BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Teoritis - Analisis Strategi Penerjemahan dan Tingkat Keterbacaan Teks Beristeguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Teoritis
2.1.1 Penerjemahan
Larson (1984: 3) mendefinisikan penerjemahan sebagai pengalihan makna dari
bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran melalui tiga (3) langkah pendekatan, yakni: 1) mempelajari leksikon, struktur gramatikal, situasi komunikasi, dan konteks budaya dari teks bahasa sumber, 2) menganalisis teks bahasa sumber untuk menemukan maknanya, dan 3) mengungkapkan kembali makna yang sama dengan menggunakan leksikon dan struktur gramatikal yang sesuai yang sesuai dalam bahasa sasaran.
Halliday (dalam Steiner, 2001: 17) mengemukakan bahwa terjemahan yang baik adalah suatu teks yang merupakan terjemahan ekuivalen terkait dengan fitur- fitur linguistik yang bernilai dalam konteks penerjemahan. Berdasarkan beberapa definisi mengenai penerjemahan tersebut di atas, terlihat adanya kesepakatan bahwa penerjemahan merupakan suatu kegiatan yang menyangkut keterkaitan antara dua bahasa atau lebih (multilanguage) yakni adanya transfer makna dari bahasa sumber (Bsu) ke bahasa sasaran (Bsa). Dalam penerjemahan, transfer makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran dibarengi dengan keakuratan pesan, keterbacaan dan keberterimaan produk (Nababan, 2010: 4).
Dari perspektif ekuivalensi, penerjemahan itu melibatkan usaha menghasilkan kembali ke dalam bahasa si penerima, pesan dari bahasa sumber yang ekuivalen se-alami mungkin dan se-dekat mungkin dengan bahasa sumbernya, dari segi arti dan gaya (Nida dan Taber, 1969: 12), sedangkan dari perspektif makna, Brislin (dalam Ahmad, 2011: 12) menerjemahkan berarti mengalihkan makna, “Translation is the general term referring to the transfer of
thoughts and ideas from one language (source) to another (target).
Penerjemahan itu sendiri juga tidak terlepas dari seni. Sebagaimana yang dikemukakan oleh pendapat ahli bahwa seni mengganti bahasa ucapan atau lisan dari bahasa sumber ke dalam bahasa yang dituju. Penerjemahan dapat dikatakan seni, dikarenakan adanya hubungan yang sangat erat antara language taste (selera bahasa) penulis dengan penerjemah.. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa penerjemahan adalah busana pemikiran seseorang. Apabila busana itu baik dan dipakai sesuai dengan suasana dan keadaan, maka akan terlihat indah dan menarik. Dalam penerjemahan, yang paling mendasar adalah kemampuan berpikir dan memindahkan hasil pemikiran ke dalam ungkapan yang baik.
Terlepas dari kaitan seni, penerjemahan juga melibatkan bidang linguistik kedua bahasa yaitu bahasa sumber (Bsu) dan bahasa sasaran (Bsa), yang mencakup teori makna (semantik), metode, prosedur, dan teknik penerjemahan, dan bidang ilmu teks yang diterjemahkan (Bell, 1991: 10). Dengan demikian, penerjemahan dapat melibatkan beberapa pihak terkait sesuai dengan teks yang akan diterjemahkan. Hal ini disebabkan seorang penerjemah tidak akan menguasai semua disiplin ilmu yang terkait dengan penerjemahan, namun bila seorang penerjemahan menemui kesulitan dalam menerjemahkan, dia dapat berkonsultasi dengan pakar bidang ilmu terkait.
Berdasarkan pendapat beberapa para ahli di atas mengenai penerjemahan, maka
dapat dimaknai bahwa “penerjemahan adalah proses menemukan makna/.arti yang
sepadan dari bahasa sumber ke bahasa target”, sebagaimana yang dikemukakan Halliday(dalam Steiner, 2001: 17), “A good translation is a text which is a translation (i.e is
equivalent) in respect of those linguistic features which are most valued in the given
translation”. Masalah kesepadanan merupakan bagian inti dari teori dan praktek
penerjemahan karena proses penerjemahan selalu melibatkan pencarian padanan.
Barnstone (dalam Nababan, 2007: 62) “Analisis kesepadanan terjemahan merupakan
suatu analisis yang menggiring kepada konteks keterjemahan dan ketakterjemahan.
Konteks keterjemahan pada umumnya tidak menimbulkan masalah dalam penerjemahan,
sebaliknya konteks ketakterjemahan menimbulkan permasalahan karena penerjemah
harus menemukan padanan yang sesuai dalam Bahasa Sasaran “. Menurut Baker (1992:
21), kesulitan yang timbul dalam menemukan padanan disebabkan oleh 2 hal yakni :1. Konsep khusus budaya Kata dalam bahasa Sumber diterjemahkan ke dalam konsep yang sama sekali tidak dikenal dalam budaya bahasa sasaran. Konsep ini dapat berkaitan dengan teks keagamaan, kesusasteraan, adat istiadat atau makanan. Misalnya kata “turun tanah” adalah sebuah konsep yang erat kaitannya dengan adat istiadat di Melayu tetapi tidak dikenal dalam budaya Inggris
2. Kata bahasa Sumber yang tidak tersedia dalam bahasa Sasaran Kata bahasa Sumber diterjemahkan ke dalam suatu konsep yang dikenal dalam bahasa Sasaran tetapi bahasa Sasaran tidak mempunyai padanan satu-satu untuk mengungkapkannya. Misalnya kata “hamburger” dalam bahasa Inggris yang sudah dikenal dalam masyarakat Indonesia, tetapi bahasa Indonesia tidak mempunyai padanan satu-satu untuk mengungkapkan konsep yang dikandung oleh jenis makanan tersebut.
Oleh sebab itu, diperlukan strategi-strategi tertentu yang harus digunakan
penerjemah untuk menemukan efek padan dalam suatu hasil terjemahan. Strategi
penerjemahan merupakan bagian dari proses penerjemahan yang diterapkan pada
saat proses penerjemahan berlangsung, baik pada tahap analisis teks bahasa Sumber
maupun pada tahap pengalihan pesan (Silalahi, 2009: 29). Suryawinata dan Hariyanto
(2003: 67) mengklasifikasikan strategi penerjemahan menjadi dua jenis yaitu strategi
struktural dan strategi semantis. Strategi struktural mengacu kepada bentuk atau
struktur bahasa, sedangkan strategi semantis mengacu pada makna atau pesan
bahasa.2.1.2 Jenis-jenis Penerjemahan
Pada umumnya, terjemahan dikelompokkan dalam tiga jenis yaitu: a.
