Pemulihan Kondisi Sosial Yang Dirusak Ak

PEMULIHAN KONDISI SOSIAL YANG DIRUSAK
AKIBAT SUATU TINDAK PIDANA MELALUI PROSES
PERADILAN PIDANA BERDASARKAN PENDEKATAN
KEADILAN RESTORATIF (RESTORATIVE JUSTICE)
Oleh Refki Saputra

K

ejahatan dalam pandangan yang sempit dapat dimaknai sebagai
penyimpangan terhadap norma hidup yang disepakti bersama dalam
masyarakat. Meminjam ajaran utilitarian Jeremy Bentham, secara

naluriah manusia pasti akan menjauhi pengalaman buruk dan selalu ingin
mendapatkan kebahagiaan. Maka setiap gangguan atau upaya-upaya untuk
merusak kebahagian tersebut akan selalu mendapat rekasi dari masyarakat.
Terjadinya suatu peristiwa kejahatan dapat diidentifikasi, baik yang bersumber
dari

dalam

diri


pelaku

(internal),

maupu

dari

luar

diri

pelaku

(eksternal/determinasi). Salah seorang bapak sosiologi modern, Emile Durkheim
menyatakan bahwa setiap kejahatan merupakan gejala normal didalam setiap
masyarakat yang bercirikan heterogenitas dan perkembangan sosial. 1 Artinya
kejahatan lahir, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, maka semakin
berkembang suatu tatanan masyarakat, maka tingkat kejahatan bisa jadi juga ikut

meningkat. Sebaliknya, kejahatan tidak akan pernah hilang, sepanjang peradaban
masyarakat masih terus berjalan.
Dalam hukum pidana materil, secara universal, pilihan kebijakan (policy)
untuk menerapkan sanksi pidana selalu diletakkan sebagai pilihan terakhir atau
ultimum remedium atau the last resort. Artinya, sarana hukum pidana baru
digunakan seandainya sarana-sarana hukum lain (perdata, administrasi) sudah
dipergunakan atau dianggap tidak mampu menyelesaikan persoalan. Pilihan
1

Mardjono Reksoniduptro, 2007, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana; Kumpulan
Karangan Buku Kedua, Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum (d//h Lembaga
Kriminologi) Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 2 – 3.

pg. 1

penggunaan pranata hukum (peradilan) pidana selama ini tidak sama dengan
hukum (peradilan) lainnya. Dimana, pilihan untuk menyelesaikan sengketa
dipengadilan non-pidana tak ada bedanya dengan berminat atau tidaknya
masyarakat untuk berbelanja kepasar-pasar swalayan, karena dalam peradilan
pidana, masyarakat “hampir” tidak mempunyai pilihan untuk menghindari

penggunaan pengadilan.2 Mengingat hukum pidana berada dilapangan hukum
publik yang mana, setiap pelanggaran terhadap norma-norma pidana, maka hal
demikian menjadi urusan negara untuk menyelesaikannya. Peluang untuk
menyelesaiakn perkara diluar pengadilan sangat kecil, karena ada fungsi negara
yang melekat didalamnya, dan karenanya negara bertanggungjawab untuk
menyelesaikan persoalan tersebut melalui mekanisme yang sudah ditentukan oleh
undang-undang.
Salah satu yang sudah menjadi standar baku dalam peradilan pidana adalah,
ciri atau karakter sanksinya yang tegas dan menyakitkan. Sanksi pidana yang
semacam itu merupakan bentuk hukuman yang wajib diterima oleh setiap
terpidana untuk mempertanggungjawabkan perbuatan melanggar hukumnya. Atas
nama masyarakat banyak, sanksi pidana harus dikenankan agar masyarakat dapat
terlindungi dari ancaman pelaku kejahatan. Terhadap jenis kejahatan apapun dan
dengan alasan apapun, pidana penjara dan/atau denda adalah instrumen yang
diapakai negara untuk mencapai tujuannya, yakni menanggulangi kejahatan.
Kadang kala, apa yang dibutuhkan masyarakat terhadap penyelesaian perkara
pidana tidak tercapai melalui mekanisme sanksi pidana tersebut. Malahan, yang
paling sering terjadi, para narapidana yang telah selesai dalam masa pembinaan di
lembaga pemasyarakatan tidak lebih baik kondisinya dibanding sebelum
menjalankan pidana dan bahkan mengakibatkan pelaku merasa terisolasi dan

