Daya Tahan Politik Dinasti Abbasiyah.docx

  Oleh : Dra. Yulniza, M.Ag.

  Tulisan ini bertumpu pada rasionalisasi atau pertimbangan histories bertahannya Dinasti Abbasiyah dalam rentang waktu yang sangat panjang, lebih kurang enam abad. Nabi Muhammad SAW. telah meletakkan dasar-dasar Islam di Mekkah dengan penuh tantangan dari kaum Qurays. Pada periode Mekkah ini, Nabi Muhammad SAW belum berhasil membentuk komunitas Islam, karena jumlah pengikutnya masih sedikit.

  Dengan demikian, pada periode Mekkah ini beliau hanya berfungsi atau hanya memfungsikan perannya sebagai seorang pemimpin agama. Akan tetapi, setelah hijrah ke Madinah pada tahun 1 H./622 M., jumlah pengikutnya mulai bertambah sehingga beliau perlu meletakkan dasar-dasar masyarakat Islam. Di Madinah inilah Nabi Muhammad SAW mulai melakukan kegiatan dan strategi untuk membangun masyarakat Islam. Kegiatan yang dilakukannya diantaranya membangun masjid sebagai sarana ibadah dan social. Kemudian meningkatkan rasa ukhuwah Islamiyah dalam rangka mempersaudarakan antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin. Selanjutnya menjalin hubungan persahabatan dengan orang-orang non-muslim dimana pada waktu itu, masyarakat Madinah secara sosiologis, terdiri dari tiga kelompok besar masing-masing kelompok muslim, Arab yang belum masuk Islam dan kelompok Yahudi. Untuk itu dibentuklah suatu konstitusi yang kemudian dalam sejarah dikenal dengan Konstitusi Madinah.

  Dengan adanya Konstitusi Madinah tersebut, hal ini memperlihat kan bahwa masyarakat Madinah pada waktu itu telah membentuk satu kekuatan politik bentuk baru yang bernama ummah atau komunitas. Bentuk ummah inilah yang kemudian berkembang menjadi kekuatan politik yang besar dan akhirnya menjadi Negara. Di Madinah ini keadaan nabi Muhammad SAW dan ummat Islam mengalami perobahan yang cukup signifkan. Kalau di Mekkah mereka sebelumnya merupakan ummat yang lemah dan tertindas, maka setelah hijrah ke Madinah, mereka memiliki kedudukan yang baik dan menjadi ummat yang kuat dan mandiri secara social- politik. Nabi Muhammad SAW sendiri kemudian menjadi pemimpin dari masyarakat

  Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa di Madinah Nabi Muhammad SAW bukan hanya sebagai Rasulullah (pemimpin agama) an sich, akan tetapi juga merupakan kepala Negara. Pada diri Nabi Muhammad SAW terhimpun dua kekuasaan yaitu kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi. Setelah nabi Muhammad SAW wafat, tepatnya pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal 11 H./8 Juni 632 M., fungsinya sebagai pemimpin agama tidak dapat digantikan oleh siapapun karena penggantian Nabi Muhammad SAW itu didasarkan pada otoritas mutlak dan penegasan Illahi dan tidak dapat dialihfungsikan oleh manusia, akan tetapi funsgi Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin politik harus dan mesti ada yang mengganti kannya. Oleh sebab itu, setelah nabi Muhammad SAW wafat, persoalan pertama yang muncul adalah persoalan politik yaitu persoalan siapa yang berhak menggantikan beliau sebagai kepala Negara. Ada tiga golongan yang bersaing dalam perebutan kepemimpinan yaitu kaum Anshar, kaum Muhajirin dan keluarga Hasyim. Persoalan ini muncul karena tidak ada wasiat dari Nabi Muhammad SAW.

  Proses pemilihan pemimpin politik sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW sangat menegangkan dan hamper saja menimbulkan pertumpahan darah, karena masing- masing golongan merasa dan mengklaim paling berhak sebagai pengganti Nabi. Namun setelah melalui musyawarah dan pertimbangan-pertimbangan logis- rasional, maka terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama. Masa pemerintahan khalifah Abu Bakar tidak begitu lama (11-13 H./632-634 M.). Kemudian berturut-turut yang memerintah adalah ‘Umar bin Khattab (13-23 H./634- 644 M.), ‘Utsman bin Affan (23-35 H./644-656 M.) dan ‘Ali bin Abi Thalib (35-40 H./656-661 M.).

  Dalam sejarah Islam keempat orang pengganti Nabi Muhammad SAW tersebut adalah pemimpin yang adil dan benar. Mereka menyelamatkan dan mengembangkan dasar-dasar tradisi dari Rasulullah SAW bagi kemajuan Islam dan ummatnya. Karena itu, kepada mereka diberi gelar al-Khulafa al-Rasyidin. Pada masa Nabi Muhammad SAW., negara Islam baru meliputi Kota Madinah yang merupakan City State atau Stadstaat. Akan tetapi pada masa Khulafa al-Rasyidin, kekuasaan Islam telah meluas. Negara Islam telah menjadi A World State. Dengan meninggalnya ‘Ali bin Abi Thalib, maka berakhir pula kekuasaan Khulafa al-Rasyidin. Pada masa ini, Gubernur Syam yaitu Mu’awiyyah bin Abi Syofyan tampil sebagai penguasa Islam yang kuat. Masa kekuasaannya merupakan awal dari kedaulatan Dinasti Umayyah. penguasa Dinasti Umayyah tersebut, hal ini merupakan tahapan peralihan yang menyimpangkan Negara Islam atau al-Dawlah al-Islamiyyah dari system khilafah menjadi pemerintahan yang monarchiheredetis (kerajaan turun temurun). Dinasti Ummayyah ini berkuasa dari tahun 41-132 H./661-750 M. dengan 14 orang khalifah. Masa pemerintahan Dinasti Umayyah ini dikenal sebagai era agressif dalam sejarah peradaban Islam. Stressing kebijakan politik tertumpu pada perluasan wilayah kekuasaan. Dinasti ini melakukan ekspansi besar-besaran, baik ke bahagian barat maupun ke bahagian belahan timur dunia. Wilayah kekuasannya menjadi sangat luas, diantaranya meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syiria, Jazirah Arabia, Palestina, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afghanistan, Pakistan, Uzbekistan, Turkistan dan Kyrghistan di Asia Tengah.

  Kebesaran yang telah diraih oleh Dinasti Umayyah ini ternyata tidak mampu membuatnya bertahan lama. Dinasti ini hanya mampu bertahan selama lebih kurang 90 tahun, dan setelah itu hancur ditelan sejarah. Diantara penyebab langsungnya antara lain dengan munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-‘Abbas bin ‘Abd al-Muthalib. Dalam hal ini sebenarnya terdapat beberapa factor yang mendukung keberhasilan mereka dalam menggulingkan Dinasti Umayyah, antara lain meningkatnya kekecewaan kelompok Mawali terhadap Dinasti Umayyah, pecahnya persatuan diantara suku-suku bangsa Arab, munculnya kekecewaan masyarakat agamais dan keinginan mereka untuk memiliki pemimpin kharismatik serta perlawanan Syi’ah.

