Cerpen Yakinlah Tidak ada yang tidak mun

Assalamu’alaikum,…
Perkenalkan nama saya Evi Datus Selamah. Saya dilahirkan di Bondowoso tepatnya
pada hari jum’at, 01 Mei 1998 dari pasangan Bapak Samarwi & Ibu Juhairiyah. Saya
anak kedua dari tiga bersaudara. Saya memiliki adek bernama Muhammad Zainudin
yang saat ini menempuh pendidikan di MAN Bondowoso kelas X. Kakak saya
bernama Mustakimah yang saat ini menempuh pendidikan di STAI At-Taqwa
Bondowoso semester 7. Saat ini saya tinggal di kota Malang untuk menempuh study
di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Sebelum tinggal di
Malang, saya tinggal di Jl. Sersan Atmari desa Curahpoh Rt 06 Rw 01 kecamatan
Curahdami kabupaten Bondowoso. Sekian identitas yang dapat saya paparkan,
mohon maaf dan terimakasih.

Yakinlah! Tidak Ada Yang Tidak Mungkin
Sudah cukup aku berada dalam keterpurukan. Hidupku senantiasa dipenuhi
kesenangan yang tidak menenangkan, penuh dengan pelanggaran. Saat itu aku duduk
di kelas IX SMP Negeri 1 Sumenep. Tokek sapaan akrab untukku dikala itu. Nama
bagus Fatimah Az-Zahra rela kuganti dengan panggilan tokek karena pengaruh
pergaulan. Aku sempat berfikir “sejak kelas VII&VIII SMP, guru-guru sudah
mempercayai bahwa diriku termasuk siswi yang berprestasi dan tidak nakal. Kelas IX
pun nilaiku masih bagus. Lantas apa yang membatasiku untuk berbuat sesuatu yang
berbeda dari sebelumnya. Apa yang menjadi jarak pergaulanku selama ini? Mungkin

karena aku terlalu pendiam dan hanya fokus pada pelajaran sehingga aku tak
memiliki banyak teman” gumamku dikala itu. Sehingga mendorongku untuk
mencoba keluar dari zona kesendirian menuju zona keramaian, karena kurasa hal itu
lebih menyenangkan. Bisa dinggap gaul & kekinian. Tiap hari sebelum masuk
sekolah, aku dan kelima temanku selalu nongkrong di luar hingga seringkali kami
terlambat masuk kelas tak luput dari hukuman. Bahkan hukuman menjadi sarapan
pagi yang diberikan oleh guru-guru untuk kami. Mulai dari ngaji di luar kelas, hingga
dijemurpun hal itu tidak menimbulkan efek jera bagi kami karena pada saat itu
berkomitmen akan selalu kompak dalam hal apapun. Walaupun hukuman selalu ada ,
hal itu tidak menjadi penghalang asalkan dijalani bersama. Ketika ada guru yang
mengajar di dalam kelaspun kami tetap ramai dan asyik bercerita, tidak
memperhatikan guru, hingga seringkali guru-guru mengeluh untuk mengajar di
kelasku. Hari-hari yang sedemikian rupa tetap kami jalani hingga tiba saatnya
pengumuman kelulusan. Ketika pengumuman kelulusan hendak dimulai, dengan
PDnya diriku mengatakan dalam hati,”aku pasti lulus, karena soal ujian yang
kukerjakan pada waktu itu sangat mudah, aku yakin nilaiku pasti besar dan akupun
lulus dengan membawa prestasi yang membanggakan”. Aku lupa bahwa tak hanya
nilai yang menjadi tolak ukur kelulusan, tapi karakter dan akhlaq juga menjadi
penilaian. Ketika tiba saatnya wali kelas memberikan amplop yang berisi
pengumuman kelulusan, detak jantungku mulai berdebar terasa ada yang membisiki