terbuang dari masyarakat. Selain itu, lembaga pemasyarakatan juga dituding
sebagai tempat regenerasi penjahat dan juga tempat melakukan kejahatan dalam
beberapa kasus, seperti narkotika.
2

Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012, Sosiologi Hukum; Kajian Empiris Terhadap
Pengadilan, Edisi Pertama, Kencana, Jakarta, hlm. 15.

pg. 2

Kemudian, dalam penyeleseian perkara pidana, seringkali korban kejahatan
kurang atau malah tidak mendapatkan tempat. Korban yang sejatinya sebagai
pihak

langsung

yang

menderita


kerugian

kemudian

kurang

mendapat

perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya materiil
maupun inmateriil. Terkait hal tersebut, Geis berpendapat : ― To much attention
has been paid to offenders and their rights, to neglect of the victim. Korban tidak
diberikan kewenangan dan tidak terlibat secara aktif dalam proses penyidikan dan
persidangan sehingga mereka kehilangan kesempatan untuk memperjuangkan
hak-hak dan memulihkan keadaannya akibat suatu kejahatan.3 Lebih jauh lagi,
dalam mekanisme kerja sistem peradilan pidana, pelaku kejahatan tidak pernah
diikutsertakan sehingga pada giliranya mereka tidak dapat ikut menentukan tujuan
akhir dari pidana yang telah diterimanya.4
Menjawab kejumudan tentang kondisi peradilan pidanalah yang kemudian
memunculkan ide untuk memulihkan keadaan sosial yang dirusak akibat tindak
pidana. Pendekatan „Keadilan Restoraif‟ atau „Restorative Justice‟ merupakan

kritik atas penerapan sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap
tidak efektif menyelesaikan konflik sosial. Pendekatan ini bertitik tolak dari
kondisi dimana pihak yang terlibat dalam konflik tersebut (korban) tidak
dilibatkan dalam penyelesaian konflik. Korban tetap saja menjadi korban,
sementara pelaku yang dijatuhi sanksi pidana juga mengalami persoalan baru bagi
keluarga dan lingkungan masyarakat ketika ia selesai menjalani masa
hukumannya kelak.
Sejumlah kegagalan sistem peradilan pidana dalam mencapai tujuannya
ditengarai karena masih menganggap pelaku kejahatan sebagai objek dari
kejahatan. Selain itu, konsentrasi dari para pihak yang berkepentingan hanya
melihat kedalam mekanisme yang formal semata, yang hanya memastikan proses
peradilan pidana berjalan sebagaimana mestinya. Peradilan pidana merasa tidak
3

4

Dikdik, M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan,
edisi pertama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm. 25-26.
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana: Perspektif Ekstensialisme dan
Abolisionisme, cetakan kedua, Bina Cipta, Bandung, hlm. 98.


pg. 3

perlu memikirkan tentang suasana atau kondisi pelaku beserta korban kejahatan
ketika dihadapkan pada mekanisme yang berakhir pada penentuan siapa
penjahatnya dan berapa sanksi hukum yang dikenakan terhadapnya. Pendekatan
yang dilakukan dalam restorative justice lebih banyak bersumber dari
pertimbangan-pertimbangan yang berada diluar hukum, seperti lingkungan sosial
kemasyarakatan, psikologi, politik, dan lain-lain. Hal ini yang disebut sebagai
pendekatan sosiologi hukum yang berpendapat bahwa hukum hanya salah satu
dari banyak sistem sosial dan bahwa justru sistem-sistem sosial lain yang juga
didalam masyarakatlah yang memberi arti dan pengaruh terhadap hukum.5
Tulisan ini mencoba melihat sistem peradilan pidana yang lebih berorientasi
kepada proses-proses pemulihan kondisi sosial yang diakibatkan oleh suatu tindak
pidana yang terjadi, tanpa mengurangi esensinya sebagai salah satu lembaga
formal yang masih dipercaya untuk menanggulangi kejahatan.

