Penelitian Tentang Adat Pernikahan Masya

Penelitian Tentang Adat Pernikahan Masyarakat adat Tionghoa
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Adat

Dosen pengampu:
Drs. Sumarno
Natal Kristiono, S.Pd.,M.H.

Disusun oleh:

Adi Nugroho Susanto (3301414071)

PRODI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
JURUSAN POLITIK DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015

1

SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama

: Adi Nugroho Susanto

NIM

: 3301414054

Prodi/Jurusan

: Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan / Politik dan
Kewarganegaraan

Fakultas

: Ilmu Sosial

Dengan ini menyatakan bahwa laporan pnelitian saya dengan judul :
“Adat Pernikahan Masyarakat adat Tionghoa”
Dengan ini saya menyatakan bahwa laporan yang saya buat ini hasil pekerjaan saya sendiri

untuk memenuhi tugas Hukum Adat. Pengambilan karya orang lain dalam paper ini
dilakukan dengan menyebutkan sumbernya sebagaimana tercantum dalam Daftar Pustaka
.

Semarang, 7 Mei 2015
Mengetahui,

yang menyatakan,

Dosen Pengampu

Natal Kristiono, S.Pd., M.H.

Adi Nugroho Susanto

NIP.198312262013031075

NIM. 3301414071

2


KATA PENGANTAR

Alhamdulilllahirobil’alamin, rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,
karena atas ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian mengenai perkawinan etnis
Tionghoa di kota Kudus. Tugas ini disusun guna memenuhi tugas mata Hukum Adat
Dengan disusunnya laporan penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat untuk
menambah informasi dan pengetahuan mengenai perkawinan etnis Tionghoa.
Tak ada gading yang tak retak, tidak ada yang sempurna di dunia ini kecuali Allah
SWT, penyusun menyadari bahwa laporan penelitian ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk lebih
menyempurnakan laporan ini. Akhir kata penyusun ucapkan semoga laporan ini bermafaat
bagi yang membacanya.

Semarang, 6 Mei 2015

Penulis

3


DAFTAR ISI

Halaman Judul

1

Lembar Pengesahan

2

Kata Pengantar

3

Daftar Isi

4

Abstrak


6

BAB I. PENDAHULUAN

7

1.1
1.2
1.3
1.4

Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kontribusi Penelitan

7
8
8
8


BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

9

2.1 Pengertian Adat

9

2.2 Pengertian Hukum

9

2.3 Pengertian Hukum Adat

10

2.4 Pengertian Pernikahan dan Perkawinan

10


BAB III. METODE PENELITIAN

13

3.1 Teknik Pengumpulan Data

13

3.2 Sumber data

13

3.3 Alat Pengumpul Data

13

3.4 Analisis Data

14


BAB IV.PEMBAHASAN

15

2.1 Adat Perkawinan masyarakat adat Tionghoa

15

2.2 Upacara perkawinan masyarakat adat Tionghoa

18

4

2.3 Resep perkawinan yang harmonis menurut masyarakat adat Tionghoa

27

2.4 Benda dan Tradisi yang memiliki sejarah yang ada dalam adat perkawinan Tionghoa


29

2.5 Perubahan yang biasa terjadi pada upacara adat perkawinan Tionghoa

33

BAB V. PENUTUP

35

3.1 Simpulan

35

3.2 Saran

36

DAFTAR PUSTAKA


37

LAMPIRAN

39

5

ABSTRAK
Masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah termasuk golongan minoritas karena mereka
merupakan keturunan bangsa Tiongkok yang menjelajah ke Indonesia dan menikah dengan
masyarakat pribumi sehingga bisa dikatakan peranakan Tionghoa. Sejak dari awal
kedatangannya ke Indonesia atau saat kolonialisme, golongan Tionghoa diperbolehkan
menggunakan hukum adat mereka disamping hukum buatan pemerintah Belanda pada saat
itu. Mereka melakukan penundukan hukum dengan cara sukarela. Masyarakat Tionghoa
mempunyai adat istiadat yang unik. Mereka selalu mengaitkan sesuatu dengan kejadian yang
akan datang dan menyimbolkan sesuatu dan mempunyai ungkapan atau tradisi yang penuh
dengan makna. Masyarakat Tionghoa dari dulu memiliki larangan kawin dengan etnis lain.
Perkawinan sendiri adalah salah satu cara untuk melestarikan keluarga dan untuk melanjutkan

warisan leluhur. Dari perkawinan itu akan membentuk keluarga baru dan muncul generasi
penerus selanjutnya. Benda dan tradisi dalam suatu adat selalu mempunyai histori dan makna
tersendiri. Percaya bahwa benda itu ada kekuatan lain adalah warisan nenek moyang yang
disebut dinamisme. Tradisi berasal dari suatu kesepakatan masyarakat yang sudah menjadi
kebiasaan yang kemudian bisa menjadi hukum adat.
Kata kunci: Tionghoa, Hukum, Perkawinan, Adat, Hukum Adat,Tradisi

6

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Bangsa Tionghoa merupakan suatu bangsa yang memiliki kebudayaan yang sangat
tinggi. Mereka telah mengenal peradaban sejak beberapa ribu tahun sebelum masehi.
Kebudayaan, kepercayaan, dan tradisi tetap mereka pelihara. Hal-hal tersebut bahkan dapat
kita lihat pada orang-orang Tionghoa yang telah menetap di Indonesia pada saat ini.
Masyarakat adat Tionghoa di Indonesia adalah golongan minoritas di lingkungan
sosial masyarakat Indonesia. Mereka biasanya hidup dengan pemukiman mengelompok
sesama masyarakat adat Tionghoa. Mereka sedikit tertutup mengenai adat mereka.
Masyarakat adat Tionghoa selalu mempertimbangkan sesuatu sebelum dilakukan dan
memiliki makna-makna tertentu dalam setiap adat mereka, salah satunya adalah adat
perkawinan mereka.
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan
manusia. Dasar-dasar perkawinan dibentuk oleh unsur-unsur alami dari kehidupan manusia
itu sendiri yang meliputi kebutuhan dan fungsi biologis, melahirkan keturunan, kebutuhan
akan kasih sayang dan persaudaraan. Bagi pemeluk agama, perkawinan bersifat sakral dan
mengandung ajaran-ajaran agama bagi para pemeluknya. Ritual perkawinan tidak hanya
dipandang sebagai peristiwa sakral. Setelah selesai ritual sakral, timbulah ikatan perkawinan
yang dinamakan suami dan isteri. Ikatan perkawinan ini menimbulkan akibat hukum terhadap
diri masing-masing suami isteri berupa hak dan kewajiban.
Pasangan seorang pria dan wanita yang membentuk rumah tangga dalam suatu ikatan
perkawinan pada dasarnya merupakan naluri manusia sebagi makhluk sosial guna
melangsungkan kehidupannya. Pengelompokan kehidupan manusia tersebut dalam realitanya
dapat dilihat dengan adanya berbagai bentuk kesatuan sosial dan adat istiadat dalam suatu
pernikahan yang ada pada masyarakat. Di masyarakat adat Tionghoa memiliki adat tersendiri
dalam urusan pernikahan/perkawinan. Banyak orang yang kurang wawasan tentang adat
tersebut.

