Representasi Perempuan dan Pergerakan Fe

REPRESENTASI PEREMPUAN DAN PERGERAKAN FEMINISME
DALAM MEDIA
Farraz Theda
Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Indonesia, Depok, 16425, Indonesia. email: farraz.theda@yahoo.co.id

Abstract
Media is the main source of information in nowadays society. In line with it, media
also becomes the main source of gender representation. Since the beginning of media
development, most of time, woman gets minor position, thus depict as the weakest
and most vulnerable part of society, which then unconsciously gives man higher
position of the hierarchy. However, woman representation in media has significantly
changed, alongside with media’s development. Alongside with paradigm shift of
‘feminine’ concept in the society, and the rise of online feminism movement. The
birth of Internet gives free access and great amount of interactivity for user, thus
makes user easily upload and share personal thoughts. In the other side, power in new
media is not disappeared, therefore distributed and in some way placed woman as a
vulnerable victim for hate crime. Feminism movement and gender representation
could not be separated from media’s development. This article will take closer look
and analyze the relation between it.
Keyword: new media, gender, feminism, hate crime, rape jokes


Abstrak
Media massa merupakan sumber informasi utama yang berkembang dalam
masyarakat saat ini. Di saat yang bersamaan, media juga menjadi sumber representasi
dan pendidikan gender utama yang seringkali menempatkan perempuan sebagai kaum
marginal, yang digambarkan lemah dan teraniaya dalam masyarakat, dan tanpa sadar
menempatkan laki-laki di posisi yang lebih tinggi. Namun, seiring dengan
perkembangan media, pergeseran pardigma menganai konsep feminisme, dan
lahirnya pergerakan feminisme online, representasti perempuan dalam media semakin
berubah kearah positif. Kelahiran internet, menciptakan kesempatan bagi para
pengggunanya untuk semakin interatif dalam proses reproduksi konten, dan
berargumen, namun kekuasaan yang tidak hilang dalam media baru juga melahirkan
ancaman baru bagi perempuan. Pergerakan dan representasi perempuan dalam media,
tidak dapat dipisahkan oleh perkembangan media itu sendiri. Artikel ini bertujuan
untuk melihat dan menganalisis hubungan yang terjadi di antaranya.

Keyword: new media, gender, feminism, hate crime, rape jokes

Biodata Penulis
Farraz Theda, mahasiswi ilmu komunikasi Universitas Indonesia tahun 2011 dengan

program studi Kajian Media, peraih beasiswa penuh dari Global Korean Scholarship
dalam program pertukaran pelajar dengan Chonbuk National University 2014. Salah
satu panelis dalam Konferensi Nasional Komunikasi, Universitas Indonesia 2013,
dengan topik gaya berbusana dan imperliasme budaya.
Email: farraz.theda@gmail.com

1. Introduction: Mass Media and Gender
Salah satu fungsi klasik media massa, sebagaimana diungkapkan oleh Laswell (1948)
dan Wright (1960) adalah transmisi nilai sosial dan budaya (transmission of the social
heritage) yang mengacu pada fungsi media massa sebagai sarana sosialisasi nilai,
norma dan budaya dalam masyarakat (Davis, 2012 p. 248). Sosialisasi gender, tentu
saja masuk dalam fungsi tersebut. Albert Bandura, menyebutkan bahwa media massa
mempengaruhi proses kognitif individu lebih dari agen sosial lainnya. Melalui simbol
yang ditampilkan dalam media massa, individu memberi, membentuk makna yang
terus menerus mempengaruhi cara mereka menjalani kehidupan. Media massa
merupakan salah satu agen sosial di luar keluarga, sekolah, dan teman permainan
yang menjalankan fugsi sosialisasi pada individu. Bandura menambahkan, dalam
kehidupan modern, peran media justru lebih signifikan ketimbang agen sosial lainnya,
karena tingkat penggunaan yang semakin intens (Oliver, 2009 pp.122-126).
Consequently, their conceptions of social reality are greatly influenced by

vicarious experiences-by what they see, hear and read-without direct
experiental correctives. To a large extent, people act on their images of
reality. The more people’s images of reality depend on the media’s symbolic
environment, the greater is its social impact. (Ball-Rokeach & DeFleur,
1976).
Media massa jelas memiliki peran penting dalam mempengaruhi persepsi dan
pembentukkan kognisi dalam diri individu. Seringkali kita tidak menyadari bahwa
kita mempelajari sebuah ‘subjek’ melalui apa yang kita lihat dalam media massa.
Terutama ketika ‘subjek’ yang dibicarakan tersebut sangat berbeda dari diri kita
ditambah langkanya kesempatan untuk melakukan kontak face to face. Padahal, di sisi
lain apa yang disampaikan media massa bukanlah sebuah pengalaman murni individu,
melainkan hasil produksi media massa yang dikemas sesuai agenda tertentu (Dill,
2009 pp 88-89). Sehingga munculnya stereotype dan persepsi tertentu mengenai
sebuah hal tidak dapat dihindarkan.
Representasi gender dalam media tidak dapat dipungkiri telah menjadi perdebatan
klasik dalam studi komunikasi, salah satu yang sering dibicarakan adalah
penggambaran perempuan dalam media. Penelitian terdahulu mengenai peran
perempuan dalam media menyebutkan bahwa perempuan seringkali ditempatkan

dalam posisi minor. Hal ini disebabkan rendahnya partisipasi perempuan dalam

produksi media. Pada saat itu, hanya terdapat 5% perempuan sebagai pekerja televisi,
eksekutif dan produser (Lichter, Lichter dan Rothman, 1986). Beberapa analis media
(Mills, 1988) menyebutkan, jika saja pada masa itu lebih banyak perempuan yang
memiliki kekuasaan dalam level eksekutif, media akan menawarkan penggambaran
perempuan yang lebih positif. Sejatinya, media terus menerus menggambarkan
perempuan dan laki-laki dalam kacamata stereotype yang membatasi persepsi
individu.
Women are portrayed as significantly younger and thinner than women in the
population as a whole, and most are depicted as passive, dependent on men,
and enmeshed in relationships or housework. (David, 1990)
Kriteria ini memiliki pengaruh dalam industri berita, dimana news anchor diharapkan
berusia muda, berpenampilan menarik dan tidak vokal (Craft, 1988; Sanders & Rock,
1988). Pada umumnya, media menekankan citra perempuan yang dependen, ornamen
dalam media yang bertujuan untuk terlihat bagus, dan menyenangkan laki-laki. Citra
perempuan dalam media terbagi dalam dua hal, perempuan baik (good women) dan
perempuan buruk (bad women). Perempuan baik digambarkan melalui peran
protagonis dalam cerita dongeng, drama televisi, majalah sebagai perempuan yang
cantik, fokus pada urusan rumah tangga dan keluarga, peduli terhadap sesama, dan
subordinat pada laki-laki. Sebaliknya perempuan buruk memiliki karakter yang sangat
berlawanan. Karakter ini ditunjukkan melalui peran nenek sihir, ibu tiri, dan

