BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN - Tinjauan Hukum Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan/Konstruksi Antara Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Sumber Daya Air Dengan Perusahaan Rekanan ( Studi Di Balai Sumber Daya Air Sumatera II Pr

  

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A. Ruang Lingkup Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Hukum Perjanjian diatur dalam bab II dan bab V sampai dengan Bab XVIII buku III KUH Perdata, yang memiliki sifat terbuka artinya isinya dapat ditentukan oleh para

  pihak dengan beberapa syarat yaitu tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang. Hal ini memiliki makna bahwa buku III KUH Perdata dapat diikuti oleh para pihak atau dapat juga para pihak menentukan lain/menyimpanginya namun hanya bersifat pelengkap saja dan mengikuti beberapa syarat, karena di dalam ketentuan umum ada yang bersifat pelengkap dan pemaksa (yang bersifat pemaksa, misalnya Pasal 1320 KUH Perdata).

  Dikatakan bersifat pelengkap berarti bahwa pasal-pasal dalam perjanjian itu dapat disingkirkan manakala dikehendaki oleh para pihak yang membuat perjanjian, mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian yang mereka adakan dan diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian. Jika para pihak tidak mengatur sendiri sesuatu soal, maka dapat dikatakan mereka tunduk kepada undang-undang. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”

  Definisi perjanjian dalam KUH Perdata dalam Pasal 1313 mengatakan suatu persetujuan adalah suatu perbuatan yang terjadi antara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih. Definisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan KUH Perdata ini terlalu luas dan tidak lengkap, dikatakan tidak lengkap

   karena hanya mengenai perjanjian sepihak saja.

  Dikatakan terlalu luas karena dapat sampai mencakup hal-hal janji kawin yaitu perbuatan didalam hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga. Namun, istimewa sifatnya karena dikuasai oleh ketentuan-ketentuan tersendiri. Sehingga buku ke

  III KUH Perdata secara langsung tidak berlaku juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan didalam perbuatan melawan hukum ini tidak unsur persetujuan.

  Adanya ketidaksempurnaan definisi perjanjian yang berada dalam KUH Perdata ini membuat para sarjana dan ahli hukum membuat definisi atau melengkapi definisi perjanjian yang ada menuru pendapat mereka masing-masing.

  Yahya Harahap mengatakan perjanjian atau Verbitensis mengandung pengertian suatau hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus

   mewqjibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.

  9 10 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis,PT Alumni,Bandung,2005,hal.18 M. Yahya Harahap,Segi-segi Hukum Perjanjian,PT Alumni,Bandung,1986,hal.6

  R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu

   orang atau lebih.

  Penyempurnaan definisi perjanjian Pasal 1313 menurut Handri Raharjo, “suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan di antara mereka (parapihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestastinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut menimbulkan akibat

  

  hukum.” Menurut Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk

  

  melaksanakan suatu hal. Subekti mengatakan bahwa perjanjian mempunyai suatu hubungan yang khusus dengan perikatan. Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua “pihak”, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu.

  Dari peristiwa ini ditimbulkan suatu hubungan antara dua orang yang dinamakan “perikatan”. Perjanjian tersebut menimbulkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian

  11 12 R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung, 1987, hal.49. 13 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009, hal.42.

  Subekti, Hukum Perjanjian,Pembibing Masa,Jakarta,1963, hal.4

  

  adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, walaupun perikatan itu paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi ada juga sumber lain yang melahirkan perikatan. Subekti menyimpulkan bahwa apabila orang-orang yang mengadakan suatu perjanjian, maka maksud mereka adalah agar antara mereka itu berlaku suatu perikatan hukum.

  Perjanjian dalam pembicaraan umum dan buku-buku hukum adalah menunjuk kepada perjanjian yang mengikat, dan juga dalam buku ini bila tidak dinyatakan lain maka yang dimaksudkan dengan perjanjian adalah perjanjian yang mengikat (perikatan)

  Perikatan-perikatan yang dimaksudkan diatas adalah merupakan suatu peristiwa dimana dua orang atau pihak saling menjanjikan sesuatu. Peristiwa ini paling tepat dinamakan “perjanjian” yaitu suatu peristiwayang berupa rangkaian janji-janji. Dapat dikatakan bahwa “perjanjian sudah sangat populer dikalangan rakyat.