Intralingual translation, terjemahan dalam bahasa yang sama, yaitu menerjemahkan teks sumber ke teks target dalam bahasa yanag sama.
Terjemahan seperti ini sering disebut dengan parafrase atau menggunakan kata-kata lain untuk menyampaikan pesan yang sama.
b.
Interlingual translation, terjemahan antar bahasa yaitu menerjemahkan teks sumber ke teks target dalam bahasa yang berbeda. Misalnya, teks sumber adalah bahasa Inggris maka teks targetnya adalah bahasa Indonesia.
c.
Intersemiotic translation, terjemahan sistem lambang/non verbal yaitu
menerjemahkan suatu lambang/tanda/gambar/ yang digunakan untuk menyampaikan suatu pesan dengan kata-kata atau secara verbaal. Contoh: huruf “S” yang dicoret sebagai rambu lalu lintas diterjemahkan sebagai “dilarang berhenti” (Jakobson, 2000: 114).
Larson (1984) membagi terjemahan menjadi dua yaitu terjemahan yang berdasarkan makna (meaning-based translation) dan terjemahan yang berdasarkan bentuk (form-based translation). Terjemahan berdasarkan makna cenderung mengkomunikasikan makna teks bahasa sumber dalam bentuk bahasa sasaran yang alami, dengan demikina terjemahan tersebut dikatakan sebagai terjemahan idiomatik. Teori pembagian jenis terjemahan berdasarkan Larson memiliki persamaan dengan teori pergeseran-pergeseran (shifts) Catford yang mengembangkan form-based translation menjadi pergeseran-pergeseran berdasarkan kategori (category shifts) dalam empat jenis pergeseran, yakni:
(1) Pergeseran Struktural (Structural shifts), dalam pengelompokan pergeseran
kategori, pergeseran struktur inilah yang paling sering terjadi. Secara gramatika, pergeseran struktur dapat muncul pada berbagai tataran (kata, frase, klausa, atau kalimat), namun masih dalam tingkatan yang sama.
Sebagai contoh, sebuah kalimat dalam bahasa sumber diterjemahkan masih dalam tingkatan kalimat juga, walaupun secara gramatika kalimat dalam bahasa sasaran berbeda. Contoh:
Pasif Aktif
Your message has been sent mi telah mengirim pesan anda (2) Pergeseran kelas (Class shifts), pergeseran kelas kata ini terjadi ketika kelas kata dalam bahasa sumber berbeda dengan kelas kata dalam bahasa sasaran.
Contoh : Preposisi Konjungsi rbelanja, aku mengantarnya pulang
After that, I walked her home (3)
Pergeseran unit (Unit shifts), pergeseran ini hampir sama dengan pergeseran
struktur (structure shift), tetapi pada pergeseran tataran ini, tingkatan antara bahasa sumber dan bahasa sasarannya berbeda. Misalnya, dua buah kata dalam bahasa sumber dapat menjadi sebuah kata saja dalam bahasa sasaran. Contoh :
Frasa Kata
His father is very nice Ayahnya sangat baik (4) Pergeseran intra-sistem (Intra-system Shifts), pergeseran ini terjadi pada
kasus-kasus yang melibatkan sistem internal pembentukan bahasa dalam terjemahan. Tiap bahasa memiliki bentuk tunggal dan jamak yang berbeda.
Hal ini sesuai dengan aturan yang berlaku dalam bahasa tersebut, sehingga dalam penerjemahan bentuk tunggal sebuah bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dapat terjadi pergeseran bentuk.
Contoh : Plural Singular
People often think negative about Orang sering berpikir negatif tentang him dia
2.1.3 Kompleksitas Penerjemahan
Penerjemahan teks dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran tidak bisa
lagi menghindar dari keharusan menggunakan genre sebagai salah satu paradigma yang mampu menyederhanakan kompleksitas aktivitas penerjemahan itu sendiri.
Dengan mengenali aktivitas komunikasi dari teks yang akan diterjemahkan, tujuan komunikasinya, ekspresi atau terminologi yang biasa digunakan dalam teks tertentu (jurnal akademik, laporan penelitian, kontrak, MOU, iklan, press release, undangan, ijazah, akte lahir, dll), bentuk fisik, struktur retoris, kosa kata dan tata bahasa yang lazim digunakan, akan sangat membantu seorang penerjemah lebih fokus dan menyadari batasan-batasan (constraint) yang dihadapinya. Dengan demikian, proses penerjemahan tidak lagi bertumpu pada pengalihan kata, frasa atau kalimat, tetapi mengalihkan tujuan komunikasi , ekspresi yang telah mentradisi, struktur retoris dan konsep berpikir institusional dan kultural produser teks ke dalam teks bahasa sasaran dengan “repertoir” yang dapat dipahami oleh konsumen teks.
Selain penguasaan bahasa sumber dan bahasa sasaran, proses penerjemahan juga memerlukan seorang penerjemah yang handal dalam menguasai berbagai keahlian yang akan menunjang kualitas produk terjemahan. Terjemahan dapat dilakukan oleh siapa saja yang mempunyai pengetahuan bahasa asing.
Kekompleksitasan penerjemahan semakin terlihat dengan tidak menjadi semakin mudahnya proses menerjemahkan suatu teks dari waktu ke waktu. Bagi para penerjemah yang paling ahli sekalipun, dalam beberapa hal, tugas itu menjadi sulit. Para penerjemah harus gigih dan sabar dalam menerjemahkan suatu teks dan diperlukan waktu berhari-hari hanya untuk mencari satu istilah terjemahan yang tepat, meneliti latar belakang buku itu, membaca baris per baris untuk menangkap maksud si penulis yang sebenarnya. Kesetiaan adalah satu unsur terpenting dalam menerjemahkan.
Bell (1991: 38-41) memberikan uraian profesionalisme, dimana profesionalisme tersebut mutlak diperlukan untuk penanganna kompleksitas proses penerjemahan. Profesional tersebut terdiri dari beberapa kompetensi, yaitu: 1.