  Setelah hancurnya Dinasti Umayyah ini, muncullah Dinasti Abbasiyah sebagai penggantinya. Dinasti ini didirikan oleh salah seorang keturunan paman Nabi Muhammad SAW yang bernama ‘Abdullah al-Saffah bin Muhammad Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas. Dinasti Abbasiyah mewarisi imperium besar dari Dinasti Umayyah. Mereka dapat mencapai hasil yang lebih banyak karena landasannya infrastruktur dan suprastrukturnya telah dipersiapkan oleh Dinasti Umayyah. Dengan berdirinya Dinasti Abbasiyah ini pusat pemerintahannya kemudian dipindahkan dari Damaskus ke Baghdad. Kekuasaan Dinasti Abbasiyah ini berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama yaitu dari tahun 132-656 H./750-1258 M.

  Rentang waktu yang begitu lama yang dilalui oleh Dinasti Abbasiyah ini bukanlah berarti khalifahnya sama atau sejajar. Karena inilah, secara metodologis, para berlangsung dari tahun 590-656 H./1195-1258 M. dimana pada periode ini kekuasaan kembali kepada para khalifah Dinasti Abbasiyah namun wilayah kekuasaan mereka telah menyempit yaitu di sekitar pusat pemerintahan saja (dalam hal ini kota Baghdad dan sekitarnya).

  Berdasarkan periodesasi yang ditetapkan oleh para sejarawan tersebut diatas, terlihat hanyalah pada periode pertama saja yang merupakan masa-masa kejayaan Dinasti Abbasiyah. Sedangkan pada periode kedua dan ketiga, kekuasaan Dinasti Abbasiyah sudah mulai mengalami kemunduran. Namun demikian, walaupun kejayaannya tidak begitu lama, akan tetapi Dinasti Abbasiyah ini dapat bertahan hingga tahun 656 H./1258 M. atau lebih kurang enam abad dan kemudian dihancurkan oleh pasukan Hulagu Khan yang merebut Baghdad dan membunuh khalifah beserta keluarganya.

  Stressing atau focus analisis buku ini bertumpu pada rasionalisasi atau pertimbangan histories bertahannya Dinasti Abbasiyah dalam rentang waktu yang sangat panjang, lebih kurang enam abad. Dinasti-dinasti lainnya seperti Dinasti Umayyah dengan kekuatan ekspansifnya dalam memperluas wilayah kekuasaan mereka, namun hanya mampu bertahan lebih kurang 90 tahun. Begitu juga halnya dengan Dinasti Ummayah di Spanyol yang bertahan dalam panggung sejarah selama 275 tahun (138-422 H./756-1031 M.). Demikian juga halnya dengan Dinasti Buwaihi yang hanya mampu bertahan selama 130 tahun (320-454 H./932-1062 M.). Dinasti Seljuk selama 156 tahun (429-590 H./1038-1194 M.) dan beberapa Dinasti- Dinasti Islam lainnya yang tidak bisa bertahan lama sebagaimana halnya Dinasti Abbasiyah.

  Dengan menggunakan pendekatan atau metode penelitian sejarah, analisis histories utama yang dimunculkan oleh buku ini adalah analisis terhadap kebijakan- kebijakan apa yang dipakai oleh Dinasti Abbasiyah sehingga memiliki daya tahan politik dalam sejarah kontributifnya.

  DINASTI ABBASIYAH PADA FASE AWAL

  A. Ummat Islam Sebelum Dinasti Abbasiyah Ummat Islam menjelang munculnya Dinasti Abbasiyah berada dibawah kekuasaan karena hal ini memiliki potensi untuk menimbulkan perpecahan di tubuh ummat. Ummat Islam seiring sejalan dalam membela dan mempertahankan agama serta tunduk dibawah pengawasan seorang pemimpin.

  Kondisi ini hanya berlangsung sampai pada akhir masa pemerintahan khalifah Utsman bin ‘Affan. Setelah itu, keadaan ummat Islam menjadi berbalik, yang pada awalnya bersatu menjadi terpecah-pecah. Hal ini terus berlanjut seperti pada masa ‘Ali bin Abi Thalib telah banyak terjadi pemberontakan diantara nya Perang Jamal yang didalam sejarah disepakati sebagai perang saudara pertama dalam sejarah Islam. Perpecahan di kalangan ummat Islam bertambah parah lagi sewaktu terjadinya pertentangan politik antara ‘Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyyah bin Abi Syofyan. Pertentangan ini telah menimbulkan tiga golongan ummat Islam pada masa itu. Munculnya tiga golongan tersebut menyebabkan posisi khalifah Ali menjadi lemah, sementara posisi Muawiyyah menjadi lebih kuat. Kondisi ini pada akhirnya membawa kepada terbunuhnya khalifah Ali pada tanggal 20 Ramadhan 40 H.

  Kedudukan ‘Ali sebagai khalifah kemudian digantikan oleh putranya Hasan bin ‘Ali. Akan tetapi karena ia menyadari kelemahannya dibandingkan dengan Muawiyyah, akhirnya ia membuat perjanjian damai dengan menyerahkan kepemimpinan ummat Islam kepada Muawiyyah. Tujuan dari perjanjian tersebut pada prinsipnya untuk mempersatukan kembali ummat Islam dibawah satu kepemimpinan politik. Tahun ini dalam sejarah kemudian dikenal dengan Tahun Persatuan. Dengan demikian, berakhirlah era Khulafa al-Rasyidin dan muncullah kekuasaan Dinasti Umayyah.

  Transisi kekuasaan dari Khulafa al-Rasyidin kepada Dinasti Umayyah ini berimplikasi kepada perubahan kondisi ummat Islam pada masa itu. Pemerintahan yang awalnya bersifat demokrasi berubah menjadi pemerintahan yang bersifat turun temurun. Pada masa Dinasti Umayyah ini, banyak bermunculan pemberontakan-pemberontakan. Pergolakan politik yang bermula dari akhir pemerintahan ‘Utsman bin Affan, terus berlanjut. Bahkan pada masa ini, persoalan- persoalan politik justru merembes kepada wilayah atau “ranah” ideology keagamaan. Hal ini ditandai dengan bermuculannya beberapa aliran teologi di kalangan ummat Islam. Ketegangan yang terjadi diantara golongan-golongan tersebut akhirnya membawa kepada persoalan kafr mengkafrkan.

  Persoalan ini pertama sekali dimunculkan oleh aliran Khawarij yang tidak menyetujui adanya tahkim (arbitration)antara ‘Ali dengan Muawiyyah. Persoalan- yang berpengaruh luas adalah Muktazilah. Munculnya lairan ini memiliki implikasi besar terhadap pemikiran ummat Islam, karena aliran ini membawa paham rasional yang mempu mensejajarkan antara akal dengan wahyu dalam mencari kebenaran agama. Disamping itu, kehadiran aliran ini telah membebaskan ummat Islam dari paham Jabariyah yang berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan apa-apa. Semua yang terjadi pada manusia tersebut adalah kekuasaan mutlak yang dimiliki oleh Allah SWT. Dengan kata lain, manusia dipaksa untuk melaksanakan apa yang harus mereka kerjakan serta apa yang seharusnya mereka tinggalkan.

