Kita lihat sekarang Transformasi Laplace
1. Transformasi Laplace
2. Analisis Menggunakan Transformasi Laplace
Transformasi Laplace
3. Fungsi Jaringan
4. Tanggapan Frekuensi Rangkaian Orde-1
5. Tanggapan Frekuensi Rangkaian Orde-2
Transformasi Laplace
Pada langkah awal kita akan berusaha memahami transformasi Laplace beserta sifat-sifatnya.
Dalam pelajaran Analisis Rangkaian di kawasan fasor, kita melakukan transformasi fungsi sinus (fungsi t ) ke dalam bentuk fasor melalui
Melalui transformasi Laplace ini, berbagai bentuk gelombang
relasi Euler.
sinyal di kawasan waktu yang dinyatakan sebagai fungsi t, dapat ditransformasikan ke kawasan
s menjadi fungsi s . Dalam pelajaran Analisis di Kawasan s, kita akan melakukan transformasi pernyataan fungsi dari kawasan t
ke kawasan s melalui Jika sinyal diyatakan sebagai fungsi s, maka pernyataan
Transformasi Laplace, yang secara matematis didefinisikan sebagai elemen rangkaian pun harus disesuaikan dan penyesuaian ini
suatu integral
F ( s ) = ∞ ∫ f ( t ) e − 0 st dt
membawa kita pada konsep impedansi di kawasan s.
Perhitungan rangkaian akan memberikan kepada kita hasil yang juga merupakan fungsi s . Jika kita perlu mengetahui
Fungsi waktu
hasil perhitungan dalam fungsi t kita dapat mencari transformasi balik dari pernyataan bentuk gelombang sinyal s adalah peubah kompleks: dari kawasan s
ke kawasan j . σ + ω Batas bawah integrasi adalah nol yang berarti bahwa kita hanya
s=
meninjau sinyal-sinyal kausal
F ( s ) = ∞ ∫ 0 f ( t ) e − st dt
Sebelum membahas Taransformasi Laplace lebih lanjut, kita akan mencoba memahami proses apa yang terjadi dalam transformasi ini.
Bentuk gelombang sinyal yang kita hadapi dalam rangkaian listrik tersusun dari tiga bentuk gelombang dasar yaitu:
Kita lihat bentuk yang ada di dalam tanda integral, yaitu (1) anak tangga, (2) eksponensial, dan (3) sinusoidal
Ae − st = Ae − ( σ + j ω ) t = Ae − σ t e − j ω t = Ae − σ t (cos ω t − sin ω t ) Fungsi waktu
f ( t ) e − st = f ( t ) e − ( σ + j ω ) t = f ( t ) e − σ t e − j ω t
f ( t ) = Au ( t )
Eksponensial kompleks
Ae − at e − st = Ae − ( σ + a + j ω ) t = Ae − ( σ + a ) t e − j ω jika t σ >0 sinusoidal
Meredam f ( t )
e = cos ω t − sin ω t
cos ω
(3) f ( t ) = A t u t
(cos sin )
Jadi perkalian f ( t ) dengan faktor eksponensial kompleks cos ω 0 te − ( σ + j ω ) t = e e + e e − σ t menjadikan f ( t ) berbentuk sinusoidal teredam .
e − σ t sinus teredam dan bukan bernilai tak hingga. ∞
Sehingga integral dari 0 sampai
mempunyai nilai limit,
= cos( ω 0 − ω ) t e − σ t
Kita lihat sekarang Transformasi Laplace
Jadi semua bentuk gelombang yang kita temui dalam rangkaian listrik, setelah dikalikan dengan e − st dan kemudian diintegrasi dari
7 0 sampai ∞ akan kita peroleh F(s) yang memiliki nilai limit.
Contoh:
Contoh:
Jika f ( t ) adalah fungsi exponensial f ( t )= Ae −α t u ( t ) ∞
Jika f ( t ) adalah fungsi tetapan f ( t )= Au ( t )
Ae − ( s + α ) t F ∞ ( s ) =
A st ∞
st
∫ A e − dt = − e − = 0 − − =
A e - α t e − st dt =
Ae − ( s + α ) t
Dalam contoh fungsi anak tangga ini, walaupun integrasi memiliki nilai limit, namun teramati bahwa ada nilai s yang memberikan nilai khusus pada F ( s
Untuk s = −α , nilai F ( s ) menjadi menentu dan nilai s yang membuat F ( s ) tak menentu ini disebut pole.
f ( t ) yaitu ) = 0. Pada nilai s ini F ( s ) menjadi tak
tak tentu. adalah besaran kompleks. Posisi
Ae -at u (t)
s pole
s= − α ini adalah pole contoh ini dapat kita gambarkan sebagai berikut .
di bidang kompleks dalam
X s Re X Re bidang kompleks: s = − α
F ( s ) = A s = 0 Penggambaran pada
0 t Posisi pole diberi tanda X
Posisi Pole diberi tanda X
Contoh:
Jika f ( t ) adalah fungsi cosinus f ( t )= A cos ω tu ( t )
Salah satu sifat Transformasi Laplace yang sangat penting adalah
relasi Euler: cos ω = ( e j ω t + e − j ω t ) / 2 Sifat Unik
e j ω t + e − j ω F t ( s ) = st
∫ Sifat ini dapat dinyatakan sebagai berikut: −
As
0 A 2 e dt = ∫ e ( ω − ) dt + ∫ e ( − ω − 0 ) 2 0 2 dt = s 2 + ω 2 Jika f ( t ) mempunyai transformasi Laplace F( s ) maka transformasi
balik dari F( s ) adalah f ( t ).
f ( t ) A cos ω t u (t) Sifat ini memudahkan kita untuk mencari F ( s ) dari suatu fungsi
f ( t ) As
dan sebaliknya mencari fungsi f ( t ) dari dari suatu fungsi F ( s ) dengan t
F ( s ) = s 2 + ω 2 nol.
Untuk s = 0, nilai F ( s ) menjadi
menggunakan tabel transformasi Laplace.
Im Mencari fungsi f ( t ) dari suatu fungsi F ( s ) disebut mencari Penggambaran pada
Nilai s ini disebut zero
X Untuk s 2 = −ω 2 , atau
transformasi balik dari F ( s ).
Tabel berikut ini memuat pasangan fungsi f ( t ) dan fungsi F ( s ). Zero
bidang kompleks
Walaupun hanya memuat beberapa pasangan, namun untuk Pole
keperluan kita, tabel ini sudah dianggap cukup. diberi tanda X
diberi tanda O O Re
nilai ( ) menjadi tak tentu.
Nilai s ini merupakan
pole
Tabel Transformasi Laplace
Pernyataan Sinyal di Kawasan f ( t ) t
Pernyataan Sinyal di Kawasan L [ f ( t )] = F( s ) s
1 Sifat-Sifat Transformasi Laplace
impuls : δ (t)
anak tangga : u(t)
− s ]u(t)
eksponensial : [e at
cosinus : [cos ω t ] u(t)
Sifat Unik
Sifat ini dapat dinyatakan sebagai berikut: sinus : [sin ω t ] u(t)
s 2 + ω 2 Jika f ( t ) mempunyai transformasi Laplace F( s ) maka cosinus teredam : [e − at cos ω t ] u(t)
s + a transformasi balik dari F( s ) adalah f ( t ).
sinus teredam : [e − at sin ω t ] u(t)
Dengan kata lain
( s + a ) 2 + ω 2 Jika pernyataan di kawasan s suatu bentuk gelombang v ( t ) cosinus tergeser : [cos ( ω t + θ )] u(t)
s cos
θ − ω 2 sin θ
adalah V( s ), maka pernyataan di kawasan t suatu bentuk
gelombang V( s ) adalah v ( t ).
sinus tergeser : [sin ( ω t + θ )] u(t)
s sin θ 2 + ω 2 cos θ s + ω
ramp : [ t ] u(t)
ramp teredam : [ t e − at ] u (t)
s + a ) 2 13
Sifat Linier Fungsi yang merupakan integrasi suatu fungsi t
Karena transformasi Laplace adalah sebuah integral, maka ia bersifat
Jika f ( t ) = ∫ 0 f 1 ( x ) dx , maka transformasi Laplacenya adalah F ( s ) = F ( s ) s
linier.
Transformasi Laplace dari jumlah beberapa fungsi t adalah jumlah dari transformasi masing-masing fungsi.
Bukti:
Misalkan
f ( t ) = t ∫ 0 f 1 ( x ) dx maka
e f ( t ) dt Jika
Bukti:
f ( x ( st )
e − st t
2 ( t ) maka transformasi Laplace-nya adalah
F ( s ) = ∞ ∫ 0 [ A 1 f 1 ( t ) + A 2 f 2 ( t ) ] e − st dt t
bernilai nol untuk
= ∞ karena e − st = 0 pada t →∞ ,
= A 1 ∫ 0 f 1 ( t ) dt + A 2 ∫ 0 f 2 ( t ) dt
bernilai nol untuk t = 0 karena integral yang di dalam
tanda kurung akan bernilai nol (intervalnya nol). dengan F 1 ( s ) dan F 2 ( s ) adalah transformasi Laplace
∞− e st
F ( s ) = − ∫ f t dt
− st
− f s 1 ( ) = s ∫ 1 ( t ) e dt =
dari f 1 ( t ) dan f 2 ( t ).
