Kearifan Lokal Masyarakat Suku Tengger D

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT SUKU TENGGER DALAM
PEMANFAATAN RUANG DAN UPAYA PEMELIHARAAN LINGKUNGAN
(Studi Kasus Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan)
Dianing Primanita Ayuninggar
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang,
neira.yumeko@gmail.com
Antariksa
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang,
mr.antariksa@gmail.com
Dian Kusuma Wardhani
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang,
dkwardhani@yahoo.com

ABSTRACT
Tenggerese community have uniqueness social cultural life pattern concerning
with societies’ positive behavior in its spatial using and adaptation to
environmentally around it. Tenggerese social cultural life pattern based on
cultural point, religi and local tradition then forms local wisdom points, such as
local wisdom in spatial using and environmental preserve effort. This research

works through about local wisdom implement in spatial using and environmental
preserve effort at Wonokitri Village to keep up the sustainability of Wonokitri
Village. Analysis method use descriptive-explorative analysis. Observational
result indicate local wisdoms points in the context of spatial using rules at
Wonokitri Village, that is spatial conception bases on custom region and
administration region, situating orientation of element forming residence, land
ownership system, and home adaptation to climate. Local wisdom in the context
of environmental preserve manages about season estimate to get cultivation,
traditional technological system in farm management, breeding management
system, forest and water resourches management and protection system, along
with traditions in environmental preserve that exists at Wonokitri's Village. With
the presence of local wisdom points that still relevant interpretted in social
cultural life pattern is expected to support environmental preserve effort at
Wonokitri Village.
Keywords: local wisdom, spatial using, environmental preserve effort, home
adaptation to climate, traditional technological system

ABSTRAK
Masyarakat Suku Tengger memiliki keunikan pola kehidupan sosial budaya
terkait dengan perilaku positif masyarakatnya dalam tindakan pemanfaatan


CP. 84

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

ruang dan adaptasi terhadap lingkungan di sekitarnya. Pola kehidupan sosial
budaya masyarakat Suku Tengger bersumber dari nilai budaya, religi dan adatistiadat setempat yang kemudian membentuk nilai-nilai kearifan lokal, salah
satunya

adalah

kearifan

lokal

dalam

pemanfaatan

ruang


dan

upaya

pemeliharaan lingkungan. Penelitian ini membahas tentang penerapan kearifan
lokal dalam pemanfaatan ruang dan upaya pemeliharaan lingkungan di Desa
Wonokitri untuk melestarikan dan menjaga keberlanjutan Desa Wonokitri.
Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif eksploratif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat nilai-nilai kearifan lokal dalam konteks
ketentuan pemanfaatan ruang di Desa Wonokitri, yakni konsepsi ruang
berdasarkan wilayah adat dan wilayah administrasi, orientasi peletakan elemenelemen pembentuk permukiman, sistem penguasaan dan kepemilikan tanah,
serta adaptasi tempat tinggal terhadap iklim. Kearifan lokal dalam konteks
pemeliharaan lingkungan mengatur tentang perkiraan musim untuk bercocok
tanam, sistem teknologi tradisional dalam pengelolaan ladang/tegalan, sistem
pemeliharaan hewan ternak sistem pengelolaan dan perlindungan hutan,
sumber-sumber air, serta tradisi-tradisi dalam pemeliharaan lingkungan yang
terdapat di Desa Wonokitri. Dengan adanya penggalian nilai-nilai kearifan lokal
yang masih relevan yang diinterpretasikan dalam pola kehidupan sosial budaya
masyarakat tersebut diharapkan dapat mendukung upaya pemeliharaan dan

pelestarian lingkungan Desa Wonokitri.
Kata Kunci: kearifan lokal, pemanfaatan ruang, pemeliharaan lingkungan,
adaptasi tempat tinggal terhadap iklim, sitem teknologi
tradisional

1.
1.1.

PENDAHULUAN
Latar belakang

Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom adalah semua bentuk pengetahuan,
keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun
perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis (Keraf, 2002). Gobyah
(2003) menyatakan bahwa kearifan lokal didefinisikan sebagai kebenaran yang telah
mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Dengan demikian kearifan lokal (local wisdom)
pada suatu masyarakat dapat dipahami sebagai nilai yang dianggap baik dan benar yang
berlangsung secara turun-temurun dan dilaksanakan oleh masyarakat yang bersangkutan
sebagai akibat dari adanya interaksi antara manusia dengan lingkungannya.
Bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika,

kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Berkaitan dengan hal
tersebut Ernawi (2009) menjelaskan bahwa secara substansi kearifan lokal dapat berupa

CP. 85

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

aturan mengenai: 1) kelembagaan dan sanksi sosial, 2) ketentuan tentang pemanfaatan
ruang dan perkiraan musim untuk bercocok tanam, 3) pelestarian dan perlindungan terhadap
kawasan sensitif, serta 4) bentuk adaptasi dan mitigasi tempat tinggal terhadap iklim,
bencana atau ancaman lainnya.
Desa Wonokitri adalah salah satu desa di Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan yang
terletak di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) dan merupakan desa
sebagai tempat tinggal komunitas Suku Tengger. Berdasarkan Rencana Induk Pengelolaan
Pariwisata Daerah (RIPPDA) Kabupaten Pasuruan Tahun 2004-2014, Desa Wonokitri
diarahkan sebagai Desa Wisata Budaya dengan obyek wisata budaya potensial berupa
budaya, pola kehidupan sosial budaya masyarakat, serta adat-istiadat Suku Tengger.
Terdapat keunikan pada pola kehidupan sosial budaya masyarakat Suku Tengger Desa
Wonokitri terkait dengan perilaku positif masyarakatnya dalam tindakan pemanfaatan ruang
dan adaptasi terhadap lingkungan di sekitarnya.

Pola kehidupan sosial budaya masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri bersumber dari
nilai budaya, religi dan adat-istiadat setempat yang merupakan bentuk nilai-nilai kearifan
lokal, salah satunya adalah kearifan lokal dalam pemanfaatan ruang dan upaya pemeliharaan
lingkungan. Dengan adanya kearifan lokal yang masih relevan diaplikasikan untuk
melestarikan dan menjaga keberlanjutan Desa Wonokitri menjadikan Desa Wonokitri menarik
untuk ditelaah lebih lanjut. Bertolak dari alasan tersebut maka disusun penelitian yang
berjudul “Kearifan Lokal Masyarakat Suku Tengger dalam Pemanfaatan Ruang dan Upaya
Pemeliharaan Lingkungan (Studi Kasus Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Kabupaten
Pasuruan) ”.

1.2. Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik kearifan lokal masyarakat Suku
Tengger Desa Wonokitri dalam pemanfaatan ruang dan upaya pemeliharaan lingkungan.

2.