Sistem Peradilan Pidana Sebagai Lembaga Sosial
Bentuk gangguan yang ditimbulkan oleh kejahatan adalah kegoncangan dalam
masyarakat. Dalam era modern, negara memainkan peranan untuk mengatasi

berbagai persoalan masyarakat. Negara diberika kewenangn untuk mengurusi
warga negaranya. Namun bukan berarti semua permasalahan yang terjadi dalam
masyarakat kemudian diselesaikan melalui sistem negara, apabila sistem sosial
dalam lingkungan masyarakat tersebut bisa menyelesaikan persoalan. Bekerjanya
fungsi negara dalam hal terjadinya kejahatan dikarenakan masalah kejahatan tidak
hanya menyerang korban secara individu, namun juga masyarakat secara umum.
Maka, urusan kejahatan menjadi urusan negara karena terkait dengan bidang
publik yang luas.
Ketika negara berhadapan dengan kejahatan, tidak serta-merta suatu masalah
yang melingkupi kejahatan tersebut bisa terselesaikan dengan sendirinya tanpa
prosedur yang jelas. Maka seringkali suatu penegakan sanksi pidana terhadap para
5

Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Op., cit.., hlm. 10.

pg. 4

pelanggarnya dilakukan melalui prosedur peradilan pidana (hukum acara pidana).
Sistem peradilan pidana (SPP) dalam arti sempit dapat dipandang sebagai suatu
cara yang digunakan dalam merespon suatu kejahatan. Dikatakan oleh Stephen C.

Thaman bahwa SPP “…is society’s organized respone to crime.”. Hal ini menurut
Adnan Buyung Nasution, akan melahirkan pandangan sistem hukum acara pidana
yang hanya berorientasi pada penghukuman (punishment), padahal sejatinya lebih
jauh dari itu. Hukum acara pidana diadakan adalah untuk menegakkan keadilan,
memberantas kejahatan dan mencegah kejahatan. Maka Penerapan hukum acara
pidana sebagai rangkaian penegakkan hukum yang diarahkan untuk mencapai
ketiga tujuan tersebut kemudian disebut sebagai sistem perdilan pidana.6
Istilah criminal justice system juga disampaikan oleh Ramington dan Ohlin
sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita adalah sebagai berikut:
“Criminal justice sytem dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan
sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan
pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan
perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku
sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses
interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk
memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.”7
Lebih lanjut, Mardjono Reksodiputro Marjono Reksodiputro dengan menyitir
pendapat dari Norval Morris (1982) menggambarkan Sistem Peradilan Pidana
sebagai suatu sistem yang bertugas untuk “menaggulangi kejahatan” dalam batasbatas toleransi yang dapat diterima. Disebut dalam batas toleransi karena pada
dasarnya kejahatan tidak bisa diberantas, hanya saja dapat dicegah dalam batasbatas tertentu.8 Maka dengan pemahaman demikian, maka cakupan dari SPP

adalah untuk: (1) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; (2)
menyelesaikan kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas jika keadilan
6