Fungsi yang merupakan diferensiasi suatu fungsi
Translasi di Kawasan t
Jika transformasi Laplace dari f ( t ) adalah F( s ), maka maka transformasi Laplacenya adalah
Jika f ( t ) = df 1 ( t dt )
transformasi Laplace dari − f as ( t − a ) u ( t − a ) untuk a >0
adalah e F( s ).
Bukti:
Misalkan
f ( t ) = df 1 ( t ) maka
Translasi di Kawasan s
dt Jika transformasi Laplace dari f ( t ) adalah F( s ) , maka F ( s ) =
∫ ∞ df 1 ( t ) e − st
dt = [ f 1 ( t ) e − st 0 ∞ − ] ∞ ∫
− st
0 f 1 ( t )( − s ) e dt
transformasi Laplace dari e −α t f ( t )
0 dt
adalah F( s + α ).
bernilai nol untuk t = ∞ karena e − st = 0 untuk t →∞
bernilai − f (0) untuk t = 0. L ∞ df t
1 ( ) dt
= s ∫ 0 f ( t ) e − st dt − f ( 0 ) = s F 1 ( s ) − f 1 ( 0 )
Ini adalah nilai f ( t )
pada t =0 1 17
Tabel Sifat-Sifat Transformasi Laplace Pen-skalaan (scaling)
Pernyataan f(t)
Pernyataan F(s) =L[f(t)]
linier : A 1 f 1 (t) + A 2 f 2 (t)
A 1 F 1 (s) + A 2 F 2 (s)
Jika transformasi Laplace dari f ( t ) adalah F( s ),
integrasi :
0 f ( x ) dx
maka untuk a > 0 transformasi dari f ( at ) adalah
− sf ( 0 − f ( 0 ) ) − f ′′ ( 0 Nilai Awal dan Nilai Akhir − )
sF 3 ( s ) − s 2 −
dt
A F (s) + A F Nilai (s) awal : lim
t f ( t ) = lim s s F ( s )
linier : A f (t) + A f (t)
translasi di t:
e − as
(s )
Nilai akhir : lim f ( t ) lim s F ( s )
= s → 0 penskalaan :
translasi di s :
nilai awal :
t lim → 0 + f ( t )
lim s → ∞ sF ( s )
nilai akhir :
Mencari Transformasi Laplace
CONTOH: Carilah transformasi Laplace dari bentuk gelombang berikut:
a). v 1 ( t ) = 5 cos( 10 t ) u ( t ) ;
b). v 2 ( t ) = 5 sin( 10 t ) u ( t ) ; c). v 3 ( t ) = 3 e − 2 t u ( t )
Transformasi Laplace
Penyelesaian:
Diagram pole – zero
a) Dari tabel transformasi Laplace: f(t) = [cos ω t ] u(t)
Transformasi Balik
v 1 ( t ) = 5 cos( 10 t ) u ( t ) → V 1 ( s ) = 2 5 + s 10 =
2 ) 5 s 2 + 100
b) Dari tabel transformasi Laplace: f(t) = [sin ω t ] u(t)
v 2 ( t ) = 5 sin( 10 t ) u ( t ) → V 2 ( s ) = s 2 × 5 + 10 ( 10 ) 2 = s 2 50 + 100
c) Dari tabel transformasi Laplace: f(t) = [e − at ]u(t)
21 s + 2 22
Mencari Diagram pole-zero Mencari Transformasi Balik
CONTOH: Gambarkan diagram pole-zero dari a). F ( s ) = 2 b). F ( s ) =
A ( s + 2 s ) + F 1 ( s 2 ) 2 3 , 24 c). ( s ) = 5 Transformasi balik adalah mencari f ( t ) dari suatu F( s + ) yang diketahui. + s
Jika F( s ) yang ingin dicari transformasi baliknya ada dalam a). Fungsi ini mempunyai pole di s = − 1 tabel transformasi Laplace yang kita punyai, pekerjaan kita tanpa zero tertentu.
Im
Re
cukup mudah.
− 1 Akan tetapi pada umumnya F( s ) berupa rasio polinomial yang
bentuknya tidak sesederhana dan tidak selalu ada pasangannya Sedangkan pole dapat dicari dari
b). Fungsi ini mempunyai zero di s = − 2 Im
+j1,8
seperti dalam tabel. Untuk mengatasi hal itu, F( s ) kita uraikan
menjadi suatu penjumlahan dari bentuk-bentuk yang ada dalam ( s + 2 ) =
( s + 2 ) 2 + 3 , 24 = 0 − 2 Re
− 3 , 24 = j ( ± 1 , 8 ) → pole di s = − 2 ± j 1 , 8 − j 1,8
tabel, sehingga kita akan memperoleh f ( t ) sebagai jumlah dari
transformasi balik setiap uraian.
Hal ini dimungkinkan oleh sifat linier dari transformasi Laplace c). Fungsi ini tidak mempunyai zero tertentu sedangkan pole terletak di titik asal,
Im
s =0+ j 0. Re
Bentuk Umum F(s)
Fungsi Dengan Pole Sederhana
Bentuk umum fungsi s adalah Apabila F( s) hanya mempunyai pole sederhana, maka ia dapat
F ( s ) = K ( s − z 1 )( s − z 2 ) L ( s − z m )
diuraikan sebagai berikut
k 1 k 2 k n Dalam bentuk umum ini jumlah pole lebih besar dari jumlah zero,
( s − p 1 )( s − p 2 ) L ( s − p ) = ( s − p ) + ( s − p ) + L + n 1 2 ( s − p n ) Jadi indeks n > m
( s − p 1 )( s − p 2 ) L ( s − p n )
F ( s ) = K ( s − z 1 )( s − z 2 ) L ( s − z m )
Jika F ( s ) memiliki pole yang semuanya berbeda, F( s ) merupakan kombinasi linier dari beberapa fungsi sederhana. p i ≠ p j untuk i ≠
k 1 ,k 2 ,…..k n di sebut residu .
dikatakan bahwa F( s ) mempunyai pole sederhana. Jika semua residu sudah dapat ditentukan, maka Jika ada pole yang berupa bilangan kompleks kita katakan
bahwa F ( s ) mempunyai pole kompleks.
Jika ada pole-pole yang bernilai sama kita katakan bahwa
F ( s ) mempunyai pole ganda. Bagaimana cara menentukan residu ?
Cara menentukan residu:
F ( s ) = K ( s − z 1 )( s − z 2 ) L ( s − z m )
CONTOH: Carilah f ( t ) dari fungsi transformasi berikut.
( s − p 1 )( s − p 2 ) L ( s − p ) = ( s − p 1 ) n + ( s − p 2 ) + L + ( s − p n )
( s + 1 )( s + 3 )
Jika kita kalikan kedua ruas dengan ( s
p 1 ),
( s + 3 ) = k 1 + semuanya mengandung faktor ( s − 1 ). + 3 ( s + 1 ) s − )(
faktor ( s
− p 1 ) hilang dari ruas kiri,
kk
dan ruas kanan menjadi
1 ditambah suku-suku lain yang
( s + 1 )( s +
masukkan
Jika kemudian kita substitusikan s = p 1 maka semua suku di
ruas kanan bernilai nol kecuali k 1 × ( s + 3 )
s = − 3 ( − 3 + 1 ) = k 2 = − 2 Dengan demikian kita peroleh k 1
K ( p 1 − z 1 )( p 1 − z 2 ) L ( p 1 − z m )
= k 1 masukkan
k 2 diperoleh dengan mengakalikan kedua ruas dengan
( − 2 ) kemudian substitusikan
CONTOH: Carilah f ( t CONTOH: Carilah f ( ) dari fungsi transformasi berikut. t ) dari fungsi transformasi berikut.
6 ( 0 + 2 ) = k = 3 masukkan
masukkan s = 0
s + 1 2 masukkan s = − 1 − 1 ( − 1 + 4 )
k masukkan
s ( s + 1 ) = s ( s + 4 ) + s + 1 ( s + 4 ) + k 3 masukkan s = − 4 6 ( − 4 + 2 )
29 s
Fungsi Dengan Pole Kompleks
Transformasi balik dari dua suku dengan pole kompleks Dalam formulasi gejala fisika, fungsi F( s ) merupakan rasio polinomial
dengan koefisien riil. Jika F( s ) mempunyai pole kompleks yang
berbentuk p = −α + j β , maka ia juga harus mempunyai pole lain yang berbentuk p *= −α − j β ; sebab jika tidak maka koefisien polinomial
adalah
tersebut tidak akan riil. Jadi untuk sinyal yang secara fisik kita temui, pole kompleks dari
f k ( t ) = ke − ( α − j β ) t + k * e − ( α + j β ) t
F( s ) haruslah terjadi secara berpasangan konjugat.
