ANALISIS PERRLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENAHANAN TERSANGKA PADA TINGKAT PENYIDIKAN BERDASARKAN PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2015 (STUDI KEPOLISIAN RESOR LAMPUNG BARAT) Oleh Devolta Diningrat, Eddy Rifai, Tri Andrisman

  

ANALISIS PERRLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENAHANAN

TERSANGKA PADA TINGKAT PENYIDIKAN BERDASARKAN

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

  

INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2015

(STUDI KEPOLISIAN RESOR LAMPUNG BARAT)

Oleh

Devolta Diningrat, Eddy Rifai, Tri Andrisman

  

Email: [email protected]

ABSTRAK

  Penahanan pada dasarnya merupakan suatu tindakan yang melanggar Hak Asasi Manusia karena ditahannya seseorang sudah tentu mengurangi kemerdekaan atau kebebasan diri seseorang tersebut. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui secara jelas penerapan hak-hak dan perlindungan hukum terhadap tersangka dan faktor yang menghambat penerapan hak-hak dan perlindungan hukum bagi tersangka. Hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa penerapan hak-hak dan perlindungan hukum terhadap tersangka pada dasarnya kurang optimal. Perlakuan aparat penegak hukum terhadap tersangka yang semena-mena dapat disampaikan melalui Sentral Pelayanan Kepolisian Terpadu dan juga Penasehat Hukum dari tersangka dengan dasar penegak hukum melanggar Pasal 77 KUHAP tentang syarat sahnya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan dikaitkan dengan Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan. Faktor yang mempengaruhi penerapan hak-hak dan perlindungan hukum bagi tersangka terfokus pada kurangnya pengetahuan tersangka serta kualitas dan profesionalitas aparat penegak hukum, minimnya sarana dan prasarana yang memadai, serta kultur dari aparat yang mengesampingkan peraturan dalam proses penegakan hukum yang masih terjadi hingga saat ini.

  Kata Kunci : Kepolisian, Penahanan, Tersangka, Hak.

ANALYSIS OF LEGAL PROTECTION OF SUSPECT AT THE LEVEL OF

  

INVESTIGATION UNDER THE RULES OF POLICE CHIEFS REPUBLIC

OF INDONESIA NO.4 2015

(STUDY POLICE RESORT WEST LAMPUNG)

By:

  

Devolta Diningrat, Eddy Rifai, Tri Andrisman

Email: [email protected]

ABSTRACT

  

Detention is basically an act that violates human rights because of the arrest of a

person of course reduce the freedom or the freedomof him self. The purpose of

this research is to know clearly abput the acceptance of the rights and legal

protection to suspects and the factors that hinder the implementation of the rights

and legal protections for the accused. Result of research and discussion can be

concluded that the application of the right and legal protection of suspects

basically less than optimal. Treatment of law enforcement officers againt suspect

arbitrarily can be delivered via the Central Police Services Integrated and Legal

Counsel of the suspects on the basis of law enforcement in violation of Article 77

of the Criminal Procedure Code on the terms validity of the arrest, detention,

discontinuation of the investigation and termination of prosecution associated

with Article 351 of the Criminal Code of Persecution. Factors that affect the

application of the rights and legal protection of suspect focused on the lack of

knowledge of the suspects as well as the quality and profesionalism of law

enforcement personnel, lack of facilities and infrastructure, as well the culture of

the officials who disregard the regulations in the law enforcement process is still

happening today. Keywords: Police, Detentions, Suspects, Right.

I. Pendahuluan

  Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia merupakan pilar utama dalam setiap negara hukum, jika dalam suatu negara hak manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkan tidak dapat diatasi secara adil maka negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai negara hukum dalam arti yang sesungguhnya. Perlindungan hukum terhadap seorang tersangka harus diberikan maka Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perawatan Tahanan di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, atau undang-undang lain yang mengaturnya harus direalisasikan, khususnya didalam penyidikan perkara pidana. Tindakan ini dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan pengakuan atau keterangan langsung dari tersangka.

