PENDAPAT HUKUM LEGAL OPINION ANALISIS KA (1)

PENDAPAT HUKUM (LEGAL OPINION)
ANALISIS KASUS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
(KDRT)
YANG DIALAMI IBU KARSIWEN SEBAGAI BENTUK
PENGANIAYAAN SERTA PERLINDUNGAN HUKUMNYA

DISUSUN OLEH :
NAMA
NIM
ROMBEL
MATA KULIAH

: VINA AININ SALFI YANTI
: 8111416038
: 06
: HUKUM DAN HAM

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017


PENDAPAT HUKUM (LEGAL OPINION)
ANALISIS KASUS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
(KDRT)
YANG DIALAMI IBU KARSIWEN SEBAGAI BENTUK
PENGANIAYAAN SERTA PERLINDUNGAN HUKUMNYA
I.Fakta dan peristiwa
Pasangan suami istri, yakni Ibu Karsiwen seorang ibu rumah
tangga berumur 42 tahun dan Bapak Kasmijan berumur 43 tahun
tinggal di Ngablak Indah Rt 01/04, Bengetayu Kulon, Kecamatan
Genuk, Semarang. Awalnya, kehidupan rumah tangga keduanya baikbaik saja, namun sejak 14 tahun terakhir dirasa tak harmonis lagi.
Setiap kali pulang ke rumah, mereka selalu bertengkar dan
dampaknya mereka tidak lagi tinggal serumah. Pada Sabtu, 12
November 2011 sekitar pukul 08:15 WIB Bapak Kasmijan mendatangi
Ibu Karsiwen dengan marah-marah dan langsung memukulnya.
Setelah puas menghajar menggunakan balok kayu, menendang
dengan sepatu, menginjak, dan membenturkan kepala korban hingga
tak berdaya, Bapak Kasmijan pergi begitu saja meninggalkan Ibu
Karsiwen. Akibat penganiayaan tersebut, Ibu Karsiwen mengalami
luka-luka di bagian paha dekat pinggul, wajah, dan kaki memar, perut
sakit, serta kepalanya sering pusing karena dibenturkan ke lantai.

Atas kejadian ini, Ibu Karsiwen melaporkan Bapak Kasmijan ke
Polrestabes Semarang lantaran kekerasan rumah tangga yang
dialaminya. Kepada Mapolrestabes Ibu Karsiwen mengatakan bahwa
dirinya sering dianiaya dan mendapatkan berbagai siksaan serta
pukulan dari suaminya jika sedang marah. Karena itu, Ibu Karsiwen
tak jarang mengalami luka-luka akibat dianiaya suaminya itu.
II.

Permasalahan
1. Apakah Bapak Kasmijan dapat dikenakan hukuman atas
penganiayaan berat ?
2. Lalu, bagaimana dengan perlindungan hukum untuk Ibu
Karsiwen sebagai korban dari kekerasan dalam rumah
tangga?

III.

Peraturan hukum
1. Dalam Pasal 354 ayat (1) KUHP di mana dalam pasal tersebut
menjelaskan bahwa unsur penganiayaan berat terdiri dari :

adanya kesengajaan, adanya perbuatan, adanya akibat
perbuatan (yang dituju) yakni rasa sakit pada tubuh dan luka
berat pada tubuh.

2. Lalu, yang dinamakan penganiayaan berat adalah apabila
melakukan penganiayaan yang menimbulkan luka berat,
adapun luka berat itu sendiri dalam pasal 90 KUHP adalah
jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan
akan sembuh sama sekali; yang menimbulkan bahaya maut;
tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan
atau pekerjaan pencarian; kehilangan salah satu panca indera;
mendapat cacat berat; menderita sakit lumpuh; terganggunya
daya pikir selama empat minggu lebih; gugur atau matinya
kandungan seorang perempuan.
IV.
Analisis uji syarat
Suatu perbuatan yang dapat menimbulkan luka-luka seseorang
disebut penganiayaan. Penganiayaan diatur dalam Pasal 351 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Adapun isi dari pasal 351
tersebut adalah sebagai berikut :

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua
tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah,
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Mengenai angka (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja
merusak kesehatan, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap pasal
demi
pasal
mengatakan
bahwa
menurut
yurisprudensi,
“penganiayaan” yaitu sengaja menyebutkan perasaan tidak enak
(penderitaan), rasa sakit, atau luka. Penganiayaan disamakan dengan