perempuan tuna susila. Dalam hubungannya dengan lawan jenis, media juga
menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih rendah, bergantung pada
pasangannya. Karakter perempuan dalam film animasi The Little Mermaid (Walt
Disney, 1989) menyerahkan identitasnya sebagai putri duyung agar cintanya diterima
oleh karakter laki-laki dalam cerita (Wood, 1994).
Representations of gender today are more complex, and less stereotyped than
in the past. (Gauntlett, 2002 p. 90)
Secara umum, peran perempuan dan laki-laki dalam media (televisi dan film) saat ini
dapat dikatakan relatif sejajar. Perempuan semakin sering tampil sebagai tokoh utama
(heroes) dalam cerita fiksi, sekalipun tidak jarang peran perempuan sebagai karakter
kuat (strong lead) dalam film dibumbui penampilan fisik yang seksi, dan terkadang

sengaja dibuat bodoh, proses penggambaran gender dalam media massa modern jauh
lebih dinamis. Dinamika inilah yang kemudian melahirkan fenomena-fenomena baru
dalam penggambaran gender dalam media.
Feminism and Today’s Femininity
Penggambaran perempuan yang kerap tidak berimbang melahirkan gerakan
feminisme dalam media. Term ‘feminisme’ sering diasosiasikan sebagai rasa benci
perempuan terhadap laki-laki, pergerakan yang dilakukan untuk melanggar fakta
bahwa kedudukan laki-laki berada di atas perempuan.

Feminism is a movement to end sexism, sexist exploitation, and oppression.
(Hooks, 2000)
Pengertian feminisme di atas tidak hanya diasosiasikan sebagai upaya untuk
melenyapkan kekuasaan laki-laki, namun lebih jauh, seksisme. Definisi tersebut
secara jelas menggarisbawahi permasalahan masyarakat yang sudah disosialisasi
untuk bertindak dan berpikir seksis, menempatkan patriarki sebagai institusi seksisme.
Sekalipun laki-laki diuntungkan dalam posisi masyarakat patriarkis, tanpa sadar lakilaki juga menjadi korban ideologi dominan untuk terus ‘memaksa’ mereka untuk
membatasi peran perempuan melaui dominasi, kekerasan, dan eksploitasi. Feminisme
lahir untuk menolak patriarkisme dan mengupayakan kesetaraan gender dalam
masyarakat, bukan semata-mata menghapus peran laki-laki.
Pada awal masa pergerakannya, para feminis memusatkan perhatian dan analisis
mereka pada penggambaran perempuan dalam film, dimana perempuan seringkali
mendapat peran tertindas. Penelitian ini dilakukan dalam kurun waktu 1930-1970, dan
menegaskan penerapan male-gaze1 yang konsisten menempatkan perempuan sebagai
objek ‘pelengkap’, passive dan marginal. Dalam film bergenre perang perempuan
memberikan kontribusinya sebagai perawat, istri yang ditinggalkan suami, yang
kembali menegaskan peran feminin perempuan.

                                                        
1


Male gaze terjadi ketika laki-laki memproyeksikan fantasi mereka pada objek
perempuan, yang ditempatkan sebagai ‘objek’ dengan penampilan dengan visual kuat
yang menimbulkan kesan erotis. Men look at women; women watch themselves being
looked at. John Berger (1972: 47)

Feminitas berkembang dalam masyarakat sebagai sebuah stereotipe yang melekat
pada perempuan. Bagaimana seharusnya perempuan berperilaku dan bertindak. Pada
perkembangannya, bagi para perempuan modern, menjadi ‘feminin’ hanyalah salah
satu performa dalam kehidupan yang dapat mereka pilih - untuk kesenangan, atau
untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini tidak serta merta mengatakan cara pikir
tradisional mengenai ‘perempuan’ hilang, persepsi ini tetap ada dalam masyarakat,
karenya ketika seorang perempuan berpakaian atau bertindak melawan persepsi
tradisional, ia akan dikritik sebagai perempuan yang tidak feminin (lack of femininity)
(Gauntlett, 2002 p. 10). Hal yang sama terjadi pada konsep maskulinitas, yang diduga
mengalami masa ‘krisis’ karena semakin banyak perempuan yang mengerjakan peran
laki-laki dalam masyarakat. Anthony Clare, dalam bukunya On Men: Masculinity in
Crisis, mengatakan bahwa laki-laki mengalami masa yang sulit karena persepsi
tradisional yang terus melekat dalam masyarakat, dan di saat yang bersamaan,
persepsi mengenai feminitas berkembang dinamis. Lebih lanjut, Clare mengatakan

bahwa krisis ini bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan, laki-laki hanya perlu
mencari peran baru, modern, dimana mereka dapat menempatkan diri dalam
masyarakat, sama halnya dengan perempuan.

Rape Jokes: A Battlefield
Pada pertengahan tahun 2012, dunia jejaring sosial dihebohkan dengan kampanye
bertajuk #RapeisNoJoke. Hal ini berawal dari sebuah pertunjukkan stand up comedy
oleh Daniel Tosh, pembawa acara Tosh.O. Dalam acara tersebut Daniel Tosh
membawakan skit bertajuk rape jokes, seorang penonton perempuan yang merasa
terganggu kemudian menyatakan bahwa skit tersebut tidak lucu, dimana Daniel Tosh
menanggapi dengan ofensif. "Wouldn't it be funny if that girl got raped by like five
guys right now. Like right now? What if a bunch of guys just raped her? " (Gottfried,
2012). Daniel Tosh kemudian menuai kritik tajam dari pengguna jejaring sosial,
sesaat setelah video pertunjukkan tersebut diunggah dalam situs resminya. Namun,
ternyata kisah Daniel Tosh hanyalah awal dari kembalinya tren skit rape jokes dalam
dunia perkomedian Amerika. Amy Schummer, komedian mengatakan bahwa skit
rape jokes sejatinya selalu ada dalam pertunjukkan stand up comedy, ia
menambahkan, karena hal ini terjadi di saat jejaring sosial memiliki pengaruh kuat
dalam masyarakat, maka isu rape jokes tiba-tiba menjadi serius.


Kejadian Daniel Tosh pada pertengahan 2012 di sisi lain seolah menjadi awal pemicu
pergerakan kaum perempuan yang menuntut kesetaraan gender dalam media. Hal ini
terus menjadi perdebatan, hingga pada Mei 2013, salah satu tokoh perempuan yang
dengan tegas menentang rape jokes adalah Lindy West, dipertemukan dengan
komedian Jim Norton dalam sebuah acara Totally Biased2 untuk membicarakan isu
rape jokes. Jim Norton berargumen bahwa menentang rape jokes sama halnya dengan
membatasi kebebasan berpendapat (freedom of speech), dan komedi tidak seharusnya
dibatasi. Ia juga menyinggung hal-hal ofensif lain, seperti ras dan agama dalam skit
komedi yang memang dibuat dengan tujuan mengibur, “the purpose of comedy is to
release tension.” dimana kemudian Lindy West menentang argumen tersebut dengan
dasar bahwa rape jokes sama halnya dengan menertawakan trauma korban perkosaan,
dan secara bersamaan merekonstruksi tindak perkosaan menjadi sebuah hal yang
layak ditertawakan (West, 2013).