Oleh karena itu uraian F( s ) harus mengandung dua suku
= k e − ( α − j ( β + θ )) t + k e − ( α + j ( β + θ )) t
= 2 k e 2 = 2 k e − α t cos( β + θ ) ( ) = L + s + α − j β + s + α + j β + L
yang berbentuk
f ( t ) = L + 2 k e − α t cos( β + θ ) + L fungsi rasional dengan koefisien rasional. Residu ini dapat kita cari
Residu k dan k * juga merupakan residu konjugat sebab F( s ) adalah
dengan cara yang sama seperti mencari residu pada uraian fungsi dengan pole sederhana.
CONTOH: Carilah transformasi balik dari
Fungsi Dengan Pole Ganda
Pada kondisi tertentu, F( ) dapat mempunyai pole ganda. Penguraian F( )
yang demikian ini dilakukan dengan “memecah” faktor yang mengandung Memberikan pole
memberi pole sederhana di s =0
kompleks s = − 4 ± 16 − 32 2 pole ganda dengan tujuan untuk mendapatkan bentuk fungsi dengan pole = − 2 ± j 2 sederhana yang dapat diuraikan seperti contoh sebelumnya.
s ( s 2 + 4 s + 8 ) = s + s + 2 − j 2 + s + 2 + j 2 ( s − p 1 )( s − p 2 ) 2 pole ganda
Uraikan menjadi:
s = − 2 + j 2 s ( s + 2 + j 2 ) s = − 2 + j 2 F ( s ) = s − p 2 ( s − p 1 )( s − p 2 )
pole sederhana j
2 f(t) = u ( t ) + 2 e j ( 3 π / 4 ) e − ( 2 − j 2 ) t + 2 e − j ( 3 π / 4 ) e − ( 2 + j 2 ) 2 t 2
2 t cos( 2 t + 3 π / 4 )
CONTOH: Tentukan transformasi balik dari fungsi:
= ( s + 1 )( s + 2 ) 2
Maka:
( s − p 2 )( s − p 21 )
( s − p 2 ) 2 ( s + 1 )( s + 2 ) 2 ( s + 2 ) ( s + 1 )( s + 2 )
sehingga:
F ( s ) = k 11 + k 12 s − p
( s + 1 )( s + 2 ) + ( s + 2 ) 2
k 11 k 12 2
f ( t ) = k 11 e p 1 t + k e p 2 t + k te p 2 t
12 2 s + 2 + ( s + 2 ) 2
→ k 11 = − 1 s + 2 = − 1 → k 12 = − 1
e ( e s + te 2 ) 2 ( ) = − + + 2
Hubungan Tegangan-Arus Elemen
di Kawasan s
Analisis Rangkaian Listrik Kita mengetahui hubungan tergangan-arus di kawasan waktu
pada elemen-elemen R, L, dan C adalah
Menggunakan
Transformasi Laplace v R = Ri R
v = di L L L dt
i C = C dv C dt atau v C = 1 C ∫ i c dt
Dengan melihat tabel sifat-sifat transformasi Laplace, kita akan memperoleh hubungan tegangan-arus elemen-elemen di kawasan s sebagai berikut:
Konsep Impedansi di Kawasan s
Resistor:
V R ( s ) = R I R ( s ) Impedansi di kawasan s adalah rasio tegangan terhadap arus di kawasan s dengan kondisi awal nol
Dengan konsep impedansi ini maka hubungan tegangan-arus untuk resistor, induktor, dan kapasitor menjadi sederhana.
V s ) = Kondisi awal adalah kondisi elemen I L ( sL L (s) ; V C = 1 sC I C ( s ) sesaat sebelum peninjauan.
Kondisi awal
V R ( s ) = R I R (s) ;
Admitansi , adalah Y = 1/ Z
Representasi Elemen di Kawasan s
Jika simpanan energi awal adalah nol, maka sumber Elemen R, L, dan C di kawasan s, jika harus memperhitungkan adanya simpanan energi awal pada elemen, dapat dinyatakan
tegangan tidak perlu digambarkan.
dengan meggunakan sumber tegangan atau sumber arus.
Jika Kondisi awal = 0
Representasi dengan Menggunakan Sumber Tegangan
Kondisi awal
Representasi dengan Menggunakan Sumber Arus
Transformasi Rangkaian
sL +
V R (s) R V L (s)
Representasi elemen dapat kita gunakan untuk −
1 V C (s)
mentransformasi rangkaian ke kawasan s . −
sC
Cv C (0)
Dalam melakukan transformasi rangkaian perlu kita
V R ( s ) = R I R ( s ) perhatikan juga apakah rangkaian yang kita transformasikan
V L ( s ) = sL I L ( s ) − i L ( 0 s )
V C ( s ) = 1 sC ( I C ( s ) + Cv C ( 0 ) )
mengandung simpanan energi awal atau tidak.
Kondisi awal
Jika tidak ada simpanan energi awal, maka sumber tegangan ataupun sumber arus pada representasi
Jika Kondisi awal = 0 elemen tidak perlu kita gambarkan.
Saklar S pada rangkaian berikut telah lama ada di posisi 1. Pada t = 0 saklar dipindahkan ke posisi 2 sehingga rangkaian RLC seri terhubung ke sumber
tegangan 2 e − 3 t
V. Transformasikan rangkaian ke kawasan s untuk t > 0.
tegangan kapasitor arus awal induktor = 0
Transfor-
Saklar S telah lama ada di posisi
arus awal induktor = 0
tegangan awal kapasitor = 0 Saklar S telah lama ada di
masi
1 dan tak ada sumber tegangan,
maka kondisi awal = 0
v = 0 V dan
posisi 1 dan sumber 8 V
tegangan kapasitor
membuat rangkaian memiliki tegangan awal kapasitor = 8/ s
i L 0 =0
kondisi awal, yaitu v C 0 = 8 V dan
i L 0 =0
Kondisi awal akan nol jika rangkaiannnya adalah sepeti berikut
Hukum Kirchhoff Kaidah-Kaidah Rangkaian
Hukum arus Kirchhoff (HAK) dan hukum tegangan Kirchhoff (HTK) berlaku di kawasan s
Pembagi Tegangan dan Pembagi Arus
n HAK di Kawasan t :
∑ i k ( t ) = 0 Z ekiv seri = ∑ Z k ; Y ekiv paralel = ∑ Y k k
V ( s ) st
I total ( s ) ;
i k ( t ) e dt = ∑∫ 0 i k ( t ) e − st dt = I k ( s ) = 0 ekiv paralel ekiv seri
berikut ini HTK di Kawasan t :
n CONTOH: Carilah V C ( s ) pada rangkaian impedansi seri RLC
HAK di Kawasan s
V in (s) +
C (s)
∫∑ 0 v k ( t ) e − st dt = ∞ ∑∫ 0 v k ( t ) e − st dt = ∑ V k ( s ) = 0 k = 1 k = 1 k = 1
2 V in ( s ) =
s 2 + s + V in ( s ) = 3 2 + s + 3 2 ( s + 1 )( s + 2 ) V in ( s )
HTK di Kawasan s
Teorema Rangkaian
V in (s) +
Misalkan V in ( s
C ) = 10/ (s) s − s V −
Prinsip Proporsionalitas
20 k 1 k 2 k 3
s ( s + 1 )( s + 2 ) = s + s + 1 + s + 2 X(s )
the file. s The image part with relationship ID rId4 was not found in
Y (s)
s = 0 Hubungan linier antara masukan dan keluaran k 2 = s ( 20 s + 2 )
( s + 1 )( s + 2 )
= − 20 ; CONTOH:
= + 1/sC
V in (s)
sL
⇒V C ( s ) = 10 + − 20 + 10 Inilah tanggapan rangkaian RLC seri
v C ( t ) = 10 − 20 e − t + 10 e − 2 dengan R =3 Ω , L = 1H, C = 0,5 F
R sL
LCs
dan sinyal masukan anak tangga
dengan amplitudo 10 V.
Prinsip Superposisi
Teorema Thévenin dan Norton
V T ( s ) = V ht ( s ) = I N ( s ) Z T ;
I N ( s ) = I hs ( s ) =
Keluaran rangkaian yang mempunyai beberapa masukan
Arus Norton adalah jumlah keluaran dari setiap masukan sendainya
Tegangan Thévenin
masukan-masukan itu bekerja sendiri-sendiri
Impedansi Thévenin
X 1 ( s) CONTOH: Carilah rangkaian ekivalen Thevenin dari rangkaian K
Y o (s)
impedansi berikut ini.
