Hakikat Manusia Sebagai Pelaku Komunikas

HAKIKAT MANUSIA SEBAGAI PELAKU KOMUNIKASI
Danus Ardiansah – 5F3.1 - B06210003
Dalam setiap kehidupan, manusia memerlukan pemahaman yang lebih mendalam atas
segala hal yang dilakukannya, termasuk di dalamnya proses komunikasi. Proses komunikasi adalah
aktivitas yang diperlukan untuk mengadakan dan melakukan tindakan komunikatif, baik yang
dilakukan oleh komunikator, komunikan atau aktivitas penyampaian pesan, noise yang bisa saja
terjadi dalam setiap tindakan komunikatif dan lainnya.
Posisi manusia dalam komunikasi dapat dilihat pada rumusan komunikasi dari Lasswell dan
ristoteles. Pola komunikasi menurut Lasswell mengikuti rumusan “Who say what to whom in what
channel with what effect”. Sedangkan dalam model komunikasi Aristoteles, kedudukan manusia
sebagai pelaku komunikasi meliputi, “pembicara”, dan “pendengar”. Rumusan komunikasi menurut
Aristoteles sendiri terdiri dari empat unsur, yakni pembicara, argumen, pidato dan pendengar.
Sehingga dengan demikian posisi manusia berada pada “who dan whom” pada rumusan
Lasswell serta “pembicara dan pendengar” pada pola komunikasi Aristoteles. Maka, menjadi
mutlak untuk memahami manusia secara filosofis agar komunikasi kita menjadi efektif.
A.

Konsep Manusia
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, manusia berarti “Makhluk yang berakal budi

(mampu menguasai makhluk lain)”. Menurut Aristoteles yang hidup pada tahun 384-322 sebelum

Masehi, ada tiga jenis makhluk di alam ini, yaitu:


Makhluk yang paling rendah tarafnya adalah tumbuhan yang memiliki anima vegetativa
atau roh vegetatif dengan fungsi yang terbatas pada makan, tumbuh menjadi besar, dan
berkembang biak.



Makhluk yang lebih tinggi tarafnya adalah binatang yang memiliki dua jenis anima yaitu
anima vegetativa atau roh vegetatif dan anima sensitiva atau roh sensitif, sehingga selain
menjadi besar dan berkembang biak, juga memiliki perasaan, naluri, mampu mengamati,
bergerak dan bertindak.



Makhluk yang paling tinggi tarafnya adalah anima intelektiva atau roh intelek yang hanya
dimiliki manusia, sehingga selain mampu menjadi besar dan berkembang biak, bernafsu,
bernaluri, bergerak, bertindak, juga mampu berpikir dan berkehendak. Berbeda dengan
makhluk-makhluk lain, manusia mempunyai kesadaran, sadar apa yang ia lakukan, baik

masa kini, masa silam, maupun masa mendatang.

Sebagai manusia yang mempunyai anima intelektiva — yang akan melaksanakan
kehendaknya, setelah ia melihat atau mendengar sesuatu, ia akan meminjam anggota tubuh
lain¬nya. Misalnya ketika ia melihat sesuatu yang berharga di jalan, ia meminjam tangannya untuk
memungut; sewaktu ia mendengar suara anaknya, ia meminjam mulut untuk memanggilnya; ketika
ia mencium bau benda terbakar, ia meminjam kakinya untuk lari mencari sumber api; dan lain
sebagainya.
Itulah sikap (attitude) dan perilaku (behavior) yang merupakan objek telaah penting dalam
komunikasi. Sikap yang terdapat dalam diri manusia secara tertutup (inward), terdiri dari unsurunsur kognisi yang berkaitan dengan pikiran, afeksi yang bersangkutan dengan perasaan, dan konasi
yang berhubungan dengan tekad atau itikad. Sikap yang selalu tertutup itu, baru terbuka (outward)
sehingga dapat terlihat menjadi opini atau diekspresikan secara nirverbal dan menjadi perilaku.
Perubahan sikap, perubahan opini, perubahan perilaku manusia, baik secara diri sendiri, dalam
bentuk kelompok, atau dalam bentuk masyarakat, itulah tujuan komunikasi dengan segala
kerumitannya.
Dengan ruhlah otak manusia memiliki fungsi berfikir (think/know). (ide tentang pikiran juga
sudah ada sejak zaman yunani (The thinker, patung manusia duduk dengan kepalan menempel
didagu). Dengan fungsi ini manusia memiliki persepsi tentang hal diluar dirinya. Organisasi
persepsi membentuk pikiran (thought/idea). Organisasi pikiran dan persepsi yang muncul kemudian
yang membentuk pemahaman (understand). Organisasi pemahaman dengan pengaruh ruh