Satu minggu setelah muncul di acara Totally Biased, Lindy West mengunggah sebuah
video dalam situs Jezebel, sebuah media berbasis blog dengan segmentasi pengguna
perempuan. Dalam videonya, Lindy West kembali menegaskan argumen mengenai
bagaimana menurutnya rape jokes menciptakan masyarakat yang resisten terhadap
tindak perkosaan.


I don't believe that previously non-raping audience members are going to
take to the streets in a rape mob after hearing one rape joke. That's an absurd
and insulting mischaracterization. But I do believe that comedy's current
permissiveness around cavalier, cruel, victim-targeting rape jokes contributes
to (that's contributes—not causes) a culture of young men who don't
understand what it means to take this stuff seriously. (West L. , 2013)

Kaum laki-laki yang merasa argumen Lindy West tidak masuk akal, dan mulai
melontarkan komentar negatif, bahkan ancaman melalui jejaring sosial. Jim Norton,
di sisi lain mengakui bahwa fansnya jauh lebih keras menanggapi Lindy West, dan ia
menyesalkan hal tersebut, karena menurutnya perdebatan dengan Lindy bukanlah
                                                        
2

Serial stand up comedy stasiun televisi Amerika (FX), dengan sesi wawancara dengan bintang tamu
pada akhir acara.

sesuatu yang harus ditanggapi ofensif, karena ia menghargai argumen Lindy,
sekalipun tetap menganggap bahwa rape jokes adalah hal yang wajar dalam komedi
(Norton, 2013). Isu rape jokes semakin hangat diperbincangkan setelah puisi karya

seorang penyair Amerika, Patricia Lockwood yang berjudul ‘rape joke’ menjadi
begitu viral, dan diakses lebih dari sepuluh ribu pengguna Facebook satu jam setelah
diunggah dalam situs The Awl (Groskop, 2013).

2. Kerangka Teori
2.1 Media Baru
Term media baru muncul pada akhir tahun 1980-an, dimana media pada saat itu mulai
mengalami ‘perubahan’ seiring dengan kelahiran internet. Secara teknologi,
perubahan transmisi sinyal analog menjadi digital dan dukungan infrastruktur
wireless yang semakin berkembang dalam masyarakat, memudahkan akses internet
dan pada saat yang bersamaan meningkatkan demand terhadap media baru. Berbicara
mengenai media baru, tidak hanya berkisar pada perubahan teknologi, namun juga
penggunaannya, produksi, distribusi dan konsumsi pengguna.
Media baru memungkinkan terjadinya resepsi baru dalam menggunakan media secara
virtual. Media baru juga menyediakan pandangan lain dalam merepresentasikan
‘dunia’ dengan adanya fitur interaktif, yang memperkaya perspektif user saat
menggunakan media. Adanya fitur interaktif dalam media baru juga mengubah pola
hubungan antar pengguna dalam media baru. Perbedaan pengalaman waktu, jarak,
dan tempat pengguna, membentuk identitas, komunitas dan rasa keanggotaan virtual
dalam media baru. Hal ini juga berhubungan dengan pergeseran persepsi pengguna
mengenai interaksi virtual yang dimediasi (computer-mediated-communication), dan
interaksi biologis (face-to-face). Secara lebih luas, media baru juga berdampak pada
pola organisasi dan produksi dalam tingkat makro. Pergeseran kepemilikan media,
budaya media, industri, ekonomi, akses, kontrol dan regulasi. Implikasi di atas tidak
lepas dari pengaruh karakter media baru yang dijabarkan sebagai digital, interactive,
hypertextual, virtual, networked dan simulated (Lister et al, 2009). Digital mengacu
pada proses input data dalam media baru, dimana keseluruhan data dirubah dalam
bentuk angka yang kemudian mengalami proses encoding dan encoding, sehingga
sinyal yang diterima oleh pengguna berupa gambar, teks, rekaman, yang ditampilkan

dalam media baru. Kode digital ini kemudian dapat disimpan dalam digital disk,
memory, dan digunakan, disebarkan ulang melalui media lain. Kontras dengan
analog, dimana konten media berbentuk fisik, dan hanya dapat disebarkan dan
dipergunakan, serta dimodifikasi dalam bentuk fisik yang sama.
Generally, the term stands for a more powerful sense of user engagement with
media texts, a more independent relation to sources of knowledge,
individualised media use, and greater user choice.(Lister et al, 2009).

Interaktivitas (interactivity) menegaskan perbedaan media tradisional dengan media
baru, dimana pengguna berperan lebih aktif dalam penggunaan media kontras dengan
media tradisional yang tidak memungkinkan terjadinya interaksi dalam konsumsi
media. Interaktivitas menunjang pengguna untuk mempengaruhi dan mengubah
konten media yang mereka akses, sehingga audience dalam media baru menjadi
‘pengguna’ (user) bukan saja berperan sebagai ‘penonton’ (viewer). Adanya
interaktivitas dalam media baru, membantu pengguna untuk memproduksi makna,
dan berperan aktif dalam produksi konten dalam media. Hal ini kemudian
berimplikasi pada mengaburnya batas antara produser dan konsumer dalam media
baru. Dalam penggunaannya, media baru menjadi semakin tersegmentasi, membagi
pengguna dalam kelompok-kelompok tertentu, dimana sekalipun dalam jumlah
bersifat jamak, resepsi individu sesuai segmentasi tertentu terhadap media baru,
hampir seragam. Namun, disaat yang bersamaan, individu juga semakin aktif dalam
menyeleksi informasi, karena banyaknya pesan yang terdapat dalam media baru.

2.2 Konvergensi Media: Produsage & Participatory Culture

Media convergence is more than simply a technological shift. Convergence
alters the relationship between existing technologies, industries, markets,
genres and audiences. Convergence refers to a process, but not an endpoint.
(Jenkins, 2004, pp. 33-43)

Konvergensi media juga dapat dilihat sebagai sebuah jembatan antara media
tradisonal media dan media baru (Thorburn and Jenkins et al., 2003, pp. 3-5).
Jembatan inilah yang kemudian melahirkan perilaku baru dalam pengguna media.

