Petani Desa dan Kebijakan yang Memihak
Sebagai anak seorang petani, lahir dan besar di desa yang mayoritas penduduknya
juga petani, saya telah cukup menjadi saksi bahwa petani merupakan sosok yang
sangat kuat, gigih, dan tabah. Betapa tidak, meskipun sering gagal panen, harga
produk pertanian anjlok saat musim panen, melangitnya harga pupuk saat musim
tanam, kerap tertipu pupuk oplosan, dan cenderung kurang diperhatikan pemerintah,
mereka tetap menanam padi dan bahan pangan lain di setiap musimnya, dengan
segenap
senyum
penuh
ketulusan.
Ya, meskipun Indonesia merupakan negara agraris, memiliki banyak lahan subur,
dan mayoritas penduduknya petani (dalam arti luas), namun kondisi perekonomian
petani masih sangat memperihatinkan, termaginalkan, bahkan angka kemiskinan
tertinggi
justru
didominasi
oleh
masyarakat
pedesaan
dan
petani.
Setiawan (2000) secara khusus menyoroti hal tersebut, menurutnya ada dua faktor
utama yang menjadikan petani di pedesaan semakin termarginalkan. Pertama, tidak
adanya kebijakan yang jelas dari pemerintah dalam hal peningkatan produksi
pertanian dan kesejahteraan petani. Kalaupun ada kebijakan yang terkait dengan
sektor pertanian, kerap dirasakan kebijakan itu belum sepenuhnya berpihak kepada
kepentingan petani itu sendiri. Kedua, pola pertanian yang dikembangkan petani
masih bercorak “tradisional”. Ketradisionalan di sini maksudnya adalah pengelolaan
pertanian masih bersifat individual. Padahal dalam banyak kajian, pola seperti itu
tidak bisa diandalkan untuk meningkatkan produksi pertanian maupun kesejahteraan
petani pada umumnya. Lebih lanjut, Usep juga mengidentifikasi beberapa masalah
klasik yang hingga saat ini belum sepenuhnya menjadi perhatian banyak pihak
meliputi : organisasi; manajemen dan teknik pertanian; modal usaha; sarana
produksi; dan tanah pertanian.
Selengkapnya baca di sini
juga petani, saya telah cukup menjadi saksi bahwa petani merupakan sosok yang
sangat kuat, gigih, dan tabah. Betapa tidak, meskipun sering gagal panen, harga
produk pertanian anjlok saat musim panen, melangitnya harga pupuk saat musim
tanam, kerap tertipu pupuk oplosan, dan cenderung kurang diperhatikan pemerintah,
mereka tetap menanam padi dan bahan pangan lain di setiap musimnya, dengan
segenap
senyum
penuh
ketulusan.
Ya, meskipun Indonesia merupakan negara agraris, memiliki banyak lahan subur,
dan mayoritas penduduknya petani (dalam arti luas), namun kondisi perekonomian
petani masih sangat memperihatinkan, termaginalkan, bahkan angka kemiskinan
tertinggi
justru
didominasi
oleh
masyarakat
pedesaan
dan
petani.
Setiawan (2000) secara khusus menyoroti hal tersebut, menurutnya ada dua faktor
utama yang menjadikan petani di pedesaan semakin termarginalkan. Pertama, tidak
adanya kebijakan yang jelas dari pemerintah dalam hal peningkatan produksi
pertanian dan kesejahteraan petani. Kalaupun ada kebijakan yang terkait dengan
sektor pertanian, kerap dirasakan kebijakan itu belum sepenuhnya berpihak kepada
kepentingan petani itu sendiri. Kedua, pola pertanian yang dikembangkan petani
masih bercorak “tradisional”. Ketradisionalan di sini maksudnya adalah pengelolaan
pertanian masih bersifat individual. Padahal dalam banyak kajian, pola seperti itu
tidak bisa diandalkan untuk meningkatkan produksi pertanian maupun kesejahteraan
petani pada umumnya. Lebih lanjut, Usep juga mengidentifikasi beberapa masalah
klasik yang hingga saat ini belum sepenuhnya menjadi perhatian banyak pihak
meliputi : organisasi; manajemen dan teknik pertanian; modal usaha; sarana
produksi; dan tanah pertanian.
Selengkapnya baca di sini