METODOLOGI PENELITIAN

Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif dengan metode analisis deskriptif eksploratif.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini melalui observasi dan

wawancara (interview) serta melakukan survei instansional berupa pengumpulan data
sekunder yang terkait dengan wilayah studi. Pengambilan sampel pada penelitian ini adalah
menggunakan teknik sampling non random yakni teknik sampling bertujuan (purposive
sampling). Teknik ini digunakan karena anggota sampel yang dipilih secara khusus
didasarkan pada tujuan penelitian. Untuk sampel bangunan tempat tinggal dilakukan dengan
menentukan terlebih dahulu kriteria tempat tinggal yang akan dipilih. Penentuan kriteria
tempat tinggal yang akan dijadikan sebagai sampel pada wilayah studi adalah:

CP. 86

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

1.

Bangunan difungsikan sebagai tempat tinggal;

2.

Bangunan memiliki ciri rumah Tengger, yaitu dinding rumah terbuat dari
perpaduan papan-papan atau batang kayu dan setengah tembok yang terbuat

dari bata, mempunyai atap limasan dan teritisan, lantai masih berupa tanah yang
dipadatkan; dan

3.

Diupayakan dapat mewakili kriteria-kriteria bangunan tempat tinggal yang
mempunyai kemampuan beradaptasi dengan iklim.

Sampel masyarakat terdiri dari

narasumber kunci (pemerintah desa, pemuka adat,

tokoh masyarakat), serta narasumber-narasumber terkait yang merupakan rekomendasi dari
narasumber kunci yang telah ditentukan terlebih dahulu.

3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Sistem nilai dan tata kelola (kelembagaan) Suku Tengger Desa Wonokitri sebagai

kearifan lokal
3.1.1. Sistem nilai
Menurut Ernawi (2009), sistem nilai merupakan tata nilai yang dikembangkan oleh suatu
komunitas masyarakat tradisional yang mengatur tentang etika penilaian baik-buruk serta
benar atau salah. Sebagai contoh, di Bali, terdapat sistem nilai Tri Hita Karana yang
mengaitkan dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat dalam hubungannya dengan Tuhan,
alam semesta, dan manusia. Ketentuan tersebut mengatur hal-hal adat yang harus ditaati,
mengenai mana yang baik atau buruk, mana yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh
dilakukan, yang jika hal tersebut dilanggar, maka akan ada sanksi adat yang mengaturnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, perilaku dan tindakan masyarakat Suku Tengger Desa
Wonokitri diatur oleh ketentuan adat berupa aturan-aturan adat dan hukum adat yang
berfungsi sebagai sistem pengendalian sosial dalam masyarakat. Hal ini seperti yang
diungkapkan Salvina (2003:91-92) bahwa ada sebuah sistem pengendalian sosial yang
disepakati dan dijaga kelestariannya oleh masyarakat Tengger, yaitu adanya hukum adat
untuk mencegah timbulnya ketegangan sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Aturan-aturan adat yang harus ditaati masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri antara
lain:
4.

Tidak boleh menyakiti atau membunuh binatang (kecuali untuk korban dan

dimakan);

5.

Tidak boleh mencuri;

6.

Tidak boleh melakukan perbuatan jahat;

7.

Tidak boleh berdusta; dan

8.

Tidak boleh minum minuman yang memabukkan.

CP. 87


Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

Fungsi hukum adat sebagai sistem pengendalian sosial dalam masyarakat adalah:
1.

Memberikan keyakinan pada anggota masyarakat tentang kebaikan adat-istiadat
Tengger yang berlaku;

2.

Memberi ganjaran pada anggota masyarakat yang tidak pernah melakukan
kejahatan;

3.

Mengembangkan rasa malu; dan

4.

Mengembangkan rasa takut dalam jiwa anggota masyarakat yang hendak
menyimpang dari ketentuan adat.

Pada kehidupan masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri terdapat konsep yang
menjadi landasan sikap hidup masyarakat yaitu konsep anteng-seger (Tengger) yang berarti
damai dan makmur. Selain itu, juga terdapat konsep yang mendasari hubungan tiga arah
yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan
manusia dengan lingkungan alam (tryadic relationship) berdasarkan hasil penelitian Sukari,
dkk, (2004:47-51) sebagai berikut:
1.

Konsep Tri Sandya, konsep karma pahala, dan hukum tumimbal lahir mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan. Konsep Tri Sandya diaplikasikan dengan
melakukan sembahyang tiga kali sehari (pagi, sore, malam). Konsep karma
pahala menyatakan bahwa hidup atau nasib manusia tergantung dari pahalanya,
sedangkan

hukum tumimbal lahir adalah hukum hidup yang harus dipatuhi,

berbunyi ”Sapa nandur kebecikan bakal ngundhuh kabecikan. Sapa nandur
barang ora becik bakal ngundhuh kacilaka”.
2.

Sikap hidup sesanti panca setia, guyub rukun, sanjan-sinanjan (saling
mengunjungi), sayan (gotong royong, saling bantu membantu) yang didasari
semboyan “sepi ing pamrih, rame ing gawe”, dan genten kuat (saling tolong
menolong) merupakan dasar ketentuan yang mengatur hubungan manusia
dengan manusia.

3.

Sikap hidup yang menganggap lingkungan alam (air,tanah,hutan,tegalan)
sebagai sumbere panguripan mengatur hubungan manusia dengan lingkungan
alam. Selain itu masih terdapat kepercayaan bahwa tanah atau pekarangan
“angker” sehingga muncul sikap tidak boleh sembarangan menebang pohon,
kecuali kalau pohon itu mengganggu lingkungan. Hubungan manusia dengan
alam diwujudkan dalam suatu slogan yang berbunyi “tebang satu tanam dua”,
artinya jika masyarakat menebang satu pohon, maka dia harus menanam
minimal dua pohon yang jenisnya sama.

3.1.2. Tata kelola (kelembagaan)
Tata kelola (kelembagaan) pada suatu masyarakat merupakan salah satu bentuk kearifan
lokal, berperan sebagai sistem kemasyarakatan yang mengatur struktur hirarki sosial dan

CP. 88

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

kelompok masyarakat. Tata kelola (kelembagaan) pada suatu masyarakat tertentu dapat
berupa organisasi adat yang terdiri dari beberapa kelompok adat. Demikian halnya yang
terdapat pada Suku Tengger Desa Wonokitri, dimana terdapat organisasi adat yang bertugas
mengelola kehidupan masyarakat yaitu lembaga pemuka agama dan lembaga dukun adat.
Dalam konsep Hindu Tengger terdapat adanya pengelompokan antara sistem religi yang
bersumber dari ajaran keTuhanan berdasarkan agama Hindu dengan sistem adat yang
bersumber dari kepercayaan dan tradisi yang turun temurun dari nenek moyang Suku
Tengger. Namun demikian dalam tahap pelaksanaannya dilakukan asimilasi ajaran agama
Hindu dengan ajaran adat-istiadat/kepercayaan Suku Tengger. Hal ini tercermin dari selain
melakukan aktivitas-aktivitas keagamaan berdasarkan ajaran agama Hindu, masyarakat
Suku Tengger Desa Wonokitri juga secara patuh melaksanakan berbagai upacara adat.
Adanya pengelompokan kegiatan religi dan adat berpengaruh terhadap pembagian
tugas dan fungsi dari masing-masing lembaga pemuka agama dan lembaga dukun adat,
sebagai berikut:

A.