  Dalam perkembangan selanjutnya, aliran ini memiliki implikasi terhadap tumbuh- berkembangnya ijtihad-ijtihad di berbagai daerah, yang pada akhirnya menimbulkan keberagaman dan kekayaan perspektif hukum. Keberadaan penguasa Dinasti Umayyah pada masa ini sangat berbeda dengan penguasa Khalifa al- Rasyidin. Keberadaan hukum ditengah-tengah masyarakat menjadi kacau, disebabkan begitu beragam dan multi-perspektifnya hukum ditengah-tengah masyarakat. Hukum yang berkembang pada masa ini, umumnya adalah hukum yang dikondisikan dan disesuaikan dengan selera para penguasa. Disamping itu, kehidupan kenegaraan mulai menyimpang dari tradisi yang murni – dalam hal ini berpegang kepada al-Qur’an dan Hadits. Hal ini terlihat dalam praktek yang dilakukan oleh para penguasa Dinasti Ummayh yang tidak berusaha untuk melindungi kemurnian dan kesinambungan praktek ritual ataupun pemikiran Islam yang ideal. Dari sini terlihat bahwa system pembinaan hukum menjadi wilayah pribadi, khususnya untuk para konsultan hukum (baca: Mufti). Implikasinya terbesarnya adalah kekacauan hukum kemudian sulit untuk dikendalikan.

  Agaknya bila diperhatikan lebih kritis lagi, munculnya sikap penguasa Dinasti Umayyah seperti itu karena para penguasanya (kecuali khalifah ‘Umar bin ‘Abdul Azis) tidak memahami secara mendalam syari’at Islam. Sehingga terjadilah pemisahan kekuasaan, urusan keagamaan dipegang oleh para ulama sedangkan urusan politik merupakan wilayah atau domain mutlak para khalifah. Namun demikian, kekuasaan ulama tetap sub-ordinat dari kekuasaan khalifah. Hal ini disebabkan karena khalifah merupakan penguasa tertinggi yang memiliki hak mutlak, karena mereka merupakan khalifah Allah dalam pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah SWT. pertama, masyarakat Arab-Muslim yang merupakan kelompok elit dalam pemerintahan. Kemudian yang kedua adalah masyarakat Mawali yaitu masyarakat Islam non-Arab. Umumnya mereka tidak memiliki posisi penting di dalam pemerintahan. Kemudian tingkatan yang ketiga adalah masyarakat non-muslim yang tinggal di wilayah kekuasaan Islam. Sedangkan tingkatan yang keempat merupakan golongan budak yang pada waktu kedatangan Islam telah dihapuskan, namun pada masa Dinasti Umayyah, golongan ini dimunculkan kembali karena ada factor kepentingan kelompok elit-kaya waktu itu. Umumnya mereka mendatangkan para budak ini dari luar jazirah Arabia.

  Dalam konteks ini, politik Arabisasi dijalankan oleh Dinasti Umayyah. Hal ini menyebabkan timbulnya rasa superioritas etnik. Mereka merasa bahwa derajat mereka lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang Islam yang berasal dari non- Arab, sehingga orang-orang Islam non-Arab ini mereka beri gelar dengan nama jelek yaitu Mawali. Orang Arab mempersepsikan diri mereka sebagai tuan orang dari non-Arab. Seolah-olah mereka dijadikan oleh Allah SWT. Untuk memerintah. Oleh karena itu, orang-orang Islam Arab bekerja di bidang pemerintahan-politik, sementara dalam aspek profesi lainnya mereka serahkan kepada Mawali. Kebijakan yang diambil oleh para penguasa Dinasti Umayyah tersebut menimbulkan rasa tidak senang orang-orang Mawali. Mereka menganggap bahwa mereka bersama- sama dengan orang-orang Arab telah mengalami beratnya peperangan bahkan mereka merasa bahwa kecakapan mereka justru berada diatas rata-rata orang- orang Arab. Namun harapan mereka untuk mendapatkan kedudukan dan hak-hak politik tidak diberikan, seperti tunjangan tahunan yang diberikan kepada mereka jauh lebih kecil jumlahnya dibandingkan dengan yang diberikan kepada orang- orang Arab.

  Konsekuensi dari diskriminasi politik ini, pada akhirnya kelompok Mawali memiliki keberanian untuk menentang kesombongan bangsa Arab dengan kesombongan pula. Dalam al-Qur’an maupun nHadits dinyatakan bahwa tidak ada kelebihan bangsa Arab atas orang ‘ajamí (Mawali), terkecuali dengan taqwanya. Oleh karena itu, dikalangan Mawali muncul gerakan yang terkenal dengan al-Syuubiyah. Gerakan tersebut bertujuan untuk melawan paham yang membedakan derajat ummat Islam serta mensosialisasikan bahwa ajaran Islam justru menekankan kepada nilai-nilai bahwa semua orang Islam adalah sama dan bersaudara. telah melahirkan improvisasi dan kreatiftas social-kultural yang menakjubkan, terutama dalam bidang seni baik seni arsitektur maupun seni sastra. Sedangkan dalam bidang social ekonomi terlihat bahwa perekonomian ummat Islam pada masa itu tidak begitu stabil. Kondisi ekonomi terkesan fuktuatif, tergantung kepada penguasanya. Akan tetapi pada umumnya, para penguasa tidak semena-mena terhadap rakyatnya. Pajak yang dikenakan pada masa ini tidak begitu tinggi bila dibandingkan dengan pajak waktu Khulafa al-Rasyidin. Kekayaan yang dikumpulkan dari rakyat berupa pajak, merupakan kekayaan yang berada dalam control penuh negara, namun dapat dikendalikan dan dibelanjakan oleh Khalifah.

  Dalam perkembangan sejarah Dinasti Umayyah, tidak semua khalifah Dinasti ini yang jelek, ada khalifah yang hingga sekarang tercatat dalam sejarah sebagai fgure-fgur teladan. ‘Umar bin Abdul Azis misalnya, yang dianggap sebagai seorang pemimpin yang jujur dan penuh kebersahajaan. Sebagai penguasa politik, ‘Umar juga dikenal sebagai fgure yang sangat takut dengan dosa. Beliau pernah memberikan petunjuk kepada para gubernurnya, sebagaimana yang dikutip bebas oleh Mahmu dunnasir : “ Jangan menganggap enteng atas dosa apapun, jangan mencoba mengurangi penduduk yang padat, jangan meminta apapun dari rakyat diluar kemampuan mereka, ambillah dari mereka sesuatu yang dapat berikan , lakukan segala sesuatunya untuk memperbaiki kehidupan masyarakat, memerintahlah dengan lemah lembut, jangan memberikan hadiah pada acara pesta, jangan menghargakan kitab suci, jangan membebankan pajak atas para pelancong, pernikahan, air susu unta serta jangan menuntut pajak untuk orang yang masuk Islam”.

  Selama pemerintahannya, ummat Islam dibebaskan dari pembayaran pajak, mereka hanya dituntut dan diwajibkan untuk membayar zakat.

  Masa ini tidak berlangsung lama, karena setelah ‘Umar wafat, keadaan mulai bertolak belakang lagi dari keadaan semula. Melihat kondisi demikian, banyak masyarakat Islam yang tidak merasa senang. Akibatnya mereka melakukan

  Arab Mawali.

