategi Penerjemahan pada Teks

  

Mengurai Benang Kusut di Sibolangit” mengkaji suatu produk terjemahan sebagai

  genre teks ilmiah yang berfokus pada segi cara pandang dan strategi penerjemahan yang terdapat didalamnya. Kesepadanan yang dapat dicapai pada teks hasil terjemahan akan sangat memberi kontribusi kepada pihak NGO sebagai peneliti/pengada proyek dan masyarakat Sumatera Utara khususnya masyarakat Siobolangit sebagai penduduk dimana proyek tersebut diadakan. Pengidentifikasian teks yang terkait dengan proses penerjemahan merupakan pengamatan awal yang dilakukan oleh peneliti. Proses penerjemahan itu sendiri menyangkut pemilihan padanan yang paling mendekati untuk unit bahasa sumber dalam bahasa sasaran.

  Berdasarkan pada tingkat unit bahasa yang akan diterjemahkan, Riazi (2003) mengelompokkan pendekatan terhadap penerjemahan menjadi (1) penerjemahan pada tataran kata (word for word translation), (2) penerjemahan pada tataran kalimat, dan (3) penerjemahan konseptual (unit terjemahan bukan pada tingkatan kata atau kalimat).

  Setiap penerjemah memiliki istilah tersendiri dalam menentukan suatu strategi penerjemahan dimana hal-hal tersebut dijadikan acuan dalam melakukan proses penerjemahan yang kemudian menghasilkan produk terjemahan yang ideal, yakni adanya kesepadanan makna antar bahasa sumber dan bahasa sasaran. Strategi penerjemahan tersebut merupakan prosedur yang digunakan penerjemah dalam memecahkan permasalahan penerjemahan.

  Strategi penerjemahan sangatlah penting karena penerapan strategi penerjemahan yang tepat, akurat, dan berterima sangat berperan dalam menentukan kualitas terjemahan. Keakuratan dalam penerapan strategi penerjemaahn juga akan menghindari hasil terjemahan yang tidak ideal. Jika hasil terjemahan tidak ideal maka pesan dari bahasa sumber tidak tersampaikan dengan baik. Borrowing,

  

Calque, dan Literal Translation mungkin adalah beberapa contoh strategi

  penerjemahan yang lazim digunakan dikarenakan strategi tersebut sangat sederhana dan tidak memerlukan proses pemikiran yang serius. Sebagai contoh, Bonus (BS) diterjemahkan menjadi Bonus (BT).

  Strategi pemadanan dengan melakukan pergeseran bentuk juga dapat menentukan keterbacaan produk terjemahan seperti yang telah dijelaskan pada pemaparan terdahulu. Uraian tersebut di atas semakin memantapkan peneliti untuk mengangkat permasalahan dengan judul penelitian “Analisis Strategi Penerjemahan dan Tingkat Keterbacaan pada Teks Bersiteguh mengurai Benang Kusut di Sibolangit” sebagai penelitian.

  1.2 Perumusan Masalah

  Masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: a.

  Jenis strategi penerjemahan apa saja yang digunakan pada proses penerjemahan teks Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit?

  b.

   Bagaimana tingkat keterbacaan teks Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit?

  1.3 Tujuan Penelitian a.

  Mendeskripsikan strategi penerjemahan yang digunakan dalam proses penerjemahan teks Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit.

  b.

   Mengetahui dan mengukur tingkat keterbacaan teks Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit.

  1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini dibedakan atas manfaat teoritis dan praktis.

1.4.1 Manfaat Teoritis a.

  Untuk memperkaya khasanah bidang ilmu penerjemahan b.

  Sebagai referensi bagi penelitian lanjutan dengan topik yang sama namun dalam aspek maupun metode yang berbeda.

1.4.2 Manfaat Praktis a.

  Sebagai bahan masukan kepada LSM dan CEP-JICA dalam pengembangan lanjutan terhadap buku kompilasi berisi artikel- artikel proyek (bilingual) yang diadakan di Sibolangit.

  b.

  Sebagai media informasi tentang ekowisata di Sibolangit bagi Pemerintah Kabupaten Deli Serdang dan seluruh masyarakat.

1.5 Ruang Lingkup Masalah

  Untuk menghindari ruang lingkup yang terlalu luas dan untuk memfokuskan objek penelitian maka peneliti membuat suatu batasan runag lingkup yakni: a.

  Strategi penerjemahan baik yang berorientasi pada teks sumber maupun teks sasaran, yakni hanya satu unsur strategi penerjemahan untuk setiap kata, frasa, klausa dan kalimat.

  b.

  Pengukuran tingkat keterbacaan teks target akan dihitung dengan menggunakan formula fry, dengan mengambil 100 kata sampel dari paragraf awal teks tersebut.