Lembaga pemuka agama

Lembaga pemuka agama merupakan lembaga agama yang mewadahi ketua dan pengurus
kegiatan keagamaan di Desa Wonokitri. Struktur kepengurusan Lembaga Pemuka Agama
terdiri dari:
1.

Mangku Gedhe, ketua agama yang bertugas mengurusi dan memimpin
pelaksanaan upacara-upacara keagamaan atau mengurusi urusan-urusan yang
berkaitan dengan keagamaan di Desa Wonokitri;

2.

Mangku Gelar; dan

3.

Mangku Alit.

Area yang disucikan dan menjadi wilayah tanggung jawab dari para Mangku adalah
Pura Dhang Kahyangan Kerti Jaya Buana Dusun Wonokitri, Desa Wonokitri yang merupakan
tempat ibadah umat Hindu Desa Wonokitri.

B.

Lembaga dukun adat

Lembaga dukun adat berfungsi sebagai lembaga adat yang mewadahi ketua dan pengurus
adat. Struktur kepengurusan lembaga dukun adat terdiri dari:
1.

Dukun Adat, ketua adat yang mengurusi upacara adat di Desa Wonokitri;

2.

Legen, bertugas untuk membuat sesajian dan mendoakan sesajian pada saat
upacara adat;

3.

Sanggar; dan

4.

Sepuh.

CP. 89

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

Dukun, Legen, Sanggar dan Sepuh bertanggungjawab atas padhanyangan (dhanyang)
yang merupakan area yang disucikan secara adat. Selain itu peran seorang dukun adat
adalah mengawasi pelaksanaan aturan-aturan adat dan hukum adat.
Hal unik yang terdapat dalam pranata kehidupan kemasyarakatan masyarakat Suku
Tengger selain pembagian tugas dan fungsi antara lembaga pemuka agama dan lembaga
dukun adat yaitu adanya konsepsi ruang yang membagi wilayah menjadi wilayah administrasi
dan wilayah adat. Seperti desa lain pada umumnya, wilayah administrasi Desa Wonokitri
dikepalai oleh seorang kepala desa, namun yang membedakan dengan desa kebanyakan
adalah dukun/tetua adat yang berperan penting dalam memimpin wilayah adat sebagai
seorang kepala adat.
Masyarakat Suku Tengger yang terbagi dalam dua wilayah adat yakni sabrang kulon
(diwakili oleh Desa Tosari, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan) dan sabrang wetan
(diwakili oleh Desa Ngadisari, Wanantara, Jetak, Kecamatan Sukapura, Kabupaten
Probolinggo) terdiri atas kelompok-kelompok desa yang masing-masing dipimpin oleh kepala
adat. Sehingga yang menjadi batas wilayah kerja dukun adat adalah wilayah adat dan umat
masyarakat yang terdapat di desa tempat ia menjabat sebagai dukun adat. Di masing-masing
kabupaten terdapat dukun koordinator wilayah yang bertugas mengkoordinir dukun adat di
wilayahnya.
Dukun adat yang berada di masing-masing wilayah desa komunitas Suku Tengger
umumnya dihormati dan sangat dipercaya karena peranannya yang sangat berpengaruh
dalam kehidupan masyarakat Suku Tengger. Secara struktural dukun adat dalam kehidupan
Masyarakat Suku Tengger tergolong sebagai orang-orang terpandang yang menjadi tokoh
panutan masyarakat dan lebih dihormati dibanding lembaga aparatur desa.
Sebagai seorang kepala adat, dukun adat memiliki fungsi spiritual dan fungsi sosial.
Fungsi spiritual dukun adat yaitu memimpin upacara adat. Sedangkan fungsi sosialnya
adalah sebagai mediator antara masyarakat dan urusan yang berhubungan dengan
pemerintahan. Selain itu, dukun adat juga memiliki kewenangan tertentu dalam pengambilan
keputusan, aturan, sanksi, atau denda sosial bagi pelanggar peraturan dan hukum adat.
Sebagai contoh kewenangan dukun adat dalam pengambilan keputusan adalah pada waktu
terjadi bencana, dukun adat berhak menentukan kapan masyarakatnya harus mengungsi
atau tetap mendiami desa.

3.2. Kearifan lokal dalam pemanfaatan ruang di Desa Wonokitri
Luas keseluruhan wilayah Desa Wonokitri adalah 1.120,98 Ha dengan pola penggunaan
lahan yang terdiri dari tanah tegal/pertanian (887,600 Ha), hutan (217,880 Ha),
permukiman/perumahan penduduk (14 Ha), dan makam (1,5 Ha).

CP. 90

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

Gambar 3.1 Peta penggunaan lahan Desa Wonokitri tahun 2010

Desa Wonokitri berada di gugusan Pegunungan Tengger dengan topografi bentang
alam datar sampai berombak (20%), berombak sampai berbukit (40%) dan berbukit hingga
bergunung (40%) dengan ketinggian antara 1700-2200 m2 dpl. Wilayahnya sebagian besar
berupa lereng dengan kemiringan yang curam berkisar antara 45° hingga hampir mencapai
90° (>50%) (Sumber: Profil Desa Wonokitri Tahun 2009). Daerah-daerah lereng ini menjadi
lahan pertanian (tegal) yang berfungsi sebagai sumber penghidupan masyarakat.

Gambar 3.2 Transek Desa Wonokitri potongan Utara-Selatan

Dalam mengkaji kearifan lokal dalam pemanfaatan ruang di Desa Wonokitri akan
diuraikan berdasarkan konteks ketentuan pemanfaatan ruang yang terdapat di Desa
Wonokitri meliputi aturan-aturan mengenai: konsepsi ruang berdasarkan wilayah adat dan
wilayah administrasi, orientasi peletakan elemen-elemen pembentuk permukiman, sistem
penguasaan dan kepemilikan tanah, serta adaptasi tempat tinggal terhadap iklim.