Maka

dari

itu

penulis

tertarik

perkawinan/pernikahan masyarakat adat Tionghoa

7

melakukan

penelitian

mengenai

adat

1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana adat perkawinan masyarakat adat Tionghoa ?
2. Apa sajakah hal yang dilakukan dalam prosesi upacara pernikahan masyarakat adat
Tionghoa ?
3. Bagaimana resep perkawinan yang harmonis menurut masyarakat adat Tionghoa ?
4. Apa sajakah benda dan tradisi yang memiliki sejarah yang ada dalam adat perkawinan
masyarakat adat Tionghoa ?
5. Apa saja perubahan yang biasa terjadi pada adat upacara perkawinan Tionghoa ?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui adat pernikahan dalam masyarakat adat Tionghoa
2. Untuk mengetahui upacara-upacara apa saja yang dilakukan dalam prosesi pernikahan
masyarakat adat Tionghoa
3. Untuk mengetahui resep perkawinan yang harmonis menurut masyarakat adat
Tionghoa
4. Untuk mengetahui benda dan tradisi yang memiliki sejarah yang ada dalam adat
perkawinan masyarakat adat Tionghoa
5. Untuk mengetahui perubahan yang biasa terjadi pada adat upacara perkawinan
Tionghoa.
1.4 Kontribusi Penelitian
Kontribusi penelitian ini ada 2 yakni :
(1) Manfaat teoretis, yaitu pengembangan teori yang berkaitan dengan masalah adat
perkawinan dalam masyarakat etnis Tionghoa. Penelitian ini bermanfaat untuk menambah
materi dari teori yang sudah ada yang khususnya mengenai hukum adat perkawinan.
(2) Manfaat praktis, yaitu untuk kepentingan siswa/mahasiswa, guru, masyarakat, dosen, dan
pihak lainnya yang terkait mengenai penelitian ini. Penelitian ini juga berkontribusi dalam
membenarkan presepsi-presepsi yang ada dalam masyarakat dimana sebagian tidak
memperdulikan tentang hukum adat perkawinan dalam adat Tionghoa. Maka dari itu
penelitian ini berguna untuk menambah wawasan masyarakat dan pihak-pihak lainnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Adat
8

Berikut beberapa definisi mengenai adat, hukum dan hukum adat menurut para ahli :
Yang pertama menurut Iskandar yaitu, adat merupakan tingkah laku yang oleh dan
dalam suatu masyarakat (sudah,sedang,akan) diadakan. (dalam Hukum Adat, Makmuri,
2014:2)
Kemudian menurut Soerojo Wignjodipoero adat adalah pencerminan daripada
kepribadian suatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang
bersangkutan dari abad ke abad. (Soerojo Wignjodipoero, 1988:13)
Soerjono Soekanto juga memberikan definisi mengenai adat, yaitu adat atau
kebiasaan merupakan pola-pola perilaku bagi anggota masyarakat di dalam memenuhi segala
kebutuhan pokoknya (Soerjono Soekanto,2012:287)
Apeldoorn juga memberikan definisi mengenai adat, yaitu adat merupakan segala
peraturan tingkah laku, yang tidak termasuk dalam lapangan hukum,kesusilaan dan agama.
(Apeldoorn,1996:29)
Dapat ditarik kesimpulan dari beberapa ahli menengenai adat adalah kebiasaan pola
perilaku anggota masyarakat yang bertujuan untuk memenuhi segala kebutuhan pokoknya
yang menunjukkan kepribadian suatu bangsa yang sudah,sedang,dan akan diadakan.
2.2 Pengertian Hukum
Beberapa pengertian mengenai hukum menurut para ahli hukum :
Menurut S.M Amin, hukum adalah kumpulan-kumpulan peraturan yang terdiri dari
norma dan sanksi-sanksi itu disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan
ketatatertiban dalam pergaulan manusia,sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara.
(dalam Kansil,1989:38)
Kemudian Apeldoorn juga memiliki sebuah definisi mengenai hukum, yaitu hukum
adalah peraturan-peraturan tingkah laku atau kaidah-kaidah, jadi atas peraturan-peraturan
perbuatan manusia, atas suruhan dan larangan (Apeldoorn, 1996:18)
Dapat disimpulkan bahwa hukum adalah aturan-aturan yang mengikat yang berisi
perintah,larnagan dan tentang kaidah-kaidah yang bertujuan untuk ukmenertibkan masyarakat
sehingga keamanan terjaga dan masyarakat sejahtera.
2.3 Pengertian Hukum Adat
9

Berikut beberapa definisi mengenai hukum adat menurut para tokoh-tokoh :
Menurut Bellefroid, hukum adat adalah peraturan hidup yang meskipun tidak
diundangkan oleh penguasa toh dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa
peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum. (Soerojo Wignjodipoero, 1988:14)
Kemudian Soepomo juga membuat sebuah definisi mengenai hukum adat yaitu,
hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis dalam peraturan legislatif, meliputi peraturan
hidup yang meskipun tidak dikitabkan oleh yang berwajib, namun dihormati dan didukung
oleh rakyat berdasar atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai
kekuatan hukum (Soepomo, 1981:20)
Dapat diambil sebuah definisi dari pendapat-pendapat tokoh diatas mengenai hukum
adat adalah aturan yang diciptakan dalam bentuk tidak tertulis yang mengatur tingkah laku
manusia atau pola perilaku yang dilakukan dari kebiasaan-kebiasaan yang telah disepakati
dalam masyarakat adat tersebut.
2.4 Pengertian Pernikahan dan Perkawinan
Beberapa pengertian mengenai perkawinan atau pernikahan menurut pustaka dan
beberapa ahli :
Dari segi bahasa perkawinan berasal dari kata “kawin” yang merupakan terjemahan
dari bahasa Adar “nikah” dan perkataan ziwaaj. Perkataan nikah menurut bahasa Arab
mempunyai dua pengerian, yakni dalam arti sebenarnya dan dalam arti kiasan (majaaz).
Dalam arti sebenarnya nikah adalah dham yang berarti menghimpit, menindih, atau
berkumpul ; sedangkan dalam pengertian kiasannya ialah wathaa yang berarti setubuh.
(Kamal Muchtar dalam Rachmadi Usman,2006:268)
Menurut pasal 2 dan 3 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa “perkawinan
adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk menaati
perintah Allah dan melaksankannya merupakan ibadah yang bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah,mawaddah, dan rahmah.” (dalam Rachmadi
Usman,2006:268)
Perkawinan dalam pandangan KUHP adalah suatu perjanjian lahiriah atau
keperdataan belaka sama seperti perjanjian lainnya yang tidak mengandung nilai atau ikatan
batiniah/rohaniah/agama. (dalam Rachmadi Usman,2006:269)
10