Transisi penggunaan media yang terjadi saat ini melahirkan revolusi modern dalam
pergerakan informasi (Zittrain, 2008, p. 8). Aksesibilitas tinggi yang terdapat dalam
media baru memungkinkan pengguna untuk mengakses informasi secara cepat,
dimana saja dan kapan saja, mengacu pada definisi media baru yang telah dijabarkan.
Lahirnya media baru membuat pengguna tidak lagi berperan sebagai konsumen atas
apa yang diproduksi media. Pengguna media saat ini lebih aktif terlibat dalam proses
pembentukan konten media. Adanya dukungan teknologi dan arus informasi
memungkinkan hal ini terjadi. Term produsage sendiri tidak mengacu pada aktivitas
produksi konten secara tradisional, namun kegiatan produksi-konsumsi pada saat
yang bersamaan oleh pengguna, dimana konten secara terus menerus mengalami
perkembangan karena merupakan hasil dari pemikiran kolektif (Bruns, 2008 p.15).
Convergence does not occur through media appliances, however sophisticated
they may become. Convergence occurs within the brains of individual
consumers and through their social interactions with others. (Jenkins, 2006
p.4)

Asumsi bahwa tidak ada individu yang mengetahu segalanya, dan setiap orang
mengetauhi sesuatu melahirkan sebuah pengetahuan kolektif (collective intelligence).
Pierre Levy menawarkan sebuah pemahaman mengenai ‘ruang pengetahuan’ yang
mampu menyadarkan pengguna untuk memanfaatkan potensi media baru seluasluasnya dengan bertukar informasi (Jenkins, 2006 p.136-137). Hal ini tentu saja
dimungkinkan dengan adanya perkembangan teknologi, dimana komunitas virtual
dapat saling berinteraksi untuk menyatukan potongan pengetahuan mereka, agar
menjadi utuh.

Collective intelligence erat hubungannya dengan participatory culture. Jenkins
menjelaskan karakteristik budaya partisipatif (participatory culture) ditandai dengan
rendahnya hambatan untuk mengekspresikan seni sebagai wujud keterlibatan warga,
dan adanya dukungan yang kuat untuk membuat dan menyebarkan kreasi orang lain.
Dalam budaya ini, pengguna percaya bahwa setiap kontribusi mereka berarti
(Delwiche and Henderson, 2013 p.1-5).

2.3 Public Sphere
Jurgen Habermas merupakan tokoh pertama yang mencetuskan konsep public sphere,
ia menjabarkan public sphere sebagai ruang terbuka bersama yang direproduksi
melalui proses komunikasi dalam masyarakat yang rasional. Rasionalitas yang
kemudian ia jelaskan sebagai masyarakat yang saling berargumen mengenai wacana
kritis, dengan tujuan untuk saling memahami, bukan untuk memenangkan argumen
atas satu dengan yang lainnya. Ia kemudian menambahkan struktur hierarki dalam
pembentukkan public sphere yang dikuasai oleh kaum bourgeois, para pemegang
kekuasaan

dan

kekuatan

ekonomi

dalam

masyarakat.

Namun,

pada

perkembangannya, public sphere tidak saja terjadi dalam ruang rigid antara pemegang
kekuasaan dan kekuatan ekonomi, melawan kelas bawah dalam masyarakat. Public
sphere terjadi dimana, dan kapan saja ketika sebuah hal berbeda diperdebatkan.
Public sphere menurut Habermas, tidak tersusun dari masyarakat yang memiliki
pemikiran homogen, dan spesifik, melainkan serangkaian pemikiran yang kompleks,
jamak, dan saling melengkapi satu sama lain melalui proses komunikasi kritis antar
individu, kelompok, asosiasi, pergerakan sosial, jurnalistik, perusahaan dan institusi
masyarakat lainnya (Dahlberg, 2005). Public sphere mendukung adanya demokrasi
dalam masyarakat.

Konsepsi mengenai public sphere sebagai ruang publik yang bebas dan bertujuan
untuk saling memahami perbedaan argumen, dibantah adanya fakta bahwa pada
akhirnya wacana dan argumen yang dipaksakan secara lebih intens, akan menjadi
“pemenang”. Kritik mengenai konsep public sphere oleh Habermas juga muncul dari
kaum rasionalis, dimana mereka beranggapan bahwa dalam public sphere, wanita
dilihat sebagai kaum marginal, kontras dengan kulit putih (western people) yang lebih
diuntungkan dalam pertarungan wacana. Hal ini jelas berpengaruh pada terhambatnya
proses komunikasi dalam ruang tak berbatas (public spehere) yang dijabarkan
Habermas.
2.4 Hate Crime
Hate crime dijabarkan sebagai perilaku kriminal yang dimotivasi oleh prasangka
terhadap sebuah kelompok tertentu, yang kemudian mengarah pada rasa benci
(Jacobs & Potter, 1997). Term ‘hate’ digunakan untuk membedakan tindakan ini
dengan tidak kriminal lain yang dimotivasi oleh kecemburuan sosial, nafsu,

keserakahan politik, dan sebagainya. Tidak seperti tindakan pencurian, perampokkan,
atau penyerangan, hate crime menekankan pada karakter, perilaku dan nilai pelaku.
Prasangka dalam hate crime dapat mencakup agama, suku, ras, kenampakan fisik,
orientasi seksual dan gender. Oleh karenanya, kelompok minoritas dalam masyarakat
lebih rentan menjadi korban. ‘Intimidasi’ sebagai wujud hate-crime dikategorikan
sebagai tindak kriminal rendah, bukan tindak kekerasan terorganisir yang melibatkan
kelompok tertentu.

Hate crimes merupakan kejahatan serius dan lebih berbahaya daripada kejahatan
lainnya karena dimotivasi oleh rasa benci yang menimbulkan ketakutan dan ancaman
yang lebih besar. Hate crimes tidak secara spesifik mengacu pada kejahatan yang
dilakukan penyerang terhadap kelompok tertertu. Mengacu pada The Civil Rights Act
of 1968, pelaku hate crime memiliki prasangka tertentu terhadap seorang korban
sebagai anggota dari kelompok tertentu, namun bukan berarti pelaku bersikap negatif
terhadap kelompok tersebut. Definisi ini disederhanakan sebagai tidak kejahatan
dimana penyerang dan korban berasal dari kelompok berbeda dalam masyarakat.
Sebagai contoh, pelaku D, hanya merampok perempuan lanjut usia yang berasal dari
Asia, karena ia beranggapan jika lebih mudah mencuri dari perempuan Asia,
sekalipun ia tidak memiliki kontotasi negatif terhadap perempuan Asia pada
umumnya. Pelaku dapat dihukum atas dasar kejahatan yang dimotivasi prasangka,
menurut UU Hak Sipil tahun 1968. Jika hate crimes didefinisikan sebagai kejahatan
yang sebagian kecil dimotivasi adanya prasangka, akan terdapat tindak pidana yang
masuk dalam kategori hate crime, lebih dari jika hate crime hanya dijabarkan sebagai
tidak kejahatan yang hanya dimotivasi oleh adanya prasangka (Rouse, 2012).