Metoda Metoda Analisis
Metoda Superposisi
Metoda Unit Output
CONTOH: Dengan menggunakan metoda unit output, carilah CONTOH: Dengan menggunakan metoda superposisi, carilah
V 2 ( s ) pada rangkaian impedansi di bawah ini tegangan induktor v o ( t ) pada rangkaian berikut ini. I L (s) sL
Misalkan : V 2 ( s ) = 1 → V C ( s ) = V 2 ( s ) = 1 →
I C ( s ) = 1 1 / sC = sC
→ + I L ( s ) = I C ( s ) = sC
V L ( s ) = sL × sC = LCs 2 A s + −
sL
V o1
V o2 R B β
sL
→ V R ( s ) = V L ( s ) + V C ( s ) = LCs 2 + 1 →
2 LCs + 1
1 ( s ) = I R ( s ) + I L ( s ) = LCs
+ 1 + sC = LCs
+ RCs + 1 //
= RLs
+ sL RLs
V o2 ( s ) = sL × I L ( s ) = sL × 1 / sL 1 1 ×
LCs 2 R + + sL RCs + 1 ⇒ V o1 ( s ) = R + RLs
s = R + 2 sL A =
RR sL
sRL ×
B β = RB β s
I R + sL
2 sL + R
s + β ( s + R / 2 L )( s 2 + β 2 )
2 1 LCs 2 + RCs + 1 1 ( s )
53 s + R / 2 L 54
⇒V o1 ( s ) =
V o2 ( s ) = RB β
Metoda Reduksi Rangkaian
2 ( s + R / 2 L )( s 2 + β 2 )
⇒ V o ( s ) = V o1 ( s ) + V o2 ( s ) = A / 2 + RB β
CONTOH: Dengan menggunakan metoda reduksi rangkaian carilah s
tegangan induktor v o ( t ) pada rangkaian berikut ini → k 1 =
2 2 cos( β t − θ )
Metoda Rangkaian Ekivalen Thévenin
Metoda Tegangan Simpul
CONTOH: Cari tegangan induktor dengan menggunakan
rangkaian ekivalen Thévenin.
CONTOH: Cari tegangan induktor dengan menggunakan
metoda tegangan simpul.
Metoda Arus Mesh
s + ( 0 . 01 s + 10 4 )( 2 s + 10 s ) I B ( s ) − I B ( s ) × 10 4 = 0
CONTOH: Pada rangkaian berikut ini tidak terdapat simpanan
energi awal. Gunakan metoda arus mesh untuk menghitung i ( t )
0 , 02 s 2 + 2 × 10 4 s + s + 10 6 − 10 4 s
10 u(t) +
s + ) 50000 − I B ( s ) × 10 4 = 0
⇒I ( s ) =
− s + I A ( s ) ( 0 . 01 s + 10 4
( s + 100 )( s + 500000 )
I s − A ( ) × 10 4 = 0 s + 500000 s = − 100
⇒ i ( t ) = 0 , 02 [ e − 100 t − e − 500000 t ] mA
s + 100 s = − 500000
I A ( s ) = ( 2 s + 10 s 2 ) I B ( s )
Bahasan kita berikut ini adalah mengenai Fungsi Jaringan
Fungsi Jaringan merupakan fungsi s yang merupakan karakteristik rangkaian dalam
Fungsi Jaringan menghadapi adanya suatu masukan ataupun
memberikan relasi antara masukan dan keluaran.
Bahasan akan mencakup
Pengertian Dan Macam Fungsi Jaringan. Peran Fungsi Alih. Hubungan Bertingkat Kaidah Rantai
Pengertian dan Macam Fungsi Jaringan
Fungsi Jaringan
Fungsi jaringan yang sering kita hadapi ada dua bentuk, yaitu Prinsip proporsionalitas berlaku di kawasan s .
fungsi masukan ( driving-point function ) dan Faktor proporsionalitas yang menghubungkan keluaran dan masukan berupa fungsi rasional dalam s
fungsi alih ( transfer function )
dan disebut fungsi jaringan ( network function ). Fungsi masukan adalah perbandingan antara tanggapan di suatu gerbang ( port ) dengan masukan di gerbang yang sama.
Fungsi Jaringan = Tanggapan Status Nol ( s ) Fungsi alih adalah perbandingan antara tanggapan di suatu Sinyal gerbang dengan masukan pada gerbang yang berbeda. Masukan ( s ) Definisi ini mengandung dua pembatasan, yaitu
a) kondisi awal harus nol dan
b) sistem hanya mempunyai satu masukan
Fungsi Masukan
= Carilah impedansi masukan yang dilihat oleh sumber V ( s )
CONTOH:
pada rangkaian-rangkaian berikut ini
impedansi masukan
admitansi masukan
Fungsi Alih
Fungsi Alih Tegangan : T ( s
V in ( s ) ;
a). Z in = R + 1 = RCs + 1 ;
Fungsi Alih Arus : T ( s ) = I o ( s )
Cs
Cs
I I in ( s )
b). Y in = 1 + Cs = 1 + R RCs R
Admitansi Alih : T ( s ) = I o ( s Y ) V
in ( s ) ;
⇒ Z in =
1 + RCs
Impedansi Alih : T Z ( s ) = V o ( s I )
in ( s )
CONTOH:
Carilah fungsi alih rangkaian-rangkaian berikut
CONTOH:
Tentukan impedansi masukan dan
I o (s)
fungsi alih rangkaian di bawah ini
Transformasi s V in R + 2 ke kawasan (s)
Z in = ( R 1 + 1 / Cs )( || Ls + R 2 )
1 µ F 10 6 /s Tentukan impedansi masukan dan
R 1 R 2 CONTOH:
fungsi alih rangkaian di samping ini
Persamaan tegangan untuk simpul A: 1 2 V A ( 10 − 6 + 10 − 6 + 10 − 6 s )
Transformasi rangkaian ke kawasan s
− V in 10 − 6 − V x 10 − 6 = 0
Z in = R 1 || ( 1 / C 1 s ) = R 1 / C 1 s =
⇒ ( s + 1 )( 2 + s ) V x − V in − V x − s µ V x = 0 atau
R 2 R 1 C 1 s + 1 ( 2 s + 2 + s 2 + s − 1 − µ s ) V x = V in = − R 2 C 2 s + 1 ×
R 2 R C s + V 1 in s + ( 3 − µ ) s + 1
Fungsi alih :
69 V s ( s ) = V s ( s ) = s 2 + ( 3 − µ ) s + 1 70
Peran Fungsi Alih
Dengan pengertian fungsi alih, keluaran dari suatu rangkaian di kawasan Pole dan zero dapat mempunyai nilai riil ataupun kompleks s dapat dituliskan sebagai
konjugat karena koefisien dari b ( s ) dan a ( s ) adalah riil. Y ( s ) = T ( s ) X ( s ) ; dengan T ( s ) adalah fungsi alih Sementara itu sinyal masukan X( s ) juga mungkin
X ( s ) : pernyataan sinyal masukan di kawasan s
mengandung zero dan pole sendiri. Oleh karena itu sinyal
Y ( s ) : keluaran (tanggapan status nol) di kawasan s .
keluaran Y( s ) akan mengandung pole dan zero yang dapat
berasal dari T ( s ) ataupun X( s ).
T ( s ) pada umumnya
berbentuk rasio polinom T ( s ) = a ( s ) = b m s
⋅ ⋅⋅ ⋅⋅ + b 1 s + b 0 Pole dan zero yang berasal dari T ( s ) disebut pole alami dan zero
a n s n + a n − 1 s n − 1 ⋅ ⋅⋅ ⋅⋅ + a 1 s + a 0 alami , karena mereka ditentukan semata-mata oleh parameter rangkaian dan bukan oleh sinyal masukan;
Rasio polinom ini T ( s ) = K ( s − z 1 )( s − z 2 ) ⋅ ⋅⋅ ⋅⋅ s − z
yang berasal dari X( ) disebut
dapat dituliskan:
( s − p 1 )( s − p 2 ) ⋅ ⋅⋅ ⋅⋅ ( s − p n )
pole paksa dan zero
paksa karena mereka ditentukan oleh fungsi pemaksa (masukan).
Fungsi alih T ( s ) akan memberikan zero di
pole di m p
z 1 ….
1 …. p n .
10 6 CONTOH: /s
Rangkaian Dengan Masukan Sinyal Impuls
10 6 A 10 6 +
+V o (s)
Impuls dinyatakan dengan x ( t )= δ ( t ).
V − s (s) 10 6 /s
Pernyataan sinyal ini di kawasan s adalah X( s )=1
Jika v in = cos2 tu ( t ) , carilah pole dan zero sinyal keluaran V o ( s ) untuk µ = 0,5
V o ( s ) yang diperoleh dengan X( s ) = 1 ini disebut H( s )
0 , 5 agar tidak rancu dengan T ( s Fungsi alih : ). V ( ) =
s 2 + ( 3 − µ ) s + 1 = s 2 + 2 , 5 s + 1 Karena X( s ) = 1 tidak memberikan
Keluaran di kawasan t , v o ( t )= h ( t ), s
pole paksa, maka H( s ) hanya akan
diperoleh dengan transformasi balik H( s ).
