Perbandingan Penerapan Asas Desentralisa. docx

TUGAS HUKUM PEMERINTAHAN LOKAL
Perbandingan Penerapan Asas Desentralisasi Dalam Politik Peraturan
Perundang-Undangan Di Bidang Pemerintah Daerah Di Indonesia

Disusun Oleh :
Nama

: Korneles Materay

NPM

: 130511335

Dosen Pengampuh : B. Hestu Cipto Handoyo, S.H., M.Hum

UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA
FAKULTAS HUKUM
2015/2016

1


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah kebijakan desentralisasi di Indonesia telah mengalami
perjalanan yang sangat panjang, tidak hanya semenjak lahirnya Republik ini,
akan tetapi sejak masa pemerintahan kolonial. 1 Secara singkat kebijakan
desentralisasi di zaman kolonial bertujuan untuk mempermudah urusan dan
kepentingan kolonial bukan kepentingan masyarakat setempat. Akan tetapi,
satu hal yang perlu mendapat perhatian dan yang menjadi pelajaran bagi
bangsa Indonesia adalah bahwa perubahan kebijaksanaan pemerintahan daerah
yang sangat ditentukan oleh konfigurasi politik nasional yang berkembang
dari waktu ke waktu.2
Prinsip dasar negara demokrasi modern selalu menuntut dan
mengharuskan adanya pembagian kekuasaan, agar kekuasaan tidak terpusat di
satu tangan atau lembaga.3 Moh. Mahfud MD dalam (Lukman Santoso Az,
2015:19-20) menyebutkan pembagian kekuasaan ada dua macam, yaitu
pembagian secara vertikal dan pembagian secara horizontal. Pembagian
kekuasaan yang secara horizontal adalah pembagian kekuasaan kepada
lembaga-lembaga yang kedudukannya sejajar yang masing-masing diberi
fungsi dan disertai checks and balances, yakni pembagian kekuasaan ke dalam

legislatif (membuat undang-undang), eksekutif (melaksanakan undang1 H. Syaukani HR, dkk., 2002, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Cetakan IX, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, hlm. 49.
2 Ibid, hlm. 118
3 Lukman Santoso Az, 2015, Hukum Pemerintahan Daerah Mengurai Problematika Pemekaran
Daerah Pasca Reformasi Di Indonesia, Cetakan I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 19

2

undang), dan yudikatif (menegakan undang-undangan melalui peradilan).
Sedangkan pembagian kekuasaan secara vertikal melahirkan bentuk negara,
yaitu negara kesatuan yang membagi kekuasaan antara pusat dan daerah; dan
negara federasi yang membagi kekuasaan antara negara federal dan negara
bagian.
Jimly Asshiddiqie, menegaskan dalam negara kesatuan dimana
kekuasaan negara terbagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Kekuasaan asli berada di tingkat pusat, sedangkan kekuasaan daerah
mendapatkan kekuasaan dari pemerintah pusat melalui penyerahan sebagian
kekuasaan yang ditentukan secara tegas.4 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 ayat (1) memuat ketentuan bahwa
“Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik.

Konsekuensi logis sebagai Negara kesatuan adalah dibentuknya pemerintah
Negara Indonesia sebagai pemerintah nasional untuk pertama kalinya dan
kemudian pemerintah nasional tersebutlah yang kemudian membentuk Daerah
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”.5
Secara khusus di Pasal 18 ayat (1) memuat ketentuan bahwa “Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan
undang-undangan. Sedangkan, Pasal 18 ayat (5) memuat ketentuan bahwa
“Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
4 Ibid, hlm. 23
5 Penjelasan Umum Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 No. 5587

3

pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah
Pusat. Ketentuan-ketentuan tersebut menjadi dasar eksistensi pemerintahan
lokal atau daerah. Meskipun Pasal 18 sudah meletakan dasar yang kokoh, akan
tetapi ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (5), jika ditafsirkan secara

teleologis masih memunculkan ambiguitas terhadap politik desentralisasi di
Indonesia. Penyebabnya adalah karena frasa yang digunakan dalam Pasal 18
ayat (1) menunjukan bahwa secara administratif-organisatoris Negara
Kesatuan Republik Indonesia mempergunakan konsep unitaris yang
didesentralisasi teritorial (frasa dibagi, atas bukan terdiri atas).
Sedangkan, Pasal 18 ayat (5) justru mempergunakan teori residu
sebagaimana dikenal di negara federal. Karena daerah menyelenggarakan
otonomi seluas-luasnya dan hanya dibatasi oleh urusan pemerintahan pusat
yang ditentukan berdasarkan undang-undang. Indonesia sebagai negara
kesatuan tetap memberlakukan prinsip utama dalam negara kesatuan yaitu
prinsip desentralisasi, dekonsentrasi6, dan medebwind7. Desentralisasi secara
sederhana dimaknai sebagai pembagian atau penyerahan wewenang dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Menurut Joeniarto asas
desentralisasi adalah:

6 Menurut Pasal 1 angka 9 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Dekonsentrasi
adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat
kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah
tertentuan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan
pemerintahan umum.

7 Menurut Pasal 1 angka, Medebwind atau Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah
Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah
kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah provinsi.