Dalam pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan, mendefinisikan
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. (dalam Rachmadi Usman,2006:268)
Menurut Sajuti Thalib, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci dan luas dan
kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih-mengasihi, tenteram dan bahagia
(Mohammad Idris Ramulyo,1996:2)
Pengertian perkawinan menurut hukum adat adalah suatu ikatan antara seorang lakilaki dengan seorang wanita untuk membentuk rumah tangga yang dilaksanakan secara adat
dengan melibatkan keluarga kedua belah pihak, saudara maupun kerabat (Soerojo
Wignjodipoero,1988:55)
Perkawinan merupakan suatu sarana untuk memperbaiki hubungan kekerabatan yang
telah jauh dan retak, ia merupakan sarana pendekatan dan perdamaian antar kerabat dan
begitu pula dengan perkawinan itu bersangkut paut dengan masalah kedudukan, harta
kekayaan dan masalah pewarisan (Tolib Setiady,2009:222)
Menurut K. Wantjik Saleh, perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh
dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan
material, yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu haruslah
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai azas pertama dalam Pancasila
(Saleh,1976:15)
Perbedaan pendapat-pendapat para ahli diatas tidak memperlihatkan adanya
pertentangan yang sungguh-sungguh antara pendapat yang satu dengan pendapat yang lain.
Perbedaan itu hanya terdapat pada keinginan para perumus untuk memasukkan unsur yang
sebanyak-banyaknya dalam merumuskan pengertian perkawinan. Dalam pendapat-pendapat
para ahli diatas terdapat kesamaan yaitu bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Perjanjian perkawinan merupakan
perjanjian suci untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal, abadi untuk selamanya.
Pada prinsipnya, perkawinan atau nikah adalah suatu akad untuk menghalalkan
hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong antara laki-laki dan
perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. Apabila ditinjau dari segi hukum, tampak
jelas bahwa pernikahan adalah suatu akad suci dan luhur antara laki-laki dan perempuan yang
menjadi sahnya status sebagai suami isteri dan dihalalkannya hubungan seksual dengan
11

tujuan mencapai keluarga sakinah, penuh kasih sayang dan kebajikan serta saling menyantuni
antara keduanya. (Sudarsono,1991:1)
Berdasarkan beberapa definisi mengenai perkawinan atau pernikahan diatas dapat
disimpulkan dengan menarik sebuah definisi yaitu pernikahan merupakan ikatan lahir batin
antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri yang memiliki kekuatan hukum dan diakui
secara sosial dengan tujuan membentuk keluarga sebagai kesatuan yang menjanjikan
pelestarian kebudayaan dan pemenuhan berbagai kebutuhan.

\

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Teknik pengumpulan data

12

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui
wawancara kepada narasumber yang beretnis Tionghoa di Kabupaten Kudus dan dipadukan
dengan penelitian kepustakaan untuk mendapatkan informasi teori , pendapat atau pemikiran
konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek yang dibahas dalam
penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, dan jurnal-jurnal ilmiah
lainnya.
3.2 Sumber data
Sumber data penelitian ini adalah berasal dari sumber data primer yaitu penjelasan
narasumber yang penulis wawancarai dan sumber data sekunder dari berbagai buku-buku dan
jurnal-jurnal yang penulis cari di perpustakaan maupun yang tercantum di internet. Data yang
penulis sajikan adalah data kualitatif yaitu data yang berupa kalimat-kalimat yang berasal dari
wawancara maupun studi pustaka yang penulis lakukan.
3.3 Alat Pengumpulan Data
Berdasarkan metode diatas penelitian ini maka alat pengumpulan data yang digunakan adalah
sebagai berikut :
a. Studi kepustakaan yang terdiri dari buku-buku yang relevan dengan masalah yang sedang
diteliti dan jurnal yang relevan dengan masalah penelitian ini.
b. Wawancara (interview), yang dibantu dengan pedoman wawancara, yaitu dengan
mengadakan wawancara dengan narasumber atau informan yang berhubungan dengan materi
penelitian ini, seperti perwakilan masyarakat adat Tionghoa untuk mengetahui lebih
mendalam dan rinci tentang hal-hal yang tidak mungkin dijelaskan dan ditemukan jawaban
nantinya. Sehingga dengan adanya wawancara diharapkan dapat memperoleh data yang lebih
luas dan akurat.
3.4 Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke
dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan
13

suatu hipotesis seperti yang disarankan oleh data. Setelah diperoleh data primer yakni hasil
wawancara penulis dengan narasumber dan data sekunder yakni berupa buku-buku dan
jurnal, maka dilakukan penyusunan secara sistematik, kemudian diolah dianalisa dengan
menggunakan metode kualitatif, sehingga dapat ditarik kesimpulan. Kegiatan analisis dimulai
dengan dilakukan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul baik melalui wawancara yang
dilakukan,buku yang relevan dengan penelitian, jurnal yang relevan dengan penelitian ini.
Kemudian baik data primer maupun data sekunder dilakukan analisis dan penyusunan
sehingga dapat menjadi bahan tambahan tentang etnis Tionghoa.

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Adat Perkawinan masyarakat Tionghoa
Perkawinan adalah momen yang paling luar biasa dalam kehidupan manusia dimana
saat itu baik sang pria maupun sang wanita memutuskan untuk membentuk keluarga sendiri
14

dan menyambung keturunan mereka. Sehingga melihat hari, jam dan tanggal baik merupakan
salah satu hal yang wajib diperhitungkan bagi tradisi adat Tionghoa. Diharapkan, hari,
tanggal dan jam baik tersebut adalah sebagai doa sehingga kedua mempelai bisa menikmati
kehidupan pernikahan mereka dengan bahagia sampai akhir hayat mereka. Menurut
narasumber, budaya tersebut juga sama seperi pada budaya jawa dimana setiap ada acara
pernikahan harus ditentukan harinya menurut weton kedua mempelai (adat jawa) dan
menurut shio tahun yang didapat dari pengetahuan sesepuh mereka yang dipadukan dengan
hitungan-hitungan hari yang sama seperti adat Jawa. Menurut Koentjaraningrat Masyarakat
Jawa mempunyai persepsi waktu yang masih diarahkan kaitannya dengan masa lalu (Eko
Handoyo dkk, 2007:58)
Upacara pernikahan merupakan adat perkawinan yang didasarkan atas dan bersumber
kepada kekerabatan, keleluhuran dan kemanusiaan serta berfungsi melindungi keluarga.
Upacara pernikahan tidak sama di setiap tempat, tetapi terdapat berbagai variasi menurut
tempat diadakannya. Umumnya orang-orang Tionghoa yang bermigrasi ke Indonesia
membawa adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan mereka. Salah satu adat yang seharusnya
mereka taati adalah keluarga yang satu marga dilarang menikah, karena mereka dianggap
masih mempunyai hubungan suku. Misalnya : marga Ming dilarang menikah dengan marga
Ming dari keluarga lain, sekalipun tidak saling kenal. Akan tetapi pernikahan dalam satu
keluarga sangat diharapkan agar supaya harta tidak jatuh ke orang lain. Misalnya : pernikahan
dengan anak bibi (tidak satu marga, tapi masih satu nenek moyang). (R.Rafael
Sunarto,2013:315).
Orang Tionghoa peranakan yang ada di Indonesia (terutama di Pulau Jawa) pada
umumnya berasal dari Hokkian Selatan (Ban Lam) yakni wilayah Ciang Ciu (Zhang Zhou), E
Mui (Xiamen) dan Coan Ciu (Quan Zhou) yang datang secara bergelombang dalam jumlah
kecil ber abad-abad lalu (sejak tahun 900 an dan puncaknya terutama pada masa Dinasti
Ching 1664-1911). Mereka membawa adat istiadat yang berlaku di kampung halaman
mereka, karena yang datang hanya kaum laki-laki saja dan belum ada kaum perempuan yang
ikut bermigrasi, maka kaum laki-laki Totok (Shin Kheh) ini lalu kawin dengan perempuan
setempat (Nyai) dan keturunan mereka itulah yang kini dikenal dengan istilah peranakan
(Kiaw Seng).
Hal tersebut juga ditegaskan oleh Titin Listiyani yaitu Masyarakat Tionghoa di
Indonesia umumnya terbagi menjadi dua golongan. Pertama disebut dengan golongan
15

peranakan, yaitu generasi imigran Cina yang hidup turun-temurun di Indonesia yang sudah
tidak lagi condong ke negeri Cina dan telah menganggap Indonesia sebagai bangsa asli
mereka. Golongan kedua adalah golongan ‘Totok’ yaitu mereka yang telah hidup turuntemurun namun pada umumnya masih fanatik menggantungkan loyalitas kepada leluhurnya
di negeri Cina.(Listiyani,Titin.2011. PARTISIPASI MASYARAKAT SEKITAR DALAM
RITUAL