V in ( s ) =
s 2 + 4 V o ( s ) = T V ( s ) V in ( s ) =
Bentuk gelombang h ( t ) terkait dengan 2 pole , 5 1 4 yang dikandung oleh H( ).
mengandung pole alami.
riil akan =
memberikan komponen eksponensial pada s Pole
0 , 5 ( s s + 2 )( s + 0 , 5 ) ( s + j 2 )( s − j 2 )
h ( t ); pole kompleks konjugat (dengan bagian riil negatif ) akan memberikan Pole dan zero adalah :
komponen sinus teredam pada h ( t ). s = − 2 : pole alami riil s = 0 : satu zero paksa riil Pole-pole yang lain akan memberikan
s = − 0 . 5 : pole alami riil s = − j 2 : pole paksa imaginer bentuk-bentuk h ( t lihat melalui contoh berikut. ) tertentu yang akan kita
s = + j 2 : pole paksa imajiner
Jika sinyal masukan pada rangkaian
Contoh ini memperlihatkan bagaimana fungsi alih menentukan bentuk dalam contoh-3.5 adalah v carilah
dan sinyal keluaran in = δ ( t ),
s (s) 10 6 A 6 pole + zero V 10 6 V x +
+V (s)
gelombang sinyal keluaran melalui pole-pole yang dikandungnya.
Berbagai macam pole tersebut akan memberikan h ( t ) dengan perilaku untuk nilai µ = 0,5 ; 1 ; 2 ; 3 ; 4, 5.
10 /s
sebagai berikut.
Dengan masukan v in = δ ( t )
berarti V in ( s ) = 1, maka
keluaran rangkaian adalah : H ( s ) =
: dua pole riil negatif tidak sama besar; sinyal keluaran sangat teredam.
: dua pole riil negatif sama besar ; sinyal keluaran teredam kritis. µ = 0 , 5 ⇒ H ( s ) =
s 2 + ( 3 − µ ) s + 1 µ =1
(s + 2 )(s + 0 , 5 ) ⇒ dua pole riil di s = − 2 dan
s = − 0 , 5 µ =2
: dua pole kompleks konjugat dengan bagian riil negatif ; sinyal keluaran
kurang teredam, berbentuk sinus teredam.
s 2 + 2 s + 1 = ( s + 1 ) 2 ⇒ dua pole riil di s = − 1 µ =3
: dua pole imaginer; sinyal keluaran berupa sinus tidak teredam.
: dua pole µ kompleks konjugat dengan bagian riil positif ; sinyal keluaran = 2 ⇒ H ( s ) =
3 / 2 ) ⇒ dua pole kompleks di s = − 0 , 5 ± j
3 / 2 tidak teredam, berbentuk sinus dengan amplitudo makin besar. µ =
3 / 2 )( s + 0 , 5 + j
: dua pole riil posistif sama besar; sinyal keluaran eksponensial dengan 3 ⇒ H ( s ) =
2 3 3 s µ + 1 = ( s + j 1 )( s − j 1 ) ⇒ dua pole imajiner di s = ± j 1 eksponen positif; sinyal makin besar dengan berjalannya t .
µ = 4 ⇒ H ( s ) = s 2 4 − 4 s + 1 = ( s − 0 , 5 − j 3 / 2 )( s − 0 , 5 + j
3 / 2 ) ⇒ dua pole kompleks di s = 0 , 5 ± j
2 5 s 5 − 2 s + 1 = ( s − 1 ) 2 ⇒ dua pole riil di s = 1 75
Posisi pole dan bentuk gelombang keluaran
Rangkaian Dengan Masukan Sinyal Anak Tangga
Transformasi sinyal masukan yang berbentuk gelombang anak tangga ( )= (
adalah
X(
s ) = 1/ s . Jika fungsi alih adalah T ( s ) maka sinyal keluaran adalah
Tanggapan terhadap sinyal anak tangga ini dapat kita sebut
Karena H( s ) hanya mengandung pole alami, maka dengan melihat bentuk G( s ) kita segera mengetahui bahwa tanggapan terhadap sinyal anak tangga di kawasan s akan mengandung satu pole paksa disamping pole - pole alami.
Pole paksa ini terletak di s =0+ j
0 (lihat gambar)
Hubungan Bertingkat
CONTOH:
Jika + µ = 2 dan sinyal masukan berupa sinyal anak tangga, carilah
− V + pole o dan zero sinyal keluaran dalam rangkaian contoh-3.7, Dengan µ = 2 fungsi alihnya adalah
Dengan sinyal masukan X( s ) = 1/ s , tanggapan rangkaian adalah
Dua Rangkaian
Ls R 2 V in +
dihubungkan
− V R 1 1/Cs
( s + 0 , 5 − j 3 / 2 )( s + 0 , 5 + j 3 / 2 ) s
1 / Cs || ( R + Ls )
Dari sini kita peroleh :
1 / Cs ( R 2 + Ls ) dengan bagian riil negatif R 2 + Ls 1 / Cs + R 2 + Ls 1 / Cs + R 2 + Ls + R 1 s =
s = − 0 , 5 ± j 3 / 2 : dua pole kompleks konjugat = R 2 1 / Cs ( R 2 + Ls )
pole
0 : satu paksa di 0 + j 0 =
R 2 + Ls
R 2 + Ls LCs 2 + ( L + R 2 C ) s + ( R 1 + R 2 ) 79 80
Fungsi alih dari rangkaian yang diperoleh dengan menghubungkan kedua
Kaidah Rantai
rangkaian secara bertingkat tidak serta merta merupakan perkalian fungsi alih masing-masing.
Hal ini disebabkan terjadinya pembebanan rangkaian pertama oleh rangkaian Jika suatu tahap tidak membebani tahap sebelumnya berlaku kedua pada waktu mereka dihubungkan. Untuk mengatasi hal ini kita dapat
kaidah rantai .
menambahkan rangkaian penyangga di antara kedua rangkaian sehingga rangkaian menjadi seperti di bawah ini.
X (s)
T 1 (s) Y 1 (s) T 2 (s) Y(s)
Oleh karena itu agar kaidah rantai dapat digunakan, impedansi Diagram blok rangkaian ini menjadi :
masukan harus diusahakan sebesar mungkin, yang dalam contoh diatas dicapai dengan menambahkan rangkaian V in ( s )
Dengan cara demikian maka hubungan masukan-keluaran total dari seluruh rangkaian dapat dengan mudah diperoleh jika hubungan masukan-keluaran masing-masing bagian diketahui.
Persoalan tanggapan rangkaian terhadap perubahan
nilai frekuensi atau
tanggapan rangkaian terhadap sinyal yang
tersusun dari banyak frekuensi timbul karena impedansi satu macam rangkaian
mempunyai nilai yang berbeda untuk frekuensi yang
berbeda
Kita akan membahas tanggapan frekuensi dari
rangkaian orde-1 dan orde-2
Tanggapan Rangkaian Terhadap Sinyal Sinus
Keadaan Mantap
Y ( s ) = T ( s ) X ( s ) = A s cos θ − ω sin θ T ( s )
= A s cos θ − ω sin θ
Dalam analisis rangkaian di kawasan s kita lihat bahwa
pernyataan di kawasan s dari sinyal di kawasan waktu ( s − j ω )( s + j ω ) T ( s )
memberikan pole alami
memberikan pole paksa
x ( t ) = A cos( ω t + θ ) adalah
Tanggapan rangkaian ini dapat kita tuliskan
X ( s ) = A s cos θ − ω sin θ s 2 2 Y ( s )
= s − j ω + s + j ω + s − p 1 + s − p 2 + ⋅ ⋅⋅ + s − p n
Jika T(s) adalah fungsi alih dari suatu rangkaian, maka tanggapan rangkaian tersebut adalah
komponen transien yang biasanya Y ( s ) = T ( s ) X ( s ) = A s cos θ − ω sin θ
komponen mantap
yang kita manfaatkan
berlangsung hanya beberapa detik
s + ω 2 Dengan menghilangkan
k + k ( s − j ω )( s + j ω )
= A s cos
θ − ω sin θ T ( s )
komponen transien kita
peroleh tanggapan mantap di
kawasan s yaitu
Tanggapan keadaan mantap rangkaian di kawasan s menjadi + k s *
Nilai k persamaan ini dapat kita cari dari
Y ( s ) = T ( s ) X ( s ) = A s cos θ − ω sin θ T ( s )
( s − j ω )( s + j ω )
= A cos θ − ω sin ω θ ( s ) T ( s ) + j ω
Dari tabel transformasi Laplace kita lihat
maka F ( s ) = 1 =
A cos
θ + j sin θ 2 T ( j ω ) s + a Ini adalah suatu pernyataan kompleks
Jika f(t) = e − at
Oleh karena itu tanggapan mantap di kawasan t menjadi yang dapat ditulis
− j ω t − θ − ( ϕ ω ) = ( ω ) e j ϕ y tm ( t ) = e e
sehingga
= A T ( j ω ) cos ( ω t + θ + ϕ )
y tm ( t
) Carilah sinyal keluaran keadaan mantap == A T ( j ω ) cos ( ω t + θ + ϕ )
dari rangkaian di samping ini jika masukannya adalah
Persamaan tanggapan di kawasan waktu ini menunjukkan bahwa rangkaian
v s = 10 √√√√ 2cos(50t + 60 o ) V.
yang mempunyai fungsi alih T(s) dan mendapat masukan sinyal sinus, akan memberikan tanggapan yang:
Penyelesaian:
• berbentuk sinus juga, tanpa perubahan frekuensi
Transformasi rangkaian ke kawasan s
• amplitudo sinyal berubah dengan faktor |T(j ω )|
Fungsi alih rangkaian ini
• sudut fasa sinyal berubah sebesar sudut dari T(j ω ), yaitu ϕ .