  Problema yang terjadi pada saat ini

  yang berkaitan dengan penahanan oleh kepolisian pada Rumah Tahanan Polri, salah satunya adalah perlakuan oleh pihak kepolisian terhadap tersangka/tahanan, misalnya pada kasus yang dialami oleh Tarmuji warga Pekon Pemerihan Kecamatan Bengkunat Belimbing, korban kecelakaan lalu lintas (Lakalantas) di Simpang Pardasuka Pekon Pardasuka Kecamatan Bengkunat Kabupaten Pesisir Barat. Saat terjadi aksi pengejaran terhadap Tarmuji yang diduga terlibat kelompok pencurian gading gajah di Taman Nasional Bukit Barisan (TNBBS). pihak keluarga menilai banyak kejanggalan dalam kasus tersebut dan diduga Tarmuji mengalami tindak kekerasan hingga mengakibatkan Tarmuji meninggal dunia setelah beberapa hari mendapat penanganan medis.

  1 Bentuk perlindungan hukum yang

  diberikan oleh aparat penegak hukum dalam kasus tersebut, yaitu dengan menerapkan isi dari Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015, khususnya pada Pasal 21 yang memuat Penyampaian Keluhan oleh Tahanan/Tersangka terhadap perlakuan aparat penegak hukum yang berlaku sewenang-wenang. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penelitian ini ingin memahami lebih mendalami mengenai penerapan hak-hak dan perlindungan hukum bagi tersangka, serta faktor-faktor yang menghambat penerapan hak-hak dan perlindungan hukum. Atas dasar hal tersebut, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul

  “Analisis Pelindungan Hukum Terhadap Penahanan Tersangka Pada Tingkat Penyidikan Berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 (Studi Kepolisian Resor Lampung Barat) ”.

  Sistem penulisan pada skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data yang terdiri dari data primer yang bersumber dari lapangan dan data sekunder bersumber dari perpustakaan. Data yang telah 1 diperoleh, kemudian dianalisis secara kualitatif yang pokok bahasan akhirnya menuju pada suatu kesimpulan ditarik dengan metode induktif.

  Penerapan Hak-hak dan

  Pelindungan Hukum Terhadap Tersangka Pada Tingkat Penyidikan

  Berdasarkan wawancara dengan Junaidi

  2

  , mengemukakan bahwa penerapan hak-hak sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 yang terdiri dari:

  Jasmani Junaidi menyatakan dalam pembinaan kerohanian terhadap tahanan di lingkungan Rumah Tahanan Polres Lampung Barat dilakukan rutin 1 (satu) kali dalam seminggu pada hari kamis oleh petugas jaga tahanan yang sedang bertugas dibantu dengan ustadz yang didatangkan langsung dari luar polres. Sedangkan pembinaan jasmani dilakukan 1 (satu) kali dalam seminggu pada hari rabu yang berupa senam sehat dan kegiatan lain yang dipimpin langsung oleh petugas jaga tahanan sebagai instruktur.

  2. Hak mendapatkan makanan yang layak Penahanan tersangka tidak terlepas dari dipeliharanya dan dijaganya 2 Junaidi. Kepala Unit Tahti Kepolisian Resor Lampung Bara. tahanan seperti salah satu contohnya dalam pemberian makanan. Junaidi menyatakan pemberian makanan oleh petugas jaga terhadap tahanan dilakukan 2 (dua) kali dalam sehari pada pukul 10.00 WIB dan pukul

  17.00 WIB. Setiap tersangka juga diperbolehkan menerima makanan dari luar Rumah Tahanan setelah mendapat izin Ketua Tahti Bagian Penahanan.

II. Hasil Penelitian dan Pembahasan A.

  3. Hak mendapatkan pelayanan kesehatan Tersangka juga mendapatkan pelayanan berupa pemeriksaan kesehatan yang dilakukan rutin 1 (satu) minggu sekali, adapun petugas kesehatan dengan mendatangkan 1 (satu) orang dokter umum dari rumah sakit terdekat dengan dibantu oleh 3 (tiga) orang perawat juga dibantu oleh petugas yang sedang piket.