DI

KELENTENG

BAN

ENG

BIO

ADIWERNA.Unnes. Vol.3

edisi

2.

http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas , diakses pada 5 Mei 2015).
Hal tersebut juga dijelaskan oleh Isti Sulistyorini, masyarakat Tionghoa Totok (Khek)
Totok adalah orang-orang Tionghoa yang lahir di negara China dan masih berbahasa China.
Kebanyakan mereka adalah imigran dalam abad 20. Keturunan mereka yang lahir sebelum
perang dunia ke dua masih berkebudayaan totok tetapi yang lahir setelah ditutupnya sekolah
China sudah lebih mirip peranakan. Masyarakat Tionghoa Peranakan (Babah) adalah orangorang Tionghoa yang dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia yang kebudayaannya telah
dipengaruhi oleh Indonesia. Orangorang peranakan memakai bahasa Indonesia sebagai
bahasa sehari-hari da umumnya telah hilang kepandaiannya menggunakan bahasa China
(Sulistyorini,

Isti.2008.PILIHAN

PENYELESAIAN

PEMBAGIAN

HUKUM
WARIS

MASYARAKAT
DI

TIONGHOA

PEKALONGAN.Vol

VII

DALAM
No.13.

http://journal.unikal.ac.id/index.php/hukum/article/download/167/103 , diakses pada 5 Mei
2015)
Kaum peranakan sebagai hasil perkawinan campur antara laki-laki Tionghoa dan
perempuan setempat ini dikenal pula sebagai Kaum Baba dan Nyonya, yang mempunyai
perpaduan kebudayaan antara budaya Tionghoa di Hokkian Selatan dengan budaya Sunda
dan budaya Jawa. Oleh sebab itulah dalam Upacara Cio Taw ini istilah-istilah yang
digunakan bukan dalam bahasa Mandarin (Hua le/Kuo le) tetapi istilah-istilah dalam dialek
Hokkian Selatan (Ban Lam Jie). (R.Rafael Sunarto,2013:315-316).
Dalam budaya Tionghoa tidak diharapkan perkawinan antara laki-laki dan perempuan
kerabat dekat dengan status kekerabatan perempuan yang lebih tua, misalnya perkawinan
laki-laki dengan saudara atau sepupu ibu/ayahnya). Aturan adat yang lain adalah sangat
ditabukan seorang perempuan kawin mendahului kakak perempuannya. Demikian juga
seorang laki-laki tabu kawin mendahului kakak laki-lakinya. Sebaliknya, adik perempuan
boleh kawin mendahului kakak laki-lakinya dan adik laki-laki juga boleh kawin mendahului
kakak perempuannya. Bila terjadi keadaan yang memaksa tidak ditaatinya adat ini, maka
16

laki-laki atau perempuan yang akan kawin harus memberikan barang kepada kakaknya yang
dilangkahi. (Puspa Vasanty dalam Koentjaraningrat, 2002 : 362).
Makna perkawinan dalam masyarakat adat Tionghoa yang secara umum bertujuan
untuk menjaga dan meneruskan keturunan, melanjutkan warisan budaya leluhur,menaikkan
status

sosial,membangun

keluarga/marga,meningkatkan

rejeki

dan

menambah

tali

persaudaraan. Reza Andesta juga menyatakan pelaksanaan upacara perkawinan merupakan
suatu langkah yang penting dalam proses pengintegrasian manusia dengan tata alam, dimana
dalam pelaksanaan adat upacara perkawinan harus memenuhi syarat yang telah ditentukan
oleh tradisi untuk masuk kealam sakral. (Andesta,Reza.2013.TRADISI PENGADANGAN
DALAM ADAT PERKAWINAN SUKU OGAN DESA LUNGGAIAN KECAMATAN LUBUK
BATANG

KABUPATEN

OGAN

KOMERING

ULU.Unila.Vol.1

No.4.

http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/PES/article/view/2966/pdf_14 , diakses pada 5 Mei
2015)
Mengenai sistem kekeluargaan, etnis Tionghoa memegang teguh garis keturunan lakilaki (patrilineal), tidak diperbolehkan menikah dengan etnis lain untuk mempertahankan
keturunan dan budayanya. Di keluarga etnis Tionghoa menganut ikatan kekerabatan
patrilineal yang melengkapi diri dengan susunan keluarga dalam klan (She) dan extended
family. Generasi orang Tionghoa dahulu sangat memperhatikan semua nasehat dari orang
tuanya dan nenek moyangnya. Pernyataan tersebut ditegaskan oleh Djojomartono bahwa
orang Tionghoa sangat menghormati orang tua, terlebih nenek moyang, karena orang tua
adalah sumber kehormatan yang harus dijaga. (Djojomartono dalam Agus Salim, 2006:138).
Dalam adat-istiadat Tionghoa sebenarnya tidak ada mengatur secara tertulis mengenai
syarat-syarat perkawinan, melainkan syarat-syarat perkawinan tersebut hanya dilaksanakan
secara terus menerus dan turun temurun dari generasi ke generasi. Peran orang tua sangat
besar dalam pelaksanaan maupun pelestarian adat istiadat dalam perkawinan, terutama
mengenai syarat-syarat perkawinan, antara lain dengan memberitahukan kepada anak dan
keturunannya serta menerapkannya dalam perkawinan anak-anaknya.
Pada dasarnya syarat-syarat perkawinan dalam hukum adat Tionghoa sangat
dipengaruhi oleh pandangan masyarakat etnis Tionghoa itu sendiri, terutama pandangan dari
keluarga dan kedua calon mempelai. Secara garis besar, syarat-syarat perkawinan dalam
hukum adat Tionghoa sangat sederhana dan hanya terfokus kepada cara pandang dan
kebiasaan-kebiasaan serta adat istiadat dari suku dan/atau keluarga. Tidak ada akibat dan
17