sengaja merusak kesehatan orang, seperti berikut :
- Perasaan tidak enak, misalnya mendorong orang terjun ke sungai
sehingga basah, menyuruh orang berdiri di terik matahari, dan
sebagainya
- Rasa
sakit,
misalnya
menyubit,
mendupak,
memukul,
menempeleng, dan sebagainya
- Luka, misalnya mengiris, memotong, menusuk, dan lain-lain
- Merusak kesehatan, misalnya orang sedang tidur, dan berkeringat,
dibuka jendela kamarnya, sehingga orang itu masuk angin
Penganiayaan itu sendiri dapat dikategorikan sebagai
penganiayaan ringan maupun berat. Begitupun dengan pemberian
pidananya, akan berbeda antara penganiayaan ringan dan
penganiayaan berat. Suatu penganiayaan itu dikatakan sebagai
penganiayaan ringan ataupun penganiayaan berat itu dilihat dari
akibat dari penganiayaan tersebut. Namun, dalam pasal 90 KUHP


dijelaskan bahwa kategori penganiayaan dengan luka berat adalah
apabila seseorang itu jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak
memberi harapan akan sembuh sama sekali; yang menimbulkan
bahaya maut; tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas
jabatan atau pekerjaan pencarian; kehilangan salah satu panca
indera; mendapat cacat berat; menderita sakit lumpuh; terganggunya
daya pikir selama empat minggu lebih; gugur atau matinya
kandungan seorang perempuan.
Dalam kasus yang terjadi pada Ibu Karsiwen unsur adanya
kesengajaan terpenuhi yakni pada Sabtu, 12 November 2011 sekitar
pukul 08:15 WIB Bapak Kasmijan mendatangi Ibu Karsiwen dengan
marah-marah dan langsung memukulnya. Hal ini menunjukkan
terpenuhinya unsur kesengajaan Bapak Kasmijan terhadap
penganiayaan Ibu Karsiwen. Unsur kedua yaitu adanya perbuatan. Di
sini ditunjukkan pada saat Bapak Kasmijan mendatangi Ibu Karsiwen
dengan marah-marah dan langsung memukulnya. Setelah puas
menghajar menggunakan balok kayu, menendang dengan sepatu,
menginjak, dan membenturkan kepala korban hingga tak berdaya,
Bapak Kasmijan pergi begitu saja meninggalkan Ibu Karsiwen. Hal ini

menunjukkan bahwa unsur adanya perbuatan telah terpenuhi. Unsur
ketiga yaitu adanya akibat perbuatan (yang dituju) yakni rasa sakit
pada tubuh dan luka berat pada tubuh. Namun, klasifikasi dari luka
berat itu sendiri telah dijelaskan dalam pasal 90 KUHP yaitu jatuh
sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh
sama sekali; yang menimbulkan bahaya maut; tidak mampu terusmenerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian;
kehilangan salah satu panca indera; mendapat cacat berat; menderita
sakit lumpuh; terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;
gugur atau matinya kandungan seorang perempuan. Dalam unsur
ketiga ini akibat dari perbuatan Bapak Kasmijan terhadap Ibu
Karsiwen tidak terpenuhi dari klasifikasi yang disebutkan dalam pasal
90 KUHP tersebut. Karena di sini Ibu Karsiwen hanya mengalami lukaluka di bagian paha dekat pinggul, wajah, dan kaki memar, perut
sakit, serta kepalanya sering pusing karena dibenturkan ke lantai.
Selain itu dalam fakta dan peristiwa dijelaskan bahwa Ibu Karsiwen
sendiri dapat melapor kepada Mapolrestabes,dan mengatakan bahwa
dirinya sering dianiaya dan mendapatkan berbagai siksaan serta
pukulan dari suaminya jika sedang marah. Maka di sini Ibu Karsiwen
dianggap luka yang dideritanya bukan termasuk luka dalam kategori
berat sebagaimana pasal 90 KUHP dimaksud.
V.


Kesimpulan
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan

secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Pengertian ini
dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kekerasan
dalam rumah tangga ini menimbulkan suatu perbuatan yang
dinamakan penganiayaan. Secara umum tindak pidana terhadap
tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan”, mengenai arti dan makna
kata penganiayaan tersebut banyak perbedaan diantara para ahli
hukum dalam memahaminya. Penganiayaan diartikan sebagai
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa
sakit (pin) atas luka (letsel) pada tubuh orang lain. (Satochid
Kartanegara : 509). Adapula yang memahami penganiayaan adalah
“dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka, kesengajaan itu

harus dicantumkan dalam surat tuduhan” (Soenarto Soerodibroto,
1994:211). Sedangkan dalam doktrin/ilmu pengetahuan hukum
pidana penganiayaan mempunyai unsur seperti : adanya
kesengajaan, adanya perbuatan, adanya akibat perbuatan (yang
dituju) yakni rasa sakit pada tubuh dan luka pada tubuh. Maka untuk
penganiayaan berat sudah barang tentu akibat dari perbuatan atau
luka yang diakibatkan penganiayaan itu sendiri tergolong luka berat,
sedangkan luka berat telah diklasifikasikan dalam pasal 90 KUHP
sebagaimana disebutkan di atas.
Berdasarkan uji syarat terhadap akibat dari perbuatan
penganiayaan yang dilakukan Bapak Kasmijan terhadap Ibu Karsiwen
dalam pasal 90 KUHP sebagaimana dimaksud, maka hal ini
membuktikan bahwa luka yang diderita oleh Ibu Karsiwen termasuk
kategori luka ringan dan penganiayaan yang dialami oleh Ibu
Karsiwen ini tidak bisa masuk dalam penganiayaan yang dimaksud
pasal 354 ayat (1). Sehingga Bapak Kasmijan dalam hal ini tidak
dapat dikenakan pasal 354 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana sebagaimana yang berbunyi “Jika perbuatan mengakibatkan
luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun”.