1. Pembinaan Kerohanian dan

  4. Hak untuk mendapatkan standar pakaian Ketua jaga tahanan memberlakukan kebijakan terhadap standar pakaian yang dikenakan oleh tersangka. Menurut keterangan dari Junaidi, standar pakaian berupa baju dengan lengan dan celana pendek yang tidak memiliki tali. Hal tersebut bertujuan agar tahanan tidak melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, contohnya dengan celana panjang yang dapat dijadikan oleh tahanan sebagai sarana untuk bunuh diri atau melakukan hal-hal yang tidak diinginkan lainnya.

  5. Hak untuk mendapatkan kunjungan

  Kehidupan tersangka sebagai individu yang bebas tidak terlepas dari interaksi dengan orang-orang sekitar, masyarakat, maupun keluarga tersangka. Oleh karena itu, tahanan memiliki hak untuk mendapatkan kunjungan baik dari teman, kerabat, maupun keluarga dekat dari tersangka. Selanjutnya beliau menerangkan pula untuk waktu kunjungan hanaya terdapat 2 (dua) hari dalam seminggu yakni hari s elasa dan jum’at pukul 09.00 WIB s/d 14.00 WIB dan dibatasi 15 (lima belas) menit dalam 1 (satu) kali kunjungan.

  Menurut keterangan Junaidi selaku Ketua Tahti bagian penahanan menjelaskan mekanisme dalam pemberian hak tersebut diatas, tahanan yang mempunyai keluhan- keluhan sebagaimana dijelaskan sebelumnya dan ingin menyampaikan keluhannya dapat melapor kepada pihak kepolisian melalui petugas jaga tahanan yang sedang bertugas piket, kemudian petugas jaga tahanan tersebut melaporkan perihal keluhan tersebut pada Kepala Sentral Pelayanan Kepolisian Terpadu (KSPKT) untuk ditindaklanjuti. Lebih lanjut lagi beliau menjelaskan bahwa ada kriteria-kriteria khusus untuk standar keluhan yang dapat ditindaklanjuti yang akan dijelaskan dipembahasan berikutnya.

  7. Hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

  Pelaksanaan pemberian hak-hak lain ini diatur dalam Pasal 12 huruf a Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015. Hak-hak lain yang dimaksud dalam peraturan ini adalah hak politik, hak memilih, dan hak keperdataan lainnya, sebagaimana diterangkan oleh Junaidi sebagai berikut: a.

  Hak politik bagi Tersangka dan/Tahanan Polri adalah hak menjadi anggota partai politik sesuai dengan aspirasinya.

  b.

  Tersangka dan/Tahanan Polri diberi kesempatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

  c.

  Hak-hak lainnya yang berkaitan dengan keperdataan dari diri tersangka tersebut. Tersangka yang mengalami kekerasan dalam pemeriksaan dalam pemeriksaan pendahuluan dapat melakukan upaya hukum melalui keluarga atau penasehat hukumnya sesuai dengan yang diatur dalam Pasal

6. Hak menyampaikan keluhan

  77 KUHAP. Pasal

  77 disebutkan “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang: a.

  Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.

  b.

  Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Melalui praperadilan, tersangka bisa mendapatkan keadilan atas pelanggaran hak-haknya yang telag dilakukan oleh penyelidik ataupun penyidik, juga disertai dengan ganti rugi dan rehabilitasi diharapkan dapat mengembalikan penderitaan tersangka yang selama ini telah dialaminya. Hal lain yang dapat dilakukan oleh tersangka terhadap pihak penyidik yang telah melanggar hak-haknya dengan melakukan upaya paksa dan kekerasan terhadapnya adalah dengan melaporkan penyidik tersebut kepada phak yang berwenang, bahwa penyidik yang dilaporkan tersebut telah melakukan tindak pidana dengan melakukan kekerasan terhadap tersangka yang dikaitkan dengan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan tersangka menderita baik jasmani maupun rohani.