  Ada juga beberapa penulis yang memakai perkataan “persetujuan” , yang tentu saja tidak salah, karena peristiwa yang dimaksud juga merupakan suatu kesepakatan atau pertemuan kehendak dua orang atau pihak untuk melaksanakan sesuatu dan perkataan “persetujuan” kalau dilihat dari segi terjemahan memang lebih sesuai dengan perkataan Belanda “overeenkomst” yang dipakai oleh KUH Perdata tetapi karena perjanjian oleh masyarakat sudah dirasakan sebagai suatu istilah yang mantap untuk menggambarkan rangkaian janji-janji yang pemenuhannya dijamin oleh Hukum, maka banyak para 14 sarjana condong memakai istilah “perjanjian”.

  Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional ,Alumni,Bandung,1976,hal.13

  Perjanjian menurut Wirjono Prodjodikoro adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dari mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang

   pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.

  Secara umum pengertian-pengertian yang diungkapkan oleh para sarjana adalah merupakan memenuhi ketidaklengkapan definisi perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata saja, dapat disimpulkan bahwa perjanjian adalah perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih saling mengikatkan dirinya terhadap yang satu dengan yang lain.

  Dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas, namun secara umum asas perjanjian hanya terdapat lima, yaitu: a.

  Asas kebebasan berkontrak Asas ini mempunyai makna setiap orang bebas membuat perjanjian dengan siapapun, apapun isinya, apapun bentuknya sejauh tidak melanggar undang- undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Asas ini bersifat relatif (kebebasan kontrak yang bertanggungjawab) dan asas inilah yang menyebabkan hukum perjanjian bersifat terbuka.

  b.

  Asas konsensualisme Yang dimaksud dengan asas konsensualisme adalah jika perjanjian tersebut 15 telah dibuat, maka telah sah perjanjian tersebut mengikat secara penuh. Asas ini

  Wirjono Prodjodikoro,Azas-azas Hukum Perjanjian,Mandar maju,Bandung,2011,hal. 9 dapat ditemukan dalam pasal 1320 yang ditemukan istilah “semua”. Kata-kata “semua” menunjukkan bahwa setiaporang diberi kesempatan untuk menyatakan

   keinginannya (wil), yang rasanya baik untuk menciptakan perjanjian.

  c.

  Asas pacta sunt servanda Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.

  Dimana perjanjian tersebur mengikat para pihak tersebut secara penuh sesuai dengan isi perjanjian.

  d.

  Asas itikad baik Adanya perjanjian dilakukan berdasarkan itikad baik, asas ini terdapat dalam

  Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata. Itikad baik ada dua yaitu pertama, bersifat objektif artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan. Kedua, bersifat subjektif artinya ditentukan oleh sikap batin seseorang.

  e.

  Asas kepribadian (personalitas) Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri. Pengecualian tersebut terdapat dalam Pasal 1317 KUH

  Perdata tentang janji untuk pihak ketiga.

  Menurut Asser dalam perjanjian terdiri dari bagian inti (essensialia) dan

   16 bukan bagian inti (Naturalia dan Accidentalia) Mariam Darus Badrulzaman,Op.cit.,hal. 42. a.

  Bagian inti (Essensialia) Merupakan unsur yang mutlak harus ada. Merupakan sifat yang harus ada didalam perjanjian, sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta. Contoh: Kesepakatan b. Bukan bagian inti (Naturalia dan Accidentalia) Merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian, misalnya: Menjamin terhadap cacat tersembunyi. Sedangkan, Accidentalia merupakan sifat yang melekat pada suatu perjanjian yang secara tegas diperjanjikan oleh para pihak. Misalnya: Pemilihan tempat kedudukan.

2. Jenis-jenis Perjanjian

  Perjanjian dapat dibedakan dengan berbagai cara,yaitu

   a.

  Perjanjian menurut sumbernya :

  1) Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, misalnya: perkawinan. 2)

  Perjanjian yang bersumber dari hukum kebendaan, adalah perjanjian yang berhubungan dengan peralihan hukum benda.

  3) Perjanjian obligator, adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban. 17 Mariam Darus Badrulzaman, KUHPERDATA Buku III, PT Alumni, Bandung, 1996, hal.99 18 Handri Raharjo Op.cit. hal 59

  4) Perjanjian yang bersumber dari hukum acara. 5) Perjanjian yang bersumber dari hukum publik.

   b.

  : Perjanjian menurut hak dan kewajiban para pihak, dibedakan menjadi

  1) Perjanjian timbal balik, adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Perjanjian ini ada 2 macam, yaitu timbal balik sempuran dan tidak sempurna. Misalnya, perjanjian jual beli

  2) Perjanjian sepihak, adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pada satu pihak saja, sedangkan pada pihak lain hanya ada hak. Contoh: hibah

  (Pasal 1666 KUH Perdata) dan perjanjian pemberi kuasa (Pasal 1792 KUH Perdata) c.