Namun dalam hal ini, untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya atas kekerasan rumah tangga yang dilakukan terhadap
istrinya, Ibu Karsiwen dapat dikenakan pasal 352 ayat (1) yang
berbunyi “(1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka
penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai
penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan
kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi
bawahannya” .
Hal ini dikarenakan luka-luka memar akibat
perbuatan Bapak Kasmijan tidak menjadi halangan bagi Ibu Karsiwen
untuk melakukan pekerjaannya, termasuk tidak menjadi halangan
ketika Ibu Karsiwen melaporkan hal tersebut pada Polrestabes
Semarang.

Disebut penganiayaan ringan karena penganiayaan ini tidak
menyebabkan luka atau penyakit dan tidak menyebabkan si korban
tidak bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya. Rumusan dalam

penganiayaan ringan telah diatur dalam pasal 352 KUHP sebagai
berikut :
“Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan
yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan atau jabatan atau pencaharian, dipidana dengan pidana
ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda
paling banyak empat ribu lima ratus”
Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan
kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi
bawahannya.
Namun dalam praktiknya, luka-luka yang menimbulkan memar
itu digolongkan sebagai penganiayaan biasa sebagaimana dalam
pasal 351 ayat (1) KUHP. Sebagai contoh kasus dapat dilihat dalam
Putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor 33/PID.B/2013/PN-BNA.
Dalam putusan tersebut bahwa terdakwa memukul kedua lengan
saksi dengan menggunakan gagang sapu. Akibat dari perbuatannya
ini, terdakwa dihukum berdasarkan pasal 351 ayat (1) KUHP tentang
penganiayaan dengan hukuman pidana penjara selama 2 (bulan)
bulan.
Sebagai contoh lain juga dapat kita lihat dalam Putusan
Pengadilan Tinggi Bangka Belitung Nomor 25/PID/2011/PT BABEL.
Dalam pemeriksaan di pengadilan berdasarkan visum diketahui
bahwa terdapat luka memar berwarna biru di kepala, tampak luka
memar di lengan belakang sebelah kanan berwarna biru, luka ini
disebabkan karena terdakwa memukul ke arah kepala saksi berkalikali dengan menggunakan tangannya yang mengepal. Akhirnya
hakim menghukum atas dasae tindak pidana penganiayaan dalam
pasal 351 ayat (1) KUHP dengan pidana penjara selama tiga bulan.
Maka, sekali lagi terhadap kasus Ibu Karsiwen ini, kepada Bapak
Kasmijan dapat dikenakan pasal 352 ayat (1) tentang perbuatan
tindak pidana penganiayaan ringan dengan pidana penjara paling
lama tiga bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus atau
setara dengan empat juta lima ratus ribu rupiah.
Lalu, mengenai perlindungan hukum terhadap Ibu Karsiwen
sebagai korban dari kekerasan dalam rumah tangga pada dasarnya,
perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga atau
yang biasa disingkat KDRT seperti yang dialami Ibu Karsiwen ini
bertujuan memberikan rasa aman kepada korban terutama pada saat
memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana. Selain
itu seorang korban seperti Ibu Karsiwen ini juga akan mendapatkan
hak-hak tertentu seperti yang dijelaskan dalam pasal 5 ayat (1) UU
No. 31 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 13 tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Seperti diketahui kekerasan