7

8

Luhut M. P. Pangaribuan, 2009, Lay Judges & Hakim Ad Hoc; Suatu Studi Teoritis Mengenai
Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Diterbitkan atas kerjasama Fakultas Hukum Pascasarjana
Universitas Indonesia dengan Papas Sinar Sinanti, Jakarta. h. 71 - 72
Romli Atmasasmita, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenada Media
Grup, Jakarta, h. 2
Mardjono Reksodiputro, 2007, Kriminologi …..Op., cit., h. 140

pg. 5

ditegakkan dan yang bersalah dipidana; serta (3) berusaha agar mereka yang
melakukan kejahatan tidak lagi perbuatannya.9
Sistem peradilan pidana jika diletakkan dalam konteks implementasi dapat

berupa instrumen dari penggunaan upaya hukum pidana (upaya penal) dalam
menaggulangi masalah sosial kemasyarakatan, salah satunya yakni kejahatan.
Upaya penal ini langsung terait dengan kewenangan negara yang dapat
memaksakan berlakunya hukum ditengah-tengah masyarakat. Tujuan utama
peradilan pidana adalah memutuskan apakah seseorang bersalah atau tidak.
Peradilan pidana dilakukan melalui prosedur yang diikat oleh aturan-aturan ketat
tentang pembuktian yang mencakup semua batas-batas konstitusional dan
berakhir pada proses pemeriksaan dipengadilan .10 Lebih jauh lagi, tujuan SPP
yang mengacu kepada pencapaian nilai-nilai keadilan dimasyarakat, juga
memberantas serta mencegah kejahatan yang timbul dalam masyarakat, maka
tujuan SPP tersebut akan tercapai atau dianggap telah berhasil apabila si
pelanggar hukum telah kembali terintegrasi dengan masyarakat dan hidup sebagai
warga negara yang taat pada hukum.11
Sebagai himpunan daripada kaidah-kaidah dari segala tingkatan yang berkisar
pada suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat12, hukum maupun
dalam hal ini SPP merupakan suatu lembaga kemasyarakatan (sosial). Lembaga
sosial menurut Soerjono Soekanto memiliki fungsi;
1) Memberikan pedoman kepada warga masyarakat, bagaimana mereka
harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalahmasalah masyarakat yang terutama menyangkut kebutuhan-kebutuhan
pokok;
2) Menjaga keutuhan masyarakat yang bersangkutan;

9
10

11
12

Ibid.
Anthon, F Susanto, 2004, Wajah Peradilan Kita, cetakan pertama, Refika Aditama, Bandung,
2004, hlm. 1.
Mardjono Reksodiputro, Op., cit., h. 145
Merupakan pengertian Lembaga Kemasyarakatan menurut Soerjono Soekanto. Lihat Soerjono
Soekanto, 1988, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 68.

pg. 6

3) Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem
pengendalian sosial (social control).13
Konteks SPP sebagai lembaga sosial dikarenakan kebutuhan akan rasa aman
merupakan kebutuhan pokok dari sebagian besar masyarakat. Ketiadaan rasa
aman, masyarakat tidak akan pernah mencapai tujuan hidupnya dengan mudah,
atau bahkan akan tidak sama sekali. SPP yang pada dasarnya merupakan lembaga
formal yang dibentuk oleh negara, namun bukan berarti kemudian lepas dari sifat
kemasyarakatannya. SPP harus tetap menjunjung tinggi nilai-nilai persamaan,
persaudaraan, humanisme dan kebersamaan. Hal ini dibutuhkan agar SPP tetap
rasional dalam menghadapi kejahatan, karena pada hakekatnya yang dihadapi
adalah manusia yang merupakan bagian dari sistem kemasyarakatan itu sendiri.