4

Asas yang bermaksud memberikan wewenang dari pemerintah
negara kepada pemerintah lokal untuk mengatur dan mengurus urusan
tertentu sebagai urusan rumah tangga sendiri. Bahkan, bukan hanya
masalah pemberian wewenang saja, tetapi sekaligus merupakan
masalah pembentukan (pendirian) alat perlengkapan (pemerintah)-nya
yang akan diberi wewenang untuk berumah tangga sendiri; selain itu
sekaligus merupakan pula masalah pembagian wilayah negara menjadi
daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga
sendiri.8
Keberadaan pemerintahan daerah bertujuan untuk mengefektifkan
kinerja atau pelayanan bagi masyarakat terutama yang ada di daerah. Sejauh
ini beberapa ketentuan yang memuat ketentuan tentang pemerintahan

lokal/daerah dan prinsip desentralisasi yang akan dibahas dalam makalah ini
yaitu, Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
di Daerah, Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan
Perubahan terakhir dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan

Daerah.

Sepanjang

perkembangan

dari

undang-undang

pemerintahan daerah tahun 1974 sampai yang terbaru sekarang ini,
pemaknaan dan pemahaman tentang desentralisasi berubah-ubah atau tidak
konsisten. Bagaimana mungkin konsep desentralisasi antara undang-undang

yang satu dengan lainnya berbeda, dan apa perbedaannya, maka selanjutnya
penulis akan membahas konsep tersebut dengan mengangkat tema penulisan
“Perbandingan Penerapan Asas Desentralisasi Dalam Politik Peraturan
Perundang-Undangan Di Bidang Pemerintah Daerah Di Indonesia”

8 R. Joeniarto, 1976, Perkembangan Pemerintahan Lokal, Cetakan kedua, Bumi Aksara, Jakarta,
Hlm. 16

5

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pemaparan diatas maka permasalahan penulisan ini adalah
1. Apakah alasan utama munculnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1974,
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 yang mengatur tentang asas
desentralisasi ?
2. Bagaimana perbedaan pengaturan asas desentralisasi dalam UndangUndang No. 5 Tahun 1974, Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, UndangUndang No. 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 ?
3. Apa sajakah tugas dan wewenang pemerintah daerah berdasarkan asas
desentralisasi yang diatur dalam Undang No. 5 Tahun 1974, UndangUndang No. 22 Tahun 1999, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 ?

C. TINJAUAN PUSTAKA
1. Perbandingan Penerapan Asas Desentralisasi
a. Pengertian asas desentralisasi
Istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin “de” berarti lepas
dan

“centrum”

penyelenggaraan

artinya

pusat.9

pemerintahan

Desentralisasi

yang


adalah

dipertentangkan

asas
dengan

sentralisasi. Desentralisasi menghasilkan pemerintahan lokal (local
government). Secara normatif, UU No. 23 Tahun 2014 mendefinisikan
asas desentralisasi adalah penyerahan urusan Pemerintahan oleh
9 Lukman Santoso, Az, 2015, Hukum Pemerintahan Daerah, Mengurai Problematika Pemekaran
Daerah Pasca Reformasi Di Indonesia, Cetakan I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 43

6

Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi.
Dari segi politik, Parson mendefinisikan desentralisasi sebagai
“sharing of the government power by central rulling grup with other
groups, each having authority within a specific area of state”.10
b. Perbandingan penerapan asas desentralisasi

Perbandingan artinya membandingkan antara konsep yang satu
dengan yang lain untuk mendapatkan suatu kesimpulan tertentu untuk
maksud tertentu. Asas adalah sesuatu yang menjadi landasan berpikir
atau mengeluarkan pendapat, dasar yang dijadikan sebagai pedoman
untuk berbuat.11 Sedangkan, desentralisasi adalah Desentralisasi adalah
penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada
daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi. Jadi, perbandingan asas
desentralisasi adalah membandingkan antara konsep-konsep tentang
desentralisasi yang pernah ada dalam undang-undang yang mengatur
mengenai desentralisasi itu sendiri.
2. Politik Perundang-Undangan di Bidang Pemerintah Daerah di
Indonesia
a. Politik perundang-undangan
Politik perundang-undangan disebut juga dengan politik
hukum. Politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah
dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia yang meliputi:
pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan
10 Ni’Matul Huda, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah, Cetakan I, Nusa Media, Bandung, hlm. 61
11 Tim Prima Pena, tanpa tahun, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Terbaru Dengan : Ejaaan
Yang disempurnakan (EYD), Gitamedia Press,., hlm. 73


7

pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan
kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada
termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak
hukum. Dari pengertian tersebut terlihat politik hukum mencakup
proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukan
sifat dan kea rah mana hukum akan dibangun dan ditegakan.12
b. Pemerintahan daerah
Demokrasi lokal merupakan bagian dari subsistem politik suatu
negara yang derajat pengaruhnya berada dalam koridor pemerintahan
daerah. Dalam konteks Indonesia, demokrasi lokal merupakan
subsistem

dari

demokrasi

yang

memberikan

peluang

bagi

pemerintahan daerah untuk mengembangkan kehidupan hubungan
pemerintahan daerah rakyat di lingkungannya.13
Pemerintahan

Daerah

adalah

penyelenggaraan

urusan

pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat
daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah Daerah
terdiri atas Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah.