sanksi hukum yang timbul apabila syaratsyarat perkawinan tersebut tidak dipenuhi atau
dilaksanakan oleh para pihak yang melangsungkan perkawinan, akan tetapi hanya berupa
sanksi sosial, seperti cemoohan dari pihak keluarga maupun masyarakat.
4.2 Upacara-upacara dalam pernikahan masyarakat adat Tionghoa
Upacara perkawinan Tionghoa sesuai dengan tradisi turun-temurun. Seiring kemajuan
zaman saat ini ada beberapa acara yang tidak lagi dilakukan. Biasanya tergantung dari tradisi
yang dianut masing-masing keluarga. Orang-orang Tionghoa mempunya upacara-upacara
adat pernikahan yaitu :
a) Upacara Menjelang Pernikahan , dalam upacara ini terdiri atas beberapa tahapan yaitu :
1. Lamaran atau Mahar
Dalam tradisi Tiongha proses lamaran dilakukan seminggu sebelum berlangsungnya
pernikahan. Lamaran merupakan pemberian barang dari mempelai pria untuk mempelai
wanita yang nantinya akan digunakan oleh kedua calon mempelai untuk kehidupan setelah
masa pernikahan. Barang yang diserahkan biasanya melambangkan kelanggengan, kesuburan
dan juga kebahagiaan untuk pasangan. Yang unik dari barang lamaran pada adat ini ialah
banyaknya nominal 9 (jiu) atau 8 (fat) yang menjadi kunci pokok langgeng dan
berkembangnya kebahagiaan bagi kedua mempelai.
Untuk menghindari kesia-siaan dan rasa malu, lazimnya lamaran dilakukan setelah
pihak keluarga pria mendapat kepastian bahwa lamaran akan diterima. Ketika proses lamaran
berlangsung pun, pihak pelamar belum akan menyentuh makanan dan minuman yang
disajikan sebelum keluarga calon mempelai wanita memastikan lamaran telah diterima. Saat
akan pulang, ayah atau wali dari calon mempelai pria akan menyelipkan angpau berisi uang
di bawah cangkir teh yang disajikan calon mempelai wanita sebagai tanda kasih kepada calon
menantu. Sebagai balasan, jika lamaran diterima, keluarga pengantin wanita akan memberi
perhiasan sebagai tanda ikatan. Pada waktu lamaran sekaligus ditentukan pula waktu untuk
memberikan sangjit atau seserahan
Etnis Tionghoa percaya bahwa dalam setiap melaksanakan suatu upacara, harus
dilihat hari dan bulannya. Apabila jam, hari dan bulan pernikahan kurang tepat akan dapat
mencelakakan kelanggengan pernikahan mereka. Oleh karena itu harus dipilih jam, hari dan
bulan yang baik. Biasanya semuanya serba muda. yaitu : jam sebelum matahari tegak lurus;
18

hari tergantung perhitungan bulan Tionghoa, dan bulan yang baik adalah bulan naik /
menjelang purnama.
2. Prosesi Seserahan Adat Tionghoa ( Sangjit)
Dalam rangkaian adat Tionghoa, Sangjit dilakukan setelah acara lamaran. Hari dan waktu
yang baik untuk melakukan Sangjit ini ditetapkan pada saat proses lamaran tersebut. Dalam
prakteknya, Sanjit sering ditiadakan atau digabung dengan lamaran. Sangjit berarti proses
seserahan. Atau proses kelanjutan lamaran dari pihak mempelai pria dengan membawa
persembahan ke pihak mempelai wanita. Prosesi ini biasanya dihadiri rombongan pria yang
terdiri dari keluarga inti dan keluarga besar (saudara dari orang tua, sepupu) atau temanteman dekat jika dibutuhkan. Sangjit biasanya diadakan antara 1 bulan sampai 1 minggu
sebelum acara resepsi pernikahan dan berlangsung siang hari antara jam 11.00 sampai dengan
13.00 WIB dilanjutkan dengan makan siang.
3. Menghias Kamar Pengantin
Setelah semua acara lamaran sudah dipersiapkan, kini giliran merapikan tempat untuk
kedua mempelai. Tradisi merias kamar pengantin dilakukan juga seminggu sebelum Hari H
berlangsung. Menghias kamar merupakan salah satu tradisi yang masih dilakukan oleh para
orang tua kedua mempelai.Orang yang menghias kamar pengantin biasanya ialah kerabat
yang sudah menikah dan kehidupan pernikahannya terkenal langgeng, ini melambangkan
agar dapat menjadi contoh bagi kedua calon mempelai. Menghias kamar pengantin dengan
warna merah melambangkan kebahagiaan dan semangat hidup, lampu lentera juga kerap
diletakkan di dalam kamar
Ada tradisi unik di adat Tionghoa ini yaitu anak-anak akan diminta meloncat-loncat di
atas ranjang pengantin sebelum ranjang ditata. Selain bisa untuk menguji kekuatan ranjang,
ada mitos tradisi ini bisa membuat pengantin cepat mendapat momongan.

4. Menyalakan Lilin
Ada keharusan bagi orang tua kedua calon pengantin untuk menyalakan lilin
perkawinan beberapa hari menjelang pernikahan digelar. Nyala lilin perkawinan dipercaya
bisa mengusir pengaruh buruk yang dapat mengacaukan jalannya prosesi pernikahan.

19

Biasanya lilin dinyalakan mulai pukul satu dini hari. Lilin harus tetap menyala hingga tiga
hari setelah pernikahan.
5. Siraman
Siraman dalam tradisi masyarakat Tionghoa diawali dengan sembahyang dan
penghormatan kepada leluhur. Kedua calon mempelai dimandikan dengan air yang diberi
wewangian dan bunga mawar, melati, kenanga dan daun pandan. Makna tradisi siraman
adalah untuk membersihkan diri dari segala hal yang buruk serta untuk menolak bala. Acara
siraman ini dilakukan oleh orang tua dari kedua mempelai dan kerabat dekat yang telah
menikah.
6. Sisir Rambut
Pagi hari sesaat sebelum upacara dilakukan setelah selesai mandi, mempelai pria dan
wanita diharuskan memakai pakaian putih. Sambil disisir 4 kali dari kepala hingga ujung
rambut oleh kerabat dekat yang masih lengkap keluarganya diucapkanlah juga empat kalimat
ini : sisiran pertama “hidup bersama sampai rambut beruban” sisiran kedua “rumah tangga
harmonis” dan sisiran ketiga “diberkati dengan banyak keturunan” sisiran keempat "diberkati
dengan panjang umur".
7. Upacara makan
Setelah melakukan ritual pagi barulah saatnya untuk upacara. Upacara dimulai dengan
sembahyang untuk para leluhur demi meminta ijin berlangsungnya acara, setelah itu keluarga
beserta kedua calon mempelai menikmati hidangan kue onde, ini melambangkan agar acara
yang akan dilangsungkan berjalan dengan lancar, layaknya bola yang bergelinding.
Kemudian setelah sisir rambut juga, calon pengantin perempuan dirias dan mengenakan
busana pengantin untuk melakukan upacara tradisi ”makan duabelas jenis sayur/hidangan”.
Tradisi ini dilakukan di meja makan di rumah masing-masing mempelai.
Di atas meja tersedia dua belas macam hidangan yang masing-masing ditempatkan
dalam dua belas mangkuk. Hidangan-hidangan ini memiliki rasa yang berbeda yaitu, manis,
asin, getir, pahit, asam, hambar, pedas, gurih dan perpaduan dari berbagai rasa tersebut.
Makna dari dua belas macam rasa hidangan ini adalah bahwa hidup memiliki rasa dan
dinamika rasa yang silih berganti. Harapan yang terkandung dalam upacara tradisi ini adalah
20