Keadilan Restoratif; Memulihkan Hubungan Sosial Antara Pelaku, Korban
dan Lingkungan Sosial
Sebagaimana sudah disinggug sebelumnya, pendekatan keadilan restoratif atau
restorative justice hadir untuk menjawab kejumudan dari hasil pemidanaan
konvensional yang tidak mencapai tujuan, malah sebaliknya menimbulkan
masalah sosial yang baru. Mengingat akibat yang ditimbulkan dari suatu tindak
pidana adalah terganggunya keseimbangan atau suasan magis dari masyarakat,
maka tugas dari institusi sosial pada hakekatnya adalah memulihkan kepada
kondisi semula sebelum terjadinya tindak pidana. Hal ini yang dicoba diupayakan
oleh proses peradilan pidana dengan menggunakan pendekatan restorative justice.
Jika ditarik akar sejarahnya, beberapa masyarakat menganggap bahwa
keadilan restoratif (restorative justice) bukanlah merupakan suatu konsep yang
baru. Keberadaanya dianggap sama tuanya dengan hukum pidana itu sendiri.
Seperti misalnya konsep hukum adat yang ada di Indonesia, dimana sebagai
wadah institusi peradilan adat juga memiliki konsep yang dapat digambarkan

13

Ibid.

pg. 7

sebagai akar dari keadilan restoratif.14 Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh berbagai kalangan akademisi terhadap penyelesaian konflik dalam
masyarakat di Indonesia, pada dasarnya budaya untuk penyelesaian secara
musyawarah atau konsisliasi merupakan nilai yang banyak dianut oleh
masyarakat di Indonesia. Berbagai suku bangsa di Indonesia mempunyai budaya
penyelesaian konflik secara damai, misalnya masyarakat jawa, Lampung, Bali,
Sumatera Selatan, Lombok, Papua, Sulawesi Barat dan masyarakat Sulawesi
Selatan.15
Secara konseptual, Restorative Justice adalah konsep pemikiran yang
merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada
kebutuhan pelibatan korban dan masyarakat yang dirasa tersisihkan dengan
mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada saat ini.16
Sebagai sebuah teori yang termasuk dalam lingkup pertanggungjawabanpidana,
restorative justice menekankan pada pemulihan kerugian yang disebabkan atau
ditimbulkan oleh perbuatan pidana. Pemulihan kerugian ini dicapai dengan
adanya proses kooperatif yang mencakup semua pihak yang berkepentingan.17
Sebagai suatu pendekatan, tujuan dari restorative justice adalah untuk mendorong
terciptanya peradilan yang adil dan mendorong para pihak untuk ikut serta di
dalamnya. Korban merasa bahwa penderitaannya di perhatikan dan kompensasi
yang disepakati seimbang dengan penderitaan dan kerugian yang dideritanya.
Titik tekan dari pendekatan yang mengedepankan hubungan-hubungan sosial ini
adalah pelaku tidak mesti mengalami penderitaan untuk dapat menyadari
kesalahannya. Justru dengan kesepakatan untuk mengerti dan memperbaiki
kerusakan yang timbul, kesadaran tersebut dapat diperolehnya. Sementara bagi

14
15

16

17

Eva Achjani Zulfa, 2009, Keadilan Restoratif, Badan Penerbit FHUI, Jakarta, 2009, hlm. 7
Ahmad Hassan, Penyelesaian Sengketa Melalui Upaya Non Litigasi Menurut Peraturan
Perundang-undangan, Jurnal Al-Banjari, Vol. 5, NO. 9, Januari-Juni 2007, hlm. 5
Eva Achjani Zulfa, 2010, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agung, Bandung, hlm.
65.
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, hlm. 125.