12 Moh. Mahfud MD, 2009, Politik Hukum di Indonesia, Cetakan V, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, hlm. 17.
13 Lukman Santoso Az, Op.Cit., hlm. 17

8

BAB II
PEMBAHASAN
A. Lahirnya Pengaturan Asas Desentralisasi
a. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah
Setelah

pemerintahan

Orde

Baru

berhasil

melaksanakan

konsolidasi kekuasaan yang mulai dilaksanakan sejak tahun 1968 di
samping agenda pembangunan ekonomi yang merupakan prioritas utama
pemerintah, secara perlahan agenda-agenda lainnya mulai dicanangkan,
termasuk dalam bidang pemerintahan daerah.14 Tidak lama setelah Orde
Baru lahir, UU No. 18 Tahun 1965 dipandang sebagai sesuatu yang tidak
demokratis dan bertentangan dengan UUD 1945. Demokrasi terpimpin
dan

Manipol-Usdek

yang

menjadi

landasanya

dipandang

sangat

bertentangan dengan semangat UUD 1945, yang oleh Orde Baru akan
ditegakan secara murni dan konsekuen. Oleh sebab itu pada tanggal 5 Juli
1966, MPRS mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XXI/MPRS/1966
tentang pemberian otonomi seluas-luasnya, maka menurut MPRS pada
waktu itu asas demokrasi sebagai bagian dari UUD 1945 dapat
diwujudkan dengan pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerahdaerah.15
Hal ini berkaitan erat pula dengan hakikat pemahaman kekuasaan
dari Soeharto yang mempunyai latar belakang militer yang sangat kuat dan
14 H. Syaukani HR, dkk., Op.Cit., hlm. 142.
15 Ni’Matul Huda, 2007, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, Cetakan Pertama, FH UII Press, Yogyakarta, hlm. 66.

9

ditopang pula dengan budaya politik “Mataram” yang sangat hierarkis dan
sentralistik.16 Akhirnya muncul Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, dengan aroma sentralisasi berbalut
dekonsentralisasi. Kemudian menampakan konfigurasi politik orde baru
yang otoritarian.
Menurut hemat penulis, kelahiran undangan-undangan ini adalah
refleksi khusus pemerintah Orde baru untuk terus berkuasa sehingga
sifatnya tidak sangat demokratis dan otoritarian. Dalam sebuah
pemerintahan yang otoritarian sebuah produk hukum pada umumnya
adalah merupakan cerminan dari kepentingan pemerintah yang berkuasa,
sehingga produk hukum itu pada dasarnya sangat bersifat elitis dan tidak
jarang menjadi instrument dari kekuasaan itu sendiri untuk memelihara
kepentingan mereka yang sedang berkuasa.17
b. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Praktek desentralisasi di Indonesia kemudian digantikan dengan
dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999, karena kegagalan pelaksanaan
sistem desentralisasi dalam UU No. 5 Tahun 1974 yang sangat sentralistik
itu. Orde baru mengatur pemerintahan lokal secara detail dan
diseragamkan secara nasional. Organ-organ supra-struktur politik lokal
diatur secara terpusat dan seragam tanpa mengindahkan heterogenitas
“sistem politik” lokal yang telah eksis jauh sebelum terbentuknya konsep
kebangsaan Indonesia.18 Ketidakpuasan daerah yang pada awalnya hanya
16 Ibid.
17 Ibid., hlm. 151
18 Ibid., hlm. 67

10

dilakukan secara terselubung, belakangan mulai ditunjukan secara
terbuka.19
Kehadiran

Undang-Undang

No.

22

Tahun

1999

tentang

Pemerintahan Daerah tidak terlepas dari perkembangan situasi yang pada
terjadi masa itu, ketika Presiden Soeharto lengser dan semua piahk
berkehendak melakukan reformasi di semua bidang kehidupan berbangsa
dan bernegara. Berdasarkan kehendak reformasi itu, Sidang Istimewa
MPR

Tahun

1998

lalu

menetapkan

Ketetapan

MPR

Nomor

XV/MPR/1998, tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah: Pengaturan,
Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional, yang berkeadilan,
serta Perimbangan Keuangan Pusat Dan Daerah Dalam Kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.20
c. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Ditetapkannya UU No. 32 Tahun 2004 untuk menggantikan UU
No. 22 Tahun 1999 yang dirasakan mempunyai banyak kekurangan dalam
tataran perumusan kebijakan dan implementasinya. Menurut Agus
Santoso (2013:150-151) bahwa:
Keinginan untuk menggantikan UU Nomor 22 Tahun 1999
dalam rangka perbaikan dan pembenahan pengaturan di bidang
pemerintahan daerah merupakan sesuatu yang mutlak dilakukan. Baik
itu kebutuhan rekonstruksi hubungan antara DPRD dengan kepala
daerah, kebutuhan esensi pengawasan, demokrasi dan otonomi
daerah, kebutuhan efisiensi anggaran, politik, struktur hubungan
antartingkat pemerintahan pusat, provinsi dan kabupaten/kota maupun
kebutuhan penyesuaian terhadap prinsip dan sistem pemerintahan
presidensil yang terdapat dalam UUD 1945 setelah perubahan.
19 Ibid, hlm. 70.
20 HM. Agus Santoso, 2013, Menyingkap Tabir Otonomi Daerah Di Indonesia, Cetakan I, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, hlm. 146.