CP. 91

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

3.2.1. Konsepsi ruang berdasarkan wilayah adat dan wilayah administrasi
Konsepsi ruang berdasarkan wilayah adat dan wilayah administrasi dapat dijelaskan melalui
dua aspek, yaitu batas wilayah berdasarkan penanda fisik dan penanda non fisik. Batas
wilayah administrasi berdasarkan penanda fisik dapat dinyatakan secara jelas, misalnya jalan
dan sungai. Demikian halnya dengan penanda fisik pada batas wilayah adat yang berupa
lokasi atau bangunan yang bersifat ritual seperti pura, padhanyangan (dhanyang), dan
makam dengan orientasi Gunung Bromo yang berfungsi sebagai pusat aktivitas ritualnya
(pancer).
Penanda non fisik pada batas wilayah adat dapat diamati dari setting perilaku (behaviour
setting) masyarakatnya, misalnya masih mengikuti kepercayaan, hukum, aturan adat,
bahasa, sifat dan sikap hidup Suku Tengger. Terkait dengan hal tersebut, Pangarsa, et.al,
(1992) mengungkapkan bahwa ruang dalam tradisi arsitektur Tengger dapat dijelaskan
melalui konsepsi batas ruang, pada skala ruang makro (wilayah, desa dan lingkungan)
hingga skala ruang mikro (rumah tinggal). Dalam skala wilayah, ada dua konsepsi ruang yang
terjadi: wilayah adat dan wilayah administrasi. Batas wilayah adat tidak setegas wilayah
administrasi desa, dan kedua batas ini tidak selalu berimpitan. Konsepsi Tengger Ngare,
yang ditengarai melalui melalui wilayah pegunungan dialek lokal maupun wilayah kerja dukun
merupakan indikasi batas wilayah adat (Gambar 3.3).

Gambar 3.3 Konsep batas wilayah adat Suku Tengger
Sumber: Pangarsa, dkk, (1993)

Berdasarkan sketsa konsep batas wilayah adat yang dijelaskan oleh Pangarsa, dkk,
(1993) tersebut dapat diidentifikasi penanda fisik pada batas wilayah adat di Desa Wonokitri
(Gambar 3.4)

CP. 92

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

Makam sebagai penanda
fisik batas wilayah adat.
Pura sebagai penanda fisik
batas wilayah adat.
Padhanyangan
(dhanyang)
sebagai penanda fisik batas
wilayah adat.

Arah ke

Poros suci yang menjadi
penghubung makam dan
padhanyangan
(danyang)
dengan Gunung Bromo.

Gunung
Bromo

Wilayah
Wonokitri.

adat

Desa

Gambar 3.4 Batas wilayah adat Suku Tengger

3.2.2. Orientasi peletakan elemen-elemen pembentuk permukiman
Shiwa (Dewa perusak dan penghancur)
Dilambangkan dengan warna hitam
yang bermakna kegelapan.
UTARA

Dilambangkan dengan
warna putih yang
TIMUR
bermakna tempat
munculnya matahari.

Dilambangkan dengan
warna kuning yang BARAT
bermakna keberanian.

SELATAN
Brahma (pencipta dari alam semesta)
Dilambangkan dengan warna merah (merupakan
penggambaran warna wajah Brahma) yang bermakna api.
Selatan merupakan arah Gunung Bromo, dalam kepercayaan
Suku Tengger Brahma=Bromo dan Gunung Bromo adalah
tempat tinggal para dewa.
Gambar 3.5 Konsep arah dan pemaknaannya pada masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri

Pengidentifikasian nilai kearifan lokal pada permukiman dapat dilihat dari aturan/ketentuan
adat tertentu yang mengatur tentang orientasi peletakan elemen-elemen pembentuk
permukiman. Konsep arah yang berkembang dan menjadi kepercayaan turun-temurun
masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri mempunyai makna filosofis dan dilambangkan

CP. 93

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

oleh unsur warna tertentu. Makna yang terkandung dalam konsep arah ini kemudian
diinterpretasikan dalam ritual upacara Pujan Mubeng (Nrundhung) yang bertujuan memohon
keselamatan desa dan membersihkan desa dari gangguan dan bencana. Bentuk penerapan
makna filosofis yang terdapat pada konsep arah tersebut berdasarkan adat dan kepercayaan
masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri adalah berupa sesajen jadah aneka warna
(merah, putih, kuning, hitam) yang mempunyai makna filosofis melambangkan empat penjuru
desa.
Di Desa Wonokitri terdapat pengaplikasian suatu aturan adat yang menjadi landasan
konsep arah dalam peletakan elemen-elemen pembentuk permukiman, antara lain:
1.

Makam di Desa Wonokitri terdiri dari makam keramat dan makam biasa.
Ketentuan peletakan makam keramat adalah di sebelah Utara desa dan jauh
dari lokasi permukiman penduduk. Kepercayaan yang diyakini masyarakat Suku
Tengger Desa Wonokitri terkait peletakan makam adalah sebaiknya di luar areal
permukiman dan ditempatkan di sebelah Utara. Sejak dulu hingga sekarang
lokasi makam keramat tetap ada di tempat yang sama dengan luasan lahan
yang tidak boleh bertambah ataupun berkurang. Sampai kapanpun makam
keramat harus tetap berada di tempat tersebut dengan luasan yang tetap.

2.

Pura sebagai tempat ibadah diletakkan di tempat yang disakralkan di tengahtengah permukiman, yaitu tempat dimana terdapat paling banyak sanggar
pamujan di sekitarnya. Letak Pura Dhang Kahyangan Kerti Jaya Buana di Desa
Wonokitri adalah di sebelah Timur Laut permukiman penduduk. Makna filosofis
yang terkandung dari ketentuan peletakan pura di sebelah Timur adalah karena
menghadap ke arah matahari. Sebagai tempat yang disakralkan, pura diletakkan
pada kontur lahan yang paling tinggi.

3.

Padhanyangan (dhanyang) merupakan tempat yang dikeramatkan oleh
masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri. Letak padhanyangan (dhanyang)
adalah di sebelah Selatan desa dan berada pada satu orientasi dengan makam
keramat (mengarah ke Gunung Bromo).

4.

Bangunan tempat tinggal (mikro) terbagi menjadi beberapa ruang yaitu sanggar
pamujan (tempat pemujaan), patamon (ruang tamu), paturon (kamar tidur),
pagenen (dapur), pedaringan (ruang penyimpanan), pakiwan (kamar mandi),
dan pekayon (tempat untuk menyimpan kayu). Ketentuan peletakan masingmasing ruang adalah: a) sanggar pamujan diletakkan di depan rumah, harus
menghadap ke Timur atau Selatan, tidak boleh menghadap barat dan Utara, b)
patamon diletakkan di bagian depan rumah, c) paturon harus berada di sebelah
kanan arah pelawangan (pintu), d) pagenen dan pedaringan diletakkan di
belakang patamon dan dapat digabungkan, e) peletakan pakiwan harus di
bagian belakang rumah, f) pekayon merupakan ruang tambahan, diletakkan di
bagian belakang rumah (Gambar 3.7). Selain itu juga ada ketentuan adat yang

CP. 94

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

menyatakan bahwa anak yang sudah berkeluarga tidak boleh membangun
rumah di sebelah kanan rumah orang tuanya.
5.