kedua mempelai dapat kokoh bersatu melalui kemanisan, kepahitan, tekanan dalam hidup.
Setelah upacara adat ini selesai mempelai perempuan dalam busana pengatin dengan wajah
yang ditutup.
8. Menjemput Mempelai Perempuan.
Mempelai laki-laki yang datang ke rumah mempelai perempuan disertai keluarga dan
kerabatnya disambut dengan taburan beras kuning, biji kacang hijau, biji kacang merah, uang
logam dan aneka bunga. Makna taburan beras, biji-bijian, uang logan dan aneka bunga
melambangkan kemakmuran yang diharapkan dapat dicapai oleh kedua mempelai. Mempelai
laki-laki kemudian dipertemukan dengan mempelai perempuan yang masih mengenakan
kerudung. Dalam pertemuan ini kerudung mempelai perempuan belum boleh dibuka sampai
saat mereka tiba di rumah mempelai laki-laki. Kerudung penutup wajah mempelai perempuan
ini melambangkan kesucian.
9. Penyambutan Pengantin Perempuan
Di rumah mempelai laki-laki terjadi kesibukan untuk mempersiapkan penyambutan
kedua mempelai. Ketika rombongan kedua mempelai datang, maka orang tua dan
kakek/nenek mempelai laki-laki menyambut kedua mempelai dengan taburan beras kuning,
biji kacang hijau, biji kacang merah, uang logam dan aneka bunga. Kedua mempelai
kemudian dibimbing oleh para kerabat menuju ke kamar pengantin. Di kamar pengantin
inilah kerudung mempelai perempuan dibuka oleh mempelai laki-laki. Secara simbolik
pembukaan kerudung ini menjadi lambang sahnya perkawinan ini.
b) Upacara Pernikahan
3 - 7 hari menjelang hari pernikahan diadakan "memajang" keluarga mempelai pria
dan famili dekat, mereka berkunjung ke keluarga mempelai wanita. Mereka membawa
beberapa perangkat untuk menghias kamar pengantin. Hamparan sprei harus dilakukan oleh
keluarga pria yang masih lengkap (hidup) dan bahagia. Di atas tempat tidur diletakkan mas
kawin.
Ada upacara makan-makan. Calon mempelai pria dilarang menemui calon mempelai
wanita sampai hari H. Malam dimana besok akan diadakan upacara pernikahan, ada upacara
"Liauw Tiaa". Upacara ini biasanya dilakukan hanya untuk mengundang teman-teman calon
kedua mempelai. Pesta ini diadakan di rumah mempelai wanita. Pada malam ini, calon

21

mempelai boleh digoda sepuas-puasnya oleh teman-teman putrinya. Malam ini juga sering
dipergunakan untuk kaum muda pria melihat-lihat calonnya (mencari pacar).
c) Upacara Cio Taw
Di pagi hari pada hari pernikahan, diadakan Upacara Cio Taw. Namun, ada kalanya
Upacara Cio Taw ini didakan pada tengah malam menjelang hari pernikahan. Secara harafiah
Cio berarti merapihkan diri dan Taw nerarti kepala, sehingga Cio Taw nerarti merapihkan
kepala atau mendandani pengantin/mempelai. Upacara Cio Taw ini berasal dari daerah Fujian
Selatan (Minnan) semasa periode dinasti Qing (1644-1911) dan mungkin sudah tidak
ditemukan lagi di Tiongkok. (R.Rafael Sunarto,2013:317)
Kaum peranakan tidak terlalu terpengaruh oleh segala pergolakan politik yang terjadi
di Tiongkok, dan hanya memandan upacara pernikahan tradisional Chio Taw sebagai pusaka
budaya warisan kakek-moyang mereka yang harus mereka pertahankan mati-matian sebagai
identitas budaya mereka. Sedemikian pentingnya Cio Taw dalam pandangan kaum Peranakan
tradisional, sehingga kaum Peranakan di beberapa daerah tertentu bahkan sampai memandan
pernikahan yang tidak disertai Cio Taw bukan pernikahan yang sah, dan anak-anak yang
dilahirkan dari pernikahan ini pun bukan anak yang sah (R.Rafael Sunarto,2013:317)
Upacara Cio Taw ini terdiri dari :
1. Penghormatan terhadap Tuhan (Thian/Tikong) beserta leluhur
Kedua calon mempelai melakukan sembahyang untuk memuja Thian atau Tuhan Yang
Maha Esa dan para leluhur dari kedua calnn mempelai. Dalam agama Khonghucu, Tuhan
sendiri memiliki 5 nama atau sifat, yaitu: 1).Thian, yang mengandung makna Maha Besar;
Yang Maha Esa. Istilah Thian ini sering ditambah dengan sebutan lain, seperti : Hong Thian,
Bien Thian, Hoo Thian, Chong Thian, dan Siang Thian. Hong Thian, berarti Tuhan Yang
Maha Besar dan Maha Kuasa; Bhien Thian, berarti Tuhan Yang Maha Kasih; Hoo Thian,
berarti Tuhan Yang Maha Besar dan Maha meliputi; Chong Thian, berati Tuhan Yang Maha
Tinggi dan Maha Suci; Siang Thian, Tuhan di tempat Yang Maha Tinggi; 2). Tee, yang
mengandung makna yang maha besar yang menciptakan dan menguasai langit dan bumi.
Istilah ini sering ditambah dengan sebutan lain, seperti : Siang Tee, dan Bing-Bing Siang Tee.
Siang Tee, berarti Tee di tempat yang Maha Tinggi; Bing-Bing Siang Tee, berarti Siang Tee
Yang Maha Gemilang. 3). Thai Iet, yang mengandung makna Tuhan Yang Maha Esa. 4).
Khian, yang mengandung makna Tuhan Yang Maha Pencipta Alam Semesta. 5). Kwi Sien,
22

yang mengandung makna Tuhan Yang Maha Roh, Tuhan daripada hukum alam, yang
menjadikan hukum (Sulaiman.2009.AGAMA KHONGHUCU : SEJARAH, AJARAN, DAN
KEORGANISASIANNYA DI PONTIANAK KALIMANTAN BARAT.kemenag. Volume XVI,
No. 01. http://blasemarang.kemenag.go.id/journal/index.php/analisa/article/download/58/58 ,
diakses pada 5 Mei 2015). Acara sembahyang ini diikuti dan disaksikan oleh keluarga kedua
calon mempelai. Upacara tersebut merupakan upacara keagamaan.
Altar yang digunakan untuk sembahyang adalah altar tiga tingkat yang berwarna
merah. Diatas altar tersaji tujuh macam hidangan dan buah-buahan. Di bawah altar tersedia
jambangan berisi air dan dihias rumput. Hal ini melambangkan keindahan dan kemakmuran.
Di bagian belakang altar diberi tampah bambu besar sebagai alas dari tong kayu yang berisi
air. Selain itu juga diletakkan timbangan, sumpit, dan lain sebagainya . Barang-barang ini
melambangkan kebaikan, kejujuran, panjang umur dan kesetiaan.
Untuk meja Sembahyang ini diberikan To Wi atau kain penutup meja berwarna merah
bermotif sulaman dengan tulisan huruf-huruf keberuntungan, kekayaan,keturunan, dan usia
lanjut atau panjang umur. Meja Sembahyang tersebut tingginya diatas kepala orang dewasa.
Persembahannya antara lain adalah :
-Buah Srikaya (Lambang Kekayaan)
-Delima (Lambang banyak Keturunan)
-Pisang Emas (Lambang kejayaan)
-Nanas (Lambang Keberuntungan)
-Apel (Lambang Keselamatan)
-Jeruk (Lambang keberuntungan)
Buah-buahan tersebut di atas dipilih karena pada umumnya mengandung makna simbolis
yang baik dan membawa keberuntungan karena juga nama buah-buahan tersebut dalam
dialek Hokian mempunyai buni yang sama
tersebut.
Misalnya :
-Pisang = Cio = memanggil/mengundang
-Jeruk = Kit = keberuntungan
23