  Berdasarkan wawancara dengan Beni

  3

  terkait dengan hal tersebut yang menyatakan bahwa tidak adanya perlindungan hukum dalam melaporkan kejadian yang dialaminya yaitu kekerasan dalam pemeriksaan pendahuluan dikarenakan tidak adanya pengetahuan tentang seluk beluk hukum (awam) dan takutnya akan tambahan biaya-biaya dalam mengajukan proses hukum. Demi terwujudnya persamaan dan perlakuan di hadapan hukum bantuan hukum mutlak diperlukan. Bantuan hukum bukan hanya prasyarat untuk memenuhi hak kesamaan di hadapan hukum (equality before law), hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta hak atas perlakuan yang sama dihadapan hukum.

  Hak-hak tersangka serta penerapannya sudah tercantum dalam undang-undang serta peraturan lainnya namun praktik di 3 Beni Irawan. Tersangka/Tahanan

  Polres Lampung Barat. Wawancara pada

  lapangan hal tersebut belum terlaksana, keluhan dari tersangka yang mengalami kekerasan oleh oknum kepolisian sebenarnya dapat disampaikan pada SPKT dan Provos serta Sat. Reskrim sebagai unit yang menindaklanjuti hal-hal yang menyangkut praktik oknum yang dilakukan di luar konteks KUHAP. Penasehat hukum dari tersangka juga berperan penting mengemukakan keluhan klien nya terkait hal tersebut di muka persidangan dalam praperadilan yang didasarkan pada penyidikan yang dilakukan dengan semena-mena atau diluar SOP

  (Standar Operation Procedure) .

  B.

  Faktor-Faktor yang Menghambat Pelindungan Hukum Terhadap Tersangka di Rumah Tahanan Kepolisian Resor Lampung Barat.

  Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan secara langsung di Kepolisian Resor Lampung Barat, dan dengan dasar hasil wawancara dan quisioner yang dilakukan dengan sampel dua tersangka yang masing- masing bernama Beni Irawan (Narkotika) dan Ridwan (Pencurian Motor), dan atas hasil wawancara dengan Ketua Tahti bagian penahanan di Rumah Tahanan Polres Lampung Barat yang bernama Junaidi.

  Menurut penulis setelah melakukan penelitian faktor-faktor yang menghambat perlindungan hukum bagi tersangka di dalam Rumah Tahanan Kepolisian Resor Lampung Barat adalah : a.

  Faktor penegak hukum b.

  Faktor sarana dan prasarana c. Faktor kebudayaan Ketiga faktor tersebut adalah faktor penghambat perlindungan hukum bagi tersangka atau tahanan sebagaimana diuraikan sebagai berikut: a.

  Faktor penegak hukum Karena kurangnya kesadaran, disiplin, dan pengetahuan petugas dalam melaksanakan tugas sehari- hari. Selain itu kurangnya profesionalisme kerja petugas sehingga para tersangka yang ditahan masih banyak yang tidak mengetahui hak-hak yang melekat pada dirinya.

  b.

  Faktor sarana dan prasarana Masih minimnya fasilitas yang memadai seperti yang sudah penulis uraikan diatas sehingga tidak mampu menunjang pelaksanaan kegiatan atau pemberian pelayanan petugas pada tahanan yang tidak optimal.

  c.

  Faktor kebudayaan Tersangka dalam penahanan yang mendapatkan perbuatan yang sewenang-wenang oleh petugas tidak mengetahui apa yang harus dilakukan karena pengetahuan yang tidak ada mengenai hak-haknya, serta kebiasaan yang diwariskan sejak dulu bahwa seorang tersangka adalah orang yang salah dan jahat sehingga vonis hakim belum dijatuhkan tetapi tahanan tersebut sudah mengalami penyiksaan baik berupa fisik maupun non fisik. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Dr. Wahyu Sasongko, S.H., M.Hum., menjelaskan bahwa dalam kasus Tarmuji, tersangka dituduh sebagai salah satu pelaku tindak pencurian gading gajah yang bernama yongki sekaligus sebagai

  informan polisi dalam mengungkap

  sindikat pencurian dari kasus tersebut. Dalam proses penyelidikan sampai waktu tertentu pihak kepolisian belum juga mampu menyelesaikan perkara tersebut, sedangkan tekanan pada pihak kepolisian datang dari berbagai kalangan khususnya wartawan.