  B. Teori Munculnya Dinasti Abbasiyah Dalam Panggung Sejarah Sebagai Sebuah Revolusi Berakhirnya Dinasti Umayyah pada tahun 123 H./750 M. telah mengantarkan Dinasti Abbasiyah untuk naik ke panggung kekuasaan. Dinasti Umayyah selamamasa pemerintahannya memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas membentang dari negeri Sindh hingga ke Spanyol. Dinasti ini telah mencapai tingkat kemajuan yang cukup tinggi pada masanya dalam bidang ekonomi, pendidikan-keilmuan, militer dan lain-lain. Meskipun pemerin-tahan Dinasti Umayyahdipatuhi oleh sebagian besar masyarakat yang takluk dibawah kekuasaannya, akan tetapi tidak sedikitpun Dinasti ini memperoleh apresiasi dari masyarakat. Itulah sebabnya, belum sampai satu abad Dinasti Umayyah berada di panggung sejarah, akhirnya digantikan oleh Dinasti Abbasiyah.

  Munculnya Dinasti Abbasiyah dalam sejarah peradaban Islam, telah membawa perobahan yang cukup signifkan dan radikal dalam catatan sejarah Islam. Hal ini tidak hanya sekedar pergantian kekuasaan saja, akan tetapi lebih dari itu adalah pergantian struktur social dan ideology. Karena itu, mayoritas ahli sejarah menilai bahwa kebangkitan Dinasti Abbasiyah merupakan suatu revolusi, seperti yang dikemukakan oleh Richard N. Frye dalam artikelnya yang bertitelkan The Abbasid Conspiracy and Modern Revolutionary Theory yang menyatakan bahwa cirri-ciri yang menyertai kebangkitan Dinasti Abbasiyah sama dengan cirri-ciri yang menyertai revolusi di berbagai Negara di dunia modern saat sekarang ini. Frye menggunakan teori Anatomi Revolusi (Revolution Anatomy of Theory) yang dikembangkan oleh Crane Brinton ketika mengamati empat revolusi besar dalam sejarah peradaban ummat manusia yaitu revolusi Industri di Inggris, revolusi Amerika, revolusi Perancis dan revolusi Rusia.Menurut Frye, paling tidak terdapat empat persamaan yaitu : yang keras dari masyarakat yang disebabkan oleh kekecewaan dan penderitaan masyarakat yang ditimbulkan oleh ketimpangan-ketimpangan dari ideology yang berkuasa itu.

  2. Mekanisme pemerintahannya tidak efsien karena kelalaiannya dalam beradaptasi terhadap perkem-bangan dan perubahan-perubahan zaman yang terjadi secara dinamis.

  3. Terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari kondisi awal yaitu mendukung ideology penguasa kepada wawasan baru yang ditawarkan.

  4. Bahwa revolusi itu pada umumnya bukan hanya dipelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah dan dan kaum bawahan, melainkan juga dipelopori dan digerakkan oleh kaum penguasa yang karena hal-hal tertentu merasa tidak puas dengan system yang ada atau system yang berjalan.

  Sementara itu, Bernard Lewis juga menggunakan istilah revolusi ketika menguraikan kebangkitan Dinasti Abbasiyah dalam bukunya The Arab in History. Ia mengatakan : “Penggantian Dinasti Umayyah oleh Dinasti Abbasiyah adalah lebih dari sekedar pergantian Dinasti atau kekuasan, melainkan suatu revolusi yang memiliki arti penting sebagai titik balik dalam sejarah Islam sebagaimana pentingnya revolusi Perancis dan revolusi Rusia. Bahwa kebangkitan Dinasti Abbasiyah bukanlah hasil dari suatu kudeta, melainkan hasil dari suatu usaha yang panjang dan memakan waktu yang lama dengan menggabungkan berbagai kepentingan golongan masyarakat kepada tujuan yang sama, yaitu menumbangkan Dinasti Umayyah, meskipun segera setelah revolusi itu berhasil dilaksanakan, mereka pun mulai tercerai berai”. mengemukakan beberapa teori yang masing-masing menitikberatkan kepada salah satu aspek sebab utama dari kebangkitan Dinasti Abbasiyah tersebut. Dalam hal ini paling tidak terdapat empat teori yang dikemukakan yaitu :

  1. Teori Faksionalisme Rasial atau Teori Pengelompok-kan Kebangsaan. Teori ini mengatakan bahwa Dinasti Umayyah pada dasarnya adalah kerajaan Arab yang mengutamakan kepentingan-kepentingan orang Arab dan melalaikan kepentingan- kepentingan orang-orang non-Arab. Atas perlakuan diskriminatif pihak penguasa, orang-orang Mawali merasa kecewa dan menggalang kekuatan untuk menggulingkan Dinasti Umayyahyang berpusat di Damaskus. Atas dasar itulah, menurut teori inijatuhnya Dinasti Umayyah merupakan kejatuhan kerajaan dan kepentingan Arab dan bangkitnya Dinasti Abbasuyah merupakan kebangkitan bagi orang-orang Persia.

  2. Teori Faksionalisme Sektarian atau Teori Pengelompo kkan Golongan Atas Dasar Paham Keagamaan.Teori ini menerangkan bahwa kaum Syiah selamanya adalah lawan dari Dinasti Umayyah yang dianggap telah merampas kekuasaan dari tangan ‘Ali bin Abi Thalib. Keturunan Ali adalah orang-orang yang paling berhak. Keberhasilan Dinasti Abbasiyah dalam menggulingkan Dinasti Umayyah, dari perspektif teori ini adalah karena koalisi mereka dengan kelompok Syiah.

  3. Teori Faksionalisme Kesukuan. Menurutv teori ini bahwa persaingan antara suku Arab a-la zaman Jahiliyyah sebenarnya terus berlangsung dan hidup kembali pada masa Dinasti Umayyah. Dua suku yang selalu bertentangan antara satu dengan yang lainnya yaitu suku Mudhariyah bagi orang-orang Arab yang dating dari sebelah utara dan suku Yamaniyah bagi orang-orang Arab yang berasal dari sebelah selatan. Menurut teori ini, setiap khalifah dari Dinasti Umayyah didukung oleh salah satu dari dua suku besar ini. Jika salah satu suku mendukung salah satu khalifah, maka suku yang lain akan memposisikan diri mereka sebagai oposisi. Maka potensi pertentangan antar dua suku ini terus membesar dan berkesinambungan serta menyebar ke daerah-daerah wilayah kekuasaan Dinasti Ummayah lainnya. Teori ini mengatakan bahwa kemenangan Dinasti Abbasiyah sebagai modal territorial pertama bagi pemerintahannya adalah akibat hasil dari manipulasi atas pertentangan dua suku tersebut. memperoleh keringanan pajak dan hak-hak pengelolaan tanah di wilayah-wilayah yang baru ditaklukan. Sedangkan orang-orang Arab yang berasal dari sebelah Timur, khususnya Khurasan tidak memperoleh perlakuan atau hak-hak khusus tersebut. Mereka harus membayar pajak cukup tinggi. Dengan demikian, timbul kekecewaan di kalangan kelompok Arab ini pun akhirnya terakumulasi dari waktu ke waktu, dan pada akhirnya menjadi kekuatan atau potensi yang potensial dalam menumbangkan Dinasti Umayyah dengan alas an diskriminasi social.