  Perjanjian menurut namanya, dibedakan menjadi perjanjian khusus/bernama/nominaat dan perjanjian umum/tidak

   bernama/innominaat/perjanjian jenis baru (Pasal 1319 KUH Perdata).

  1) Perjanjian khusus/bernama/nominaat, adalah perjanjian yang memiliki nama dan diatur dalam KUH Perdata. Contoh, perjanjian-perjanjian yang terdapat dalam buku III Bab V-XVIII KUH Perdata. Contoh : perjanjian jual beli, perjanjian tukar menukar, perjanjian sewa menyewa, perjanjian untuk melakukan perkerjaan, perjanjian pinjam pakai, perjanjian pinjam 19 meminjam dan sebagainya. 20 Salim HS,Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia,Sinar Grafika,2003,hal.9 Ibid. Hal 18

  2) Perjanjian umum/tidak bernama/innominat/perjanjian jenis baru, adalah perjanjian yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat karena asas kebebasan berkontrak dan perjanjian ini belum dikenal pada saat KUH

21 Perdata diundangkan.

  d.

  Perjanjian menurut bentuknya ada 2 macam, yaitu perjanjian lisan/tidak tertulis dan perjanjian tertulis, termasuk perjanjian lisan adalah Perjanjian konsensual dan perjanjian riil. Perjanjian konsesual adalah perjanjian diantara kedua belah pihak yang telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan.

  Menurut KUH Perdata perjanjian ini sudah memiliki kekuatan mengikat (Pasal 1338 KUH Perdata).

  Sedangkan perjanjian riil adalah perjanjian yang dimana berlaku setelah terjadi penyerahan barang. Misalnya, perjanjian penitipan barang (pasal 1692

   KUH Perdata), pinjam pakai (pasal 1740 KUH Perdata).

  Perjanjian yang termasuk dengan perjanjian tertulis, adalah perjanjian standar dan perjanjian formal. Perjanjian standar atau baku perjanjian tertulis berbentuk tertulis berupa formulir yang isinya telah dibakukan terlebih dahulua secara sepihak olehprodusen, bersifat massal, tanpa mempertimbangkan perbedaan kondisi yang dimiliki konsumen. Sedangkan,perjanjian formal adalah perjanjian yang telah ditetapkan dengan formalitas tertentu. Misalnya, perjanjian 21 perdamaian yang harus secara tertulis (pasal 1851 KUH Perdata) 22 Ibid hal. 4 dan 17 Mariam Darus Badrulzaman, 2005,Op.cit., hal. 21 e.

  Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya menurut Mariam Darus

23 Badrulzaman , yaitu:

  1) Perjanjian liberator, yaitu perjanjian yang para pihak yang membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (kwijschelding) pasal 1438 KUH Perdata.

  2) Perjanjian pembuktian (beweijsovereenkomst), yaitu perjanjian antara pihak untuk menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.

  3) Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi pasal 1774 KUH Perdata.

  4) Perjanjian publik, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik karena salah sau pihak bertindak sebagai penguasa

  (pemerintahan), misalnya perjanjian ikatan dinas dan perjanjian pengadaan barang pemerintah (keppres No.29/84) f.

  Perjanjian campuran/contractus sui generis, perjanjian ini terdapat unsur-unsur dari beberapa perjanjian bernama yang terjalin menjadi satu sedemikian rupa sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan sebagai perjanjian yang berdiri sendiri. Contoh perjanjian pemilik hotel dengan tamunya.

  g.

  Perjanjian garansi (Pasal 1316 KUH Perdata) dan Derden Beding (Pasal 1317 KUH Perdata), perjanjian garansi adalah suatu perjanjian dimana seorang 23 menjamin pihak lain (lawan janjinya) bahwa seorang pihak ketiga yang ada

  Ibid hal.21 diluar perjanjian (bukan pihakdalam perjanjian yang bersangkutan) akan melakukan sesuatu dan kalau sampai terjadi pihak ketiga tidak memenuhi kewjajibannya, maka ia akan bertanggung jawab untuk itu. Derden Bending (janji pihak ketiga) berdasarkan asas pribadi suatu perjanjian berlaku bagi pihak yang mengadakan perjanjian sendiri dan para pihak tidak dapat mengadakan perjanjian yang mengikat pihak ketiga, kecuali dalam apa yang disebut dengan janji guna pihak ketiga (pasal 1317 KUH Perdata).

  B.

  Subjek dan Syarat Sahnya Perjanjian 1.