pg. 8

masyarakat, adanya jaminan keseimbangan dalam kehidupan dan aspirasi yang
ada tersalurkan oleh pemerintah.18
Sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan utama Restorative Justice adalah
memberdayakan korban, di mana pelaku didorong agar memperhatikan
pemulihan. Restorative Justice mementingkan terpenuhinya kebutuhan material,
emosional, dan sosial sang korban. Keberhasilan Restorative Justice, diukur oleh
sebesar apa kerugian yang telah dipulihkan pelaku, bukan diukur oleh seberapa
berat pidana yang dijatuhkan hakim, atau seberapa sukses SPP mengurangi
tingkat residivis (pengulangan tindak pidana). Prinsip-prinsip Restorative Justice
adalah, membuat pelaku bertanggung jawab untuk membuktikan kapasitas dan
kualitasnya sebaik dia mengatasi rasa bersalahnya dengan cara yang konstruktif,
melibatkan korban, orang tua, keluarga, sekolah atau teman bermainnya,
membuat forum kerja sama, juga dalam masalah yang berhubungan dengan
kejahatan untuk mengatasinya. Hal ini berbeda dengan konsep keadilan yang kita
kenal dalam sistem hukum pidana Indonesia yang bersifat Retributive Justice.19
Pendekatan ini memang sangat dekat dengan konsepsi hukum sipil (perdata),
terutama dalam hal perbuatan melawan hukum atau „onrechtmatigedaad‟. Hal
mana menurut konsepsi hukum perdata, perbuatan melawan hukum diartikan
sebagai suatu kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk
mengontrol atau mengatur perilaku berbahaya, untuk memberikan tanggungjawab
atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan untuk menyediakan ganti
rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat.20
Konsep Restorative Justice dalam menyelesaikan masalah kejahatan dengan
melibatkan korban, keluarga dan pihak -pihak lain dalam menyelesaikan masalah.
Di samping itu, menjadikan pelaku tindak pidana bertanggung jawab untuk
memperbaiki
18

19

20

kerugian

yang

ditimbulkan

perbuatannya.

Pada

korban,

Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restofatif di Indonesia; Studi Tantang Kemungkinan Pendekatan
Keadilan Restoratif dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana, Disertasi FH UI, hlm. 44.
Rena Yulia, Viktimologi; Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu,
Yogyakarta, hlm. 165.
Keeton dalam Munir Fuady, 2010, Perbuatan Melawan Hukum; Pendekatan Kontemporer,
Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 3.

pg. 9

penekanannya adalah pemulihan kerugian aset, derita fisik, keamanan, harkat dan
kepuasan atau rasa keadilan. Bagi pelaku dan masyarakat, tujuannya adalah
pemberian malu agar pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya, dan masyarakat
pun menerimanya. Dengan model Restorative Justice, pelaku tidak perlu masuk
penjara kalau kepentingan dan kerugian korban sudah direstorasi, korban dan
masyarakat pun sudah memaafkan, sementara pelaku sudah menyatakan
penyesalannya. Hal ini merupakan titik yang paling ekstrem dari pendekatan
restorative justice yang mana tidak lagi mempercayai lembaga pidana penjara,
karena akibat yang timbul bagi narapidana maupun keluarganya dalam sistem
yang berlaku sekarang dinilai tidak melegakan atau menyembuhkan korban,
apalagi proses hukumnya memakan waktu lama. Walaupun sebenarnya penjara
(incapacitation) sampai saat ini masih tetap dipertahankan dalam konteks untuk
melindungi masyarakat dari ancaman kejahatan mungkin akan terjadi apabila
pelaku tidak dipenjarakan. Misalnya terhadap pelaku pencurian, pembunuhan dan
pemerkosaan. Namun dalam tataran konsep, restorative justice tetap mengakui
adanya eksistensi pidana penjara, karena untuk saat ini sistem sosial tentang
adanya efek jera, masih didapatkan salah satunya dari pidana penjara.
Proses Restorative Justice pada dasarnya dilakukan melalui diskresi
(kebijaksanaan) dan diversi ini, merupakan upaya pengalihan dari proses
peradilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah.
Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi bangsa
Indonesia. Sebelum pendudukan Belanda, bangsa kita sudah memiliki hukum
sendiri, yaitu hukum adat. Hukum adat tidak membedakan penyelesaian perkara
pidana dengan perkara perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara
musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan
keadaan. Oleh karena itu disimpulkan bahwa proses penyelesaian perkara dengan
konsep Restorative Justice tidak lagi menggunakan cara - cara konvensional yang
selama ini digunakan dalam sistem peradilan pidana, yang hanya berfokus pada
mencari siapa yang benar dan siapa yang salah, serta mencari hukuman apa yang
pantas diberikan kepada pihak yang bersalah tersebut.
pg. 10