11

Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah adanya kesadaran dan
komitmen dari kepala daerah dan perangkatnya serta DPRD untuk terus
memberikan kesempatan dan ruang bagi rakyat untuk dilibatkan dalam
proses perencanaan, pelaksanaan, pembahasan dan pengawasan dalam
pemerintahan daerah.
d. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
UU No. 23 tahun 2014 lahir dari adanya keresahan akan dampak
negatif

yang

Djohermansyah

ditimbulkan
Djohan,

UU

No.

dampak

32

negatif

tahun

2004.

tersebut

Menurut

karena

ada

permasalahan, yakni: Pertama dan yang paling penting adalah lemahnya
fungsi gubernur dan pemerintah pusat dalam mengontrol pemerintah
kabupaten dan kota. Dalam banyak kasus, gubernur sebagai kepanjangan
pemerintah pusat di daerah gagal mencegah abuse of power dari
pemerintah kota dan kabupaten terutama dalam masalah pertambangan,
kelautan dan kehutanan. Dampak negatifnya adalah kerusakan lingkungan
yang parah akibat eksploitasi pemerintah kabupaten dan kota dalam rangka
meningkatakan pendapatan daerah. Kedua, maraknya daerah pemekaran
yang kebablasan. Ketiga, ada kewenangan yang tumpang tindih.
Kementrian dalam negeri merasa perlu melakukan revisi terhadap UU ini
dikarenakan adanya overhead cost akibat otonomi daerah yang berimbas
pada naiknya anggaran kepagawaian. Overhead cost ini dianggap
membebeni anggaran daerah yang tidak sedikit mengorbankan sektor vital

12

lainnya yang lebih layak untuk diprioritaskan seperti infrastruktur,
pendidikan dan kesehatan.21
B. Perbedaan Pengaturan Asas Desentralisasi
a. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah
Pengertian desentralisasi yang diatur dalam UU ini termuat dalam
Pasal 1 huruf (b) “Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintah
dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi
urusan rumah tangganya”. Dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi
dibentuk dan disusun daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II.
Perkembangan dan pengembangan otonomi selanjutnya didasarkan pada
kondisi politik, ekonomi, sosial budaya serta pertahanan dan keamanan
Nasional.22

Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 menganut prinsip

“Otonomi yang nyata dan bertanggungjawab”.
Sesuai penjelasan undang-undang tersebut, Nyata, dalam arti
bahwa pemberian otonomi kepada Daerah haruslah didasarkan pada
faktor-faktor,

perhitungan-perhitungan

dan

tindakan-tindakan

atau

kebijaksanaan-kebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin daerah
yang bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangga sendiri.
Bertanggung jawab, dalam arti bahwa pemberian otonomi itu benar-benar
sejalan dengan tujuannya, yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar
21 Lihat, Budi Kurniawan, tanpa tahun, Kritik dan Saran Untuk Perbaikan UU 23 tahun 2014,
https://www.academia.edu/12317902/Kritik_dan_Saran_Untuk_Perbaikan_UU_No._23_Tahun_2
014?auto=download, diakses pada tanggal 16 Juni 2016.
22 Lihat pasal 3 UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 38.

13

diseluruh pelosok Negara dan serasi atau tidak bertentangan dengan
pengarahan-pengarahan yang telah diberikan, serasi dengan pembinaan
politik dan kesatuan Bangsa, menjamin hubungan yang serasi antara
Pemerintah Pusat dan daerah serta dapat menjamin perkembangan dan
pembangunan Daerah.
b. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Ketentuan mengenai desentralisasi dapat dilihat dalam Pasal 1
huruf (e) “Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan
oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia”. Di samping itu keleluasan otonomi
mencakup

pula

kewenangan

yang

utuh

dan

bulat

dalam

penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
pengendalian, dan evaluasi. Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah
keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan
di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh,
hidup, dan berkembang di Daerah. Yang dimaksud dengan otonomi yang
bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban
sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada Daerah
dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah dalam
mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan
demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang
serasi antara Pusat dan Daerah serta antar-Daerah dalam rangka menjaga

14

keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelaksanaan Otonomi
Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah
Kota, sedang Otonomi Daerah Propinsi merupakan otonomi yang terbatas.
c. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka (7) memuat ketentuan bahwa
“Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Ditetapkannya UU No. 32 Tahun 2004 untuk menggantikan UU No. 22
Tahun 1999 yang dirasakan mempunyai banyak kekurangan dalam tataran
perumusan kebijakan dan implementasinya. Sesuai Pasal 2 ayat (3)
Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjalankan
otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan
Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
pelayanan umum, dan daya saing daerah. Dalam Penjelasan “Daerah
memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi
pelayanan,

peningkatan

peranserta,

prakarsa,

dan

pemberdayaan

masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat”.
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi
yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu
prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan
berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada
dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan

15

potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi
setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang
dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang
dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan
maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan
daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan
bagian utama dari tujuan nasional. Seiring dengan prinsip itu
penyelenggaraan

otonomi

daerah

harus

selalu

berorientasi

pada

peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan
kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.

d. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 1 angka (8) UU No. 23 Tahun 2014 memuat ketentuan bahwa
“Desentralisasi

adalah

penyerahan

Urusan

Pemerintahan

oleh

Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi”.
Dalam pelaksanaan Desentralisasi dilakukan penataan Daerah”.23
Penataan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan
untuk: a. mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
b. mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat; c. mempercepat
peningkatan kualitas pelayanan publik; d. meningkatkan kualitas tata
kelola pemerintahan; e. meningkatkan daya saing nasional dan daya saing
Daerah; dan f. memelihara keunikan adat istiadat, tradisi, dan budaya
23 Lihat pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244.