2.5 Digital Divide
Digital divide merupakan term yang digunakan untuk menjabarkan ketidaksetaraan
dalam mengakses komputer dan internet antar kelompok dalam masyarakat,
berdasarkan aspek sosio-kultural dan atau yang lainnya (Gorski, 2002). Digital divide
memiliki multidimensional penjabaran mengenai tiga aspek dalam fenomena
penggunaan media baru, global divide, social divide dan democratic divide. Global
divide mengacu pada perbedaan pola mengakses internet antara masyarakat
industrialis dan masyarakat negara berkembang. Social divide membedakan
penggunaan media baru berdasarkan tingkat ekonomi, serta democratic divide

menandai pengguna yang melakukan dan tidak melakukan upaya untuk berpartisipasi,
berkumpul dan menyuarakan pendapat mereka melalui media baru dalam kehidupan
sosial (Norris, 2001). Digital divide tidak saja terbatas pada akses pengguna terhadap
infrastuktur yang menunjang penggunaan media baru, namun juga aspek lain yang
berpengaruh dalam menggunakan media baru tersebut secara bijak, seperti pendidikan
dan literasi media (Warschauer, 2003).

3. Analisis: The Age of New Media and Feminism
Fenomena rape jokes nyatanya tidak hanya memicu pergerakan perempuan di
Amerika saja, setelah isu ini menjadi viral di ranah online, pergerakan serupa muncul
di negara-negara lain di benua Eropa, Amerika dan Asia. #RapeisNOjoke menjadi
worldwide trending topic pada 27 Februari 2014, sehari setelah menjadi trending
topic di Amerika. Online campaign dan movement menuntut para komedian untuk
berhenti menjadikan tindak perkosaan sebagai bahan komedi bermunculan di berbagai
platform jejaring sosial. Seketika, hal ini memunculkan ruang pertarungan ‘ideologi’
dalam media baru, yang disebut Habermas sebagai ‘public sphere’, dan juga
melahirkan gaya pergerakan baru yang jauh lebih dinamis daripada pergerakan
feminisme konvensional.

…being interactive signifies the users (the individual members of the new
media ‘audience’) ability to directly intervene in and change the images and
texts that they access - the audience for new media becomes a ‘user’ rather
than the ‘viewer’ (Lister, Dovey, Giddings, Grant, & Kelly, 2009).

Interaktivitas dalam media baru memungkinkan pengguna internet untuk melakukan
‘campur-tangan’ langsung dalam proses produksi, dan reproduksi konten media
sesuai dengan resepsi yang diterima oleh masing-masing individu. Para user
perempuan yang tidak setuju dengan konsepsi bahwa rape jokes sah-sah saja
dilakukan dalam konteks komedi, menyuarakan suara mereka melalui reproduksi
konten media yang berkaitan dengan rape jokes. Berbagai meme diunggah pengguna
untuk menyuarakan argumennya, sebagian perempuan yang mengaku peduli terhadap
kesetaraan gender menggunakan video YouTube untuk mengunggah video parodi
lagu Blurred Lines karya Robin Thicke dan Pharell Williams. Lagu ini disebut-sebut
sebagai lagu paling kontroversial karena lirik yang seolah menjadikan perempuan

sebagai objek seks yang pasif (Lynskey, 2013). Blurred Lines memiliki video musik
dalam dua versi, versi awal yang diluncurkan dipenuhi oleh para perempuan
bertelanjang dada yang mengitari kedua penyanyi tersebut, video ini mendapat reaksi
keras dari masyarakat, memaksa pihak label mengeluarkan versi ‘lebih halus’ dengan
konsep serupa, dengan model perempuan yang mengenakan pakaian. Penolakkan atas
lagu Blurred Lines melahirkan berbagai video parodi yang menempatkan dua gender
dalam posisi sebaliknya. Penggunaan video parodi sebagai media partisipasi dalam
masyarakat merupakan salah satu bentuk culture jamming, term yang pertama kali
digunakan pada tahun 1984 untuk menjabarkan sebuah upaya konfrontasi terhadap
kekuatan dan konsepsi dominan, serta superioritas kelas dalam masyarakat melalui
reproduksi konten kreatif media mainstream (Darts, 2004). Produk kreatif ini
merupakan hasil pemikiran individu yang diperoleh melalui interaksi sosial dengan
pengguna lainnya.

Consumption has become a collective process - none of us can know
everything; each of us knows something; and we can put the pieces together if
we pool our resources and combine our skills. (Jenkins, 2006 p. 4)

Media baru telah menciptakan sebuah budaya partisipatif bagi para penggunanya.
Jenkins menjelaskan karakteristik budaya partisipatif (participatory culture) ditandai
dengan rendahnya hambatan untuk mengekspresikan seni sebagai wujud keterlibatan
warga, dan adanya dukungan yang kuat untuk membuat dan menyebarkan kreasi
orang lain. Dalam budaya ini, pengguna percaya bahwa setiap kontribusi mereka
berarti (Delwiche and Henderson, 2013 p.1-5), karenanya kecerdasan kolektif
(collective intelligence) dapat dilihat sebagai alternatif baru kekuatan media.

Pergerakan feminisme dalam media online tidak berhenti dalam tataran reproduksi
konten saja, beberapa feminis mendirikan media independen yang menyajikan berita
dan informasi alternatif mengenai feminisme dan urgensinya dalam masyarakat.
Jaringan digital menyediakan infrastuktur teknologi bagi pergerakan sosial dalam
media baru dengan peningkatkan kecepatan, fleksibilitas, dan jangkauan informasi
global, menghapuskan jarak dan waktu dalam proses komunikasi. Salah satu
organisasi feminisme online yang dikenal luas adalah #femfuture, yaitu pergerakan
feminisme dalam media baru berbasis website untuk menyebarkan kajian dan analisis

mengenai feminisme abad 21. Berbagai kajian #femfuture juga ditampilkan dalam
media massa lain seperti Forbes, Ebony, upworthy dan policymic. Organisasi online
dianggap lebih efektif dan efisien, struktur horizontal di dalamnya memungkinkan
setiap orang berkontribusi dengan setara, tanpa adanya tekanan dari struktur yang
lebih tinggi. Internet bukan sekadar infrastuktur pendukung pergerakan sosial saja,
namun juga motor perubahan struktur organisasi feminisme dalam media baru.
Desentralisasi tanggung jawab, dengan koordinasi yang fleksibel dan longgar antar
kelompok dalam organisasi lebih diminati, dibandingkan top-down command.
Dimana organisasi pergerakan formal seringkali mengandalkan jumlah keanggotaan,
daripada kontribusi anggota (Juris, 2005). Peningkatan jumlah pergerakan feminisme
online juga tidak dapat dipisahkan oleh peran clicktivism, pengguna internet yang
dengan aktif menyebarkan pergerakan feminisme. Term clicktivism, sering
diasosiasikan dengan perilaku ‘malas’ pengguna yang hanya menyebarkan, tanpa
benar-benar turun langsung dalam pergerakan sosial. Dalam perkembangannya, tidak
dapat dipungkiri jika peran clicktivist menjadi sangat penting dalam pergerakan sosial
(social movement) (Kapin & Ward, 2013).