Ladang/tegalan yang digunakan untuk pertanian terletak di sebelah Selatan,
Utara, dan Timur desa.

6.

Gunung Bromo yang terletak di sebelah Selatan diyakini sebagai poros (pancer)
aktivitas spiritual seluruh masyarakat Suku Tengger. Terdapat poros suci yang
mengarah ke Gunung Bromo (Selatan) yang menghubungkan antara makam
keramat dan padhanyangan (dhanyang).

Mengenai konsep Gunung Bromo yang terletak di sebelah Selatan sebagai poros
aktivitas spiritual seluruh masyarakat Suku Tengger telah dinyatakan oleh Hefner (1985:6569) yang menyebutkan bahwa di Tengger, dugaan dari orientasi Selatan diikuti atas dasar
satu kepercayaan yang menyatakan bahwa Selatan diidentifikasi sebagai singgasana dari
Bromo atau Dewa Brahma. Hal ini dapat dilihat tidak hanya pada posisi pemakaman, berdoa,
pengucapan mantra yang menghadap arah selatan, atau di orientasi dari pintu (pintu utama
atau pelawangan), tapi juga di orientasi dari tempat-tempat suci.

Makam keramat
terletak di sebelah
Utara dan di luar
areal permukiman.
Makam
keramat
harus tetap berada di
tempat
tersebut
dengan luasan yang
tetap.
Ladang/tegalan yang
digunakan
untuk
pertanian terletak di
sebelah
Selatan,
Letak
Utara, dan Timur
padhanyangan
desa.
(dhanyang)
di
sebelah
Selatan
desa dan berada
pada satu orientasi
dengan
makam
keramat (mengarah
ke Gunung Bromo).

Pura diletakkan di kontur lahan
paling tinggi di sebelah Timur
(menghadap ke arah matahari)
dan di tempat dimana terdapat
paling banyak sanggar pamujan.

Arah ke

Gunung
Bromo

CP. 95

Poros suci yang mengarah
ke
Gunung
Bromo,
merupakan orientasi yang
menghubungkan
makam
keramat
dengan
padhanyangan (dhanyang).

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

Gambar 3.6 Sketsa
peletakan elemen-

situasi orientasi
elemen pembentuk
permukiman di Desa Wonokitri

Peka
yon

Paki
wan

Pedaringan

Pagenen

Patamon

Patu
ron

U

Peka
rangan

Patu
ron
Sanggar
pamujan

Pelawangan
utama

Gambar 3.7 Pola tata ruang bangunan tempat tinggal (mikro) Suku Tengger Desa Wonokitri

3.2.3.

Sistem penguasaan dan kepemilikan tanah

Berdasarkan hasil penelitian Sukari, dkk, (2004:63), sikap hidup Suku Tengger yang penting
adalah tata tentrem (tidak banyak resiko), ojo jowal-jawil (jangan suka mengganggu orang
lain), kerja keras dan tetap mempertahankan tanah milik secara turun-temurun. Sistem
penguasaan dan kepemilikan tanah yang berlaku pada masyarakat Suku Tengger Desa
Wonokitri mengikuti ketentuan adat Tengger. Seperti pada masyarakat Suku Tengger
lainnya, sistem penguasaan dan kepemilikan tanah diatur oleh aturan adat yang menyatakan

CP. 96

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

larangan atau pantangan terhadap penjualan tanah di luar masyarakat Suku Tengger.
Apapun alasannya penjualan tanah atau tanah warisan hanya boleh dilakukan antar sesama
masyarakat Suku Tengger, biasanya penjualan tanah atau tanah warisan diutamakan ke
keluarga dekat.
Tanah yang dimiliki oleh masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri umumnya diperoleh
dari hasil warisan orang tuanya. Sistem pembagian tanah warisan juga masih dipertahankan
sejak saat ini dengan ketentuan pembagian yang sama rata antara anak laki-laki maupun
perempuan. Aturan adat dalam pembagian tanah warisan ini mengatur dua kondisi, yaitu
pembagian tanah warisan saat orang tua masih hidup dengan pembagian tanah warisan
setelah orang tua meninggal. Sistem pembagian tanah warisan saat orang tua masih hidup,
misalnya memiliki 3 orang anak, orang tua terlebih dahulu mengambil 1/3 bagian dari luasan
tanahnya. Lalu sisanya sebesar 2/3 bagian dibagi sama rata ke dua orang anaknya. Apabila
orang tua tidak mampu lagi bekerja menggarap ladang/tegalannya maka orang tua tersebut
ikut ke salah satu anaknya, kemudian setelah meninggal hak waris atas tanah jatah orang tua
sebesar 1/3 bagian tersebut akan diberikan kepada anak yang serumah atau yang
mengurusnya.

3.2.4.

Adaptasi tempat tinggal terhadap iklim

Salah satu bentuk penerapan nilai kearifan lokal adalah adaptasi tempat tinggal terhadap
iklim. Kontruksi rumah tradisional Suku Tengger Desa Wonokitri mempunyai kemampuan
dalam beradaptasi terhadap iklim setempat. Karena adanya faktor adaptasi terhadap iklim
tersebut

mengakibatkan

adanya

beberapa

perubahan

dan

perkembangan

dalam

penggunaan bahan material bangunan pada rumah tradisional masyarakat Suku Tengger
Desa Wonokitri dari waktu ke waktu.
Tampilan bangunan rumah tradisional Suku Tengger Desa Wonokitri dapat dijelaskan
berdasarkan tampilan muka bangunan (facade) dan bagian-bagian perlengkapan bangunan
yang meliputi atap, dinding, tiang, pintu, jendela. Kondisi eksisting tampilan bangunan rumah
tradisional Suku Tengger Desa Wonokitri adalah sebagai berikut (Gambar 3.8):
1.

Atap, berbentuk limasan menyerupai limas tegak segitiga dengan sisi kemiringan
±45°, terbuat dari seng;

2.

Dinding, berupa tembok atau setengah tembok, tembok terbuat dari bata
sedangkan yang dimaksud setengah tembok adalah perpaduan antara tembok
dengan papan kayu;

3.

Pintu, terbuat dari kayu; dan

4.

Jendela, terbuat dari kusen kayu dan kaca.