  Secara normatif perlindungan terhadap hak-hak tersangka telah diatur dalam KUHP, KUHAP, Peraturan Kapolri, maupun Undang- Undang Hak Asasi Manusia seperti yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 yang berbunyi;

  “Bahwa setiap orang berhak bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan”.

  Berdasarkan pasal tersebut, kepada pelaku penganiayaan selain dikenai pasal-pasal KUHAP, juga harus digabungkan dengan ketentuan hukum yang terdapat dalam Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

  Namun demikian dari segi yuridis normatif KUHAP sebenarnya telah memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia bagi tersangka, dan telah pula memenuhi persyaratan sebagai dasar hukum penyelenggaraan peradilan pidana yang adil (due process of law). Namun KUHAP belum mengatur akibat atau konsekuensi yuridis berupa pembatalan, penyelidikan, dakwaan, atau penolakan bahan pembuktian apabila terjadi penggaran hak-hak yuridis tersangka.

  Lembaga pra-peradilan belum cukup menjamin perlindungan hak asasi tersangka seperti yang dimaksud oleh asas ubi jus ihi rerrudium dan asas

  ubi rertidium ibi jus, yang bermakna

  jika ada hak yang diberikan hukum maka ada kemungkinan untuk menuntut dan memproleh hak tersebut, dan hanya apabila ada proses hukum untuk menuntutnya dapat dikatakan adanya hak tersebut. Oleh karena itu, perlu kepeduliam dan tanggungjawab dari aparat penegak hukum untuk membenahi sistem hukum di Indonesia, sehingga diharapkan mendatang tidak ada kejadian salah tangkap, kekerasan dan penyiksaan pada penyidikan perkara pidana.

  Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai penerapan hak-hak dan perlindungan hukum terhadap tersangka pada tingkat penyidikan, maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut:

  1. Upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum yang dilakukan oleh tersangka dalam dilaksanakan dengan alasan karena kurang pengetahuan tentang hukum (awam tentang hukum yang ada), takutnya akan tambahan biaya-biaya untuk mengajukan laporan pembelaan hukum (biaya-biaya pengadilan, pengacara , dll), serta kuatir adanya ancaman terhadap tersangka maupun keluarga jika melapor tentang tindak kekerasan yang dilakukan oleh penyelidik atau penyidik. Tersangka tidak berupaya untuk mempertahankan haknya terhadap tindak kekerasan yang dilakukan oleh penyelidik dan penyidik dalam pemeriksaan pendahuluan sesuai dengan

  Undang-Undang yang berlaku karena tersangka tidak mengetahui jelas seperti apa sistematika hukum dan takutnya dikarenakan biaya-biaya lain jika mengajukan pembelaan atau laporan atas tindak kekerasan yang dilakukan oleh penyelidik dan penyidik dalam pemeriksaan pendahuluan.

  Padahal seperti yang kita ketahui kedudukan seorang tersangka belum bersalah karena dikenal adanya suatu asas yang harus dijunjung tinggi oleh setiap aparat penegak hukum baik itu pihak kepolisian, kejaksaan, ataupun pengadilan yaitu asas

III. Simpulan

  presumption of law atau lebih

  dikenal dengan asas praduga tak bersalah.

  2. Masih ada beberapa faktor yang mengambat diantara nya faktor profesionalitas dari penegak hukum itu sendiri khususnya penyelidik dan penyidik POLRI, mengenai kinerja masing-masing bidang, karena berdasarkan uraian kasus diatas adanya tahanan atau tersangka yang mengalami kekerasan dari pihak aparat kepolisian. Faktor dari sarana dan prasarana yang belum memadai dalam menunjang kinerja aparat kepolisian dalam menjalankan program pemeliharaan. Faktor kebudayaan, yang mana masih kerap terjadi praktik-praktik yang didasarkan pada kebiasaan sebelumnya bukan didasarkan dalam undang-undang yang mengaturnya.