bahwa aku tidak lulus. Ketika kubuka amplop tersebut, kulihat didalamnya tertera
bahwa aku TIDAK LULUS, seketika itu aku histeris dan berteriak “Tidakkkkk” dan
tiba-tiba air mataku menetes dengan sendirinya,penuh penyesalan. Akupun teringat
semua yang kulakukan semasa mencari ilmu. Diriku menangis tak sadarkan diri. Lalu
wali kelasku bertanya “kamu kenapa, yang lain bahagia kok kamu menangis?”. “Ini
lho pak saya tidak lulus, apa pengumuman ini tidak salah?” jawabku kembali
bertanya. Kemudian wali kelasku mengatakan dengan sabarnya “coba kamu
perhatikan, mungkin itu salah”. “Tapi ini benar pak” sahutku sambil menunjukkan
tulisan tersebut. “Lho ini apa!” sambut wali kelasku sambil menunjukkan amplop
yang serupa. Kemudian aku membukanya dan benar didalamnya berisi pernyataan
bahwa aku LULUS. Ternyata amplop pertama yang kuterima ialah surat penyataan
yang palsu. Walau sebenarnya lulus, tetap saja diriku tak bisa tersenyum. Aku tetap
menangis entah bahagia atau merana. Sempat terbesit dalam benakku “mengapa harus
aku yang dijadikan bahan percobaan, sementara teman-temanku yang lebih nakal
tidak diperlakukan sepertia apa yang kurasakan saat ini, sungguh tak kusangka, ini
tidak adil, aku kecewa”. Dan aku masih bertanya-tanya tentang hal itu. Lambat laun
aku menyadari bahwa yang kulakukan selama ini memang salah. Terlintas dalam
benakku “ketika aku merasa kecewa, apakah guruku tidak lebih kecewa dengan
perubahanku?” selama ini aku sudah dipercaya namun kusalahgunakan kepercayaan

tersebut, betapa dzolimnya diriku. Seketika itu juga, aku meminta maaf pada guruguru, lebih-lebih pada guru yang sering tak kuhiraukan ketika beliau mengajar.
Kulihat memang beliau mengiyakan, tetapi mungkin kecewa yang dirasakan masih
membekas sehingga setiap kali melihat wajahku beliau menampakkan wajah tidak
suka. Aku mencoba untuk berubah menjadi yang lebih baik, menata sopan santun,
namun hal itu tetap saja tidak meyakinkan guru-guru disana. Hingga tiba saatnya
perpisahan kelas IX SMP Negeri 1 Sumenep, guru-guru tetap bersikap acuh padaku
sekalipun pada waktu itu aku memperoleh piala juara 3 pararel dan juara 3 Nilai UN
tertinggi. Guru-guru tidak membanggakan diriku seperti dulu lagi, tak pula
memberikan ucapan selamat. Aku rindu ucapan selamat dari guru ketika meraih
peringkat di kelas VII danVIII dulu. Aku rindu senyuman tulus dari guruku. Andaikan

waktu dapat diputar, maka aku takkan pernah memilih eksistensi bersama temanku
jika akhirnya membuat diriku menderita. Aku termasuk siswi yang suul khotimah
dimasa SMP. Hal itu membuatku berfikir untuk menjadi lebih bijak lagi karena aku
berhusnudzon kepada Allah bahwa Dia masih menyayangiku dan inilah yang terbaik
untukku. Jika tidak diuji dengan hal yang demikian, mungkin saja diriku tetap terlelap
dalam keburukan. Pengalaman yang sangat suram itu cukup menjadi pelajaran bagiku
untuk menjadikan pribadi yang lebih baik kedepannya. Kumulai menata niat kembali
dan berjuang untuk tidak jatuh pada jurang yang sama ketika Aliyah nanti.
Kumulai menjalani hidup yang baru dengan melanjutkan study di MAN