  Dari keempat teori tersebut akan terlihat dengan jelas bagaimana Dinasti Abbasiyah bias bangkit dan berhasil mengalahkan Dinasti Umayyah. Usaha-usaha Dinasti Abbasiyah untuk menduduki jabatan khalifah tersebut sebenarnya sudah pernah dimulainya jauh sebelum masa al-Saffah yaitu semenjak kakeknya ‘Ali bin ‘Abdullah bin al-‘Abbas bin ‘Abd al-Muthalib mulai menunjukkan ambisi politik mereka. Pada masa ini, ‘Ali bin ‘Abdullah sering berkunjung ke istana Dinasti Umayyah di Damaskus, terutama pada masa pemerintahan ‘Abd al-Malik bin Marwan. Pada masa pemerintahan khalifah Walib bin ‘Abd al-Malik, ambisi politik ‘Ali bin ‘Abdullah mulai tercium oleh kalangan istana Dinasti Umayyah sehingga Walid bin Abd al-Malik berusaha mencari alas an untuk menindak ‘Ali bin Abdullah.

  Tiga kali ‘Ali bin Abdullah terkena hukuman pukul. Pertama sekali ketika beliau mengawini janda Abdul Malik. Perbuatan ini dianggap oleh khalifah Marwan sebagai manifestasi penghinaan terhadap ayahnya. Kemudian yang kedua ketika beliau dicurigai melakukan kegiatan politik anti Dinasti Umayyah. Sedangkan yang ketiga, ketika ‘Ali bin Abdullah dituduh membunuh saudaranya Salid bin Abdulllah bin Abbas. Untuk kasus dan tuduhan yang ketiga ini, beliau diusir dari Damaskus dan kemudian tinggal di Humaimah hingga akhir hayatnya.

  Setelah ‘Ali bin Abdullah meninggal dunia, cita-cita politiknya diteruskan oleh putranya yang bernama Muhammad. Pada masa Muhammad inilah Bani Abbas resmi berkoalisi dengan Syiah, bahkan menyatakan dirinya sebagai imam dalam kelompok tersebut – imam dari kelompok garis non-Fathimah. Ahli sejarah mengatakan bahwa Syiah dari garis Fathimah ini moderat dan mau berkoalisi dengan Dinasti Umayyah sekalipun mereka harus menyembunyikan rasa kebencian mereka kepada Dinasti Ummayah ini. Namun ada juga yang konfrontatif langsung seperti halnya pemberontakan kaum Syiah yaitu pemberontakan al-Mukhtar pada tahun 685 M.

  Abbasiyah bernaung dibawahnya. Namun sampai masa itu, gerakan Bani Abbas masih bersifat Clandesten (gerakan bawah tanah). Simbol dan slogan yang digunakan belum lagi menggunakan bendera dan slogan Abbasiyah, tetapi masih menggunakan bendera ahlul bait atau al-Ridha Muhammad. Dibawah kepemimpinan Muhammad bin ‘Ali ini, mereka berusaha meluaskan pengaruhnya ke bahagian timur wilayah Islam. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Thabari bahwa pada tahun 100 H., Muhammad bin ‘Ali mengirimkan Maisara ke Irak untuk menjajaki dan merekrut pengikut baru bagi gerakannya. Maisara dengan mudah mendapat dukungan dari orang-orang Kuffah. Dari Kuffah ini, kemudian ia mengirimkan tiga orang dari penduduk Kuffah ke Khurasan untuk meluaskan pengaruh gerakan Abbasiyah. Di Khurasan, ketiga orang ini kemudian membentuk Komite yang terdiri dari 12 orang yang dikenal dengan nama Nuqabaa. Dari Komite 12 ini kemudian dibentuk lagi Komite yang lebih besar yang terdiri dari 70 orang.

  Mekanisme yang demikian itu menyebabkan Bani Abbasiyah memutuskan Khurasan sebagai pusat kegiatan propagandanya. Muhammad bin ‘Ali memilih Khurasan tersebut didasarkan atas beberapa pertimbangan. Kuffah tidak dipilih karena dalam pandangan Muhammad bin ‘Ali orang-orangnya hanya mau mengikuti ‘Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Bashrah juga tidak dimasukkan kedalam prioritas karena penduduknya banyak yang menaruh simpati kepada khalifah Utsman bin Affan yang juga merupakan keturunan dari Dinasti Umayyah.Jazirah Arab tidak dipilih karena kebanyakan penduduknya merupakan pengikut Khawarij. Demikian juga dengan Damaskus yang berada dibawah pengaruh Dinasti Umayyah. Sedangkan Mekkah dan Medinah tidak dipilih karena Muhammad bin ‘Ali beranggapan bahwa masyarakatnya masih mengidolakan Abu Bakar dan Umar bin Khattab, tetapi tidak dengan ahlul bait. Sedangkan Mesir dianggap dekat dan menjadi sekutu Damaskus. Afrika dianggap jauh secara geografs ditambah lagi dengan tipikal penduduknya yang nomaden dan memiliki kecenderungan tidak menyukai gerakan yang berbau suku Arab, apapun namanya.

  Oleh karena itu, satu-satunya daerah yang ditetapkan dan dianggap strategis dari berbagai sudut pertimbangan adalah Khurasan yang terleyak jauh disebelah timur. Selain pertimbangan geografs, Khurasan juga memiliki keuntungan social lainnya terutama bagi arah gerakan. Masyarakat Khurasan tidak anti dan alergi dengan gerakan-gerakan yang berkonotasi suku Arab, bahkan sebagian masyarakatnya berkebangsaan Arab. Disamping itu, penduduk Khurasan merupakan penduduk memberatkan. Muhammad bin ‘Ali meninggal dunia pada tahun 742 M. dan sebelum beliau meninggal tersebut ia telah menunjuk anaknya yang bernama Ibrahim sebagai penggantinya. Di tangan Ibrahim inilah kelak gerakan Abbasiyah bersifat terbuka dan memperoleh perkembangan yang maju. Pada tahun 743 M. Ibrahim menunjuk dan mengirim Abu Muslim al-Khurasani untuk memimpin perjuangan di Khurasan. Ia sukses dalam melaksanakan tugasnya dan mendapat kepercayaan dari Ibrahim. Dalam waktu tidak kurang dari sebulan, tentara Abu Muslim telah bertambah menjadi 7000 orang. Gerakan yang diproklamasikan oleh Abu Muslim ini tidak menyebut-nyebut nama Baji Abbas. Nama yang dibawanya adalah Ridha min Ahlul Bait dan bendera yang digunakan adalah warna hitam. Oleh karena itu, dalam beberapa catatan sejarah mereka sering disebut dengan sebutan al-Suda (orang- orang yang berpakaian hitam). Warna hitam tersebut menurut sebahagian ahli sejarah adalah untuk melambang suasana berkabung, dalam artian merupakan refeksi dari gerakan rakyat tertindas. Tetapi sebahagian ahli sejarah warna hitam tersebut adalah bentuk usaha untuk mengikuti kebiasaan Nabi Muhammad SAW yang sewaktu berperang sering berpakaian hitam dan membawa bendera hitam. Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa bendera hitam tersebut bukanlah pilihan Abu Muslim, melainkan perintah dari Imam Ibrahim bin Muhammad di Humaima. Sedangkan tujuan gerakan yang diproklamasikan itu adalah untuk menegakkan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah SAW. Walaupun jumlah tentara Abu Muslim terus bertambah, tetapi gerakan atau perlawanan bersenjata belum bisa dilakukan karena kekuatan tersebut masih dianggap belum cukup memadai. Sementara itu, Abu Muslim terus berusaha memperkuat posisinya di Khurasan. Setelah merasa kuat, beliau kemudian mengirim sebahagian tentaranya ke berbagai kota di sekitar daerah Khurasan. Umumnya kedatangan tentara Abu Muslim tidak mendapat perlawanan yang cukup resisten. Satu-satunya kesulitan yang dihadapi oleh pasukan Abul Muslim adalah ketika hendak menguasai kota Balkh dan Tirmidh. Tapi akhirnya kedua kota ini tetap bisa mereka taklukkan. Ketika Abu Muslim masih sibuk dan terkonsentrasi melakukan konsolidasi di Khurasan, beliau menunjuk Abu Jahm bin Attiya sebagai