  Subjek perjanjian Pada umumnya tidak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkan suatu janji, selain untuk dirinya sendiri. Perjanjian timbul disebabkan oleh dua orang atau lebih, masing-masing orang itu menduduki tempat yang berbeda. Satu orang menjadi pihak kreditur, dan yang seorang lagi menjadi

   pihak debitur.kreditur dan debitur tersebutlah yang menjadi subjek perjanjian.

  Yang dimaksud dengan subjek perjanjian ialah pihak-pihak yang terikat dengan suatu perjanjian. Subjek hukum dalam perjanjian dibagi atas manusia dan badan hukum, yang kedua-duanya merupakan penunjang hak dan kewajiban. Namun memiliki perbedaan yaitu manusia menjadi subjek hukum sejak dia dilahirkan, sedangkan badan hukum menjadi subjek hukum pada saat benda itu telah 24 didaftarkan dan benda tersebut tidak bernyawa seperti manusia.

  M Yahya Harahap, Op.cit., hal.15

  Subjek perjanjian diatur dalam pasal 1315, 1317, 1318 dan 1340 KUH Perdata. Ketentuan-ketentuan dalam pasal tersebut dikenal dengan asas pribadi. KUH

   Perdata membedakan tiga golongan yang tersangkut pada perjanjian , yaitu:

  a) Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri

  b) Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak daripadanya

c) Pihak ketiga.

  Pada dasarnya suatu perjanjian berlaku bagi pihak yang mengadakan perjanjian itu (Pasal 1315 KUH Perdata). Para pihak tidak dapat mengadakan perjanjian yang mengikat pihak ketiga (Pasal 1317 KUH Perdata).

  Beralihnya hak kepada ahli waris adalah akibat peralihan dengan alas hak umum yang terjadi pada ahli warisnya. Beralihnya perjanjian kepada orang-orang yang memperoleh hak berdasarkan atas alas hak khusus, misalnya orang yang menggantikan pembeli mendapat haknya sebagai pemilik. Hak terikat kepada sesuatu kualitas itu dinamakan hak kualitatif.

  Dalam kaitannya dengan janji guna pihak ketiga, maka siapa saja yang telah menjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menarik kembali apabila pihak ketiga

   telah menyatakan kehendaknya untuk mempergunakannya.

  25 26 Maria Darus Badrulzaman,1996, Op.cit.,hal.22 Ibid hal.23

2. Syarat Sahnya Perjanjian

  Agar suatu perjanjian dianggap sah oleh hukum, maka haruslah memenuhi beberapa persyaratan sahnya perjanjian. Persyaratan ini harus dipenuhi agara perjanjian tersebut mempunyai kekuatan mengikat.

  Syarat sahnya perjanjian tersebut sudag ditentukan oleh KUH Perdata, karena perjanjian dianggap sah jika memenuhi 4 (empat) persyaratan yang berada dalam KUH Perdata yaitu dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

  Keempat syarat sahnya perjanjian yang ditentukan dalam KUH Perdata adalah sebagai berikut: a)

  Adanya kesepakatan untuk mengikatkan diri;

  b) Cakap untuk membuat suatu perikatan;

  c) Suatu hal tertentu;

  d) Suatu sebab yang halal;

  Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif dikarenakan kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian. Bila syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan (untuk membatalkan perjanjian itu harus ada inisiatif

  

  minimal dari pihak yang merasa dirugikan). Dengan batas waktu membatalkannya 5 tahun (Pasal 1454 KUH Perdata) Sedangkan kedua syarat terakhir disebutkan 27 syarat ojbektif dikarenakan mengenai objek dari perjanjian. Jika syarat ini tidak

  R. Subekti,Hukum Perjanjian, Op.cit. hal 20 dipenuhi maka perjanjian dianggap batal demi hukum (sejak semula dianggap tidak

   pernah ada perjanjian sehingga tidak perlu pembatalan).

  Keempat syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut akan diuraikan lebih lanjut sebagai berikut.

  a) Sepakat

  Kesepakatan para pihak merupakan insir mutlak untuk terjadinya suatu perjanjian. Kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang mengadakan

  

  perjanjian atau pernyataan kehendak disetujui antara pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menwarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).

  Kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan awal terjadinya perjanjian. Untuk mengetahui kapan kesepakatan itu terjadi ada beberapa macam

  

  teori/ajaran, yaitu :

  a) Teori kehendak (wilstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak penerima dinyatakan, misalnya dengan melukiskan surat.

  b) Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.

  28 29 Ibid. 30 Maria Darus Badrulzaman,1996,Op.cit., hal.98 Maria Darus Badrulzaman,2005,Op.cit.,hal.24

  c) Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya sudah diterima.

  d) Teori kepercayaan (vertrowenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.