16

Daerah.24 UU ini menganut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
C. Tugas

dan

Wewenang

Pemerintah

Daerah

Berdasarkan

Asas

Desentralisasi
a. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah
Di dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor
IV/MPR/1966 tantang Garis-garis Besar Haluan Negara, telah digariskan
prinsip-prinsip pokok tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah sebagai
berikut: “Dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang
tersebar di seluruh pelosok Negara, dan dalam membina kestabilan politik
serta kesatuan Bangsa maka hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat
dan Daerah atas dasar keutuhan Negara Kesatuan, diarahkan pada
pelaksanaan Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab yang
dapat

menjamin

perkembangan

dan

pembangunan

Daerah,

dan

dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi”. Dalam rangka
meningkatkan

pelayanan

terhadap

masyarakat

dan

pelaksanaan

pembangunan, maka Undang-undang ini meletakkan titik berat otonomi
pada Daerah Tingkat II, dengan pertimbangan bahwa Daerah Tingkat II
yang lebih langsung berhubungan dengan masyarakat sehingga diharapkan
dapat lebih mengerti dan memenuhi aspirasi-aspirasi masyarakat tersebut.
24 Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244.

17

Sayangnya, dalam undang-undang ini tidak dijelaskan secara tegas tugas
dan wewenang dari Pemerintah Daerah. Bahkan menurut Syaukani,dkk,
Otonomi

Daerah

menurut

Undang-Undang

ini

bukanlah

merupakan hak dari masyarakat dan Pemerintah Daerah. Otonomi
Daerah merupakan kewajiban daerah dalam rangka mensukseskan
pembangunan nasional.25 Logika pemerintahan yang dikembangkan
adalah kalau otonomi merupakan “hak” maka akan sangat
dikhawatirkan munculnya semangat kedaerahan yang pada akhirnya
akan menimbulkan disintegrasi nasional.26
Dalam hal ini pelayanan pengelolaan sumber daya alam (SDA)
sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah pusat. Tidak ada kewenangan
yang diberikan kepada pemerintah daerah, termasuk perekrut pejabat
politik. Proses legislasi daerah pun harus melalui izin dan petunjuk
pemerintah pusat. Pemegang kepemimpinan dalam pemerintahan daerah
adalah kepala daerah dan DPRD, kedudukan gubernur sebagai kepala
daerah merupakan kepala pemerintahan sekaligus kepala wilayah
bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri dalam negeri. 27
Keberadaan DPRD dirasakan hanya sebagai pelengkap jalannya
pemerintahan daerah karena hanya menjalankan dua fungsi tugas utama,
yaitu:
a. Tugas legislasi bersama kepala daerah
b. Tugas penetapan APBD tahunan28

25 H. Syaukani, dkk, Op.Cit., hlm 144
26 Ibid, hlm. 152
27 HM. Agus Santoso, Op.Cit., hlm. 143-144.
28 H.Syaukani, dkk., Op.Cit., hlm. 145

18

Sedangkan

tugas

pokok

ketiga

yaitu

mengawasi

jalannya

pemerintahan daerah pratis tidak dapat dilaksanakan. Pajak2-pajak didaerah
diserahkan pengelolaannya kepada daerah adalah pajak-pajak yang hasilnya
kecil tetapi sulit pengelolannya.
b. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Melalui UU No. 22 Tahun 1999 daerah diberi wewenang dalam
seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik
luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama,
serta kewenangan bidang lain. Pasal 11 (2) UU No. 22 Tahun 1999
memuat ketentuan bahwa “Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan
oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum,
kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri
dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan,
koperasi, dan tenaga kerja.
UU No. 22 Tahun 1999 memberikan perubahan yang mendasar
dalam desain kebijakan hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Desentralisasi kewenangan kepada pemerintah kabupaten dilakukan pada
taraf yang signifikan. Sadu Wasistiono dalam (Ni’Matul Huda, 2007:73)
mengatakan bahwa “pada saat ini, hubungan antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah berada pada titik yang rawan. Pada satu sisi
pemerintah pusat berada pada kondisi yang sangat lemah – baik dilihat
dari segi politik, ekonomi maupun pertahanan keamanan. Di sisi lain,
dengan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999, daerah

19

dengan pemerintahan daerahnya menuntut lebih banyak lagi dan bahkan
secara terang-terangan menentang kebijakan politik maupun hukum dari
pemerintah pusat. Prinsip otonomi yang dipakai adalah nyata, luas dan
bertanggungjawab.
Sesuai penjelasan UU tersebut, Kewenangan otonomi luas adalah
keleluasaan