  Ibrahim bin Muhammad kemudian ditangkap dari Humaima dan ditahan di Harat. Ketika beliau tertangkap, Ibrahim bin Muhammad menyuruh anggota keluarganya untuk pindah ke Kuffah karena disana gerakan telah menguasai keadaan. Beliau meninggal dalam penjara pada tahun 132 H. tepatnya pada bulan Agustus 749 M. Namun mayoritas orang berpendapat bahwa beliau meninggal karena dibunuh. Ada sumber yang mengatakan bahwa sebelum meninggal dunia, Imam Ibrahim bin Muhammad sempat berwasiat supaya jabatannya sebagai imam digantikan oleh saudaranya Abu al-Abbas ‘Abdullah bin Muhammad. Tetapi ada sumber yang menyangkal pendapat ini. Kurang lebih dua bulan lamanya setelah Ibrahim bin Muhammad meninggal dunia, maka anggota gerakan mengambil kebijakan dengan mengangkat Abu ‘Abbas bin Abdullah bin Muhammad sebagai pemimpin. Abul Abbas menerima dengan senang hati. Tahun 122 H./749 M. Abul Abbas dibawa ke masjid Kuffah dan secara resmi kemudian diumumkan sebagai khalifah pertama Dinasti Abbasiyah. Dengan dibai’atnya Abul Abbas sebagai khalifah, belum berarti gerakan ini sudah selesai karena kekuasaan mereka baru mencakup Khurasan dan Irak. Sedangkan di Damaskus masih berdiri Dinasti Umayyah dibawah pimpinan khalifah Marwan bin Muhammad. Karena itu, prioritas dan langkah pertama yang dilakukan oleh Abul Abbas adalah mengirim pasukannya ke Damaskus untuk menghadapi tentara khalifah Marwan bin Muhammad.

  Pertempuran antara pasukan Abbasiyah dengan pasukan Umayyah terjadi di tepi sungai Zab yang terletak antara Mosul dan Ibriel pada bulan Januari 750 M./123 H. Dalam pertempuran yang sengit tersebut, pasukan Dinasti Umayyah dibawah pimpinan khalifah Marwan bin Muhammad mengalami kekalahan total. Marwan dan tentaranya yang masih tersisa berusaha melarikan diri dengan menyeberangi sungai Tigris menuju Harran, kemudian pindah ke Damaskus dan terus ke Mesir. Di Mesir inilah khalifah Marwan bin Muhammad mati terbunuh, tepatnya pada awal Agustus 750 M./ 123 H. Dengan terbunuhnya Marwan bin Muhammad, maka berakhirlah kekuasaan Dinasti Umayyah dan kemudian secara resmi dalam sejarah berdirilah Dinasti Abbasiyah dengan Abu al-‘Abbas bin Muhammad sebagai khalifahnya yang pertama. akhirnya Dinasti Abbasiyah berhasil menggulingkan kekuasaan Dinasti Umayyah yang telah berkuasa selama lebih kurang 90 tahun. Sejarah kemudian mencatat bahwa pada masa Dinasti Abbasiyah, ummat Islam mencapai puncak peradabannya terutama dalam bidang kebudayaan dan peradaban Islam. Peradaban Islam menjadi trend-setter peradaban-peradaban ummat manusia lainnya pada masa itu. Berbagai kemajuan dan perobahan telah terjadi pada masa ini, terutama bermula sejak khalifah Al-Mansur (136-158 H./754-775 M.) sampai masa pemerintahan Al- Mutawakkil (232-247 H./847-861 M.). Oleh karena itulah, tidaklah berlebihan bila Harun Nasution menyebut masa ini sebagai masa kemajuan Islam serta masa pembentukan dan perkembangan kebudayaan dan peradaban Islam. Diantara kemajuan-kemajuan yang dicapai pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah ini adalah : A. Bidang Ekonomi Pada masa Dinasti Abbasiyah memerintah, masyarakatnya cenderung heterogen dalam aspek profesi. Golongan menengah ke atas pada umumnya berprofesi sebagai produser, pedagang, seniman, pengarang dan ahli teknik. Sedangkan golongan menengah ke bawah pada umumnya berprofesi sebagai petani dan penggembala ternak. Secara kasat mata, pada masa ini telah terlihat kecenderungan pengelompokkan ataupun karakteristik profesi yang berhubungan dengan kelompok ataupun strata social yang ada. Peranan ekonomi sangat disadari oleh para khalifah Dinasti Abbasiyah dalam menentukan maju mundurnya suatu pemerintahan. Oleh sebab itu, mereka memberikan perhatian khusus pada bidang ini. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan riil bahwa sector ekonomi harus mendapatkan perhatian yang serius karena sector ini memiliki kontribusi besar dalam menjalankan roda pemerintahan. Devisa dan dana Negara berkorelasi dengan kemapanan dan stabilitas jalannya roda pemerintahan.

  Berbeda halnya dengan Dinasti Umayyah yang lebih mengandalkan perolehan pendapatan Negara dari sector ghanimah dan jizyah sebagai bentuk hasil dari ekspansi atau perluasan daerah, maka Dinasti Abbasiyah justru menekankan pendapatan ekonomi dari sumber-sumber dalam negeri. Sektor-sektor ataupun sumber-sumber perekonomian dalam negeri yang dikembambangkan pada masa Dinasti Abbasiyah tersebut antara lain : petani dibina dan diarahkan serta pajak bumi yang dikenakan pada mereka diminimalisir, bahkan pada daerah-daerah tertentu, masyarakatnya sama sekali dibebaskan dari membayar pajak. Disamping itu, para petani diperlakukan dengan baik serta hak-hak mereka dilindungi dari praktek-praktek ekonomi yang dapat menekan mereka. Para khalifah begiti bersemangat mendorong para petani dalam menggalakkan usaha-usaha mereka. Hal ini terbukti dengan dibangunnya berbagai infrastruktur pertanian seperti irigasi, kanal dan lain-lain. Semua ini dilakukan dalam rangka mempermudah pendistribusian air untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Tercatat dalam sejarah Islam bahwa luasnya areal pertanian yang dialiri sungai pada masa itu mencapai 36.000 jarib (satu jarib itu sama dengan 9000 hektar). Selain itu, juga dibangun infrastruktur lainnya seperti transportasi yang dapat memperlancar transportasi dan distribusi hasil-hasil pertanian. Dengan dilengkapi oleh berbagai infrastruktur tersebut, maka hasil pertanian menjadi berlipat ganda dan mudah dipasarkan.