2 s + 100 = s + 50
Jadi, walaupun frekuensi sinyal keluaran sama dengan frekuensi sinyal
Karena ω = 50 , maka
masukan tetapi amplitudo maupun sudut fasanya berubah dan perubahan ini tergantung dari frekuensi
Jadi keluaran keadaan mantap:
v o ( t ) = 10 2
2 cos( 50 t + 60 o − 45 o ) = 10 cos( 50 t + 15 o )
CONTOH:
Pernyataan Tanggapan Frekuensi
Selidikilah perubahan gain dan sudut fasa terhadap perubahan frekuensi dari rangkaian orde pertama di samping ini
Fungsi Gain dan Fungsi Fasa
Penyelesaian:
Faktor pengubah amplitudo, yaitu |T(j ω )| disebut fungsi gain
fungsi alih rangkaian :
Pengubah fasa ϕ disebut fungsi fasa dan kita tuliskan sebagai ϕ ( ω )
Baik fungsi gain maupun fungsi fasa merupakan fungsi frekuensi
500 j ω + 1000
Jadi kedua fungsi tersebut menunjukkan bagaimana amplitudo dan sudut fasa sinyal sinus dari tanggapan rangkaian berubah
⇒ fungsi gain : T V ( j ω ) =
terhadap perubahan frekuensi atau dengan singkat disebut 1000 2 + ω 2 sebagai
⇒ fungsi fasa : ϕ ( ω ) = − tan − 1 ω
tanggapan frekuensi
Berikut ini kita gambarkan perubahan gain dan perubahan sudut fasa
⇒ gain : T V ( j ω ) = 500 Gain
Gain
1000 2 + ω 2 Gain 0.5 passband
stopband
0.5 Gain tinggi di daerah frekuensi rendah pada
0.5/ √ 2 contoh ini menunjukkan bahwa sinyal yang berfrekuensi rendah mengalami perubahan
Pada frekuensi rendah terdapat gain tinggi
yang relatif konstan; ω C pada frekuensi tinggi, gain menurun dengan amplitudo dengan faktor tinggi
Perhatikan bahwa sumbu
Gain rendah di frekuensi tinggi menunjukkan bahwa sinyal yang berfrekuensi tinggi
mengalami perubahan amplitudo dengan ⇒ fasa : ϕ ( ω ) = − tan − 1 ω
frekuensi dibuat dalam skala
logaritmik
faktor rendah
Daerah frekuensi dimana terjadi gain tinggi 1 10 100
Nilai frekuensi yang menjadi batas
antara passband dan stopband disebut
1000 10000 1E+05
frekuensi cutoff , ω .
disebut passband sedangkan daerah
C frekuensi dimana terjadi gain rendah disebut -45
stopband ϕ [ o ]
Pada frekuensi rendah sudut fasa tidak
terlalu berubah tetapi kemudian cepat menurun mulai suatu frekuensi tertentu
Nilai frekuensi cutoff biasanya diambil
nilai frekuensi dimana gain menurun
dengan faktor 1/ √
2 dari gain maksimum pada passband.
CONTOH:
Dalam contoh di atas, rangkaian mempunyai
Selidikilah tanggapan frekuensi
satu passband
rangkaian di samping ini
yaitu dari frekuensi ω = 1 sampai frekuensi cuttoff ω C ,
dan
Penyelesaian:
satu stopband
yaitu mulai dari frekuensi cutoff ke atas
Fungsi alih rangkaian adalah
Gain
stopband passband
5 0 Dengan kata lain rangkaian ini mempunyai 5 10 / s + 1000 = s + 10 2 0.5/ √ 2
passband di daerah frekuensi rendah saja
V ( j ω ) = 0 , 5 × j j ω ω + 2 ω 10 C
sehingga disebut low-pass gain.
0 1 10 100 1000 10000 1E+05 ω
Kebalikan dari low-pass gain adalah high-pass gain, yaitu jika ω 2 + 10 4 90 1 10 100
passband berada hanya di daerah frekuensi tinggi saja 100000 seperti pada contoh berikut ini
⇒ ϕ ( ω ) = 90 o − tan − 1 10 ω 2 ϕ [ o 45 ]
Decibel
Gain biasanya dinyatakan dalam decibel Frekuensi cutoff adalah frekuensi dimana gain telah turun 1/ √
2 = 0.707 kali nilai (disingkat dB) yang didefinisikan sebagai
gain maksimum dalam passband. Jadi pada frekuensi cutoff, nilai gain adalah Gain
dalam dB = 20 log T ( j ω )
Pernyataan gain dalam dB dapat
20 log
1 T ( j ω ) maks = 20 log T ( j ω 2 bernilai nol, positif, atau negatif ) maks − log 2 = T ( j ω ) maks dB − 3 dB
Gain dalam dB akan nol jika |T(j ω )| bernilai satu, yang berarti sinyal tidak diperkuat ataupun diperlemah; jadi gain 0 dB berarti amplitudo sinyal keluaran sama dengan sinyal masukan.
Dengan demikian dapat kita katakan bahwa frekuensi cutoff adalah frekuensi di mana gain
Gain dalam dB akan positif jika |T(j ω )| >1, yang berarti sinyal diperkuat.
telah turun sebanyak 3 dB
Gain akan bernilai negatif jika |T(j ω )| < 1, yang berarti sinyal diperlemah.
CONTOH:
Berapa dB-kah nilai gain sinyal yang diperkuat K kali , jika K = 1; √ 2;
Kurva Gain Dalam Decibel
2 ; 10; 30; 100; 1000 ? Dan berapa nilai gain jika terjadi pelemahan dimana K = 1/ √
2 ; 1/2 ; 1/10; 1/30; 1/100; 1/1000 ? Kurva gain dibuat dengan absis (frekuensi) dalam skala logaritmik; jika
Penyelesaian:
gain dinyatakan dalam dB yang juga merupakan bilangan logaritmik Untuk sinyal yang diperkuat K kali,
sebagaimana didefinisikan, maka kurva gain akan berbentuk garis-garis
gain = 20 log ( K T ( j ω ) ) = 20 log ( T ( j ω ) ) + 20 log () K
Low-pass gain. Dengan menggunakan
[dB] − 9 − 0 = 6 ≈
gain : 20 log 1 = 0 dB K = 1 / 2 ⇒
gain − : 3 dB satuan dB, kurva low-pass gain pada contoh Gain
gain : 20 log 2 3 dB K = 1 / 2 ⇒
gain : − 6 dB sebelumnya adalah seperti terlihat pada
K = 2 ⇒ gain : 20 log 2 ≈ 6 dB K = 1 / 10 ⇒
gain : − 20 dB ganbar di samping ini. Gain hampir konstan −
6 dB di daerah
1000 10000 1E+05 ω K = 100 ⇒
K = 10 ⇒
gain : 20 log 10 = 20 dB K = 1 / 30 ⇒
gain : − 30 dB frekuensi rendah, sedangkan di daerah
K = 30 ⇒ gain : 20 log 30 ≈ 30 dB K = 1 / 100 ⇒
gain : − 40 dB frekuensi tinggi gain menurun dengan kemiringan yang hampir konstan pula.
gain : 20 log 100 = 40 dB K = 1 / 1000 ⇒ gain : − 60 dB
K = 1000 ⇒ gain : 20 log 1000 = 60 dB
Band-pass gain kita peroleh pada rangkaian orde-2 yang akan kita pelajari lebih lanjut. High-pass gain. Dalam skala dB, high-pass gain
− 0 pada contoh sebelumnya adalah seperti terlihat Walaupun demikian kita akan melihat rangkaian orde-2 berikut ini sebagai contoh pada ganbar di bawah ini.
Gain
[dB]
Gain hampir konstan −
CONTOH:
6 dB di daerah frekuensi
ω C Selidikilah perubahan gain dari rangkaian orde-2 di samping ini.
V o ( s gain meningkat dengan kemiringan yang hampir ) konstan pula
tinggi sedangkan di daerah frekuensi rendah
Gain belum dinyatakan dalam dB.