  Adapun saran penulis terkait pembahasan di atas mengenai penerapn hak-hak dan perlindungan terhadap tersangka sebagai berikut:

  1. Agar petugas jaga tahanan maupun penyidik dalam menjalankan tugasnya dengan profesionalisme dan dibinanya kesadaran penyidik tentang pentingnya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, sehingga penyidik mengetahui bahwa hak asasi manusa merupakan suatu keadaan yang harus dihormati serta dijunjung tinggi, demi terwujudnya hubungan yang harmonis dengan tersangka atau tahanan.

  Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP .

  Kepastian Hukum Bagi Investor Di Indonesia .

  Majalah Hukum Nomer 2. Yogyakarta. Muchsin. 2003. Perlindungan dan

  Pemeriksaan Permulaan dalam Perkara Pidana yang menjadi kekuasaan Pengadilan Negeri dan Penahanan Sementara .

  Jakarta. Moeljatno, 1952. Pimpinan

  Penanganan Perkara Pidana (penyelidikan dan Penyidikan). Sinar Grafika.

  Kunarto. 1997. Etika Kepolisian. Cipta Manunggal. Jakarta. Marpaung, Leden. 2009. Proses

  Sinar Grafika. Jakarta. Ishaq. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Hukum . Sinar Grafika. Jakarta.

  Bandung. Harahap, M. Yahya. 2000.

  2. Agar kebudayaan buruk yang terjadi dalam penyelidik dan penyidikan atau pelaksanaan penahanan perlu diadakan sosialisasi mengenai peraturan- peraturan yang berkaitan kepada aparat penegak hukum untuk menumbuhkan kesadaran penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya pada bidang masing-masing agar tidak terjadi praktik diluar konsep KUHAP atau peraturan lainnya.

  Hukum Acara Pidana di Indonesia . Sumur Bandung.

  Jakarta. Dikoro, Wirjono Prodjo. 1962.

  dan Konstitusionalisme Indonesia. Konstitusi Press.

  Asshiddiqie, Jimly. 2006. Konstitusi

  DAFTAR PUSTAKA A. Buku

  4. Mengenai hak penyampaian keluhan untuk kedepannya diharapkan pihak Sentral Pelayanan Kepolisian Terpadu agar lebih tanggap dan cepat dalam menyikapi keluhan- keluhan dari para tahanan atau tersangka.

  3. Mengenai sarana dan prasarana agar lebih ditingkatkan seperti lapangan olahraga ataupun aula kerohanian yang lebih diperluas demi menunjang program yang dilaksanakan dengan optimal. Karena selama ini tersangka dan/tahanan yang ingin melaksanakan kegiatan keagamaan di mushola, dibatasi dengan masalah kapasitas mushola yang terbatas. Mushola yang ada sekarang hanya dapat menampung sekitar 15 orang , apabila dibandingkan dengan jumlah tersangka dan/tahanan muslim yang ada sangat jauh dari cukup.

  Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Surakarta. M. Hadjon, Philipus. 1987.

  Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia . Bina Ilmu.

  Penelitian Hukum . Raja Grafindo Persada. Jakarta.

  Mediatama. Jakarta. Setiono. 2004.

  Rule Of Law (Supremasi Hukum ). Magister

  Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

  Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Renika Cipta . Jakarta. Soekanto, Soerjono. 2008. Faktor-

  faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

  . Rajawali Pers. Jakarta. Sunggono, Bambang. 1997. Metode

  Triatmojo, Sudibyo.1982.

  Sadjino. 2008. Etika Profesi Hukum

  Pelaksanaan Penahanan dan Kemungkinan yang Ada Dalam KUHAP. Percetakan Offset Alumni. Bandung.

  B. Dokumen

  Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Peraturan Kepala Kepolisian Negara

  Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Perawatan Tahanan di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

  Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Undang-undang No. 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan Pokok

  Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-undang No 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan

  Suatu telaah Filosofis Terhadap Konsep dan Implementasi Kode Etik Profesi POLRI . Laksbang

  PT.Alumni. Bandung.

  Surabaya. Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana . BP Undip.

  Permasalahan Hukum Di Indonesia .

  Semarang. Nawawi, Hadari. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial.