Kompetensi dalam dua bahasa (Ideal bilingual competence) 2. Memiliki keahlian (expertise) dalam pengetahuan dasar genre teks serta terampil menyimpulkan (inference) dan,
3. Kompetensi dalam komunikasi
Dalam melaksanakan kegiatan penerjemahan, penerjemah tidak terlepas dari permasalahan teknis. Oleh sebab itu, seorang penerjemah sangat perlu berhati-hati dalam penerapan berbagai teknik penerjemahan yang pada praktiknya diterapkan secara tentatif. Selain penerapan teknik penerjemahan, penerapan pergeseran- pergeserran (shifts) juga sering dilakukan dalam proses penerjemahan.
2.1.4 Ekuivalensi dalam Terjemahan Terjemahan adalah penggantian dari bahan tekstual dalam bahasa sumber
ke bahan tekstual yang ekuivalen dalam bahasa target (Catford dalam Hornby 1990: 20). Dari definisi tersebut, tentulah pencapaian ekuivalensi dalam penerjemahan sangat penting. Hal ini telah diuraikan oleh Jacobson (1959/2000) dalam artikelnya yang berjudul “On Linguistic Aspect of Translation”. Dalam tulisannya tersebut, dijelaskan bahwa tidak ada ekuivalensi penuh antar kode unit-unit. Misalnya untuk kata “cheese” yang merupakan kode unit dalam bahasa Inggris ternyata tidak sama dengan kata “syr” dalam bahasa Rusia. Dengan demikian, Jacobson menambahkan bahwa dalam proses penerjemahan, penerjemah mengkodekan dan mengalihkan pesan yang diterimanya dari sumber lain. Maka terjemahan itu melibatkan dua pesan yang ekuivalen dalam dua kode yang berbeda. Namun Nida sebagaimana dikutip oleh M. Zaka Al-Farizi (dalam
, mengatakan “ekuivalensi dapat dihasilkan manakala memperhatikan (1)
penyampaian pesan dari bahasa sumber ke dalam bahasa penerima dengan menyelaraskan kosa kata dan aspek gramatikanya, (2) pengutamaan ekuivalensi isi ketimbang bentuk, (3) pemilihan ekuivalensi yang paling wajar dalam bahasa penerima seraya mempertimbangkan kedekatan dengan makna yang terdapat dalam bahasa sumber, (4) pengutamaan makna daripada gaya, walaupun gaya bahasa juga penting, (5) dan pengutamaan kepentingan pembaca terjemahan”.
2.1.5 Strategi Penerjemahan
Startegi penerjemahan merupakan prosedur yang digunakan penerjemah
dalam memecahkan permasalahan penerjemahan. Strategi penerjemahan dimulai dari disadarinya permasalahan oleh penerjemah dan diakhiri dengan disadarinya bahwa masalah tersebut tidak dapat dipecahkan pada titik waktu tertentu (Lorscher, 2005: 73). Strategi penerjemahan identik dengan pengertian metode penerjemahan yang digunakan Vinay dan Darbelnet (dalam Venuti, 2000: 84-93) dan pengertian prosedur oleh Newmark (1988: 68-93) yakni suatu cara mencapai kesepadanan antara teks sumber dan teks sasaran. Dapat dikatakan, dengan menerapkan istilah strategi penerjemahan berarti menerapkan strategi pemadanan dalam proses penerjemahan. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk menggunakan istilah “strategi penerjemahan” dalam penelitian ini. Terkait dengan istilah strategi, Newmark (1988: 19-30) menyebutnya sebagai prosedur. Prosedur penerjemahan tersebut dibagi dalam empat bentuk sebagai berikut:
1) Textual level (tingkat teks)
Seorang penerjemah harus memahami terlebih dahulu jenis teks yang diterjemahkan khususnya berkaitan dengan kata dan kalimat. Dalam menerjemahkan, kita masih mentransfer tata bahasa BSu ke BSa dengan mudah, begitu juga dengan kata, frasa, kalimat dan ungkapan dalam BSu yang mudah ditemukan kesepadannya dalam BSa. Dapat dibilang bahwa ini masih dalam tahap penerjemahan literal.
2) Referential level (tingkat referensi)
Seorang penerjemah juga memperhatikan istilah atau terminologi dalam teks. Kemudian, pencarian sumber referensi sesuai dengan istilah yang berkaitan itu. Dalam hal ini, ketika menemukan ketidakjelasan dalam teks atau ketaksaan (ambiguitas) bahkan suatu ungkapan yang terasa asing, pastinya kita akan bertanya-tanya sendiri ataupun kebingungan. Penerjemah membutuhkan tidak hanya kamus ekabahasa tapi juga tesaurus, ensiklopedia, glosari, buku-buku, majalah, koran hingga pencarian di internet.
3) Cohesive level (tingkat kohesif) Terdapat dua faktor yang perlu ditinjau: struktur dan suasana hati (mood).
Pertama, Seorang penerjemah perlu meninjau kekohesifan teks setelah diterjemahkan terutama hubungan antara kata atau kalimat pada teks. Kita akan lebih memerhatikan kata penghubung (konjungsi) berupa kata atau ungkapan penghubung antarkata, antarfrasa, antarklausa, dan antarkalimat.
Kedua, faktor ini juga disebut faktor dialektikal. Penerjemahan juga tergantung pada suasana hati penerjemah. Hal ini behubungan dengan perasaan, emosi, netralitas penerjemah. Biasanya penerjemahan ini terjadi pada kata sifat, ungkapan idiomatis, dan suatu peristiwa .
4) Natural level (tingkat alamiah)
Penerjemah harus meyakinkan bahwa terjemahannya masuk akal, terlihat alamiah atau tidak terasa hasil penerjemahan. Artinya, teks harus dengan bahasa yang wajar, tata bahasa yang tidak kaku, serta menggunakan ungkapan-ungkapan yang sesuai dengan tema di teks. Teks juga dapat dengan mudah dimengerti dan diterima oleh pembaca.
1) struktur dasar, 2) struktur perluasan 3) struktur kompleks.
Keempat tataran tersebut sebaiknya dipadukan ketika menerjemahkan karena penerjemahan merupakan suatu diskusi yang dilakukan sendiri dengan ditemani beberapa referensi. Bertolak dari pembagian prosedur penerjemahan tersebut, Newmark (1988) dan Machali (2000) menilai perbedaan antara metode dan prosedur terletak pada satuan penerapannya. Metode penerjemahan berkenaan dengan keseluruhan teks sedangkan prosedur berlaku untuk kalimat dan satuan- sastuan bahasa yang lebih kecil (seperti klausa, frasa, kata). Lorscher (2005: 27) membagi strategi penerjemahan menjadi :
Struktur dasar terdiri atas lima tipe strategi penerjemahan:
- Tipe I adalah pengenalan masalah, yang diikuti oleh pemecahan masalah secara langsung atau diikuti oleh pengenalan masalah yang sementara belum terpecahkan.