  Selanjutnya menurut Pasal 1321 KUH Perdata, kata sepakat harus diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan. Masalah lain yang dikenal dalam KUH Perdata yakni disebut dengan cacat kehendak (kehendak yang timbul tidak murni dari yang bersangkutan). Tiga unsur cacat kehendak (Pasal 1321 KUH Perdata) :

  a) Kekhilafan/kekeliruan/kesesatan/dwaling (1321 KUH Perdata)

  b) Paksaan /dwang (Pasal 1323-1327 KUH Perdata)

  c) Penipuan/bedraq (Pasal 1328 KUH Perdata)

  Kekhilafan terjadi jika salah satu pihak keliru tentang apa yang diperjanjikan, namun pihak lain membiarkan pihak tersebut dalam keadaan keliru. Undang undang membedakan dua jenis kekhilafan, yaitu mengenai orang (error inpersonal) dan kekhilafan mengenai barang yang menjadi pokok perjanjian (error insubtantia).

  Paksaan merupakan bukan karena kehendaknya sendiri, namun karena dipengaruhi oleh orang lain. Paksaan dapat terjadi jika perbuatan tersebut dapat membuat seseorang yang berpikiran sehat ketakutan dan jika perbuatan itu menimbulkan ketakutan bahwa dirinya diancam atau kekayaan dengan suatu kerugian (Pasal 1324 s.d 1327 KUH Perdata). Dengan demikian maka pengertian paksaan adalah kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuka rahasia) dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang

   sehingga ia membuat perjanjian.

  Sedangkan, Penipuan terjadi jika salah satu pihak secara aktif memngaruhi pihak lain sehingga pihak yang dipengaruhi menyerahkan sesuatu atau melepaskan sesuatu. Pihak tersebut menipu dengan daya akalnya menanamkan suatu gambaran yang keliru tentang orangnya atau objeknya sehingga pihak lain bergerak untuk menyepakati.

  Perjanjian dapat dibatalkan, apabila terjadi ketiga hal yang sudah dijelaskan diatas. Dalam perkembangannya muncul unsur cacat kehendak diluar KUH Perdata, yaitu penyalahgunaan keadaan. Dalam hal ini tidak adanya ancaman fisik hanya terkadang salah satu pihak punya rasa ketergantungan, suatu hal darurat, tidak

   berpengalaman, atau tidak tahu.

  b) Kecakapan

  Setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perikatan kecuali jika undang- undang menyatakan bahwa orang tersebut adalah tidak cakap. Orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka

  31 32 Maria Darus Badrulzaman,1996,Op.cit., hal 101 Handri Raharjo, Op.cit., hal.51 yang berada dibawah pengampuan. Dalam hal kecakapan ini diatur dalam KUH Perdata Pasal 1329 sampai dengan 1328.

  Dulu orang-orang perempuan yang telah bersuami termasuk orang yang tidak cakap berbuat (Pasal 108 KUH Perdat), tetapi hal ini sudah dicabut dengan SEMA No.3 Tahun 1963 tentang kedudukan seorang wanita diangkat derajatnya sama dengan laki-laki sehingga untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap

   pengadilan ia tidak memerlukan bantuan suaminya lagi.

  Dengan demikian maka orang yang tidak cakap, yaitu pertama, mereka yang belum cukup umur. Menurut Pasal 1320 KUH Perdata adalah mereka yang belum genap berusia 21 tahun dan belum menikah. Agar mereka yang belum dewasa dapat melakukan perbuatan hukum maka harus diwakilkan oleh wali/perwalian (Pasal 33- 414 KUH Perdata).

  Kedua,mereka yang diletakkan dibawah pengampuan. Hal ini diatur dalam

  Pasal 433-462 KUH Perdata tentang pengampuan. Pengampuan adalah dimana keadaan seseorang tidak dapat cakap bertindak karena sifat-sifat pribadinya ataupun tidak dalam segala cakap untuk bertindak dalam lalu lintas hukum, karena orang tersebut oleh putusan hakim dimasukkan kedalam golongan orang yang tidak cakap

  

  bertindak dan diberi wakil menurut undang-undang sebagai pengampu. Tidak cakap tersebut seperti dalam Pasal 433 KUH Perdata, yaitu keadaan dungu, sakit 33 ingatan/gila/mata gelap (dianggap tidak cakap melaksanakan sendiri hak dan 34 http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/17319,diakses tanggal 1 April 2013 jam 15.30 wib Ibid, hal.54 kewajibannya) dan Pemboros/pemabuk (ketidakcakapan bertindak terbatas pada perbuatan-perbuatan dalam bidang hukum harta kekayaan saja).