  Gajah mada University Press. Yogyakarta. Soemantri, Sri. 1992. Hukum Tata

  Negara Indonesia. Bunga Rampai. Bandung.

  Raharjo, Agus. 2006. Hukum dan

  Dilema Pencitraannya (Transisi Paragdimatis Ilmu Hukum dalam Teori dan Praktik). Jurnal Hukum Pro

  Justitia. Semarang. Rahardjo, Sadjipto. 1983.

  Alumni. Bandung. Raharjo, Sadjipto. 1999. Polisi

  HAM Melalui Asas Praduga tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum pada Peradilan Pidana Indonesia.

  Berwatak Sipil. Seminar Nasional Membangun Polisi Indonesia yang Berkarakter Sipil . Pusat Studi kepolisian

  UNDIP. Semarang. Rahardjo, Satjipto. 2002. Polisi Sipil

  dalam Perubahan Sosial di Indonesia . Kompas. Jakarta.

  Reksodiputo, Mardjono. 1994. Hak

  Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana . Pusat

  Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI. Jakarta. Rukmini, Mien. 2003. Perlindungan

  Pokok Kejaksaan. Undang-undang No 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan

  08 Agustus 2016.

  Ditelantarkan.

  Pokok Kekuasaan Kehakiman.

  Newpaper, Lampung. Undang-Undang Nomor 39 Tahun “Korban

  Lakalantas Diduga Korban

  1999 tentang Hak Asasi Manusia

  Kekerasan”. 30 September C.

  2016.

   Media

  http://lampungnewspaper.co Online, Hukum.

  “Hak-hak Tahanan dan

  m/v2/economicdevelopment-

  Narapidana yang tak Boleh

  /8102-korban-lakalantas- diduga-korban-kekerasan.

Dokumen yang terkait

UPAYA PENANGGULANGAN KEPOLISIAN RESOR TULANG BAWANG TERHADAP TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA YANG MENYEBABKAN KEMATIAN (STUDI LAPORAN POLISI NO. STPL/34/2016/SIAGA

0 0 12

ANALISIS KOMPARATIF PENGATURAN TINDAK PIDANA ABORSI DALAM HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM

0 0 13

ANALISIS PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MENYIMPAN BAHAN BAKAR MINYAK BERSUBSIDI TANPA IZIN (Studi Putusan No. 516Pid.Sus.LH2016PN.Tjk) (Jurnal Skripsi)

0 0 12

ABSTRACT ANALYSIS DECISION IN THE CASE JUDGE pretrial Corruption (Studies Pretrial Decision No. 14 Pid.Pra 2016 PN.Tjk) By: Wanda Rara Farezha, Eddy Rifa’i, Gunawan Jatmiko (wandararafarezhagmail.com)

0 0 14

ANALISIS YURIDIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENIPUAN BISNIS ONLINE

0 0 11

PERANAN AHLI TOKSIKOLOGI FORENSIK DALAM UPAYA PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA Oleh Mirna Andita Sari, Eddy Rifai, Gunawan Jatmiko Email: mirnaanditagmail.com Abstrak - PERANAN AHLI TOKSIKOLOGI FORENSIK DALAM UPAYA PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PE

0 0 12

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA TRAFFICKING YANG MERAMPAS ANAK SEBAGAI JAMINAN UTANG (Study Kasus Wilayah Hukum Polda Lampung) Jurnal

0 0 14

PERANAN INTELIJEN KEJAKSAAN NEGERI BANDAR LAMPUNG DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN ALIRAN AGAMA TERLARANG AMANAT KEAGUNGAN ILAHI (Jurnal Skripsi)

0 0 11

ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (Studi di Wilayah Hukum Bandar Lampung) Ernita Larasati, Eko Raharjo S.H., M.H., Gunawan Jatmiko S.H., M.H. email: (ernita1995gmail.com) Abstrak - ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERH

0 0 8

PERAN KRIMINALISTIK DALAM BANTUAN PENGUNGKAPAN PERKARA PEMBUNUHAN DENGAN PEMBERATAN (STUDI PUTUSAN NOMOR: 1306/Pid.B/2015/PN.Tjk).

0 0 12