Daerah

untuk

menyelenggarakan

pemerintahan

yang

mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan
di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan
fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah. Hal ini dipicu akibat ketidakjelasan
kewenangan antara Pusat dan Daerah sehingga memunculkan banyak
interpretasi sehingga seakan-akan daerah lebih berkuasa. Salah satu
tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat adalah dengan
membatalkan beberapa produk hukum daerah. Kemudian muncul pro dan
kontra terhadap UU No. 22 Tahun 1999 tersebut. Pihak yang pro atau
setuju menyatakan bahwa UU tersebut sangat demokratis bahkan bersifat
liberal. UU tersebut memberikan kewenangan kepada daerah seluasluasnya untuk mengembangkan daerah atas prakarsa sendiri.
Sementara pihak yang tidak setuju mengatakan bahwa UU tersebut
bersifat setengah hati dan masih menerapkan paradigm lama. Belum
terjadi perubahan yang signifikan terhadap otonomi daerah. Sebab masih
banyak kewenangan yang diurus oleh pusat dan dana perimbangan belum

20

mencerminkan rasa keadilan.29 Komentar yang diberikan oleh para
pengamat adalah karena UU otonomi daerah menganut residu power.
Tetapi persoalannya pada Penjelasan Umum UU No. 22 Tahun 1999
menyatakan bahwa “Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh
diletakkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, sedang Otonomi
Daerah Propinsi merupakan otonomi yang terbatas”.30
Sarif Hidayat dalam (Lili Romli, 2007:17) menyatakan bahwa
“kenyataan seperti ini akan melahirkan penafsiran ganda tentang
wewenangn yang akan dimiliki oleh Daerah Kabupaten dan Kota.
Pertama, wewenang yang akan diserahkan kepada Daerah Kabupaten dan
Kota dapat merupakan bagian dari 111 wewenang yang telah diserahkan
kepada Daerah Provinsi. Kedua, wewenang yang dimiliki oleh Kabupaten
dan Kota dapat berarti wewenang lain di luar wewenang yang telah
dimiliki oleh pemerintah pusat dan provinsi. UU No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah baik dari segi kebijakan maupun dari aspek
implementasi, terdapat sejumlah kelemahan-kelemahan.
Dari

sisi

kebijakan,

sebagaimana

diuraikan

sebelumnya,

mengandung sisi-sisi kelemahan sehingga memunculkan dampak negatif
dalam implementasi otonomi daerah. Adapun kelemahan-kelemahan itu
antara lain, pertama, aspek kelembagaan pemerintahan daerah yang
menempatkan posisi DPRD terlalu dominan. Kedua, akuntabilitas DPRD
kepada publik. Ketiga, tidak adanya ruang partisipasi publik dalam
29 Lili Romli, 2007, Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat Di Tingkat Lokal, Cetakan I, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, hlm. 15.
30 Ibid., hlm. 17

21

mengontrol kebijakan publik. Keempat, kebijakan otonomi daerah hanya
menguntungkan daerah-daerah kaya SDA. Kelima, tidak adanya otoritas
lembaga yang kuat untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antardaerah.
Selain itu, sisi implementasi otonomi daerah juga memunculkan
dampak negatif. Pertama, terjadi friksi antara Kepala Daerah dengan
DPRD dalam hal Laporan Pertanggungjawaban kepala daerah. Kedua,
organisasi perangkat daerah menjadi gemuk dan besar. Ketiga, penyediaan
pelayanan dasar yang belum memadai. Keempat, munculnya ”raja-raja
kecil” di daerah-daerah. Kelima, terjadi primordialisme dalam hal
pengangkatan kepala daerah dan jajaran birokrasi. Keenam, terjadi konflik
dalam perebutan sumber daya antardaerah. Ketujuh, ekonomi biaya tinggi
akibat dampak upaya meningkatkan tariff dan ekstensifikasi retribusi dan
pajak daerah.31
Menurut hemat penulis, konsep desentralisasi sudah dilaksanakan
dalam UU No. 12 Tahun 1999 tersebut akan tetapi ada kendala dalam
implementasinya, yaitu bahwa Pemerintah Pusat belum memberikan
batasan yang signifikan terkait tugas dan wewenang kepada pemerintah
daerah, maka kemudian daerah mencoba menafsirkannya secara bebas.
Pada titik ini Pusat lepas kontrol sehingga daerah semakin percaya diri
untuk menuntut lebih banyak lagi hak-haknya.
c. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Sesuai Pasal 3 (1) Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (3) adalah: (a) pemerintahan daerah provinsi yang
31 Ibid., hlm. 20.

22

terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi; (b)
pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas pemerintah daerah
kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota. Pasal 10 (1) Pemerintahan
daerah

menyelenggarakan

urusan

pemerintahan

yang

menjadi

kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang
ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. Ayat (3) Urusan pemerintahan
yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi: (a) politik luar negeri; (b) pertahanan; (c) keamanan; (d) yustisi;
(e) moneter dan fiskal nasional; dan (f) agama.
UU No. 32 Tahun 2004 memperkenalkan sistem baru dalam
pengisian jabatan kepala daerahnya, yakni melalui pemilihan langsung
oleh rakyat. Sistem ini dipandang lebih demokratis dibandingkan sistem
sebelumnya,

karena

rakyat

dapat

secara

langsung

menentukan

pilihannya.32 Peluang pembentukan daerah otonom dalam kerangka negara
kesatuan RI, juga dijelaskan dalam UU No. 32 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan

Daerah,

yaitu

daerah

yang

dibentuk

berdasarkan

pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial
politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lain yang
memungkinkan terselenggarakannya otonomi daerah.33 Lili Romli
mengatakan bahwa tidak seperti dalam UU 22/1999 yang menggunakan
terminologi pembagian kewenangan, dalam UU 32/2004 istilah tersebut
diganti dengan pembagian urusan, dimana ada yang menjadi urusan
32 Ni’Matul Huda, Op.Cit., hlm. 79.
33 Lukman Santoso Az, Op.Cit, hlm. 97.