If It Doesn’t Spread, It’s Dead. (Jenkins, 2009)

Jika video pertunjukkan rape jokes Daniel Tosh tidak menjadi viral dalam media, jika
wawancara Lindy West dan Jim Norton tidak mendapat tanggapan dari para
pengguna, jika puisi karya Patricia Lockwood tidak mendapat 10.000 likes selama
kurang dari satu jam setelah diunggah, jika video parodi Blurred Lines tidak ditonton
lima juta pengguna internet, dan banyak jika lainnya yang memungkinkan pergerakan
feminisme tidak akan sehangat saat ini. Peran clicktivist memang tidak sebesar para
aktivis feminisme, namun tidak ada kontribusi yang tidak berarti jika mengacu pada
definisi participatory culture.

New media technologies enabled the same content to flow through many
different channels and assume many different forms at the point of reception.
(Jenkins, 2009 p.11)

Di sisi lain, kemudahan menciptakan konten dalam media baru menimbulkan multi
persepsi dalam proses resepsi pengguna. Banyaknya konten media yang berkaitan

dengan pergerakan perempuan, mengaburkan definisi feminisme yang berkembang
dalam masyarakat. Video parodi Blurred Lines yang diunggah oleh kelompok komedi
mahasiswi universitas Auckland menuai banyak komentar negatif dari para penonton
laki-laki yang merasa perubahan lirik dalam parodi tersebut terlalu ofensif. Tidak
jarang konten media yang ditujukan untuk mendukung feminisme sangat radikal,
mengesankan jika pergerakan feminisme bukan bertujuan untuk menyetarakan
gender, melainkan menjadikan perempuan sebagai peran superior dan menyebarkan
kebencian terhadap kaum laki-laki.
Imbas terhadap banyaknya konten media yang diterima dan dimaknai berbeda oleh
individu mengaburkan definisi mengenai feminisme dan perdebatan yang ada di
dalamnya. Dimana perdebatan mengenai feminisme tidak lagi didefinisikan sebagai
usaha menuju kesetaraan gender. Namun, diasosiasikan sebagai pertarungan antara
laki-laki dan perempuan. Laki-laki diposisikan sebagai pihak kontra-feminisme, dan
tidak jarang mendapatkan label ‘misogynist’. Kenyataannya, perempuan juga dapat
menjadi pihak kontra-feminisme (anti feminism) dan secara terang-terangan
menentang feminisme dengan alasan bahwa pergerakan feminisme telah berubah
kearah seksis, yang justru merusak kesetaraan gender, dengan mengutamakan posisi
perempuan dalam masyarakat. Sebuah Facebook page, Women Against Feminism
mendapatkan likes sebanyak lebih dari dua puluh ribu pengguna. Halaman Facebook
ini berisi testimonial perempuan yang menolak pergerakan feminisme, dengan
mengunggah foto berisikan alasan mereka (The Huffington Post UK, 2014).

Public sphere is an ‘intersubjectively shared space’ reproduced through
communicative rationality -- as rational-critical discourse or argumentation,
is where participation is coordinated through acts of reaching understanding,
rather than through egocentric calculations of success. (Dahlberg, 2005)

Konsep public sphere pertama kali dipopulerkan oleh Habermas, untuk menjelaskan
interaksi masyarakat dalam pembentukkan opini publik. Public sphere terjadi dalam
setiap percakapan, dimana individu menempatkan dirinya sebagai bagian dari
lembaga publik, di luar pemerintah. Dalam sebuah lembaga publik yang besar,
diperlukan proses komunikasi kompleks yang bertujuan untuk mempengaruhi pikiran
individu. Saat ini, media massa menjadi media bagi public sphere, dimana media
menjadi ruang untuk berdiskusi dan membuka kesempatan bagi ‘pertarungan’ wacana

(Durham & Kellner, 2006). Dalam perkembangannya, konsep public sphere tidak
hanya digunakan dalam konteks politik saja, melainkan isu apapun yang
diperdebatkan. Kenyataannya, public sphere dalam media baru tak jarang melahirkan
perdebatan, yang berakhir dengan pertarungan kekuasaan. Hal ini bertolak belakang
dengan asumsi Habermas, bahwa seharusnya public sphere menjadi tempat untuk
saling memahami argumen masing-masing dan jembatan antar wacana. Namun,
public sphere dalam media baru justru berimbas pada munculnya hate crime.

The gradual inclusion of women into the public sphere, though a remarkable
development in the modern history of many countries in the region, is still
incomplete and contested. This is because the public sphere has remained as
the self-acclaimed space of male absolute power and dominance until
relatively recently. (Skalli, 2006)

Sekalipun dalam media baru setiap pengguna memiliki akses interaktivitas yang
sama, pada kenyataannya kekuasaan dalam media baru tidak lenyap, melainkan
terdistribusi, melebur dan dinamis. Adanya kekuatan dominan dalam media baru ini
menentukan arah pergerakan perempuan, keadaan sosial-ekonomi, kondisi budaya,
kebijakan negara dan politik. Kekuataan patriarki yang dominan, memberikan
kesempatan yang lebih besar bagi laki-laki untuk menjadi ‘pelaku’ dalam hate crime.
Dalam sebuah riset nasional, perempuan lebih rentan menjadi korban pelecehan offonline oleh laki-laki (67 persen) daripada perempuan (24 persen) (Citron, 2014).
Hate crime dijabarkan sebagai perilaku kriminal yang dimotivasi oleh prasangka
terhadap sebuah kelompok tertentu, yang kemudian mengarah pada rasa benci
(Jacobs & Potter, 1997). Term ‘hate’ digunakan untuk membedakan tindakan ini
dengan tidak kriminal lain yang dimotivasi oleh kecemburuan sosial, nafsu,
keserakahan politik, dan sebagainya. Tidak seperti tindakan pencurian, perampokkan,
atau penyerangan, hate crime menekankan pada karakter, perilaku dan nilai pelaku.
Prasangka dalam hate crime dapat mencakup agama, suku, ras, kenampakan fisik,
orientasi seksual dan gender. Oleh karenanya, kelompok minoritas dalam masyarakat
lebih rentan menjadi korban. ‘Intimidasi’ sebagai wujud hate-crime dikategorikan
sebagai tindak kriminal rendah, bukan tindak kekerasan terorganisir yang melibatkan
kelompok tertentu.

