Lebaran dilema dua sisi yang saling melu

Lebaran, Dilema dua sisi yang saling melukai
“Kalau ingin sukses datanglah ke Jakarta”, itulah yang selalu didengungdengungkan kebanyakan orang jika mereka ingin menjadi sukses dan kaya raya.
Hastrat untuk menjadi sukses selalu diidentikkan dengan pergi ke Ibukota karena
kesempatan meraih kesuksesan di Ibukota jauh lebih terbuka daripada di desa
dan/atau kota-kota lainnya di Indonesia. Apalagi menjelang momen lebaran saat ini,
sudah pasti banyak yang akan membawa sanak saudara mereka dari kampung
halaman ke Ibukota Jakarta, padahal Jakarta sudah penuh sesak dengan
banyaknya lautan manusia. Banyak alasan yang dipakai, mulai dari menyebabkan
kekumuhan, akan hanya menjadi pengangguran, menyebabkan kemacetan, dan
sebagainya. Mungkin hal-hal yang disebutkan itu benar, tetapi negeri ini suka
melihat masalah dari kulitnya saja, tidak melihat secara keseluruhan bagaimana
caranya agar masalah yang sama tidak terulang kembali. Tulisan ini ingin
menunjukkan bagaimana sebenarnya jalan keluar bagaimana memecah masalah ini
agar pemprov DKI Jakarta tidak dituduh sebagai pelanggar Hak Asasi Manusia
(HAM) karena melarang warga dari kota lain untuk datang ke Jakarta sekaligus
mengubah paradigma agar Jakarta tidak lagi menjadi primadona sebagai tempat
meraih kesuksesan.
Makna HAM, dilema dua sisi
HAM adalah perlindungan yang diberikan kepada manusia karena kemanusiannya,
bukan karena status sosial maupun jabatan,pribadi,kewajiban yang dimilikinya
(Benny Setianto:2003). Berbekal pengertian inilah HAM dimaknai sebagai moralitas

baru

dalam

menyusun

ketentuan-ketentuan

yang

dapat

diterima

oleh

masyarakatnya. Indonesia sendiri sudah meratifikasi dua kovenan penting dalam
perlindungan HAM sehingga Indonesia terikat dua kovenan itu, yaitu kovenan
tentang Hak Sipil dan Politik serta kovenan tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya dengan UU No.11 Tahun 2005 dan UU No.12 Tahun 2005. Di dalam

kovenan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya tersebut dicantumkan bahwa
menjamin hak untuk berpindah dan menetap selama masih dalam batas- batas
negara bersangkutan. Ketentuan ini merupakan seruan yang amat jelas bagi negara
untuk tidak melakukan tindakan guna menghalangi warganya bepergian dengan

alasan sewenang-wenang. Hal inilah yang harus dipahami oleh pemprov DKI
Jakarta bahwa tidak boleh melarang orang sembarangan untuk berpindah-pindah
tempat termasuk pergi ke Ibukota Jakarta dengan operasi Yustisi maupun dengan
cara-cara kasar maupun halus yang akan dilakukan karena Indonesia sendiri sudah
terikat dengan kedua kovenan tadi. Dalam hukum internasional, bila suatu negara
sudah meratifikasi sebuah perjanjian maka negara tersebut wajib tunduk kepada isi
dari perjanjian tersebut, dan terikat secara hukum dalam isi-isi pasalnya. Indonesia
juga secara moral terikat dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
yang tiap 10 Desember diperingati masyarakat dunia, meskipun deklarasi hanya
terikat secara moral, bukan secara hukum. Berbekal kedua perjanjian internasional
inilah, Indonesia menyetujui HAM sebagai moralitas baru dalam masyarakatnya.
Dilema inilah yang mungkin dialami oleh pemprov DKI Jakarta, di satu sisi ingin
merapikan kota Jakarta, tapi di satu sisi takut dibilang akan melanggar HAM.
Persoalan-persoalan inilah yang menganggu apakah melanggar HAM atau soal tata
estetika kota dan sebagainya. Maka dari itu berbagai macam dilakukan agar

mencegah datangnya pendatang baru sehabis libur lebaran nanti, yang mungkin
sudah menjadi tradisi dimana mereka yang pulang kampung akan membawa sanak
saudaranya untuk mengadu nasib di Ibukota. Jika pada jaman Gubernur Sutiyoso
dilakukan operasi Yustisi kependudukan, tetapi pada jaman Gubernur Joko Widodo
dilakukan dengan cara yang lebih halus dan lebih “ngemong”. Pernyataan keras
justru dilontarkan oleh Wakil Gubernur Basuki Tjahja Purnama yang melarang orang
yang tidak mempunyai pekerjaan untuk datang ke Jakarta. Mungkin cara-cara yang
dilakukan seorang pemimpin haruslah otoriter, tetapi cara-cara tersebut tidak akan
menyelesaikan masalah. Sebab akar permasalahannya sendiri pun tidak dicabut,
hanya memotong ranting-ranting dan daunnya saja akan menyebabkan pohon
tersebut tumbuh lagi. Dan yang terjadi adalah kita akan lelah sendiri melihat
permasalahan yang terus ada, padahal masih banyak masalah lain yang harus
diselesaikan di Jakarta yang membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit
tentunya. Jika permasalahan ini diteruskan, maka energi kita akan tersedot oleh halhal yang menyebabkan kemunduran bangsa ini. Padahal bangsa lain sudah
memikirkan bagaimana caranya membuat teknologi-teknologi yang canggih,
sementara bangsa kita justru sibuk mengurusi hal-hal seperti ini.
HAM dan pembatasannya