Sementara dalam penyelesaian perkara melalui Restorative Justice bukan lagi
kedua hal tersebut, yang diinginkan oleh Restorative Justice adalah sebuah
pemulihan terhadap pelaku agar ia tidak lagi melakukan kejahatan, pemulihan
turut pula ditujukan kepada korban sebagai pihak yang dirugikan serta hubungan
antar korban, pelaku serta masyarakat agar jalannya kehidupan dapat kembali
seperti semula. Restorative Justice diharapkan dapat memberikan rasa tanggung
jawab sosial pada pelaku dan mencegah stigmatisasi pelaku di masa yang akan
datang. Konsep seperti ini juga diharapkan dapat mengurangi penumpukan
perkara di pengadilan dan bisa dijadikan solusi dalam pencegahan kejahatan.
Selama ini, salah satu tujuan dari SPP konvensional seringkali tidak tercapai,
yakni mengintegrasikan kembali narapidana kedalam masyarakat. Program
asismilasi tidak cukup untuk menjadi modal bagi narapidana untuk mendapatkan
penerimaan dalam masyarakat karena ia masih dianggap belum menebus
kesalahannya kepada masyarakat itu sendiri, khususnya terhadap korban.
Penggunaan restorative justice sesungguhnya untuk mengisi keterputusan antara
proses pemidanaan dengan upaya pemulihan kondisi sosial yang dirusak akibat
tindak pidana. Namun, restorative justice tidak sama sekali kemudian
menggantikan fungsi hukum pidana. Misalnya dalam kasus pemerkosaan, yang
mana kondisi korban dalam hal ini tidak sama dengan korban tindak pidana
lainnya, seperti pencurian. Kathleen Daly (2002), dalam artikelnya yang berjudul
“Sexual Assault and Restoratif Justice” percaya jika upaya-upaya penjeraan
(retribution) harus diletakkan dalam rangkaian proses restorative justice,
sehingga mendapatkan hasil yang lebih memuaskan dalam jenis kejahatan yang
terbilang serius. Lebih jauh, menurutnya dengan mengutip pendapat Hampton
menyatakan bahwa : “….restorative justice must ultimately be concerned first
with vindicating the harms suffered by victims (via retribution and reparation)
and the, second, with rehabilitating offenders.”21 Peran proses peradilan dengan
menggunakan pendekatan restorative justice disini hanya sebatas memulihkan
21

Heather Strang and John Braithwaite (Edt), 2002, Restorative Justice and family Violance,
Cambridge University Press, h. 84