23

pemerintah dan urusan daerah otonom.

Dalam pembagian ini, yang

disebutnya urusan pemerintahan, ada yang menjadi urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan Pemerintah dan ada urusan pemerintahan yang
bersifat concurrent34, yang dalam penanganannya dalam bagian atau
bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan
pemerintah daerah.35
Setelah memperhatikan pembahasan dan kepustakan hemat
penulis UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah agaknya
condong ke UU No. 5 Tahun 1974 dalam hal sifatnya yang sentralistisasi.
Hal ini juga yang oleh khalayak pakar disebut disebut resentralisasi karena
ada kesamaan itu.
Adanya resentralisasi tersebut terlihat dari beberapa indikator.
Pertama, dihilangkannya atau digantikannya kata kewenangan 36 menjadi
urusan37.

Kedua,

dalam

pembagian

kewenangan

juga

terjadi

resentralisasi.38 Ketiga, resentralisasi itu juga terlihat dari posisi Gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat. Keempat,berkaitan dengan yang ketiga di
34 Sifat concurrent dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan
efesiensi.Eksternalitas adalah pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan
dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut.
Akuntabilitas adalah pembagian pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa
tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang
lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Efesiensi adalah
pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya untuk
mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam
penyelenggaraan bagian urusan. Lihat Lili Romli, Op.Cit, hlm. 23-24
35 Lili Romli, Op.Cit, hlm. 23
36 Kewenangan berarti memiliki authority power atau kekuasaan yang relatif luas.
37 Urusan merupakan bagian dari kewenangan.
38 Karena kewenangan pemerintah daerah menjadi “terbatas”, karena kewenangan pemerintah
daerah yang menjadi urusan pemerintahan yang bukan sepenuhnya, tetap dibagi dengan
kewenangan Pemerintah, dibagi lagi dengan kewenangan urusan pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota. Lihat Lili Romli, Op.Cit, hlm. 27

24

atas maka baik DPRD maupun bupati/wakikota, tidak memiliki
kewenangan apa pun dalam pembentukan Perda karena Perda yang dibuat
dapat dibatalkan oleh Pusat manakala dianggap bertentangan dengan
“kepentingan umum”, suatu terminologi yang rancu dan ambigu karena
kerap definisi kepentingan umum dalam praktik tidak jelas. Kelima,
masalah kepegawaian39 daerah atau perangkat daerah juga mengalami
resentralisasi.
Keenam, di DPRD terjadi “kawin paksa” dalam pembentukan
fraksi-fraksi.40 Ketujuh, menurut UU No. 32 Tahun 2004, posisi DPRD
secara politis cenderung lebih lemah dalam berhubungan dengan kepala
daerah dan dengan Pemerintah Pusat. Hal ini karena kepala Daerah
mempunyai hubungan dengan Pemerintah Pusat melalui Gubernur,
sementara DPRD tidak ada. Kedelapan, dalam hal pengaturan masalah
pendapatan dan keuangan daerah tidak ada kemajuan, sama seperti UU
No. 22 Tahun 1999. Kesembilan, apabila dalam UU No. 22 Tahun 1999
daerah memiliki kewenangan dalam mengelola sumber daya alam (SDA),
maka pada UU No. 32 Tahun 2004 hal itu dikelola bersama-sama antara
pemerintah Pusat dengan Daerah. Kesepuluh, berkaitan dengan Badan
Perwakilan Desa (BPD) yang bukan saja namanya diganti dengan Badan
Permusyawaratan Desa, tetapi fungsinya41 dan pembentukannya berbeda.
39 Contoh dalam hal pengangkatan sekretaris daerah yang tidak lagi menjadi kewenangan penuh
buoati/walikota tetapi terlebih dahulu harus berkonsultasi dengan Gubernur. Ibid., hlm. 29
40 Ini terjadi karena adanya aturan pembentukan fraksi harus mengacu pada jumlah komisi di
DPRD, sehingga apabila di DPRD tersebut ada 4 komisi maka jumlah fraksi yang ada di DPRD harus
pula empat. Mereka yang berhak membentuk fraksi utuh adalah partai politik yang memperoleh
minimal 5 kursi, bagi yang kurang harus bergabung dalam satu fraksi. Lihat, ibid., hlm. 29
41 Fungsi yang dimiliki BPD hanya terbatas pada menetapkan peraturan desa bersama kepala
desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Sedangkan yang berkaitan dengan

25

d. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
UU 23 tahun 2014 lahir dari adanya keresahan akan dampak
negatif yang ditimbulkan UU no 32 tahun 2004. Kelemahan yang
dimaksud di sini sudah dijelaskan terlebih dahulu diatas. Berdasarkan
Pasal 6 “Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan sebagai dasar dalam
menyelenggarakan Urusan Pemerintahan”.
Pasal 7 (1) Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh Daerah.
Ada Tiga Macam Urusan Pemerintahan (1) Urusan Pemerintahan Absolut:
Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah
Pusat. (2) Urusan Pemerintahan Konkuren: Urusan Pemerintahan yang
dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota. (3) Urusan Pemerintahan Umum: Urusan Pemerintahan
yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Pasal 10
(1) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (2) meliputi: (a) politik luar negeri; (b) pertahanan; (c) keamanan; (d)
yustisi; (e) moneter dan fiskal nasional; dan (f) agama.
Pasal 11 (1) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana di
maksud dalam Pasal 9 ayat (3) yang menjadi kewenangan Daerah terdiri
atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan.
Urusan Pemerintahan Wajib terdiri atas Urusan Pemerintahan yang
berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak
berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Urusan Pemerintahan Wajib yang
fungsi pengawasan terhadap Kepala desa ditiadakan.