membentuk perilaku/kepribadian (personality) manusia. Organisasi pemahaman juga membentuk
apa yang dinamakan ilmu (knowledge). Perlu dicatat disini, bahwa pengorganisasian pemahaman ini
serumit susunan syaraf dan fungsi bagian-bagian otak.1
B.

Unsur-unsur Manusia
Menurut Aristoteles, ciri manusia adalah memiliki totalitas, yakni persatuan roh dan jasad.

Anima adalah penyebab hidup, bukan penyebab kesadaran, sedangkan yang menyebabkan
kesadaran adalah “aku”/rohani”. “Aku” adalah juga yang merasa sedangkan pusat panca indera ada
di otak, dan memiliki perangsang masing-masing yang disebut adequatus. Berikut ini unsur-unsur
atau peralatan yang ada dalam tubuh manusia.
1. Peralatan Jasmaniah
Peralatan tubuh manusia dapat dibedakan atas peralatan jasmaniah dan peralatan rohaniah.
Peralatan jasmaniah bersifat konkret : nyata, dapat dilihat dan dipegang. Dengan mengamatai
tingkah laku manusia dalam berkomunikasi, dapat dilihat peran peralatan jasmaniah manusia
1

Bimo Walgito. Pengantar Psikologi Umum (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993)


dalam mengirim dan menerima pesan. Berdasarkan pengamatan ini, dapat disimpulkan bahwa
peralatan jasmaniah yang berfungsi tidak sebagaimana adanya pada sisi komunikator dapat
bermasalah. Misal, ketidak mampuan dalam mengirim (transmit) pesan : Seorang pedagang
Cina ketika ditawar barangnya menjawab ”Lu gila!” Maksudnya, rugilah. Namun, peralatan
jasmaniahnya mengalami hambatan dalam mengucapkan ”R”. Pada sisi komunikan, peralatan
jasmaniah yang berfungsi tidak sebagaimana adanya juga dapat menimbilkan masalah dalam
penerimaan (receive) pesan.
2. Peralatan Rohaniah
Selain peralatan jasmaniah, manusia juga memiliki peralatan rohaniah. Jika peralatan
jasmaniah bersifat konkret dan dapat dipegang, dan dapat dibedakan antara yang satu dengan
yang lainnya. Sebaliknya peralatan rohaniah bersifat abstrak: tidak dapat dilihat dan dipegang,
namun tetap dapat dirasakan fungsi-fungsinya. Berbeda dengan peralatan jasmaniah yang
relatif dapat bekerja sendiri-sendiri, peralatan rohaniah hanya bisa bekerja seca simultan,
bersama-sama, terus-menerus sepanjang kesadaran manusia pemiliknya. Karena sifatnya yang
abstrak,

peralatan

Kesimpulannya:


rohaniah

jika

fungsi

hanya

bisa

berbeda,

dibedakan

berbeda

berdasarkan

pulalah


peralatan

fungsi-fungsinya.
rohaniah

yang

menggerakannya. Lantas, pelaralatan rohaniah apa sajakah yang dimiliki manusia yang
membedakannya dengan makhluk lain?
a)

Akal
Akal merupakan salah satu peralatan rohaniah manusia yang berfungsi untuk

mengingat, menyimpulkan, menganalisis, menilai apakah sesuatu benar atau salah.
Namun, karena kemampuan manusia dalam menyerap pengalaman dan pendidikan tidak
sama, maka tidak ada kemampuan akal antar manusia yang betul-betul sama. Perbedaan
akal manusia harus mendapat perhatian dalam berkomunikasi. Akal antara lain
melaksanakan fungsi logika, menyangkut nilai kebenaran yang cenderung objektif.
Dengan akalnya, pada sisi komunikator, manusia menyusun dan menstrukturkan pesan.