CP. 97

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

Gambar 3.8 Tampilan bangunan rumah tradisional Suku Tengger Desa Wonokitri

Atap berbentuk limasan dengan sisi
kemiringan ±45° dan terbuat dari seng

Ornamen dari kayu
pada atap

Ketinggian
bangunan
±7m

Dinding bagian atas
terbuat dari papan
kayu

Dinding
setengah
tembok dari bata
dengan ketinggian
±1m

Tembok dari
bata

Gambar 3.9 Tampilan bangunan rumah tradisional Suku Tengger Desa Wonokitri

Karakteristik bentuk adaptasi rumah tradisional Suku Tengger Desa Wonokitri terhadap
iklim setempat dapat dijelaskan berdasarkan fungsi beberapa komponen yang terdapat pada
konstruksi bangunan tempat tinggal maupun lingkungan di sekitarnya. Kondisi iklim di Desa
Wonokitri termasuk iklim tropis dengan suhu udara harian rata-rata antara 16°-23°C.

CP. 98

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

Tabel 3.1 Perubahan dan Perkembangan Penggunaan Bahan Untuk Atap
Pada Rumah Tradisional Suku Tengger Desa Wonokitri
Komponen

Gambar

Analisis

Kondisi eksisting lingkungan di sekitar
bangunan tempat tinggal yang hijau dan
ditanami tanaman pekarangan berfungsi
untuk meminimalkan aliran angin.

Lingkungan di sekitar
bangunan

Atap berbentuk limasan dengan dengan sisi
kemiringan atap cukup besar yaitu ±45°.
Bahan material yang digunakan terbuat dari
seng. Atap dengan sudut atap yang cukup
besar dan terbuat dari material seng dapat
menghangatkan suhu dalam rumah di
malam hari.

Kemiringan dan
material atap

Rumah tradisional Suku Tengger Desa
Wonokitri umumnya memiliki teritisan besar
yang berfungsi mengurangi suhu panas di
siang hari dan meningkatkan kenyamanan.
Teritisan dapat melindungi sinar matahari
(yang membawa panas), sehingga panas
matahari tidak langsung mengenai dinding
bangunan.

Teritisan

Bukaan/ventilasi berupa pintu dan jendela
relatif banyak dan cukup lebar yang
memungkinkan sirkulasi udara dan cahaya
matahari dapat mengalir masuk ke dalam
rumah secara alami. Sinar matahari pada
siang hari dapat masuk melalui celah-celah
ventilasi
yang
ada
pada
dinding
papan/kayu.

Bukaan/ventilasi
pada dinding, pintu
dan jendela

CP. 99

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

Komponen

Gambar

Analisis

Bahan material
dinding dan jendela

b.
a.

a. Bahan material dinding terbuat dari
setengah tembok setinggi ±1 meter dari
dasar, kemudian atasnya bermaterial
kayu. Pemilihan bahan material berupa
kayu yang digunakan untuk dinding
dapat menghangatkan suhu di dalam
rumah ketika malah hari. Bahan padat
seperti bata dan kayu dapat bekerja
dengan baik dalam menyimpan energi
panas jika terkena sinar matahari.
b. Bahan material jendela terbuat dari
perpaduan antara kusen kayu dengan
kaca. Kaca merupakan bahan yang
dirancang sebagai penghantar cahaya.
Penggunaan kaca pada jendela dengan
ukuran yang lebar dapat mengumpulkan
energi sinar matahari cukup banyak
sehingga menghangatkan suhu di dalam
rumah.

Perubahan dalam penggunaan bahan untuk atap pada rumah tradisional Suku Tengger
Desa Wonokitri disebabkan oleh faktor adaptasi terhadap iklim setempat. Pada sekitar tahun
1950-an atap menggunakan bahan dari seng, tapi kemudian pada tahun 1970-an diganti
dengan menggunakan genteng. Namun ternyata rumah yang atapnya menggunakan genteng
justru menyebabkan suhu di dalam rumah menjadi semakin dingin. Oleh karena itu, sejak
tahun 1980-an atap pada rumah tradisional Suku Tengger Desa Wonokitri diganti lagi dengan
menggunakan bahan dari seng yang ternyata lebih sesuai jika diaplikasikan untuk daerah
yang beriklim dingin seperti di Desa Wonokitri. Dari adanya perubahan dalam penggunaan
bahan untuk atap tersebut dapat didentifikasi bentuk nilai kearifan lokal yaitu melalui proses
mencoba-coba (trial and error) kemudian didapatkan hasil paling sesuai dan adaptif jika
diterapkan.
Penggunaan seng sebagai bahan atap pada rumah tradisional Suku Tengger Desa
Wonokitri secara umum masih diaplikasikan hingga sekarang, namun berdasarkan kondisi
eksisting juga terdapat beberapa rumah di Desa Wonokitri yang atapnya menggunakan
genteng.
Tabel 3.2 Perubahan dan Perkembangan Penggunaan Bahan Untuk Atap
Pada Rumah Tradisional Suku Tengger Desa Wonokitri
Tahun
Sebelum Tahun
1945-an

Jenis Atap

Bahan Atap

Limasan

Alang-alang yang disusun
pada batang-batang

Tahun 19451950

Limasan

Klakah (bambu)

Tahun 1950-an

Limasan

Seng

Tahun 1970-an

Limasan

Genteng

Tahun 1980-ansekarang

Limasan

Seng

CP. 100

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

3.3. Kearifan lokal dalam upaya pemeliharaan lingkungan
3.3.1.

Perkiraan musim untuk bercocok tanam

Musim merupakan salah satu hal yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat
Suku Tengger Desa Wonokitri, khususnya terkait dengan keberlangsungan sektor pertanian
di wilayah tersebut. Sistem perhitungan perkiraan musim (pranoto mongso) pada masyarakat
Desa Wonokitri didasarkan pada sistem kalender Suku Tengger yang membagi musim
(mangsa) menjadi 12 mangsa, yaitu: 1) kasa, 2) karo, 3) ketiga, 4) kapat, 5) kelimo, 6)
kanem, 7) kepitu, 8) kewolu, 9) kesanga, 10) kesepuluh, 11) dhesta, 12) kesada. Dari ke-12
mangsa tersebut kemudian dikelompokkan lagi menjadi 4 yaitu mareng, ketigo, rendheng,
dan labuh.
Sistem kalender musim memperlihatkan pola kecenderungan kehidupan masyarakat
Suku Tengger Desa Wonokitri. Dalam kalender musim, terdapat dua bagian utama, yaitu:
1.

Kalender musim faktor alamiah yang berpengaruh terhadap pola kegiatan
musiman penduduk. Faktor alamiah tersebut meliputi jenis musim (hujan dan
kemarau), angin, dan lain sebagainya yang berpengaruh terhadap musim tanam
sektor pertanian.

2.