- Tipe II sama dengan Tipe I tetapi di dalamnya terdapat fase tambahan, yaitu fase pencarian solusi untuk memecahkan masalah.
- Tipe III juga sama dengan Tipe I, tetapi di dalamnya terdapat fase tambahan, yaitu pemverbalisasian masalah.
- Tipe IV terdiri atas pengenalan masalah, yang diikuti oleh pemecahan masalah secara langsung atau diikuti oleh pengenalan masalah yang sementara belum terpecahkan, dan di dalamnya terdapat fase pencarian solusi untuk memecahkan masalah dan fase pemverbalisasian masalah.
- Tipe V merupakan struktur belah dua. Ketika masalah yang kompleks timbul dan tidak terpecahkan pada waktu yang bersamaan, penerjemah cenderung memecahnya menjadi beberapa bagian dan kemudian bagian- bagian dari masalah tersebut dipecahkan secara berurutan.
Struktur perluasan terdiri atas struktur dasar yang mengandung satu perluasan atau lebih. Perluasan diartikan sebagai unsur-unsur tambahan dari strategi itu sendiri.
Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan strategi penerjemahan terhadap pencarian padanan dan pemeriksaan padanan, sebagaiaman yang dikemukakan oleh Krings (1986) yakni beliau mengklasifikasikan strategi penerjemahan menjadi: 1) strategi pemahaman (comprehension), yang meliputi penarikan kesimpulan
(inferencing) dan penggunaan buku referensi, 2) pencarian padanan (terutama
asosiasi interlingual dan intralingual), 3) pemeriksaan padanan (seperti membandingkan teks bahasa sumber dan teks bahasa sasaran), 4) pengambilan keputusan (memilih di antara dua solusi yang sepadan), dan 5) reduksi (misalnya terhadap porsi teks yang khusus atau metaforis). Di samping itu, fokus tersebut mengacu pada pengertian penerjemahan adalah usaha mengalihkan amanat dari bahasa sumber dengan cara menemukan padanan, yakni suatu bentuk dalam bahasa sasaran dilihat dari segi semantik sepadan dengan suatu bentuk bahasa sumber. Kesepadanan merupakan isu sentral dalam penerjemahan karena menyangkut perbandingan teks dalam bahasa yang berbeda. Vinay dan Darbelnet (dalam Leonardi, 2000: 27) memandang penerjemahan yang bberorientasi mencari padanan (equivalence-oriented translation) sebagai suatu prosedur menciptakan kembali replika situasi yang sama sebagaiman situasi aslinya dengan menggunakan ungkapan yang berbeda.
Beberapa ahli mendefinisikan pemadanan sebagai “pengalihan makna” dimana hal tersebut mengacu pada pengungkapan kembali makna (berkonteks budaya) yang terdapat dalam teks bahasa sumber (unit terjemahan) bke dalam teks bahasa sasaran. Secara leksikal, kata “pengalihan” tersebut di atas mengandung pengertian adanya proses pemindahan, penggantian dan pengubahan. Berbeda halnya dengan Nida dan Taber (1964) yang membedakan kesepadanan dalam terjemahan ke dalam dua jenis: 1.
Kesepadanan formal memfokuskan perhatian pada pesan baik dalam bentuknya maupun isinya.
2. Kesepadanan dinamis merupakan prinsip penerjemahan yang menjadi dasar
bagi penerjemah untuk menerjemahkan makna asli dalam sebuah cara di mana bahasa Sasaran yang digunakan akan memberikan dampak yang sama pada pembaca seperti dampak yang diciptakan oleh bahasa sumber pada sasaran sumbernya.
Kesepadanan formal pada dasarnya dihasilkan dari proses penerjemahan yang berorientasi pada bahasa sumber dan dasarnya untuk mengungkap sejauh mungkin bentuk dan isi dari pesan asli. Oleh karena itu, dalam proses penerjemahan segala usaha ditujukan untk mereproduksi elemen formal termasuk (1) unit gramatikal, ketaatasasan penggunaan kata dan (2) makna yang sesuai dengan konteks teks sumber. Berlawanan dengan kesepadanan formal, kesepadanan dinamis berorientasi pada prinsip kesepadanan efek yang diperoleh melalui pemusatan perhatian dalam penerjemahan lebih utama ke arah tanggapan penerima mencapai tingkat kealamian pesan bahasa sumber.
Dalam kaitannya dengan perpadanan, Catford mengidentifikasi dua jenis kesepadanan, yaitu (1) kesepadanan formal (formal equivalence) yang selanjutnya diubah ke dalam istilah korespondensi formal (formal correspondence) dan (2) kesepadanan tekstual (textual equivalence) yang terjadi bila suatu teks atau sebagian dari teks bahasa sasaran dalam situasi tertentu sepadan dengan teks atau sebagian teks bahasa sumber. Dengan demikian, penerjemahan sebagai proses pemadanan tidaklah sesederhana definisi yang umum diterima, yakni mengungkapkan makna ke dalam bahasa lain. Secara praktek, penerjemahan dapat menjadi rumit, dibuat-buat (artificial) dan dipandang menipu (fraudulent), sebagaimana yang dikemukakan oleh Newmark (1988: 5) “By using another
language you are pretending to be someone you are not”.
Walaupun terdapat berbagai alternatif penerapan namun suatu cara pemadanan sangat ditentukan oleh kedekatan tipologi bahasa serta perbedaan budaya sumber dan sasaran. Setelah mengkaji berbagai alternatif yang telah dikemukan oleh berbagai pendapat ahli di atas, maka peneliti memutuskan untuk menggunakan strategi pemadanan yang dikemukakan oleh Vinay dan Darbelnet (dalam Venuti,2000: 84-93) seperti yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya.