dengan makna kebaikan / keberuntungan

-Nanas = Ong Lai = kemakmuran datang maka bila digangungkan Cio Kit Ong Lai =
memanggil keberuntungan, datanglah kemakmuran.
-Apel = Peng Ko = membawa keselamatan
-Srikaya = Siah Liu = Lambang banyak keturunan
-Kembang Gula / permen, manisan The Liaw, agar-agar
-Sepasang pohon tebu yang utuh beserta akar-akarnya sekalian. Tebu ini diikatkan di kedua
sisi kiri kanan meja Sembahyang. Lalu digantungi kertas besar yang telah dilipat (Kertas
Tikong Kim atau Siu Kim atau Kim Coa)
-Sepoci arak atau teh,
-Satu vas dengan bunga siantan/sedap malam/seruni
-Dua Cek Tai (tempat lilin) dengan dua pasang lilin merah bermotif bunga naga dan burung
hong
-Satu Hio Low (Pendupaan)
Sementara itu di bawah meja Sembahyang tersebut ada jambangan berisi air. Rumput
berwarna hijau melambangkan alam nan makmur. Di belakang meja ada tetampah besar
dengan garis tengah sekitar 1 meter (yang tengahnya bergambar Tai Kek / Tai Ci = lm dan
Yang) dan di atasnya ada Gantang (dou,tempat menakar beras) yang berisi penuh dengan
beras.
Lalu ada kaca cermin, gunting, sisir,timbangan (ukuran kecil), kompas/lopan,
penggaris kayu, benang 5 warna (Ngo Sek), pedang kecil (Po Kiam), buku Lak Jit (Tongsu)
dan pelita yang semuanya itu melambangkan kebaikan, kesabaran, keadilan, kerajinan,
ketekunan, kejujuran,penerangan, panjang umur, dan setia.
Dan tentu saja disediakan 1 kursi duduk yang akan diletakkan di atas tetampah
bergambar Tai Kek dan pengantin pria maupun pengantin wanita pada gilirannya akan duduk
di kursi atas tetampah tersebut dalam menjalankan upacara Cio Taw tersebut.
Kedua mempelai memakai pakaian/baju upacara Cio Taw. Pakaian yang dikenakan
saat Cio Taw yakni baju putih dengan celana putih bagi laki-laki dan baju putih dengan kain
batik warna dasar merah bermotif bulat-bulat putih, sehingga dikenal dengan nama Kain

24

Onde yang akan disimpan baik-baik dan dikenakan kembali pada waktu yang bersangkutan
meninggal kelak sebagai pakaian mati. (R.Rafael Sunarto,2013:318)
Kembang goyang adalah beberapa aksesori rambut yang semacam tusuk konde yang
terbuat dari perak berwarna keemasan bermotif flora dan fauna yang dianggap membawa
keberuntungan. Di bagian tertentu kembang goyang diberi per (pegas) hingga begoyanggoyang saat si pemakai bergerak. Kembang goyang yang khas Jabodetabek ini merupakan
bukti akulturasi Tionghoa – non Tionghoa karena di Tiongkok tidak dikenal;pengantin di sana
mengenakan hongknua saat menikah. (R.Rafael Sunarto,2013:319)
Selain meja sembahyang tadi juga diadakan sembahyang leluhur di meja abu yang
memang sudah ada di rumah, bila tidak ada meja abu maka dibuatkan meja abu darurat untuk
keperluan tersebut. Di atas meja abu terdapat sajian berupa beberapa macam kue basah
seperti Hoat Koe (Kue mangkuk merah), Ang Ku Koe (Kue ku merah), kue bugis, kue
pisang, kue pepe, bika ambon, lapis legit atau kue khas rumahan lainnya, beberapa macam
buah,

sepoci

arak

atau

teh

dengan

jumlah

cangkir

sesuai

dengan

jumlah

almarhum/almarhumah yang ada di meh abu tersebut.
2. Penghormatan Kepada Orang Tua dan Keluarga.
Upacara ini merupakan upacara yang sangat penting dan sakral dalam perkawinan
masyarakat Tionghoa. Penghormatan kepada kedua orang tua dan kerabat dilakukan dengan
cara menuangkan secangkir phang teh (teh hangat) oleh kedua mempelai sambil mengelilingi
tampah dan kemudian bersujud di hadapan kedua orang tua dan kerabat. Masing-masing
kerabat yang diberi penghormatan akan membalas dengan memberikan angpao berupa uang
maupun perhiasan. Bila angpao berupa perhiasan, langsung dipakai oleh mempelai
perempuan. Bila angpao berupa uang, ditampung di nampan atau di simpan oleh mempelai
laki-laki
d) Upacara pesta pernikahan
Pesta perkawinan ini merupakan ungkapan rasa syukur karena upacara perkawinan
telah selesai dilakukan dan semua acara berjalan lancar . Pesta perkawinan biasa dilakukan
pada malam hari atau siang hari. Tempat pelaksanaan pesta bisa di rumah, restoran atau hotel,
tergantung pada kemampuan keuangan keluarga kedua mempelai.
Pesta perkawinan ini dihadiri oleh semua sanak keluarga, teman dan relasi usaha dan
sebagainya. Kedua orang tua mempelai laki-laki dan orang tua mempelai perempuan
25

bergabung bersama dalam satu meja yang dialasi taplak merah. Dekorasi dan hiasan
pelaminan didominasi warna merah dan kuning yang melambangkan kemakmuran dan
kebahagiaan.
Teh Pai adalah setelah acara pernikahan dimana seluruh sanak keluarga dari keluarga
suami maupun istri memberikan hadiah sebagai dasar pembangunan keluarga yang menikah,
dimana dalah Teh Pai ini pihak tertua biasanya memberikan petuah kepada orang akan
menikah, dalam mebina rumah tangga mereka.
e) Upacara setelah pernikahan
Tiga hari setelah menikah diadakan upacara yang terdiri :
1. Cia Kiangsay
2. Cia Ce’em
Pada upacara menjamu mempelai pria (Cia Kiangsay) intinya adalah memperkenalkan
keluarga besar mempelai pria di rumah mempelai wanita. Mempelai pria sudah boleh tinggal
bersama. Sedangkan Cia Ce’em di rumah mempelai pria, memperkenalkan seluruh keluarga
besar mempelai wanita. Tujuh hari setelah menikah diadakan upacara kunjungan ke rumahrumah family yang ada orang tuanya. Mempelai wnaita memakai pakaian adat Tiongkok
yang lebih sederhana.
Setelah seluruh rangkaian upacara dilalui, maka tiba saat mempelai perempuan
diboyong ke rumah mempelai laki-laki. Mempelai perempuan memulai perannya sebagai istri
yang harus mengabdi dan berbakti kepada suami dan keluarga suaminya. Mulai saat itulah,
mempelai perempuan tinggal bersama dan serumah dengan keluarga mempelai laki-laki. Hal
tersebut juga ditegaskan pada jurnal skriptorium yang termuat pada website journal Unair
yaitu pengantin baru tersebut akan tinggal di rumah orang tua si suami. Hal ini dikarenakan
anak laki-laki tertua dalam keluarga haruslah meneruskan pemujaan terhadap nenek moyang.
(Caesareno, Lintang.2013. Refleksi Sistem Perkawinan Tionghoa dalam Novel Takdir Karya
Soe

Lie

Piet

dan

Keras

Hati

Karya

K.