Kesepakatan masyarakat internasional dalam Konferensi Wina tahun 1993
menganggap bahwa hak-hak sipil dan politik dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan

budaya adalah universal dan saling terkait. Tetapi dalam deklarasi Wina mengakui
bahwa perbedaan pendekatan yang dilakukan akan memajukan kedua hak-hak
tersebut. sebagai contoh di Singapura sangat membatasi hak-hak politik bagi warga
negaranya tetapi sangat memberikan keleluasaan dalam hak-hak ekonominya.
Perbedaan pendekatan ini diperbolehkan sepanjang dapat menunjukkan hasil yang
nyata. Bagaimana dengan Indonesia?, Indonesia justru mencampurkan kedua hakhak tersebut yang justru menyebabkan ketimpangan sosial terjadi dimana-mana.
Ketidakberdayaan pemerintah inilah dalam bidang ekonomi yang menyebabkan
ketimpangan antara perekonomian desa dan kota terjadi, dan terjadi pemusatan
ekonomi di kota khususnya Pulau Jawa. Justru ikut campurnya pemerintah dalam
bidang ekonomi yang menyebabkan pelanggaran HAM terjadi dimana-mana tanpa
disadari sebelumnya. Hal ini terjadi karena pencampuran kedua hak-hak tadi
dicampur aduk sehingga tidak jelas program mana yang lebih didahulukan agar
kedua hak-hak tersebut dapat dimajukan. Inilah sebenarnya permasalahan besar
yang terjadi di republik kita tercinta ini, penjajahan yang terjadi selama beratus-ratus
tahun seharusnya Indonesia memprioritaskan penegakan HAM di bidang pendidikan
karena hanya sedikit sekali pada jaman penjajahan yang menerima pendidikan.
Setelah mencerdaskan kehidupan masyarakatnya dengan ketrampilan, pola pikir
yang terbuka, berintegritas, punya komitmen terhadap bangsa dan negara, saling
menghargai satu sama lain kemudian barulah kemudian masyarakat menciptakan
governance di antara mereka sendiri. Sehingga mereka bisa menciptakan kehidupan

ekonomi yang lebih sejahtera di tempat asal mereka ketimbang harus pergi ke
Ibukota untuk mengadu nasib, padahal ke Ibukota belum tentu nasib baik akan
mereka terima. Sekaligus keputusan-keputusan yang menyangkut hidup mereka pun
lebih produktif untuk menunjang kehidupan mereka. Jika mereka sendiri tidak punya
pendidikan yang cukup, bagaimana mereka bisa menciptakan kehidupan ekonomi
yang lebih baik? Sementara pemusatan ekonomi terjadi hanya di pulau Jawa saja.
Maka jangan salahkan mereka bila mereka berpikir kehidupan di Ibukota lebih baik
dengan gedung-gedung megah yang tinggi dan indah di televisi yang mereka beli di
kampung halaman mereka. mereka seolah-olah iri dengan kemegahan Ibukota jika
dibandingkan dengan kampung halaman mereka, dan menciptakan imajinasi bahwa
di Ibukota akan dapat meraih nasib yang sedikit lebih baik. Pola berpikir yang sudah

tertanam seperti itu yang menyebabkan mereka terus berdatangan ke Ibukota. Inilah
bukti bahwa negara kita tidak memprioritaskan mana yang lebih dulu penegakan
HAM yang harus didahulukan dan dapat menunjukkan hasil yang nyata. Pendidikan
dalam khazanah HAM termasuk hak-hak positif dimana membutuhkan peran negara
dalam mewujudkan HAM tersebut. berarti dalam bidang pendidikan, pemerintah
harus peduli dan bijak dalam menyelenggarakan pendidikan. Bukan seperti
sekarang, justru pendidikan carut marut dan malah menimbulkan banyak masalah.
Hal inilah yang harus direnungkan setiap pihak jika ingin di antara kita tidak

melanggar HAM tanpa kita sadari. Proses ini membutuhkan waktu yang amat
panjang dan melelahkan, dan juga membutuhkan kepedulian dan kebijaksanaan
terutama dari negara khususnya pemerintah. Jika hal ini tidak dimulai dari sekarang,
jangan salahkan Pemprov DKI Jakarta jika mereka terus mencari cara agar
melarang pendatang baru masuk ke lingkungan Ibukota. Hal ini harus kita sadari dan
direnungkan secara bersama-sama.

Remigius Nikolas Wijaya
Mahasiswa Semester 6
Fakultas Hukum Unika Soegijapranata