Kalender musim faktor non-alamiah yang menginformasikan pola kegiatan
pertanian pada setiap komoditas yang meliputi masa tanam, perawatan, dan
masa panen.
Tabel 3.3 Kalender musim masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri

Bulan/mangsa
Kegiatan

Januari
(4)
kapat

Februari
(5)
kelimo

Maret
(6)
kanem

April
(7)
kapitu

Mei
(8)
kawolu

Juni
(9)
kasanga

Juli
(10)
kesepuluh

Agustus
(11)
dhesta





Angin
Hujan





Pujan
kapat

Bangun
rumah,
tidak
ada
ritual



September
(12)
kasada



Oktober
(1)
kasa

November
(2)
karo

Desember
(3)
ketiga







Hari Raya
Karo

Barikan

Kemarau

Tanam Jagung
Tanaman
Kentang
Tanaman
Kubis

Upacara Adat

Sri
Walatri

Pujan
kawolu

Pujan
kasanga

CP. 101

Tidak
ada
ritual

Yadnya
Kasada,
Pujan
Kasada

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

= Penyiapan Lahan



= Musim Angin

= Masa Tanam



= Musim Hujan

= Perawatan Lahan
= Musim Panas
= Masa Panen
= Masa Pengistirahatan Lahan

Khusus untuk waktu penanaman jagung terdapat larangan dan pantangan yang harus
dipatuhi yaitu pada hari kematian orang tua atau hari-hari naas berdasarkan perhitungan
tertentu menurut adat masyarakat Suku Tengger.

3.3.2.

Sistem teknologi tradisional dalam pengelolaan ladang/tegalan

Pada dasarnya penggunaan teknologi dalam pengelolaan ladang/tegalan di Desa Wonokitri
dibatasi pada teknologi pertanian sederhana dan ramah lingkungan. Sistem penanaman
menggunakan sistem tumpang sari. Karena kontur lahan yang cukup curam, untuk
menghindari tanah longsor dan erosi maka dibuat sistem terasering dengan membuat lahan
berpetak-petak yang disebut bedengan. Setelah itu tanah dicangkul dan dibolak-balik baru
kemudian dapat ditanami.
Peralatan yang digunakan untuk mengolah tanah adalah peralatan tradisional pertanian
seperti: cangkul, sabit, garpu dan keranjang, serta tangki penyemprot. Untuk mempermudah
dalam menjangkau areal ladang/tegalan yang curam maka petani di Desa Wonokitri memakai
sepatu boot. Sedangkan terkait dengan sistem penanaman, masyarakat Desa Wonokitri
memakai aturan tertentu yang mengelompokkan penanaman tanaman tertentu pada satu
petak lahan. Tanaman berakar kuat misalnya cemara banyak di tanam di ladang/tegalan
Desa Wonokitri untuk mencegah longsor dan erosi, selain akarnya kuat kayunya juga bisa
dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Jenis pupuk yang dipakai sangat mengutamakan
penggunaan pupuk kandang/kompos yang menurut masyarakat Suku Tengger Desa
Wonokitri termasuk ramah lingkungan dan tidak merusak tekstur dan kesuburan tanah.
Keterangan:

= Cemara
Kubis

= Kentang

30 c m
50 cm

1m

3m

= Jagung

50 cm

1m

CP. 102

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

Gambar 3.10 Sketsa kebun pola penanaman cemara, kentang, jagung dan sawi di Desa Wonokitri

Pemberantasan hama menggunakan cara manual dengan mengambil hama langsung
dari tanaman kemudian ditanam di tanah atau diinjak dan memakai obat pemberantas hama.

3.3.3.

Sistem pemeliharaan hewan ternak

Peternakan yang dibudidayakan di Desa Wonokitri adalah peternakan sapi dan babi. Sapi
yang diternak adalah sapi jantan atas dasar karena sapi jantan tidak dapat memperbanyak
jenisnya sehingga tidak memerlukan tempat yang luas. Pemeliharaan ternak sapi dilakukan
secara individu di ladang masing-masing. Tindakan pemeliharaan pada ternak sapi yaitu
pemberian pakan, pemeliharaan dan perawatan ternak, pembersihan kandang secara teratur
dan pemberian obat penyakit.
Tidak berbeda jauh dengan sistem pemeliharaan ternak sapi, pemeliharaan ternak babi
juga dilakukan di ladang dengan pembuatan kandang khusus. Pemberian pakan ternak babi
dapat berupa sisa hasil makanan yang dibuat di dapur atau makanan yang banyak
mengandung protein, sumber energi dan bahan makanan hijauan.
Bentuk penerapan kearifan lokal masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri dalam
sistem pemeliharaan hewan ternak yaitu dengan peletakan kandang yang lokasinya jauh
dengan permukiman penduduk. Peletakan kandang ternak yang jauh dari permukiman ini
merupakan wujud tindakan tindakan yang arif lingkungan. Selain hal tersebut, masyarakat
Suku Tengger Desa Wonokitri juga memanfaatkan kotoran ternak untuk dibuat pupuk
kandang yang mampu menyuburkan tanpa merusak tekstur tanah namun juga ramah
lingkungan.

3.3.4.

Sistem pengelolaan dan perlindungan hutan dan sumber-sumber air

Nilai kearifan lokal pada masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri terkait sistem
pengelolaan dan perlindungan hutan adalah dengan mengklasifikasikan hutan dan
memanfaatkannya. Dalam wilayah Desa Wonokitri hanya terdapat kawasan hutan lindung
yang dikelola oleh pihak Perhutani. Hutan lindung ini berguna untuk menjaga keseimbangan
struktur tanah dan melestarikan tanah. Masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri memiliki
kesadaran yang tinggi dalam mengelola hutan. Bukti keperdulian masyarakat Suku Tengger
Desa Wonokitri dalam kegiatan ikut serta memelihara hutan adalah dengan tidak menebang
hutan secara sembarangan. Sikap dalam pengelolaan dan perlindungan hutan ini dilandasi
oleh slogan yang dipatuhi, berbunyi “tebang satu tanam dua” yang artinya jika menebang
satu pohon, maka harus menanam minimal dua pohon yang jenisnya sama.
Penyediaan air bersih untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari berasal dari sumber
mata air alami dari sumber air pegunungan, yaitu sumber mata air Tangor, Galingsari,
Ngerong, Krecek, Muntur dan sumber mata air Blok Dengklik yang terletak di sebelah selatan
desa. Pada tahun 1977 sistem pipanisasi diterapkan di Desa Wonokitri. Sistem pipanisasi ini