Dengan akalnya, pada sisi komunikan, manusia mengurai dan mengartikan pesan.
b)

Budi
Budi adalah peralatan rohaniah manusia yang berfungsi untuk membedakan indah

atau tidak indah (estetika), baik atau buruk suatu tindakan (etika), serta sopan atau
tidaknya suatu perilaku (etiket). Budi sangat berpengaruh pada etika kesopanan yang
berkembang di dalam suatu masyarakat, oleh karena itu sesuatu yang diterima di

masyarakat tertentu belum tentu diterima oleh masyarakat lain yang berbeda budayanya.
Untuk berhasil dalam berkomunikasi antarbudaya dan lintas budaya, anda harus benarbenar memperhatikan masalah budi – bukan dalam hal akal – karena memang tidak ada
yang salah dengan akal mereka.
c)

Hati Nurani
Hati nurani sebagai peralatan rohaniah manusia mansuai yang berfungsi sebagai

pedoman, manakala akal dan budi tidak dapat memutuskan dan manusia berada dalam
kebimbangan. Hati nurani hanya berbicara atas nama manusia pemiliknya, hanya memberi

penilaian tentang perbuatan manusianya sendiri. Hati nurani berarti hati yang diterangi
(nur = cahaya). Hati nurani merupakan suara tuhan. Tuhan berbicara kepada manusia
melalui hati nurani (Bertens : 2002; 56-58).
d)

Naluri
Naluri diartikan sebagai dorongan

yang dibawa manusia sejak lahir untuk

berperilaku tertentu. Naluri sering disebut instink. Salah satunya adalah naluri ketuhanan,
mendorong manusia mencari sesuatu yang jauh lebih kuasa atas dirinya. Dalam hal
komunikasi, naluri ini merupakan dorongan yang dibawa manusia sejak lahir untuk terus
berupaya menyampaikan pesan kepada manusia lain. Sepanjang hidup, manusia terus
berkomunikasi. Di dorong naluri komunikasi dan naluri ingin tahu, serta ditunjang akal
budi, teknologi komunikai ditemukan dan bertumbuh hingga bentuk terkini (internet).
Manusia tidak puas berkomunikasi dengan asap dan kentongan, bahasa dilahirkan,
teknologi suara : telepon dan radio ditemukan. Menyusul televisi, film, dan teknologi yang
lain. Namun ketika naluri untuk tidak berkomunikasi itu datang menyerang, ketika anda
diputus oleh kekasih, berhari-hari anda mengurung diri di kamar. Naluri komunikasi anda

hilang entah kemana, berganti dengan naluri untuk tidak berkomunikasi.
Hati nurani, akal, budi dan naluri adalah peralatan rohaniah manusia yang bekerja
secara simultan, terus-menerus sepanjang hidup manusia. Hanya pada satu saat, mungkin
salah satu akan lebih menonjol, atau secara konsisten memang menonjol dibandingkan dengan
manusia yang lainnya. Orang yang kerja akalnya sangat menonjol, lazim dominan, utamanya
estetikanya. Lazim disebut seniman; sedangkan yang etiket dan etikanya lebih berperan
sebagai budayawan. Dalam terminologi dewasa ini, akal bisa diukur dengan IQ (Intelectual
Quotient), budi dengan EQ (Emosional Quotient), dan hati nurani dengan SQ (Spiritual
Quotient).2
2

Dany Vardiansyah. Filsafat Ilmu Komunikasi –Suatu Pengantar. (Jakarta : PT. Indeks. 2008). Hal 32-37

C.

Komunikator Humanistis
Menurut Prof. Onong Uchyana Effendy, MA (2003:357), komunikator yang baik adalah

komunikator humanistik. Menurutnya, komunikatotor humanistik adalah diri seseorang yang unik
dan otonom, dengan proses mental mencari informasi secara aktif, yang sadar akan dirinya dan