V in s −
Band-pass gain. Apabila gain meningkat di daerah frekuensi rendah dengan kemiringan
Penyelesaian:
10 yang hampir konstan, dan menurun di daerah s T ( s ) =
frekuensi tinggi dengan kemiringan yang hampir ( + 100 )( s + 1000 )
V 10 + s + 10 5 / s = s 2 + 10 s + 10 5 = s
konstan pula, sedangkan gain tinggi berada di
antara dua frekuensi cutoff kita memiliki
karakteristik band-pass gain.
( j ω + 100 )( j ω + 1000 ) ⇒ T V ( j ω ) =
Frekuensi cutoff pada band-pass gain ada dua;
selang antara kedua frekuensi cutoff disebut
bandwidth (lebar pita)
CONTOH:
Gain 1.4 stopband passband stopband
Selidikilah perubahan gain dari rangkaian orde kedua di samping ini. Gain belum dinyatakan
dalam dB.
Penyelesaian:
10 s 2 1 6 10 100 1000 10000 T V ( s ) = + 10
10 0 , 1 s × 10 + 5 / s = s 2 + 10 4 s + 10 6
Apabila kurva gain dibuat dalam dB,
kurva yang akan diperoleh adalah Gain
0 , 1 s + 10 5 / s
2 6 1.4 passband stopband passband
0 − ω 2 + j 10 4 ω + 10 6 1/ 0.7 √ Gain 2 − 3 2 6
Kurva ini menunjukkan bahwa ada satu stopband pada
ω antara 100 ÷ 10000 dan dua passband masing- masing di daerah frekuensi rendah dan tinggi
1 10 100 1000 10000 1E+05
Karakteristik gain seperti ini disebut band-stop gain.
Bode Plot
Pendekatan Garis Lurus dari Kurva Gain
T V ( s ) = K Bentuk fungsi alih rangkaian orde pertama
s + α dengan karakteristik low-pass gain adalah:
Kita lihat Low-Pass Gain
Jika fungsi alih rangkaian yang kita tinjau adalah:
maka T ( j ω ) =
Tentang tetapan K kita memahaminya sebagai berikut: K yang bernilai positif kita fahami sebagai K dengan sudut θ =0 o
Fungsi gain dan fungsi fasa-nya adalah
dan ϕ ( ω ) = θ K − tan − 1 ( 1 / / ω α ) Tentang pole dari suatu fungsi alih,
K yang bernilai negatif kita fahami sebagai K dengan sudut K θ
= ± 180 o
kita ingat diagram posisi pole
Fungsi gain dalam satuan dB, menjadi
seperti di samping ini: Jika rangkaian yang kita tinjau adalah
T V ( j ω ) dB = 20 log ( K / α ) − 20 log 1 + ( ω / α ) 2
rangkaian stabil maka ia harus memiliki pole dengan bagian riil negatif karena hanya pole
yang demikian ini yang dapat membuat
Komponen-kedua fungsi gain Ini rangkaian stabil. Komponen transiennya
tergantung dari frekuensi menuju nol untuk t
Komponen-pertama
stabil saja yang kita tinjau dalam analisis →∞ . Hanya rangkaian
fungsi gain ini bernilai
konstan untuk seluruh
Komponen-kedua inilah yang menyebabkan gain
berkurang dengan naiknya frekuensi tanggapan frekuensi.
frekuensi
Komponen-kedua ini pula yang menentukan frekuensi cutoff, yaitu saat ( / ) =1 dimana komponen ini mencapai
nilai ω α − 20log √ 2 ≈−
Jadi frekuensi cutofff ditentukan oleh komponen yang berasal dari pole
Pendekatan Garis Lurus Kurva Fungsi Fasa
fungsi alih, yaitu ω C = α
Tanggapan fasa kita peroleh dari fungsi fasa
ϕ ( ω ) = θ K − tan − 1 ( ω / α )
Perubahan nilai komponen-kedua dari gain sebagai fungsi frekuensi, yang dibuat dengan α = 1000 adalah sebagai berikut
Komponen-pertama
Komponen-kedua memberi pengurangan fasa
fungsi ini bernilai
yang juga menjadi penentu pola perubahan
0 konstan.
tanggapan fasa
dB pendekatan garis lurus
Pada ( ω / α )=1 (frekuensi cutoff) → − tan − 1 ( ω / α )= − 45 o . komponen kedua dapat
Untuk frekuensi rendah, -40 − log √ (( ω / α ) 2 +1)
pendekatan garis lurus
− tan − komponen kedua tesebut 1 ( ω / α )
didekati dengan ω C Pada ω =0,1 ω C →− tan − 1 ( ω / α )≈0 o 1 . 0 0 + +
didekati dengan -60 1 0 ω
Pada ω =10 ω C →− tan − + 1 1 ≈ − 20 log ( ω / α ) ( ω / α )≈ − 90 o ;
1 0 0 0 0 0 0 0 5 0 6 [rad/s]
− 20 log 1 + ( ω / α ) 2 ≈ − 20 log () 1 = 0 1 1 0 1 E 1 E − 20 log ( ω / α ) 2
Untuk ω >10 ω C →− tan − 1 1 o 0
1 0 0 0 0 0 [rad/s]
Jadi dalam selang 0.1 ω C < ω <10 ω C
Titik belok terletak pada perpotongan kedua garis ini, yaitu pada ( ωω ω ω > α αα α .
Jadi pendekatan garis lurus untuk komponen kedua ini adalah garis nol
untuk 1< ω ωω ω < αα α α dan garis lurus −−−−
20 dB per dekade untuk
perubahan fasa dapat dianggap linier o
− 45 per dekade.
yang berarti terletak di frekuensi cutoff.
Dengan pendekatan garis lurus, baik untuk fungsi gain maupun untuk fungsi fasa, maka tanggapan gain dan tanggapan fasa dapat digambarkan dengan nilai
Kurva pendekatan garis lurus tanggapan gain dan tanggapan fasa ini, seperti tercantum dalam dua tabel di bawah ini.
dengan mengambil α = 1000 adalah sebagai berikut Gain
Frekuensi
Gain [dB]
20 20log(| K |/ α )
− 45 o /dek Total
Komponen 1 20log(|K|/ ) 20log(|K|/ )
20log(|K|/ ) α K α α
0 Komponen 2 0 0 0 − 20dB/dek
20log(|K|/ α ) 20log(|K|/ α )
− 20dB/dek
− 20dB/dek
θ 0 K 45 θ o /dek K
[rad/s] Total
θ − 45 o /dek
[rad/s]
Perhatikanlah bahwa nilai komponen-pertama konstan untuk seluruh Perhatikan bahwa penurunan gain dimulai dari ω C sedangkan frekuensi sedangkan komponen-kedua mempunyai nilai hanya pada
penurunan sudut fasa terjadi antara 0,1 ω C dan 10 ω C rentang frekuensi tertentu.
Kita lihat High-Pass Gain Frekuensi
Gain
Fungsi alih rangkaian orde pertama dengan karakteristik high-pass gain adalah
20log( /1)+20dB/dek α T ( s ) = s + α
20log(|K|/ ω α )
20log(|K|/ 1< ω < α )
20log(|K|/ ω > α
20log(|K|/ − α )+20log( α /1) Fungsi alih ini mempunyai zero pada s = 0.
sehingga T ( j ω ) =
+20dB/dek
0 0 20dB/dek α
Total
20log(|K|/ α )
20log(|K|/ α )+20dB/dek
Fungsi gain dan fungsi fasa-nya adalah
20log(|K|/ ω α α α ) T ( j )
20log(|K|/ ω α α )
Komponen 1
20log(|K|/ )
20log(|K|/ − + 20dB/dek ω α α α α )+20log( α /1)
2 − tan − 1 Komponen 2
0 +20dB/dek
/1)+20dB/dek
Komponen 3
Total
20log(|K|/ )
20log(|K|/ )+20dB/dek
θ +90 o
Gain dalam dB:
⇒ T ( j ω ) dB = 20 log ( K / α ) + 20 log ω − 20 log 1 + ( ω / α ) 2 Gain 40 90 K
20 [dB]
ϕ 45 [ o ]
− 45 o /dek
Dengan menggunakan pendekatan garis lurus, nilai fungsi gain dan fungsi fasa 0
+20dB/dek
adalah seperti dalam tabel berikut 0
20log(| K |/ α )
0.1 ω C 10 ω C ω [rad/s]
ω [rad/s]
Gambarkan pendekatan garis lurus tanggapan gain dari Gambarkan pendekatan garis lurus tanggapan gain dari rangkaian yang mempunyai fungsi alih:
rangkaian yang mempunyai fungsi alih:
dB 20 log ( T 1 j
ω 2 ) = ( ω ) ) = 20 log( 0 . 2 ) − 20 log 1 + ( ω / 100 ) 2 dB
= 20 log( 0 . 2 ) + 20 log( ω ) −
Gain [dB]
40 Komp-2
Gain Frekuensi = 100 rad/s
20 Gain ω
20 Komp-2 Komp-1
40 ω C = 100 rad/s
C Komponen 2 Komponen 1
0 20 dB/dek
40+20 dB/dek
Komponen 3
0 0 20 dB/dek
Komp-1 Komp-3 Total
Komponen 1 − 14 dB − 14 dB −
Komponen 2 0 0 20dB/dek
14 dB +20 dB/dek
26 dB
− 14 dB 20dB/dek
1 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 0 ω [rad/s] 1 1 0 0 1 0 ω 0 [rad/s] 1 0
Kita lihat Band-Pass Gain
Rangkaian dengan karakteristik band-pass gain dapat diperoleh dengan menghubungkan secara bertingkat dua rangkaian orde pertama dengan
menjaga agar rangkaian yang di belakang (rangkaian kedua) tidak membebani rangkaian di depannya (rangkaian pertama).