  Disamping itu, juga didirikan sekolah-sekolah pertanian. Melalui sekolah ini diharapkan para siswanya dapat mengetahui berbagai macam jenis-jenis tumbuhan serta bentuk-bentuk tanah yang baik. Mereka juga diajarkan pengetahuan tentang berbagai macam dan bentuk pupuk-pupuk yang baik, sehingga produktiftas hasil pertanian seperti gandum, zaitun dan lain-lain menjadi lebih berlipat ganda. Perhatian yang begitu besar dari pemerintah Dinasti Abbasiyah terhadap bidang pertanian ini menyebabkan munculnya para ahli pertanian. Mereka inilah yang kemudian diharapkan untuk menjadi pelatih atau Pembina petani untuk dapat bercocok tanam dengan baik agar yang diperoleh sesuai dengan apa yang diharapkan.

  2. Sektor Perindustrian Disamping sector pertanian, sector perindustrian juga tidak luput dari perhatian pemerintah. Kegiatan-kegiatan industri berkembang dengan pesat karena ditunjang oleh beberap factor diantaranya :

  • Potensi alam berupa barang tambang seperti perak, tembaga, biji besi dan lain-
dikalahkan dalam pertempuran di Asia Tengah pada tahun 751 M./124 H. Mereka pada umumnya adalah ahli dalam bidang industri. Untuk itu, khalifah mengadakan proyek alih teknologi dari mereka khususnya industri kertas.

  Nampaknya disini penguasa Dinasti Abbasiyah sangat menyadari bahwa potensi yang dimiliki oleh serdadu Cina yang ditawan yang umumnya memiliki keahlian dalam bidang industri dipandang cukup signifkan untuk dimanfaatkan bagi kemajuan masyarakat dan industri pada masa itu. Kemajuan dalam sector perindustrian ini menyebabkan munculnya kota-kota industri yang menghasilkan barang-barang industri yang beraneka ragam seperti permadani, sutra, hiasan- hiasan, gelas, keramik, berbagai jenis kain seperti katun, wool, satin, brokat, sofa dan penutup kasur serta perabot rumah tangga lainnya termasuk perabotan dapur. Di kota Baghdad saja telah terdapat 400 buah kincir air, 4000 pabrik gelas, 30.000 kilang keramik. Ditambah lagi dengan dibangunnya pabrik sabun di Bashrah dan Samarah. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa kemajuan dalam sector industri ini telah menjadikan beberapa kota dalam wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah sebagai kota industri yang telah mampu menghasilkan berbagai bentuk dan jenis barang-barang industri.

  3. Sektor Perdagangan Sejalan dengan perkembangan sector pertanian dan perindustrian, sector perdagangan juga mengalami peningkatan. Pada masa ini banyak didirikan kota- kota dagang dan kota-kota pelabuhan yang menghubungkan lalu lintas perdagangan antara Barat dan Timur Jauh. Diantara kota dagang yang didirikan tersebut adalah Baghdad, Bashrah, Samarrah dan kota-kota besar lainnya.

  Kota Baghdad sebagai ibu kota Dinasti Abbasiyah yang dibangun oleh khalifah Al- Mansur (khalifah ke-dua dari Dinasti Abbasiyah) merupakan kota yang sangat indah, disamping letaknya yang sangat strategis. Kota ini dikenal dalam cerita “Seribu Satu Malam” (The Thousand and One Night). Kota ini terletak antara sungai Tigris di sebelah Timur dan Eufrat di sebelah Barat. Semua kapal yang masuk ke maka dibuka kantor perwakilan dagang India dan Cina. Kapal-kapal dagang Arab pada waktu itu tidak hanya menjangkau daerah-daerah di sekitar wilayah kekuasaan Abbasiyah saja, akan tetapi sampai ke Ceylon (Negara Sri langka sekarang: ed.), Bombay dan bahkan telah sampai ke kota-kota pelabuhan di Indo Cina dan Tiongkok. Dari sini terlihat bahwa sector perdagangan pada masa ini telah mengalami kemajuan yang cukup pesat. Suatu hal yang menarik dicatat adalah diperkenalkannya system perbankan dengan tujuan untuk mempermudah kelancaran arus lalu lintas uang dan moneter terutama pertukaran uang karena daerah bagian timur menggunakan uang dirham perak, sementara daerah bagian barat menggunakan mata uang dinar emas. Suatu fenomena yang sangat menakjubkan bila dilihat dari perspektif masa itu.

  Disebabkan oleh kemajuan yang demikian, maka Negara memperoleh devisa yang sangat banyak yang pada umumnya devisa tersebut dialokasikan untuk berbagai keperluan rakyat dan pemerintah. Secara keseluruhan, sumber devisa Negara pada masa Dinasti Abbasiyah berasal dari pajak hasil bumi (kharaj), pajak jiwa (jizyah), berbagai macam bentuk zakat, pajak perniagaan dan cukai (unsyur), dan pembayaran dari pihak musuh yang kalah dalam peperangan (fai). Semua pendapatan yang diperoleh tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kas Negara (dalam hal ini baitu al-mal) yang berfungsi sebagai tabungan Negara. Pendapatan yang dikumpulkan tersebut sepenuhnya digunakan untuk kepentingan rakyat dan jalannya roda pemerintahan. Sedangkan pengeluaran Negara mencakup pembayaran gaji para qahi, perbaikan aliran sungai dan perbaikan irigasi, pembiayaan narapidana, biaya perang dan hadiah bagi para ulama dan sastrawan.

  B. Bidang Administrasi Pemerintahan Sistem pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang bersifat monarkis, tetap mempertahankan kekuasaan tertinggi berada ditangan khalifah. Sebagai kepala Negara dalam dunia Islam dan sebagai symbol yang merepresentasikan kesatuan ummat Islam. Khalifah mempunyai kewajiban untuk menangani seluruh persoalan ummat Islam, baik yang bersifat keagamaan maupun yang bersifat keduniaan, atau pengawasan kemurnian doktrin-doktrin Islam dan pelaksanaannya. Akan tetapi, sebagai pengganti dari Nabi Muhammad SAW., bagaimanapun juga khalifah tidak berhak untuk mengemukakan atau menetapkan doktrin-doktrin hokum. Mereka hanya bisa mempertahankan dan melaksanakan doktrin-doktrin hokum Islam yang sudah ada yang yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam konteks ini, dapatlah dikatakan bahwa khalifah, betapapun besar kekuasaannya (mencakup keagamaan dan keduniaan), namun khalifah tidak berhak membentuk dasar hukum baru. Dalam artian mereka hanya bias mengatur apa yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW. sebagai doktrin hukum Islam.