Therefore, any single hate-motivated incidents threatening implications for all
members of that group and reminds them that they "could be next."
Members Of these targeted groups often experience extreme fear; thus, the
effects of hate-motivated incidents are not confined geographically or
psychologically to those particular incidents. (Craig & Waldo, 1996)

Komentar ofensif terhadap pengguna perempuan yang mendukung pergerakan
feminisme dalam media baru, tak jarang mengarah pada pelecehan verbal, seperti apa
yang dialami oleh Lindy West setelah mengutarakan argumen penolakan rape jokes.
Hal ini mengindikasikan bahwa kekuasaan dalam media baru yang cenderung
melebur dan dinamis, di saat yang bersamaan memunculkan konsep digital divide,
dimana akses terhadap media baru, baik secara fisik terhadap infrastruktur teknologi,
dan akses lain yang mendukung pengguna dalam mengakses media, seperti
pendidikan, dan budaya (Warschauer, 2003). Akses perempuan terhadap media baru,
tidak dapat dipungkiri meningkat selama dekade terakhir, namun di beberapa daerah
dan negara tertentu, akses perempuan masih sangat minim dan terdominasi oleh lakilaki. Sekalipun akses perempuan terhadap internet di Amerika Serikat terhitung sama
dengan laki-laki, faktanya perempuan lebih sering mengalami techno-sexism saat
mengakses internet. Sama halnya dengan kesenjangan ras, kesenjangan gender dalam
media baru, meliputi 1) kesenjangan akses dalam mendukung dan terlibat dalam
bidang teknologi, 2) kesenjangan akses terhadap situs dan konten internet yang
mengancam, dan 3) kesenjangan terhadap internet yang ramah dan aman (Gorski,
2003). Ketimpangan dalam penggunaan media baru ini menimbulkan bahaya laten,
yang menjadikan perempuan kaum minoritas, rentan terhadap hate crimes.

Future Women’s Movement

Pidato Emma Watson mengenai kesetaraan gender dalam konferensi perempuan yang
diadakan oleh PBB, sangat viral dalam social media. Bukan saja karena Emma
Watson adalah seorang public figure yang dikenal publik melalui film Harry Potter,
namun juga konsep feminisme kembali menegaskan bahwa gerakan feminisme
bukanlah isu bagi perempuan saja (UN Women, 2014). Dalam saat yang bersamaan,
PBB meluncurkan sebuah kampanye solidaritas bertajuk #HEforSHE, gerakan
feminisme ini mengajak laki-laki untuk turut serta mendukung kesetaraan gender,

karena feminisme bukan saja untuk perempuan, dan laki-laki juga menjadi korban di
dalamnya. Hingga saat ini, halaman Facebook #HEforSHE mendapat dukungan dari
lebih seratus ribu pengguna, seiring dengan pengguna laki-laki yang mengunggah foto
pribadi mereka untuk mendukung kampanye ini yang semakin meningkat setiap
harinya

(UN Women, 2014). Pendekatan berbeda dilakukan oleh pergerakan

feminisme modern, dimana laki-laki justru menjadi sasaran utama kampanye
kesetaraan gender, bukanlah perempuan. Sekalipun terlalu cepat untuk menilai
keberhasilan kampanye ini, namun sejauh ini #HEforSHE mendapat tanggapan positif
baik dari perempuan dan laki-laki.

Indonesia: Pemerkosaan di Angkot dan Komedi
Kasus pemerkosaan di angkutan umum menjadi salah satu tindak kriminal yang ramai
dibicarakan dalam media selama kurun waktu 2011-2013. Pemerkosaan dalam
angkutan umum pada awalnya terjadi tahun 2011, menimpa mahasiswi sebuah
universitas di Jakarta yang hendak pulang ke daerah Jakarta Barat dengan angkutan
umum (angkot) lewat tengah malam. Seolah menyebar seperti virus, kasus
pemerkosaan dalam angkutan umum ini semakin marak terjadi di daerah Jabodetabek,
dan seringkali menimpa mahasiswi atau pelajar yang menumpangi angkutan umum
pada malam hari. Modus pemerkosaan yang terjadi pada umumnya dilakukan saat
korban sendirian menumpangi angkutan umum, lewat tengah malam, diberhentikan
tidak pada tujuan akhir angkutan umum, diperkosa, dan tidak jarang mengalami
perampokan disaat yang bersamaan. Supir seringkali menjadi tersangka utama dalam
kasus pemerkosaan di dalam angkutan umum, seperti yang terjadi dalam kasus
pemerkosaan dalam angkot D-02 September 2011 (Santosa, 2011). Isu pemerkosaan
di dalam angkutan umum merupakan isu besar yang ramai diperbincangkan pada
masa itu, sehingga tidak heran jika pada akhirnya, salah satu komedian menggunakan
kasus ini sebagai bahan lawakan. Olga Syahputra, salah seorang komedian yang
sangat populer pada masa itu, menggunakan kasus pemerkosaan sebagai bahan
lawakan dalam sebuah perayaan ulang tahun televisi yang disiarkan secara live.
Olga, kenapa lu jadi suster ngesot," kata Sule kepada Olga sebagaimana
dikutip oleh Helga. "Sepele, diperkosa supir angkot," kata Olga (Berita Satu,
2011).
Reaksi spontan Olga yang dilontarkan sebagai bahan ‘lelucon’ tersebut langsung
menuai kecaman publik. Keesokan harinya, sederetan lembaga dan aktivis perempuan

melaporkan tindakan Olga kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Salah satu
aktivis perempuan dari Lentera Indonesia, Helga mengatakan, ini bukan pertama
kalinya Olga melontarkan lelucon yang melecehkan korban pemerkosaan di dalam
angkutan umum, sehingga ia memutuskan untuk melaporkan tidakan Olga kepada
KPI (Parabueq, 2011). Pakaian yang dikenakan perempuan juga sempat ditengarai
sebagian pihak sebagai hal yang memicu terjadinya kasus pemerkosaan dalam
angkutan umum (Saputro, 2011). Fauzi Bowo, pada saat itu masih menjabat sebagai
gubernur DKI Jakarta, menyampaikan komentarnya terhadap tindak pemerkosaan
yang dialami seorang mahasiswi universitas ternama di Jakarta, "Bayangkan saja
kalau orang naik mikrolet duduknya pakai rok mini, kan agak gerah juga," kata Foke
sembari bercanda (Munawwaroh, 2011). Seketika tanggapan Fauzi Bowo, yang akrab
disapa Foke ini menjadi sangat viral dalam jejaring sosial, twitter yang menganggap
Foke sebagai gubernur yang seharusnya dapat menjamin keamanan warganya, justru
menyudutkan korban dengan tanggapan yang dilontarkan. Hal ini kemudian memicu
para aktivis perempuan untuk turun ke jalan, dan menggelar aksi protes di Bundaran
HI dengan mengenakan rok mini, sebagai penegasan bahwa mengenakan rok mini
adalah hak perempuan, dan tidak patut disalahkan, apalagi oleh pejabat negara.

Terlepas dari tanggapan atas sebuah kasus spesifik yang melecehkan perempuan,
pergerakan feminisme di Indonesia acap kali tidak terdengar, dan seringkali masih
berputar pada pergerakan konvesional, dengan aksi turun ke jalan untuk menyuarakan
pendapat. Feminisme masih dilihat sebagai pergerakan radikal, dan di saat yang
bersamaan bukan menjadi tujuan utama untuk diperjuangkan, dibandingkan dengan
isu sosial dan ekonomi lain di Indonesia.