keterlibatannya dengan masyarakat, memiliki kebebasan memilih, dan bertanggung jawab terhadap
perilaku yang diakibatkan.
Teori humanistik bertujuan menggambarkan teori perilaku manusia yang sederhana dan
berdiri sendiri. Dalil yang muncul dari upaya tersebut adalah stimulus response atau rangsangan dan
tanggapan yang menyatakan bahwa objek hanya memberikan respons terhadap stimulusdari luar
dan respons tersebut tergolong dalam jenis perilaku tertenu yang disebut norma. Apabila kita dapat
mengendalikan stimulus dan mengukur respons, maka kita akan dapat mengetahui perilaku normatif
seseorang. Oleh karena itu, perilaku dapat diprediksi pada saat stimulus terjadi.
Seorang komunikator humanistik memiliki empat ciri, yakni :
1. Berpribadi
Aspek yang paling penting dari pandangan humanistik adalah pandangan sebagai diri
seseorang. Dapat saja ia disebut organisme atau individu, tetapi pertama-tama ia harus
dianggap manusia. Dengan demikian, diri seseorang (a person) akan memiliki nama, dan
segera kita mulai dengan menemukan kedirian personal.
2. Unik
Diri seseorang sebagai manusia yang berpribadi adalah unik, lain dari yang lain.
Kekhasan dan keunikan itu merupakan ciri yang paling bernilai. Kita dapat
berkomunikasi dalam banyak cara yang sama dengan orang lain, tapi ini bukan alasan
untuk menggeneralisasi objek yang normatif. Untuk memahaminya, kita tampaknya
lebuh penting untuk mengetahui perbedaan ketimbang persmaan dengan orang lain.

3. Aktif
Yang melekat pada proses mental adalah aktivitas. Asumsi ini adalah perbedaan paling
nyata antara psikologi humanistik dengan aliran-aliran lain. Secara esensial dapat
dikatakan bahwa kita tidak semata-mata penangkap rangsangan internal dan eksternal,
melainkan sebagai sitem yang aktif dan bersinambung menanggapi dan mencipatakn
perangsang yang cocok untuk kita.

4. Sadar diri dan keterlibatan sosial
Kesadaran diri membantu kita menimbulkan kesadaran bahwa dalam setiap situasi
komunikasi kita dihadapkan pada pilihan-pilihan terhadap apa yang harus kita lakukan.
Seseorang yang sadar akan dirinya dan keterlibatannya dalam masyarakat akan dapat
menentukan mengapa ia berperilaku seperti yang ia lakukan, Kita dapat menentukan
tujuan kita untuk melaksanakan humanistik kita
Keempat ciri tersebut memiliki perbedaann dengan tiga asumsi pokok mengenai sifat dasar
manusia menurut aliran behavioristik, yakni :
1. Asumsi yang menyatakan bahwa perilaku dipelajari dengan membentuk asosiasi.
Asosiasi ini disebut kebiasaan, refleksi atau hubungan antara respon dengan peneguhan
hal-hal yang memungkinkan dalam lingkungan. Apapaun jenis asosiasi tersebut, ia
merupakan jenis hubungan internal antara stimulus dari luar dengan respons yang
ditimbulkan. Asosiasi ini dianggap akumulatif, yakni suatu perubahan besar dalam
perilaku dapat disempurnakan melalui realisasi dari berbagai perubahan kecil. Perilaku
manusia dianggap seperti suatu mesin yang terdiri dari bagian-bagian yang saling
bergantung satu sama lain sehingga stimulus dari suatu bagian akan menimbulkan
respon dari bagian yang lainnya.
2. Asumsi yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya bersifat hedonistik
Hedonistik adalah berupaya mencari kesenangan dan menghindari kesulitan. Pada
dasarnya asumsi tersebut mengesampingkan berbagai perilaku, seperti derma, cinta, atau
altruisme (sifat mementingkan orang lain). Ia bekerja keras atas dasar peneguhan yaitu
semakin diperoleh umpan balik yang diharapkan, maka semakin mudah untuk
melanjutkan tingkah laku. Bahkan ketika kita bersikap baik pada dasarnya didasari
harapan bahwa dengan kita bersikap baik, maka orang lain tersebut akan memberikan
apa yang kita inginkan.
3. Asumsi yang menyatakan bahwa perilaku ditentukan oleh lingkungan
Oleh karena perilaku merupakan fungsi asosiasi antara tindakan dengan peneguhan dan
semua peneguhan berasal dari lingkungan, maka dengan menggunakan lingkungan,
orang pada akhirnya dapat menghasilkan perilaku yang diinginkan. Oleh sebab itu,
asumsi tersebut menyatakan bahwa karena perilaku dapat dipelajari dan dapat
dihasilkan, maka ia dapat dikendalikan. Jadi, perkembangan seseorang dapat
dipengaruhi oleh lingkungannya.3
3

Muhammad Mufid. Etika dan Filsafat Komunikasi (Jakarta : Kencana Media Prenada Group. 2009) Hal 107 – 111.