Sumenep. Disana aku lebih berhati-hati dalam memilih teman dan mengambil
tindakan. Akhlaq kepada guru lebih kuutamakan daripada ilmu itu sendiri. Sekiranya
tidak lagi menyakiti hati guru yang telah mengajariku, karena aku mulai tau bahwa
ketika guru telah ridho memberi ilmu kepada kita,maka ilmu itu sangatlah mudah
untuk didapatkan. Disana aku mulai mengenal barokah dan mengabdi. Guru-guru
yang mengajariku selalu memberi motivasi akan kesuksesan orang yang mengabdi.
Entah mengabdi pada Allah, orangtua, guru,bahkan kepada teman sebayapun kita
diajari untuk mengabdi. Keikhlasan guru dalam mengajar membuat kita ikhlas pula
untuk menjalani apa yang dianjurkan. Aku merasa bahwa diriku tidak salah memilih
sekolah yang berbasis islami ini yang didalamnya mengutamakan pendidikan karakter
sehingga kita menjadi terdidik.
Ketika lama di Aliyah, akhlaq kepada orang lain mulai kurubah sedikit demi
sedikit. Sesekali kudatangi guru-guru di SMP untuk bersilaturrahmi. Ketika kusapa
guru disana dengan senyum lebar menandakan kerinduan, ternyata respon guru-guru
disana biasa-biasa saja. Seolah-olah tidak pernah memiliki murid sepertiku. Betapa
hinanya diriku dipandangan beliau. Mungkin rasa kecewa tahun lalu masih
membekas. Aku memahami hal itu, mencoba untuk berubah lebih baik dan berusaha
membuktikan bahwa aku telah kembali untuk tidak nakal lagi.

SMA/ Aliyah ialah masa-masa yang paling menyenangkan bagiku. Setelah

trauma dengan pergaulan bebas yang tidak menguntungkan, kini aku lebih
memperdalami ilmu agama. Terasa duniaku tebalik 180o . Yang mulanya ternakal,
teramai di kelas akhirnya menjadi terdiam. Apapun yang dikatakan guru, kusimak
baik-baik. Apalagi saat kutemukan teman yang sejalan denganku, mengerti arah
pikiranku, dan selalu menasehati ketika aku salah. Maka selangkahpun menuju jalan
yang salah, seketika itu juga kuteringat akan nasehat-nasehat. Rasanya aku paling
beruntung bisa memiliki teman seperti dia. Pria sholih yang sangat baik dan sopan
kepada orangtuanya menimbulkan daya tarik tersendiri bagiku. Jangankan
membentak orangtuanya, mengatakan tidak saja ia enggan. Sudah terlihat, jika baik
terhadap orangtuanya pasti ia akan baik kepada semua orang. Memang ia tak rupawan
tapi dermawan, Dia mengajari arti keikhlasan, mengabdi, berbagi walau hanya
sedikit, sopan santun, tawaduk dan kesabaran. Bagaimana tidak tertarik untuk
menirunya, sedangkan didalam dirinya terdapat hal yang ingin kuraih selama ini.
Tentu saja hal itu membuat diriku tak ingin berpisah dengannya. Ia selalu
menyemangati kala aku mulai putus asa. Ia selalu menemani perjalanan hidupku
semasa Aliyah, satu hari saja tak bersamanya terasa ada yang kurang dalam hidup ini.
Bahkan rasanya ku tak mampu jauh darinya, tak ingin cepat-cepat lulus dari Aliyah
jika nantinya tak kutemukan lagi teman yang akhlaknya seperti dia. Namun, hari terus
berjalan. Siswa tak selamanya bergelar menjadi siswa. Ketika kelas XII semester 2
kumulai memikirkan bagaimana menempuh perjalanan hidup kedepan. Dia memilih

mondok sementara aku ingin melanjutkan kuliah. Aku ingin kuliah di UIN Maliki
Malang, kampus yang terkenal istimewa disekolahku pada saat itu. Namun hal itu
hanya keinginan, aku tidak berani mengungkapkan kepada siapapun kecuali
orangtuaku. Aku malu, siswi sepertiku tidak pantas kuliah disana. Namun keinginan
itu tetap ada, bahkan kusimpan foto-foto gedung dan informasi penerimaan
mahasiswa baru UIN MALIKI Malang di dalam flashdisku. Hingga suatu saat ketika
flashdisku berada ditangannya untuk mengirim sebuah file, tanpa sepengetahuanku ia
buka folder-folder yang ada didalamnya. Dan menemukan foto-foto yang berkenaan
dengan UIN MALIKI Malang, ia mengerti bahwa aku menginginkan kuliah disana.