Strategi pemadanan ini dibagi dalam dua kategori besar yakni (1) pemadanan langsung (direct translation), dikatakan juga berorientasi pada bahasa sumber dan (2) pemadanan oblik (oblique translation), dikatakan juga berorientasi pada bahasa sasaran, yang terdiri dari sembilan strategi berbeda. Berikut ini adalah sembilan jenis strategi pemadanan oleh Vinay dan Darbelnet yang dikutip oleh Venuti (2000: 84-93) yang diterapkan pada penelitian ini, diantaranya tiga jenis strategi pemadanan yang berorientasi pada bahasa sumber dan termasuk dalam kategori
direct translation meliputi: 1.
Borrowing yaitu mengambil dan membawa item leksikal dari bahasa sumber ke dalam bahasa target tanpa modifikasi formal dan semantik.
Strategi ini merupakan cara pemadanan yang paling sederhana . Borrowing yang sudah lama dan digunakan secara luas bahkan sudah tidak dianggap lagi sebagai item leksikal pinjaman tetapi sebagai bagian dari leksikon bahasa sasaran.
Misalnya: Bahasa Sumber Bahasa Sasaran Menu Menu 2. Calque, semacam borrowing tertentu dimana suatu bahasa meminjam suatu bentuk ekspresi bahasa lain kemudian menerjemahkannya secara harfiah masing-masing elemennya sehingga menghasilkan lexical calque dengan mempertahankan struktur bahasa sasaran sambil memperkenalkan modus ekspresi baru seperti yang terlihat dalam penerjemahan di bawah ini. Misalnya: Bahasa Sumber Bahasa Sasaran
Interest rate Tingkat Suku Bunga 3. Literal Translation, yakni pengalihan langsung teks sumber ke dalam teks sasaran yang sepadan secara gramatikal dan idiomatik.
Misalnya: Bahasa Sumber Bahasa Sasaran
I like music Saya suka musik Selanjutnya ada enam jenis strategi pemadanan berorientasi pada bahasa sasaran dan termasuk dalam kategori oblique translation meliputi:
4. Transposisi (transposition), yakni menggantikan elemen bahasa sumber dengan elemen bahasa target yang secara semantik berpadanan namun secar formal tidak berpadanan misalnya karena perubahan kelas kata, perubahan bentuk jamak ke tunggal, posisi kata sifat sampai pengubahan struktur kalimat secara keseluruhan. Misalnya: Bahasa Sumber Bahasa Sasaran
Musical Instruments Alat Musik 5. Modulasi (modulation), yakni pergeseran sudut pandang atau perspektif
Misalnya: Bahasa Sumber Bahasa Sasaran I broke my leg Kaki ku patah 6. Equivalence, yakni penggantian sebagian bahasa sumber dengan padanan fungsionalnya dalam bahasa sasaran. Dengan kata lain, suatu situasi yang sama dapat diungkapkan ke dalama dua teks dengan menggunakan metode stilistika dan struktural yang sama. Contoh klasik dari pemadanan ini adalahaa pemadanan bunyi-bunyi onomatopik seperti kukuruyuk (bunyi ayam) berpadanan dengan cock-a-doodle-do dalam bahasa Inggris, ngeong (suara kucing) berpadanan dengan miaow, dan dor (suara senapan/pistol) berpadanan dengan bang. Strategi ini bersifat tetap atau pasti (fixed) dan termasuk dalam “phraseological repertoire” idiom, klise, peribahasa dan sejenis.
7. Adaptasi (adaptation), yakni pengupayaan padana kultural antara dua situasi tertentu. Strategi ini digunakan pada kasus pemadanan dimana situasi yang diacu oleh pesan bahasa sumber tidak dikenal/dimiliki (unknown) dalam budaya bahasa sasaran sebingga penerjemah harus menciptakan situasi yang dapat dianggap sepadan. Misalnya: Bahasa Sumber Bahasa Sasaran
Dear sir Dengan hormat 8. Pemadanan Fungsional (functional equivalent), suatu strategi yang sangat umum digunakan dalam penerjemahan kata berkonteks budaya dengan cara menggunakan kata-kata yang bebas muatan budaya (culture free word) dan terkadang dengan ungkapan spesifik baru. Cara ini menetralisir atau menggeneralisasi kata-kata bahasa sumber dan tidak jarang cara ini disertai dengan penambahan uraian khusus. Strategi ini dinilai sebagai suatu analisis komponensional budaya dan cara yang paling akurat dalam penerjemahan karena dengan dekulturalisasi kata-kata budaya strategi ini menduduki daerah pertengahan atau universal antara bahasa atau budaya bahasa sumber dengan bahasa dan budaya sasaran.
Misalnya: Bahasa Sumber Bahasa Sasaran Baccalaureat French Secondary school Sejm Polish parliament Berem Balinese wine
9. Pemadanan Deskriptif (descriptive equivalent) merupakan eksplikasi, yakni pemadanan yang dilakukan dengan memberikan deskripsi dan terkadang dipadukan dengan fungsi. Misalnya: Bahasa Sumber Bahasa Sasaran
Samurai The Japanese aristocracy From the eleventh to the nineteenth century
2.2 Teks Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit Sebagai Teks Ilmiah
Teks ilmiah adalah suatu teks yang berisikan suatu topik tertentu yang disajikan secara lugas, logis dan runtut. Peter Newmark (dalam
pernah menulis artikel pada sebuah jurnal “The Linguist” mengatakan “ a variety of translation and linguistics topics, including ethics, aesthetics and medicine”. Dalam hal ini, beliau mengatakan bahwa (penerjemahan yang dicontohkan pada teks medis sebagai salah satu jenis teks ilmiah), ethics adalah yang paling penting pada penerjemahan teks medis karena penerjemah tidak hanya menerjemahkan teks secara akurat tetapi juga produk terjemahannya tidak melukai atau sebaliknya dapat membunuh pasien. Penerjemah harus mempunyai akses ke ahli medis atau mengecek aspek medis dalam penerjemahaan. Dalam hal ini yang lebih ditekankan adalah hal apa yang sednag terjadi dan tidak hanya berpijak pada bagaimana bahasa itu dideskripsikan. Pada penerjemahan medis atau penerjemahan yang berhubungan dengan keilmiahan sebuah disiplin ilmu, penerjemah dituntut untuk dapat menvisualisasikan apa yang sedang terjadi. Penerjemah harus yakin bahwa ini adalah realita. Logic dalam hal ini berhubungan dengan teks tersebut secara “sebab-akibat” (causally) dan
“keadaanya pada saat itu” (temporally) logis atau dapat diterima. Hal ini terkait dengan penggunaan kata “untuk itu” dan “kemudian” merujuk pada sesuatu yang sedang terjadi. Aesthetics mengacu pada bahwa teks yang diterjemahkan harus jelas dan padat serta dapat diterima. Sama halnya dengan teks Consistent in Loosening
Tangled Thread in Sibolangit yang diterjemahkan menjadi Bersiteguh Mengurai
Benang Kusut di Sibolangit. Dari hasil terjemahan tersebut, terlihat jelas adanmya
perubahan bentuk kata yang terdapat antara Tangled thread menjadi Benang kusut (strategi transposisi).