CP. 103

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

bertujuan untuk mengalirkan air dari sumber mata air disalurkan menggunakan pipa sekitar 3
Km menuju ke bak-bak penampungan air/tandon air (jeding desa) di Desa Wonokitri. Saluran
pipa yang ada terpisah pada 2 blok yaitu blok barat dan blok timur yang kemudian disalurkan
ke masing-masing tandon air pada blok tersebut. Pendistribusian air dari tandon air menuju
ke rumah-rumah warga juga menggunakan sistem pipanisasi. Hingga saat ini terdapat 3 buah
tandon air dan 3 bilik bak air umum di Desa Wonokitri.
Sistem penyediaan air bagi lahan pertanian adalah dengan membuat aliran mellaui pipa
plastik/slang. Sebagian masyarakat memanfaatkan limbah sisa hasil pembuangan rumah
tangga untuk menyirami tanaman dengan cara menampung air limbah di tempat
penampungan kemudian disalurkan melalui pipa plastik/slang ke arah tanaman yang akan
disarami. Ada juga masyarakat yang membuat saluran tersendiri untuk air limbah, biasanya di
samping rumah yang dilewatkan pipa terpendam.
Kegiatan pengelolaan sumber-sumber air yang dilakukan antara lain membersihkan dan
merawat sumber air, melakukan penghijauan di sekitar sumber air serta melakukan perbaikan
pada saluran yang merusak badan jalan akibat longsor. Perbaikan saluran dilakukan dengan
membuat tambak atau tanggul tanah yang dimasukkan ke dalam karung kemudian ditumpuk.
Kegiatan pengelolaan sumber-sumber air ini juga menjadi salah satu kegiatan sosial yang
merupakan kegiatan mingguan bagi masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri adalah
gotong-royong membersihkan bak penampungan air umum. Kegiatan ini dilakukan secara
bergiliran yang dijadwal tiap RT atau lingkungan setiap seminggu sekali. Masyarakat RT atau
lingkungan yang mendapatkan jadwal giliran menuju ke 2 lokasi bak penampungan air umum
yang terdapat di Desa Wonokitri.

3.3.5.

Tradisi-tradisi dalam pemeliharaan lingkungan yang terdapat di Desa Wonokitri

Dalam upaya pemeliharaan lingkungan, masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri
melakukan beberapa tradisi ritual berdasarkan adat dan kepercayaan mereka, yaitu
melakukan Upacara Leliwet, Pujan, Munggah Sigiran (Among-among/ngamongi jagung),
Wiwit, Hari Raya Kasad, Mayu (Mahayu) Desa, Mayu Banyu, Pujan Mubeng (Narundhung).

3.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa masyarakat Suku Tengger Desa
Wonokitri menerapkan nilai kearifan lokal dalah kehidupan sosial budanya sehari-hari antara
lain yang terlihat dari:

1.

Adanya pembagian konsepsi ruang berdasarkan wilayah adat dan wilayah
administrasi, orientasi peletakan elemen-elemen pembentuk permukiman,
sistem penguasaan dan kepemilikan tanah, serta adaptasi tempat tinggal
terhadap iklim.

CP. 104

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

2.

Kearifan lokal yang mengatur tentang perkiraan musim untuk bercocok tanam,
sistem

teknologi

tradisional

dalam

pengelolaan

ladang/tegalan,

sistem

pemeliharaan hewan ternak sistem pengelolaan dan perlindungan hutan,
sumber-sumber air, serta tradisi-tradisi dalam pemeliharaan lingkungan yang
terdapat di Desa Wonokitri.

4.

DAFTAR PUSTAKA

Ernawi. (2009) Kearifan Lokal Dalam Perspektif Penataan Ruang, makalah pada Seminar
Nasional Kearifan Lokal Dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan.
Geertz, C. (1992) Kebudayaan dan Agama, Kanisius Press, Yogyakarta, 1992b.
Gobyah, I. Ketut (2003) „Berpijak Pada Kearifan lokal‟, www.balipos.co.id.
Hefner, R.W., (1985) Hindu Javanese Tengger Tradition and Islam, New York.
Keraf, S. A., (2002), Etika Lingkungan, Pn. Buku Kompas, Jakarta.
Naping, Hamka. (2007) Kelembagaan Tradisional dan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan
Lingkungan pada Masyarakat Toraja. Makassar : PPLH Regional Sulawesi Selatan,
Maluku dan Papua KLH bekerjasama dengan Masagena Press, 2007.
Pangarsa, Galih Widjil, Sigmawan Tri Pamungkas dan Harini Subekti. (1993) Studi
Transformasi Arsitektur Vernakular dan Permukiman di Desa Wonokitri sebagai Dasar
Pertimbangan Kebijaksanaan Pengembangan Industri Pariwisata, Puspit Unibraw,
(Unpublished Report).
Ridwan, N. A. (2007) „Landasan Keilmuan Kearifan Lokal‟, IBDA, Vol. 5, No. 1, Jan-Juni
2007, hal 27-38, P3M STAIN, Purwokerto.
Salvina DS, Vina. (2003) Modal Sosial Masyarakat adat Tengger Dalam Menjaga Tatanan
Sosial dalam Nurdin dkk (Ed), Agama Tradisional Potret Kearifan Hidup Masyarakat
Samin dan Tengger. Yogyakarta: LKIS dan UMM Press
Sukari, dkk, (2004) Kerifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Tengger Pasuruan Jawa Timur.
Yogyakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.

CP. 105

Dokumen yang terkait

PENGARUH DAYA TARIK BERITA METRO XIN WEN TERHADAP INTENSITAS ETNIK TIONGHOA MENONTON METRO XIN WEN Studi pada Masyarakat Etnik Tionghoa di Pecinan Malang

1 28 2

PENGEMBANGAN PROGRAM ACARA CHATZONE(Studi Terhadap Manajemen Program Acara di Stasiun Televisi Lokal Agropolitan Televisi Kota Batu)

0 39 2

MANAJEMEN BERITA TELEVISI PADA MEDIA NUSANTARA CITRA (MNC) NEWS CENTER BIRO SURABAYA (Studi Pada Pengelola Berita Lokal di RCTI, TPI, dan Global TV

2 40 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

Dari Penangkapan Ke Budidaya Rumput Laut: Studi Tentang Model Pengembangan Matapencaharian Alternatif Pada Masyarakat Nelayan Di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur

2 37 2

Analisis Pengaruh Lnflasi, Nilai Tukar Rupiah, Suku Bunga Sbi, Dan Harga Emas Terhadap Ting Kat Pengembalian (Return) Saham Sektor Industri Barang Konsumsi Pada Bei

14 85 113

Peranan Hubungan Masyarakat (Humas) Mpr Ri Dalam Mensosialisasikan Empat Pilar Bangsa Tahun 2014

4 126 93

Asas Motivasi kepala Sub Bagian Hubungan Masyarakat Komisi Pemilihan Umum (KPU) Dalam Mensosialisasikan hasil Perhitungan Suara Pada Pemilihan Gubernur Jawa Barat Tahun 2008 Melalui Website

1 54 171

Laporan Kerja Praktek Lapangan Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) Di PT. Taspen (Persero) Kantor Cabang Utama Bandung

19 182 68

Konstruksi Makna Gaya Blusukan (studi Fenomenologi Tentang Konstruksi Makna Gaya Blusukan Gubenur Joko Widodo Bagi Masyarakat Jakarta Pusat)

1 65 112