Hanya sekedar untuk basa-basi ia menayakan lagsung padaku akan kebenaran foto
tersebut . Aku mengiyakan dengan ragu karena merasa tidak pantas, aku katakan
bahwa tak ada kampus yang kupilih selain di UIN namun kurasa itu hanya angananganku yang terlalu tinggi. Lagi-lagi dia menyemangatiku dan mengatakan “tidak
ada yang tidak pantas, tidak ada yang tidak mungkin jika Allah sudah berkehendak
asalkan berusaha bersungguh-sungguh”. Hal itu membuat aku sadar dan kembali
berhusnudzon. Ternyata apa yang dikatakan dia benar. Aku benar-benar diterima di
UIN MALIKI Malang dengan mendapat beasiswa. Dan perantara dia, aku menjadi
yakin, segala keinginan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh pasti akan tercapai.
Sekarang aku bermodal doa dan keyakinan atas kehendak Allah yang terjadi itu pasti
yang terbaik.

Kini saatnya diriku hijrah ke tempat yang lebih jauh untuk menimba ilmu.
Sebelum berangkat menuju UIN MALIKI Malang, aku bersilaturahmi kepada guruguru yang pernah mengajariku. Yakni guru ngaji, guru SD, SMP dan SMA dengan
memohon sambungan doa sekaligus berpamitan. Ketika berpamitan kepada guru
SMP, ternyata beliau tak lagi acuh padaku. Beliau mendukung bahkan bangga dengan
pernyataanku atas diterimanya di UIN MALIKI Malang sekaligus dengan beasiswa.
Wajah kecewa yang ditampakkan dulu kini berubah menjadi senyuman tulus, nasehat,
dan doa yang beliau berikan. Bahkan kepala sekolahku juga mengatakan ”bawa nama
SMPmu ini di sana”. Walau berat terasa memikul amanah yang diberikan kepala
sekolah, namun aku merasa lega. Selama tiga tahun ini aku telah berhasil
menunjukkan perubahanku untuk meyakinkan beliau dengan cara merubah diri
menjadi lebih baik dari sebelumnya. Aku mulai tersenyum dan kukatakan dalam
hatiku “yakinlah! tidak ada yang tidak mungkin”
Dengan takdir Allah, berkat ridho dan doa orangtua, guru, keluarga serta
berbagai pihak akhirnya kini kumulai menjalani study di UIN MALIKI Malang. Aku
berusaha melakukan yang terbaik. Ketika kumulai lengah & bermalas-malasan,
kuselalu teringat pada mereka ‘orang-orang yang telah mempercayaiku’ untuk hijrah
menjadi lebih baik. Terlintas dalam benakku “ketika disini hanya bermalas-malasan,

bermain-main, berfoya-foya sama saja aku menipu orang-orang yang telah
mempercayaiku”. Aku tidak ingin jatuh pada lembah kenistaan untuk yang kedua

kalinya. Mengembalikan kepercayaan oranglain itu sulit ketika kita telah
menyalahgunakannya.
Ketika dalam memilih temanpun disini aku juga lebih berhati-hati. Aku tidak
ingin terjerumus kembali. Apalagi orang yang akan dijadikan teman sejati, pasti
kubandingkan dengan dia apakah sama, lebih baik, ataukah lebih buruk. Mungkin ia
berfikir disini aku akan menemukan yang lebih darinya, memilih yang disini dan
melupakan dia seperti yang ia katakan diwaktu Aliyah dulu. Tidak ada yang tidak
mungkin jika aku tetap memilihnya. Memang disini banyak orang-orang
hebat,berprestasi, namun masih belum kutemukan orang yang sama seperti dia. Boleh
saja Malang menjadi kota idaman tempat berhijrah tapi tidak ada yang tidak mungkin
bagiku, memilih Sumenep sebagai kota tercinta, karena disana aku dilahirkan, disana
pula aku dibesarkan. Disana aku belajar akhlaq yang tak kudapatkan disini. Dan
disana pula aku ingin kembali mewujudkan impian bersamanya. Untuk itu kucari
ilmu sebanyak-banyaknya, kan kukembangkan kota Sumenep menjadi kota maju.
Dan aku yakin tidak ada yang tidak mungkin untuk berhasil jika dilakukan dengan
sungguh-sungguh. Untukmu kotaku tercinta.