  Akibat hukum dari perbuatan yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap berbuat hukum adalah dapat dimintakan pembatalannya (Pasal 1331 ayat 1 KUH

35 Perdata).

  c) Suatu hal tertentu Undang-undang menetukan benda-benda yang dapat dijadikan obek perjanjian.

  Benda-benda itu adalah yang dipergunakan untuk kepentingan umum. Suatu perjanjian harus mempunyai objek tertentu sekurang-kurangnya dapat ditentukan (Pasal 1332 sampai dengan 1335 KUH Perdata). Objek perjanjian dapat

  

  dikategorikan dalam pasal tersebut : 1)

  Objek yang akan ada (kecuali warisan), asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat dihitung.

  2) Objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian).

  d) Suatu sebab yang halal Untuk sahnya suatu perjanjian, undang-undang mensyaratkan adanya kausa.

  Undang-undang tidak memberikan pengertian kausa. Kausa yang dimaksudkan

  35 36 Ibid Maria Darus Badrulzaman,1996,Op.cit., hal.104-105 bukanlah hubungan sebab akibat, melainkan isi atau maksud dari perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para pihak mengadakan perjanjian.

  Melalui syarat ini, didalam praktik maka hakim dapat mengawasi perjanjian tersebut. Hakim dapat menilai apakah isi perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1335 s.d 1337 KUH

37 Perdata).

  Berdasarkan rumusan di atas, dapat diambil beberapa ketentuan yang penting dalam hukum perjanjian, dan hal inilah yang merupakan akibat dari perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1338 KUH Perdata, yaitu undang-undang menentukan bahwa perjanjian yang sah berkekuatan sebagai undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.

  Persetujuan-persetujuan tersebut tidak dapat ditarik kembali selain kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu (Pasal 1338 ayat 2 KUH Perdata). Persetujuan-persetujuan itu haruslah dilakukan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata).

  Melaksanakan apa yang menjadi hak disatu pihak dan kewajiban dipihak lain dari yang membuat perjanjian.

  C.

  Berakhirnya Perjanjian Mengenai berakhirya perjanjian diatur dalam Bab ke empat Buku ke III KUH 37 Perdata tentang hapusnya perikatan. Masalah “hapusnya perjanjian” (tenietgaart van

  Maria Darus Badrulzaman,2005,Op.cit., hal. 27 verbintenis) bisa juga disebut dengan “hapusnya persetujuan” (tenietgaan van overeenkosmt). Berarti, menghapuskan semua pernyataan kehendak yang telah dituangkan

   dalam persetujuan bersama antara pihak kreditur dan debitur.

  Banyak cara dan macam dapat menghapuskan perjanjian. Misalnya dengan cara membayar harga yang dibelinya atau dengan jalan mengembalikan barang yang dipinjam.

  Bisa juga dengan pembebasan hutang dan sebagainya.

  Adapun cara-cara penghapusan perjanjian telah diatur dalam Pasal 1381 KUH Perdata. Dalam pasal ini telah disebut satu persatu cara dan jenis penghapusan perjanjian.

  Cara penghapusan yang disebut Pasal 1381 KUH Perdata adalah: 1.

  Pembayaran (Pasal 1382-1403 KUH Perdata) Pembayaran adalah pelunasan utang (uang,jasa,barang) atau tindakan pemenuhan

  

  prestasi oleh debitur kepada kreditur. Pihak-pihak yang wajib melaksanakan pembayaran selain debitur. Berdasarkan Pasal 1382 KUH Perdata mengatur tentang

  

  orang-orang selain debitur sendiri yang dapat melaksanakan perikatan, yaitu :

  a) Mereka yang mempunyai kepentingan, misalnya kawan terhutang dan seorang penanggung.

  38 39 M Yahya Harahap, Op.cit.,hal.106 40 Handri Raharjo, Op.cit.,hal.96 Maria Darus Badrulzaman,1996,Op.cit.,hal.157

  b) Seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja orang pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi hutangnya debitur atau pihak ketiga itu bertindak atas namanya sendiri, asal tidak menggantikan hak-hak tertentu.