26

berkaitan dengan Pelayanan Dasar adalah Urusan Pemerintahan Wajib
yang sebagian substansinya merupakan Pelayanan Dasar. Pasal 12 (1)
Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi: a. pendidikan; b.
kesehatan; c. pekerjaan umum dan penataan ruang; d. perumahan rakyat
dan kawasan permukiman; e. ketenteraman, ketertiban umum, dan
pelindungan masyarakat; dan f. sosial.
Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan
Pelayanan Dasar meliputi: a. tenaga kerja; b. pemberdayaan perempuan
dan pelindungan anak; c. pangan; d. pertanahan; e. lingkungan hidup; f.
administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; g. pemberdayaan
masyarakat dan Desa; h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana;
i. perhubungan; j. komunikasi dan informatika; k. koperasi, usaha kecil,
dan menengah; l. penanaman modal; m. kepemudaan dan olah raga; n.
statistik; o. persandian; p. kebudayaan; q. perpustakaan; dan r. kearsipan.
Dan urusan pemerintahan umum adalah Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan panjang diatas, penulis menyimpulkan
beberapa hal sebagai berikut :

27

Pertama, semua undang-undang yang lahir dengan menyadari pentingnya
desentralisasi telah mengimplementasikan desentralisasi itu, akan tetapi dalam
pelaksanaannya hampir semua tidak konsekuen. Menurut penulis, alasan kuat
yang yang bisa dikemukakan dari pembahasan panjang diatas adalah terkait
sikap politik semua penguasa pada waktu berlakunya undang-undang
pemerintahan daerah tersebut baik itu Pemerintah Pusat maupun Pemerintah
Daerah. Kedua, asas desentralisasi yang termuat dalam undang-undang tahun
1974 sampai undang-undang tahun 2014, mengalami suatu tumpang tindih
(overlapping) konsep desentralisasi. Mengapa demikian ? Karena pengertian
asas desentralisasi dengan prinsip-prinsipnya maju mundur alias konsep masa
sekarang sebenarnya sudah pernah digunakan di masa yang lalu. Pada masa
tertentu diberlakukan satu konsep kemudian dirasa tidak pas lalu digantikan
dengan konsep yang lain, lalu muncul lagi di masa tertentu. Ketiga,
perkembangan muatan materi dari undang-undang yang mengatur tentang
desentralisasi ini cukup signifikan. Meskipun ada beberapa yang sama
konsepnya tetapi terkait dengan muatan materi ada perkembangan.
B. Saran
Adapun saran penulis kepada Pemerintah Pusat dan Daerah agar supaya
melaksanakan desentralisasi dengan konsekuen dan melibatkan partisipasi
aktif masyarakat. Dan, selalu ada mekanisme check and balances. Kepada
para pembentuk undang-undang agar sebaik-baiknya membuat suatu konsep
yang pas apabila akan ada perubahan karena konsep itu berdampak kepada
penyelenggaraan otonomi daerah itu sendiri.

28

DAFTAR PUSTAKA
Buku :













H. Syaukani HR, dkk., 2002, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Cetakan IX,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta
HM. Agus Santoso, 2013, Menyingkap Tabir Otonomi Daerah Di Indonesia, Cetakan I,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Lili Romli, 2007, Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat Di Tingkat Lokal, Cetakan
I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Lukman Santoso Az, 2015, Hukum Pemerintahan Daerah Mengurai Problematika
Pemekaran Daerah Pasca Reformasi Di Indonesia, Cetakan I, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta
Lukman Santoso, Az, 2015, Hukum Pemerintahan Daerah, Mengurai Problematika
Pemekaran Daerah Pasca Reformasi Di Indonesia, Cetakan I, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta
Moh. Mahfud MD, 2009, Politik Hukum di Indonesia, Cetakan V, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta
Ni’Matul Huda, 2007, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, Cetakan Pertama, FH UII Press, Yogyakarta
Ni’Matul Huda, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah, Cetakan I, Nusa Media,
Bandung, hlm. 61
R. Joeniarto, 1976, Perkembangan Pemerintahan Lokal, Cetakan kedua, Bumi Aksara,
Jakarta
Tim Prima Pena, tanpa tahun, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Terbaru Dengan :
Ejaaan Yang disempurnakan (EYD), Gitamedia Press

Internet:


Budi Kurniawan, tanpa tahun, Kritik dan Saran Untuk Perbaikan UU 23 tahun 2014,
https://www.academia.edu/12317902/Kritik_dan_Saran_Untuk_Perbaikan_UU_No._
23_Tahun_2014?auto=download, diakses pada tanggal 16 Juni 2016

Peraturan Perundang-Undangan:





Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di
Daerah, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 38.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244.

29