  Adapun dasar-dasar daripada pemerintahan Dinasti Abbasiyah diletakkan oleh khalifahnya yang kedua yaitu khalifah Abu Ja’far al-Manshur. Dialah yang dikenal sebagai pembangun dari Dinasti Abbasiyah. Disamping itu, khalifah Al-Manshur atas saran dari Ibn al-Muqaffa’ telah berhasil membentuk konstitusi (Undang-Undang Dasar) negara yang baru yang dinamakan dengan Namus. Dengan konstitusi baru tersebut inilah pemerintah Dinasti Abbasiyah dijalankan. Dalam menjalankan wewenang sipilnya, khalifah menyerah kan kepada wazir atau Perdana Menteri, kekuasaan pengadilan kepada al-qadhi atau hakim dan kekuasaan militer kepada amir al-umara’ atau panglima perang. Namun demikian, bagaimanapun juga khalifah merupakan penentu terakhir dari seluruh urusan-urusan pemerintahan, baik yang bersifat birokratis maupun politis. Dengan demikian, terdapat tiga lembaga resmi pemerintahan dibawah khalifah yaitu wazir, al-qadhi dan amir al- umara’.

  Dalam struktur pemerintahan, posisi wazir sangat penting, karena ia merupakan tangan kanan khalifah. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai Perdana Menteri, lembaga wazir tersebut terbagi atas dua bagian yaitu Wazir Tanfz yang memiliki otoritas terbatas (with excecutive ower only) dan Wazir Tafwidh yang memiliki otoritas penuh (withfull authority unlimited). Ini memperlihatkan bahwa wazir yang ada pada masa Dinasti Abbasiyah memiliki kedudukan yang berbeda. Namun demikian, kedua macam lembaga wazir tersebut dalam operasionalnya, merupakan pembantu khalifah dalam melaksanakan urusan-urusan kepemerintahan.

  Qadhi al-Qudhat diangkat oleh khalifah untuk memimpin lembaga pengadilan. Ia berasal dari kalangan ahli hokum (fqh, jurist) dan berkedudukan di ibu kota anak terlantar serta mengelola lembaga-lembaga amal dan mengangkat para hakim ditingkat propinsi. Sedangkan bentuk pengadilan yang kedua hanya bertugas untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu yang diberikan oleh khalifah atau wazir. Qadhi al-Qudhat yang diangkat oleh khalifah dalam melaksanakan tugas-tugasnya, ia dibantu oleh para hakim. Akan tetapi dalam menetapkan suatu perkara, walaupun ia telah diberi wewenang, namun ia tidak dapat menjatuhkan hokum secara leluasa tanpa persetujuan khalifah, karena bagaimanapun juga, khalifah merupakan ujung atau akhir dari semua keputusan politik dan birokratis.

  Amir al-Umara’, istilah ini pada awalnya dipakai dalam kalangan internal militer. Sebagai sebuah jabatan konstitusional, mula-mula diperkenalkan oleh khalifah Al- Radi (322-329 H./934-940 M.). Pada waktu itu, beliau mengangkat Ibn Ra’iq sebagai amir al-umara’ dengan kekuasaan yang cukup besar atas tentara, pengumpul pajak dari seluruh negeri serta penjaga keamanan Negara. Suatu hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa kedudukan militer dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah dipandang penting dan strategis sekali. Negara sangat mengandalkan kekuatan militer yang jumlah tentaranya mencapai ratusan ribu personel. Setiap tentara menerima gajinya secara teratur yang pembayarannya ditanggung oleh Negara. Kelompok tentara ini dinamakan dengan Nidhami atau Murtaziwqah, disamping itu juga terdapat korp pasukan yang disebut dengan Muthathawwi’ah (pasukan Voulounter), dimana mereka menerima gaji saat mereka bertugas.

  Korp pasukan tentara juga dibedakan menurut daerah asal mereka seprti kelompok al-Hadabiyah (pasukan berkuda : kavaleri) yang umumnya berasal dari bangsa Arab. Selain dari itu, pada masa pemerintahan khalifah al-Mu’tashim (218-227 H./833-842 M.), beliau telah mengambil tentara dari bangsa Turki dan bahkan juga diangkat menjadi pengawal istananya (seperti Paspampres di Indonesia pada masa sekarang). Selain dari Turki, khalifah juga merekrut tentara dari Mesir. Kebijakan yang diambil ini memperlihatkan adanya internasionalisme dalam tubuh atau korp militer.

  Pada masa ini keorganisasian tentara telah diatur secara sistematis dan professional. Seperti yang digambarkan oleh M. Jalal Syaraf bahwa hirarkis atau organisasi kepemimpinan tentara pada masa itu adalah sebagai berikut : setiap sepuluh orang tentara dikepalai oleh seorang arif (komandan regu), setiap sepuluh

  Disamping lembaga-lembaga diatas, juga terdapat lembaga-lembaga lain yang pada dasarnya sudah ada sejak zaman Dinasti Umayyah bahkan sudah eksis pada waktu Khulafa al-Rasyidin, namun pada masa Dinasti Abbasiyah, fungsi dan organisasi-birokratisnya lebih dilengkapi lagi, diantaranya :

  1. Khatib al-Rasa’il dimana lembaga ini sudah ada pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah yang terkenal dengan nama Diwan al-Rasail. Pada masa Dinasti Abbasiyah, lembaga ini kemudian dikembangkan. Diantara tugas-tugasnya adalah menulis surat-surat politik dan mencap-nya dengan cap khalifah serta membalas surat-surat resmi. Ia duduk bersama khalifah dalam mejelis hakim untuk menganalisa kejahatan-kejahatan yang terjadi.

  2. Al-Hijabah. Tugas dari lembaga ini sama dengan tugas sekretaris Negara (Setneg.) pada masa sekarang ini yaitu mengerjakan tugas-tugas yang bersangkutan dengan istana. Lembaga ini dapat menyaring atau menerima dan menolak orang yang ingin berjumpa dengan khalifah.

  3. al-Imarah Ala al-Buldan yaitu lembaga yang mirip dengan Diwan al-Kharaj pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah. Hanya saja namanya yang berobah, akan tetapi substansi kerjanya sama. Daerah kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang demikian luas tersebut, maka wilayah kekuasaannitu dibagi atas dua belas propinsi seperti Mesir, Persia, Kuffah, Bashrah, Hijaz, Khurasan dan lain-lain. Para gubernur di daerah-daerah tersebut dibantu al-Imarah Ala al-Buldan untuk mengumpulkan pajak di daerah-daerah. Pajak-pajak tersebut kemudian diserahkan kepada gubernur sesuai dengan anggaran belanja daerahnya. Sedangkan sisanya dikirimkan atau dikembalikan ke pusat dan dimasukkan ke dalam kas Negara (baitul mal). Semua pendapatan yang terkumpul dalam kas Negara tersebut pada prinsipnya digunakan untuk kepentingan rakyat.

  4. al-Syurthah yaitu lembaga kepolisian yang sebenarnya telah ada sejak zaman khalifah Umar bin Khattab, namun baru dalam bentuk yang sangat sederhana