dalam rumah tangga telah diatur dalam UU No. 23 tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Ketentuan UU
tersebut telah mengatur sejumlah delik pidana yang dapat terjadi
dalam tindakan KDRT. Dengan demikian dalam hal ini terkait korban
dalam tindak pidana KDRT berhak memperoleh hak sebagaimana
diatur dalam ketentuan pasal 5, 6, dan pasal 7 dalam UU No. 31
tahun 2014, dan tentunya berhak mendapat perlindungan dari
LPSK( Lembaga perlindungan Saksi dan Korban). Selain itu juga dalam
UU No. 23 tahun 2004 pasal 10 dijelaskan hak-hak korban KDRT yang
terdiri atas lima macam hak, diantaranya : perlindungan dari pihak
keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial,
atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan; pelayanan kesehatan sesuai
dengan kebutuhan medis; penanganan secara khusus berkaitan
dengan kerahasiaan korban; pendampingan oleh pekerja sosial dan
bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai
dengan ketentuan peraturan per-uu-an, dan pelayanan bimbingan
rohani.
Pada dasarnya, kita dapat berkaca dengan melihat beberapa
putusan dibeberapa pengadilan negeri mengenai kasus kekerasan
dalam rumah tangga yang serupa dialami oleh Ibu Karsiwen, salah
satunya dalam suatu putusan hakim, tidak ditemukan adanya
pemberian hak-hak korban baik berupa ganti rugi atau kompensasi
dalam bentuk materi kepada korban atas harm yang mereka alami.
Berkaitan dengan masalah kompensasi ini victimologi melihat salah
satu tujuan pengaturan ganti kerugian adalah mengembangkan
keadilan kesejahteraan mereka yang menjadi korban, menderita
mental, fisik, sosial. Pada seharusnya pelaksanaan peraturan ganti
kerugian yang baik itu memberikan kemungkinan kepada pihak
korban untuk secara leluasa ikut serta menyatakan pendapatnya.
Menurut Angkasa, restitusi perlu diintegrasikan ke dalam sistem
peradilan pidana. Hal ini dengan pertimbangan bahwa restitusi
merupakan lembaga pidana yang dapat memberikan manfaat bagi
korban, pelaku, negara, dan masyarakat sebagai penggantian
kerugian finansial, perbaikan, dan/atau pengobatan atas luka-luka
fisik maupun penderitaan psikologis sebagai korban tindak pidana
yang telah menimpanya. Restitusi ini akan sangat berarti utamanya
seperti yang dialami Ibu Karsiwen karena korban tindak pidana ini
cenderung menjadi korban ganda, pertama, menjadi korban atas
kekerasan yang dilakukan suaminya, dan kedua, menjadi korban
ketika memasuki sistem peradilan pidana yang paradigmanya masih
berorientasi terhadap pelaku. Menurut Schreider, prosedur restitusi
ada 5 (lima) cara : Pertama, model basic restitution dengan prosedur
pelaku membayar kepada pengadilan, dan pengadilan kemudian

memberikan uang tersebut kepada korban, Kedua, model expanded
basic restitution dengan prosedur pelaku dicarikan pekerjaan (bagi
pelaku yang berpenghasilan rendah dan berusia muda), Ketiga,
model victim assistance dengan prosedur pelaku diberi kesempatan
membantu korban sehingga korban dapat menerima ganti rugi secara
penuh, Keempat, model victim assistance-offender accountability
demi penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak, dilakukan
dengan negosiasi dan kadang-kadang dengan mempertemukan
kedua belah pihak, Kelima, model
community accountabilitydeterrence dengan prosedur permintaan ganti rugi dimintakan oleh
sekelompok orang sebagai wakil dari masyarakat. Permintaan ganti
rugi meliputi jenis pekerjaan yang harus dilakukan, maupun jadwal
pembayaran ganti rugi.
Namun, model basic restitution tampaknya yang paling selaras
dan tepat untuk dipakai putusan hakim perkara KDRT, dengan
membayar melalui pengadilan akan lebih terkontrol dalam arti
menghindarkan dari pengingkaran kewajiban pelaku untuk membayar
restitusi, serta lebih memudahkan dalam penegakan hukumnya
apabila terdapat pihak-pihak yang menyalahi.

DAFTAR RUJUKAN
Angkasa. 2003. “Kedudukan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana”.
Disertasi Program Ilmu Hukum UNDIP Semarang
Kurniawan, Lely Setyawati.2015.Refleksi Diri Terhadap Korban dan
Pelaku KDRT. Yogyakarta: CV. Andi Offset
Moeljatno. 2006. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jakarta
: Penerbit Aksara
Prayudi, Guse. 2008. Berbagai Aspek Tindak Pidana KDRT. Yogyakarta:
Merkid Press
Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga (UU PDKRT). Lembaran Negara RI Tahun 2004, No. 95.
Sekretariat Negara. Jakarta
Republik Indonesia. 2006. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Lembaran Negara RI Tahun 2006, No. 64. Sekretariat Negara.
Jakarta
Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
31 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 13 Tahun 2006
Perlindungan Saksi dan Korban. Lembaran Negara RI Tahun
2014, No. 293. Sekretariat Negara. Jakarta
Putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor 33/PID.B/2013/PN-BNA,
diakses pada Jumat, 27 Oktober 2017 pukul 13:00 WIB
Putusan Pengadilan Tinggi Bangka Belitung Nomor 25/PID/2011/PT
BABEL, diakses pada Jumat, 27 Oktober 2017 pukul 13:00 WIB
http://www.hukumonline.com/ , diakses pada Jumat, 27 Oktober 2017
pukul 13:24 WIB