Kesimpulan
Women and men may ‘feel’ equal, but at the same time are aware that this is
not entirely accurate - both sexes have now become victims of culture of
consumerism, appearances and glamour. (Gauntlett, 2002)
Media berperan penting dalam membentuk persepsi mengenai orientasi gender
melalui penggambaran yang ditampilkan di dalamnya. Namun, seiring dengan
perkembangan media, penggambaran mengenai gender-pun mengalami perubahan.
Sekalipun penggambaran perempuan dalam media belum dapat sepenuhnya dikatakan
‘setara’ dengan laki-laki, adanya media baru melahirkan kesempatan bagi para

perempuan untuk melakukan pergerakan feminisme secara online, yang justru lebih
efektif daripada pergerakan aktivis tradisional. Hal ini didukung perubahan ekosistem
kerja dan budaya organisasi yang lebih terbuka dan aktif dalam pergerakan sosial,
menciptakan ruang diskusi yang lebih luas antar produsen dan konsumen, serta
memudahkan proses distribusi yang cepat dan global karena dukungan infrastuktur,
internet dan sinyal digital.
Di sisi lain, pergerakan feminisme online juga melahirkan berbagai implikasi. Tingkat
interaktivitas yang tinggi, memungkinkan pengguna secara aktif memproduksi dan
menyebarkan konten media, dan menimbulkan overflow information yang berujung
pada multi-persepsi mengenai konsep ‘feminisme’ itu sendiri. Munculnya persepsi
beragam mengenai feminisme memunculkan tanggapan berbeda yang sangat kontras
antara satu dengan yang lainnya. Hal ini kemudian diperdebatkan dalam public
sphere, yang menurut Habermas, ditujukan untuk saling memahami perbedaan
argumen, namun kenyataannya, perbedaan yang terdapat mengenai persepsi terhadap
kesetaraan gender dan feminisme, tidak jarang justru berujung pada terjadinya hate
crime dalam media baru.
Pergerakan feminisme dalam media baru juga mengalami tekanan dari kekuatan
dominan yang tidak lenyap, dan terdistribusi, menciptakan batas-batas kekuasaan
yang tidak terlihat dan membatasi pergerakan perempuan. Adanya digital divide, dan
kekuataan dominan dalam media baru memungkinkan terjadinya hate crime pada
kaum minoritas, dalam hal ini, perempuan. Pergerakan feminisme merupakan sebuah
proses kompleks, yang akan terus berlanjut. Sekalipun fakta di atas kertas
menunjukkan kesetaraan gender masih jauh dari realitas, transformasi persepsi dan
penggambaran gender dalam media, dan masyarakat adalah sesuatu yang patut
ditanggapi optimis.

References
Berita Satu. (2011, December 16). Suara Pembaruan. Retrieved November 1, 2014,
from Berita Satu: http://sp.beritasatu.com/hiburan/bercanda-kelewat-batas-olgasyahputra-dilaporkan-ke-kpi/14943
Citron, D. K. (2014). Hate Crimes in Cyberspace. USA: Harvard College Publishing.
Craig, K. M., & Waldo, C. R. (1996). "So, What's a Hate Crime Anyway?" Young
Adults' Perceptions of Hate Crimes, Victims, and Perpetrators. Law and Human
Behavior , 20 (2), 113-129.

Darts, D. (2004). Visual Culture Jam: Art, Pedagogy and Creative Resistance. Studies
in Art Education , 45 (4), 313-327.
Dahlberg, L. (2005). The Habermasian Public Sphere: Taking Difference Seriously?
Theory and Society , 34 (2), 111-136.
Davis, S. J. (2012). Mass Communication Theory: Foundations, Ferment and Future
(6th Edition ed.). Boston, USA: Wadsworth.
Durham, M. G., & Kellner, D. M. (2006). Media and Cultures Studies (Revised
Edition ed.). Oxford, UK: Blackwell Publishing.
Gauntlett, D. (2008). Media, Gender and Identity: An Introduction (2nd Edition ed.).
New York, USA: Routledge.
Gorski, P. C. (2003). Privilege and Repression in the Digital Era: Rethinking the
Sociopolitics of the Digital Divide. Race, Gender & Class , 10 (4), 145-176.
Groskop, V. (2013, July 26). News: Society, Rape. Retrieved September 24, 2014,
from the guardian:
http://www.theguardian.com/society/shortcuts/2013/jul/26/patricia-lockwoodpoem-rape-joke
Hooks, B. (2000). Feminsm is for Everybody: Passionate Politics. London, UK:
South End Press.
Jacobs, J. B., & Potter, K. A. (1997). Hate Crimes: A Critical Perspective. Crime and
Justice , 22, 1-50.
Lister, M., Dovey, J., Giddings, S., Grant, I., & Kelly, K. (2009). New Media: A
Critical Introduction (2nd Edition ed.). New York, USA: Routledge.
Munawwaroh, A. K. (2011, September 18). Metro: Layanan Publik. Retrieved
November 1, 2014, from TEMPO.CO:
http://www.tempo.co/read/news/2011/09/18/083356835/Gara-gara-Rok-MiniFauzi-Bowo-Minta-Maaf
Norton, J. (2013, November 15). Totally Biased: Interview with Jim Norton. Totally
Biased. (W. K. Bell, Interviewer) CR Enterprise. FX.
Norris, P. (2001). Digital Divide, Civic Engagement, Information Poverty and the
Internet Worldwide. Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press.
Oliver, J. B. (2009). Media Effects: Advanced in Theory and Research (Third Edition
ed.). (T. Edition, Ed.) New York, USA: Routledge.
Parabueq, R. (2011, December 16). Tempo.co: Selebriti. Retrieved November 1,
2014, from Tempo.co:
http://www.tempo.co/read/news/2011/12/16/219372085/Olga-SyahputraDituding-Lecehkan-Korban-Pemerkosaan
Ross, C. M. (2006). Women & Media: A Critical Introduction. Oxford, UK:
Blackwell Publishing

Santosa, B. (2011, September 14). Inilah Kronologis Pemerkosaan di Dalam Mobil
Angkot. Retrieved November 1, 2014, from Okezone:
http://news.okezone.com/read/2011/09/14/338/502738/inilah-kronologispemerkosaan-di-dalam-mobil-angkot
Saputro, T. (2011, September 16). Vivanews: Metro. Retrieved November 1, 2014,
from Vivanews: http://metro.news.viva.co.id/news/read/247447-adapemerkosaan--jangan-salahkan-wanita
Skalli, L. H. (2006). Communication Gender in the Public Sphere: Women and
Information Technologies in the Mena. Journal of Middle East Women's Studies ,
2 (2), 35-59.
The Huffington Post UK. (2014, July 14). Women Against Feminism' Is A Thing. And
We're Confused. Retrieved October 3, 2014, from The Huffington Post UK:
http://www.huffingtonpost.co.uk/2014/07/14/women-against-feminism-tumblrfacebook-_n_5585163.html
UN Women. (2014). HeForShe. Retrieved from HeForShe: http://www.heforshe.org
Warschauer