2.3 Tingkat Keterbacaan
Sebagai teks ilmiah, tingkat keterbacaan teks perlu diperhatikan agar pesan yang ingin disampaikan oleh peneliti dapat dipahami dan diterima oleh pembacanya.
Terkait dengan tingkat keterbacaan tersebut, Cowie (1989: 1043) selaku Chief Editor Oxford Advanced Learner’s Dictionary memadankan “keterbacaan” dengan istilah “readibility atau readable yang berarti “dapat dibaca dengan mudah dan nyaman. Selanjutnya Richards et al (dalam Nababan, 2007: 46) mengungkapkan bahwa keterbacaan pada dasarnya merujuk pada seberapa mudah teks tulis dapat dibaca dan dipahami oleh pembaca. Dale dan chall (1948: 236) menyatakan bahwa “ada unsur lain, yakni pembaca yang turut menetukan keterbacaan suatu teks:
readibility, the sum total (including the ones) of all those elements within a given
piece of printed material that affects the success oa group of readers have with it ”.
Dari beberapa pendapat para ahli tersebut di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwasanya keterbacaan itu mempersoalkan tingkat kesulitan dan atau tingkat kemudahan baca suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kajian keterbacaan sasaran utamanya adalah wacana, bukan pembaca wacananya (Sulastri, dalam
Harjasujana dan Yeti Mulyati (1997: 106) mengemukakan
bahwa keterbacaan merupakan istilah dalam bidang pengajaran membaca yang memperhatikan tingkat kesulitan materi yang sepantasnya dibaca seseorang.
Keterbacaan merupakan padanan readability dalam bahasa inggris. Istilah ini diartikan Harjasujana, dkk.(1999: 10) yaitu: 1)
Kemudahan tipografi atau tulisan tangan, 2)
Kemudahan membaca yang disebabkan oleh daya tarik bahan bacaan dan tingkat minat baca atau, 3)
Kemudahan memahami bahan bacaan yang disebabkan kecerdasan bahasanya.
Teks ilmiah merupakan teks yang harus memiliki tingkat keterbacaan yang layak. Untuk menentukan tingkat kelayakan sebuah wacana/teks, peneliti hendak menganalisisnya dengan formula keterbacaan. Oleh karena itu Keterbacaaan
(readibility) merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bahan bacaan bagi
pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran atau kemudahan wacananya.Uraian definisi dan pengertian keterbacaan menurut ahli di atas membuat penulis menyimpulkan bahwa tingkat keterebacaan dapat diartikan sebagai tingkat kesulitan atau kemudahan wacana.
Dalam menentukan tingkat keterbacaan suatu teks dilakukan kajian pada tiga hal, yaitu keterbacaan teks, latar belakang pembaca, dan interaksi antara teks dengan pembaca. Hal ini sesuai dengan konsep dasar yang diungkapkan oleh Rusyana (1984: 213) bahwa keterbacaan berhubungan dengan peristiwa membaca yang dilakukan seseorang, sehingga akan bertemali dengan aspek (1) pembaca; (2) bacaan; dan (3) latar. Ketiga komponen tersebut akan dapat menerangkan tingkat keterbacaan teks.
Pada dasarnya, tingkat keterbacaan itu dapat ditentukan melalui dua cara, yaitu melalui formula keterbacaan dan melalui respons pembaca seperti yang diungkapkan oleh McNeill et.al. yang dikutip oleh Singer & Donlan (1980). Formula keterbacaan merupakan instrumen untuk memprediksi kesulitan dalam memahami bacaan. Skor keterbacaan berdasarkan formula ini didapat dari jumlah kata yang dianggap sulit, jumlah kata dalam kalimat, dan panjang kalimat pada sampel bacaan yang diambil secara acak. Formula Flesch (1974), Grafik Fry (1977), dan Grafik Raygor (1984) dalam suherlicenter.blogspot.com/2008/10/hut-70-
tahun-profdryus-rusyana.html menggunakan rumus keterbacaan yang hampir sama.
Dari ketiga formula itu, Grafik Fry lebih populer dan banyak digunakan karena formula karena formulanya relatif sederhana dan mudah digunakan.
2.3.1 Formula Keterbacaan
Uraian tentang definisi keterbacaan di atas, semakin memperjelas bahwa Keterbacaaan (readability) merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bahan bacaan bagi pembaca tertentu yang dilihat dari segi tingkat kesukaran atau
.
kemudahan wacananya Dapat dikatakan, untuk mengetahui dan mengukur tingkat keterbacaan teks/wacana tersebut diperlukan penerapan sebuah rumus atau formula.
Harjasujana dan Yeti Mulyati (1997:107) menyatakan bahwa formula-formula keterbacaan yang dewasa ini sering digunakan untuk mengukur keterbacaan wacana, tampaknya berkecenderungan kepada dua tolak ukur yakni panjang kalimat dan kesulitan kata. Formula-formula keterbacaan yang mengacu pada kedua patokan tersebut, diantaranya adalah formula keterbacaan-keterbacaan yang dibuat Spache, Dale dan Chart, Gunning dan Fry.
Melalui berbagai percobaan terhadap formula keterbacaan-keterbacaan di atas, maka peneliti memutuskan untuk menggunakan formula Fry dalam penelitian ini karena dianggap lebih praktis dan efisisen. Formula keterbacaan Fry diambil dari nama pembuatnya yaitu Edward Fry. Formula ini mulai dipublikasikan pada tahun 1977 dalam majalah “Journal of Reading” (Harjasujana dan Yeti, 1996: 113). Formula keterbacaan Fry mengambil seratus kata dalam sebuah teks sebagai sampel tanpa memperhatikan panjangnya wacana. Jadi, setebal apapun jumlah halaman suatu buku ataupun sepanjang apapun suatu bacaan, pengukuran keterbacaan menggunakan formula ini hanya menggunakan seratus kata saja. Angka ini dianggap representatif menurut Fry. Berikut ini adalah model grafik Fry.