  Berdasarkan Pasal 1385 KUH Perdata pihak-pihak yang berhak menerima pembayaran: a)

  Kreditur sendiri

  b) Seseorang yang diberi kuasa oleh kreditur

  c) Seseorang yang diberi kuasa oleh hakim atau undang-undang

  Undang-undang telah menentukan pihak-pihak yang berhak menerima pembayaran meskipun begitu penentuan tersebut tidak bersifat mutlak. Tidak bersifat mutlak dikarenakan masih diberikan kemungkinan bagi debitur untuk membayarkan prestasi pada “orang yang tidak menerima pembayaran” dengan syarat, yaitu kreditur membenarkan pembayaran tersebut atau nyata-nyata telah mendapat manfaat daripadanya. Bila debitur melakukan pembayaran kepada kreditur yang tidak cakap maka pembayaran itu tidak sah, hal ini terdapat didalam Pasal 1387 KUH Perdata.

  Pada dasarnya pembayaran dilakukan ditempat yang diperjanjikan namun bila didalam perjanjian itu tidak ditentukan tempat pembayaran, maka hal itu diatur di dalam Pasal 1393 KUH Perdata. Subrogasi adalah penggantian kedudukan kreditur oleh pihak ketiga, berdasarkan Pasal 1400 KUH Perdata penggantian ini terjadi dengan pembayaran yang diperjanjikan ataupun ditetapkan oleh undang-undang. Subrogasi ini dibedakan menjadi dua, yaitu: a)

  Subrogasi karena perjanjian. Diatur dalam Pasal 1401 KUH Perdata

  b) Subrogasi karena undang-undang. Diatur dalam Pasal 1401 KUH Perdata.

  2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan/penitipan (konsinya) Penawaran pembayaran tunai terjadi apabila dalam suatu perjanjian debitur hendak membayar utangnya tetapi pembayaran ini ditolak oleh kreditur, maka debitur dapat menitipkan pembayaran melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat. Perihal tentang konsinya diatur dalam Pasal 1404-1412 KUH Perdata.

  3. Novasi/pembaharuan hutang (Pasal 1413-1424 KUH Perdata) Merupakan perjanjian antara debitur dengan kreditur dimana perikatan yang sudah ada dihapuskan dan kemudian dibuat suatu perikatan yang baru. Novasi berdasarkan Pasal

  

  1413 KUH Perdata terdiri dari 3 bentuk, yaitu :

  a) Debitur dan kredditur mengadakan perjanjian baru, dengan mana perjanjian lama dihapuskan.

  b) Apabila terjadi penggantian debitur, dengan penggantian nama debitur lama dibebaskan dari perikatannya.

  41 Ibid, hal.177 c) Apabila terjadi penggantian kreditur, dengan mana kreditur lama dibebaskan dari perikatannya.

  Bentuk pertama dinamakan novasi objektif, bentuk kedua dinamakan novasi subjektif yang pasif, bentuk ketiga dinamakan novasi subjektif yang aktif.

  Berdasarkan ketentuan Pasal 1415 KUH Perdata tentang kesepakatan antara mereka yang mengadakan pembaharuan utang, Gunawan Widjaja mengatakan berarti suatu pembaharuan utang harus dengan tegas menyatakan bahwa utang lama atau perikatan lama yang ada diantara debitur dan kreditur menjadi hapus demi hukum, dan sebagai penggantinya dibuat dengan segala ketentuan dan syarat-syarat yang baru, yang berlaku

   bagi debitur dan kreditur dalam perikatan yang baru tersebut.

  4. Perjumpaan hutang/kompensasi (Pasal 1425-1435 KUH Perdata) Merupakan penghapusan masing-masing hutang dengan jalan saling memperhitungkan hutang yang sudah dapat ditagih secara timbal balik antara debitur dengan kreditur.

  Berdasarkan Pasal 1426 KUH Perdata kompensasi terjadi demi hukum. Pasal 1427 KUH Perdata menentukan syarat terjadinya kompensasi, yaitu:

  a) Kedua-kedua berpokok sejumlah uang.

  b) Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan (dalam arti diganti)

  c) Kedua-duanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.

42 Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Hapusnya Perikatan,PT RajaGrafindo Persada,Jakarta,2003,hal.81

  Undang-undang menjelaskan bahwa kompensasi terjadi demi hukum, akan tetapi apabila dibaca melalui ketentuan Pasal 1430, 1432, 1435 KUH Perdata, maka kompensasi tersebut menghendakinya adanya aktivitas dari pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengemukakan hutang masing-masing dan pelaksanaan dari perhitungan atau kompensasinya. Pelarangan dilakukannya kompensasi diatur di dalam Pasal 1429 KUH Perdata.

  5. Konfisio/pencampuran hutang (Pasal 1436-1437 KUH Perdata) Merupakan pencampuran kedudukan (kualitas) dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sebagai orang yang berutang (debitur) dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi satu dalam hal ini hapuslah perjanjian tersebut. Konfisio dapat terjadi berdasarkan : a)

  Alas hak hukum

  b) Alas hak khusus, misalnya jual beli atau legaat 6.