S.

Tio.

http://journal.unair.ac.id/article_6659_media45_category.html , diakses pada 27 April 2015)
4.3 Resep Perkawinan Harmonis menurut Adat Tionghoa
Perkawinan yang harmonis adalah idaman setiap pasangan suami istri yang sudah menikah.
Perkawinan tanpa pertengkaran, setia, mempunyai keturunan, dan mapan ekonomi adalah
kriteria yang umum yang beredar di masyarakat. Orang tua mereka selalu memberi petuah
26

kepada anaknya mengenai cara-cara agar perkawinan mereka harmonis dan awet hingga maut
yang memisahkan. Namun generasi muda sekarang kurang memperhatikan hal tersebut. Di
masyarakat adat Tionghoa mempunyai cara atau resep yang biasanya mereka pakai di
keluarga besar mereka. Dalam buku R.Rafael Sunarto tentang Budaya Tionghua Pecinan
Semarang,2013:320 menyebutkan resep perkawinan harmonis menurut adat Tionghoa adalah
sebagai berikut
1. Ketika menikah :
Janganlan mencari istri tetapi carilah ibu bagi anak-anak kita. Janganlah mencari
suami tetapi carilah ayah bagi anak-anak kita.
2. Ketika melamar :
Anda bukan sedang meminta kepada orang tuda si gadis tetapi meminta kepada Thian
(Tuhan) melalui orang tua si gadis karena Papa Mamam adalah wakil Tuhan di dunia.
3. Ketika menikah :
Anda berdua menikah langsung dihadapan Tuhan di depan Meja Sembahyang sebagai
perwujudan kebesaran Thian (Tuhan)
4. Ketika resepsi pernikahan :
Catat dan hitung jumlah semua tamu yang datang untuk mendoakan anda karena anda
harus berpikir untuk mengundang mereka kembali dan meminta maaf kepada mereka
apabila anda bercerak karena anda telah menyia-nyiakan doa mereka.
5. Sejak malam pertama :
Bersyukut da bersabarlah. Anda adalah sepasang anak manusia yang banyak
kekurangan dan bukan sepasang dewa-dewi yang mempunyai banyak kelebihan.
6. Selama menepuh hidup berkeluarga :
Sadarlah bahwa jalan kehidupan yang akan dilalui tidak melulu jalan bertabur bunga
tapi juga banyak semak belukar yang penuh duri dan batu kerikil.
7. Ketika biduk rumah tangga oleng :
Jangan saling menyalahkan dan jangan saling lepas tangan tetapi sebaiknya justru
harus semakin erat berpegangan tangan.
8. Ketika belum memiliki anak :
27

Anak adalah jodoh, ikatan karma, dan juga karunia Thian Tikong. Cintailah suami /
istri anda 100%.
9. Ketika telah mempunyai anak :
Jangan bagi cinta anda kepada istri/suami dan anak anda. Tetapi cintailah mereka
masing-masing 100%.
10. Ketika ekonomi keluarga belum membaik :
Yakinlah bahwa pintu rejeki akan terbuka lebar berbanding lurus dengan Co Kong
Tek / Co Jo Sim (Jasa Kebaikan) dan Kedermawanan dan keimanan. Menanam berarti
memetik dan memberi berarti menerima.
11. Ketika ekonomi keluarga membaik :
Jangan lupa akan jasa pasangan hidup (istri/suami) yang setia mendampingi kita
semasa menderita. Jangan lupa untuk tetap Cu Kong Tek (Menanam jasa kebaikan).
12. Ketika anda adalah istri :
Tetaplah berjalan gemulai dan lemah lembut tetapi selalu berhasil menyelesaikan
pekerjaan dan menopang suami dan anak-anak manakala diperlukan. Jangan pernah
berpikir bahwa orang tua yang baik adalah orang tua yang tidak pernah marah kepada
anak dan selalu memenuhi kemauan anak. Yang ada adalah anak yang merasa tidak
didengar oleh orang tuanya.
13. Ketika ada PIL (Pria Idaman Lain) :
Jangan diminum walaupun kelihatannya menarik, cukupkanlah suami saja sebagai
obat yang menyehatkan.
14. Ketika ada WIL (Wanita Idaman Lain) :
Jangan dituruti, cukupkanlah istri saja sebagai pelabuhan hati.
15. Ketika ingin keluarga langgeng yang bahagia dan harmonis maka gunakanlah formula
5K :
1. Keimanan Tridharma
2. Kasih Sayang
3. Kejujuran
4. Kesetiaan
5. Kebijaksanaan
28

4.4 Benda dan tradisi yang memiliki sejarah yang ada dalam adat perkawinan
masyarakat adat Tionghoa
1. Cadar Merah pada Pengantin Wanita
Pada pesta pernikahan tradisional Tionghoa.pengantin wanita terlihat memakai
cadar berwarna merah untuk menutupi muka.cadar itu biasanya terbuat dari sutra.
Cadar Merah pada Pengantin Wanita Tradisi ini berasal dari masa Dinasti Utara dan
Selatan.dimana pada masa itu para petani wanita mengenakan kain pelindung kepala
untuk perlindungan dari terpaan angin atau panasnya matahari ketika sedang bekerja
di ladang.kain itu dapat berwarna apa saja,yang penting mampu menutupi bagian atas
kepala.kebasaan ini lambat laun menjadi sebuah tradisi.
Pada awal Dinasti Tang,kain tersebut menjadi sebuah cadar panjang hingga ke
bahu.dan tidak lagi hanya di pakai oleh petani wanita. Pada saat pemerintahan Kaisar
Li Jilong dan Dinasti Tang,ia membuat keputusan bahwa semua pembantu wanita
istana yang masih dalam masa penantian harus mengenakan cadar untuk menutupi
muka.tidak lama kebiasaan tersebut menjadi sebuah tradisi.
Lama kelamaan kebiasaan memakai cadar itu diterapkan pada pesta
pernikahan.pemakaian cadar pada pengantin wanita dengan tujuan agar kecantikan
pengantin wanita tidak menjadi perhatian laki-laki lain,dan pengantin pria ingin agar
pengantin wanita terlihat anggun. Pengantin wanita menerima memakai cadar itu
untuk menunjukkan kesetiaan pada pengantin pria.
Sejak lama Lima Dinasti ( jin akhir ),pemakaian cadar menjadi sebuah
keharusan pada setiap pesta pernikahan.warna cadar itu selalu merah yang mewakili
kebahagiaan.
2. Menyajikan Teh pada Upacara Pernikahan
Teh banyak digunakan pada perayaan-perayaan masyarakat tionghoa,termasuk
acara pernikahan,karena merupakan minuman rakyat dan menyajikan the merupakan
sebuah bentuk tanda hormat. Biji bunga teratai yang biasanya digunakan dalam teh
pada acara pernikahan memiliki maksud.kata “teratai” dengan “tahun” memiliki bunyi
yang hampir sama,meskipun artinya berbeda,sehingga orang tionghoa percaya bahwa
menaruh benda-benda itu pada teh akan membantu pasangan yang baru menikah
untuk melahirkan banyak anak,sehingga orang tua kedua mempelai akan memili