Gambar 2.1 Grafik FryPetunjuk Penggunaan Grafik Fry 1.
Pilihlah seratus kata dari wacana yang akan diukur keterbacaannya.
Jika dalam wacana tersebut terdapat nama, deret angka, dan singkatan, ketiganya dihitung satu kata. Kata ulang juga dianggap satu kata. Kata dalam judul bab atau sub-bab tidak boleh dihitung. Misalnya budi, ABRI, dan 1979 masing-masing dihitung satu kata.
2. Hitunglah jumlah kalimat yang terdapat dalam keseratus kata terpilih tersebut. Jika kalimat akhir tidak tepat pada titik, perhitungannya adalah jumlah kalimat lengkap ditambah jumlah kata pada kalimat terakhir yang masuk pada jumlah kata keseratus dibagi jumlah keseluruhan kata kalimat terakhir. Misalnya dari keseratus kata yang telah dipilih ada 6 kalimat lengkap dan pada kalimat terakhir kata yang masuk keseratus kata ada 5 kata sedangkan jumlah kata pada kalimat itu seluruhnya ada 10 kata, jumlah kalimatnya adalah 6 + 5 = 6,5 kalimat 3. Hitunglah jumlah suku kata dari keseratus kata yang telah dipilih.
Kata yang berupa deretan angka dan singkatan dianggap masing- masing huruf / angkanya satu suku kata. Karena jumlah suku kata bahasa indonesia dan bahasa inggris bebeda, jumlah suku kata yang dihitung tersebut selanjutnya harus dikalikan 0.6. misalnya jumlah suku kata keseratus kata terpilih adalah 250 suku kata maka jumlah suku kata yang sebenarnya adalah 250 × 0,6 = 150 suku kata.
4. Plotkan hasil penghitungan di atas ke dalam grafik fry. Pembacaan hasil akhir merupakan pertemuan antara garis diagonal dan vertikal yang dihasilkan dari jumlah suku kata dan jumlah kalimat. Jika hasilnya terletak pada satu kolom tertentu, itulah tingkat kesulitan wacana tersebut.
5. Jika pertemuan garis tersebut jatuh pada daerah yang diarsir, wacana tersebut dikategorikan wacana yang tidak valid.
Selanjutnya dalam mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku si pengukur harus menempuh langkah-langkah petunjuk penggunaan grafik fry yang kemudian menghitung hasil rata-ratanya. Data hasil rata-rata tersebut harus dijadikan dasar untuk menentukan tingkat keterbacaan wacana buku tersebut.
2.4 Penelitian yang Relevan
Berikut ini adalah beberapa penelitian yang mengkaji tentang teknik dan pergeseran (shifts) penerjemahan :
1. Fatukhna’imah Rhina Zuliani (2001), dalam tesisnya Kajian Teknik
Penerjemahan dan Kualitas Penerjemahan Ungkapan dalam Novel The Kite Runner Karya Khaled Hosseini
, menemukan dan mengklasifikasi ungkapan budaya dalam novel The kite Runner, mengkaji teknik penerjemahan yang digunakan dan menunjukan kualitas penerjemahan, kaitannya dengan teknik penerjemahan yang digunakan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif terpancang. Hasil analisis menunjukan bahwa dalam novel the kite runner terdapat 139 ungkapan budaya. Ungkapan budaya tersebut diklasifikasi budaya koentjaraningrat yaitu bahasa, system pengetahuan, organisasi sosial, sisperalatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi dan kesenian. Hasil lengkap klasifikasi budaya adalah sebagai berikut : Bahasa 44 data (32%), system pengetahuan 3 data (2%), organisasi sosial 6 data (4%), sistem peralatan hidup dan teknologi 46 data (33%), sistem mata pencaharian hidup 5 data (4%), sistem religi 27 data (19%), dan kesenian 8 data (6%). Dari kajian yang dilakukan terhadap teknik penerjemahan, terindentifikasi teknik yang digunakan dalam menerjemahkan ungkapan budaya adalah sebagai berikut : peminjaman murni 75 data (54%), peminjaman alamiah 27 data (19,4%), calque 7 data (5%), amplifikasi 8 data (5,8%), deskripsi 2 data (1,4%), literal 7 data (5%) dan established equivalent 13 data (9,4%). Dalam menerjemahkan ungkapan budaya, penerjemah lebih banyak menggunakan peminjaman murni dengan mempertahankan bentuk asli ungkapan BSu. Adapun kualitas penerjemah kaitannya dengan teknik penerjemahan yang digunakan adalah sebagai berikut : terjemahan akurat pada 60 data (43%) paling banyak dihasilkan dengan teknik peminjaman alamiah yaitu 23 data (16,5%), terjemahan kurang akurat pada 39 data (28%) dan tidak akurat 40 data (29%) paling banyak dihasilkan dengan teknik peminjaman murni. Terjemahan ungkapan budaya yang berterima sebanyak 57 data (41%) paling banyak dihasilkan dengan peminjaman alamiah, yaitu 23 data (16,5%) kurang berterima 42 data (30%), dan tidak berterima 40 data (29%) paling bnayak dihasilkan dengan teknik peminjaman murni. Rater pembaca sepakat menilai 54 data (39%) memiliki keterbacaan mudah, 41 data (29%) keterbacaan agak sulit, dan 44 data (32%) memiliki keterbacaan sulit. Adapun teknik yang paling banyak menghasilkan keterbacaan mudah adalah teknik
peminjaman murni (15,8%), dan keterbacaan sulit dengan peminjaman murni (26,6%). Dari temuan tersebut dapat dilihat bahwa teknik peminjaman alamiah menghasilkan lebih banyak terjemahan yang akurat, berterima, dan memiliki keterbacaan mudah karena digunakannyaungkapan budaya yang tepat dan familier. Sebaliknya, teknik peminjaman murni menghasilkan lebih banyak terjemahan yg tidak akurat, tidak berterima, dan memiliki keterbacaan sulit karena digunakannya ungkapan budaya BSu yang masih asing dalam BSa.Relevansinya terhadap penelitian ini ialah bahwa keduanya merupakan penelitian deskriptif kualitatif terpancang. Namun penelitian di atas mengkaji teknik penerjemahan yang digunakan untuk menunjukan kualitas penerjemahan, sedangkan penelitian yang dilakukan penelti mengidentifikasi strategi penerjemahan dan tingkat keterbacaan teks.