  Pembebasan utang (Pasal 1438-1443 KUH Perdata) Undang-undang tidak memberikan definisi apa yang disebutkqn dengan pembebasan utang. Namun, menurut Mariam Darus Badrulzaman pembebasan utang adalah pembuatan atau pernyataan kehendak dari kreditur untuk membebaskan debitur

  

  perikatan dan pernyataan kehendak tersebut diterima oleh debitur. Menurut Pasal 43 1439 KUH Perdata, pembebasan utang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus

  Mariam Darus Badrulzaman, 1996, Op.cit.,hal 187 dibuktikan. Misalnya, pengembalian sepucuk tanda piutang asli secara sukarela oleh kreditur, merupakan bukti tentang pembebasan hutangnya.

  7. Musnahnya barang yang terutang (Pasal 1444-1445 KUH Perdata) Perikatan hapus dengan musnahnya atau hilangnya barang tertentu yang menjadi pokok prestasi yang diwajibkan kepada debitur untuk menyerahkannya kepada debitur.

  8. Kebatalan dan pembatalan perjanjian (Pasal 1446-1456 KUH Perdata) Dalam Pasal 1446 KUH Perdata terdapat perkataan “batal demi hukum” yang dimana maksudnya adalah “dapat dibatalkan”. Undang-undang menentukan jangka waktu suatu tuntutan pembatalan itu harus diajukan yaitu, lima tahun, yang mulai berlaku :

  a) Dalam hal kebelumdewasaan, sejak hari kedewasaan.

  b) Dalam hal pengampuan sejak hari pencabutan pengampuan.

  c) Dalam hal paksaan sejak hari paksaan itu telah terhenti.

  d) Dalam hal kekhilafan atau penipuan sejak hari itu diketahuinya kekhilafan atau penipuan itu.

  e) Dalam hal kebatalan tersebut dalam Pasal 1341 KUH Perdata, sejak hari diketahuinya bahwa kesadaran yang diperlukan untuk pembatalan itu ada.

  9. Berlakunya syarat batal (Pasal 1265 KUH Perdata) Memiliki pengertian suatu syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perjanjian dan membawa segala sesuatu pada keadaan semula, yaitu seolah-olah tidak ada suatu perjanjian (Pasal 1253 dan 1266 KUH Perdata). Berlakunya syarat ini diatur dalam perikatan-perikatan bersyarat.

Dokumen yang terkait

Peranan Perencanaan Anggaran Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Pada Balai Wilayah Sungai Sumatera II

1 64 61

Tinjauan Hukum Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan/Konstruksi Antara Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Sumber Daya Air Dengan Perusahaan Rekanan ( Studi Di Balai Sumber Daya Air Sumatera II Propinsi Sumatera Utara)

1 67 98

Pelaksanaan Perjanjian Jasa Pemborongan Pekerjaan Penyediaan Air Baku Antara PT. Mitha Prana Chasea Dengan Balai Sumber Daya Air Sumatera II Propinsi Sumatera Utara

1 23 156

Pengendalian Internal Penerimaan Dan Pengeluaran Kas Pada Balai Wilayah Sungai Sumatera II Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat

2 57 68

Sistem Pengendalian Internal Penerimaan Dan Pengeluaran Kas Pada Balai Wilayah Sungai Sumatera II Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat

5 116 68

Prosedur Pelaksanaan Penerimaan dan Pengeluaran Dana di Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Sumber Daya Air Balai Besar Wilayah Sungai Citarum

0 12 41

Laporan Praktek kerja Lapangan Di Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sumber Daya Air (PUSAIR) Badan Penelitian an Pengembangan Kementrian Pekerjaan Umum Bandung

9 120 141

Laporan Praktek Kerja Lapangan Di Pusat Penelitian Dan pengembangan Sumber Daya Air (PUSAIR) Badan Penelitian Dan Pengembangan Kementrian Pekerjaan Umum Bandung

8 100 108

Peranan Aparatur Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sumber Daya Air (PUSLITBANG SDA) Kementrian Pekerjaan Umum Republik Indonesia Dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik Melalui Sistem Informasi Geografis Bidang Sumber Daya Air (SIGSDA) Di Kota Bandun

0 25 223

BAB II KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL SUMBER DAYA AIR PADA BALAI WILAYAH SUNGAI SUMATERA II 2.1 Sejarah Singkat Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Pada Balai Wilayah Sungai Sumatera II - Peranan Perencanaan Angg

0 2 31