Rangkaian pertama mempunyai karakteristik high-pass gain sedangkan rangkaian kedua mempunyai karakteristik low-pass gain.
Tanggapan Frekuensi
fungsi alih sesuai kaidah rantai dan akan berbentuk 2
Hubungan kaskade demikian ini akan mempunyai
Rangkaian Orde-2
α 2 ω + β α ( 1 + j ω / α )( × β 1 + j ω / β )
{ K 1 K 2 / αβ } ω
⇒ T ( j ω ) dB = 20 log ( K 1 K 2 / αβ ) + 20 log ω
− 20 log 1 + ( ω / α ) 2 − 20 log
Dengan membuat β >> α maka akan diperoleh karakteristik band-pass
gain dengan frekuensi cutoff ω C1 = α dan
Band-Pass Gain
Rangkaian Orde-2 Dengan Pole Riil Fungsi alih rangkaian orde-2 dengan satu zero dan dua pole riil dapat ditulis
sebagai T ( s ) =
Ks
( K / αβ ) × j ω
Pole dari fungsi alih rangkaian orde-2 bisa riil ataupun kompleks
( 1 + j ω / α )( 1 + j ω / β ) konjugat
( s + α )( s + β )
sehingga T ( j ω ) =
( j ω + α )( j ω + β )
( K / αβ ) ω
Kita akan mulai pembahasan tentang fungsi alih
Fungsi gain
dengan pole riil
Dalam dB
T ( j ω ) dB = 20 log ( K / αβ ) + 20 log ω − 20 log 1 + ( ω / α ) 2 − 20 log 1 + ( ω / β ) 2
T ( j ω ) dB = 20 log ( K / αβ ) + 20 log ω − 20 log 1 + ( ω / α ) 2 − 20 log 1 + ( ω / β ) 2 T ( j ω ) dB = 20 log ( K / αβ ) + 20 log ω − 20 log 1 + ( ω / α ) 2 − 20 log 1 + ( ω / β ) 2
> adalah seperti Fungsi gain ini terdiri dari komponen-komponen yang bentuknya telah kita kenal
Nilai fungsi gain dengan pendekatan garis lurus untuk
dalam tabel di bawah ini
pada pembahasan rangkaian orde-1
Komponen-pertama bernilai konstan
Gain
ω C 1 = α rad/s
Frekuensi
ω C 2 = β rad/s
ω > β Komponen-kedua berbanding lurus dengan log ω dengan perubahan gain
20log(|K|/ αβ ) +20 dB per dekade
Komp.1
20log(|K|/ αβ )
20log(|K|/ αβ )
20log(|K|/ αβ )
Komp.2
0 +20 dB/dek
+20log( α /1)
+20log( β /1)
+20 dB/dek Komponen-ketiga memberi pengurangan gain −
+20 dB/dek
20 dB/dek ω = α = ω C1 = frekuensi cut-off
20 dB per dekade mulai dari
Komp.3
20 dB/dek
− 20log( β / α ) −
20log(|K|/ − αβ ) Komponen-keempat juga memberi pengurangan gain −
Komp.4
Total
20log(|K|/ αβ )
20log(|K|/ αβ )
20log(|K|/ αβ )
0 0 0 20 dB/dek
+20log( α ) dari ω = β = ω C2 = frekuensi cut-off −
20 dB / dekade mulai
+20 dB/dek
+20log( α /1)
20 dB/dek
CONTOH
Gain
Gambarkan Bode plots pendekatan garis lurus (tanggapan gain dan tanggapan ⇒ T ( j ω ) dB = 20 log 0 , 5 + 20 log ω − 20 log 1 + ( ω / 10 ) 2 − 20 log 1 + ( ω / 10000 ) 2 fasa) rangkaian yang diketahui fungsi alihnya adalah :
T ( s ) = 50000 s ω C 1 ( = 10 rad/s ω C 2 = 10000 rad/s s + 10 )( s + 10000 )
80+20 dB/dek T ( j ω ) =
0 +20 dB/dek
20+20 dB/dek
− 60 − ( 20 dB/dek
j ω + 10 )( j ω + 10000 ) ( 1 + j ω / 10 )( 1 + j ω / 10000 )
Komponen 3
20 dB/dek
Komponen 4
0 0 0 − 20 dB/dek
Total
6 dB
+20 dB/dek − 6 dB
− 20 dB/dek
⇒ T ( j ω ) dB = 20 log 0 , 5 + 20 log ω − 20 log 1 + ( ω / 10 ) 2 − 20 log 1 + ( ω / 10000 ) 2 Gain 40 [dB]
ω C1 ω C2 [rad/s]
⇒ ϕ ( ω ) = 0 + 90 o − tan − 1 ( ω / 10 ) − tan − 1 ( ω / 10000 )
High-Pass Gain
ϕ ( ω ) Frekuensi
4 ω Karakteristik high-pass gain dapat diperoleh dari rangkaian orde kedua yang C 1 = 10 rad/s ω C 2 = 10 rad/s fungsi alihnya mengandung dua zero di s = 0 ω =1
Gambarkan tanggapan gain dan tanggapan fasa jika diketahui fungsi Komponen 3
0 o − 45 o /dek
− 90 o
− 90 o
alihnya adalah
Komponen 4
0 0 − 45 o /dek
− 90 o
Total
90 90 − 45 o /dek
0 o − 45 o /dek
( j ω + 40 )( j ω + 200 ) = 800 × ( 1 + j ω / 40 )( 1 + j ω / 200 )
1000 10000 1E+05 ω [rad/s]
T ( j ω ) dB = 20 log ( 1 / 800 ) + 2 × 20 log ω − 20 log ( ω / 40 ) 2 + 1
T ( j ω ) dB = 20 log ( 1 / 800 ) + 2 × 20 log ω − 20 log ( ω / 40 ) 2 + 1 − 20 log ( ω / 200 ) 2 + 1 ϕ ( ω ) = 0 + 2 × 90 o − tan − 1 ( ω / 40 ) − tan − 1 ( ω / 200 )
ω = 1, konstan 20log(1/800) = −
58 dB
Mulai ω = 1, ϕ ( ω ) ≈ 0 o +2 × 90 o =180 o
Kenaikan gain berbanding lurus dengan log( ω ); kenaikan 2 × 20 Pengurangan fasa − 45 o per dekade mulai
dB per dekade
dari 0,1 ω C1 sampai 10 ω c1 (seharusnya)
Pengurangan gain −
20 dB per dekade mulai pada ω Pengurangan fasa C1 = 40 rad/s
45 o per dekade mulai dari ω = 0.1 − ω C2 sampai 10 ω C2 Pengurangan gain
20 dB per dekade
Karena
mulai pada
ω C2 = 200 rad/s
0,1 ω C2 < 10 ω C1
maka kurva menurun 90 o 20 Gain
per dekade pada 0,1 ω C2 dan kembali menurun [dB] 0 +40dB/dek o 90 45 per dekade pada
+20dB/dek
C2 ω [rad/s]
ω [rad/s]
Gain:
Low-pass Gain
T ( j ω ) dB = 20 log 0 , 5 − 20 log 1 + ( ω / 100 ) 2 − 20 log 1 + ( ω / 1000 ) 2
Karakteristik low-pass gain dapat diperoleh dari rangkaian orde kedua yang fungsi alihnya tidak mengandung zero
gain 20log(0,5) ≈−
6 dB pengurangan gain −
20 dB per dekade
CONTOH:
mulai ω C1 = 100
20 dB per dekade mulai C2 = alihnya adalah :
Gambarkan Bode plots pendekatan garis lurus rangkaian yang fungsi
1000, sehingga mulai −
pengurangan gain
ω ω C2 perubahan gain adalah − 40
5 × 10 dB per dekade ( s + 100 )( s + 1000 )
Penyelesaian:
T 4 ( j ω ) = 5 × 10 0 , 5 Gain 0
( j ω + 100 )( j ω + 1000 ) = ( 1 + j ω / 100 )( 1 + j ω / 1000 )