2. Indonesian Subtitling Strategies of the English Movie Inception . Oleh Andalusia lestarian, Universitas Andalas (2011). Penelitian ini membahas tentang strategi penerjemahan pada teks film ( Indonesian subtitling
) yang digunakan pada film berbahasa Inggris ke bahasa Indonesia.
strategies
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi penerjemahan apa yang digunakan pada teks film dan strategi apa yang paling banyak digunakan.
Metode yang digunakan adalah membandingkan data sumber dengan terjemahannya. Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan teknik pengamatan dan teknik catat. Petikan-petikan percakapan dicatat dan ditampilkan dalam bentuk tabel. Analisis data menggunakan teori penerjemahan yang diajukan oleh Gottlieb (2011), yang terdiri dari penghilangan penyingkatan, penambahan, pemindahan, pengurangan , penyimpulan dan penyalinan. Data analisis diambil dari petikan percakapan dari film berjudul Inception dalam bentuk DVD. Dalam menganalis data, penulis menjelaskan bagian mana yang mengalami strategi penerjemahan, klasifikasi dan asumsi mengapa strategi itu digunakan. Penjabaran data analisis dijelaskan berdasarkan strategi, bukan petikan percakapan. Data analisis berjumlah 56 petikan percakapan, terdiri dari delapan tabel. Masing- masing tabel berjumlah tujuh petikan percakapan. Dari hasil analis, ditemukan semua strategi penerjemahan, dan terdapat 70 kali penggunaan strategi penerjemahan. Dari hasil penelitian ditemukan strategi-strategi yang muncul dengan frekuensi sebagai berikut: penyingkatan 24 kali (42,85%), penghilangan 20 kali (37,71%), penyimpulan 14 kali (25%), penambahan 5 kali (8,93%) pemindahan 4 kali (7,14%) pengurangan dua kali (3,57%), dan penyalinan satu kali (1,75%) dengan kajian pergeseran kategori kata kerja dan kata benda dalam konteks keterkaitan makna bahasa dalam berbagai budaya.
Hasil dari penelitian ini adalah bahwa ada 12 variasi nomina serta 9 variasi pergeseran verba terjemahan pada karya-karya Hemingway : The Old Man
and The sea; , sedangkan dalam A Farewell to Arms terdapat 11 variasi
pergeseran nomina serta 7 variasi pergeseran nomina.Relevansinya terhadap penelitian ini ialah keduanya membahas tentang strategi penerjemahan. Perbedaannya terletak pada objek yang diteliti.
Penelitian di atas (No.2) meneliti teks film ( Indonesian subtitling strategies) yang digunakan pada film berbahasa Inggris ke bahasa Indonesia sedangkan penelitian ini meneliti teks Bersiteguh Mengurai Benang Kusut di Sibolangit.
3. Strategi Penerjemahan dan Kualitas Terjemahan Buku Manual Handphone
Nokia 1600 dari Bahasa Inggris dalam bahasa Indonesia oleh purwani Indri
Astuti, Universitas Negeri Surakarta, 2008. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan strategi penerjemahan yang digunakan dalam menerjemahkan teks manual handphone nokia 1600 yang telah diterjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga memiliki tujuan untuk mendeskripsikan kualitas terjemahan teks manual handphone Nokia 1600 yang telah diterjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Penelitian ini dapat memberikan manfaat teoritis dan manfaat praktis : secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam bidang penerjemahan sebagai alternatif untuk mengadakan penelitian lebih jauh mengenai dampak kualitas terjemahan. Khususnya yang berhubungan dengan penerjemahan manual. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi (1) editor terjemahan buku-buku manual untuk mengevaluasi hasil-hasil terjemahan. (2) pengguna produk-produk teknologi yang mengandalkan buku manual sebagai pedoman dalam merakit atau mengoperasikan produk-produk teknologi tersebut, sebagai tambahan wawasan dalam memahami buku manual. (3) praktisi terjemahan, penelitian ini bermanfaat untuk membantu mengembangkan sub-sub kompetensi mereka dalam menyingkapi masalah-masalah terjemahan yang dihadapinya sebagai konsekwensi dalam poengambilan keputusan mereka. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kualitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh kata, frasa dan kalimat yang terdapat pada bukiu manual handphone nokia 1600. Data tersebut sekaligus menjadi sampel dalam penelitian ini. Untuk menilai kualitas terjemahan, data dibaca dan dinilai oleh 3 rater yang memiliki criteria yang telah ditetapkan sebelumnya dan seorang informan ahli untuk memantabkan kealamiahan terjemqahan buku manual tersebut. Selain itu, peneliti juga meminta 3 orang pembaca awam untuk mengetahui keterbacaan buku manual tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum ada 2 strategi penerjemahan yang telah diterapkan, yaitu strategi struktural dan strategi semantik. Dalam kaitannya dengan strategi struktural, penerjemah menggunakan strategi penambahan (addition), pengurangan (subtraction) dan transposisi. Sementara untuk strategi semantis, penerjemah menggunakan strategi penambahan , penghilangan (omission), pungutan (borrowing), dan modulasi. Di dalam penerapannya, ditemukan bahwa penerjemah menggunakan lebih dari satu strategi. Kombinasi antara strategi structural atau strategi semantis, atau bahkan kombinasi antara strategi struktural dan strategi semantis dilakukan oleh penerjemah untuk menghasilkan terjemahan yang akurat, wajar dan dapat dipahami dengan baik.
Selanjutnya, berkaitan dengan kualitas terjemahan buku manual handphone Nokia 1600 dapat dikatakan baik, dilihat dari aspek keakuratan, kealamiahan dan keterbacaan yang memiliki skor rerata tinggi. Untuk ketepatan terjemahan mencapai skor 3,50 dengan frekuensi kemunculan data terjemahan yang sangat tepat sebanyak 496 data dari 665 data, atau sebanyak 74,59%.
Untuk kealamiahan terjemahan mencapai skor 2,58; dengan freksi kemunculan data terjemahan yang alami sebanyak 428 data dari 665 data atau sebanyak 64,36%. Untuk keterbacaan mencapai skor 2.80; dengan frekuensi data yang mudah dipahami sebanyak 562 butir data dari 665 data atau sebanyak 84,51%.