pg. 11

hubungan antara pelaku, korban dan masyarakat serta tidak menghapus sanksi
pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.22
Sebagai suatu ilustrasi, suatu kasus pemerkosaan yang kemudian diselesaikan
melalui pendekatan restorative justice adalah kisah korban pemerkosaan di negara
Inggris, Joanne Nodding yang meminta bertemu dengan pria yang telah
memperkosanya.23 Pertemuan antara Nodding dan pelaku terjadi lima tahun
setelah pemerkosaan itu yang merupakan bagian dari program keadilan restoratif
yang memungkinkan korban kejahatan untuk berbicara dengan orang yang
bertanggung jawab. Untuk kejahatan ringan pertemuan dapat mengganti hukuman
penjara, tapi untuk pemerkosaan dan pembunuhan tidak akan pernah
menggantikan penjara - dan tidak terjadi sangat sering karena melibatkan
kekuatan emosi. Mereka bertemu di sebuah fasilitas yang aman, bukan di penjara.
Mereka harus saling menghormati dalam pembicaraan, bertatap muka. Nodding
kala itu ditemai teman dekat, dan pelaku ditemani oleh anggota keluarga.
Nodding tak punya harapan apa-apa pertamanya, tapi pelaku yang minta maaf,
dan ia rasakan itu tulus dari hati. Pria itu lega mendengar bahwa saya masih mau
melakukan hal itu. Dan apa yang pria itu dapatkan dari pertemuan itu, bahwa ia
bersyukur kepada Tuhan, jika ia tidak merusak hidup wanita ini (Nodding).
Pertemuan selama 120 menit itu diakhiri dengan mengatakan kepada pria itu
bahwa Nodding akan memaafkannya dan bahwa ia ingin dia memaafkan dirinya
sendiri. Nodding ingin pria itu mendapatkan kesuksesan hidup dikemudian hari,
karena pria itu tidak akan bisa merubah apa yang sudah terjadi. Nodding berjalan
keluar dengan perasaan bahwa ia masih di sini, dan masih melakukan apa yang ia
cinta. Apa yang dilakukan oleh pria itu tidak dapat mengubah masa lalu. Ia harus
melepaskan beban sehingga ia bisa melihat ke arah masa depannya. Dan ia yakin
dengan begini mungkin akan menghentikan pria itu untuk melakukannya lagi.
22

23

Desi Tamarasari, Pendekatan Hukum Adat Dalam Menyelesaikan Konflik Masyarakat Pada
Daerah Otonom, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 2 No. I Januari 2002, h. 42. Dapat diunduh
di http://journal.ui.ac.id/index.php/jki/ article/viewFile/1181/1088.
Restoratif Justice; Why I confronted the man who raped me?. http://www.theguardian.com
/society/2011/jan/27/restorative-justice-confronted-rape

pg. 12

Daftar Pustaka
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012, Sosiologi Hukum; Kajian Empiris Terhadap
Pengadilan, Edisi Pertama, Kencana, Jakarta.
Ahmad Hassan, Penyelesaian Sengketa Melalui Upaya Non Litigasi Menurut Peraturan
Perundang-undangan, Jurnal Al-Banjari, Vol. 5, NO. 9, Januari-Juni 2007.
Anthon F Susanto, 2004, Wajah Peradilan Kita, cetakan pertama, Refika Aditama,
Bandung.
Desi Tamarasari, Pendekatan Hukum Adat Dalam Menyelesaikan Konflik Masyarakat
Pada Daerah Otonom, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 2 No. I Januari
2002. http://journal.ui.ac.id/index.php/jki/ article/ viewFile/1181/1088.
Dikdik, M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan, edisi pertama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Eva Achjani Zulfa, 2009, Keadilan Restoratif, Badan Penerbit FHUI, Jakarta.
_______________, 2010, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agung, Bandung.
________________, Keadilan Restofatif di Indonesia; Studi Tantang Kemungkinan
Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana,
Disertasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Heather Strang and John Braithwaite (Edt), 2002, Restorative Justice and family
Violance, Cambridge University Press.
Luhut M. P. Pangaribuan, 2009, Lay Judges & Hakim Ad Hoc; Suatu Studi Teoritis
Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Diterbitkan atas kerjasama
Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia dengan Papas Sinar
Sinanti, Jakarta.
Mardjono Reksoniduptro, 2007, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana; Kumpulan
Karangan Buku Kedua, Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum
(d//h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, Jakarta.
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang.
Munir Fuady, 2010, Perbuatan Melawan Hukum; Pendekatan Kontemporer, Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Rena Yulia, Viktimologi; Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Graha
Ilmu, Yogyakarta.
Restoratif Justice; Why I confronted the man who raped me?. http://www.theguardian
.com/society/2011/jan/27/restorative-justice-confronted-rape
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana: Perspektif Ekstensialisme dan
Abolisionisme, cetakan kedua, Bina Cipta, Bandung.
_________________, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenada
Media Grup, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 1988, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.

pg. 13